BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan hasil penelitian yang relevan Suatu karya ilmiah harus berbekal pada teori sebab teori berfungsi untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan hasil penelitian yang relevan Suatu karya ilmiah harus berbekal pada teori sebab teori berfungsi untuk"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan hasil penelitian yang relevan Suatu karya ilmiah harus berbekal pada teori sebab teori berfungsi untuk memperjelas masalah yang diteliti, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen penelitian. Oleh karena itu teori yang dipakai dalam penelitian kualitatif harus jelas dan mempunyai dasar yang kokoh (Sugiyono, 2013). Adapun teori - teori yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian tentang Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa pendapatan daerah yaitu semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu. Sedangkan menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 juga menyebutkan tentang pengertian pendapatan asli daerah yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolahan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu komponen yang sangat menentukan berhasil tidaknya kemandirian pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi daerah saat ini. Salah satu komponen yang sangat diperhatikan dalam menentukan tingkat kemandirian daerah dalam rangka otonomi daerah adalah sektor Pendapatan Asli Daerah. Pada umumnya penerimaan pemerintah diperlukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Penerimaan pemerintah dapat 10

2 11 dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak, misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah, baik pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri. b. Jenis-jenis Pendapatan Asli Daerah Sesuai dengan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa pendapatan asli daerah terdiri dari : 1) Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : a) Hasil Pajak Daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah (baik pemerintahan daerah TK.I maupun pemerintah daerah TK.II) dan hasil di pergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD). Jadi pajak daerah yaitu pungutan pajak yang dilakukan daerah sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk mengelola dan membangun rumah tangganya. b) Hasil retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk kepentingan umum atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung. c) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan adalah hasil pendapatan daerah dari keuntungan yang didapat dari perusahaan daerah yang dapat berupa dana pembangunan daerah dan merupakan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain: bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah. d) Lain-lain pendapatan daerah yang sah berupa jasa giro, penjualan aset tetap daerah, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, dan bentuk lain sebagai akibat dari penjualan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah. 2) Dana perimbangan berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 19 yaitu

3 12 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Tujuan dari dana perimbangan yaitu untuk mengurangi kesenjangan pada bagian fiskal yang terjadi antara pemerintah dan pemerintah daerah.uu No.32 Tahun 2004 Pasal 159 sampai Pasal 162 menyebutkan bahwa dana perimbangan terdiri dari: a) Dana Bagi Hasil, bersumber dari hasil pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak yaitu: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, dan kehutanan. (2) Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. (3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Sedangkan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam yaitu: (1) Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH), dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. (2) Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran ekplorisasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. (3) Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan. (4) Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. (5) Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. (6) Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian pemerintahan, iuran tetap, dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. b) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia

4 13 setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. c) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah dalam UU No.32 Tahun 2004 Pasal 164 angka 1 menjelaskan bahwa pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurats dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah. 2. Kajian tentang Pajak Daerah a. Pengertian Pajak Daerah Definisi pajak menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro (2004) bahwa pajak sebagai iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Definisi tersebut, kemudian disempurnakan yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai pengeluaran umum. Definisi lain yang dikemukakan oleh S.I Djajadiningrat (2006:3) adalah sebagai berikut: Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan

5 pemerintahan serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik secara langsung dari Negara, untuk memelihara kesejahteraan umum. Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa : 1) Pajak dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) berdasarkan kekuatan Undang Undang serta aturan pelaksanaannya. 2) Merupakan kewajiban bagi setiap wajib pajak, bersifat dapat dipaksakan karena ditetapkan dalam Undang Undang. 3) Masyarakat tidak menerima imbalan secara langsung dari pemerintah. 4) Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih surplus digunakan untuk publik investment. 5) Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang. 6) Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur. Setiap kegiatan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan penerimaan Pendapatan Asli Daerah harus dilandaskan pada dasar hukum yang telah ada. Landasan hukum tersebut merupakan dasar dari kebijaksanaan daerah. adalah: Dasar hukum sebagai landasan untuk memungut Pajak Daerah 1) Undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2) Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 3) Undang Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 4) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1997 tentang pajak daerah. 14

6 15 5) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 1999 tentang sistem dan prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain. 6) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 170 Tahun 1997 tentang pedoman tata cara pemungutan pajak daerah. b. Jenis jenis pajak daerah Jenis pajak daerah menurut Undang Undang No. 28 Tahun 2009 jika dilihat dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah dapat dibagi menjadi : 1) Pajak daerah yang dipungut oleh propinsi. Menurut Undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Jenis pajak provinsi terdiri atas : a) Pajak Kendaraan bermotor; b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d) Pajak Pengambilan Air Permukaan; e) Pajak Rokok. 2) Pajak daerah yang dipungut oleh kabupaten/kota. Menurut Undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas : a) Pajak Hotel; b) Pajak Restoran; c) Pajak Hiburan; d) Pajak Reklame; e) Pajak Penerangan Jalan; f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g) Pajak Parkir; h) Pajak Air Tanah; i) Pajak Sarang Burung Walet; j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

7 16 c. Tarif Pajak Daerah Salah satu unsur perhitungan pajak yang akan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah tarif pajak sehingga penentuan besarnya tarif pajak yang diberlakukan pada setiap jenis pajak daerah memegang peranan penting. Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap setiap jenis pajak, yaitu: 1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor(PKB) ditetapkan paling tinggi 10%. 2) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor(BBNKB) ditetapkan paling tingg 20%. 3) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor(PBBKB) ditetapkan paling tinggi 10%. 4) Tarif Pajak Pengambilan Air Permukaan(PPAP) ditetapkan paling tinggi 10%. 5) Tarif Pajak Rokok ditetapkan paling tinggi 10%. 6) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10%. 7) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10%. 8) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 10%. 9) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%. 10) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%. 11) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan nditetapkan paling tinggi 25%. 12) Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 30%. 13) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi 20%. 14) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi 10%. 15) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi 0,3%. 16) Tarif pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi 5%.

8 Penetapan tarif pajak provinsi berbeda dengan penetapan tarif pajak kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini antara lain dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis-jenis pajak kabupaten/kota tidak akan mempengaruhi pilihan lokasi wajib pajak untuk melakukan kegiatan yang dikenakan pajak. d. Fungsi Pajak Dalam ilmu administrasi, fungsi adalah aktivitas pokok suatu lembaga atau pranata, yang tanpa aktivitas itu, eksistensi/keberadaan lembaga atau pranata tersebut tidak perlu ada. Menurut Mardiasmo (2011:2), fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu fungsi Budgetair, pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi Regulerend pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi. e. Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Waluyo, Wirawan (1999:7-8) tata cara pemungutan pajak dibagi menjadi tiga, yaitu stelsel pajak, sistem pemungutan pajak dan asas pemungutan pajak. 1) Stelsel Pajak a) Stelsel Nyata (Riil Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada obyek atau penghasilan yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak, sehingga pajak yang baru dapat dipungut setelah akhir tahun pajak, yaitu setelah diketahui penghasilan yang sesungguhnya. b) Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur Undang - undangnya. Misalnya anggapan bahwa penghasilan tahun sekarang sama dengan penghasilan tahun lalu, sehingga pada awal tahun sudah dapat diketahui besarnya pajak terutang. c) Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun berdasarkan anggapan dan pada akhir tahun dilakukan koreksi. 17

9 2) Sistem Pemungutan Pajak a) Official assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b) Self assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: (1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. (2) Wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. (3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c) With holding system, yaitu suatu sistem pungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 3) Asas Pemungutan Pajak a) Asas Tempat Tinggal Negara mempunyai hak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempata tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri. b) Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaaan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. c) Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 18

10 19 3. Kajian tentang Pajak Hiburan a. Pengertian Pajak Hiburan Penyelenggaraan pajak hiburan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Mengingat kondisi kabupaten/kota di Indonesia tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan yang diselenggarakan maka untuk dapat diterapkan pada suatu daerah kabupaten atau kota pemerintah daerah setempat harus mengeluarkan peraturan daerah tentang pajak hiburan yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hiburan didaerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam pemungutan pajak hiburan terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 1) Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apa pun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga. 2) Penyelenggaraan hiburan adalah pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya dalam menyelenggarakan suatu hiburan. 3) Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk melihat dan atau untuk mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain) dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan. 4) Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apa pun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya

11 20 diminta wajib pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan hiburan. 5) Tanda masuk adalah semua tanda atau alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas atau menikmati hiburan. 6) Harga tanda masuk (HTM) adalah nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung. b. Objek dan Bukan Objek Pajak Hiburan 1) Objek Pajak Hiburan Objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Yang dimaksud hiburan antara lain berupa tontonan film, kesenian, pagelaran musik dan tari, diskotik, karaoke, klub malam, permainan biliar, permainan ketangkasan, panti pijat, mandi uap dan pertandingan olahraga. Dengan demikian objek pajak hiburan meliputi : (a) Pertunjukan film; (b)pergelaran kesenian, musik, tari, dan / atau busana; (c) Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; (d)pameran; (e) Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; (f) Sirkus, akrobatik, dan sulap; (g)permaianan bilyar, golf, dan boling; (h)pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; (i) Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan (j) Pertandingan olahraga. Pada beberapa daerah, misalnya di Kota Surakarta sendiri, objek pajak hiburan diperluas menjadi termasuk pelayanan yang disediakan pada tempat hiburan, termasuk penjualan makanan dan

12 21 minuman. Pelayanan yang termasuk objek pajak termasuk jasa pemandu lagu dan lain sejenisnya yang bersifat insidental, misalnya show biz. Pengembangan objek pajak dimungkinkan sesuai dengan kreasi masing masing pemerintahan kabupaten/kota. 2) Bukan Objek Pajak Hiburan Pada hiburan, tidak sama penyelenggaraan hiburan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat dan kegiatan keagamaan. 3) Subjek Dan Wajib Pajak Hiburan Pada pajak hiburan, subjek pajak adalah orang atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. Secara sederhana subjek pajak hiburan adalah konsumen yang menikmati hiburan. Sementara itu, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan, dengan demikian subjek pajak dan wajib pajak pada hiburan tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan tempat hiburan merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sementara penyelenggara hiburan bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak). Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undangundang dan peraturan daerah tentang pajak hiburan. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung rentang atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

13 22 c. Dasar Pengenaan, Tarif dan Perhitungan Pajak Hiburan 1) Dasar Pengenaan Pajak Hiburan Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran atau seharusnya dibayar untuk menonton atau menikmati hiburan. Pengertian yang seharusnya dibayar termasuk pemberian potongan dan tiket cuma-cuma. 2) Tarif Pajak Hiburan Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar tiga puluh lima persen (35%) dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kota/kabupaten diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kota/kabupaten lainnya, asalkan tidak lebih dari tiga puluh lima persen. Untuk mendukung pengembangan kesenian tradisional, hiburan berupa kesenian tradisional umumnya dikenakan tarif yang lebih rendah dari hiburan lainnya. Oleh karena objek pajak hiburan meliputi beberapa jenis hiburan, pemerintahan kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan, yang biasanya berbeda antar jenis hiburan. Misalnya suatu pemerintah daerah kota menetapkan besarnya tarif pajak hiburan untuk setiap jenis hiburan antara lain : a) Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan 10%. b) Tarif pajak untuk pertunjukan/pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana modern ditetapkan sebesar 25%. c) Tarif pajak untuk pertunjukan/pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana tradisional ditetapkan sebesar 5%. d) Tarif pajak kontes kecantikan ditetapkan sebesar 25%. e) Tarif pajak untuk binaraga sebesar 15%. f) Tarif pajak pameran sebesar 20%.

14 23 g) Tarif pajak diskotik, klab malam, dan sejenisnya sebesar 40%. h) Tarif pajak untuk karaoke sebesar 30%. i) Tarif pajak sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 20%. j) Tarif pajak untuk permainan biliar dan bowling sebesar 20%. k) Tarif pajak golf sebesar 30%. l) Tarif pajak pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permaianan ketangkasan sebesar 35%. m) Tarif pajak panti pijat sebesar 30%. n) Tarif pajak refleksi dan pusat kebugaran (fitness center) sebesar 20%. o) Tarif pajak mandi uap/spa sebesar 40%. p) Tarif pajak pertandingan olahraga sebesar 10%. 3) Perhitungan Pajak Hiburan Besarnya pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak yang harus dibayar dengan dasar pengenaan pajak (prosentase tarif pajak yang telah ditentukan), sehingga dapat ditulis sebagai berikut : Besarnya Pajak Terutang= Tarif Pajak yg harus dibayar x Prosentase Tarif Pajak Dari rumus perhitungan pajak tersebut, pengenaan pajak berdasarkan pada jumlah pembayaran atau seharusnya dibayar untuk menonton atau menikmati hiburan, maka besar pajak yang dikenakan juga tergantung dengan jenis maupun golongan obyek pajak masingmasing. Contoh : (a) Karaoke, ditetapkan pajak sebesar 35% Jumlah pendapatan selama satu bulan = Rp ,- Pajak yang harus dibayar : = Rp ,- x 35% = Rp ,-

15 24 (b) Permainan Bilyard, ditetapkan sebesar 20% Jumlah pendapatan selama satu bulan = Rp ,- Pajak yang harus dibayar : = Rp ,- x 20% = Rp ,- d. Pengelompokan Pajak Hiburan Dalam melaksanakan pemungutan pajak hiburan terlebih dahulu harus diketahui dan diperhatikan sarana hiburan yang kiranya dapat mendatangkan suatu keuntungan yang harus dikenai pajak hiburan sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah, baik mempertontonkan kepada umum secara terbuka maupun tertutup. Obyek pajak hiburan dapat dikelompokan menjadi : 1) Hiburan Bersifat Tetap Pertunjukan atau tontonan yang penyelenggaraannya bersifat tetap dan terus menerus setiap hari. Termasuk hiburan ini antara lain : (a) Diskotik; (b) Karaoke; (c) Permainan Bilyar; (d) Permainan Ketangkasan; (e) Panti pijat; (f) Pertandingan Olahraga; (g) Taman Wisata dan sejenisnya; (h) Persewaan vcd dan sejenisnya. 2) Hiburan Bersifat Tidak Tetap Pertunjukan atau tontonan yang sifatnya hanya sementara dan tidak terusmenerus setiap hari. Termasuk dalam jenis hiburan ini antara lain: (a) Pertunjukan Band, konser musik; (b) Pertunjukan film-film; (c) Penyelenggaraan pameran seni; (d) Pagelaran tari dan musik;

16 25 (e) Pagelaran kesenian tradisional; (f) Pameran busana; (g) Kontes kecantikan. 4. Kajian tentang Efektivitas Penerimaan Pajak Hiburan dan Efisiensi Biaya Pemungutan Pajak Hiburan a. Efektivitas Penerimaan Pajak Hiburan 1) Pengertian Efektivitas The Liang Gie (2004:68) memberikan simpulan mengenai efektivitas yaitu suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat yang dikehendaki kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu dan memang dikehendakinya, maka orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendakinya. Apabila ditarik kesimpulan maka efektivitas adalah tercapainya tujuan yang dikehendaki yang mana yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun kaitan konsep efektivitas ini terhadap kinerja organisasi pemerintahan, yaitu konsep efektivitas ini lebih mengacu pada keberhasilan organisasi pemerintahan di dalam mengemban tugas pokok dan fungsi pemerintahan. Menurut Devas (Munir, 2004) dinyatakan bahwa: Efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintahan dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintahan dengan biaya serendahrendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya(hlm.88). Jika konsep ini dikaitkan dengan kinerja pemungutan pajak daerah, efektivitas lebih kepada memberikan gambaran kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dengan target yang telah ditetapkan. Atau dapat dikatakan bahwa efektifitas pajak hiburan adalah sebagai perbandingan antara realisasi penerimaan pajak hiburan dengan target penerimaan pajak hiburan berdasarkan potensi riil daerah kota Surakarta.

17 26 Pengertian efektivitas bila dikaitkan dengan penerimaan suatu pajak maksudnya adalah seberapa besar realisasi pajak berhasil mencapai potensi yang sebenarnya harus dicapai pada periode tertentu. Dari pengertian tersebut maka Abdul Halim (2004:167) merumuskan efektivitas sebagai berikut : Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak & Retribusi Daerah X 100% Target Penerimaan Pajak & Retribusi Daerah Efektivitas dalam kaitannya dengan penerimaan suatu pajak, memberikan gambaran penerimaan suatu pajak di suatu daerah yang nantinya dapat digunakan sebagai ukuran atau pertimbangan dalam pengambilan langkah perbaikan maupun peningkatsn penerimaan pajak tersebut. Efektivitas penerimaan pajak hiburan menunjukkan rasio atau perbandingan antara penerimaan pajak hiburan dengan target pajak hiburan yang telah ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan potensi yang sesungguhnya. Apabila rasio efektivitas yang dicapai minimal atau 100% maka rasio efektivitas semakin baik, artinya semakin efektif pajak hiburan. Namun, sebaliknya semakin kecil persentase efektivitasnya menunjukkan pemungutan pajak hiburan semakin tidak efektif. 2) Kriteria pengukuran Efektivitas Mengukur efektivitas secara lebih rinci digunakan kriteria berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan Dalam Negeri Tahun 1994 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan yang terdapat pada tabel berikut, Abdul Halim (2008:232). Tabel 2.1 Rasio Efektivitas Rasio Efektivitas (%) Kriteria >100% Sangat Efektif 90% - 100% Efektif 80% - 90% Cukup Efektif 60% - 80% Kurang Efektif <60% Tidak Efektif Sumber: Menteri Perdagangan Dalam Negeri No

18 27 Dikatakan pula dalam sumber lain bahwa suatu kegiatan belum dapat diukur efektivitasnya apabila kegiatan tersebut belum dirumuskan indikator outcomenya. Suatu kegiatan yang dikategorikan efektif bila mampu mencapai angka rata-rata outcome 90%. Sedangkan suatu kegiatan dinyatakan kurang atau tidak efektif bila capaian rata-rata indikatornya dibawah 90%. b. Efisiensi Biaya Pemungutan Pajak Hiburan 1) Pengertian Efisiensi Efisiensi menurut Abdul Halim (2004:70) berhubungan erat dengan konsep efektivitas yaitu membandingkan antara output yang dihasilkan dengan input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dikatakan efisien apabila suatu target kinerja tertentu (output) dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya (input) rendah. Hasil penelitian Adisasmita (2010) efisiensi adalah input yang digunakan, dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai output yang menggunakan biaya terendah. Efisiensi berarti pemanfaatan sumber daya ekonomi dengan cara-cara paling efektif. Efisien dapat diartikan pula bahwa segala input dialokasikan sedemikian rupa, hingga output dapat diproduksi dengan biaya termurah. Seringkali efisiensi diartikan dalam kaitannya dengan kegiatan pemerintah yang dilaksanakan tanpa pemborosan atau dengan kehematan yang sebesar-besarnya, atau dapat dilaksanakan secara optimal. Menurut Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006, Efisien adalah pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Dilihat dari kepentingan masyarakat, efisiensi berarti menciptakan kesejahteraan masyarakat.pelaksanaan kebijakan pemerintah seharusnya diupayakan untuk menghindari pemborosan, meningkatkan kehematan, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.

19 28 2) Kriteria Pengukuran Efisiensi Dalam pemungutan Pendapatan Asli Daerah, Abdul Halim (2004:167) mendefinisikan efisiensi sebagai perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memungut pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Jika dalam pemungutan terjadi inefisiensi, maka cenderung akan menimbulkan distorsi bagi kegiatan ekonomi sehingga menggangu masyarakat dalam melakukan kegiatannya di daerah. Perhitungan efisiensi menurut hasil penelitian Sidik (1994) menggunakan rumus sebagai berikut: Efisiensi = Biaya Pemungutan Pajak & Retribusi Daerah X 100% Realisasi Penerimaan Pajak & Retribusi Daerah Tabel 2.2 Rasio Tingkat Efisiensi Rasio Efisiensi (%) Kriteria Kurang dari 60% Sangat Efisien 61% - 80% Efisien 81% - 90% Cukup Efisien S 91% - 100% Kurang Efisien Diatas 100% Tidak Efisien Sumber:Kepmendagri Nomor ,1996. Pengukuran efisiensi yaitu membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan hasil atau realisasi pendapatan. Suatu pendapatan dikatakan efisien apabila persentase perbandingannya sama dengan atau kurang dari 1(E 1). Adapun kriteria yang digunakan dalam menilai efisiensi pajak daerah adalah pengelolaan pajak daerah dikatakan efisien apabila rasio efisiensi atau rasio biaya pemungutan tidak melebihi 5% (Keputusan Menteri Dalam Negeri No.35 Tahun 2002). Efisiensi pemungutan pajak hiburan ini merupakan suatu gambaran terhadap penerimaan pajak hiburan dengan realisasinya. Semakin efisiennya pajak hiburan ini dapat dilihat dari biaya yang digunakan untuk

20 pemungutan pajak dengan realisasi penerimaan pajak yang diterima oleh petugas pengelola pajak. 29 c. Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap PAD Menurut Kamus Ekonomi T Guritno (1997:76) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah. Perhitungan kontribusi pajak digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pajak daerah khususnya pajak hiburan terhadap pendapatan asli daerah. Kontribusi Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut sesuai dengan hasil penelitian Puspitasari (2013): Kontribusi PH pada PAD = Realisasi Peneriman Pajak Daerah X 100% Realisasi Penerimaan Pajak Kriteria yang digunakan dalam menilai kontribusi pajak hiburan terhadap pendapatan asli daerah, sebagai berikut: Tabel 2.3 Klasifikasi Kriteria Kontribusi Persentase Pajak Daerah Prosentase Kriteria 0,00%-10% Sangat Kurang 10,00%-20% Kurang 20,00%-30% Sedang 30,00%-40% Cukup Baik 40,00%-50% Baik Diatas 50% Sangat Baik Sumber:Dipdagri, Kepmendagri No

21 30 5. Kajian tentang Pengayaan Materi Mata Pelajaran Perpajakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan jenjang pendidikan yang memiliki konsentrasi bidang beberapa bidang keahlian seperti akuntansi, tata busana, tata boga, administrasi perkantoran, tata niaga, dan bidang keahlian lainnya sesuai yang ada di SMK tersebut. Sebelum memasuki SMK siswa-siswi terlebih dahulu memilih minat dan bakat sesuai dengan dirinya sendiri sehingga nantinya SMK melakukan proses seleksi sesuai kemampuan dan minat siswa-siswinya. Adanya beberapa bidang keahlian atau jurusan di SMK semakin mempermudah siswa-siswi dalam mengembangkan keahliannya. Sehingga selama belajar di bangku SMK siswa-siswi akan lebih memperdalam ilmu yang diperoleh selama pembelajaran. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menyiapkan siswa-siswinya ketika lulus nanti sudah siap bekerja dilingkungan industri dan usaha sesuai dengan jurusan yang diambil. Oleh karena itu, tugas yang diemban oleh seorang guru SMK untuk menyiapkan siswa-siswinya agar mampu menguasai keahlian seusai dengan jurusannya. Di SMK terdapat jurusan akuntansi yang terdapat mata pelajaran perpajakan. Perpajakan yang diajarkan di SMK lebih menekankan pada Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN BM). Siswa siswi lebih ditekankan pada ketiga pajak tersebut karena akan sangat diperlukan nantinya ketika sudah memasuki dunia industri dan usaha. Akan tetapi, materi tentang pajak daerah khususnya pajak hiburan ini juga dapat menjadi bahan materi pengembangan tentang pajak sehingga siswa-siswi dapat memperoleh pengetahuan tentang pajak daerah khususnya pajak hiburan. Meskipun materi tentang pajak hiburan ini tidak terdapat dalam pembelajaran perpajakan di SMK, materi ini dapat digunakan sebagai bahan pengayaan mata pelajaran perpajakan sebagai pengembangan materi perpajakan. Guru dapat memasukkan materi pengayaan tersebut pada mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) karena dalam mata pelajaran Mulok ini

22 31 disesuaikan dengan potensi yang ada di daerah SMK berada. Misalnya apabila potensi daerah tersebut banyak terdapat usaha hiburan yang dikenakan pajak hiburan, maka materi ini dapat diajarkan pada mata pelajaran Mulok tersebut. Penguasaan materi secara komprehensif sangat membantu guru dalam keberhasilan pembelajaran pada mata pelajaran perpajakan. Guru aktif dalam pembelajaran dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa-siswi berkaitan dengan materi yang ada kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada dilapangan. Guru dapat melakukan pengembangan materi ajar sesuai dengan ketentuan pada silabus. 6. Penelitian yang Relevan Ada beberapa penelitian relevan yang berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi pajak hiburan dan kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan asli daerah antara lain: 1. Risky, E (2010) dengan judul Analisis Efektivitas, Efisiensi, Dan Kontribusi Pajak Dan Retribusi Daerah Terhadap PAD Kabupaten Blora Tahun Pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah Kabupaten Blora. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian pungutan Pajak Daerah sudah efektif, mengetahui tingkat pencapaian pungutan Retribusi Daerah sudah efektif, untuk mengetahui tingkat pencapaian pungutan pajak daerah sudah efisien, untuk mengetahui tingkat pencapaian pungutan retribusi daerah sudah efisien, dan untuk mengetahui apakah pajak daerah berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat pencapaian pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah efektif dan efisien adalah metode deskriptif kualitatif dilengkapi dengan deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan tingkat pencapaian pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten Blora tahun semakin tahun semakin efektif dan efisien serta Pajak Daerah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (2010).

23 32 2. Qaddarochman (2010) dengan judul Optimalisasi Pemungutan Pajak Hiburan dan Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Malang Pada Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah adalah untuk mengetahui proses pemungutan Pajak Hiburan dan kendala yang dihadapinya serta untuk mengetahui upaya apa saja untuk mengoptimalisasi pemungutan Pajak Hiburan, untuk menganalisis kontribusi Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Malang. Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa pajak hiburan merupakan salah satu pajak daerah yang dapat meningkatkan dan menberikan kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah, memiliki potensi besar untuk digali demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Kendala yang dihadapi dalam menggali potensi Pajak Hiburan antara lain kesadaran wajib pajak akan kewajiban membayar pajak masih kurang, belum optimalnya kinerja dalam BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah), penegakan sanksi yang kurang tegas, dan fasilitas penunjang yang kurang memadai. Masalah yang dihadapi dalam pemungutan pajak khususnya Pajak Hiburan di Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Malang mengakibatkan penurunan penerimaan pajak serta menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan pemungutan pajak di lapangan, sehingga dana yang digunakan untuk pembangunan daerah juga berkurang. Dalam upaya peningkatan penerimaan daerah khususnya yang bersumber dari sektor pajak hiburan, Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Malang menerapkan beberapa strategi yaitu dengan melakukan tindakan intensifikasi dan ekstensifikasi, dan juga membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung kelancaran proses penarikan pajak di Kabupaten Malang. 3. Safitri, D (2007) dengan judul Analisis Efektivitas, Efisiensi dan Kontribusi Pajak Daerah Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus pada KPPD Kota Yogyakarta). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi

24 33 pajak daerah yang dikelola oleh KPPD Kota Yogyakarta, untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan analisis SWOT terhadap pemungutan dan penghimpunan pajak daerah yang dilakukan KPPD Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi adalah data kuantitatif dan kualitatif, untuk perhitungan data kuantitatif dalam bentuk perhitungan angka-angka berdasarkan data-data yang terkumpul dengan menggunakan rumus efektivitas, efisiensi, dan kontribusi atau mengukur rasio dan untuk data kualitatif dengan analisis SWOT. Hasil dari penelitian ini adalah tingkat efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak daerah yang dilakukan KPPD Kota Yogyakarta sangat bervariasi dan rata-rata sudah efektif dan efisien dengan perbandingan rasio yang digunakan serta kontribusi Pajak Daerah cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Yogyakarta. Dari analisis SWOT mekanisme pemungutan Pajak Daerah Kota Yogyakarta memiliki kekuatan dan peluang serta kelemahan dan ancaman. 4. Suwarno, S (2008) jurnal penelitian yang berjudul Efektivitas Evaluasi Potensi Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Sukoharjo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan pendapatan daerah dalam menopang penyelenggaraan dan pembangunan daerah di Kabupaten Sukoharjo. Mengetahui permasalahan yang terjadi dalam proses pemungutan pajak yang menyebabkan penurunan penerimaan pajak daerah. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah pemerintah Kabupaten Sukoharjo dengan mengektensifkan / memperluas objek dari pajak daerah yang sudah ada. Badan Pengelola Keuangan Daerah berupaya mencari pemecahan dari masalah-masalah yang menyebabkan penurunan pajak daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerah antara lain peningkatan sumber daya manusia, memberikan pengarahan dan penyuluhan kepada wajib pajak dan memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah.

25 34 Dari beberapa hasil penelitian relevan yang telah penulis kemukakan, dapat diketahui bahwa persamaan penelitian tentang efektivitas dan efisiensi pajak hiburan dan kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan asli daerah di Kota Surakarta dengan penelitian terdahulu yaitu pada peningkatan pendapatan asli daerah dari pajak daerah khususnya pajak hiburan. Namun, disini penulis tidak hanya berfokus pada pajak hiburan saja tetapi juga untuk pengayaan materi pelajaran perpajakan yang terdapat di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah lokasi penelitian yaitu di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) daerah Surakarta dan pengambilan objek penelitiannya yaitu penelitian mengenai peningkatan penerimaan pajak hiburan dan kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah serta penelitian ini mengkaji lebih dalam tentang pajak hiburan yang ada di Kota Surakarta dan mengkaitkan penelitian tersebut untuk pengayaan materi mata pelajaran Perpajakan yang terdapat di SMK. B. Kerangka Berpikir Pelaksanakan penelitian perlu adanya kerangka berpikir yang mantap agar dalam pelaksanaan penelitian di lapangan dapat terarah dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam penelitian. Kerangka berpikir merupakan arahan untuk menuju pada suatu jawaban sementara atas masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Suatu negara terdapat penerimaan yang salah satu sumbernya berasal dari pajak. Pentingnya pajak didalam suatu instansi dikarenakan pajak merupakan suatu sumber penerimaan bagi negara. Setiap pemasukan pajak bagi pemerintah diharapkan penerimaannya dapat optimal sesuai dengan target dan potensi yang telah ditetapkan karena pajak itu sangat berpengaruh bagi pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat baik spiritual maupun material sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

26 35 Pajak adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan balas jasa secara langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan umum. Seperti yang telah diuraikan, dapat diketahui bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan dan digunakan untuk pengeluaran Negara. Pajak yang dipungut oleh pemerintah tersebut merupakan salah satu penerimaan pendapatan terbesar Negara, baik pendapatan pusat maupun pendapatan asli daerah. Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah pajak daerah. Pajak daerah ada bermacam-macam, salah satunya adalah Pajak Hiburan, yang menjadi objek pajak adalah pajak hiburan, sedangkan subjek pajaknya adalah orang atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. Pembelajaran perpajakan pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih memfokuskan pada Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN BM). Namun, sebagai bahan pengembangan materi perpajakan, materi tentang pajak hiburan dapat dijadikan sebagai materi pengayan untuk mata pelajaran perpajakan di SMK. Sehingga siswa-siswi SMK dapat memperoleh pengetahuan tentang pajak daerah khususnya pajak hiburan dan guru mata pelajaran perpajakan juga dapat memperoleh tambahan materi untuk pengembangan bahan ajar perpajakan yang bertujuan untuk memperdalam kajian tentang pajak khususnya pajak hiburan. Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa pajak hiburan ini salah satu unsur kemampuan asli daerah untuk memudahkan bagi Pemerintah Daerah melakukan pembangunan diberbagai sektor didalamnya. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) salah satunya adalah pajak hiburan.

27 36 berikut: Kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai DPPKA Pendapatan Asli Daerah Pajak daerah Retribusi daerah Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Pajak Propinsi Pajak Kabupaten/Kota Pajak Hiburan menurut Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Hiburan serta Kontribusinya dalam Peningkatkan Pendapatan Asli Daerah Efektivitas dan Efisiensi Tidak Efektif dan Efisien Solusi Implikasi bagi guru mata pelajaran Perpajakan di SMK untuk pengembangan materi tentang pajak hiburan Gambar 2.1. Alur Kerangka Berpikir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, negara berkewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya baik dalam bidang pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. warga negaranya yang memenuhi syarat secara hukum berhak wajib untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. warga negaranya yang memenuhi syarat secara hukum berhak wajib untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang penduduknya sangat padat, dimana setiap warga negaranya yang memenuhi syarat secara hukum berhak wajib untuk membayar pajak secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak 1. Pengertian Pajak Tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari beberapa ahli antara lain: a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut P.J.A Andiani dalam Diana Sari (2013: 33), adalah sebagai berikut : Pajak adalah iuran masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pajak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pajak secara umum 2.1.1. Pengertian pajak Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pemerintah yang bersifat wajib (dapat dipaksakan) berdasarkan Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pemerintah yang bersifat wajib (dapat dipaksakan) berdasarkan Undang-Undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak secara umum dapat diartikan sebagai iuran dari rakyat kepada pemerintah yang bersifat wajib

Lebih terperinci

Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Malang (Periode )

Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Malang (Periode ) Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kota Malang (Periode 2010-2014) Disusun Oleh: Januardi 2011110028 Dosen Pembimbing: 1).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal dengan istilah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal dengan istilah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak telah berubah menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang merupakan perubahan keempat Undang-Undang Nomor 6 Tahun

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh negara di dunia. Masalah pajak merupakan masalah negara dan

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 06 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 06 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 06 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Permasalahan dalam pajak erat kaitannya dengan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terlepas dari adanya pembangunan daerah. Saat ini di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. tidak terlepas dari adanya pembangunan daerah. Saat ini di Indonesia telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. (2011), pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

BAB II LANDASAN TEORI. (2011), pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Perpajakan karangan Mardiasmo (2011), pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2014 Nomor : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Dinas Pendapatan dan. Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Dinas Pendapatan dan. Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Objek Penelitian 1. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta DPPKA dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya dikenal 2 fungsi pajak yaitu, budgetair dan regulerend. Budgetair

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya dikenal 2 fungsi pajak yaitu, budgetair dan regulerend. Budgetair BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut pentingnya pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pasal 1 angka 18, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Abdul Halim (2004:94), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 03 Tahun 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 6 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 6 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 6 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2006:1) definisi pajak dalam buku perpajakan edisi revisi, pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Hiburan di Kabupaten

BAB IV PEMBAHASAN Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Hiburan di Kabupaten BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Hiburan di Kabupaten Semarang Sesuai dengan Undang-Undang tentang otonomi daerah, Pemerintah daerah di Kabupaten Semarang memiliki kewajiban

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. bahwa Pajak Hiburan merupakan sumber pendapatan

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

1 PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 28 TAHUN 2012 TENTANG

1 PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 28 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN 1 PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 28 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH KHUSUSNYA PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI Oleh: Muhammad Alfa Niam Dosen Akuntansi, Universitas Islam Kadiri,Kediri Email: alfa_niam69@yahoo.com

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Pengertian Pajak menurut Susunan Dalam Satu Naskah Udang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Menurut Rochmat Soemintro dalam Erly Suandy (2011:7). Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada didalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang

Lebih terperinci

BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH PERATURAN BUPATI KABUPATEN EMPAT LAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK HIBURAN DISUSUN OLEH BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DINAS PENDAPATAN DAERAH w t a -r-x-r x-i-k A nrv-ttmvt T^Tl KT~\ A TV T

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA GORONTALO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan

Lebih terperinci

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA BAB I I TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak dikemukakan oleh beberapa ahli telah memberikan batasan-batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kesatuan, Indonesia mempunyai fungsi dalam membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 05 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 05 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 05 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soemohamijaya dalam Diana Sari (2013:22) pengertian pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soemohamijaya dalam Diana Sari (2013:22) pengertian pajak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Pengertian Pajak adalah : Menurut Soemohamijaya dalam Diana Sari (2013:22) pengertian pajak Pajak adalah Iuran wajib berupa uang atau barang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN PUSTAKA 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan

BAB II LANDASAN PUSTAKA 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan BAB II LANDASAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hak untuk mengurus sendiri rumah tangga daerahnya. Papua merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. hak untuk mengurus sendiri rumah tangga daerahnya. Papua merupakan salah satu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan otonomi yang diberikan kepada daerah, maka daerah diberi hak untuk mengurus sendiri rumah tangga daerahnya. Papua merupakan salah satu Provinsi yang

Lebih terperinci

BUPATI BULULUKUMBA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA Nomor : 7 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN

BUPATI BULULUKUMBA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA Nomor : 7 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN BUPATI BULULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA Nomor : 7 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi ketentuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis pajak, tata cara pemungutan pajak dan seterusnya yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi diperoleh dari perpajakan sebesar Rp1.235,8 triliun atau 83% dari

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi diperoleh dari perpajakan sebesar Rp1.235,8 triliun atau 83% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan pembangunan, Pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kebutuhan akan dana pembangunan dapat diperoleh dengan berbagai

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI

LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI Zulistiani Universitas Nusantara PGRI Kediri zulis.tiani.zt@gmail.com Abstrak Kota Kediri mempunyai wilayah yang cukup strategis

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 12

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 12 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 12 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 16 TAHUN 2010

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Pajak Hiburan merupakan sumber pendapatan daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar negri. Kondisi di

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar negri. Kondisi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan daerah perlu dijalankan atau dikembangkan sebagai salah satu upaya penting untuk mewujudkan kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2) untuk memelihara kesejahteraan secara langsung.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2) untuk memelihara kesejahteraan secara langsung. 8 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 18 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 18 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 18 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Tujuan pembangunan nasional adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

ANALISIS PEMUNGUTAN PAJAK HIBURAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURABAYA

ANALISIS PEMUNGUTAN PAJAK HIBURAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURABAYA 1 ANALISIS PEMUNGUTAN PAJAK HIBURAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURABAYA Vira Hardiyanti S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya Vira.hardiyanti93@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi fiskal sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pajak 1. Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra Prestasi)

Lebih terperinci

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA, Menimbang : a. bahwa Pajak Hiburan merupakan salah

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 16 TAHUN

Lebih terperinci

b. Perda Nomor 03 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah c. Perda Nomor 04 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah.

b. Perda Nomor 03 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah c. Perda Nomor 04 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah. b. Perda Nomor 03 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. c. Perda Nomor 04 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah. d. Perda Nomor 07 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. e. Perda Nomor

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6). BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Pada Umumnya II.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Pajak merupakan gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada dalam masyarakat. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang mempunyai hidup sendiri dan kepentingan sendiri.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 10 2017 SERI : B PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 10 TAHUN 2017 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak

Lebih terperinci

BAB III STATEGI OPTIMALISASI PAD MELALUI EKSTENSIFIKASI OBYEK PAJAK HIBURAN

BAB III STATEGI OPTIMALISASI PAD MELALUI EKSTENSIFIKASI OBYEK PAJAK HIBURAN 30 BAB III STATEGI OPTIMALISASI PAD MELALUI EKSTENSIFIKASI OBYEK PAJAK HIBURAN 1. Sejarah Propinsi DKI Jakarta Jakarta bermula dari sebuah Bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah yang mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 2001 memberi kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, menetapkan

Lebih terperinci

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat 1 Desentralisasi Politik dan Administrasi Publik harus diikuti dengan desentralisasi Keuangan. Hal ini sering disebut dengan follow money function. Hubungan

Lebih terperinci

Sama seperti pajak, namun terdapat imbalan (kontra-prestasi) secara langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar retribusi

Sama seperti pajak, namun terdapat imbalan (kontra-prestasi) secara langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar retribusi Apakah pajak itu? Kenapa pajak timbul dalam masyarakat? Apakah peranan pajak bagi negara? Iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas 1. Pengertian Efektivitas Hidayat (1986) menjelaskan bahwa: Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djajadiningrat (1999) dalam Sari pengertian pajak adalah : Menurut Soemitro (1988) pengertian pajak adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djajadiningrat (1999) dalam Sari pengertian pajak adalah : Menurut Soemitro (1988) pengertian pajak adalah : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Djajadiningrat (1999) dalam Sari pengertian pajak adalah : Pajak adalah suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan Negara karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN PAJAK Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun

Lebih terperinci

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG 3.1 Tinjauan Teori 3.1.1 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Efektifitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) efektif berarti dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib rakyat kepada kas negara.definisi pajak menurut beberapa ahli adalah : 1) Menurut Soemitro (Mardiasmo, 2011:1),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO Yanuar Fajar Nugroho Topowijono Tri Henri Sasetiadi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang 115030400111078@mail.ub.ac.id

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa pajak hiburan merupakan sumber pendapatan daerah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI, Menimbang : a. bahwa dengan terbentuknya Kabupaten Sigi menjadi daerah otonom

Lebih terperinci

ABSTRAKSI. Upik Apriani W.H. F Pajak hiburan sebagai sumber pendapatan asli daerah di kabupaten. Sukoharjo

ABSTRAKSI. Upik Apriani W.H. F Pajak hiburan sebagai sumber pendapatan asli daerah di kabupaten. Sukoharjo ABSTRAKSI Upik Apriani W.H. F3400080. Pajak hiburan sebagai sumber pendapatan asli daerah di kabupaten Sukoharjo Pajak hiburan merupakan salah satu dari sumber pendapatan asli daerah di Kabupaten Dati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.efektivitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.efektivitas BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Efektifitas Istilah efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.efektivitas

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR 1 Draft Mei 2015 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 47 TAHUN 2015 TENTANG ONLINE SYSTEM PELAPORAN TRANSAKSI PAJAK PARKIR, PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN DAN PAJAK HIBURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pengaruh Pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN BUPATI TANAH BUMBU,

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN BUPATI TANAH BUMBU, BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU, Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi hiburan yang sangat besar di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI, BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI, Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberlangsungan pemerintahan dan pembangunan sebuah negara memerlukan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua potensi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak 2.1.1. Pengertian Pajak Banyak para ahli perpajakan yang memberikan pengertian atau definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi dari setiap pengertian mempunyai tujuan

Lebih terperinci