PUTUSAN Nomor 30/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PUTUSAN Nomor 30/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA"

Transkripsi

1 F PUTUSAN Nomor 30/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] 1. Nama : Johan Murod Pekerjaan Alamat : Direktur PT. Bangka Belitung Timah Sejahtera; : Jalan Nyatoh Nomor 262 Kelurahan Bukit Sari, Kecamatan Gerunggang, Kota Pangkalpinang 2. Nama : Zuristyo Firmadata Pekerjaan : Wiraswasta/pengusaha tambang Alamat : Desa Parit Tiga, Kecamatan Jebus Kabupaten Bangka Barat 3. Nama : Nico Plamonia Pekerjaan : Wiraswasta/pengusaha tambang Alamat : Jalan Bukit Nyatoh Nomor 21 RT.003/RW.003 Kelurahan Kacang Pedang Kejaksaan, Kecamatan Gerunggang, Kota Pangkalpinang 4. Nama : Johardi Pekerjaan : Wiraswasta/pengusaha tambang Alamat : Jalan Manggis RT.002/RW.003 Kelurahan Bukit Sari, Kecamatan Gerunggang, Kota Pangkalpinang

2 2 Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 25 April 2010 memberi kuasa kepada Dharma Sutomo Hatamarrasjid, S.H., M.H., Gala Adhi Dharma, S.H., dan Fahriansyah, S.H. yang semuanya adalah Advokat yang berkedudukan hukum di Kantor Advokat/Konsultan Hukum DHARMA SUTOMO & Associates yang beralamat di Jalan H. Bakri Nomor 36 Pangkalpinang, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon, Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar keterangan Ahli Pemerintah; Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon; 2. DUDUK PERKARA [2.1] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan surat permohonan bertanggal 3 Mei 2010 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 3 Mei 2010 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 70/PAN.MK/2010 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 30/PUU-VIII/2010 pada tanggal 6 Mei 2010 dan diperbaiki terakhir dengan surat permohonan bertanggal 24 Mei 2010 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Mei 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Para Pemohon, mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara khususnya Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1),

3 3 Pasal 60, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 169 huruf a, dan Pasal 172; 2. Permohonan ini para Pemohon ajukan kepada Mahkamah Konstitusi, mengingat ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya di sebut UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya di sebut UU MK) yang menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang (judicial review) terhadap UUD 1945; Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partaii politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 10 ayat (1) Huruf a UU MK Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; b. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; c. Memutuskan pembubaran partai politik; dan d. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur hirarkhi perundang-undangan di mana UUD 1945 secara hirarkhi berada pada kedudukan tertinggi di atas Undang-Undang, dengan demikian maka segala ketentuan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan UUD Oleh karena itu terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut dapat dimohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji; 4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, maka Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, dan memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya di sebut UU 4/2009) yang dimohon oleh para Pemohon;

4 4 II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON 1. Bahwa siapa yang dapat berkedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Undang-Undang (judicial review) telah diatur dan ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu : a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 Dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh Pemohon untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) pengujian undang-undang, yaitu; Pertama : apakah Pemohon adalah subjek yang memiliki kwalitas untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan; Kedua : apakah hak-hak konstitusional Pemohon dapat/berpotensi atau telah dirugikan akibat diberlakukannya undang-undang tersebut; 2. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Republik Indonesia yang tercatat dan bercacah jiwa di daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide Bukti P-4, Bukti P-5, Bukti P-6, Bukti P-7), yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha pertambangan timah, yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) dan Asosiasi Tambangan Rakyat Daerah (ASTRADA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (vide Bukti P-2 dan Bukti P-3). Dengan demikian maka syarat perseorangan/warga negara Indonesia yang ditentukan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK telah terpenuhi; 3. Bahwa Ketentuan Pasal 38 huruf a UU 4/2009, menyatakan IUP diberikan kepada badan usaha. Pasal 1 angka 23 UU 4/2009, memberikan definisi

5 5 badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Dalam hukum perusahaan, badan usaha dibedakan dalam dua kualifikasi yaitu badan usaha yang merupakan badan hukum seperti perseroan terbatas, perusahaan negara, perusahaan daerah, koperasi dan badan usaha yang bukan merupakan badan hukum seperti Commanditer Vennootschap (CV), Firma; Dari ketentuan Pasal 38 huruf a UU 4/2009 yang menyatakan IUP diberikan kepada badan usaha, maka berarti IUP sebagai dasar untuk dapat melakukan usaha pertambangan hanya dapat diberikan kepada badan usaha yang merupakan badan hukum, sedangkan badan usaha yang bukan merupakan badan hukum (CV/Firma) tidak dapat diberikan IUP sehingga tidak dapat untuk melakukan usaha pertambangan; Pasal 38 huruf a UU 4/2009 ini telah mendudukan badan usaha yang merupakan badan hukum dengan badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, secara tidak setara, diskriminatif di hadapan hukum; 4. Bahwa ketentuan Pasal 169 huruf a dan Pasal 172 UU 4/2009 yang hanya memberikan dispensasi kepada pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya pengusahaan Batubara terhadap ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 4/2009, sedangkan terhadap Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) tidak diberikan dispensasi; Pemberian dispensasi yang hanya diberikan kepada pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya tersebut merupakan bentuk perlakuan yang tidak setara, diskriminatif dan tidak memberikan kedudukan hukum yang sama antara pemegang Kuasa Pertambangan (KP), pemegang Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) dengan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya pengusahaan pertambangan Batubara; Pasal 27 (1) UUD 1945 menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

6 6 Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan; Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Norma-norma konstitusi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, mencerminkan prinsif-prinsif kesetaraan, kesamaan kedudukan, kesamaan perlakuan dalam hidup berbangsa, dan bernegara termasuk dalam melakukan usaha di bidang pertambangan; Para Pemohon, yang merupakan perorangan yang berstatus warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan usaha pertambangan (timah) dengan memegang izin berbentuk Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) telah dirugikan akibat dari diberlakukannya ketentuan Pasal 38 huruf a dan Pasal 169 huruf a dan Pasal 172 UU 4/2009. Demikian juga dengan diberlakukannya Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf f, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009. Dengan demikian maka syarat, apakah hak-hak konstitusional Pemohon dapat/berpotensi atau telah dirugikan akibat diberlakukannya UU 4/2009 tersebut; sebagaimana yang ditentukan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK telah terpenuhi; Berdasarkan hal-hal yang para Pemohon uraikan dan kemukakan di atas maka para Pemohon adalah orang/pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon untuk mengajukan pengujian (Judicial review) UU 4/2009 sebagaimana dinyatakan Pasal 51 ayat (1) UU MK; III. Alasan Diajukannya Permohonan Pengujian UU 4/2009 A. Ketentuan Pasal 38 huruf a, Pasal 169 huruf a, dan Pasal 172 UU 4/2009, tidak memenuhi asas kesetaraan, persamaan kedudukan di hadapan hukum dan diskriminatif; 1. Pasal 38 huruf a UU 4/2009 menyatakan: IUP diberikan kepada: a. Badan usaha; b. Koperasi dan c. Perseorangan Pengertian/definisi badan usaha menurut Pasal 1 angka 23 UU 4/2009 adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang

7 7 didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.; Frasa IUP diberikan kepada a. badan usaha dalam Pasal 38 UU 4/2009 telah memperlakukan badan usaha yang bukan merupakan/ berkualifikasi badan hukum secara diskriminatif/tidak setara dengan badan usaha yang merupakan/berkualifikasi badan hukum ; Menurut ketentuan hukum perusahaan Indonesia, badan usaha yang berbentuk commanditer vennootschap (CV) dan Firma tidak dikualifikasikan sebagai badan usaha yang merupakan badan hukum, sehingga menurut Pasal 38 UU 4/2009, badan usaha yang berbentuk commanditer vennootschap (CV) dan Firma tidak dapat diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana dimaksud Pasal 38 huruf a UU 4/2009, sebagai dasar untuk melakukan usaha di bidang pertambangan; 2. Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 38 huruf a UU 4/2009 ini, maka badan usaha yang bukan merupakan badan hukum seperti badan usaha/perusahaan yang berbentuk commanditer vennootschap (CV) dan Firma tidak dapat diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merupakan alas hak untuk melakukan usaha di bidang pertambangan; 3. Ketentuan Pasal 38 huruf a UU 4/2009 telah mendudukan/memperlakukan badan usaha yang merupakan badan hukum secara tidak setara dengan badan usaha yang bukan merupakan badan hukum dalam hal pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP); 4. Pasal 169 huruf a dan Pasal 172 UU 4/2009, telah memperlakukan pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kuasa Pertambangan Rakyat dan pemegang Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya yang bukan jenis usaha pertambangan Batubara secara diskriminatif; Pasal 169 UU 4/2009 menyatakan a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian; b. Ketentuan,.dstnya; c. Pengecualian,.dstnya. Pasal 172 UU 4/2009 menyatakan: (1) Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun

8 8 sebelum berlakunya undang-undang ini dan sudah mendapatkan persetujuan prinsif atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diperoses tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini. Ketentuan Pasal 169 huruf a UU 4/2009 hanya memberikan dispensasi kepada Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batubara atas akibat dari ketentuan Pasal 173. Dengan tidak masuk dan diaturnya Kuasa Pertambangan (KP), Kuasa Pertambangan Rakyat dan Kontrak karya dan perjanjian karya selain pengusahaan batubara dalam Pasal 169 huruf a UU 4/2009, maka sejak diberlakukannya UU 4/2009 ini menjadi tidak berlaku lagi dan tidak dapat dijadikan dasar hak untuk melakukan usaha pertambangan; Kontrak Karya/Perjanjian Karya, adalah jenis izin pengusahaan pertambangan yang diberikan kepada perusahaan asing dan Penanaman Modal Asing (PMA), sedangkan Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) adalah jenis izin pengusahaan pertambangan yang diberikan kepada perusahaan nasional dan rakyat; Pasal 169 huruf a dan Pasal 172 UU 4/2009 jelas-jelas telah memberikan perlakuan istimewa dan diskriminatif antara perusahaan asing pemegang Kontrak Karya/Perjanjian Karya pengusahaan penambangan batubara dengan perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) yang nota benne adalah perusahaan nasional dan penambang rakyat; Ketentuan Pasal 38 huruf a, Pasal 169 huruf a, dan Pasal 172 UU 4/2009 ini nyata-nyata telah bertentangan dengan UUD 1945; Pasal 27 (1) UUD 1945 menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan; Segala orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

9 9 Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan; Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Norma konstitusi dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) di atas mengandung prinsif-prinsif yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan terbebas dari perlakuan diskriminatif yang berlaku secara universal, termasuk Pemohon sebagai pelaku usaha pertambangan memiliki hak-hak konstitusional tersebut tanpa ada pembedaan; 5. Suku kata segala warga negara, segala orang dan setiap orang dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2), menunjukan keharusan adanya kesetaraan, kesamaan perlakuan dan bukan sebaliknya yaitu adanya pembedaan kedudukan dan perlakuan yang tidak setara dan tidak sama di hadapan hukum; 6. Frasa Badan Usaha dalam Pasal 38 huruf a dan frasa Kontrak Karya/Perjanjian Karya dalam Pasal 172 UU 4/2009, adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2); 7. Para Pemohon sebagai warga negara Indonesia dan sebagai pelaku usaha di bidang pertambangan yang diantaranya dalam menjalankan usaha pertambangan dengan menggunakan badan usaha yang bukan merupakan/dikualifiasikan sebagai badan hukum dan sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan rakyat (KPR) telah dirugikan hak konstitusionalnya atas diberlakukannya ketentuan Pasal 38 huruf a dan Pasal 27 ayat (1) UU MK; B. Ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009, bertentangan dengan prinsif-prinsif demokrasi ekonomi 1. Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf f, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 169 ayat (1), Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009, berpotensi dapat memperkecil dan bahkan telah

10 10 menghilangkan kesempatan masyarakat khususnya pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha di bidang pertambangan yang telah berlangsung selama ini; 2. Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f UU 4/2009: a. Ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf f adalah merupakan 3 (tiga) dari 6 (enam) kreteria yang harus dipenuhi untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat. Kata kreteria (criterion) berarti ukuran, standar. Sebagai suatu ukuran/standar untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), maka salah satu unsur dari kreteria tersebut tidak boleh berkurang (harus dipenuhi seluruhnya). Bahwa UU 4/2009 memuat aturan yang berlaku dan mengikat seluruh jenis pertambangan, artinya setiap kegiatan jenis pertambangan harus mengacu kepada Undang-Undang ini, padahal dalam praktiknya masing-masing jenis pertambangan memiliki spesifikasi yang berbeda sehingga proses penambangannyapun ada perbedaan dan tidak dapat diperlakukan sama; b. Kreteria lokasi wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang terdapat di sungai dan/atau tepi sungai dalam Pasal 22 huruf a, endapan teras banjir, dataran banjir dan endapan sungai purba dalam Pasal 22 huruf c serta kreteria sudah dikerjkan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam Pasal 22 huruf f tidak mungkin dapat dipenuhi oleh beberapa jenis pertambangan tertentu, seperti jenis pertambangan timah, batubara, bouksit dan lain sebagainya. Tidak dapat dipenuhinya kreteria ini dikarenakan secara geologis tidak semua jenis pertambangan terdapat di sungai dan/atau tepi sungai. Demikian juga dengan kreteria merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun; Untuk pertambangan rakyat jenis timah dalam praktiknya selama ini kegiatan pertambangan rakyat tidak dilakukan di wilayah sungai atau di tempat yang sudah diikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun, tetapi juga dilakukan di tempat yang belum pernah dikerjakan/ditambang;

11 11 c. Pemberlakuan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mungkin dipenuhi dan dilaksanakan dan tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat tersebut, adalah merupakan hukum yang tidak logis dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat; d. Ketentuan Pasal 22 huruf, a, huruf c, dan huruf f UU 4/2009 berpotensi dan telah merugikan kepentingan penambang rakyat, karena rakyat tidak akan dapat lagi melakukan kegiatan usaha ekonomi kerakyatan khususnya di sektor pertambangan rakyat; Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsif kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Frasa demokrasi ekonomi, kebersamaan, berkeadilan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, melahirkan norma konstitusi yaitu perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi dilaksanakan dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sebagai wujud kebersamaan, keadilan; Penetapan kreteria wilayah pertambangan rakyat (WPR) dalam Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f UU 4/2009 adalah kreteria yang tidak mungkin dipenuhi oleh penambang rakyat dan di luar kebiasan yang dilakukan rakyat, sehingga ditetapkannya kreteria ini merupakan penghalangan terhadap hak-hak rakyat untuk berusaha di bidang pertambangan yang dijamin konstitusi. 3. Frasa luas minimum WIUP eksplorasi 5000 (lima ribu) hektar untuk WIUP mineral logam dan Batubara dalam Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1), luas minimum WIUP eksplorasi mineral bukan logam 500 (lima ratus) hektar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU 4/2009 serta frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009, telah memperlemah posisi dan daya saing para Pemohon sebagai pengusaha kecil/menengah terhadap pengusaha/pemilik modal besar dan PMA; 4. Ketentuan tentang penetapan luas minimum WIUP eksplorasi yang ditetapkan Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) secara

12 12 langsung telah merugikan hak-hak konstitusional pengusaha pertambangan kecil dan menengah; Syarat luas minimum WIUP ekplorasi untuk mendapatkan IUP seluas 5000 (lima ribu) hektar untuk untuk jenis pertambangan mineral logam dan batubara dan luas minimum 500 (lima ratus) hektar untuk jenis pertambangan mineral bukan logam akan berakibat terhalangnya pengusaha pertambangan kecil dan menengah termasuk di dalamnya para Pemohon untuk mendapatkan WIUP sehingga tidak dapat memperoleh kesempatan untuk melakukan usaha di bidang pertambangan; 5. Terhalangnya kesempatan untuk memperoleh IUP ini disebabkan oleh faktor kemampuan modal usaha, karena untuk memiliki WIUP eksplorasi mineral logam dan batubara minimum seluas 5000 (lima ribu) hektar dan WIUP eksplorasi mineral bukan logam minimum seluas 500 (lima ratus) hektare, diperlukan dana/modal yang tidak kecil. Di samping itu di wilayah/pulau kecil seperti Pulau Bangka Belitung dan Pulau Bintan sangat sulit untuk mendapatkan WIUP seluas 5000 (lima ribu) hektar dalam satu hamparan; 6. Bahwa setiap warga negara yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia harus berada pada situasi persaingan usaha yang sehat dan wajar, sehingga tidak terjadinya pemusatan (monopoli) kekuatan ekonomi oleh perseorangan atau kelompok tertentu; 7. Frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 74 ayat (4) UU 4/2009, telah menghadap-hadapkan pengusaha besar/pengusaha asing (PMA) dengan pengusaha kecil/menengah secara bebas, terbuka untuk mendapat kesempatan memperoleh IUP/IUPK dalam kemampuan yang tidak seimbang; Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan Setiap orang mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfa at yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Frasa mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus serta frasa persamaan dan keadilan mencerminkan norma konstitusi tentang Keadilan yang dianut UUD 1945 yaitu keadilan yang mencerminkan kebersamaan antara pihak yang kuat dengan yang lemah, yaitu dengan

13 13 memberikan kemudahan dan perlakuan khusus kepada pihak/kelompok yang lemah; Mekanisme Lelang WIUP pada hakikatnya mengadu kekuatan finansial peserta lelang. Oleh karena itu jika untuk mendapatkan IUP melalui mekanisme lelang secara bebas dan terbuka dengan menghadaphadapkan antara pengusaha kecil/menengah dengan pengusaha besar/modal asing (PMA) sebagaimana diatur Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 61 ayat (1) Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 74 ayat (4) UU 4/2009, telah bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; 8. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka harus adanya persamaan dan kesetaraan antara warga negara baik secara perseorangan atau kelompok sehingga tidak boleh adanya pembedaan ataupun ditempatkan (diposisikan) lebih rendah/lemah antara yang satu dengan yang lainnya; 9. Bahwa ketentuan yang diatur Pasal 22 huruf a dan huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 55, Pasal 60, Pasal 169 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172 UU 4/2009, berpotensi dapat memperkecil dan bahkan telah menghilangkan kesempatan masyarakat/ pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha di bidang pertambangan khususnya pertambangan Timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah berlangsung selama ini; 10. Ketentuan Bab XXV Ketentuan Peralihan Pasal 169 ayat (1), Pasal 172 UU 4/2009, telah memposisikan pemegang Kontrak Karya pengusahaan pertambangan batubara yang nota bene adalah perusahaan modal asing (PMA) dengan pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan pemegang Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) secara dikriminatif dan tidak setara di muka hukum, karena UU 4/2009, hanya memberikan toleransi/dispensasi dengan hanya tetap mengakui pemberlakuan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya pengusahaan batubara. sebagai akibat dari diberlakukannya UU 4/2009 sementara terhadap Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat oleh Ketentuan Peralihan Pasal 169 UU 4/2009 tidak diberikan toleransi/dispensasi, justeru sebaliknya sejak

14 14 diberlakukannya UU 4/2009, Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) dinyatakan Tidak Berlaku Lagi; 11. Ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU 4/2009 tidak dapat dijadikan dasar hukum pemberlakuan Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR), karena tidak terpenuhinya syarat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Status hukum Kuasa Pertambangan (KP) dan KUASA Pertambangan Rakyat (KPR) termasuk status hukum Kontrak Karya Perjanjian Karya yang diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan memiliki pertentangan/perbedaan mendasar dan prinsif dengan status hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) yang diatur dalam UU 4/2009; 12. Sebagai orang (pihak) yang selama ini melakukan kegiatan usaha pertambangan timah, para Pemohon berpendapat dan merasakan ketentuan UU 4/2009 khususnya ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4), dan Pasal 172 yang memuat aturan dan persyaratan yang telah dan dapat merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai warga negara Indonesia untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Karena telah memposisikan para Pemohon sebagai pengusaha kecil/menengah pada posisi lemah dan tidak seimbang dengan pengusaha pertambangan besar dan pengusaha modal asing (PMA); 13. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan: Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfa at yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsif kebersamaan, effisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi yang menempatkan/mendudukan hak-hak

15 15 para Pemohon sebagai pengusaha pertambangan menengah/kecil dan penambang rakyat secara setara dan adil dengan perlakuan terhadap pengusaha pertambangan besar dan pemodal asing (PMA); Frasa mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfa at yang sama dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, melahirkan norma konstitusi yang melindungi keberadaan pengusahaan pertambangan kecil/menengah dan penambang rakyat untuk mendapat kesempatan dan manfa at yang sama dan berkeadilan dalam berusaha di sektor pertambangan dengan cara memberikan kemudahan dan perlakuan khusus yang berbeda dengan pengusaha pertambangan besar/pemodal asing (PMA); 14. Frasa luas minimum WIUP eksplorasi 5000 (lima ribu) hektar untuk WIUP mineral logam dan Batubara, luas minimum WIUP eksplorasi mineral bukan logam 500 (lima ratus) hektar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) UU 4/2009 serta frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009, telah memposisikan pengusaha kecil/menengah dengan pengusaha besar/penanam modal asing (PMA) setara secara absolut dalam mengemban hak dan kewajiban dalam memenuhi syarat untuk mendapatkan WIUP, berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai pengusaha pertambangan menengah/kecil; IV. KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang para Pemohon uraikan dan kemukakan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa setiap warga negara harus terbebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan harus dilindungi dari perlakuan diskriminatif tersebut termasuk perlakuan diskriminatif yang terselubung dengan berlindung atas nama hukum; 2. Bahwa setiap warga negara, memiliki hak, dan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya berdasarkan prinsif-prinsif demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945;

16 16 3. Bahwa pengertian Badan Usaha menurut Pasal 1 butir 23 UU 4/2009, merupakan perlakuan diskriminatif terhadap Badan Usaha yang bukan merupakan Badan Hukum untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud Pasal 38 huruf a UU 4/2009 Demikian juga ketentuan Pasal 169 huruf a dan Pasal 172 UU 4/2009 telah melakukan diskriminasi antara pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Kuasa Pertambangan Rakyat (KPR) dengan pemegang Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; 4. Bahwa persyaratan luas minimal WIUP Eksplorasi yang diatur Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), dan Pasal 61 (1) UU 4/2009 dan cara Lelang WIUP untuk memperoleh IUPK sebagaimana diatur Pasal 51, Pasal 61 dan Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009, telah menghalang-halangi dan menjegal hak pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam, batubara dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK); 5. Bahwa oleh karena itu ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 61, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172 UU 4/2009 telah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1), dan ayat (4) dan dinyatakan tidak konstitusional; V. PETITUM Berdasarkan hal-hal yang telah para Pemohon uraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan para Pemohon ini berkenan memutuskan yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan, permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan, ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c dan huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 169 huruf a, dan Pasal 172 UU 4/2009 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) dinyatakan tidak konstitusional; 3. Menyatakan, Pasal 22 a, huruf c huruf f, Pasal 38 huruf a, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal

17 huruf a, dan Pasal 172 UU 4/2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 4. Menyatakan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. A t a u: Jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, para Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalinya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-8 sebagai berikut: 1. Bukti P - 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 2. Bukti P - 2 : Fotokopi Akta Notaris Wahyu Dwi Cahyo,S.H.Mkn, SK. Menkum-HAM Nomor C-784.HT TH.2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Akta Pendirian Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia; 3. Bukti P - 3 : Fotokopi Akta Notaris Mary Mayasari,S.H.Mkn. SK.MenKeh&HAM Nomor C-281.HT Th. 2005, tanggal 25 Juli 2005, tentang Pendirian Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (ASTRADA) tanggal 21 April 2010; 4. Bukti P - 4 : Fotokopi KTP atas nama Johan Murod; 5. Bukti P - 5 : Fotokopi KTP atas nama Zuristyo Firmadata; 6. Bukti P - 6 : Fotokopi KTP atas nama Johardi; 7. Bukti P - 7 : Fotokopi KTP atas nama Hendra Apolo; 8. Bukti P - 8 : Fotokopi KTP atas nama Nico Plamonia Utama; Selain itu, para Pemohon juga menghadirkan seorang ahli dan 2 (dua) orang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 15 Desember 2010 dan 9 Maret 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli Pemohon H. Ismiryadi Ahli dapat merasakan adanya kondisi ironis yang dialami masyarakat Bangka Belitung menyangkut pertambangan timah. Sejak adanya Undang-Undang

18 18 yang terkait otonomi daerah, sedikit membuka belenggu masyarakat Bangka Belitung. Namun, dengan adanya UU 4/2009 masyarakat Bangka Belitung kembali merasa terbelenggu; Ahli sempat menghadap ke Komisi VII untuk mempertanyakan ketentuan Pasal 22 yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagaimana diterangkan oleh saksi Rudi Fitrianto. Dalam pertemuan dengan Komisi VII tersebut, Ahli mendapat penjelasan bahwa yang dimaksud sungai dalam Pasal 22 UU 4/2009 adalah sungai kuno, sungai di bawah permukaan. Namun, menurut Ahli, redaksional Pasal 22 menyebutkan sungai, tepi sungai, dan sepadan sungai. Sementara itu, penegakan hukum lingkungan tidak bicara soal sungai kuno, namun bicara soal sungai di permukaan karena adanya kata sepadan tersebut. Oleh karenanya, jika ada kepala daerah yang menerapkan ketentuan Pasal 22 tersebut, harus bersiapsiap untuk menghadapi tuntutan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup. Ahli meyakini para penambang rakyat tidak berani melakukan kegiatan penambangan tersebut. Hal ini, menurut Ahli, menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Bangka Belitung yang ingin mengolah sumber daya alamnya berupa pasir timah; Perlu ada perhatian untuk merevisi Pasal 22 huruf b UU 4/2009 tentang kedalaman maksimal 25 meter, karena terdapat ketentuan untuk menggali sampai 25 meter itu menggunakan alat sederhana, bahkan horse power-nya pun juga ditentukan, padahal praktik di lapangan hal tersebut sulit dilakukan. Jika menggunakan alat berat, pasti akan ditangkap karena Undang-Undang mengatakan harus menggunakan alat yang sederhana; Mengenai IUP penyelidikan yang dikenakan kepada pemenang lelang, menurut Ahli, logikanya tidak masuk karena hukum lelang barang itu sudah ada prediksi berapa hasil yang akan diambil dari tanah yang akan dilelang itu. Barang yang dilelang ini ibarat kucing dalam karung, tidak jelas berapa material yang ada dalam bumi yang dilelang oleh pemerintah daerah tersebut; KP dalam tatanan izin itu paling mahal pada biaya penyelidikan karena menurut pengalaman Ahli, biaya pengeboran satu titik adalah Rp ,00 untuk mendapatkan berapa kandungan yang ada. Pertanyaannya, mampukah pemerintah memberi jaminan akan menghasilkan timah?;

19 19 Bahwa Ahli menyampaikan beberapa hal lagi mengenai hamparan yang minimal luasnya paling sedikit hektar itu dan kebetulan Ahli pernah menghadiri sosialisai Undang-Undang ini; Mengenai hamparan hektare ini, saat Ahli mengikuti sosialisasi tentang UU 4/2009, muncul penjelasan saat itu bahwa hamparan tidak boleh di bawah hektare, sekalipun hamparan itu mengenai pemukiman penduduk. Ahli berpendapat ada udang di balik batu dalam ketentuan tersebut yaitu di jaminan reklamasinya karena salah satu syarat untuk mendapatkan IUP adalah membayar reklamasi yang menurut UU 11/1967 sebesar 750 US Dollar per hektare. Hal ini, menurut Ahli, mustahil diterapkan di Bangka Belitung karena wilayahnya tidak sampai 1/3 dari Kalimantan Barat. Kecuali, jika hamparan tersebut dipecah-pecah menjadi 500 hektare yang tersebar di beberapa tempat dengan nama perusahaan yang sama sebagaimana perizinan kelapa sawit; Terkait Pasal 169 huruf a yang pada pokoknya menyatakan kontrak karya dan perjanjian karya yang telah ada sebelum UU 4/2009 berlaku tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian, Ahli yang juga selaku Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung telah mengundang PT. Timah yang pada forum tersebut menyatakan bahwa PT. Timah mempunyai izin KP sampai tahun 2027, sementara pemerintah daerah mulai dari gubernur, walikota, bupati memberi izin rata-rata sampai Terjadi kesenjangan izin 2013 dengan tahun ini bukan hal yang mudah. Jika UU 4/2009 tidak direvisi, khususnya Pasal 22, jangan mimpi masyarakat Bangka Belitung dapat berpartisipasi menikmati sumber daya alamnya dengan segala perizinan yang ada menurut Undang-Undang Otonomi Daerah; Saksi Pemohon 1. IR. MB. Gunawan, M.M. Bahwa Saksi bekerja di bidang pertimahan di Bangka Belitung; Bahwa mengenai pasal yang mengatakan luas wilayah IUP Posplorasi yang minimum hektar itu dapat disampaikan ada beberapa kendala operasional di lapangan; Bahwa pertama mengenai luas wilayah, luas wilayah hektar itu sangat tidak dimungkinkan di Pulau Bangka Belitung itu sudah wilayah kota atau pedesaan di mana di situ sudah ada penduduk yang bermukim di sana, itu dari sisi luas dan wilayah;

20 20 Bahwa dari sisi keberadaan atau hamparan dari pada mineral yang terkandung di dalamnya, itu juga terlalu luas kalau dikatakan itu minimum hektar; Bahwa sebelum Saksi melakukan pengajuan KP, yang dulu namanya KP, sekarang menjadi IOP, itu tentu dilakukan kajian geologi dulu dan selama ini hamparan yang ada di Pulau Bangka, yaitu hamparan deposit timah itu dengan maksimum yang di temui adalah lebar valley atau lembah itu 200 meter; Bahwa kalau katakanlah hektar, diambil 30% dari itu hektar, artinya m 2. Kalau m 2 dibagi dengan lebar valley 200 meter berarti ada meter artinya 100 km; Bahwa sementara timah atau endapan timah mineral itu dari sumbernya maksimum hanya 15km sehingga kalau sampai mengambil 100km itu sangat tidak mungkin, sangat tidak masuk akal; Bahwa Saksi sebagai pengusaha menengah dan kecil ini untuk mengajukan hektar itu sesuatu yang mempunyai kensekuensi finansial yang tidak kecil; Bahwa tiga pertimbangan itu yang akhirnya bagi Saksi itu sangat tidak bisa diaplikasikan di lapangan; Bahwa izin usaha pertambangan rakyat yang mengatakan hanya boleh di lahan yang sudah ditambang selama 15 tahun ini juga satu hal yang tidak akan mungkin; Bahwa tambang rakyat ini kebanyakan adalah mereka mengusahakan di wilayah-wilayah yang memang belum pernah ditambang; Bahwa deposit endapan timah itu adalah suatu deposit yang ada keberadaannya itu mengikuti suatu cekungan-cekungan; Bahwa cekungan-cekungan besar itu sudah diupayakan oleh perusahaanperusahaan besar waktu dulu adalah PT Timah dan perusahaan-perusahan lain sementara cadangan-cadangan kecil bagi mereka tidak ekonomis itu tidak ditinggalkan dan sehingga itulah yang diusahakan oleh para penambang rakyat; Bahwa 15 tahun sudah diusahakan, itu tidak mungkin dan tidak pernah ada itu karena timah itu maksimum 3 tahun juga sudah habis kalau diusahakan begitu karena bentuknya hanya endapan;

21 21 Bahwa tidak pernah ada satupun di Pulau Bangka yang sampai 10 tahun dalam satu wilayah front penambangan itu tidak pernah ada apalagi 15 tahun; 2. Rudi Fitrianto Bahwa sesungguhnya aktivitas penambangan rakyat yang ada di Bangka Belitung pada saat ini jika diberlakukan UU 4/2009, tentunya tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat; Bahwa UU 4/2009 dalam Pasal 22 menjelaskan atau mengharuskan masyarakat menambang di sungai, tengah sungai, dan tepi sungai; Bahwa jika masyakarat melakukan aktivitas penambangan tersebut dengan sendirinya bertentangan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Di dalam UU 4/2009 sendiri dianjurkan masyarakat menambang di sungai; Bahwa masyarakat dalam hal ini terperangkap ketika masyarakat bekerja di aliran sungai, proses penegakan hukum berjalan, yang mana dikenakan Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan juga daerah aliran sungai itu kondisi kenyataan; Bahwa jika diberlakukan Undang-Undang 4/2009 ini sendiri di penambangan, aktivitas penambangan rakyat di Bangka Belitung, secara otomatis masyarakat tidak dapat melakukan aktivitas penambangan, karena pada Undang-Undang itu sendiri jelas menghentikan aktivitas penambangan masyarakat; [2.3] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan para Pemohon, Pemerintah telah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan hari Rabu, tanggal 27 Oktober 2010, dan menyampaikan keterangan tertulis yang diserahkan dalam persidangan hari Rabu, tanggal 15 Desember 2010, yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 huruf b; ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf f, Pasal 38, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal

22 22 162, Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (2) UU 4/2009 terhadap UUD 1945, yang pada intinya menurut para Pemohon adalah sebagai berikut: 1. Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 huruf b UU 4/2009 dianggap menciptakan pengingkaran dari hak kolektif masyarakat, khususnya hak atas penentuan nasib sendiri, hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam, hak atas pertambangan, hak atas kaum minoritas (khususnya jika wilayah pertambangan mengambil hak masyarakat adat) serta hak atas lingkungan hidup, sehingga ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan dan partisipatif yang secara tidak langsung telah mengakomodasi praktik-praktik eksploitasi kekayaan alam Indonesia saat ini dan masih melanjutkan cara pandang kolonial melalui penguasaan tanah dalam skala luas dan jangka waktu sangat panjang, memfasilitasi pemodal besar, mobilisasi tenaga produktif yang murah dan berorientasi ekspor, dan tidak sungguh-sungguh dalam melindungi hak-hak rakyat atas tanah khususnya berkaitan klausul wewenang pemerintah untuk menentukan wilayah pertambangan tanpa melibatkan putusan dari masyarakat pemilik lahan, serta tanpa melihat apakah usaha pertambangan itu merusak lingkungan ataupun melanggar hak milik rakyat. Singkatnya, menurut para Pemohon ketentuan a quo telah mengakibatkan penentuan wilayah pertambangan yang dilakukan tanpa melibatkan keputusan masyarakat pemilik lahan, penolakan masyarakat terhadap proses penetapan wilayah pertambangan tidak dimungkinkan, dan profil pembangunan usaha pertambangan di Indonesia lebih banyak fakta penyengsaraan manusia dan daya rusak dan daya hancurnya terhadap lingkungan dibandingkan sumbangannya terhadap pembangunan ekonomi bangsa. 2. Bahwa ketentuan Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf f UU 4/2009 dianggap berpotensi memperkecil bahkan telah menghilangkan kesempatan masyarakat/pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha di bidang pertambangan, serta dapat diartikan kegiatan pertambangan hanya boleh dilakukan di lahan bekas yang telah terlebih dahulu dieksploitasi. 3. Bahwa ketentuan Pasal 38 UU 4/2009 dianggap telah membedakan kedudukan atau perlakuan yang tidak sama antara badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, karena badan usaha yang

23 23 dapat memperoleh Izin Usaha Pertambangan hanya badan usaha yang dikualifikasi sebagai badan hukum. 4. Bahwa ketentuan Pasal 51 UU 4/2009 dianggap tidak sejalan dan bertentangan dengan falsafah demokrasi ekonomi yang mengedepankan prinsip-prinsip kebersamaan dan keadilan, dan Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) UU 4/2009 secara terselubung telah menghalang-halangi dan menjegal pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan IUP dengan mengatasnamakan hukum, karena persyaratan luas minimal Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) eksplorasi tersebut tidak mungkin mampu dipenuhi oleh perusahaan kecil/menengah. Luas WIUP seluas (lima ribu) hektar menurut pemohon telah membatasi hak orang lain yang tidak memiliki cukup modal untuk berusaha di bidang pertambangan. 5. Bahwa ketentuan Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009 dianggap tidak adil karena telah menghadapkan badan usaha menengah/kecil dan koperasi dengan badan usaha besar. 6. Bahwa ketentuan Pasal 162 UU 4/2009 dianggap telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum, serta dianggap melegitimasi praktik kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang menyampaikan kritik atau protes terhadap perusahaan tambang. 7. Bahwa ketentuan Pasal 172 dan Pasal 173 ayat (2) UU 4/2009, dianggap memiliki sifat diskriminatif antara pemegang Kuasa Pertambangan dan Kuasa Pertambangan Rakyat dengan pemegang Kontrak Karya; II. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

24 24 Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor ll/puu-v/2007), yang harus memenuhi lima syarat yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

25 25 Dengan demikian Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 huruf b dan Pasal 162 UU 4/2009. Selain itu apakah terdapat kerugian kontitusional para Pemohon yang bersifat khusus (specific) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah melalui Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang dirugikan hak dan atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Khusus untuk Pemohon pada registrasi perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010, Pemohon tidak menjelaskan kedudukan atau posisinya dalam kegiatan pertambangan di provinsi: Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jawa Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian, apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah terkait dengan materi yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap materi permohonan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah menyampaikan terlebih dahulu mengenai tujuan dan pokok-pokok pikiran pengelolaan mineral dan batubara sebagaimana ditentukan dalam UU 4/2009, di mana tujuan pengelolaan mineral dan batubara tidak lain adalah untuk: 1. Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

26 26 2. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; 3. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; 4. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional dan internasional; 5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan 6. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Bahwa UU 4/2009 mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. 3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 30/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral & Batu bara Izin Usaha Pertambangan I. PEMOHON 1. Asosiasi

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XV/2017 Mekanisme Pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang Berhenti Karena Naiknya Wakil Kepala Daerah Menggantikan Kepala Daerah I. PEMOHON Dr. Ahars Sulaiman, S.H.,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 30/PUU-VIII/2010

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 30/PUU-VIII/2010 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 30/PUU-VIII/2010 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum I. PEMOHON Drs. Rahmad Sukendar, SH. Kuasa Hukum Didi Karya Darmawan, SE.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim I. PEMOHON Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. selanjutnya disebut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA I. PEMOHON Abdul Wahid, S.Pd.I. Kuasa Hukum: Dr. A. Muhammad Asrun, SH., MH., Ai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah I. PEMOHON Suta Widhya, SH. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 7 Ayat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah I. PEMOHON 1. Ir. Heru Cahyono (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Wijaya Kusuma Prawira

Lebih terperinci

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I; RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 72/PUU-XII/2014 Pembatasan Kewenangan Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik dalam hal Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris I. PEMOHON Tomson Situmeang,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. Kuasa Hukum Wisye Hendrarwati., SH., MH, dkk II. III. OBJEK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Yang Akan Mengikuti Pemilu 2019 I. PEMOHON Partai Persatuan Indonesia, yang diwakili oleh: 1. Hary Tanoesoedibjo; 2. Ahmad Rofiq.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun I. PEMOHON Harris Simanjuntak II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 45/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 45/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 45/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi I. PEMOHON Jendaita Pinem bin Zumpa i Pinem II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak I. PEMOHON Tajudin bin Tatang Rusmana. Kuasa Hukum: Abdul Hamim Jauzie, S.H., Ahmad Muhibullah, SH, dkk, para advokat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh I. PEMOHON Ir. H. Abdullah Puteh. Kuasa Hukum Supriyadi Adi, SH., dkk advokat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017 Persyaratan Usia Untuk Dapat Menjadi Perangkat Desa I. PEMOHON Sukirno, S.Si. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 50 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 97/PUU-XIV/2016 Pengosongan Kolom Agama Pada Kartu Keluarga dan KTP Bagi Penganut Kepercayaan Dalam Kaitannya Dengan Hak Konstitusional Penganut Kepercayaan Memperoleh

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka I. PEMOHON Setya Novanto Kuasa Hukum: DR. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M, Yudha Pandu, S.H.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap I. PEMOHON Julkifli, SH. Kuasa Hukum Ahmad Irawan, SH., Dading Kalbuadi, SH., M.Kn.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu I. PEMOHON Muhammad Nizar. Kuasa Pemohon: Habiburokhman, SH., MH., M. Said Bakhrie, S.Sos., SH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat I. PEMOHON 1. Rahadi Puguh Raharjo, SE. (Pemohon I); 2. Ma mun Murod, SH. (Pemohon II); 3. Mutaqin (Pemohon

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi I. PEMOHON Robby Abbas. Kuasa Hukum: Heru Widodo, SH., M.Hum., Petrus

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XV/2017 Pembebanan Pajak Penerangan Jalan Kepada Pengusaha

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XV/2017 Pembebanan Pajak Penerangan Jalan Kepada Pengusaha RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XV/2017 Pembebanan Pajak Penerangan Jalan Kepada Pengusaha I. PEMOHON Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum yaitu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat Yang Dipilih Oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua Dan Ditetapkan Melalui Mekanisme

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 61/PUU-XIV/2016 Perbedaan Akibat Hukum dalam Hal Jangka Waktu Terlampaui bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk Menetapkan dan/atau Melakukan Keputusan dan/atau

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap I. PEMOHON Erwin Arifin, SH., MH. Kuasa Hukum Sirra Prayuna, SH., Badrul

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada I. PEMOHON 1. Heru Widodo, S.H., M.Hum. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Andi Syafrani, S.H.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (Partai PPI), diwakili oleh Daniel Hutapea sebagai Ketua Umum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada I. PEMOHON Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side Kuasa Hukum: Effendi Saman,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial I. PEMOHON 1. Perseroan Terbatas Papan Nirwana, dalam hal ini diwakili oleh Susy Sandrawati

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi I. PEMOHON 1. Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh I. PEMOHON 1. Hendra Fauzi (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Robby Syahputra (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam hal ini

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 128/PUU-XIII/2015 Syarat Calon Kepala Desa dan Perangkat Desa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 128/PUU-XIII/2015 Syarat Calon Kepala Desa dan Perangkat Desa RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 128/PUU-XIII/2015 Syarat Calon Kepala Desa dan Perangkat Desa I. PEMOHON Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI), diwakili oleh: 1. Holidin. (Ketua APDESI

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi I. PEMOHON Jendaita Pinem bin Zumpa i Pinem II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 5/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang Notaris dan Formasi Jabatan Notaris

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 5/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang Notaris dan Formasi Jabatan Notaris RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 5/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang Notaris dan Formasi Jabatan Notaris I. PEMOHON Muhammad Thoha, S.H., M.Kn. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Untuk Mendapatkan Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Belum Berusia 18 Tahun Atau Belum Kawin Yang Lahir Dari Ibu Warga Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata I. PEMOHON Moch. Ojat Sudrajat S. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 Wilayah Jabatan Notaris I. PEMOHON Donaldy Christian Langgar II. OBJEK PERMOHONAN Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XV/2017 Badan Usaha Milik Negara Termasuk Badan atau Pejabat yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan I. PEMOHON 1. Sofyan H., Wiyono (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 93/PUU-XIV/2016 Kepengurusan Partai Politik Yang Berselisih Harus Didaftarkan dan Ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Meskipun Kepengurusan Tersebut Telah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden I. PEMOHON 1. Syaiful Bahari, SH (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Aryo Fadlian (selanjutnya

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XV/2017 Hak Konstitusional Guru Dalam Menjalankan Tugas dan Kewajiban Menegakkan Disiplin dan Tata Tertib Sekolah (Kriminalisasi Guru) I. PEMOHON 1. Dasrul (selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 82/PUU-XI/2013 Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017 Persentase Presidential Threshold Pada Pemilihan Umum I. PEMOHON Habiburokhman, SH., MH. Kuasa Hukum: Kris Ibnu T Wahyudi, SH., Hisar Tambunan, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 92/PUU-XIII/2015 Prinsip Sidang Terbuka Untuk Umum Bagi Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 106/PUU-XII/2014 Larangan Rangkap Jabatan di Lembaga Negara Lain dan Menjadi Anggota Partai Politik bagi Anggota BPK I. PEMOHON 1. Ai Latifah Fardhiyah 2. Riyanti,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana I. PEMOHON H.A. Irwan Hamid, S.Sos. Kuasa Hukum Dr. Andi Irmanputra Sidin, SH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XVI/2018 Frasa Organisasi Advokat Bersifat Multitafsir I. PEMOHON Dr. Iur. (Cand) Bahrul Ilmi Yakup, S.H., M.H., CGL, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I. H.

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 Ketidakjelasan Rumusan Frasa antar golongan I. PEMOHON Habiburokhman, SH.,MH; Kuasa Hukum: M. Said Bakhri S.Sos.,S.H.,M.H., Agustiar, S.H., dkk, Advokat

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006 irvanag MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD, UU NO. 23

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 4 / PUU-X / 2012 Tentang Penggunaan Lambang Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 4 / PUU-X / 2012 Tentang Penggunaan Lambang Negara RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 4 / PUU-X / 2012 Tentang Penggunaan Lambang Negara I. PEMOHON 1. Pemohon I, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, diwakili oleh Victor Santoso Tandiasa,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XIV/2016 Persyaratan Bagi Kepala Daerah di Wilayah Provinsi Papua

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XIV/2016 Persyaratan Bagi Kepala Daerah di Wilayah Provinsi Papua RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XIV/2016 Persyaratan Bagi Kepala Daerah di Wilayah Provinsi Papua I. PEMOHON 1. Hofni Simbiak, STh., (Pemohon I); 2. Robert D. Wanggai, (Pemohon II); 3. Benyamin

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERBAIKAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial RINGKASAN PERBAIKAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial I. PEMOHON 1. Perseroan Terbatas Papan Nirwana, dalam hal ini diwakili oleh Susy Sandrawati

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XV/2017 Pemidanaan Perbuatan Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Fisik Dan Elektromagnetik Terhadap Penyelenggaraan Telekomunikasi I. PEMOHON 1. Rusdi (selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada I. PEMOHON 1. Imran, SH. (Pemohon I); 2. H. Muklisin, S.Pd. (Pemohon II); Secara bersama-sama disebut

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 91/PUU-XIV/2016 Pemberlakuan Tunjangan Aparatur Sipil Negara Profesi Guru dan Dosen yang Berbeda dengan Aparatur Sipil Negara Non Guru dan Dosen I. PEMOHON Ahmad Amin,

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 15/PUU-XIV/2016 Ketidakjelasan Definisi Hak Tagih Terhadap Utang Negara Menghambat PT. Taspen Melakukan Pembayaran Pensiun Kepada ASN/PNS I. PEMOHON Drs. Burhan Manurung,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak I. PEMOHON Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak. Kuasa Pemohon: Drs. R.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XVI/2018 Kewenangan Asosiasi Menyelenggarakan Pendidikan Profesi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XVI/2018 Kewenangan Asosiasi Menyelenggarakan Pendidikan Profesi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XVI/2018 Kewenangan Asosiasi Menyelenggarakan Pendidikan Profesi I. PEMOHON Sabela alias Sabela Gayo, selanjutnya disebut sebagai Pemohon. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 27/PUU-XIV/2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 27/PUU-XIV/2016 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 27/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Sengketa Tata Usaha Negara Mengenai Pemilihan Kepala Daerah I. PEMOHON 1. Drs. Donatus Nimbetkendik, M. TP.,....

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XV/2017 Keberatan terhadap keharusan memenuhi pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SDWKLLJ) I. PEMOHON Suprayitno II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 110/PUU-XIV/2016 Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah Dalam Hal Wakil Kepala Daerah Menjadi Kepala Daerah I. PEMOHON 1. Alif Nugraha (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 82/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 82/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 82/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota I. PEMOHON 1. Joncik Muhammad, S.Si., S.H., M.M., sebagai Pemohon I; 2. Toyeb Rakembang, S.Ag., sebagai

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 68/PUU-XIII/2015 Implikasi Interpretasi Frasa Anjuran Mediator dan Konsiliator pada Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Muhammad Hafidz

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK I. PEMOHON Yan Herimen, sebagai Pemohon I; Jhoni Boetja, sebagai Pemohon II; Edy

Lebih terperinci