II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR"

Transkripsi

1 II. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR 2.1. Deskripsi Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah aliran sungai Citarum yang terletak di wilayah utara Provinsi Jawa Barat, mencakup sekitar 12 ribu kilometer persegi, terdiri atas 12 sungai dari selatan ke utara yang berakhir di Laut Jawa, yakni Bekasi, Cikarang, Cilemahabang, Cibeet, Citarum, Ciherang, Cilamaya, Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunegara dan Cipancuh. Total aliran rata-rata per tahun sekitar milyar meter kubik dan 7.65 milyar meter kubik yang telah diatur, melalui bendungan, bendung, pintu air dan kanal dan sekitar 5.30 meter kubik yang terus mengalir ke laut. Waduk Jatiluhur (Ir. Juanda) yang dibangun di Sungai Citarum untuk multi tujuan (multy purpose), wilayah tangkapan seluas 4.50 ribu kilometer persegi, luas permukaan 8.20 ribu hektar, tinggi 96 meter, volumenya 2.45 juta meter kubik, volume efektif 1.87 milyar meter kubik kapasitas aliran 8.00 ribu meter kubik per detik. Unit pembangkit listrik H. Juanda terdiri dari 6 turbin, 5 turbin dengan kapasitas terpasang masing-masing turbin 35 MVA x Cos phi 0.92 dan 1 turbin dengan kapasitas 40 MVA x Cos phi 0.62, sedangkan kapasitas terpakai 5 turbin dengan masing-masing 30 MW dan 1 turbin dengan kapasitas terpakai 24 MW. Jaringan irigasinya mengairi 240 ribu hektar, bukan hanya di DAS Citarum tetapi juga DAS Bekasi, Ciasem dan Cipunegara. Penyuplai air domestik dan industri untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sebesar 16 meter kubik per detik. Sarana penunjang suplai air irigasi dan air bersih Perum Jasa Tirta II dilengkapi dengan stasiun pompa yang terletak di Bendung Curug dan Pengolah

2 14 Air Bersih (PAB), dimana pompa ini membantu menaikkan air ke kanal agar mencapai tinggi muka air normal. Tabel 1. Stasiun Pompa Air dan Kapasitasnya di Daerah Irigasi Jatiluhur Stasiun Pompa Jenis Unit Kapasitas (m 3 /detik) Pompa Terpasang Terpakai Tarum Timur Listrik 8 4 x x x x Tarum Barat Hidrolik x x 4.00 PAB Pejompongan Listrik 4 4 x x cadangan Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Pemanfaatan air saat ini untuk irigasi, domestik, munipical dan industri, dan penyimpanan serta transfer air. Permintaan air di wilayah hilir dipengaruhi oleh transfer antar daerah aliran sungai ke wilayah Jabotabek. Suplai air untuk Jabotabek akan diberikan oleh sejumlah DAS yang lokasinya di Timur dan Barat, dengan sistem Citarum sebagai sumber utama. Suplai air di daerah aliran sungai Citarum akan meningkat dengan makin berkembangnya permintaan air di wilayah Jabotabek Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur terdiri dari 3 wilayah sesuai dengan saluran induk yang ada, yakni Tarum Utara, Tarum Timur dan Tarum Barat. Wilayah Tarum Barat meliputi Kabupaten dan Kota Bekasi, berbeda dengan 2 wilayah lainnya, wilayah berkembang mengarah menjadi pusat industri dan pemukiman. Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah Tarum Utara dan Tarum Timur yang merupakan wilayah sentra produksi pangan. Penggunaan lahan di wilayah ini dikategorikan dalam: (1) pemukiman, (2) sawah irigasi teknis, (3) ladang, (4) padang rumput dan lahan kritis, (5) hutan rakyat dan negara, (6) lahan industri/pabrik, (7) rawa, empang dan kolam, dan

3 15 (8) penggunaan lainnya, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Tata Guna Lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun 2003 Penggunaan Lahan Kota Kabupaten Kara- Luas (hektar) Subang Indra- Total Jawa Barat Bekasi Bekasi wang mayu DIJ Sawah Irigasi Tehnis (1.08) (29.43) (45.36) (29.28) (32.24) (33.21) (10.62) Irigasi Semitehnis (0.17) (4.90) (2.89) (4.08) (9.43) (5.31) (3.44) Irigasi Sederhana (0.00) (0.70) (2.19) (1.09) (1.36) (1.33) (0.29) Tadah hujan (2.60) (6.50) (1.78) (3.77) (11.40) (5.85) (4.72) Non PU (0.14) (1.89) (0.00) (3.09) (1.24) (1.54) (4.61) Lainnya (0.00) (0.53) (0.00) (0.00) (0.71) (0.29) (0.08) Total Lahan kering Pemukiman (31.97) (17.43) (17.31) (11.98) (12.98) (15.07) (11.08) Ladang (60.45) (12.34) (4.39) (13.64) (3.63) (9.74) (22.10) Padang rumput (0.00) (0.00) (0.15) (0.24) (0.00) (0.10) (0.88) Lahan kritis (0.00) (0.99) (0.24) (0.19) (0.03) (0.29) (0.35) Hutan Rakyat (0.00) (2.07) (1.06) (6.15) (2.88) (3.13) (6.16) Hutan Negara (0.00) (0.00) (7.16) (7.46) (11.56) (7.02) (16.15) Lahan Industri (0.00) (0.80) (1.02) (10.52) (0.57) (3.48) (8.97) Rawa (0.04) (0.13) (0.01) (0.21) (0.16) (0.13) (0.30) Bangunan Air (0.00) (8.01) (6.20) (2.44) (3.24) (4.47) (1.02) Empang (0.29) (1.10) (0.92) (1.04) (0.71) (0.91) (0.88) Lainnya (3.25) (24.39) (20.51) (8.94) (18.96) (16.37) (8.17) Total Lahan Kering+Sawah Total Prov Jabar (km2) Sumber : BPS (2003) Keterangan : ( ) nilai persentase; DIJ : Daerah Irigasi Jatiluhur Tata guna lahan di Daerah Irigasi Jatiluhur didominasi sawah irigasi tehnis, proporsi tertinggi di wilayah Kabupaten Karawang (45.36 persen) diikuti Indramayu (32.24 persen), Bekasi (29.43 persen), Subang (29.28 persen) dan terakhir Kota Bekasi (1.08 persen). Kondisi ini menunjukan sektor yang paling dominan di wilayah tersebut, seperti Kota Bekasi merupakan wilayah yang terus berkembang menjadi wilayah perkotaan, seiring dengan peranannya sebagai

4 16 wilayah penyangga Jakarta, dan berperan sebagai kota satelit dari Jakarta (Tabel 2). Begitu juga dalam pengaturan dan penyaluran air baku PAM DKI dilakukan di Bendung Bekasi serta penggelontoran Sungai Ciliwung guna pemeliharan saluran. Proporsi terbesar penggunaan lahan di Kota Bekasi didominasi ladang, ada dua kemungkinan penyebab terjadinya pengalihan fungsi lahan menjadi ladang, yakni dari dulunya peruntukannya untuk ladang atau konversi dari sawah irigasi. Kemungkinan kedua yang paling banyak terjadi, dari pengamatan di lapang alih fungsi ini sengaja dilakukan sebagai respons dari pertambahan jumlah penduduk yang pesat serta nilai ekonomi tanah pemukiman yang lebih tinggi dan terus meningkat. Kota Bekasi akan terus berkembang sebagai wilayah pemukiman, dimana proporsi pemukiman mencapai persen dan bila lahan kering (ladang) beralih fungsi menjadi pemukiman maka sebagian besar wilayah tersebut menjadi wilayah perkotaan Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur Tingkat pertumbuhan ekonomi DI Jatiluhur sebesar 9.30 persen dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Karawang persen, diikuti dengan Kabupaten Subang sebesar persen, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan provinsi Jawa Barat (11.20 persen). Wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut merupakan wilayah sentra produksi pangan di Daerah Irigasi Jatiluhur atau didominasi sektor pertanian apabila dihubungkan dengan tata guna lahan di wilayah tersebut, sedangkan Kota Bekasi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dibawah dari kedua wilayah ini. Kabupaten Indramayu tingkat pertumbuhan ekonominya terendah (5.1 persen), kabupaten ini juga merupakan sentra produksi pangan

5 17 dengan proporsi luas sawah irigasi tehnisnya di urutan ke 3 setelah ke 2 wilayah diatas. Tabel 3. Kondisi Perekonomian di Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun Kabupaten Tkt Pert PDRB ( milyar rupiah) dan Kota (%/thn) (1 ) Kota Bekasi Bekasi Karawang Subang Indramayu Total Jawa Barat Sumber: BPS.(2004b) Keterangan (1) Harga berlaku Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak menggambarkan besarnya PDRB. Kabupaten Bekasi memiliki PDRB tertinggi, tetapi tingkat pertumbuhannya tidak tinggi, dan merupakan wilayah pada urutan ke 4 dalam dominasi sawah irigasinya. Kabupaten Indramayu. dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah memiliki PDRB tertinggi dibanding wilayah lainnya. Begitu pula dengan Kota Bekasi tingkat pertumbuhan berada pada urutan ketiga memiliki PDRB lebih besar dibandingkan kedua wilayah diatas. Tabel 4 menggambarkan jumlah penduduk di DI Jatiluhur, dimana total penduduk 8.61 juta jiwa dan tinggal dalam 1.97 juta rumah tangga. dengan ratarata anggota per rumah tangga 4.64 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di wilayah perkotaan seperti Kota dan Kabupaten Bekasi. dimana pada tahun antara persen dan persen. diperkirakan tingkat pertumbuhan pada tahun sebesar persen dan persen. Tingkat pertumbuhan penduduk ini sangat berbeda dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat, yang berkisar antara persen dan persen.

6 18 Tabel 4. Distribusi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur pada Tahun 2003 Penduduk (jiwa) Rumah Jumlah Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Total tangga Anggota RT Kota Bekasi Kabupaten Bekasi Karawang Subang Indramayu Total (%) (50.90) (49.10) (100) (100) Sumber ; BPS (2003). Kabupaten Karawang dengan pertambahan penduduk sebesar 11,17 persen dan diprediksi pada antara tahun 2005 sampai dengan 2010 tingkat pertambahan penduduknya lebih rendah berkisar 9.15 persen. Kabupaten Subang dan Indramayu keduanya di atas 4.00 persen pada tahun 2000 sampai dengan 2005, dan diperkirakan akan menurun diatas 3,00 persen antara tahun (BPS 2001). Tabel 5. Pertumbuhan Penduduk Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun Kota Jumlah Penduduk Tkt Jumlah Penduduk Tkt dan (ribu jiwa) Pertumb (ribu jiwa) Pertumb Kabupaten (%) 2010 (%) Kota Bekasi Bekasi Karawang Subang Indramayu Total Provinsi Jabar Sumber : BPS (2001) Hasil sensus tahun 2000, menunjukan dalam lima tahun terakhir telah terjadi migrasi penduduk ke Kota dan Kabupaten Bekasi, dengan tingkat migrasi masing-masing persen dan persen. Kondisi ini sangat berbeda dengan Kabupaten Karawang dengan tingkat migrasinya 8.99 persen dan 3.23

7 19 persen untuk Kabupaten Subang dan Indramayu. Pola migrasi di DI Jatiluhur khususnya Kota Bekasi, persen dari penduduk yang bermigrasi merupakan penduduk baru atau 6.77 persen dari total penduduk. Tata guna lahan, pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk menunjukkan bahwa Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang perkembangannya paling pesat, dari wilayah sentra produksi pangan menjadi wilayah perkotaan. Penurunan proporsi sawah irigasi tehnis maupun setengah tehnis, dan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, berarti menurunkan kebutuhan air irigasi. Penurunan kebutuhan air irigasi bukan berarti penurunan kebutuhan air baku untuk sektor lainnya, tetapi justru kebutuhan air non pertanian meningkat secara tajam. Gambaran ini menunjukkan bahwa wilayah Tarum Barat merupakan wilayah dengan persaingan antar sektor pengguna air lebih besar dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya, dan dibutuhkan pengelolaan sumberdaya air yang efisien Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur Pada tahun 1956 Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri terakhir Indonesia yang mendeklarasikan tentang Proyek Serbaguna Jatiluhur. Tujuan utama proyek tersebut meningkatkan produktivitas padi untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Proyek pembangunan Waduk Jatiluhur (Proyek Jatiluhur) dimulai tahun 1957, dibagi dalam dua kegiatan, pertama membangun waduk yang membendung Sungai Citarum dengan kapasitas 3 juta meter kubik, dengan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 150 MW. Kedua, membangun sistem irigasi yang mencakup 240 ribu hektar sawah irigasi tehnis di wilayah utara Provinsi Jawa Barat yang dihubungkan dengan sistem irigasi Walahar dan Salamdarma, dengan dua kali panen dalam setahun. Proyek ini selesai pada

8 20 tahun 1967, waduk ini kemudian dinamakan Waduk Ir. Djuanda sedangkan wilayah pelayanannya disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. Pengelola waduk Jatiluhur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/1967 tanggal 24 Juli 1967 diubah menjadi Perusahaan Umum Jatiluhur. Pada tahun 1970 dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1970 diubah menjadi Perum Otorita Jatiluhur, sebagai perusahaan yang bertujuan memperoleh profit. Pengelolaan air irigasi merupakan pengelolaan sosial bukan komersial sehingga terjadi benturan antara tujuan perusahaan untuk mencapai profit dengan tujuan pembangunan waduk untuk menopang ketersediaan pangan. Pengelolaan waduk secara efisien dan efektif perlu dilakukan sehingga konflik kepentingan tidak terjadi. Berdasarkan alasan diatas pemerintah mengubah status Perum Otorita Jatiluhur dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1980, Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perusahaan Umum, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 1999 tentang tugas Perum Jasa Tirta II (PJT II) memberikan pelayanan umum dan secara simultan mencari keuntungan sesuai prinsip pengelolaan perusahaan. Adapun visi PJT II mewujudkan kesejahteraan dan perusahaan pengelolaan air dan sumberdaya air yang berkualitas tinggi dalam melayani suplai air secara luas dan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. Sedangkan misi PJT II untuk mewujudkan visi perusahaan melalui (1) suplai air baku bagi kebutuhan air minum, pembangkit tenaga listrik, pertanian, industri, pencucian dan lain-lain, (2) pembangkit tenaga listrik dan suplai tenaga listrik, (3) pengembangan pariwisata dan pemanfaatan lahan, (4) menjaga ketahanan pangan dalam artian mensuplai air pertanian dan mengendalikan aliran untuk kelestarian lingkungan melalui informasi,

9 21 rekomendasi dan arahan, dan (5) memaksimumkan profit dan membantu memperoleh benefit berdasarkan prinsip bisnis, serta menjamin keberlanjutan aset pemerintah dan keberlanjutan pelayanan publik Sistem Operasi dan Prosedur Operasional Waduk Jatiluhur Perkembangan sosial ekonomi kota Jakarta setelah 50 tahun DI Jatiluhur dibangun menyebabkan perubahan permintaan air, terutama pada wilayah Tarum Barat sebagai penyuplai air wilayah tersebut. Peningkatan permintaan air diiringi dengan peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan yang mencemari lahan dan air di wilayah Tarum Barat. Pertumbuhan ekonomi berakibat pada meningkatnya pemakaian lahan untuk pemukiman dan air permukaan sepanjang saluran Tarum Barat. Perluasan wilayah pemukiman yang juga disebabkan peningkatan jumlah penduduk, berakibat pada rusaknya berbagai sarana penyaluran air, dan pengalihan air secara berlebihan dan tidak teratur. Kegiatan ekonomi telah berakibat pada peningkatan erosi yang menyebabkan pendangkalan saluran sehingga menurunkan debit aliran. Sektor pertanian dalam hal ini kelompok tani atau petani dalam mempersiapkan input usahataninya berdasarkan pada proporsi lahan yang akan ditanami, curah hujan dan air yang akan dialokasikan serta intensitas tanam. Meskipun curah hujan sulit untuk diperkirakan dan hanya sekitar 80 persen air hujan efektif yang dapat digunakan. petani sangat bergantung pada ketersediaan air di saluran irigasi. Banyaknya air yang akan dialokasikan ditetapkan oleh Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Perkiran curah hujan berdasarkan pada data historis 4 atau 5 tahun yang lalu, sehingga seringkali curah hujan aktual melebihi angka perkiraan yang berakibat pada kelebihan suplai air atau sebaliknya dibawah angka perkiraan

10 22 yang berakibat terjadinya kekurangan air. Apabila terjadi kelebihan suplai air dapat dilakukan penyimpanan atau mengurangi jumlah yang dikeluarkan dari waduk tetapi apabila terjadi kekurangan menyebabkan jumlah air yang disuplai lebih besar dari yang direncanakan sehingga mempengaruhi ketersediaan air di waduk. Selama musim kering (bulan Mei sampai dengan September) tahun berjalan, Organisasi Pemakai Air merencanakan areal yang akan ditanami dan intensitas tanam, dimulai pada bulan Oktober dan akan berakhir pada bulan September tahun berikutnya. Komisi Irigasi Tingkat Provinsi mengesahkan rencana yang diajukan Organisasi Pemakai Air. Pemberian air berdasarkan pada evapotranspirasi, faktor tanaman, perkolasi dan tergantung pada hujan efektif (80 persen) dan efisiensi saluran pada masing-masing wilayah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). PPTPA pada tingkat DAS mendiskusikan rencana dan merekomendasikan kesimpulannya pada Gubernur bersama dengan rencana alokasi air untuk pengguna lainnya seperti PLTA, munipical dan industri termasuk Jakarta. Perubahan alokasi areal yang akan ditanami secara substansial akan merubah jumlah air yang akan dialokasikan. Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang alokasi air tiap tengah bulanan merupakan dasar rekomendasi pada setahun mendatang. Keputusan Gubernur tersebut diteruskan kepada PJT II yang menanggapinya dengan membuat instruksi operasional sistem pengelolaan sumberdaya air, yang disebut Keputusan Direktur PJT II. PJT II menyalurkan air dari Waduk Juanda dan menyalurkan ke Bendung Curug untuk diteruskan melalui Kanal Tarum Utara, Tarum Barat dan Tarum Timur. Keputusan Gubernur menetapkan alokasi air selama 12 bulan menjadi instruksi kepada PJT II untuk pengoperasian waduk, bendung dan saluran induk. PJT II membagi wilayah kerjanya dalam 5 sub wilayah yang disebut divisi, yakni

11 23 1. Divisi I, yang dialiri oleh Saluran Induk Tarum Barat mencakup Kabupaten dan Kota Bekasi. 2. Divisi II, yang dialiri Saluran Induk Tarum Timur mencakup Kabupaten Subang dan Indramayu. 3. Divisi III, yang dialiri Saluran Induk Tarum Utara mencakup Kabupaten Krawang. 4. Divisi IV, Stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 5. Divisi V, mencakup wilayah disebelah hulu Waduk Juanda. Divisi membagi wilayahnya menjadi beberapa seksi, yang mencakup suatu wilayah pengamatannya, tugasnya meliputi operasional bendung, pintu air dan banyaknya air yang disalurkan. Total pintu sadap dan pembagi pada saluran primer dan sekunder masing-masing berjumlah ribu buah dan 895 buah. sedangkan total pintu sebanyak 1.10 ribu buah. Operasional dan tanggung jawab pada saluran tersier menjadi tanggung jawab dari Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Banyaknya P3A di wilayah Tarum Barat. Timur dan Utara masingmasing sebanyak ribu dan 900 buah. P3A cukup menjamin efektifitas operasional. Sistem operasional yang dilakukan PJT II dalam menyalurkan air dari Waduk Juanda, pengendalian ketinggian air dilakukan di Bendung Curug dan menyalurkannya melalui pompa ke saluran induk Tarum Barat dan Tarum Timur maupun melalui pengaturan pintu air ke Tarum Utara. Pengaturan tinggi muka air guna penyaluran air ke Tarum Utara cukup hanya dengan pengaturan pintu air di Bendung Walahar. Pusat operasional PJT II cepat dalam menanggapi kebutuhan air di wilayah hilir dan mengatur sistem penyaluran air setiap hari. Data curah hujan yang terjadi akan mempengaruhi operasional yang dilakukan, yakni dengan mengubah jumlah air yang disalurkan ke hilir. Prosedur penyaluran yang dilakukan PJT II dapat dilihat pada skema diatas (Gambar 1).

12 24 PPTPA GUBERNUR SKEP KOMISI IRIGASI AREAL IRIGASI PUSAT OPERASI PJT II SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN DIVISI OPERASI T M S STASIUN CURAH INSTRUKSI TMA KANTOR WADUK JUANDA KANTOR BENDUNG CURUG DIVISI-DIVISI PJT II PDAM Gambar 1. Skema Prosedur Operasional Waduk Juanda Air irigasi ditambah dengan curah hujan efektif dapat memenuhi kebutuhan tanaman padi. Berdasarkan data dari PJT II, dalam satu tahun terdapat 120 sampai dengan 130 hari hujan, dengan curah hujan 18 mm sampai dengan 20 mm atau 2.40 ribu mm per tahun. Sebidang sawah yang menerima air hujan, kelebihan airnya akan dialirkan ke sawah lainnya pada hari berikutnya. Air yang diterimanya akan mencukupi kebutuhannya dalam sehari dengan asumsi setiap harinya air yang dibutuhkan sebanyak 5 mm sampai dengan 10 mm per hari. Berdasarkan data dari PJT II, bahwa sejak turun hujan sampai digunakan membutuhkan waktu paling lama 3 hari, hari pertama menerima air hujan, hari kedua mengalirkannya dan hari ketiga mengkonsumsinya.

13 25 Prosedur pemakaian air hujan dalam hari operasional merupakan kondisi teraman, dalam prakteknya pemakaian air hujan pada hari operasional dengan asumsi tidak turun hujan pada hari yang keempat. Pengoperasiannya membutuhkan waktu pengantaran air ke wilayah permintaan, waktu yang dibutuhkan kurang lebih setengah hari dengan debit 0.6 meter per detik, dengan kata lain air yang disalurkan dari Bendung Curug akan diterima di wilayah permintaan pada hari berikutnya Ketersediaan dan Alokasi Sumberdaya Air. DI Jatiluhur merupakan wilayah yang menerima pelayanan dari jaringan yang dikelola PJT II, dan sistem pengairan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Wilayah pelayanan DIJ berdasarkan pada tiga saluran induk yakni Tarum Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara. Air keluar dari Waduk Jatiluhur ke Bendung Curug dan disalurkan ke tiga saluran induk yang ada. Saluran induk Tarum Utara menghubungkan daerah irigasi yang dilayani Bendung Walahar yang telah ada sebelum Waduk Jatiluhur dibangun, dan merupakan aliran sungai Citarum. Suplai utamanya berasal dari Bendung Curug, seluruh kebutuhan wilayah ini dipenuhi dari Waduk Jatiluhur. Saluran induk Tarum Timur menghubungkan Bendung Curug dengan Daerah Irigasi Cipunegara, Cimalaya dengan bendung terhilirnya Bendung Salamdarma, serta bendung-bendung lainnya dengan kapasitas lebih kecil yang berada di wilayah ini. Saluran induk Tarum Barat dengan bendung terhilirnya Bendung Bekasi, dibuat bersamaan dengan Waduk Jatiluhur. Bendung Bekasi ini sebagai pemasok utama air baku wilayah Jakarta serta mengairi daerah persawahan yang ada dan penggelontoran sungai Ciliwung.

14 SKEMA SISTEM PENGAIRAN JATILUHUR LAUT JAWA Q maks 800 m3/det Q maks 300 3/d t B.Bekasi C B L B.Karang Q maks 1600 m3/det B..Kedung Gede Saluran Tarum Barat Saluran Tarum Utara Cab Barat Saluran Tarum Utara Cab Timur Saluran Tarum Utara B. Walahar Ciherang Saluran Tarum Timur Q max 678 m3/det Q maks 350 m3/det B.Jengkol Cilamay a B. Gadung Ciasem Q maks 1050 m3/det B. Lebiah B.Beet B.Curug Citarum B.Barugbug B. Salamdarma Ciliwung K.Bekasi S Cikarang S.Cibeet Waduk Ir. H. Djuanda Volume 2.5 Mm3 ( m ) Cijengkol Cigadung Cipunegara Cilalanang Waduk Cirata Volume 1.9 Mm3 ( m) Wadulk Saguling Volume 0.9 M m3 ( m 3 Gambar 2. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur 26

15 27 DI Jatiluhur dirancang sebagai sentra produksi padi untuk menopang ketahanan pangan nasional, namun dalam perkembangannya, bertambahnya jumlah penduduk pada masing-masing wilayah dan meluasnya wilayah pemukiman serta meningkatnya sektor industri menyebabkan kebutuhan air non pertanian terus meningkat dari waktu ke waktu, meskipun sektor pertanian masih merupakan pemakai air terbesar. Sektor pengguna air yang bersumber dari Waduk Jatiluhur ini terdiri dari sektor pertanian, industri dan perusahaan daerah air minum (PDAM). Apabila dilihat pada neraca penggunaan air tahunan di DI Jatiluhur (Tabel 6), total pemakaian air dibandingkan dengan air yang tersedia baik yang berasal dari inflow sungai Citarum maupun sumber yang ada pada masing-masing wilayah dan curah hujan yang terjadi menunjukkan proporsinya antara persen sampai dengan persen. Setiap tahun selalu terdapat surplus air, yang berarti menambah stok pada Waduk Jatiluhur, baik pada tahun normal maupun ketika El Nino terjadi yakni pada tahun 1997 dan Anomali iklim ini menurunkan ketersediaan air yakni sekitar 7.88 milyar meter kubik (tahun 1997) dan 7.91 milyar meter kubik (tahun 2003). Penurunan air yang tersedia ini berakibat pada meningkatnya proporsi air yang digunakan yakni sekitar persen dan persen. Sektor pertanian sebagai pengguna air terbesar yakni sebesar persen (tahun 1994), mulai tahun 1999 sampai tahun 2004 proporsi sektor pertanian terus menurun dari persen menjadi persen dari total air yang digunakan. Komoditi utama yang memanfaatkan sumberdaya air tersebut yakni padi, dengan luas lahan irigasi tehnis berkisar 240 ribu hektar. Pada tahun 2003, dimana merupakan tahun dengan curah hujan lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya memanfatkan sekitar persen dari total air yang digunakan.

16 28 Tabel 6. Neraca Air Daerah Irigasi Jatiluhur Tahun KETERSEDIAAN AIR (juta m 3 ) PEMAKAIAN AIR ( juta m 3 ) TAHUN SUMBER AIR Irigasi Domestik Peternakan Industri Total Surplus/ Citarum Setempat Total Perikanan Defisit (58.34) (41.66) (92.21) (5.64) (1.23) (0.93) (52.84) (47.16) (93.25) (4.50) (1.19) (1.06) (53.10) (46.90) (93.54) (4.56) (0.82) (1.08) (58.93) (41.07) (90.85) (6.56) (1.05) (1.54) (50.83) (49.17) (92.30) (5.77) (0.62) (1.31) (54.35) (45.65) (90.76) (6.75) (0.73) (1.76) (47.43) (52.57) (90.98) (6.51) (0.70) (1.80) (52.43) (47.57) (90.44) (6.75) (0.65) (2.16) (48.50) (51.50) (88.85) (8.02) (0.73) (2.40) (54.28) (45.72) (87.31) (9.39) (0.69) (2.61) Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase Pemakai air terbesar kedua adalah PDAM. dimana PJT II melayani beberapa PDAM yakni dari Kabupaten Indramayu, Subang, Purwakarta, Krawang, Bekasi dan DKI Jakarta. Proporsi penggunaan air sektor ini terus meningkat sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 yakni 6.75 persen dan 9.39 persen. Industri merupakan sektor pemakai air Jatiluhur, dengan total pemakaian air paling kecil dibandingkan kedua sektor lainnya. Industri yang ada di DI Jatiluhur sangat bervariasi jenis, skala serta kebutuhan airnya. Proporsi sektor industri hanya sekitar 0.93 persen pada tahun 1994 dan 2.61 persen pada tahun Meskipun proporsinya kecil dalam penggunaan air tetapi limbah yang dihasilkan oleh kegiatan sektor ini mempengaruhi kualitas air di wilayah hilirnya. Neraca air di Daerah Irigasi Jatiluhur yang terdapat pada Tabel 6 menggambarkan surplus air selama periode , hal ini bertentangan

17 29 dengan kenyataan dimana terjadi kelangkaaan air irigasi di wilayah tersebut terutama pada musim kemarau dan pada saat adanya El Nino (1997 dan 2003). Neraca air ini dibuat berdasarkan data tahunan yang merupakan kumulatif dari penyaluran air tengah bulanan, sehingga tidak merefleksikan variasi alokasi air berdasarkan waktu dan musim. Wilayah Tarum Utara merupakan wilayah yang sumber air utamanya berasal dari Waduk Jatiluhur, pada Tabel 7 terlihat behwa terdapat surplus setiap tahunnya, bukan berarti di wilayah tersebut tidak mengalami kelangkaan air. Sama seperti gambaran dari neraca DIJ, neraca air per wilayah berdasarkan layanan saluran induk yang ada merupakan kumulatif tahunan sehingga tidak dapat mengindikasikan terjadinya surplus atau defisit air sepanjang tahun. Tabel 7. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Utara Tahun KETERSEDIAAN PEMANFAATAN PERIODE (juta m 3 ) (juta m 3 ) CURUG IRIGASI PDAM INDUSTRI TOTAL (99.52) (0.23) (0.25) (99.57) (0.20) (0.24) (99.53) (0.19) (0.28) (99.50) (0.19) (0.31) (99.52) (0.21) (0.27) (97.14) (0.26) (2.59) (97.91) (0.29) (1.81) (97.90) (0.29) (1.82) (97.91) (0.29) (1.80) (97.82) (0.35) (1.83) (98.13) (0.31) (1.56) Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase

18 30 Pemakai air paling dominan di wilayah ini adalah sektor pertanian, yakni sekitar persen (tahun 1994) dan persen (tahun 2004) sedangkan PDAM dan industri memanfaatkan 0.31 persen dan 1.56 persen pada tahun Sektor industri meningkat pesat sejak tahun 1999, selain disebabkan bertambahnya industri pemakai air tetapi juga ada beberapa pengalihan pelayanan, pengalihan pelayanan dari Tarum Barat ke Tarum Utara. Proporsi total penggunaan air terbesar terjadi pada tahun 2003 yakni sebesar persen dari air yang disalurkan sedangkan pada tahun-tahun normal hanya sekitar 47 persen. Hal ini menandakan bahwa debit sungai Citarum sebagai sumber utama mengalami penurunan yang berarti sehingga air yang disalurkan hanya sebesar yang dibutuhkan, sedangkan pada tahun normal kelebihan air dari sungai Citarum dibuang melalui saluran ini. Wilayah Tarum Timur merupakan wilayah sentra produksi padi, sehingga sektor pertanian mendominasi pemakaian air di wilayah ini, sama dengan wilayah Tarum Utara. Sektor domestik dan industrinya pengguna air dengan proporsi kecil, dan peningkatan penggunaannya relatif kecil. Selain ketiga sektor tersebut, di wilayah ini ada sektor pengguna lainnya yakni sektor agroindustri. Sektor pertanian pada tahun 2004 memanfaatkan sekitar 51 persen dari air yang tersedia (Tabel 8). PDAM dan industri tidak terlalu pesat perkembangannya, pada tahun 2004 masing-masing hanya menggunakan 0.16 persen dan 0.66 persen. Sektor industri perkembangannya tidak sepesat di Wilayah Tarum Utara. Sektor agroindustri menggunakan air sebesar 3.46 persen (tahun 1994) dan 2.20 persen (tahun 2004). Neraca air wilayah ini menunjukkan bahwa wilayah Tarum Timur merupakan sentra produksi pangan (khususnya padi) dan wilayah dengan perkembangan agroindustri yang tidak terdapat di wilayah lainnya.

19 31 Tabel 8. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Timur Tahun KETERSEDIAAN PEMANFAATAN PERIODE (juta m 3 ) (juta m 3 ) SBR LAIN CURUG TOTAL IRIGASI AGROIN PDAM INDUSTRI TOTAL (72.54) (27.46) (96.08) (3.46) (0.09) (0.37) (77.65) (22.35) (96.11) (3.40) (0.06) (0.43) (73.33) (26.67) (96.97) (2.59) (0.06) (0.39) (62.23) (37.77) (97.30) (2.22) (0.05) (0.43) (77.39) (22.61) (97.68) (1.80) (0.05) (0.46) (72.49) (27.51) (97.39) (2.10) (0.05) (0.47) (74.64) (25.36) (97.62) (1.88) (0.04) (0.45) (76.95) (23.05) (97.85) (1.68) (0.05) (0.42) (71.64) (28.36) (97.04) (2.20) (0.11) (0.65) (61.28) (38.72) (96.92) (2.16) (0.18) (0.74) (71.09) (28.91) (96.98) (2.20) (0.16) (0.66) Sumber : Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase Wilayah yang paling cepat perkembangannya sektor non pertaniannya adalah wilayah Tarum Barat, wilayah ini berbatasan langsung dengan Jakarta dan merupakan pemasok air baku untuk PAM DKI. Konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman juga meningkat pesat, meskipun sampai saat ini sektor pertanian masih mendominasi pemakaian air sebesar persen pada tahun 2004 (Tabel 9). Sektor domestik (khususnya PAM DKI) merupakan pengguna air terbesar kedua yakni sebesar persen sedangkan PDAM lainnya hanya sebesar 1.17 persen. Sektor industri menggunakan air sebesar 2.21 persen dari total air yang digunakan pada tahun Proporsi penggunaan air sektor pertanian menurun dari tahun ke tahun, seiring dengan peningkatan penggunaan dari PAM DKI, industri dan PDAM lainnya. Perkembangan yang pesat dari kedua sektor non pertanian merupakan gambaran pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri di wilayah

20 32 ini, juga meningkatnya wilayah perkotaan. Peningkatan wilayah perkotaan terjadi dengan mengkonversi lahan pertanian menjadi pemukiman. yang berakibat pada menurunnya penggunaan air sektor pertanian. Tabel 9. Ketersediaan dan Pemanfaatan Air di Wilayah Tarum Barat Tahun KETERSEDIAAN PEMANFAATAN PERIODE (juta m 3 ) (juta m 3 ) SBR LAIN CURUG TOTAL PERTANIAN INDUSTRI PDAM PAM DKI TOTAL (64.85) (35.15) (84.61) (0.44) (0.15) (14.80) (68.99) (31.01) (87.40) (0.58) (0.21) (11.81) (73.70) (26.30) (88.54) (0.65) (0.19) (10.62) (59.33) (40.67) (82.73) (1.36) (0.34) (15.57) (71.86) (28.14) (82.60) (1.38) (0.34) (15.69) (63.91) (36.09) (82.15) (1.06) (0.61) (16.18) (60.63) (39.37) (83.06) (1.10) (0.62) (15.22) (61.52) (38.48) (78.51) (1.50) (0.90) (19.09) (62.69) (37.31) (82.37) (1.65) (0.85) (15.12) (54.09) (45.91) (79.53) (2.16) (1.17) (17.15) (61.70) (38.30) (79.80) (2.21) (1.17) (16.82) Sumber: Perum Jasa Tirta II (2004) Keterangan : ( ) nilai persentase Wilayah Tarum Barat sebagai wilayah penyangga DKI Jakarta, merupakan wilayah dengan pertumbuhan non pertanian lebih pesat dari kedua wilayah lainnya di DIJ. Perkembangan pemakaian air sektor non pertanian seiring dengan pengalihan lahan dari areal pertanian ke pemukiman dan industri, konversi lahan akan menggeser fungsi utama wilayah ini, bukan lagi sebagai sentra produksi pangan tetapi sebagai wilayah perkotaan dan industri. Peralihan dari fungsi wilayah ini, diduga akan meyebabkan persaingan antar sektor pengguna air di wilayah tersebut.

21 Institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum DI Jatiluhur sebagai bagian dari DAS Citarum, dalam pengelolaannya akan sangat terkait dengan pengelolaan DAS Citarum, termasuk institusi yang terkait. Berbagai institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum, diantaranya: (1) Departemen Kehutanan, (2) Departemen Pertambangan dan Energi, (3) Kementerian Lingkungan Hidup, (4) Departemen Dalam Negeri, (5) Departemen Pekerjaan Umum, (6) Departemen Pertanian, (7) Departemen Perdagangan dan sebagainya. Berbagai institusi dalam pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur, seperti (1) Perum Jasa Tirta II, (2) PIPWS Citarum, (3) Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, (4) Dinas/Sub Dinas Pengairan Kabupaten, (5) PT PLN Persero, (6) Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai, (7) Dinas Pengelolan SDA Provinsi Jawa Barat, (8) Bapedalda, dan (9) Bapeda Provinsi. Situasi tersebut menyebabkan tugas dan tanggung jawab atau mandat yang diberikan pada lembaga atau institusi seperti PJT II sebagai operator DAS Citarum menjadi sulit dan tidak jelas, dimana setiap institusi atau lembaga memiliki rencana dan program pengelolaan sumberdaya air. Di wilayah Citarum Hulu, terdapat berbagai program antara lain : Program Pengendalian Banjir dan Kekeringan, Program Pembangunan Bendungan kecil di Sungai Cikapundung, Program Pembagian Aliran dari Cibutarua ke Cisangkuy, Proyek Pengembangan Penanaman Wilayah Hulu di Citarik. Semua rencana dan program diatas seharusnya dapat dikoordinasikan dalam Rencana Induk Pengelolan Sumberdaya Air Terpadu Citarum (Master Plan of Integrated Citarum Water Resources Management). Ringkasan tugas dan tanggung jawab beberapa lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya air di Citarum dapat dilihat dengan jelas pada Tabel 10.

22 34 Tabel 10. Tanggung Jawab Institusi Pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2006 Deskripsi Wil Tangkapan Air Kualitas Air Kuantitas Air Lingkungan Sungai Banjir dan Kekeringan Infrastruktur Pusat dan Lokal Dep. Pertamben Dep. Kehutanan Dep. Pertanian Dep. PU Kementrian LH Dep Perhub. Dep.Industri Dep. Kesehatan Bapedalda Bappeda Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : : Ya. : Tidak Tabel 11 menggambarkan institusi dan lembaga yang melakukan perencanaan, operasional, pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan di DAS Citarum. Tanggung jawab satu dengan lainnya menjadi tumpang tindih sehingga wilayah kerja masing-masing institusi tidak jelas. Sebagai contoh dalam mengevaluasi kualitas air, PJT II sebagai operator fasilitas pengelolaan berdasarkan pada Peraturan Gubernur No.94 tahun 1999 hanya diijinkan mengambil contoh dan menganalisis sumberdaya air di badan sungai (instream), dan tidak berhak terhadap sumberdaya air di daratan (off-stream), meskipun banyak polutan dan limbah terjadi dan berasal dari wilayah tersebut. Koordinasi pengelolaan sumberdaya air melalui batasan kuantitas air ada pada Panitia Provinsi Tata Pengaturan Air (PPTPA) yang dibentuk oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No:614.05/S.K.835.HUK/97, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 67/PRT/1993 tentang PPTPA dan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). PPTPA diketuai oleh Kepala Kantor Koordinasi Wilayah Purwakarata, Wakil

23 35 Presiden Direktur PJT II, sedangkan sebagai Sekretaris Panitia adalah Direktur Opersional PJT II, dan sebagai anggota panitia semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum. Tabel 11. Institusi-institusi Terkait dalam Pengelolaan DAS Citarum Tahun 2006 No Institusi/Lembaga Operasional Pemeliharaan Rehabilitasi Pengembangan Pemantauan Perencanaan 1. Proyek Pengembangan DAS Citarum 2. Proyek Andalan Irrigation Jawa Barat 3. Perum Jasa Tirta II 4. Dinas Pengairan Kabupaten 5. Balai Pengelolaan Wilayah Sungai Citarum 6. Dinas Pengelolaan SDA Prov. Jawa Barat 7. Bapedalda 8. Bappeda Provinsi Jawa Barat 9. PT. PLN (Persero) 10 Perhutani 11 PNP Sumber : Direktorat SDA Departemen PU (2006) Keterangan : : Ya. : Tidak Panitia menyiapkan program suplai air tahunan untuk berbagai penggunaan di wilayah hilir Citarum serta menyiapkan dan menetapkan operasioal terpadu waduk yang ada di Citarum dengan asumsi kondisi hidrolis. Koordinasi antar institusi ataupun lembaga yang terlibat dalam pengelolan DAS Citarum tidak dilakukan dengan baik sehingga berbagai program menjadi tumpang tindih serta tanggung jawab setiap institusi menjadi tidak jelas. Akibatnya ketika terjadi bencana yang disebabkan pengelolaan yang tidak terkoordinasi, akan sulit mencari penyebab dab penanggung jawabnya.

24 Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Guna menjaga kelestarian daerah tangkapan air. pemerintah daerah merencanakan program koordinasi antar institusi yang terlibat antara lain. Pemerintah Daerah Kabupaten, Perum Perhutani, PN Perkebunan, Bapedalda, Tokoh Masyarakat dan PJT II. Program telah menetapkan Arboretum di Wayang Windu, Air terjun Citarum di Gunung Wayang, Desa Kertasari, Kecamatan Taruma Jaya, Kabupaten Bandung. Arboretum merupakan percontohan penghutanan kembali lahan yang telah dijadikan perkebunan secara tidak sah oleh rakyat setempat. PJT II menyumbang ribu pohon yang ditanam langsung di Wayang Windu, dan memagari sekeliling areal. Program resettlement Kampung Pasir Peundey, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung, di Cisangkuy bagian hulu sungai Citarum, pada akhir program PJT II menyumbang 6.72 ribu bibit pohon. Rencana ini diusulkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Warga Peduli Lingkungan dibawah kordinasi BPLHD Provinsi Jawa Barat. Seiring dengan program diatas Dirjen Bangda, Departemen Dalam Negeri mengusulkan Proyek Penanaman dan Pengembangan Tanah Wilayah Hulu di Citarik (Sub DAS Citarum) dengan pendanaan bersama pemerintah Jepang. Areal yang menjadi target proyek adalah lahan pribadi atau masyarakat yang berbatasan dengan areal hutan, proyek ini diperluas ke Sub DAS Cikeruh dan Cirasea Pengelolaan Kualitas Air Institusi kunci dalam pengelolaan kualitas air yakni jasa lingkungan dan BAPPEDALDA pemerintah daerah setempat. Institusi ini memonitor kualitas air di sungai dan drainase, dan bertanggung jawab dalam memelihara kualitas air yang baik.

25 37 PJT II mengimplementasikan Program Air Bersih di Sungai Citarum dan Bekasi sebagai aktivitas pengelolaan kualitas air, PJT II telah memonitor kualitas air pada 70 stasiun sepanjang kedua sungai tersebut dan menganalisa sampel di laboratorium sebulan sekali. Parameter hasil analisa dilaporkan ke institusi terkait di Provinsi Jawa Barat, lembaga lingkungan hidup provinsi dan kabupaten menindak lanjuti hasil laporan tersebut. Telah terjadi beberapa kasus, dimana pemantauan dan laporan tidak tepat waktu sehingga tindak lanjutnya kurang tepat Pengendalian Banjir dan Kekeringan. Kegiatan pengendalian banjir dikoordinasi oleh Satkorlak tingkat kecamatan sedangkan pegawai pemerintah dan staf PJT II merupakan anggota unit tersebut. Kegiatannya meliputi persiapan antisipasi bencana banjir, penyelamatan dan pemulihan. PJT II memfasilitasi dengan bahan dan fasilitas yang ada di sistem jaringan Jatiluhur untuk mencegah banjir. Dalam pengoperasian waduk-waduk di Citarum secara terpadu, PJT II telah menyiapkan dan menetapkan aturan pelaksanaan harian untuk mengatasi banjir dan kekeringan. PJT II memberi peringatan dini bila terjadi banjir ke wilayah bencana, dan tim pengendali banjir untuk mencegah banjir di wilayah hilir. Analisa pengoperasian waduk dengan berbagai kombinasi kesalahan atau kejadian luar biasa yang mungkin terjadi pada ketiga waduk di sungai Citarum. PJT II juga menetapkan dan merancang air yang tersedia selama kemarau melalui pengenalan cara pemberian air gilir-giring pada saluran sekunder sistem irigasi. Selanjutnya koordinasi dengan BBPT dan agensi lain yang berkompeten dalam mempersiapkan dan melakukan pembibitan untuk melakukan hujan buatan pada beberapa wilayah tertentu.

26 Pengelolaan Infrastruktur Tugas dan tanggung jawab PJT II meliputi operasional dan pemeliharaan infrastruktur sampai ke saluran sekunder sistem irigasi yang ada. PJT II tidak berwenang memperbaiki infrastuktur karena merupakan aset pemerintah pusat, semua biaya operasonal dan pemeliharaan dikeluarkan dari anggaran PJT II. Pembangunan dan rehabilitasi infrastuktur sumberdaya air telah dilakukan oleh Proyek Pengembangan DAS Citarum, dibawah pengendalian Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum. Proyek bertanggung jawab atas konservasi air, perbaikan sungai dan provisi air baku. Sedangkan rehabilitasi dan perbaikan saluran sekunder telah dimplementasikan melalui Proyek Andalan Irigasi Jawa Barat, dan anggarannya berasal dari Provinsi Jawa Barat. Banyaknya lembaga atau institusi yang terlibat dalam pengelolaan suatu DAS menimbulkan berbagai masalah yang diakibatkan oleh tidak adanya koordinasi serta menyebabkan ketidak jelasan tanggung jawab apabila terjadi suatu resiko. Selain itu, banyaknya institusi atau lembaga yang terlibat menyebabkan tingginya biaya pengelolaan serta sulitnya mengevaluasi pelaksanaan program tersebut. Pengelolaan suatu DAS sebaiknya dilakukan secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir karena DAS merupakan suatu kesatuan dimana kegiatan ataupun program yang diberlakukan pada wilayah hulu akan mempengaruhi kondisi sumberdaya air di wilayah hilir.

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik bagi

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik bagi BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan Perum Jasa Tirta II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum Bab III Studi Kasus III.1 Daerah Aliran Sungai Citarum Sungai Citarum dengan panjang sungai 78,21 km, merupakan sungai terpanjang di Propinsi Jawa Barat, dan merupakan salah satu yang terpanjang di Pulau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Bentuk, Bidang, Pelayanan Umum Bentuk Usaha. Pembangunan Proyek Nasional serbaguna Jatiluhur yang meliputi bendungan

BAB I PENDAHULUAN Bentuk, Bidang, Pelayanan Umum Bentuk Usaha. Pembangunan Proyek Nasional serbaguna Jatiluhur yang meliputi bendungan BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Bentuk, Bidang, Pelayanan Umum 1.1.1. Bentuk Usaha Pembangunan Proyek Nasional serbaguna Jatiluhur yang meliputi bendungan utama dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR. 6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur

VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR. 6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur 131 VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR 6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Pantai Utara Jawa Barat, dari barat

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK

MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM KOMPETISI ANTAR SEKTOR DI WILAYAH HILIR DAERAH IRIGASI JATILUHUR: PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK THEODORA MAULINA KATIANDAGHO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KEADAAN UMUM DAERAH 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Saluran Tarum Barat di mana saluran ini merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15 V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Objektif Kota Bekasi 5.1.1 Keadaan Geografis Kota Bekasi Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15 LS dengan ketinggian 19 meter diatas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun

Lebih terperinci

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT Oleh : Sri Lestari *) Abstrak Dengan adanya kemajuan bidang industri dan bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan

Lebih terperinci

7. PERUBAHAN PRODUKSI

7. PERUBAHAN PRODUKSI 7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas sekitar 13.000 km2. Sumber daya air ini telah digunakan untuk mensuplai kebutuhan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

Forum Air Jakarta Dorong Peta Jalan Penyelamatan Air Baku

Forum Air Jakarta Dorong Peta Jalan Penyelamatan Air Baku Siaran Pers : Untuk Segera Disiarkan Forum Air Jakarta Dorong Peta Jalan Penyelamatan Air Baku Jakarta, 26 Maret 2012 Masih dalam semangat perayaan Hari Air Dunia 2013, wadah pemangku kepentingan sektor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk Saguling merupakan waduk yang di terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m diatas permukaan laut. Saguling sendiri dibangun pada agustus 1981

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum d

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.663, 2016 KEMENPU-PR. Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai. UPT. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2016 TENTANG

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah dan Perkembangan Untuk memenuhi kebutuhan listrik maka pada tahun 1957 PLN bertugas menyelenggarakan rencana Pembangunan Waduk Ir.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl.

TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl. TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl. HE 1 A. KONDISI KETAHANAN AIR DI SULAWESI Pulau Sulawesi memiliki luas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN & PEMANFAATAN AIR. Ketersediaan Air. PPSE - PIK 2009 July 3, Ketersediaan & Pemanfaatan Air 1. Runoff Relation.

KETERSEDIAAN & PEMANFAATAN AIR. Ketersediaan Air. PPSE - PIK 2009 July 3, Ketersediaan & Pemanfaatan Air 1. Runoff Relation. 1 3 5 7 9 KETERSEDIAAN & PEMANFAATAN AIR Perencanaan Infrastruktur Keairan 12 Februari 2009 Rasional Q = α I A P = a I A Ketersediaan Air ΔQ = P I - E Horton f = fo + (fo- fc) e -kt I = f A Darcy q = k

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan Berkaitan dengan evaluasi karakteristik hidrologi DAS yang mendukung suplai air untuk irigasi maka wilayah DAS Citarum dibagi menjadi

Lebih terperinci

PENINGKATAN EFISIENSI IRIGASI UNTUK KEBERLANJUTAN MANFAAT POTENSI SUMBERDAYA AIR

PENINGKATAN EFISIENSI IRIGASI UNTUK KEBERLANJUTAN MANFAAT POTENSI SUMBERDAYA AIR PENINGKATAN EFISIENSI IRIGASI UNTUK KEBERLANJUTAN MANFAAT POTENSI SUMBERDAYA AIR Kasus Pengairan Jatiluhur Oleh Ir. Sri Hernowo Masjhudi, Dipl.HE Direktur Teknik Perum Jasa Tirta II Abstrak Pengembangan

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA,

WALIKOTA TASIKMALAYA, WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 15A Tahun 2006 Lampiran : - TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG IRIGASI WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2016 TENTANG KRITERIA TIPOLOGI UNIT PELAKSANA TEKNIS

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU,

GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, 1 GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.bahwa demi terselenggaranya penyediaan air yang dapat memberikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat air bagi kehidupan kita antara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sub DAS Cikapundung 4.1.1 Letak dan luas Daerah Sungai Cikapundung terletak di sebelah utara Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, dan merupakan bagian hulu Sungai

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Lokasi Studi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Lokasi Studi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa peran sektor pertanian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara dengan ketersediaan air yang cukup, namun secara alamiah Indonesia menghadapi krisis dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i No.640, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. Irigasi. Komisi. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan barang ultra essential bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa air, manusia tidak mungkin bisa bertahan hidup. Di sisi lain kita sering bersikap menerima

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum PT. Sang Hyang Seri 5.1.1 Sejarah Singkat PT. Sang Hyang Seri PT. Sang Hyang Seri (PT. SHS) merupakan perintis dan pelopor usaha perbenihan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan menyatakan pada pasal 4 ayat 2 bahwa badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpatisipasi dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI 1 / 70 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa irigasi sebagai salah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated IV. GAMBARAN UMUM A. Umum Dalam Pemenuhan kebutuhan sumber daya air yang terus meningkat diberbagai sektor di Provinsi Lampung diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air terpadu yang berbasis wilayah

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga kelestarian dan pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan ketahanan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kabupaten Kampar 4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang Selatan, 100º 23' - 101º40' Bujur Timur.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci