BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis dengan tingkat pemanasan dan kelembaban tinggi. Hal tersebut mengakibatkan potensi kejadian petir di wilayah Indonesia menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan daerah sub-tropis (Tjasyono, 2005). Awan penghasil petir atau awan guruh sangat dominan di wilayah Indonesia sebagai wilayah konvektif aktif, sehingga memiliki hari guruh tinggi. Berdasarkan informasi dari laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hari guruh atau hari dengan ada kejadian petir di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-rata adalah 200 hari guruh per tahun, dibandingkan dengan USA sebanyak 100 hari guruh, Brazil sebanyak 140 hari guruh, dan Afrika hanya 60 hari guruh per tahun. Petir merupakan muatan listrik alami di dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah dan terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik positif maupun negatif yang ada di dalam awan (Septiadi & Hadi, 2011). Petir merupakan kejadian atau fenomena alam yang merugikan. Petir dapat menyambar secara langsung dan tidak langsung. Sambaran langsung petir ke objek dapat merusak objek sambaran tersebut, misalnya perangkat elektronik dan bahkan manusia yang dapat berakibat pada kehilangan nyawa, sedangkan sambaran tidak langsung dapat berupa radiasi dan konduksi atau induksi gelombang elektromagnetik. Gelombang elektronik yang menyebar akibat sambaran petir tidak langsung dapat merusak peralatan elektronik dan instalasi penting lainnya yang bahkan dapat mencapai jarak 2 km dari sumber petir (Sulistyanto, 2002). Informasi mengenai kejadian petir di suatu wilayah masih kurang, informasi yang tersedia hanya sebatas sebaran kejadian petir yang dibuat sesuai permintaan kejadian petir di suatu wilayah. Petir merupakan fenomena alam yang tidak dapat dicegah dan tidak dapat diprediksi kejadiannya, sehingga dapat menjadi bencana yang mengancam. Energi yang dihasilkan oleh sambaran petir mencapai 55 kw/jam 1

2 (Tongkurut, 2011). Jika sambaran petir dengan energi tersebut mengenai manusia, maka dapat menyebabkan kematian dan jika mengenai benda, seperti bangunan atau gedung, maka dapat menyebabkan kerusakan besar. Petir merupakan fenomena kelistrikan udara yang berbahaya. Kejadian petir sering terjadi dan tidak jarang menimbulkan kerugian baik material maupun korban jiwa, namun masyarakat Indonesia memiliki perhatian yang kurang akan bahaya petir. Pengetahuan masyarakat mengenai petir pun masih kurang, sehingga kejadian petir yang terjadi pun terabaikan begitu saja. Akibat yang ditimbulkan dari sambaran petir memang tidak berkepanjangan dan menyebabkan kerugian yang sangat besar, seperti halnya bencana banjir, gunung meletus, tanah longsor, dan bencana lainnya. Namun, perlu diwaspadai bahwa fenomena petir tidak kalah membahayakan dibanding bencana alam lain yang terjadi. Petir sering menyambar objek-objek tinggi dan tanah terbuka. Banyak kejadian sambaran petir yang telah terjadi dan menyebabkan kerugian, seperti sambaran petir ke towes BTS yang menyebabkan kerusakan jaringan listrik, sambaran petir ke bangunan yang juga menyebabkan kerusakan jaringan listrik di dalam bangunan hingga menimbulkan korban jiwa akibat perangkat elektronik di dalam bangunan atau rumah, sambaran petir ke pohon yang menyebabkan pohon tumbang dan menimpa jalan, sambaran petir ke tanah terbuka, seperti sawah dan lapangan yang menimbulkan korban jiwa, seperti seorang petani yang tersambar petir ketika berada di sawah, dan kejadian akibat sambaran petir lainnya. Wilayah Kulon Progo berada di D.I. Yogyakarta dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah serta Samudera Hindia. Menurut Wahid (2008), daerah yang berbatasan dengan lautan menyebabkan suhu udara di daratan lebih panas. Suhu udara tersebut dipengaruhi oleh sifat air dan tanah dalam menerima panas. Air lebih lambat menerima dan melepaskan panas, sedangkan daratan lebih cepat dalam menerima dan melepaskan panas. Kabupaten Kulon Progo juga terdapat pegunungan Menoreh yang menyebabkan wilayah tersebut memiliki kelembaban yang tinggi serta keberadaan pegunungan tersebut sebagai rintangan terhadap adanya gerakan udara ke atas yang kemudian membentuk awan cumulonimbus 2

3 sebagai awan penghasil petir. Daerah dengan suhu udara dan kelembaban tinggi berpotensi mengalami kejadian petir. Wilayah D.I. Yogyakarta cukup sering mengalami kejadian petir dan menimbulkan kerugian, antara lain, kerusakan jaringan listrik akibat sambaran petir ke tower BTS di area permukiman, pohon tumbang, dan korban jiwa. Sambaran petir pernah menimbulkan korban jiwa pada tahun 2016 di wilayah Bantul, dimana seorang pedagang kaki lima tersambar petir saat berada di warungnya ketika terjadi hujan lebat disertai petir. Pada tahun 2005 juga terjadi hal serupa di Kabupaten Sleman, dimana dua warga tewas tersambar petir ketika bermain voli di lapangan. Peta kerapatan sambaran petir dibuat untuk mengetahui banyaknya jumlah sambaran petir bulanan per 1 km 2 di wilayah Kabupaten Kulon Progo selama tahun dari bulan Januari hingga Desember dan mengetahui intensitas sambaran petir di setiap wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Pemetaan kerapatan sambaran petir tersebut dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kejadian petir di lingkungan sekitar mereka. Informasi tersebut dibuat agar masyarakat menjadi lebih waspada akan bahaya sambaran petir serta untuk mengurangi kerugian yang dapat ditimbulkan oleh sambaran petir. Informasi kerapatan sambaran petir tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas sambaran petir, mengetahui tingkat kerawanan bahaya sambaran petir di suatu wilayah, digunakan sebagai salah satu acuan dalam perencanaan pembangunan, dan sebagainya. Pemetaan kerapatan sambaran petir dilakukan menggunakan sistem informasi geografis yang berperan dalam menampilkan kejadian petir secara spasial, sehingga dapat diketahui lokasi sambaran petir yang terjadi serta menyajikan data kejadian petir ke dalam peta tematik. Selain itu, sistem informasi geografis juga digunakan untuk melakukan analisis kerapatan untuk mengetahui tingkat kerapatan sambaran petir di wilayah Kulon Progo, sehingga dihasilkan peta tematik kerapatan sambaran petir. 3

4 1.2. Perumusan Masalah Petir merupakan fenomena alam yang tidak dapat diprediksi waktu kejadiannya, sehingga dapat menjadi ancaman. Keterbatasan informasi mengenai kejadian petir di suatu wilayah membuat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai ancaman petir di sekitar mereka. Wilayah D.I. Yogyakarta, khususnya Kabupaten Kulon Progo yang berbatasan dengan lautan dan terdapat pegunungan menyebabkan wilayah tersebut berpotensi mengalami pembentukan awan penghasil petir yang lebih banyak. Potensi terbentuknya awan petir membuat potensi sambaran petir juga meningkat. Telah banyak kejadian sambaran petir yang menyebabkan kerugian di wilayah D.I. Yogyakarta, baik kerugian materiil maupun kehilangan nyawa akibat sambaran petir langsung. Informasi mengenai lokasi rawan sambaran petir dan banyaknya petir yang menyambar di lokasi tersebut diperlukan karena belum terdapat informasi mengenai area rawan sambaran petir secara spasial di Kabupaten Kulon Progo. Informasi tersebut diperlukan agar masyarakat lebih waspada akan bahaya sambaran petir di wilayah mereka. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 1. Belum terdapat data spasial berupa peta kerapatan sambaran petir per bulan di wilayah Kabupaten Kulon Progo tahun Belum terdapat informasi terkait intensitas sambaran petir di wilayah Kabupaten Kulon Progo tahun Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Membuat model spasial berupa peta kerapatan sambaran petir per bulan di wilayah Kabupaten Kulon Progo tahun Menghitung intensitas sambaran petir di wilayah Kabupaten Kulon Progo tahun

5 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Menambah informasi dan pengetahuan mengenai kejadian petir yang terjadi di suatu wilayah. 2. Menjadi tambahan ilmu dalam kajian pemetaan bencana berbasis sistem informasi geografis, sehingga dapat meningkatkan informasi mengenai bahaya sambaran petir di suatu wilayah. 3. Sebagai salah satu pertimbangan dalam rangka pembangunan untuk menghindari atau mencegah kerusakan yang dapat terjadi akibat sambaran petir. 5