BAB I PENDAHULUAN. orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menentukan secara tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip terpenting Negara Hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukannya, membuat jera si pelaku ataupun untuk menakuti orang lain supaya tidak melakukan hal yang sama. Tujuan yang lebih penting adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai, sehingga dapat kembali ke masyarakat agar menjadi masyaraka yang baik dan berguna, sehingga dapat di terima dalam kehidupan bermasyarakat. 1

2 Pembinaan di Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disingkat RUTAN) dan di Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat LAPAS) merupakan sistem pemenjaraan yang pada awalnya menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, namun sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan tersebut, kini dipandang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk menjadikan narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukannya. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat UU Pemasyarakatan), menyatakan bahwa : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penghukuman bukan hanya untuk melindungi masyarakat semata, melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum. Pelanggar hukum tidak lagi disebut penjahat, melainkan orang yang tersesat. Seseorang yang tersesat dapat bertaubat, dan ada harapan berhasil dibina dengan sistem pembinaan yang diterapkan kepadanya. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan/Narapidana dengan masyarakat. Narapidana adalah anggota masyarakat yang karena kesalahannya telah melanggar hukum dan nantinya apabila telah selesai menjalani pidananya akan menjadi anggota masyarakat.

3 Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas. UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 14 yang menytkn bahwa: Warga binaan berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Dalam pembinaan narapidana salah satu wujud berupa proses pembebasan bersyarat, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syaratsyarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya. Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu, mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab

4 Aturan-aturan yang dimaksudkan itu di dalam bentuk peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asasasas keadilan dari masyarakat itu sendiri, karena memang dari awalnya bahwa aturanaturan hukum yang diadakan itu atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu sendiri. Dalam sistem pemasyarakatan yang menyangkut tata perlakuan narapidana.baik yang diberikan pembinaan di dalam lembaga Pemasyarakatan maupun yang mendapat pembinaan di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan, narapidana mempunyai ruang gerak kebebasan serta hubungan dengan masyarakat luar negeri dan terbatas dengan adanya peraturan-peraturan yang ketat serta tembok yang tinggi dan tebal yang membatasi, sedangkan pembinaan di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan banyak memberikan kebebasan begerak dan berhubungan dengan masyarakat luas. Sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah dimana dalam mengenai suatu tindak pidana, Pemerintah tidak hanya cukup bertindak dalam tingkat penyidikan, penyelidikan, penangkapan, penuntutan, pemeriksaan pada persidangan, penjatuhan keputusan dan pelaksanaan keputusan pengadilan, akan tetapi pengupayaan bagaimana pelaksanaan pengembaliannya kepada masyarakat dengan keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Kalau di i Amerika Serikat, disana polisi adalah yang melakukan penyidikan. Tetapi dalam hal-hal tertentu jaksa atau publik alterney dapat juga melakukan penyidikan terhadap suatu Tindak Pidana. Hal ini terlihat dalam :

5 The prosecuting alterney is the key law enforcement of ficer in the particular area over the patentialition of the office are limited onlt by the entelligence, skill and legal and capasity of the incumbent in the formidable lis of duties often assigned to their public official, the interest of the states is almost entirely in his hands. He is a quasi yudicial officier to who determines from his own investigation, or evidence submited to him by police or other, whether a criminal effences has been commuted. 1 R.A. Koesnoen mengatakan : "Narapidana adalah anggota masyarakat, berasal dari masyarakat, merugikan masyarakat, tetapi juga sedikit banyak ada kesalahan dari masyarakat sendiri dan kembali ke rriasyarakat". 2 Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas. Dalam pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses pembebasan bersyarat, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya. Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu, mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan 1 Paul B. Weston Kenneth M. Wells, 1972, Law Enforcement an Criminal Justice, Pasific Palisades : goodyer publishing company, hal,164 2 Kaedoen, R.A. 1961, Politik Pendjara Nasional, Bandung, Sumur Bandung, hal. 15.

6 bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pemberian pembebasan bersyarat merupakan salah satu sarana hukum dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak warga binaan pemasyarakatan mendapatkan pembebasan Bersyarat. Dalam memberikan pembebasan bersyarat diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 14 yang berbunyi bahwa: Warga binaan berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Antara UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 14 dengan Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 Pasal 43 A terjadi konflik norma, disatu sisi memberika pembebasa bersyarat adalah mutlak sedagkan di sisi lain ada persyaratan yang harus di lalui. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 terdapat konflik norma terutama Pasal 43 dalam memberikan pembebasan bersyarat. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 43A dan Pasal 43B Pasal Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat; 2. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

7 a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan; b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana. 3. Pembebasan Bersyarat bagi anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; 4. Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan menteri; 5. Pembebasan Bersyarat dicabut jika Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat Di antara Pasal 43A dan Pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A menyebukan 1. Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena. melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan. 2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; Pasal 43B 1. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan; 2. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan kepentingan keagamaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat;

8 3. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni: a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan/atau kejahatan transnasional terorganisasi lainnya; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika; dan c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. 4. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara tertulis oleh instansi terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan; 5. Dalam hal batas waktu sebagai mana dimaksud Pasal (4) instansi terkait tidak menyampaikan rekomendasi secara tertulis, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyampaikan pertimbangan Pembebasan Bersyarat kepada Menteri; 6. Ketentuan mengenai tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Syarat dan Tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.2.PK Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Hak-hak yang tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut di atas diberikan terhadap para narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.

9 Dalam kajian Pasal tersebut diatas kalau dikaitkan dengan permasalahan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan sesuai dengan Pasal 43 B bahwa pemberian pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Corby seorang terpidana tindak pidana narkotika, terpdana Corby telah menjalankan pidananya sesuai dengan ketentuan Undang-undang 2/3 dari seluruh masa pidananya. Beranjak dari hal tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat tesis ini dengan judul PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka timbul permasalahan yaitu : 1. Bagaimana Pengaturan Pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimana idealnya Pembebasan bersyarakat kedepannya? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Pembebasan Bersyarat adalah merupakan bagian dari sistem Pemasyarakatan yang merupakan satu pembinaan yang dilakukan di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan (extramular) dan merupakan pembinaan lanjutan dari pembinaan di dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan (intra mullar) adapun yang menjadi inti-sari tujtian pemerintah memberikan Persyaratan Pembebasan Bersyarat adalah :

10 1. Menjauhkan tersalah dari rumah penjara. 2. Mempercepatkan dapatnya si terhukum keluar dari rumah penjara. 3. Mengembalikan bekas orang hukuman di dalam penghidupan masyarakat sebagai sediakala. 3 Untuk berhasilnya usaha Pemerintah di dalam memberikan Pembebasan Bersyarat kepada terpidana, diperlukan adanya suatu pengawasan, baik pengawasan yang hersifat umum maupun pengawasan yang bersifat khusus atau istimewa. Adapun salah satu lembaga atau instansi yang berwenang untuk pengawasan tersebut adalah kejaksaan Negeri. Meskipun fokus pembahasan hanya terbatas pada Peranan, Jaksa Dalam, Pengawasan Terpidana Dengan Pembebasan Bersyarat namun dalam tesis ini akan dihahas pemberian pembebsan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM dan syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan tugas dan wewenang dari jaksa sebagai penuntut umum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 KUHAP, jika kita menengok ke Amerika Serikat maka terlihat disana adalah bahwa posisi jaksa / penuntut umum merupakan fungsi sentral dalam penegakan hukum. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ahli hukum dan dia dapat menentukan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan atau tidak, dia dapat terjun langsung dalam hal penyidikan tetapi dalam hal-hal tertentu. Hal itu dapat dilihat dalam tulisan Weston dan Wells : 3 Tondokoesoemo,S. 1952, Reklasering, Pengurus Besar Sarekat Sekerdja Kependjaraan, Jakarta, hal. 7.

11 The Prosecuting is the key law enforcement of fices in the particular are over which he has yurisdiction. In this are the patentialites of the office are limmeted only by the intelligence, skill, and legal and political capacity of the incumbent. In the formidable list of duties often assigned to this public official, the interest of the states is almost entirely in his hand. He is a quasi jiducal officus who determines from is own ivestigation, or evidence sub mitted to him by police or other, whether a criminal offences has been commited. 4 Artinya : Penuntut umum merupakan Pejabat Penegak Hukum penting dalam daerah khusus yang menjadi wilayah hukumnya. Dalam daerah ini penutut umum hanya dibatasi oleh kecerdasan, kecakapan dan kemampuan pengetahuan hukum serta politik pejabat tersebut. Hampir seluruh kepentingan negara ada ditangannya. Dia adalah pejabat kuasa hukum yang menentukan apakah delik telah dilakukan penyidikan. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan Umum a. Untuk mengetahui mekanisme atau tata kerja di dalam pengawasan oleh Jaksa terhadap terpidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat disamping berusaha untuk mengungkapkan lebih jauh bagaimana peranan Jaksa di dalam pelaksanaan tugas pengawasan. b. Ingin mengetahui sejauh mana sikap dan prilaku para penegak hukum serta kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta aparat, penegak hukum sesuai dengan fiungsi dan wewenangnya. 4 Paul B. westone Kenneth in Weels, 1972, Law Enforcement and Criminal Justice, Pasific Polisades Goodyear, Publishing Company, page.164

12 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui Pengaturan hukum pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum positif di Indonesia 2. Untuk mengetahui idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat teoritis kalai dikaji dari aspek keilmuan dalam dunia akademis sebagai penambahan wawasan ilmu hokum khususnya Pengaturan hukum pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum positif di Indonesia dan idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya Manfaat Praktis Manfaat praktis adalah memberikan konsep pemikiran tentang keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tenteng Pembebasan Beryarat. 1.6 Originalitas Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Pasca Sarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas maka penelitian dengan judul Kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pemberian Asimilasi bagi Narapidana sesuai Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya akan tetapi, pernah ada yang meneliti tentang sistem

13 Pemasyarakatan yang di lakukan oleh saudara Ketut Sandiasa Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Udayana Nim dengan judul Subkultur Narapidana dalam proses pembinaan Narapidana dengan sisitem Pemasyarakatan (penelitian di lembaga pemasyarakatan kelas II a Denpasar), Rumusan Masalah : (1) Apakah transpormasi kebiasaan-kebiasaan serta budaya dalam pendidikan penjara dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan Narapidana, (2) Apakah dalam sisitim pembinaan Narapidana klsifikasi sistim kepenjaraan masih dipergunakan sebagai pedoman dasar dalam melakukan pembinaan terhadap Narapidana. Tentang sistim Pemasyarakatan penelitian pernah juga di lakukan oleh saudara I Made Rai Mardingga Nim dengan judul pelaksanaan Pidana Penjara dengan sisitim Pemasyaraktan (suatu studi di lembaga pemasyarakatan Denpasar) Rumusan Masalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan pidana penjara dengan sisitim pemasyarakatan kelas IIa Denpasar (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan Pidana Penjara dengan sisitim Pemasyarakatan di lembaga Pemasyarakatan kelas IIa Denpasar. Selain Universitas Udayana di Universitas lainnya di Universitas Negeri Semarang oleh Tiwan Setiawan, Nim dengan judul Model Pembinaan Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang. Permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang, (2) Bagaimanakah efektifitas yang di lakukan terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II

14 Semarang, (3) Faktor apa saja yang menghambat proses pembinaan terhadap Narapidana di pemasyarakatan kelas II Semarang. Dengan melihat beberapa judul penelitian di bebrapa Universitas, bahwa judul penelitian ini berbeda sehingga dapat di katakana bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi isinya. 1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Sebagai acuan dalam penulisan tesis ini ada beberapa teori yang sangat relevan dipergunakan adalah : 1. Konsep Negara Hukum Suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum rechstaat menurut Burkens, (sebagaimana dikutip Yohanes Usfunan) apabila memenuhi syarat-syarat: 5 1. Asas legalitas. Setiap pihak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undangundang dalam arti formil dan undang-undang sendiri merupakan tumuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undangundang merupakan bagian penting Negara hukum. 5 Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, Dalam Yohanes Usfunan, 1988, Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya, hal.111.

15 2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang. 4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. Dalam konsep negara hukum seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyeienggara Negara/Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyeienggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya. Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan the constiution based on individual right. 6 Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar 6 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 20.

16 lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal jika dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya. Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan hukum. Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik secara individu maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam pengadilan yang sama pula. Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak seperti yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang disebut constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini menunjuk pada sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental. 7 Dalam konsep negra hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sangsi hukum, baik penyelenggara Negara/Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya. 7 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta. hal. 51.

17 Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu masih banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan konsep Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of law umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman terhadap negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut beberapa sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama, 8 sebagai berikut: a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika, c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig bestuur), dan d. Adanya peradilan administrasi negara. 2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat, 9 meliputi: a. Kepastian hukum, b. Persamaan, c. Demokrasi, dan d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum. 8 Ibid, hal Ibid, hal. 66.

18 3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt 10, dengan unsur utama : a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur); b. Hak-hak asasi, c. Pembagian kekuasaan, dan d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan. 4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah : a. Pemerintahan menurut hukum, b. Jaminan terhadap hak-hak asasi, c. Pembagian kekuasaan dan d. Pengawasan yustisial terhadap pemerintah. Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara yang berdasarkan hukum, 11 yaitu : 1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas) 4. Adanya pembagian kekuasaan. Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang terpenting dari negara hukum ada 4, 12 yaitu : 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum. 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. 4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle) 10 Hamid S Attamimi, A.1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, h.19; Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945; Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahsiswa Pasca Sarjana UNPAD, Tahun , di Bandung. 12 Sri Soemantri M; 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, hal. 29.

19 Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh S.W. Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat, 13 adalah : 1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas Undang-undang. 3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas ciri-ciri tersebut diatas, maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen UUD 1945 menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah negara Hukum". Sehingga jika dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak maka secara filosofis konstitusional jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Hukum yang dinamis 13 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 76.

20 atau welfare state (negara kesejahteraan), sebab negara wajib menjamin kepastian hukum serta kesejahteraan sosial masyarakat. 14 Relevansi dari konsep ini dengan obyek penelitian ini adalah unsur pertama asas legalitas dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia). Dalam kaitan ini asas legalitas berkaitan dengan kepastian atas peranan kejaksaan dalam melakukan pengawasan narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat yang diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka akan memberikan proteksi terhadap kepemilikan akta jaminan fidusia individu maupun badan hukum sebagai perwujudan HAM. Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum sebagai berikut: Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas). 4. Adanya pembagian kekuasaan. Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila. Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan 14 Marbun, S.F.Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun , di Bandung. hal.19.

21 wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dengan demikian semua tindakan pemerintahan harus menurut hukum yang dalam hal ini, pendaftaran akta jaminan fidusia harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Teori tentang Penegakan Hukum Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang. 16 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undangundang atau peraturan. 17 Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum, secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang 16 Badudu, J,S dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hal Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 284.

22 terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 18 Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau negatif. 19 Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang, Friedman menyatakan bahwa 20 : Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bens toward the legal act that evoked it. Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability. Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep- 18 Soerjono Soekanto I, loc. cit. 19 Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.

23 konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. 21 Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu : a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang. b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 22 Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan 23 : 21 Siswantoro Sunarso, loc.cit. 22 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal Soerjono Soekanto I, op.cit., hal

24 a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undang-undang tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku; b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag tersebut diperintahkan demikian); c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat. Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu 24 : a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi; c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; 24 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal

25 e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, yaitu : a) yang tidak ada diadakan yang baru betul; b) yang rusak atau salah diperbaiki atau dibetulkan; c) yang kurang ditambah; d) yang macet dilancarkan; e) yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan. 25 Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya. 25 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 44.

26 Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat. Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis. 26 Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat 26 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal

27 manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya. Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya, merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk Teori Keadilan Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal Ibid, hal. 159.

28 Mengenai pemikiran Rawls ini akan diuraikan lebih lanjut pada Bab V, tepatnya pada saat membahas tentang keadilan sebagai salah satu masalah-masalah filsafat hukum. Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup mannusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan. Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru. 29 Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi 29 Ibid. hal. 159.

29 dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal : 1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional. 2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu (Priyono, 1993 : 37). Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni : 1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikisnya. 2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan, yakni dengan keadilan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana.

30 3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama suka mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum. Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikut 1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak. 2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip

31 keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesarbesarnya secara leksikal berlaku lebih dulu daripadai prinsip kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antardua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan). Menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan Pertanyaan terakhir kita berikutnya adalah tentang teori keadilan seperti apa yang berlaku bagi bangsa Indonesia? Secara jelas kita dapat langsung menemukan, bahwa dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2 berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5 menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, butir-butir dari prinsip keadilan (termasuk yang disebutkan oleh Rawls) telah diungkapkan pula secara jelas. Selanjutnya, apabila kita melihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu. Jadi dapatlah dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadilan sosial ini, pertama kali harus dikembalikan kepada pengertian adil seperti telah diuraikan di

32 atas. Aristoteles menyatakan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil adalah orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tdaik menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Jadi keadilan adalah pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum. Keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan, tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti disebutkan oleh Notohamidjojo dia tas dapat juga disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional. Keadilan dengan begitu berkaitan erat dengan hak. Hanya saja, dalam konsepsi keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya, dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya masyarakat yang beradab yang dapat menghargai keadilan. Dipersoalkannya keserasian hak dan kewajiban itu menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk berdimensi monodualistis, yakni sebagai mahluk individual dan sosial (kolektif). Kedua nilai antinomis itu tidak dapat saling meniadakan. Dari teori-teori keadilan yang diuraikan di atas, tampak bahwa kriteria keadilan sangatlah

33 relatif, sehingga keadilan tidak lain adalah keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto : menyebutkan enam pasangan nilai-nilai : (1) spritualisme/idealisme dan materialisme, (2) individualisme dan kolektivitas, (3) pragmatisme dan voluntarisme, (4) acsetisisme dan hedonisme, (5) empirisme dan intuisionisme, (6) rasionalisme dan romantisisme. Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari Rawls. Sesuai dengan keseimbangan nilai-nilai antinomi, maka keadilan sosial dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, indvidulisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme. Sehingga akhirnya penegakan the rule of law (yang artinya tidak lain daripada supremasi of the law atau bahwa hukum dianggap sebagai kekuasaan yang tertinggi) hendaknya bukan hanya berarti penegakkan hukum yang diciptakan oleh negara atau penguasa raja, hal mana akan berarti penegakan hukum yang melindungi kwasi-kwasi hak (quasi rights) saja. Akan tetapi penegakkan the rule of law didalam negara hukum itu hendaknya berarti penegakkan hukum yang melindungi hak-hak yang sebenarnya, yaitu hak-hak yang memenuhi syarat-syarat kebutuhan masyarakat, pengakuan dan perlindungan oleh negara dan pengakuan masyarakat inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang di lakukan oleh masyarakat. dikembangkan dan dilestarikan fungsinya secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang di lakukan oleh masyarakat. dikembangkan dan dilestarikan fungsinya secara berkelanjutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mecapai tujuan pembangunan, adalah penting untuk menanggapi tantangan pembangunan yang dapat timbul dalam kurun waktu tertentu secara tepat. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 14 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 3)

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 14 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 3) BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 14 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 3) C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa di dalam Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Secara substansial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah kepenjaraan 1 di Hindia Belanda dimulai tahun 1872 dengan berlakunya wetboekvan strafrescht de inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Peradilan administrasi merupakan salah satu perwujudan negara hukum, peradilan administrasi di Indonesia dikenal dengan sebutan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan 10 prinsip

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum tidak lagi semata-mata

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum tidak lagi semata-mata 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana di ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya bahwa segala perbuatan yang dilakukan baik oleh anggota masyarakat maupun aparat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang- Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu Negara hukum (rechstsaat) (Julita Melissa Walukow, 2013: 163).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah sepakat menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, da-n semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan BB I PENDHULUN. Latar Belakang Masalah Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945) menyebutkan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat

BAB I PENDAHULUAN. jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris merupakan profesi yang terhormat dan selalu berkaitan dengan moral dan etika ketika menjalankan tugas jabatannya.saat menjalankan tugas jabatannya, Notaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia dimasyarakat yang diwujudkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi penopang bagi keberlangsungan bangsa tersebut. Untuk mewujudkan masa depan bangsa yang cerah, diperlukan pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencurian dapat diproses melalui penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Kemajuan tersebut antara lain dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) 1. Konsekuensi dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalu lintas mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyaknya persoalan anak masih menjadi perhatian kita semua. Kekerasan terhadap anak sudah banyak yang memperhatikan namun masih sedikit perhatian tertuju untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat subsistem tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat subsistem tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan tentang apa tugas hukum pidana dimasyarakat dan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan menjadi subjek yang dihormati dan dihargai oleh sesamanya. Pada dasarnya yang harus diberantas ialah

Lebih terperinci

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencurian dapat diproses melalui penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam ketentuan

Lebih terperinci