STUDI POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT SAFRINA AYU TRISNAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT SAFRINA AYU TRISNAWATI"

Transkripsi

1 STUDI POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT SAFRINA AYU TRISNAWATI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Safrina Ayu Trisnawati NIM E

4 ABSTRAK SAFRINA AYU TRISNAWATI. Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Dibimbing oleh NYOTO SANTOSO dan ENTANG ISKANDAR. Cagar Alam Pananjung Pangandaran merupakan salah satu habitat alami monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Satwa ini termasuk dalam status Least Concern dalam IUCN (2013) dan Appendix II dalam CITES. Hasil penelitian yang dilakukan pada tiga jalur pengamatan menunjukan perbedaan kepadatan populasi monyet ekor panjang. Pada jalur 1 (Karang Pandan) diketahui sebanyak 22 ekor/ha, jalur 2 (Tadah Angin) sebanyak 4 ekor/ha sedangkan pada jalur 3 (Cikamal) sebanyak 19 ekor/ha. Kisaran populasi pada jalur 1 adalah ekor, jalur 2 sebanyak ekor dan jalur 3 sebanyak ekor. Pada penelitian ini individu dewasa paling banyak ditemukan. Sex ratio monyet ekor panjang diketahui 1:4 pada jalur 1 dan 3, dan 1:3 pada jalur 2. Sebanyak 48 jenis tumbuhan ditemukan pada daerah monyet ekor panjang beraktivitas, 22 diantaranya merupakan jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan monyet ekor panjang. Kata kunci : habitat, kepadatan, Macaca fascicularis, populasi. ABSTRACT SAFRINA AYU TRISNAWATI. Population and Habitat Study of Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) in Pananjung Pangandaran Nature Reserve, West Java. Supervised by NYOTO SANTOSO and ENTANG ISKANDAR. Pananjung Pangandaran Nature Reserve is one of natural habitat for longtailed macaque (Macaca fascicularis). This wildlife was listed as Least Concern status in IUCN (2013) and Appendix II in CITES. The result of the research, which was done in three observation tracks, showed a different density of longtailed macaque. The greatest population density was found as Karang Pandan (22 ind/ha), while at second track (Tadah Angin) were 4 individuals/ha, and at the third track (Cikamal) there were 19 individuals/ha. The range of population at the first track as many as 22 ± 9 individuals, at the second track as many as 4 ± 2 individuals, and third track as many as 7 ± 4 individuals. The adult long-tailed macaque was found at most in this research. Sex ratio of long-tailed macaque at the first and third track was 1:4, and at the second track was 1:3. There were 48 plant species that were found in the area where the long-tailed macaque carried out their activity, and 22 of the species had potential for long-tailed macaque feed. Keywords: density, habitat, Macaca fascicularis, population

5 STUDI POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT SAFRINA AYU TRISNAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat Nama : Safrina Ayu Trisnawati NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Nyoto Santoso, MS Pembimbing I Dr Ir Entang Iskandar, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 sampai Juli 2013 ini ialah mengenai monyet ekor panjang, dengan judul penelitian Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nyoto Santoso, MS dan Dr Ir Entang Iskandar MSi, selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, nasehat dan bimbingan dengan penuh kesabaran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak CA Pananjung Pangandaran (Pak Yana, Pak Bambang, Pak Suratman, a Ona, a Deni, Pak Ence, Pak Ahyadi, Pak Yudi, Pak Kajan dan seluruh staf cagar alam) atas ijin dan bantuannya selama penelitian, terima kasih juga untuk Bapak dan Ibu Cimin atas semangatnya serta Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB dan Dr Ir Entang Iskandar atas bantuan pendanaan untuk penulisan penelitian ini. Ucapan terimakasih setulusnya saya sampaikan kepada mama, papap serta seluruh keluarga, atas segala doa, perhatian dan kasih sayangnya. Penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada Novita Puji Leksono (Nop) sebagai teman seperjuangan selama penelitian, kepada Romi, Gagat, Abi, Reza bego dan Bang Afroh, terima kasih untuk Bang Kamal atas bantuannya, teman-teman Anggrek Hitam 46 sekaligus teman-teman seperjuangan di bawah tangga perpus (Eva, Danti, Luna, Ambar, Maya, Handi, Sintayun, Resa, Iin, uni Leri dan masih banyak lagi), dan yang terakhir terima kasih untuk kepercayaan (dalam bahasa inggris), walaupun jauh tapi semangat dan doanya tetap sampai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2014 Safrina Ayu Trisnawati

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat 2 METODE 2 Waktu dan Lokasi 2 Alat dan Bahan 2 Jenis Data yang Dikumpulkan 2 Metode Pengumpulan Data 2 Pengolahan dan Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Hasil 7 Pembahasan 14 SIMPULAN DAN SARAN 20 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 23

10 DAFTAR TABEL 1. Luas areal jalur pengamatan monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran 7 2. Populasi monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran pada bulan Juni-Juli Sex ratio monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran pada bulan Juni-Juli Beberapa jenis tumbuhan yang dominan di setiap jalur pengamatan berdasarkan tingkat pertumbuhan Daftar jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang 13 DAFTAR GAMBAR 1. Bentuk jalur pengamatan monyet ekor panjang 3 2. Bentuk jalur berpetak untuk analisis vegetasi 4 3. Presentase struktur umur monyet ekor panjang pada (a) Jalur 1 (Karang Pandan); (b) Jalur 2 (Tadah Angin) dan; (c) Jalur 3 (Cikamal) Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada seluruh jalur Grafik hubungan aktivitas harian monyet ekor panjang dengan penggunaan ruang dalam ketinggian pohon 11 DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta pengamatan monyet ekor panjang di kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran Monyet ekor panjang sedang mencari makan di (a) sekitar pantai; dan (b) di pohon Kiara beas Kondisi vegetasi pada (a) Jalur 1 (Karang Pandan); (b) Jalur 2 (Tadah angin); dan (c) Jalur 3 (Cikamal) Pohon Kiara beas di jalur 3 yang dijadikan tempat beraktivitas oleh monyet ekor panjang Buah pakan monyet ekor panjang (a) Pohpohan dan (b) Kiara Hasil analisis vegetasi jalur 1 Karang Pandan Hasil analisis vegetasi jalur 2 Tadah Angin Hasil analisis vegetasi jalur 3 Cikamal 32

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran merupakan bagian dari kawasan konservasi Pangandaran yang terletak di Jawa Barat. Secara administratif CA Pananjung Pangandaran terletak di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Luas keseluruhan kawasan ini adalah 488,936 ha, yang dibagi menjadi taman wisata alam seluas 34,321 ha dan cagar alam seluas 454,615 ha serta penunjukan Cagar Alam Laut seluas 470 ha. Kawasan CA Pananjung Pangandaran adalah salah satu kawasan yang menjadi lokasi persebaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Macaca fascicularis yang secara umum juga dikenal dengan nama monyet ekor panjang adalah spesies yang tersebar luas di wilayah tropis Asia Tenggara (Eudey 2008). Monyet ekor panjang yang terdapat di kawasan ini hidup secara bebas dalam kawasan CA Pananjung Pangandaran ataupun di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran. Kondisi ini didukung oleh ekosistem cagar alam yang terdiri dari hutan pantai, hutan tanaman dan hutan tropis dataran rendah yang relatif masih terjaga. Monyet ekor panjang termasuk dalam status Least Concern dalam IUCN (2013) dan termasuk dalam Appendix II dalam CITES. Menurut Widiastuty dkk (2011), jumlah individu monyet ekor panjang yang ada di CA Panjung Pangandaran sebanyak 158 individu. Secara keseluruhan, potensi satwa terutama monyet ekor panjang yang berada di dalam kawasan CA Pananjung Pangandaran hingga kini belum banyak diteliti. Banyaknya populasi monyet ekor panjang dan statusnya yang tidak dilindungi bukan berarti aman dari ancaman eksploitasi. Satwa ini sering menjadi hama para petani, diburu untuk dijadikan objek tontonan atau diperdagangkan. Satwa ini banyak menghadapi ancaman termasuk kerusakan lingkungan dan hilangnya habitat dengan meningkatnya populasi manusia, baik di perkotaan dan pedesaan, serta perdagangan dan perangkap untuk pengujian farmasi, penelitian, dan pengembangan (Eudey 2008). Kondisi populasi dan habitat satwa di suatu kawasan hutan perlu diketahui keadaannya agar terhindar dari penurunan populasi maupun hilangnya suatu spesies satwa. Kegiatan penelitian monyet ekor panjang dilakukan agar dapat mengetahui keadaan populasi dan habitat yang meliputi jumlah individu dan parameter populasi serta kondisi habitat di dalam kawasan CA Pananjung Pangandaran. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui: a. Kondisi populasi dan kepadatan monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran. b. Kondisi habitat monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran.

12 2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kondisi populasi dan habitat monyet ekor panjang terkini, sehingga dapat membantu pengelola CA Pananjung Pangandaran dalam upaya mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut, khususnya monyet ekor panjang. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Juni Juli Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan Pangandaran, GPS, rangefinder, binokuler, kamera, kompas, 4 in 1, tally sheet, tali tambang plastik, jam, meteran, alat tulis, Phi-band, alkohol 90%, kantong plastik, dan kalkulator. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari pengamatan langsung terhadap habitat dan monyet ekor panjang di lapang. Data ini meliputi: 1. Populasi yang mencakup kepadatan populasi, struktur umur, sex ratio, dan aktivitas. 2. Habitat yang mencakup komposisi dan struktur vegetasi, serta identifikasi potensi pakan. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan iklim dan topografi, jenis satwa lain yang terdapat di dalam kawasan cagar alam serta jenis-jenis pohon yang berpotensi sebagai pakan maupun habitat monyet ekor panjang. Data tersebut berasal dari studi literatur hasil penelitian sebelumnya, jurnal, dan berdasarkan wawancara dengan pengelola cagar alam. Metode Pengumpulan Data Pengamatan Populasi Monyet Ekor Panjang Orientasi lapang serta wawancara dengan petugas lapang atau masyarakat sekitar cagar alam merupakan persiapan yang terlebih dahulu dilakukan sebelum pengambilan data. Tujuannya, agar pengambilan data dilakukan pada lokasilokasi yang memang merupakan tempat monyet ekor panjang beraktivitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah line transect sampling.

13 3 Pengamatan ini dilakukan sebanyak dua kali setiap harinya pada setiap jalur yang sama, yaitu mulai pukul dan sore hari pukul Jalur pengamatan diambil sebanyak tiga jalur, yaitu jalur 1 (Karang Pandan), jalur 2 (Tadah Angin) dan jalur 3 (Cikamal). Pengulangan pengamatan dilakukan sebanyak 15 kali setiap jalurnya. Data yang dicatat selama pengamatan meliputi jumlah individu, jenis kelamin, kelas umur, sudut lokasi penemuan satwa terhadap jalur pengamatan yang dibidik menggunakan kompas serta pengukuran jarak satwa dengan pengamat menggunakan range finder dan pita meter serta mencatat aktivitas yang sedang dilakukan. Binokuler digunakan untuk membantu pengamatan dalam mengidentifikasi monyet ekor panjang yang berjarak jauh. S T 0 O r S d Arah transek T a Gambar 1 Bentuk jalur pengamatan monyet ekor panjang Keterangan : O = posisi pengamat S = posisi satwa d = Jarak tegak lurus satwa dengan jalur θ = sudut antar posisi satwa dengan lintasan pengamatan r = jarak antar satwaliar dengan pengamat S Aktivitas Harian Metode yang digunakan dalam pengamatan aktivitas monyet ekor panjang adalah ad libitum sampling. Metode ini dilakukan dengan cara mencatat aktivitas harian individu monyet ekor panjang. Pengamatan ini dilakukan di sepanjang jalur transek yang digunakan. Individu yang diamati merupakan individu yang berada dalam kelompok monyet ekor panjang. Posisi dan waktu ditemukannya satwa beraktivitas dalam pengamatan juga dicatat sebagai data penggunaan ruang dan waktu monyet ekor panjang beraktivitas. Aktivitas harian yang dicatat selama pengamatan dikelompokan ke dalam suatu rangkaian perilaku secara keseluruhan, yaitu: a. Istirahat : duduk dan berbaring b. Berpindah : berjalan, melompat, dan memanjat c. Makan : memegang, memetik, dan memasukan ke dalam mulut d. Aktivitas sosial : bermain, kawin, grooming dan bersuara Analisis Habitat Monyet Ekor Panjang Analisis habitat dilakukan pada sekitar daerah monyet ekor panjang melakukan aktivitas harian. Pengambilan data ini menggunakan metode jalur berpetak. Setiap jalur pengamatan memiliki empat petak analisis habitat, sehingga

14 4 jumlah petak analisis habitat monyet ekor panjang sebanyak 12 petak dengan panjang masing-masing petak 20 m. Pada satu petak ukur dibagi kembali menjadi beberapa ukuran, yaitu: 1. Petak ukur semai (2 m x 2 m), untuk menghitung anakan dengan tinggi < 1,5 m 2. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), untuk menghitung anakan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batangnya < 10 cm. 3. Petak ukur tiang (10 m x10 m), untuk menghitung diameter batang antara 10 cm 19,9 cm. 4. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), untuk menghitung pohon berdiameter batang 20 cm. 20 m 20 m 2m 5m 10m Gambar 2 Bentuk jalur berpetak untuk analisis vegetasi Identifikasi Sumber dan Jenis Pakan Identifikasi sumber pakan dan jenis yang dimakan dilakukan pada saat pengamatan populasi monyet ekor panjang dengan cara mencatat jenis-jenis pohon atau non tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan. Data yang dikumpulkan mencakup jenis pohon dan bagian yang dimakan untuk jenis pakan tumbuhan, sedangkan untuk non tumbuhan dicatat jenis yang ditemukan, misalnya serangga. Pengumpulan data potensi pakan dilakukan setelah mengetahui bagian dan jenis pohon serta non tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang. Pengolahan dan Analisis Data Ukuran Populasi Setiap pengamatan yang dilakukan pada jalur, akan menunjukkan rata-rata kelompok dan rata-rata individu monyet ekor panjang yang ditemukan. Rata-rata kelompok dan individu dapat dihitung dengan membagi jumlah kelompok atau jumlah individu dengan jumlah ulangan. Persamaan perhitungan sebagai berikut: Rata-rata kelompok = dan Rata-rata individu = Rata-rata kelompok memiliki satuan kelompok, sedangkan rata-rata individu memiliki satuan individu. Ukuran populasi jenis monyet ekor panjang dihitung berdasarkan kepadatan setiap jalur pengamatan, yakni ditentukan oleh jumlah individu yang ditemukan pada setiap jalur pengamatan dan luas unit contoh

15 5 pengamatan. Metode pengumpulan data populasi yang digunakan adalah line transect sampling sehingga lebar kiri-kanan jalur antar satu unit contoh dengan unit contoh lain seringkali tidak sama. Lebar kiri-kanan jalur pengamatan dihitung berdasarkan perjumpaan dengan satwa menggunakan persamaan sebagai berikut: d i i in d n d i d i k i Notasi d i merupakan jarak satwa dengan jalur pengamatan ke-i (m), r i adalah jarak satwa ke-i dengan pengamat (m), adalah sudut kontak pengamat dengan satwa dan k i adalah kontak dengan satwa ke-i. Luas jalur pengamatan digunakan untuk menentukan kepadatan populasi setiap jalur, luas jalur dihitung menggunakan persamaan: Notasi a merupakan luas jalur pengamatan (ha), d i adalah rata-rata lebar kirikanan jalur pengamatan ke-i (m) dan l i adalah panjang jalur pengamatan ke-i (m), setelah mengetahui luas tiap jalur, selanjutnya menentukan kepadatan populasi ( i ) tiap jalur yang dihitung menggunakan persamaan : i. d i i i n. Notasi x i menunjukan jumlah satwa yang ditemukan pada jalur pengamatan ke-i (ekor). Ragam populasi dugaan pada setiap jalur pengamatan dan ragam rata-rata dihitung dengan menggunakan persamaan: 2 2 i 2 i n i n d n i i2 n Notasi i 2 adalah ragam populasi pada jalur pengamatan ke-i, sedangkan i merupakan ragam rata-rata jalur ke-i. Nilai ragam dihitung untuk mengetahui kisaran populasi dugaan setiap jalur, kisaran populasi dihitung dengan menggunakan persamaan: ( i 2 n i ) Struktur Umur dan Sex Ratio Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Stuktur populasi monyet ekor panjang dibagi berdasarkan tiga kelompok kelas umur, yaitu dewasa, remaja dan anakan. Individu jantan dewasa pada monyet ekor panjang ditandai dengan ukuran tubuh relatif besar, tegap serta lebih agresif dan lincah. Berat badan individu jantan hampir satu setengah kali berat individu betina, sehingga individu jantan dapat dikatakan lebih gemuk atau berisi dibandingkan individu betina. Monyet ekor panjang dewasa mempunyai rambut cambang yang lebat mengelilingi muka (Lekagul dan McNeely 1977). Individu remaja mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan individu dewasa dengan warna tubuh yang lebih kecoklat-

16 6 coklatan. Umumnya individu remaja mempunyai rambut jambul yang tinggi. Monyet ekor panjang anakan mempunyai ukuran tubuh paling kecil di antara kelas umur yang lain, belum terlepas dari induknya dan biasanya mempunyai tingkah laku bermain yang lebih menonjol. Seluruh bagian tubuh anakan berwarna coklat atau hitam dengan bagian dada berwarna putih. Anakan monyet ekor panjang akan terlihat berada di dalam gendongan betina dewasa ataupun menggelantung pada perut (Rowe 1996). Satwa ini hidup secara berkelompok, dalam satu kelompok akan terdapat beberapa individu jantan dewasa atau betina dewasa. Nilai dugaan terhadap sex rasio populasi monyet ekor panjang pada setiap jalur dapat ditentukan dengan persamaan: S = J/B Notasi J adalah jumlah jantan potensial reproduksi dari satu jalur pengamatan, dan B adalah Jumlah betina potensial reproduksi dari satu pengamatan. Analisis Aktivitas Harian Hasil yang diperoleh dari pengamatan berupa frekuensi aktivitas harian yang muncul selama pengamatan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Setiap perilaku yang dicatat, akan dihitung nilai rata-rata dan presentasenya agar terlihat aktivitas harian yang sering muncul atau dilakukan oleh individu monyet ekor panjang. Selanjutnya, data hasil pengamatan ad-libitum sampling akan ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram pie yang menunjukan aktivitas paling sering terlihat saat pengamatan dan hubungan aktivitas harian dengan penggunaan ruang oleh monyet ekor panjang. Analisis Habitat Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Soerianegara dan Indrawan, 2005). - Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh - Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis X 100 % Kerapatan seluruh jenis - Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh - Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis X 100 % Frekuensi seluruh jenis - Dominasi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh - Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis X 100 % Dominasi seluruh jenis - Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR - Indeks Nilai Penting (untuk semai) = KR + FR - Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR

17 7 Potensi Pakan Berdasarkan pengamatan potensi pakan, akan diketahui daftar jenis pakan yang berupa tumbuhan atau non tumbuhan yang dimakan. Daftar jenis pakan ini juga menunjukan bagian dari jenis tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang, misalnya berupa pucuk, buah atau daun. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Populasi Monyet Ekor Panjang Pengamatan populasi monyet ekor panjang dilakukan pada tiga jalur pengamatan yang juga merupakan jalur patroli polisi hutan CA Pananjung Pangandaran. Jalur tersebut berada di bagian barat yaitu Jalur 1 (Karang Pandan), bagian tengah adalah Jalur 2 (Tadah Angin) dan bagian timur cagar alam, yaitu Jalur 3 (Cikamal) dengan total luas areal penelitian 2,75 (Tabel 1). Tabel 1 Luas areal jalur pengamatan monyet pkor panjang di CA Pananjung Pangandaran No Jalur Pengamatan Luas jalur pengamatan (ha) 1 Jalur 1 (Karang Pandan) Jalur 2 (Tadah Angin) Jalur 3 (Cikamal) 0.66 Total 2.75 ha Setiap jalur memiliki luasan dan panjang jalur yang berbeda-beda. Keduanya mempengaruhi hasil perhitungan kepadatan populasi monyet ekor panjang pada setiap jalur. Melalui perhitungan kepadatan populasi, kisaran populasi monyet ekor panjang dapat diketahui setelah sebelumnya menghitung ragam populasi, dan ragam rata-rata setiap jalur, yaitu , dan pada masing-masing jalur 1, 2 dan 3 (Tabel 2). Tabel 2 Populasi monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran pada bulan Juni-Juli 2013 Jalur Kepadatan populasi (ekor/ha) Ragam populasi (ekor) Ragam rata-rata (ekor) Kiasaran Populasi (ekor) 1 (Karang Pandan) (Tadah Angin) (Cikamal) Kepadatan populasi di jalur 1 sebesar 22 ekor/ha. Pengamatan yang dilakukan di jalur 1 menemukan rata-rata 2 kelompok, dengan jumlah individu rata-rata 18 ekor. Jumlah individu monyet ekor panjang di jalur 1 pada saat pengamatan paling banyak terhitung dapat mencapai 25 ekor dalam 1 kelompok. Hasil yang berbeda ditunjukan pada ukuran populasi di jalur 2 (Tadah Angin).

18 8 Pada saat pengamatan, paling banyak monyet ekor panjang terhitung di jalur 2 sebanyak 11 ekor dalam 1 kelompok. Rata-rata kelompok yang ditemukan di jalur 2 terhitung 1 kelompok dengan rata-rata individu 6 ekor. Kepadatan populasi di jalur 2 sebesar 4 ekor/ha. Pada jalur 3, kepadatan populasi terhitung sebesar 19 ekor/ha. Jumlah ratarata kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan setiap ulangannya sebesar 2 kelompok. Jumlah rata-rata kelompok ini memiliki jumlah yang sama dengan jumlah rata-rata monyet ekor panjang di jalur 1, hanya jumlah rata-rata individu yang berbeda, yaitu 19 ekor. Kepadatan populasi setiap jalur juga dapat menentukan kisaran populasi setiap jalur dengan terlebih dahulu menghitung nilai ragam. Menggunakan selang kepercayaan 95%, kisaran populasi pada jalur 1 sebesar ekor, jalur ekor sedangkan jalur 3 sebanyak ekor. Struktur Umur dan Sex Ratio Kelas umur monyet ekor panjang dibagi menjadi 3 yaitu kelas umur anak, remaja dan dewasa. Penentuan kelas dilakukan berdasarkan morfologinya. Berdasarkan pengamatan, jalur 1 tercatat mendapat kontak 134 individu dewasa, 114 remaja dan 22 anakan, untuk jalur 2 tercatat 66 individu dewasa, 11 remaja dan 3 anakan, sedangkan jalur 3 tercatat 112 individu dewasa, 58 remaja dan 21 anakan. Presentase struktur umur setiap jalur disajikan dalam gambar 3. remaja 42% anakan 8% dewasa 50% remaja 14% anakan 4% dewasa 82% (a) anakan 11% remaja 30% dewasa 59% (b) (c) Gambar 3 Presentase struktur umur monyet ekor panjang pada (a) Jalur 1(Karang Pandan); (b) Jalur 2 (Tadah Angin) dan; (c) Jalur 3 (Cikamal).

19 9 Presentasi kelas umur dewasa paling banyak ditemukan pada jalur 2, yaitu sebesar 82%, sedangkan jalur 1 dan 3 presentasi kelas umur dewasa lebih dari setengah jumlah indiviu yang ditemukan. Jika diurutkan berdasarkan kelas umur, presentase struktur umur monyet ekor panjang disetiap jalur semua sama, dimana kelas umur dewasa memiliki presentase paling tinggi, dikuti oleh kelas umur remaja dan selanjutnya kelas umur anakan. Setiap kelompok monyet ekor panjang akan terdiri dari beberapa jantan dewasa dan banyak betina dewasa. Perbandingan jumlah jantan dan betina disebut juga dengan sex ratio. Jalur 1 dan 3 memiliki perbandingan sex ratio 1:4, yang menunjukkan satu individu jantan dewasa monyet ekor panjang dapat mengawini sampai empat individu monyet ekor panjang betina dewasa. Hasil berbeda ditunjukan pada jalur 2, yang memiliki perbandingan sex ratio 1:3 (Tabel 3). Tabel 3 Sex ratio monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran pada bulan Juni-Juli 2013 Jalur Dewasa Jantan Betina Sex Ratio 1 (Karang Pandan) : 4 2 (Tadah Angin) : 3 3 (Cikamal) : 4 Aktivitas Harian Aktivitas monyet ekor panjang yang paling banyak terlihat di ketiga jalur pengamatan adalah aktivitas makan, diikuti oleh aktivitas berpindah, istirahat dan aktivitas sosial. Aktivitas makan yang terlihat meliputi memegang, memetik dan memasukan makanan ke dalam mulut. Monyet ekor panjang berpindah dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lainnya atau berlari saat satwa tersebut berada di lantai hutan. Aktivitas sosial monyet ekor panjang yang terlihat adalah mencari kutu atau grooming dan berkelahi antar jantan dewasa, sedangkan aktivitas istirahat monyet ekor panjang terlihat duduk diam sambil melihat keadaan sekitar (Gambar 4,5,6 dan 7) Jumlah kontak Makan Istirahat Berpindah Aktifitas sosial Aktifitas Pagi Sore Gambar 4 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur 1

20 10 Jumlah kontak Pagi Sore 0 Makan Istirahat Berpindah Aktifitas sosial Aktifitas Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur Jumlah kontak Pagi Sore 2 0 Makan Istirahat Berpindah Aktifitas sosial Aktifitas Gambar 6 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang pada jalur Jumlah kontak Pagi Sore 0 Makan Istirahat Berpindah Aktifitas sosial Aktifitas Gambar 7 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang di seluruh jalur

21 Pohon merupakan tempat monyet ekor panjang paling banyak ditemukan sedang melakukan aktivitas harian. Pada penelitian ini, penggunaan ruang monyet ekor panjang berdasarkan pada strata tajuk ketinggian pohon, mulai dari strata tajuk E (lantai hutan), strata tajuk D, strata tajuk C, strata tajuk B hingga strata tajuk A. Saat pengamatan, monyet ekor panjang terlihat melakukan aktivitas harian seperti makan, berpindah, istirahat, berkelahi dan grooming di bagian pohon pada ketinggian tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata ketinggian pohon, monyet ekor panjang melakukan aktivitas makan pada ketinggian 8,2 m sedangkan aktivitas berpindah dilakukan pada ketinggian 9,9 m. Aktivitas istirahat dilakukan pada ketinggian pohon yang lebih tinggi, yaitu 12 m, lalu aktivitas sosial seperti berkelahi dan grooming, dilakukan pada ketinggian 5,5 m. Gambar 8 menunjukkan hubungan aktivitas harian monyet ekor panjang dengan penggunaan ruang dalam ketinggian pohon. 11 ketingiian pohon (meter) m 9,9 m 8,3 m 5,5 m makan berpindah istirahat aktifitas sosial makan berpindah istirahat aktifitas sosial aktifitas harian Gambar 8 Grafik hubungan aktivitas harian monyet ekor panjang dengan penggunaan ruang dalam ketinggian pohon Habitat Monyet Ekor Panjang Analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan membuat petak contoh disetiap jalur pangamatan. Setiap jalur memiliki 4 petak contoh yang dibagi beberapa bagian sesuai tingkat pertumbuhan pohon. Suhu rata-rata pada saat pengamatan adalah 27,9 o C dengan kelembapan sebesar 84,1 %. Hasil analisis menunjukan pada jalur 1 terdapat 31 jenis tumbuhan yang terdiri dari 17 jenis tingkat semai, 20 jenis tingkat pancang, 14 jenis tingkat tiang, dan 11 jenis tingkat pohon. Pada jalur 2 terdapat 32 jenis tumbuhan yang terdiri dari 12 jenis tingkat semai, 21 jenis tingkat pancang, 8 jenis tingkat tiang, dan 11 jenis tingkat pohon, sedangkan pada jalur 3 terdapat 20 jenis tumbuhan yang terdiri dari 12 jenis tingkat semai, 10 jenis tingkat pancang, 2 jenis tingkat tiang dan 8 jenis tingkat pohon. Secara keseluruhan, jenis tumbuhan yang ditemukan pada plot analisis habitat sebanyak 48 jenis tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan pancang yang paling banyak ditemukan. Hasil analisis habitat pada ketiga jalur menunjukan

22 12 jalur 2 merupakan jalur yang memiliki kerapatan vegetasi paling tinggi. Pada setiap plot analisis terdapat beberapa jenis tumbuhan dominan yang ditemukan. Kebanyakan tumbuhan dominan merupakan pakan monyet ekor panjang. Jenis tumbuhan yang dominan dan dimakan oleh monyet ekor panjang adalah Pandan laut sarengseng (Pandanus tectorius), Kiara beas (Ficus sumatrana), Jejerukan (Acronychya laurifolia) dan Ki andong (Rhodamnia cinerea) sedangkan jenis yang dominan namun tidak dimakan monyet ekor panjang adalah Bintaro (Cerbera manghas), Ki baceta (Claucena excavata) dan Kakapasan. Tabel 4 menunjukan beberapa jenis tumbuhan dominan yang ditemukan pada setiap jalur. Tabel 4 Beberapa jenis tumbuhan yang dominan di setiap jalur pengamatan berdasarkan tingkat pertumbuhan Jalur Tingkat No Nama jenis Nama ilmiah INP (%) 1 Semai 1 Pandan laut Pandanus tectorius 55,88 2 Ki kores Psycotria sp. 51,86 3 Soka putih Ixora coccinea 21,26 Pancang 1 Ki kores Psycotria sp. 28,07 2 Ki hapit Euphorbia chasembila 22,05 3 Keruing Dipterocapus caudiferus 19,00 Tiang 1 Bintaro Cerbera manghas 57,56 2 Jejerukan Acronychya laurifolia 42,02 3 Pohpohan Buchanania arborescens 35,88 Pohon 1 Kiara beas Ficus sumatrana 89,63 2 Laban Vitex pubescens 63,82 3 Pohpohan Buchanania arborescens 30,16 2 Semai 1 Ki baceta Claucena excavata 72,49 2 Ki hoe Guioa diplopetala 23,24 3 Ki pancar Baccaurea javanica 17,59 Pancang 1 Kakapasan - 39,79 2 Ki hoe Guioa diplopetala 36,37 3 Ki andong Rhodamnia cinerea 25,26 Tiang 1 Laban Vitex pubescens 86,28 2 Ipis kulit Decaspermum fruticosum 63,01 3 Ki pancar Baccaurea javanica 26,30 Pohon 1 Laban Vitex pubescens 65,77 2 Ki segel Dillenia excelsa 42,79 3 Putat Planchonia valida 35,99 3 Semai 1 Ki lalayu Erioglosum rubiginosum 31,56 2 Ipis kulit Decaspermum fruticosum 28,46 3 Ki pancar Baccaurea javanica 26,15 Pancang 1 Ki andong Rhodamnia cinerea 38,87 2 Ki hoe Guioa diplopetala 36,44 3 Ki kores Psycotria sp. 23,48 Tiang 1 Jejerukan Acronychya laurifolia 157,72 Pohon 1 Kiara beas Ficus sumatrana 119,05 2 Ki pancar Baccaurea javanica 53,40 3 Laban Vitex pubescens 33,81

23 Potensi Pakan Potensi pakan monyet ekor panjang diketahui dengan cara mendata jenisjenis yang ditemukan dan mencocokannya dengan data pakan yang didapat dari hasil pengamatan pengelola cagar alam, litelatur dan data saat pengamatan populasi monyet ekor panjang. Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan, pada jalur 1 terdapat 31 tumbuhan dengan 17 jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang. Pada jalur 2 yang tercatat 32 jenis tumbuhan, 15 diantaranya merupakan pakan satwa tersebut, sedangkan pada jalur 3 yang ditemukan 20 jenis tumbuhan dan 13 jenis diantaranya merupakan pakan monyet ekor panjang. Keseluruhan jumlah jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang tercatat 22 jenis. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah pandan laut, yaitu Penyebarannya banyak ditemukan hanya pada jalur 1. Jenis lain yang memiliki kerapatan tinggi adalah ki kores, ipis kulit, ki pancar dan kilalayu. Jenis tersebut ditemukan pada setiap plot analisis habitat di ketiga jalur. Monyet ekor panjang hanya memakan bagian buah dan pucuk jenis tumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi tersebut. Monyet ekor panjang tidak memakan seluruh bagian tumbuhan. Bagian buah, pucuk, batang dan bunga yang dimakan monyet ekor panjang. Jenis tumbuhan yang hanya dimakan buahnya saja diketahui sebanyak 15 jenis, dimakan buah dan pucuk 5 jenis, dimakan bunganya 1 jenis, dan dimakan batang dan buah 1 jenis. Tabel 5 Daftar jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang No Nama lokal Nama latin Bagian yang dimakan Kerapatan 1 Bayur Pterospermum javanicum Buah 6,25 2 Darewak Microcos tomentosa Buah Huni Antidesma bunius Pucuk, buah 25 4 Huru manuk Litsea mappaceae Pucuk, buah Ipis kulit Decaspermum fruticosum Pucuk, buah Jejerukan Acronychya laurifolia Buah 1293,7 7 Ki andong Rhodamnia cinerea Buah Ki beunteur Macutia diversifolia Buah 156,2 9 Ki beusi Memecylon oleaefolum Buah Ki hapit Euphorbia chasembila Buah Ki kores Psycotria sp. Pucuk, buah Ki lalayu Arytera littoralis Buah Ki pancar Baccaurea javanica Buah Ki segel Dillenia excelsa Buah 3231,2 15 Kiara beas Ficus sumatrana Pucuk, buah 31,2 16 Laban Vitex pubescens Bunga 687,5 17 Manggis hutan Gracinia laterifolia Buah 6,2 18 Pandan laut Pandanus tectorius Buah Parengpeng Groton argiratua Buah 231,2 20 Pohpohan Buchanania arborescens Buah Rukem Flancourtia rukam Buah Sulangkar Leea sambucina Batang, buah

24 14 Pembahasan Populasi Monyet Ekor Panjang Monyet ekor panjang hidup secara berkelompok dengan ukuran kelompok bervariasi menurut kondisi habitatnya. Rata-rata dalam 1 kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di dalam cagar alam terdapat 18 ekor pada jalur 1, 6 ekor pada jalur 2 dan 19 ekor pada jalur 3. Satu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 ekor (Lekagul dan McNeely 1977) sedangkan menurut Nowak (1999) dalam satu kelompok monyet ekor panjang rata-rata terdiri dari individu. Perhitungan ukuran kelompok di dalam cagar alam dapat dikatakan underestimate. Hal tersebut dapat terjadi karena satwa ini hidup dalam kelompok besar dengan jumlah individu yang banyak. Jumlah individu tersebut akan menyebar dalam wilayah yang besar juga, sehingga dalam perhitungannya bisa terjadi bias dengan kelompok lain yang mungkin berdekatan dengan kelompok tersebut. Rata-rata ukuran kelompok monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran dapat dikatakan lebih kecil dari ukuran kelompok monyet yang terdapat di TWA yang dapat mencapai 50 individu dalam 1 kelompok. Kelompok monyet ekor panjang di daerah ini hidup di dalam hutan primer dan sekunder dataran rendah, padang rumput, hutan tanaman jati serta hutan pantai. Menurut Lekagul dan McNeely (1977) umumnya kepadatan populasi monyet ekor panjang di hutan primer lebih rendah dibandingkan kepadatan populasi di hutan sekunder. Hal ini juga seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Supartono (2001) ukuran populasi monyet ekor panjang di kawasan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper berkisar ekor untuk daerah sepadan sungai, sedangkan di daerah kebun karet berkisar antara ekor. Berdasarkan hasil pengamatan, daerah yang memiliki kepadatan paling rendah adalah jalur 2 (Tadah Angin), yaitu sebesar 4 ekor/ha. Jalur 2 merupakan bagian tengah kawasan cagar alam dengan bagian kanan dan kiri jalur merupakan hutan primer dan sekunder dataran rendah, selain itu jalur ini juga dilalui oleh sungai Cikamal yang bermuara di air terjun Tadah angin. Kepadatan populasi pada jalur ini diketahui paling kecil, padahal kondisinya dikelilingi oleh hutan dataran rendah yang rapat akan pepohonan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Santoso (1996) dan Supartono (2001), monyet ekor panjang cenderung lebih menyukai daerah yang kondisi vegetasinya lebih jarang dibandingkan dengan vegetasi yang rapat, sehingga pada jalur ini monyet ekor panjang yang ditemukan paling sedikit. Rendahnya jumlah individu yang ditemukan pada jalur 2 dapat dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah tumbuhan pakan. Berdasarkan analisis habitat, jenis semai dan pancang yang mendominasi pada jalur 2 tidak dimakan oleh monyet ekor panjang, yaitu jenis ki baceta dan kakapasan. Jenis pakan lainnya hanya ditemukan sedikit, sedangkan pada tingkat tiang dan pohon, jenis laban mendominasi plot analisi habitat. Kondisi jalur 2 yang berdekatan dengan jalur 1 memungkinkan adanya sub-kelompok dari jalur 1 yang ditemukan pada jalur 2, sehingga jumlah yang ditemukan pada jalur 2 lebih sedikit. Monyet ekor panjang juga dapat ditemukan pada vegetasi yang cukup rapat. Hal ini terlihat dari jalur 1 yang memiliki kepadatan paling tinggi, yaitu 22 ekor/ha. Jalur 1 berada di bagian timur pantai Pangandaran, sebelah kiri jalur

25 merupakan tebing dan pantai timur Pangandaran, sedangkan bagian kanan adalah hutan dataran rendah. Adanya pantai pada jalur ini menjadi faktor dapat ditemukannya monyet ekor panjang. Pantai dapat menjadi sumber makanan bagi monyet ekor panjang, salah satu contoh pakan yang bisa didapatkan monyet ekor panjang adalah kepiting, karena hal tersebut monyet ekor panjang disebut juga crab-eating macaque. Monyet ekor panjang merupakan primata yang memiliki kemampuan adapatasi tinggi, dengan perilaku makan frugivorus dan memiliki sifat opportunistic omnivore, yaitu akan memakan jenis makanan lain yang tersedia di habitatnya (Fakhri et al. 2012). Jalur terakhir yang digunakan untuk pengamatan berada di bagian barat CA, yaitu jalur 3 (Cikamal). Jalur ini merupakan jalur yang kondisinya melewati padang rumput, hutan primer dan sekunder dataran rendah serta sungai Cikamal, selain itu pada jalur ini juga paling banyak ditemukan bunga dan knop Rafflesia padma. Pada jalur 3 kepadatan populasi diketahui sebesar 19 ekor/ha. Monyet ekor panjang pada jalur ini paling banyak ditemukan pada pohon Kiara beas (Ficus sumatrana) yang sedang berbuah di sekitar padang rumput. Hal ini dapat membuktikan selain kondisi vegetasi, adanya ketersediaan pakan juga menjadi faktor yang menentukan penyebaran dan ukuran populasi monyet ekor panjang. Penyebaran monyet ekor panjang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, air, makanan dan predator (Fakhri et al. 2012). Menurut Lang (2006) monyet ekor panjang dapat dijumpai di daerah tropis karena karena suhunya yang hangat (24 o sampai 36 o C) dan iklim yang lembab dengan curah hujan berkisar antara 140 sampai 300 mm/tahun serta dapat hidup pada ketinggian 0 sampai 2000 mdpl. Suhu lingkungan di daerah pengamatan tergolong cukup hangat yaitu 27,9 o C dengan kelembapan sebesar 84,1 %, suhu ini berada pada rentang suhu optimum lingkungan monyet ekor panjang sehingga daerah cagar alam sesuai untuk kehidupan monyet ekor panjang. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya sumber air, yaitu dari Sungai Cikamal yang bukan berasal dari air laut. Semua makhluk hidup membutuhkan air, termasuk monyet ekor panjang. Daerah tepian sungai menjadi sumber air bagi satwa ini. Keberadaan predator alami juga mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang. Menurut hasil wawancara dengan staf cagar alam, predator alami bagi monyet ekor panjang di cagar alam adalah ular sanca (Phyton sp.) dan biawak (Varanus sp.), namun jumlah kasus monyet ekor panjang yang di mangsa oleh ular sanca dan biawak hanya sedikit. Kebanyakan jumlah monyet ekor panjang berkurang dikarenakan faktor internal, misalnya sakit, berkelahi dengan anggota kelompok ataupun kecelakaan terjatuh dari pohon. Perilaku satwa juga dapat mempengaruhi penyebaran dan besar kecilnya ukuran kelompok, termasuk perilaku sosial (Watanabe et al. 1996), perilaku seksual (Engelhardt 2004), dan perilaku anti predator (Van Scaik 1985). Faktor lain yang dapat mempengaruhi ukuran kelompok adalah kematian, kelahiran, imigrasi dan emigrasi. Efisiensi mencari makan juga mempengaruhi ketersediaan pakan dan ukuran kelompok. Monyet ekor panjang yang hidup berkelompok akan menghasilkan kompetisi dalam mencari makan yang disukai. Kompetisi ini tergantung pada ukuran kelompok, jumlah makanan yang tersedia dan kemampuan individu dalam bertahan (Fuentes 1999). Populasi yang ditemukan saat pengamatan didominasi oleh individu dewasa, dengan kelas umur anakan paling sedikit ditemukan. Melalui data tersebut dapat 15

26 16 disimpulkan bahwa struktur umur monyet ekor panjang membentuk piramida terbalik, dimana individu dewasa lebih dominan jika dibandingkan dengan individu remaja dan anakan. Hal tersebut menyebabkan struktur umur monyet ekor panjang masuk dalam kategori populasi menurun (regressive population). Menurut Alikodra (1990) struktur umur dalam keadaan populasi menurun yaitu jumlah kelahiran (natalitas) lebih kecil dari jumlah kematian (mortalitas). Pada penelitian ini, data kelahiran monyet ekor panjang tidak diketahui, namun rendahnya jumlah anak dan remaja menunjukan individu yang memiliki fungsi untuk reproduksi dan melanjutkan perkembangbiakan dengan baik hanya sedikit. Individu dewasa yang ditemukan lebih banyak memungkinkan banyaknya terjadi reproduksi, namun tidak untuk jangka waktu yang lama. Keterbatasan pengamat juga diduga menjadi faktor rendahnya individu remaja teridentifikasi. Monyet ekor panjang yang berada di dalam cagar alam tidak terbiasa dengan adanya manusia, berbeda dengan monyet ekor panjang di taman wisata alam yang terbiasa dengan manusia sehingga dapat lebih jelas terlihat antara individu dewasa, remaja dan anakan. Pada saat pengamatan, individu monyet ekor panjang lebih sensitif terhadap bunyi dan gerakan, terutama individu remaja. Kontak yang terjadi dengan individu remaja terjadi lebih cepat. Ketika ditemukan individu remaja tersebut akan menjauh masuk ke dalam hutan, di luar jarak pandang pengamat, sehingga memungkinkan adanya individu remaja yang tidak terhitung dan lebih banyak individu dewasa yang terhitung. Individu dewasa monyet ekor panjang yang tercatat terdiri dari jenis kelamin jantan dan betina. Perbandingan individu jantan dan betina pada populasi ini disebut sex ratio. Hasil pengamatan menunjukan sex ratio monyet ekor panjang di jalur 1 dan 3 adalah 1:4, sedangkan pada jalur 2 adalah 1:3. Hasil ini berbeda dengan teori menurut Napier dan Napier (1967) yang mengatakan sex ratio satu kelompok monyet ekor panjang di habitat alami adalah 1:2. CA Pananjung Pangandaran merupakan salah satu habitat alami monyet ekor panjang. Besarnya sex ratio ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ketersediaan makanan. Kelimpahan jumlah makanan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan proses reproduksi monyet ekor panjang. Ketika jumlah makanan melimpah maka kelahiran terjadi lebih cepat dan lebih sering (Lang 2006). Monyet ekor panjang merupakan satwa yang hidup mengelompok, dalam satu kelompok terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multifemale) dengan sistem perkawinan, jantan dapat mengawini betina manapun. Jantan monyet ekor panjang biasanya kawin dengan lebih dari satu betina dan sebaliknya (Karimullah 2011). Besarnya jumlah betina dalam sex ratio memungkinkan jantan monyet ekor panjang dapat mengawini dan memilih banyak betina, selain itu mengurangi persaingan kawin antar individu jantan. Setiap kelompok monyet ekor panjang, akan ada jantan dominan atau yang disebut sebagai Alpha male, begitu juga dengan monyet ekor panjang betina yang dominan. Jantan dominan menjadi pemimpin kelompok (Karimullah 2011). Pengamatan monyet ekor panjang yang dilakukan mulai pukul hingga pukul dan sore mulai pukul sampai Aktivitas makan dan berpindah merupakan aktivitas yang paling sering terlihat pada pagi hari dan sore hari. Pagi hari merupakan waktu dimana monyet ekor panjang mulai melakukan aktivitas seperti mencari makan, melakukan aktivitas sosial seperti grooming dan

27 beristirahat. Berdasakan pola aktivitasnya, monyet ekor panjang digolongkan menjadi primata yang diurnal atau aktif pada pagi serta siang hari dan pada umunya akan beristirat pada tengah hari ataupun malam hari (Rowe 1996). Menurut Santoso (1996) rata-rata monyet ekor panjang mulai mencari makan pukul hingga pukul Pengamatan dilakukan pada waktu aktif monyet ekor panjang, sehingga aktivitas yang sering terlihat adalah aktivitas makan maupun sedang berpindah, monyet ekor panjang pindah dari satu-pohon kepohon lain sedang mencari makan atau berusaha menghidari adanya manusia. Aktivitas makan dilakukan pada rata-rata ketinggian pohon 8,2 meter. Pada umumnya, kebiasaan makan monyet ekor panjang di Pulau Tinjil menempati strata C dan D atau menduduki vegetasi tingkat tiang dan pohon (Santoso 1996). Satwa ini bersifat arboreal namun seringkali terlihat turun ke tanah (Lekagul dan McNeely 1977). Pada beberapa kali pengamatan, didapatkan monyet ekor panjang melakukan aktivitas makan dan berkelahi di lantai hutan. Saat berada di atas pohon, ekornya yang panjang membantu keseimbangannya dalam melompat di antara cabang-cabang pohon (Fuentes 1999). Hal ini terlihat pada saat monyet ekor panjang berpindah dengan cepat dari satu pohon ke pohon lainnya. Aktivitas berpindah monyet ekor panjang ini dilakukan pada rata-rata ketinggian pohon 9,9 m, sedangkan aktivitas istirahat dilakukan pada ketinggian 12 m dan aktivitas sosial pada ketinggian 5,5 m. Jika melihat penggunaan tajuk pohon oleh monyet ekor panjang untuk beraktivitas, strata tajuk yang digunakan termasuk strata tajuk C. Strata ini terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m dengan banyak cabang (Soerianegara dan Indrawan 2005). CA Pananjung Pangandaran berdekatan lansung dengan kawasan TWA Pangandaran. Letaknya yang berdekatan ini memungkinkan adanya pengunjung masuk ke cagar alam. Jalur 2 merupakan daerah yang cukup sering dikunjungi oleh manusia. Adanya manusia ini mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang. Satwa ini cenderung menghindari daerah jalur 2 karena adanya manusia. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil pengamatan yang dilakukan, pada jalur 2 hanya ditemukan sedikit individu monyet ekor panjang. Perilaku yang cenderung menghindar terhadap manusia inilah yang membedakan monyet ekor panjang di cagar alam dan TWA. Habitat Monyet Ekor Panjang Populasi monyet ekor panjang saat ini tersebar di dalam kawasan CA Pananjug Pangandaran dan TWA Pangandaran. Monyet ekor panjang hidup dalam hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi yang berkisar 1000 m dpl. Satwa ini dapat ditemukan di berbagai habitat termasuk hutan mangrove, rawa, pantai, hutan tropis, hutan konifer, daerah riparian, hutan sekunder, pinggiran hutan, perkebunan penduduk, perkampungan dan daerah terganggu (Fooden 2006; Supriatna dan Hendras 2000; Nowak 1999; Lekagul dan McNeely 1977, Yanuar et al. 2009). Rata-rata curah hujan CA Pananjung Pangandaran adalah mm/tahun dengan suhu berkisar 25 o - 30 o dan kelembapan udara antara 80% - 90%. Pada bulan Oktober sampai dengan Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008). 17

28 18 Hasil analisis habitat menunjukan terdapat 31 jenis tumbuhan pada jalur 1. Pada jalur ini terdapat pantai, hutan dataran rendah dan hutan pantai habitat monyet ekor panjang. Pandan laut sarengseng pada tingkat semai yang memiliki frekuensi paling tinggi. Jenis tumbuhan ini banyak ditemukan di dalam plot analisis maupun di sekitar pantai pada ujung jalur 1. Menurut pengelola, monyet ekor panjang biasa memakan buah Pandan laut. Pada tingkat pancang, jenis tumbuhan Ki kores paling banyak ditemukan, monyet ekor panjang memakan pucuk dan buah jenis ini. Selanjutnya pada tingkat tiang, Bintaro merupakan jenis yang banyak ditemukan, namun menurut pengelola dan litelatur yang ada, jenis ini tidak dimakan monyet ekor panjang. Kiara beas merupakan jenis pohon yang paling dominan ditemukan. Pohon dijadikan sumber pakan oleh monyet ekor panjang, dan melakukan aktivitas harian seperti grooming dan beristirahat. Pada jalur 2 ditemukan 32 jenis tumbuhan dan didominasi oleh Ki baceta pada tingkat semai, Kakapasan pada tingkat pancang, serta Laban pada tigkat tiang dan pohon. Jenis tumbuhan Ki baceta dan Kakapasan, tidak dimakan oleh monyet ekor panjang, sedangkan untuk jenis Laban monyet ekor panjang biasa memakan bunga dari jenis ini. Jalur 2 merupakan jalur yang berada di bagian tengah cagar alam. Berbeda dengan jalur 1 yang berbatasan dengan pantai timur pangandaran, jalur 2 dikelilingi oleh hutan dataran rendah, selain itu terdapat hutan tanaman dan bekas padang rumput yang sedang mengalami suksesi. Jalur ini juga melewati sungai yang bermuara di air terjun Tadah angin, air terjun tersebut sekaligus ujung jalur pengamatan. Jika melihat hasil pengamatan, pada jalur ini ditemukan paling sedikit individu monyet ekor panjang. Pada jalur 3 ditemukan 20 jenis tumbuhan, dengan tingkat petumbuhan semai didominasi oleh jenis tumbuhan Kilalayu, pada jenis pancang didominasi oleh Ki andong. Untuk tingkat pertumbuhan tiang didominasi oleh Jejerukan sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Kiara beas. Keempat jenis tumbuhan yang mendominasi pada jalur biasa dimakan oleh monyet ekor panjang. Rata-rata monyet ekor panjang memakan bagian pucuk dan buah jenis tumbuhan tersebut. Sama halnya seperti jalur 1, pada jalur 3 juga terdapat pohon Kiara beas. Saat pengamatan, pohon ini sedang berbuah sehingga banyak monyet ekor panjang yang mencari makan di pohon ini. Dapat dikatakan kondisi jalur 3 hampir sama dengan jalur 2. Hanya saja pada jalur 3 berbatasan dengan pantai barat Pangandaran dan terdapat padang rumput Cikamal. Analisis habitat yang dilakukan pada daerah monyet ekor panjang biasa beraktivitas menunjukan adanya perbedaan jumlah jenis tumbuhan dan kerapatan vegetasi pada setiap jalur. Menurut penilitian yang dilakukan oleh Mitani et al. (2009) jenis tumbuhan yang ditemukan di CA Pananjung Pangandaran berjumlah 32 jenis tumbuhan, sedangkan pada penelitian Kurniawan (2008) berjumlah 51 jenis tumbuhan. Secara keseluruhan, jenis tumbuhan yang ditemukan saat analisis habitat sebanyak 48 jenis. Jalur 2 merupakan jalur yang memiliki kerapatan vegetasi paling tinggi. Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, pancang merupakan tingkat pertumbuhan vegetasi yang paling banyak ditemukan disetiap plot. Menurut Santoso (1996) tingkat vegetasi hutan mempengaruhi sebaran populasi monyet ekor panjang. Kondisi hutan yang lebih muda lebih disukai dibandingkan dengan hutan yang lebih tua masa suksesinya. Hal ini dapat menjadi faktor monyet ekor panjang lebih banyak ditemukan di jalur 1 yang vegetasinya tidak terlalu rapat.

29 Plot analisis habitat tidak hanya dilakukan pada daerah monyet ekor panjang biasa beraktivitas. Pada jalur 1 dan jalur 3 terdapat monyet ekor panjang dan lutung berada dalam satu pohon yang sama (simpatrik), yaitu terdapat di pohon Kiara beas. Lutung ditemukan di tajuk paling atas sedang memakan daun-daun muda atau pucuk pohon Kiara beas, sedangkan monyet ekor panjang berada di hampir setiap strata tajuk pohon. Pada saat pengamatan, baik monyet ekor panjang yang sedang sendiri dengan kelompoknya maupun sedang bersama lutung berada di pohon kiara beas yang sama, monyet ekor panjang jarang sekali sampai pada strata tajuk A (>30 meter). Biasanya monyet ekor panjang hanya berada di strata tajuk C (4-18 meter), strata D (1-4 meter) dan strata E (0-1 meter). Lantai hutan juga ditempati oleh monyet ekor panjang, karena perilakunya juga yang terestrial. Pohon tersebut digunakan monyet ekor panjang untuk aktivitas mencari makan, makan, istirahat dan melakukan aktivitas sosial. Monyet ekor panjang dan lutung merupakan satwa yang memiliki kekerabatan primata. Kekerabatan tersebut berpengaruh pada perilaku pakan. Kedua primata tersebut akan memiliki perbedaan area pencarian pakan, masing-masing satwa akan memonopoli area pencarian pakan masing-masing. Hal ini juga merupakan suatu bentuk persaingan. Pemisahan area pencarian pakan dapat secara horizontal berupa wilayah jelajah dan secara vertikal berupa perbedaan penggunaan tajuk (Fuentes 1999). Ketika pengamatan di sekitar pohon Kiara beas, monyet ekor panjang dang lutung tidak pernah terlihat berkelahi dalam mencari makan. Hal ini karena monyet ekor panjang memakan buah dari pohon kiara beas, sedangkan lutung hanya memakan bagian pucuk daun kiara beas saja. Jenis pakan monyet ekor panjang adalah 70,01% buah-buahan, dan untuk jenis pakan yang lainnya 6,06% (Romauli 1993 diacu dalam Santosa 1996). Kebanyakan jenis tumbuhan yang berada di cagar alam menghasilkan buahbuahan, misalnya Kiara beas (Ficus sumatrana), Laban (Vitex pubescens) dan Manggis hutan (Gracinia laterifolia). Berdasarkan hasil analisis habitat pada setiap jalur pengamatan terdapat 22 jenis tumbuhan teridentifikasi sebagai pakan monyet ekor panjang. Jenis pakan berupa tumbuhan paling banyak ditemukan pada jalur 1. Pada jalur 1 banyak jenis pandan laut dan ki kores yang merupakan pakan monyet ekor panjang. Kedua jenis tersebut memiliki kerapatan yang tinggi. Bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan oleh monyet ekor panjang adalah bagian buah. Buah merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak di makan, sehingga kertersedian pakan alami monyet ekor panjang tergantung saat musim buah dihasilkan. Beberapa jenis Ficus sp. dapat berbuah sepanjang tahun, kecuali saat musim kemarau panjang dimana beberapa jenis ini menggugurkan daun dan tidak menghasilkan buah (Santoso 1996). Jika pakan alami berupa jenis tumbuh-tumbuhan tidak ditemukan, satwa ini dapat mencari makan di daerah pantai yang bukan berasal dari tumbuh-tumbuhan, misalnya kerang atau siput. Santoso (1996) menyebutkan bahwa hanya bagian tertentu saja yang dimakan monyet ekor panjang seperti daun muda, buah, bunga, dan tunas sehingga tidak dapat menyediakan makanan sepanjang tahun (musiman). Variasi jenis tumbuhan yang dimakan mengikuti musim yang terjadi di habitat tempat tinggal monyet ekor panjang, jika pada bulan tertentu ketersediaan suatu jenis makanan tidak ada maka akan beralih ke jenis makanan lain yang ketersediaanya melimpah (Fuentes dan Dolhinow 1999). 19

30 20 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kepadatan populasi monyet ekor panjang berturut-turut dari jalur 1, jalur 2 dan jalur 3 adalah 22 ekor/ha, 4 ekor/ha, dan 19 ekor/ha. Populasi monyet ekor panjang paling banyak ditemukan pada jalur 1. Kelas umur dewasa merupakan individu yang paling banyak ditemukan, dengan individu anak yang paling sedikit. Banyaknya individu dewasa ini membentuk piramida terbalik yang menunjukan populasi menurun (regressive population). Sex ratio pada jalur 1 dan jalur 3 menunjukan perbadingan 1:4 sedangkan pada jalur 2 adalah 1:3. 2. Aktivitas harian pada pagi dan sore hari yang paling sering terlihat saat pengamatan adalah aktivitas makan. Aktivitas makan dilakukan pada rata-rata ketinggian pohon 8,2 meter, sehingga dapat disimpulkan rata-rata monyet ekor panjang beraktivitas pada strata tajuk C. 3. Hasil analisis habitat menemukan 48 jenis tumbuhan di sekitar monyet ekor panjang biasa beraktivitas. Jenis tumbuhan paling banyak ditemukan pada jalur 2 (Tadah angin). Beberapa jenis tumbuhan yang dominan pada jalur 1 adalah pandan laut, ki kores, bintaro dan kiara beas, pada jalur 2 adalah ki baceta, kakapasan, dan laban sedangkan pada jalur 3 adalah kilalayu, ki andong, jejerukan dan kiara beas. Berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi, tingkat pancang paling banyak pada setiap plot. 4. Sebanyak 22 jenis dari tumbuhan yang ditemukan, merupakan pakan bagi monyet ekor panjang. Bagian tumbuhan yang paling banyak di makan oleh monyet ekor panjang adalah buah, selain itu monyet ekor panjang juga memakan bagian pucuk, batang dan bunga. Pada jalur 1 dan 3 terdapat pohon Kiara beas yang menjadi sumber pakan bagi monyet ekor panjang dan lutung. Monyet ekor panjang memakan buah kiara beas, sedangkan lutung memakan pucuk daun kiara beas. Saran 1. Studi pendahuluan pada areal penelitian diperlukan dalam memilih jalur transek yang akan digunakan. Hal ini untuk mengetahui keberadaan monyet ekor panjang dan selanjutnya mengelompokan daerah mana saja dalam areal studi yang kepadatan populasi monyet ekor panjang tergolong rendah, sedang, dan tinggi, hal ini untuk mengurangii bias pada data yang dapat mengakibatkan perhitungan populasi overestimate atau underestimate. 2. Penelitian lanjutan mengenai potensi dan ketersedian pakan alami monyet ekor panjang juga perlu dilakukan sebagai salah satu upaya pengendalian habitat satwa tersebut.

31 DAFTAR PUSTAKA 21 Alikodra HS Pengelolaan Satwa Liar. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Dishut Jawa Barat] Dinas Kehutanan Jawa Barat Jabarprov. go.id/index.php?mod=managemenu&idmenukiri=517&idmenu=521 [diakses tanggal 15 April 2013]. Engelhardt A The Significance of Male and Female Reproductive Strategies for Male Reproductive Success in Wild Longtailed Macaque. [Desertasi]. Germany (DE): Fachbereich Biologie, Chemie, Pharmazie der Freien Universtat Berlin. Cuvillier Verlag. Gottingen. Eudey AA The Crab-eating Macaque (Macaca fascicularis): Widespread and Rapidly Declining. Primate Conservation 23: Fakhri K, Priyono B, Rahayuningsih M Studi Awal dan Distribusi Macaca fascicularis Raffles di Cagar Alam Ulolanang. Unnes Journal of Life Science 1 (2): Fooden J Comparative Review of Fascicularis-Group Species of Macaque (Primates: Macaca). USA (US): Field Museum of Natural History. Fuentes A, Dolhinow P The Nonhuman Primates. London (GB): Mayfield Publishing company. [IUCN] International Union for the Conservation of Nature and Natural IUCN Red List of Threatened Species. Version [terhubung berkala] (diakses pada 20 April 2013). Karimullah Social Organization and mating system of Macaca fascicularis (long tailed macaques). International Journal of Biology 3 (2): Kurniawan A, Parikesit Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas 9: Lang KC January 6. Primate Factsheets: Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) Taxonomy, Morphology, & Ecology. < (diakses tanggal 27 November 2013) Lekagul B, McNelly Mamals of Thailand. Bangkok (TH): Kurusapha Ladprao Press. Leeson C, Kyes RC, Iskandar E Estimasi Kepadatan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil, Indonesia Menggunakan Metode Line Transek Sampling. Jurnal Primatologi Indonesia 4 (1): Mitani M, Watanabe K, Gurmaya KJ, Megantara EN, Purnama AR, Syarief YS Plant species list from the Pananjung Pangandaran Nature Reserve, West Java, Indonesia, sampled in the El Niño-Southern Oscillation year of Humans and Nature 20: Napier JR, Napier PH A Handbook of Living Primates: Morfology, ecology and behavior of nonhuman primates. London (UK): Academic Press. Now k RM W klke s im es of he Wo ld. Baltimore, London (UK): The Johns Hopkins University Press. Rowe N The pictorial guide to living primates. New York (US): Pogonias Press.

32 22 Santosa Y Beberapa Parameter Bio-Ekologi Penting dalam Pengusahaan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Media Konservasi 5 (1): Santoso N Analisis Habitat dan Potensi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Pulau Tinjil. Media Konservasi 5 (1): 5-9. Soerianegara I, Indrawan A Ekosistem Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Supartono T Studi Habitat dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Supriatna J, Hendras W Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Van Schaik CP, Van Noordwijk MA Evolutionary Effect of the Absence of Felids on the Social Organization of the Macaques on the Island of Simeulue (Macaca fascicularis fusca, Miller 1903). Folia Primatologica 44: (abstract). Watanabe K, Mitani M, Arakane T, Gurmaya KJ, Dirgayusa WA, Megantara EN, Brotoisworo E Population Changes of Presbytis auratus and Macaca fascicularis in The Pangandaran Nature Reserve, West Java, Indonesia. Primate Research. 12: 271 (abstract). Widiastuty H, Riana D, Larasati P, Putri IE Status Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat [Laporan Jurusan Biologi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Yanuar A, David JC, Sugardjito J, Deborah JM, Jeremy TH The Population Distribution of Pig-Tailed Macaque (Macaca nemestrina) and Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) in West Central Sumatra, Indonesia. Asian Primates 1: 2-11.

33 23 Lampiran 1 Peta pengamatan monyet ekor panjang di kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran 23

34 24 Lampiran 2 Monyet ekor panjang sedang mencari makan di sekitar pantai dan di pohon Kiara beas. (a) sekitar pantai (b) di pohon Kiara beas Lampiran 3 Kondisi vegetasi pada Jalur 1 (Karang Pandan), Jalur 2 (Tadah angin) dan Jalur 3 (Cikamal). (a) Jalur 1 (Karang Pandan) (b) Jalur 2 (Tadah angin) (c) Jalur 3 (Cikamal)

35 25 Lampiran 4 Pohon Kiara beas di jalur 3 yang dijadikan tempat beraktivitas oleh monyet ekor panjang dan lutung Lampiran 5 Buah pakan monyet ekor panjang Pohpohan dan Kiara beas (a) Pohpohan (b) Kiara beas

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

STUDI POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus sondaicus) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT NOVITA PUJI LEKSONO

STUDI POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus sondaicus) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT NOVITA PUJI LEKSONO STUDI POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus sondaicus) DI CAGAR ALAM PANANJUNG PANGANDARAN JAWA BARAT NOVITA PUJI LEKSONO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan dua tahap: 1) Pengamatan langsung dilakukan di SM Paliyan yang berupa karst dan hutan terganggu dan Hutan wisata Kaliurang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN (THE SIZE OF LONG-TAILED MACAQUE GROUP (Macaca fascicularis)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan di grid vector O11, M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016. BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Hutan Bambu tepatnya di Kawasan Ekowisata Boon Pring Desa Sanankerto Kecamatan Turen Kabupaten Malang, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. B. Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas, Status dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran menyatu dengan Cagar Alam (CA) Pangandaran, merupakan semenanjung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i ii iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Struktur populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat

Struktur populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 3, Nomor 2, Mei 2017 ISSN: 2407-8050 Halaman: 224-229 DOI: 10.13057/psnmbi/m030211 Struktur populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan suatu obyek sesuai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan oleh Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci