HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN NOTARIS DALAM KASUS PERDATA DAN PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO, SH.,MH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN NOTARIS DALAM KASUS PERDATA DAN PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO, SH.,MH"

Transkripsi

1 HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN NOTARIS DALAM KASUS PERDATA DAN PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO, SH.,MH A. Kasus Perdata 1. Proses Persidangan Menurut Hukum Acara Perdata 1.1. Pengajuan Gugatan Secara prinsip hukum acara perdata menganut asas gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat. Asas ini dikenal dengan sebutan actor sequitur forum rei. 1 Kecualiapabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat. 2 Pengecualian lainnya gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat penguggat. 3 Menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan melalui surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya yang telah diberi surat kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani surat gugatan tersebut. Surat permintaan itu disebut sebagai surat gugatan. Sementara itu, isi gugatan tidak diatur dalam Pasal 118 HIR. Dalam hukum acara perdata bagian dari gugat disebut fundamenteum petendi atau posita meliputidua bagian. Pertama, memuat alasan berdasarkan keadaan. Kedua, memuat alasan berdasarkan hukum. Selain itu surat gugatan harus dilengkapi petitum(hal apa yang diinginkan oleh penggugat) agar diputuskan dan hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum serta dilarang untuk memutuskan lebih dari apa yang diminta penggugat. 4 Surat gugatan tersebut, diajukan dan didaftarkan ke pengadilan yang berwenang Penetapan Hari Sidang Setelah surat gugatan didaftarkan dalam daftar perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menentukan hari dan jam sidang di pengadilan. Dalam menentuan hari sidang, hakim wajib mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan setempat. 5 1 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju/2002/Bandung, hlm Pasal 118 HIR 3 Pasal 118 ayat (3) HIR 4 Pasal 178 (3) HIR. 5 Pasal 122 HIR

2 1.3. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan kepada para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap cukup lengkap dan sempurna, serta telah ditetapkan hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut. Apabila pemanggilan kepada pihak penggugat tidak menghadap pengadilan, maka berdasarkan Pasal 124 HIR disebutkan jikalau sipenggugat, walaupun dipanggil dengan patut,tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara, akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya sekali lagi. Apabilatergugat tidak hadir, maka harus ada pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir ( Verstek), meskipun telah menurut hukum acara harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan Pasal 126 HIR, juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Pada pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut : a. tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan; b. tergugat/para tergugat tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap; c. tergugat atau para tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut ; d. petitum tidak melawan hak; dan e. petitum beralasan. Apabila salah satu pihak berada di luar wilayah Republik Indonesia, maka Ketua Pengadilan bersangkutan melakuan pemanggilan dengan perantara perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggal atau kedudukan para pihak Pemberian Kuasa Surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab ke enam belas, buku III KUH Perdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat merujuk pada pasal 1792 KUH Perdata yang menyatakan Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang

3 menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Merujuk Pasal 1792 KUH Perdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri dari: (a) pemberi kuasa atau lastgever (Instruction, Mandate); dan (b) penerima kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. Jeniskuasa dalam KUH Perdata, meliputi: (a) kuasa umum; (b) kuasa khusus; dan (c) kuasa istimewa. Menurut Pasal 1813 KUH Perdata, yang dapat mengakhiri pemberian kuasa, meliputi: (1) pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak; (2) pencabutan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa; dan (c) pencabutan secara diam-diam berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata; dan (d) salah satu puhak meninggal dunia, dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan dialkukan oleh majelis hakim. Namun dalam hal tertentu dimungkinan untuk menempuh prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal. Sebelum memeriksa perkara perdata, majalis hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan negeri. Apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karana perdamaian bersifat mau sama mau antar pihak maka terhadap putusan damai itu yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.apabila perdamaian tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka hakim memutuskan untuk melanjutkan perkaranya. Untuk keperluan sidang, ketua sidang membuka dan menyatakannya untuk umum. Persyaratan ini mutlak karena jika persidangan tidak dinyatakan terbuka untuk umum, dapat menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Namun dalam hal tertentu hakim dapat menyatakan persidangan tertutup untuk umum. Setelah tahapan tersebut dilalui, pemeriksaan dimulai dengan pembacaan gugatan dan jawababnya. Namun apabila tergugat belum siap memberikan jawabannya, maka hakim memberikan kesempatan untuk mengajukannya. Setelah itu, para pihak diberi kesempatan untuk

4 memberikan penjelasan seperlunya baik terhadap gugatan maupun terhadap jawaban. Jawaban tergugat diajukan secara tertulis dalam bentuk jawaban konpensi/ rekonpensiyang dijawab oleh pihak penggugat secara tertulis juga dalam bentuk replik dan terhadap replik tersebut dijawab oleh tergugat dalam bentuk duplik, jawaban tergugat dapat diajukan ada dua macam: (a) jawaban tidak langsung mengenai pokok perkara (eksepsi); dan (b) jawaban langsung mengenai pokok perkara ( Verweer ten pricipale). Pada asasnya gugat balasan (rekonpensi) dapat diajukan dalam setiap perkara, pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebut dalam pasal 132b HIR: (a) jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat sedang gugat balasan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; (b) jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asal dimasukkan, tidak berhak oleh karena berhubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan; (c) dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan; dan (e) j ika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimasukkan gugat balasan (rekonpensi) maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balasan gugat balasan pun dapat diajukan secara lisan dipersidangan yang nantinya akan dicatat dalm berita acara sidang. Hal ini biasa terjadi di kota-kota kecil yang penduduknya memiliki perkara perdata. Gugat balasan biasanya diputuskan dalam satu putusan bersama gugat asal. Pertimbangan hukumnya yang menuat dua hal yaitu pertimbangan dalam kopensi dan pertimbangan dalam rekopensi Gugat balasan sangat bermanfaat bagi pihak yang berperkara seperti menghemat ongkos perkara, mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian, menghindarkan putusan yang saling bertentangan Pengikut sertaan Pihak Ketiga Perihal pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam HIR. Namun apabila dibutuhkan dalam praktek dapat mengambil alih bentuk yang terdapat dalam peraturan lain seperti: (a)vrijwaring (penjamin) terjadi apabila dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, diluar belah pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut; dan (b) tussenkomst atau intervensi adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik terhadap penggugat maupun kepada tergugat melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.oleh karena ada intervensi ini, maka perdebatan menjadi perdebatan segitiga. Kemudian putusan dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan.

5 1.7. Pembuktian Pada prinsipnya yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang kebenaranya dibantah oleh pihak lain. Prinsip yang dianut dalam hukum acara perdata adalah siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya. Biasanya kesempatan pertama diajukan kepada penggugat untuk membuktikan kebenaran dalilnya, kemudian pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya. Menurut KUHPerdata maupun RBg/HIR alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, meliputi: bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 138 HIR/164 RBg, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb Nomor. 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUH Perdata dan pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur Pasal 239 HIR/165 RBg sampai dengan Pasal 152 HIR/179 RBg tentang pemeriksaan saksi, Pasal 169 HIR/306 RBg sampai dengan Pasal 172 HIR/309 RBg tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUH Perdata Persangkaan-persangkaan Alat bukti persangkaan diatur Pasal 173 HIR/310 RBg dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUH Perdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut undangundang maka dinamakan persangkaan undang-undang Pengakuan Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 174 HIR/Pasal 311 RBg, Pasal 175 HIR/Pasal 312 RBg, Pasal 176 HIR/Pasal 313 RBg serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata. Pengakuan dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di dalam sidang pengadilan (Pasal 174 HIR/311 RBg, Pasal 1925, Pasal 1926 KUH Perdata), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam persidangan, pengakuan ini 6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op., cit, hlm. 77

6 tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi. Sedangkan, pengakuan yang terjadi di luar persidangan (Pasal 175 HIR/312 RBg, Pasal 1927 dan 1928 KUHPerdata), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Alat bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak bebas untuk menerima sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang yang mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. (Pasal 176 HIR/313 RBg, Pasal 1924 KUHPerdata) Sumpah Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 155 HIR sampai dengan Pasal 158 HIR dan Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata. Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam melliputi: (a) Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus (sumpah decissoir); dan (b) Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak, yakni sumpah penambah/pelengkap (sumpah suppletoir) dan sumpah penaksir (sumpah Waarderingseed/taxatoir) Putusan Pengadilan Setelah hakim berkesimpulan bahwa pemeriksaan perkara yang dilakukan telah dianggap cukup dan pihak yang berperkara menyatakan tidak akan mengajukan sesuatu lagi, maka hakim sesudah menyatakan menuda sidangnya sampai pada hari tertentu selanjutnya persidangan ditutup untuk diadakan musyawarah untuk pengambilan putusan. Putusan pengadilan bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang. 7 Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan pengadilan tersebut dapat meminta diberikan salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan. 8 Setiap perkara yang diperiksa dan diputus oleh panitera persidangan harus dibuatkan berita acara, yang memuat dengan seksama segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan. 9 Setiap berita acara tersebut harus ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera. 10 Apabila berhalangan 7 Pasal 185 ayat (1) HIR 8 Pasal 185 ayat (2) HIR 9 Pasal 186 ayat (1) HIR 10 Pasal 186 ayat (2) HIR

7 menandatanganinya, berita acara tersebut ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, 11 apabila mereka itu berhalangan maka hal itu dicatat dalam berita acara tersebut Pelaksanaan Putusan Pengadilan Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan (eksekusi) adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upayahukumsepertiverzet,bandingdankasasi.sumberaturaneksekusi terdapat dalam HIR, RBG dan ketentuan perundangan lainnya.apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada kepada pengadilan yang menjatuhan putusan itu dalam tingkat pertama. 13 Subekti dan Retno Wulan Sutantio mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah pelaksanaan putusan. Pembakuan istilah pelaksanaan putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR, pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan ( ten uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. B. Kasus Pidana Pada umumnya tindak pidana yang dilakukan Notaris antara lain meliputi: a. pemalsuan dokumen atau surat (Pasal 263 dan 264 KUHP); b. menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP); c. membantu melakukan suatu perbuatan {Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 263 ayat (1), ayat (2), Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP}; dan d. penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP; e. pencucian uang; dan f. keterangan palsu (Pasal 242 KUHP). Diskripsi di atas, menunjukkan Notaris memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan berbagai penyedia jasa lainnya termasuk mengenai risiko hukum yang harus dihadapi apabila tidak menerapkan prinsip kehatihatian dalam menjalani profesinya. 11 Pasal 187 ayat (1) HIR 12 Pasal 187 ayat (2) HIR 13 Pasal 196 HIR

8 Seseorang dinyatakan bersalah menurut hukum pidana ketikamemenuhi unsur: 14 a. Kemampuan Untuk Bertanggung Jawab Kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab merupakan suatu keadaan kedewasaan dan kematangan serta kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga kemampuan yaitu: 1. kemampuan untuk mengerti nilai-nilai dan akibat-akibatnya; 2. kemampuan untuk menyadari bahwa perbuatan tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan pandangan masyarakat dan hukum; dan 3. kemampuan dalam melakukan rasa niat dalam melakukan perbuatan itu. b. Kesengajaan atau Kealpaan Kesengajaan adalah perbuatan yang diinsafi, dipahami dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak adanya unsur salah sangka atau salah paham. 15 Sedangkan pengertian kealpaan adalah terjadinya suatu perbuatan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan akan adanya suatu akibat yang ditimbulkan karena tidak diperhatikan. Kasus pembuatan akta yang dipandang cacat hukum, banyak ditemukan bahwa kurangnya pengetahuan dan/atau kurangnya memperhatikan peraturan perundang-undangan. Jarang ditemukan seorang notaris bertindak dengan unsur kesengajaan yang direncanakan dengan itikad tidak baik dan sadar. c. Tidak Ada Alasan Pemaaf Alasan pemaaf dalam hukum pidana merupakan alasan yang menghapus kesalahan yang telah dilakukan. Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan perbuatan melawan hukum, tetapi kesalahan tersebut dapat dimaafkan, dalam hal demikian tidak adanya perbuatan salah yang mengakibatkan dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap pelaku. 16 Undang-Undang Jabatan Notaris dan kode etik notaris tidak mengatur terkait tanggung jawab notaris secara pidana terhadap akta yang dibuat dan terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. Dalam UUJN hanya mengatur sanksihukum bersifat perdata dan administrasi. Namun notaris tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan KUHP seperti: a. tindakan hukum seorang notaristerhadap akta secara sengaja, penuh kesadaran, adanya niat dan direncanakan serta penghadap sepakat untuk melakukan tindak pidana; 14 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hlm Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm Sjaifurrahman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 197.

9 b. tidak sesuai dengan tata cara pmbuatan akta berdasarkan pada UU Jabatan Notaris dan tidak sesuai dengan penilaian dari Majelis Kehormatan Notaris. 1. Tahapan Dalam Sistem Peradilan Pidana 1.1. Tahap Penyelidikan Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-undang. Polisi sebagai penyelidik, setelah adanya data awal diterbitkan Surat Perintah Penyelidikan untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana yang terjadi, dengan diperolehnya bukti permulaan yang cukup. Jika tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan tidak dilanjutkan. Sedangkan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan, dan selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Tahap Penyidikan Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Kewenangan Penyidik diatur Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yaitu: (a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai terdakwa atau saksi;(h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan; dan (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Tahap Penuntutan Setelah penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik, dan menurut penuntut umum berkas tersebut sudah

10 lengkap dan dapat dilakukan penuntutan, maka selanjutnya penuntut umum membuat surat dakwaan. Hak penuntutan hanya ada pada penututan umum, yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP. Pengertian Penuntutan dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penghentian penuntutan dapat terjadi, dalam hal penuntut umum berpendapat: (a) tidak cukupbukti; (b) bukan merupakan tindak pidana; dan (c) perkara ditutup demi hokum. Penghentian penuntutan tersebut, dilakukan Penuntut Umum dengan membuat surat penetapan penghentian penuntutan. Dalam hal penuntutan dihentikan, maka bagi tersangka yang berada dalam tahanan harus dibebaskan, jika kemudian ada alasan baru yang diperoleh penuntutan umum dari penyidik, yang berasal dari keterangan saksi, benda atau petunjuk, maka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penuntutan Tahap Penjatuhan Hukuman Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alatbukti diajukan dalam persidangan meliputi: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Setelah melalui proses pemeriksaan alat-alat bukti, akan dilanjutkan dengan proses penuntutan oleh penuntut umum dan pembelaan (Ple doi) terdakwa. Dalam proses ini akan terjadi, yang dalam prosesnya disebut, jawab menjawab, untuk memberikan gambaran seberapa berat seharusnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, dan nantinya akan dipertimbangkan oleh majelis hakim, apakah terdakwa akan diberi putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan, ataupun putusan pemidanaan. 2. Upaya Hukum Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12 KUHAP, menyebutkan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan

11 peninjauan kembali dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP tersebut, menunjukkan bahwa upaya hukum (rechtsmiddelen), meliputi: (a) putusan pengadilan negeri (peradilan tingkat pertama) : (b) putusan pengadilan tinggi (peradilan tingkat banding) dapat diajukan permohonan kasasi pihak (kasasi partij); (c) kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung; dan (d) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali (herziening) Banding Banding diadakan oleh pembuat Undang-undang, karena hakim sebagai manusia biasa dapat membuat kesalahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi, yang dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi adalah perkara yang telah memiliki putusan Pengadilan Negeri. Berbeda dengan perkara yang telah memiliki penetapan, yaitu putusan declaratoir yang diberikan Hakim Pengadilan Negeri atas suatu surat permohonan, tidak dapat diajukan banding. 17 Banding dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal putusan itu diberitahukan kepada para. Putusan Pengadilan Tinggi dapat berupa: (a) menguatkan putusan pengadilan negeri; (b) mengubah putusan pengadilan negeri; dan (c)membatalkan putusan pengadilan negeri. 2.2.Kasasi Kasasi ( Cassatie), yaitu: Hak yang diberikan kepada Terdakwa dan Penuntut Umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada pengadilan tingkat bawahnya. 18 Kasasi diatur dalam Bab XVII KUHAP, Kasasi adalah upaya hukum dari pihak yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan tingkat banding yaitu pengadilan Tinggi dan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal putusan itu diberitahukan kepada para pihak dan diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan tingkat pertama yang memutuskan perkara tersebut. 17 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 266.

12 Permohonan Kasasi dapat di cabut sebelum ada putusan Mahkamah Agung, tetapi setelah dicabut tidak dapat diajukan lagi. Artinya kesempatannya hanya sekali. Putusan Mahkamah Agung dapat berupa: (a) menolak permohonan kasasi; dan (b) mengabulkan permohonan kasasi. Mengenai ditolaknya atau tidak dapat diterimanya permohonan Kasasi karena berbagai hal, meliputi: (a) aturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dalam pemeriksaan sebelumnya: (b) acara pelaksanaan pengadilan tidak dijalankan menurut ketentuan undang-undang; dan (c) hakim yang memeriksa dalam pengadilan sebelumnya tidak berwenang. 2.3.Peninjauan Kembali Peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ( herziening), Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh penarikan kembali atas perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi. 19 Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, Peninjauan Kembali diajukan dengan alasan: (a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa bila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang yang masih berjalan, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; (b) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata; dan (c) apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu bertentangan satu sama lain. Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali dapat memutuskan: (a) menolak permohonan PK bila alasan tidak dibenarkan oleh MA; dan (b) bila MA membenarkan alasan pemohon, maka Putusan MA dapat berupa: (1) putusan bebas; (2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum; (3) putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum; dan (4) putusan yang menerapkan pidana yang lebih ringan. 19 Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 892 K/Pid/1983, atas nama: Asape Baleke dan Karenain Bin Muhammad Amin.

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bidang ilmu hukum adalah hukum perdata yaitu serangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan

Lebih terperinci

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum acara perdata (hukum perdata formil), yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Prof.

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( ) BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-002/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA BANTUAN HUKUM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat a. bahwa

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN L II.3 TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN I. PERKARA PERDATA Untuk memeriksa administrasi persidangan, minta beberapa berkas perkara secara sampling

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MEDIASI Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Dasar Hukum : Pasal 130 HIR Pasal 154 RBg PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia dalam bermasyarakat, banyak sekali terjadi hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut, baik peristiwa hukum maupun perbuatan

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) di INDONESIA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat Bertugas di PN Sukadana Kab Lampung Timur Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata

Lebih terperinci

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3). MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA Oleh : M. Luqmanul Hakim Bastary* PENGERTIAN Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951 SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG PETUNJUK- PETUNJUK BAGI BEBERAPA PANITERA MENGENAI PENAFSIRAN DARI PERATURAN-PERATURAN UNDANG-UNDANG KASASI DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA MAHKAMAH

Lebih terperinci

Kata Kunci : Alat Bukti, Sumpah dan Pemeriksaan

Kata Kunci : Alat Bukti, Sumpah dan Pemeriksaan Vol. 23/No. 8/Januari/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kaligis R: Penggunaan Alat Bukti Sumpah.. PENGGUNAAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR) DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENURUT TEORI

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan oleh karena

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PENGADILAN NEGERI BANGKINANG. A. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Bangkinang

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PENGADILAN NEGERI BANGKINANG. A. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Bangkinang BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PENGADILAN NEGERI BANGKINANG A. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Bangkinang Pengadilan Negeri Bangkinang berdiri pada bulan Desember tahun 1076, sebelum berdirinya Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.

Lebih terperinci

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-001/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA PENEGAKAN HUKUM

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-001/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA PENEGAKAN HUKUM KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-001/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA PENEGAKAN HUKUM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa dalam

Lebih terperinci