GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR : 69 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR : 69 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP"

Transkripsi

1 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR : 69 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa air, tanah, dan udara merupakan modal dasar pembangunan yang harus dilestarikan keberadaannya agar tetap dalam kondisi yang baik sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan; b. bahwa kegiatan dan/atau usaha manusia dapat memberikan dampak negatif bagi kelestarian fungsi dan peruntukan air, tanah dan udara di alam sehingga perlu pengaturan dalam pelaksanaannya di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ; c. bahwa usaha dan/atau kegiatan mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, sehingga perlu dilakukan pengelolaan terhadap limbah padat, air limbah, getaran, bising, bau dan emisi udara yang dihasilkannya dengan menetapkan baku mutu dan kriteria tingkat gangguan kegiatan dan/atau usaha dimaksud; d. bahwa pemanfaatan serta kegiatan dan/atau usaha pada kawasan pertambangan, hutan, lahan, danau, pesisir dan laut dapat menyebabkan kerusakan kawasan dimaksud sampai tingkat yang tidak dapat ditenggak oleh daya dukung lingkungannya, sehingga perlu ditetapkan kriteria baku dan tingkat kerusakannya; e. bahwa Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 Tahun 2003 tentang Pengelolaan, Pengendalian Pencemaran Air, Udara, Penetapan Baku Mutu Limbah Cair, Baku Mutu Udara Ambien Dan Emisi Serta Baku Tingkat Gangguan Kegiatan Yang Beroperasi Di Provinsi Sulawesi Selatan dipandang perlu ditinjau untuk diganti sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang baru; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d dan e, perlu menetapkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup : 1. Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie Tahun Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl Nomor 450); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3257); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

2 2 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan.; 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaiamana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4111); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);

3 3 17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor. 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003 Nomor 44, Tambahan Lembaran Daerah Peovinsi Sulawesi Selatan Nomor 216); 19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 235). ME M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Gubernur, ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Selatan 2. Menteri adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup 3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan 4. Badan Lingkungan Hidup Daerah selanjutnya disingkat BLHD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berwenang mengawasi, memantau dan mengendalikan dampak lingkungan hidup di daerah. 5. Kepala BLHD adalah Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Lingkungan Hidup di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. 6. Satuan Kerja Perangkat Daerah disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang berwenang dalam pembinaan usaha/kegiatan. 7. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Sulawesi Selatan. 8. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. 9. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah kecuali air laut dan air fosil. 10. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum; 11. Air kolam renang adalah air di dalam kolam renang yang digunakan untuk olah raga renang dan kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan; 12. Air Pemandian Umum adalah air yang digunakan pada tempat pemandian umum tidak termasuk pemandian untuk pengobatan tradisional dan kolam renang yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan; 13. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional; 14. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;

4 4 15. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi; 16. Wisata Bahari adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan pantai; 17. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut; Sumber-sumber air, wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, muara dan laut. 18. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai dengan peruntukannya. 19. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan kriteria mutu air. 20. Mutu air adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di air. 21. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. 22. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air. 23. Baku Mutu Air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang masih diperbolehkan keberadaannya di dalam air pada sumber-sumber air tertentu. 24. Beban Pencemaran adalah jumlah suatu parameter pencemaran yang terkandung dalam sejumlah air atau limbah. 25. Sumber Pencemar adalah setiap usaha kegiatan yang membuang dan memasukkan makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain dalam ukuran batas atau kadar tertentu ke dalam sumber-sumber air, udara dan tanah. 26. Daya Tampung Sumber-sumber Air adalah kemampuan sumber-sumber air untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 27. Pencemaran Air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 28. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 29. Air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. 30. Mutu Air limbah adalah keadaan air limbah yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemaran. 31. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. 32. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. 33. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. 34. Baku Mutu Air limbah adalah ukuran batas kadar unsur pencemar yang diperbolehkan keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. 35. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. 36. Industri Purified Terephthalic Acid (PTA) adalah usaha dan/atau kegiatan yang melakukan proses oksidasi para xylene menjadi bahan baku untuk industri poly ethylene terephthalate dan poliester. 37. Industri Poly Ethylene Terephthalate (PET) adalah usaha dan/atau kegiatan yang melakukan proses pengolahan PTA dan ethylene glicol menjadi polimer sebagai barang setengah jadi.

5 5 38. Industri petrokimia hulu adalah industri yang mengolah bahan baku berupa senyawasenyawa hidrokarbon cair atau gas (natural hydrocarbon) menjadi senyawa-senyawa kimia berupa olefin, aromatik dan syngas yang mencakup industri yang menghasilkan etilen, propilen, butadiene, benzene, etilbenzene, toluen, xylen, styren dan cumene. 39. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. 40. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri. 41. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel melati. 42. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. 43. Kegiatan Domestik adalah kegiatan yang mencakup kegiatan rumah makan atau restauran, perumahan, apartemen, perkantoran dan/atau perniagaan, dan pusat perbelanjaan. 44. Ketel uap adalah sebuah alat penghasil panas yang menggunakan bahanbaku air atau minyak yang dipanaskan dengan bahan bakar biomassa, minyak, batu bara, dan/atau gas. 45. Air limbah Domestik adalah air limbah yang berasal dari seluruh aspek penggunaan air sanitasi oleh manusia, seperti ruangan dari dapur, kamar mandi, cucian, toilet, dan sejenisnya. 46. Izin adalah izin pembuangan atau pemanfaatan limbah oleh orang yang menggunakan sumber-sumber ke lingkungan hidup. 47. Pencemaran Udara adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. 48. Pengendalian Pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. 49. Sumber Pencemar Udara adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 50. Udara Ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam Wilayah Yuridis Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. 51. Mutu Udara Ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas. 52. Status Mutu Udara Ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi. 53. Baku Mutu Udara Ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang diperbolehkan keberadaannya dalam udara ambien. 54. Perlindungan Mutu Udara Ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya. 55. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi; 56. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;

6 6 57. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. 58. Tingkat Kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat db. 59. Baku Tingkat Kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. 60. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan. 61. Getaran Mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia. 62. Getaran Seismik adalah getaran tanah yang disebabkan peristiwa alam dan kegiatan manusia. 63. Getaran Kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat. 64. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha dan/atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan. 65. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima indra penciuman. 66. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. 67. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. 68. Indeks standar pencemar udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. 69. Emisi adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. 70. Mutu emisi adalah emisi yang dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien. 71. Baku mutu emisi adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan hidup. 72. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor.yang berada pada kendaraan itu. 73. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru; 74. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor lama; 75. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; 76. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI ; 77. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan SNI ,

7 7 78. Kendaraan Bermotor Lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia; 79. Uji emisi kendaraan bermotor lama adalah uji emisi gas buang yang wajib dilakukan untuk kendaraan bermotor lama secara berkala; 80. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di antara perbukitan, ataupun dataran tinggi; 81. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung; 82. Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD); 83. Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan sehingga tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 84. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi lingkungan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan; 85. Kegiatan pertambangan emas rakyat adalah suatu usaha pertambangan emas yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. 86. Pencegahan pencemaran adalah tindakan mencegah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 87. Pencegahan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan mencegah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. 88. Cebakan primer adalah cebakan bahan galian yang terbentuk dari proses magmatis dengan ciri umum sebaran arah vertikal. 89. Cebakan sekunder adalah cebakan bahan galian yang terbentuk melalui proses sedimentasi dari hasil pelapukan cebakan primer yang tersebar secara lateral mengikuti pola sebaran endapan hasil sedimentasi. 90. Kegiatan penambangan emas adalah pekerjaan penggalian emas dari dalam bumi. 91. Kegiatan pengolahan emas adalah pekerjaan untuk memperoleh emas dari batuan hasil penambangan serta untuk mempertinggi mutu emas. 92. Air limpasan adalah air yang berasal dari air hujan yang mengalir di permukaan atau air yang keluar/meluap dari sistem pengaliran permukaan. 93. Air kerja adalah air yang digunakan dalam proses kegiatan penambangan dan/atau pengolahan pertambangan. 94. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman; 95. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa; 96. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah; 97. Pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah kegiatan pengukuran tingkat kerusakan tanah untuk produksi biomassa pada suatu wilayah/tempat dalam waktu tertentu. 98. Mangrove adalah sekumpulan tumbuh-tumbuhan Dicotyledoneae dan atau Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut; 99. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang;

8 Status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove; 101. Kawasan konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya; 102. Sempadan Pantai Mangrove adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai (ditumbuhi) mangrove yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai; 103. Sempadan Sungai Mangrove adalah kawasan tertentu sepanjang sungai yang mempunyai (ditumbuhi) mangrove yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai; 104. Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut Lamun (Seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan tumbuh di laut dangkal, mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun, bunga dan buah dan berkembang biak secara generatif (penyerbukan bunga) dan vegetative (pertumbuhan tunas); 106. Padang lamun adalah hamparan lamun yang terbentuk oleh satu jenis lamun (vegetasi tunggal) dan atau lebih dari 1 jenis lamun (vegetasi campuran); 107. Status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan; 108. Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati padang lamun yang dapat ditenggang; 109. Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitarnya; 111. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang; 112. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup; 113. Danau adalah wadah air dan ekosistemnya yang terbentuk secara alamiah termasuk situ dan wadah air sejenis dengan sebutan istilah lokal; 114. Ekosistem danau adalah ekosistem akuatik perairan danau, ekosistem sempadan dan ekosistem teresterial daerah tangkapan air danau; 115. Kriteria Status Kerusakan Danau adalah ukuran perubahan sifat fisik dan/atau hayati ekosistem danau.

9 9 Pasal 2 (1) Pengelolaan dan pengendalian kualitas air, udara, dan tanah diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem. (2) Pengelolaan kualitas air, udara, tanah, dan ekosistem dilakukan untuk menjamin kualitas air, udara, tanah dan ekosistem yang diinginkan sesuai dengan peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. (3) Pengendalian pencemaran dan kerusakan air, udara, tanah dan ekosistem dilakukan untuk menjamin kualitasnya agar sesuai dengan baku mutu, kriteria tingkat gangguan serta kriteria baku dan tingkat kerusakan melalui upaya pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan serta pemulihan kualitas. (4) Pengendalian pencemaran dan kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sebagai upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan dari sumber pencemar/perusak, penanggulangan dan/atau pemulihan mutu/kondisi pada sumber-sumbernya, yang bertujuan untuk mewujudkan kelestarian fungsinya, agar sumberdaya yang ada pada sumber-sumber dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan peruntukannya. (5) Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber pencemaran/perusakan dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu sumberdaya. BAB II PERLINDUNGAN MUTU Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Perlindungan mutu air didasarkan pada klasifikasi dan kriteria mutu air, baku mutu air limbah, status mutu air daya dukung dan daya tampung sumber-sumber air. (2) Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan getaran, ambang batas kebisingan, ambang batas kebauan dan indeks standar pencemar udara. (3) Perlindungan ekosistem didasarkan pada kriteria baku dan tingkat kerusakan. Bagian Kedua Mutu Air Pasal 4 (1) Klasifikasi mutu air ditetapkan sebanyak 4 (empat) kelas : a. Kelas satu : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

10 10 (2) Kriteria mutu air berdasarkan kelas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 5 (1) Klasifikasi dan Kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) di atas berlaku untuk semua sumber air yang ada di daratan Sulawesi Selatan. (2) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kriteria tambahan apabila dianggap perlu dengan mengikuti mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 (1) Penetapan kelas air atau penetapan kelas air sararan untuk suatu badan air diatur sebagai berikut: a. Sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Gubernur. b. Sumber air yang berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. (2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan metode pengkajian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 Baku mutu air untuk suatu badan air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6. Pasal 8 (1) Klasifikasi status mutu air ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan dan dikategorikan dalam : a. Baik sekali atau memenuhi baku mutu b. Baik atau cemar ringan c. Sedang atau cemar sedang d. Buruk atau cemar berat (2) Metode penentuan status mutu air adalah dengan menggunakan metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi sedang atau buruk, maka pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran. (4) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik sekali dan baik, maka pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas air.

11 11 Bagian Ketiga Baku Mutu Air Laut Pasal 9 (1) Penetapan baku mutu air laut ini meliputi baku mutu air laut untuk perairan pelabuhan, wisata bahari dan biota laut. (2) Baku mutu air laut untuk perairan pelabuhan, perairan wisata bahari, perairan biota laut dan baku mutu sedimen laut adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 10 (1) Untuk mengetahui kualitas air laut di daerah, Gubernur, Bupati/Walikota wajib melaksanakan kegiatan pemantauan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air laut, Gubernur, Bupati/Walikota menindaklanjuti dengan program pengendalian pencemaran air laut. Pasal 11 Kawasan perairan laut di luar perairan pelabuhan dan wisata bahari mengacu kepada baku mutu air laut untuk biota laut. Bagian Keempat Persyaratan Kualitas Air Minum, Pemandian Umum dan Kolam Renang Pasal 12 (1). Kualitas air minum, air kolam renang dan air pemandian umum harus memenuhi syarat yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia, dan radioaktif. (2) Persyaratan kualitas air minum adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf G, huruf H dan huruf D yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Baku mutu air pemandian umum adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf E yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (4) Baku mutu air kolam renang adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf F yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Kelima Baku Mutu Air limbah Pasal 13 Baku mutu air limbah dibedakan atas dua jenis yaitu baku mutu air limbah kegiatan industri dan baku mutu air limbah usaha jasa. Pasal 14 (1) Baku mutu air limbah untuk kegiatan industri adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) Selama baku mutu air limbah suatu kegiatan industri belum ditetapkan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menggunakan baku mutu air limbah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau menggunakan baku mutu air limbah kegiatan industri lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan kawasan industri adalah masing-masing sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini.

12 12 (4) Bagi kawasan industri yang belum mempunyai unit pengolah limbah terpusat, maka berlaku baku mutu air limbah bagi kegiatan industri sesuai maksud pada ayat (1) pasal ini atau sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Baku mutu air limbah bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis industri pestisida, formulasi pengemasan ditetapkan berdasarkan kasar. Pasal 15 Baku mutu air limbah untuk usaha jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf D yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 16 (1) Perhitungan debit air limbah maksimum dan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf E yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) Cara penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf F yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri dan usaha jasa mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, maka untuk kegiatan industri dan/atau usaha jasa tersebut ditetapkan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan. (4) Setiap penanggung jawab kegiatan industri dan/atau usaha jasa wajib : a. melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan; b. membuat saluran pembuangan air limbah yang kedap air dan terpisah dari saluran air hujan dan saluran cairan yang lain sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan; c. memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit harian air limbah tersebut; d. tidak melakukan pengenceran air limbah termasuk mencampurkan dengan air limbah dari kegiatan yang tak sejenis ke dalam aliran pembuangan air limbah; e. melakukan pencatatan terhadap jumlah produksi kegiatan industri dan/atau usaha jasa bulanan senyatanya; f. memeriksakan kadar parameter air limbah secara periodik sekurang-kurangnya satu kali setiap bulan; g. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter air limbah dan produksi usaha dan/atau kegiatan bulanan senyatanya sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf e ayat ini sekurang-kurangnya 6 bulan sekali kepada Gubernur melalui BLHD dan SKPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

13 13 Bagian Keenam Mutu Udara Pasal 17 Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Bagian Ketujuh Baku Mutu dan Status Mutu Udara Ambien Pasal 18 (1) Baku mutu udara ambien ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) Baku mutu udara dalam ruang proses produksi dari suatu usaha/kegiatan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 19 (1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan hasil inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah. (2) SKPD yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien berada di atas baku mutu, Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar. (5) Dalam hal Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien. Bagian Kedelapan Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang Pasal 20 (1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai batas maksimum emisi yang diperbolehkan untuk dimasukkan ke dalam lingkungan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk usaha dan/atau kegiatan yang belum diatur dalam Lampiran III huruf C menggunakan baku mutu emisi sumber tidak bergerak lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf D yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor ditetapkan sebagai batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dari pipa gas buang kendaraan bermotor di wilayah daerah Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf E yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (4) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.

14 14 Bagian Kesembilan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Pasal 21 (1) Indeks Standar`Pencemar Udara (ISPU) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Huruf F yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) ISPU ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi. Pasal 22 (1) Data dan informasi yang diperoleh dari Hasil Pengujian ISPU dapat digunakan sebagai: a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu. b. bahan pertimbangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara. (2) Parameter ISPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. partikulat (PMJ) b. karbon monoksida (CO) c. sulfur dioksida (SO2) d. nitrogen dioksida (NO2) e. ozon (O3) (3) Bupati/Walikota wajib menyampaikan hasil evaluasi ISPU di wilayahnya kepada Gubernur setiap 1 (satu) tahun sekali. Bagian Kesembilan Baku Tingkat Gangguan Pasal 23 (1) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan sumber bergerak terdiri atas : a. baku tingkat kebisingan; b. baku tingkat getaran; c. baku tingkat kebauan dan d. baku tingkat gangguan lainnya (2) Baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan. (3) Baku tingkat gangguan getaran baik untuk getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis bangunan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (4) Metode pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (5) Baku tingkat gangguan kebisingan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (6) Metode pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat kebisingan lingkungan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf D yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (7) Baku tingkat gangguan kebauan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf E yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini.

15 15 BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DAN UDARA Bagian Pertama Pengendalian Pencemaran Air Pasal 24 (1) Pemerintah Provinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Kabupaten/Kota. (2) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/Kota. (3) Pemerintah Provinsi dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. (4) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masingmasing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang : a. menetapkan daya tampung beban pencemaran; b. melakukan inventarisasi dan indentifikasi sumber pencemar; c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah; d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air; e. memantau kualitas air pada sumber air, dan f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Pasal 25 (1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air maka ditetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air. (2) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. pemberian izin lokasi b. pengelolaan air dan sumber air c. penetapan rencana tata ruang d. pemberian izin pembuangan air limbah e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air (3) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan cara perhitungan pada Lampiran IV huruf F yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 26 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil kajian. (3) Dokumen hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat: a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan tanaman, b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah, dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 27 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menanggulangi pencemaran air. (2) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin.

16 16 (3) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air. (4) Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan/atau gas ke dalam air dan sumber air. Pasal 28 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. (2) Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan. Bagian Kedua Pengendalian Pencemaran Udara Pasal 29 Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat. Pasal 30 (1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di wilayah kabupaten/kota dilakukan oleh Bupati/Walikota. (2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara dalam wilayah provinsi dilakukan oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya. (3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun. Pasal 31 Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara: a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Gubernur ini; b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara Pasal 32 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan ke udara ambien wajib : a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; dan c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya. Pasal 33 (1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. (2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditertibkan oleh pejabat berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

17 17 Pasal 34 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 35 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 36 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya. Pasal 37 (1) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka : a. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di provinsi; b. Bupati/Walikota menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya. (2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media etektronik BAB IV KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP Bagian Kesatu Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan Pasal 38 (1) Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan meliputi: a. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral; b. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut; c. Kriteria umum baku kerusakan flora; d. Kriteria umum baku kerusakan fauna. (2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 39 (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan/atau lahan. (2) Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. (3) Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.

18 18 Pasal 40 (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; b. alat pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan; c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara berkala. Pasal 41 Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada SKPD yang bertanggung jawab. Pasal 42 (1) Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi kegiatannya. (2) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (3) Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Pasal 43 (1) Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya lintas Kabupaten/Kota. (2) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan lintas Kabupaten/Kota. (3) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan/atau Pemerintah Pusat. (4) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dapat membentuk atau menunjuk SKPD yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. a. SKPD yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib melakukan: inventarisasi terhadap usaha dan/atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, b. melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya lintas Kabupaten/Kota. Pasal 44 (1) Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya. (2) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :

19 19 a. penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan; b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan/atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada; c. pengukuran dampak; d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan/atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40. (4) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk SKPD yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya. a. SKPD yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan: inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, b. melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pasal 45 (1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di daerahnya. (2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas Kabupaten/Kota. Pasal 46 Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 menunjukkan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota berdasarkan kewenangan masing-masing wajib memerintahkan penanggung jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan. Pasal 47 (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah setempat. (2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat : a. identitas pelapor; b. tanggal pelaporan; c. waktu dan tempat kejadian; d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan; e. perkiraan dampak kebakaran hutan dan/atau lahan yang terjadi. (3) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan. (4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. (5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib

20 20 memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya. Pasal 48 Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Pasal 49 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib menyampaikan laporannya kepada Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. Bagian Kedua Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran Pasal 50 Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran wajib untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan baginya. Pasal 51 (1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran ditetapkan sesuai dengan peruntukan: a. Pemukiman dan daerah industri; b. Tanaman tahunan; c. Tanaman pangan lahan basah; d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan; (2) Tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Tata cara pengukuran kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 52 (1) Peruntukan lahan pasca penambangan ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. (2) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan peruntukan sebelum penambangan. Pasal 53 Gubernur/Bupati/Walikota dalam proses pemberian Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), selain berpedoman kepada peraturan yang berlaku, wajib mencantumkan kriteria kerusakan lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan Daerahnya (SIPDnya) Pasal 54 Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran yang wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan lingkungan lebih ketat dan kriteria

21 21 kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V huruf B Peraturan Gubernur ini, maka persyaratan yang lebih ketat berlaku baginya. Pasal 55 Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis Lepas di dataran wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada: a. Gubernur/Bupati/Walikota; b. Kepala BLHD; c. SKPD yang terkait. Pasal 56 Gubernur/Bupati/Walikota, melalui BLHD dan SKPD terkait masing-masing melakukan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran. Pasal 57 Apabila hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan, maka Gubernur/Bupati/Walikota segera menetapkan langkah kebijakan setelah mendapat pertimbangan dari BLHD dan/atau SKPD terkait. Pasal 58 (1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran: Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh Gubernur/Bupati/Walikota berdasarkan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Gubernur ini. (2) Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD) setelah ditetapkan peraturan ini, wajib disesuaikan dengan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Gubernur ini. Bagian Keempat Pertambangan Emas Rakyat Pasal 59 (1) Kegiatan penambangan emas meliputi: a. kegiatan penambangan emas pada cebakan primer; dan b. kegiatan penambangan emas pada cebakan sekunder. (2) Kegiatan pengolahan emas meliputi: a. kegiatan pengolahan emas pada cebakan primer; dan b. kegiatan pengolahan emas pada cebakan sekunder. Pasal 60 Pencegahan pencemaran kegiatan penambangan emas dilakukan dengan cara: a. membuat kolam pengendap untuk menampung air yang dipompa dari lubang tambang; b. melakukan pengolahan air di kolam pengendap sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga memenuhi baku mutu sebelum dialirkan ke sungai dan/atau rawa; dan c. menjaga kestabilan dinding lubang tambang. Pasal 61 Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan kegiatan penambangan emas dilakukan dengan cara: a. melakukan penambangan tidak di sempadan dan/atau bantaran sungai; b. membatasi laju pembukaan lahan; c. membatasi kedalaman penggalian dan tinggi timbunan dengan cara pembuatan jenjang; d. mengisi kembali (backfilling) kolong penambangan yang telah ditinggalkan; e. menghindari penggunaan merkuri atau sianida;

22 22 f. melakukan proses pemisahan mineral secara fisika; g. mengalirkan lumpur pencucian ke kolam pengendap; dan h. melakukan pengolahan air di kolam pengendap sebagaimana dimaksud pada huruf g sehingga memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke sungai dan/atau rawa. Pasal 62 (1) Pencegahan pencemaran kegiatan pengolahan emas dilakukan dengan cara: a. meminimalkan penggunaan merkuri atau sianida; b. mengalirkan tailing ke kolam penampungan yang berfungsi sebagai kolam pengendap untuk dapat diproses kembali; c. melakukan pengolahan air di kolam penampungan sebagaimana dimaksud pada huruf b sehingga memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke sungai dan rawa; d. menyimpan merkuri pada tempat yang tertutup, terhindar dari sinar matahari langsung, berada dalam suhu ruangan dan berada di bawah permukaan air minimal 1 cm (terendam) untuk ekstraksi; e. untuk amalgamasi harus menggunakan sistem retort, dilakukan pada tempat khusus yang dilengkapi cerobong dengan ketinggian minimal 2 meter lebih tinggi dari atap rumah di sekitar lokasi; dan f. untuk ekstraksi sianidasi, ph larutan harus dijaga pada kondisi basa dengan ph antara 10 sampai dengan 11 dan lokasi pengolahan berhubungan dengan udara luar. (2) Pengolahan emas pada penambangan cebakan sekunder, selain dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib pula dilakukan dengan cara mengolah bijih emas pada tempat khusus yang terisolasi dari sungai dan rawa. Pasal 63 Tata Cara`pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pertambangan emas rakyat dilakukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf D yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Keempat Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa Pasal 64 (1) Tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa meliputi kegiatan identifikasi kondisi awal tanah, analisis sifat dasar tanah, dan evaluasi untuk penetapan status kerusakan tanah. (2) Tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V huruf E yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 65 Tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan pengukuran kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Pasal 66 (1) Bupati/Walikota menetapkan kondisi dan status kerusakan tanah di daerahnya berdasarkan hasil pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. (2) Kondisi dan status kerusakan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan melalui media massa lokal dan/atau media elektronik dan/atau papan pengumuman dan/atau website.

23 23 Bagian Kelima Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove Pasal 67 Penetapan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ini diterapkan untuk sempadan pantai mangrove dan sempadan sungai mangrove di luar kawasan konservasi. Pasal 68 Kriteria baku kerusakan mngrove ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan dan erapatan mangrove yang hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf F yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 69 Kriteria Baku Kerusakan Mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam: a) Sangat baik (Sangat Padat); b) Baik (Sedang); c) Rusak. Pasal 70 Metode penentuan kerusakan mangrove didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf G yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Keenam Kriteria Baku Kerusakan dan Status Padang Lamun Pasal 71 (1) Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf H yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (2) Status Padang Lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3) Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan cara untuk menentukan status Padang Lamun yang didasarkan pada penggunaan metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf J yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Ketujuh Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang Pasal 72 (1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. (2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran V huruf K yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Pasal 73 (1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang.

24 24 Bagian Kedelapan Status Kondisi Terumbu Karang Pasal 74 (1) SKPD yang bertanggung jawab/bupati/walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan instansi yag bertanggung jawab. (2) SKPD yang bertanggung jawab/bupati/walikota menentukan status kondisi terumbu karang dari hasil inventarisasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan : a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau b. terumbu karang dalam kondisi rusak. (3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala SKPD yang membidangi. Pasal 75 SKPD yang bertanggung jawab/bupati/walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a. Bagian Kesembilan Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang Pasal 76 (1) SKPD yang bertanggung jawab/bupati/walikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) huruf b. (2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. (3) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf L yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Kesepuluh Kriteria Baku Kerusakan Ekosistem Danau Pasal 77 Kriteria baku kerusakan ekosistem danau meliputi unsur-unsur ekosistem danau: a. Ekosistem Akuatik b. Ekosistem Sempadan c. Ekosistem Trestrial Pasal 78 Status kondisi ekosistem danau didasarkan pada hasil inventarisasi yang dilakukan dengan berdasar pada kriteria baku kerusakan ekosistem danau yang dibagi atas : a. Kondisi Baik b. Kondisi Terancam c. Kondisi Rusak Pasal 79 (1) Kriteria Status kerusakan ekosistem Danau didasarkan pada kriteria status kerusakan masing-masing unsur yaitu: a. Kriteria status kerusakan ekosistem akuatik b. Kriteria status kerusakan ekosistem sempadan c. Kriteria status kerusakan ekosistem trestrial

25 25 (2). Kriteria status kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf M yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. (3). Metode penentuan status mutu ekosistem Danau adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Lampiran V huruf N yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. Bagian Kesebelas Kriteria dan Standar Kinerja Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasal 80 Kriteria dan standar kenerja Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V huruf O yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini. BAB V SANKSI Pasal 81 (1). Setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam peraturan gubernur ini dikenakan sanksi administrasi. (2). Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Peringatan tertulis b. Upaya paksa c. Penghentian operasi (3) Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis dan upaya paksa atas pelanggaran yang terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dikeluarkan oleh SKPDP dan/atau SKPDK. (4) Sanksi administrasi berupa pencabutan izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilaksanakan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota melalui SKPD pemberi izin. (5) SKPDP dan/atau SKPDK wajib dengan segera mencabut keputusan penghentian operasi usaha dan/atau kegiatan apabila pihak yang dihentikan kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya. Pasal 82 Kegiatan dan/atau usaha serta tindakan yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang implikasinya bukan hanya sebatas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2), maka ancaman penegakannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 83 (1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Gubernur ini telah dihasilkan limbah dan gangguan terhadap lingkungan hidup dan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Gubernur ini, maka yang menghasilkannya wajib melakukan pengelolaan sehingga memenuhi baku mutu dan/atau kriteria kerusakan lingkungan hidup yang diatur dalam peraturan gubernur ini. (2) Setiap orang atau badan usaha yang menghasilkan limbah atau gangguan terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak melakukan pengelolaan sehingga memenuhi baku mutu atau kriteria kerusakan lingkungan hidup maka SKPD yang membidangi dapat melakukan atau meminta pihak ketiga melakukan pengelolaan dengan biaya yang dibebankan kepada orang atau badan usaha yang menghasilkan.

26 26 Pasal 84 Dengan berlakunya Peraturan Gubernur ini maka Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 Tahun 2003 tentang Pengelolaan, Pengendalian Pencemaran Air, Udara, Penetapan Baku Mutu Limbah Cair, Baku Mutu Udara Ambien Dan Emisi Serta Baku Tingkat Gangguan Kegiatan Yang Beroperasi Di Propinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003 Nomor...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Ditetapkan di Makassar pada tanggal GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Dr.H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH., M.Si. MH. Diundangkan di Makassar pada tanggal SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN, H. A. MUALLIM, SH., M.Si BERITA DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2010 NOMOR

27 27

28 28

29 -28- LAMPIRAN I : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TENTANG : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : TANGGAL : A. KRITERIA MUTU AIR BERDASARKAN KELAS AIR Parameter Satuan Kelas I II III IV Keterangan FISIKA Temperatur C Deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 Deviasi temperatur dari keadaan alamiahnya Residu Terlarut mg/l (TDS) Residu Tersuspensi (TSS) mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu tersuspensi 5000 mg/l KIMIA ANORGANIK ph 6 8,5 6-8,5 6 8,5 5 8,5 Apabila secara alamiah diluar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah BOD mg/l COD mg/l DO mg/l Angka batas minimum Total fosfat sbg P mg/l 0,2 0,2 1 5 Nitrat mg/l NO 3 sebagai N NH 3 N mg/l 0,5 (-) (-) (-) Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka 0,02 mg/l sebagai NH 3 Arsen (As) mg/l 0, Kobalt (Co) mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium (Ba) mg/l 1 (-) (-) (-) Boron (Br) mg/l Selenium (Se) mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) Cr +6 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,1 Tembaga (Cu) mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu 1 mg/l Besi (Fe) mg/l 0,3 (-) (-) (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe 5 mg/l Timbal (Pb) mg/l 0,03 0,03 0,03 0,1 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb 0,1 mg/l

30 -29- Lanjutan A : Parameter Satuan Kelas I II III IV Keterangan Mangan (Mn) mg/l 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa (Hg) mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng (Zn) mg/l 0,05 0,05 0,05 2,0 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu tersuspensi Zn 5 mg/l Nitrit NO 2 sebagai N mg/l 0,06 0,06 0,06 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO 2 -N 1mg/L Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas mg/l 0,03 0,03 0,03 (-) Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Khlorida mg/l 600 (-) (-) (-) Belerang sebagai H 2 S mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H 2 S < 0,1 mg/l Sianida (CN) mg/l 0,02 0,02 0,02 (-) Flourida mg/l 0,5 1,5 1,5 (-) MIKROBIOLOGI - Fecal coliform Jml/100 ml - Total coliform Jml/100 ml Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform 2000 jml/100 ml dan Total coliform jml/100 ml RADIOAKTIVITAS - Gross A Bq/L 0,1 0,1 0,1 0,1 - Gross B Bq/L KIMIA ORGANIK Minyak & Lemak g/l (-) Detergen sebagai g/l (-) MBAS Senyawa Fenol g/l (-) sbg fenol BHC g/l (-) Aldrin/Dieldrin g/l 17 (-) (-) (-) Chlordane g/l 3 (-) (-) (-) DDT g/l Heptachlor dan Heptachlor epoxide g/l 15 (-) (-) (-) Endrin g/l (-) Lindane g/l 56 (-) (-) (-) Toxaphan g/l 5 (-) (-) (-) Keterangan : mg = milligram g = mikrogram ml = milliliter L = Liter Bq = bequerel MBAS = Methylene Blue Active Substance ABAM = Air Baku untuk Air Minum

31 -30- Logam berat merupakan logam terlarut Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk ph dan DO Nilai DO merupakan batas minimum Tanda adalah lebih kecil atau sama dengan Tanda < adalah lebih kecil Tanda (-) adalah tidak dipersyaratkan B. METODE PENENTUAN STATUS MUTU AIR 1. METODE STORET Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan system nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu : (1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu (2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 cemar ringan (3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang (4) Kelas D : buruk, skor < -31 cemar berat PROSEDUR PENGGUNAAN: Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu) maka diberi skor 0. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor : Tabel Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air Jumlah contoh 1 ) Nilai Parameter Fisika Kimia Biologi < 10 Maksimum Minimum Rata-rata > 10 Maksimum Minimum Rata-rata Catatan : 1) jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan status mutu air. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan hasil penjumlahan tersebut menjadi nilai skor untuk menetapkan status mutunya.

32 -31- CONTOH PERHITUNGAN: Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Pada tabel berikut merupakan contoh penerapan penentuan kualitas air menurut metoda STORET yang dilakukan oleh BLHD Provinsi Sulawesi Selatan. Data diambil dari hasil pengujian di Sungai Tallo yaitu pada stasiun 1 yang berada pada segmen A. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor : 33 Tahun 2006 tentang Penetapan Kelas Air Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang, untuk aliran Sungai Tallo pada Segmen A ditetapkan peruntukannya adalah untuk air kelas III, dengan demikian yang dijadikan sebagai dasar penilaian setiap parameter uji adalah Baku Mutu Air Kelas III. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil analisa di sungai Tallo, tetapi hanya diberikan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata dari data-data hasil pengujian. Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh, untuk Hg): Karena jumlah parameter yang dijadikan dasar perhitungan skor stroret tidak lebih dari sepuluh, maka indeks yang digunakan adalah indeks pada baris pertama pada tabel Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air di atas. Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter kimia pada kolom 4 tabel Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air di atas. Kadar Hg yang diharapkan untuk air Kelas III adalah mg/l. Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah mg/l, ini berarti kadar Hg melebihi baku mutunya. Maka skor untuk nilai maksimum adalah -2. Kadar Hg minirnurn hasil pengukuran adalah mg/l, ini berarti kadar Hg sesuai dengan baku mutunya. Maka skornya adalah 0. Kadar Hg rata-rata hasil pengukuran adalah mg/l, ini berarti rnelebihi baku mutunya. Maka skornya adalah -6 (parameter Kimia). Jumlahkan skor untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata. Untuk contoh ini skor Hg adalah -8. Lakukan hal yang sama untuk setiap parameter, apabila tidak ada baku mutunya untuk parameter tertentu, maka tidak perlu dilakukan perhitungan. Jumlahkan skor dari setiap paremeter, nilai penjumlahan inilah yang menunjukkan status mutu air. Pada contoh ini skor total adalah -38, ini berarti sungai Tallo pada stasiun 1 walaupun hanya tiga paremeter yang tidak memenuhi baku mutu tetapi status mutu airnya digolongkan kedalam mutu air yang buruk atau cemar berat untuk peruntukan Kelas III.

33 -32- Tabel Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET di Stasiun 1 (segmen A) Sungai Tallo (peruntukan Kelas III) No. Parameter Satuan Baku Mutu Hasil Pengukuran Maksimum Minimum Rata-rata FISIKA 1 TDS mg/l ,4 224,2 0 2 Suhu air 0 C normal DHL mhos/cm - 82, ,3-4 Kecerahan m - 0, ,41 - KIMIA 5 Hg mg/l 0,002 0,0296 0,0006 0, As mg/l 1 0,0014 tt 0, Cd mg/l 0,01 tt tt tt 0 No. Parameter Satuan Baku Mutu Hasil Pengukuran Skor Skor MIKROBIOLOGI 8 Coliform tinja Jml/100 ml x x x Total caliform Jml/100 ml x x x Jumlah Skor METODA INDEKS PENCEMARAN Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974). Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat member masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independent dan bermakna. DEFENISI Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. PIj = (C1/L1j, C2/L2j,,Ci/Lij) Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi atau disisihkan, kalau badan air digunakan untuk peruntukan (j). Jika parameter ini adalah parameter yang bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan bagi air itu. Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai Ci/Lij sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika salah satu nilai Ci/Lij bernilai lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus mencakup nilai Ci/Lij yang maksimum PIj = _ {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M}

34 -33- Dengan (Ci/Lij)R : nilai,ci/lij rata-rata (Ci/Lij)M : nilai,ci/lij maksimum Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu tersebut. Gambar Pernyataan Indeks untuk suatu Peruntukan (j) Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran suatu badan air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij diusulkan sebagai faktor yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat pencemaran. Dimana m = faktor penyeimbang Keadaan kritik digunakan untuk menghitung nilai m PIj = 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata Ci/Lij = 1,0 maka Maka persamaan sebelumnya akan menjadi: Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu. Evaluasi terhadap nilai PI adalah : 0 PIj 1,0 memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < PIj 5,0 cemar ringan 5,0 < PIj 10 cemar sedang PIj > 10 cemar berat PROSEDURE PENGGUNAAN Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur

35 -34- sungai, maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara : 1. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas air akan membaik. 2. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang. 3. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan cuplikan. 4.a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO. Tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan, yaitu : 4.b. Jika nilai baku Lij memiliki rentang - untuk Ci < Lij rata-rata

36 untuk Ci > Lij rata-rata 4.c. Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah : (1) Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil dari 1,0. (2) Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran > 1,0. (Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5). 5. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij ((Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M). 6. Tentukan harga PIj CONTOH PERHITUNGAN Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan ditentukan indeks pencemarannya (IP). Hasil pengukuran sampel diberikan pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada kolom 3 (LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh yang diberikan berikut ini hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj. Tabel Contoh penentuan IP untuk baku mutu X Contoh perhitungan TSS : C1/L1X = 100 / 50 = 2 C1/L1X > 1 Maka gunakan persamaan (Ci/Lij)baru (C1/L1X)baru = 1,0 + 5 log 2 = 2,5 Catatan : Ci/Lij baru dihitung karena nilai Ci/Lij yang berjauhan untuk Ci/Lij < 1 digunakan Ci/Lij hasil pengukuran, tetapi bila Ci/Lij > 1 perlu dicari Ci/Lij baru. Contoh perhitungan DO : DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menurun. Maka sebelum menghitung C2/L2X harus dicari terlebih dahulu harga C2 baru. DOmaks = 7 pada temperatur 250C C 2 baru = (7 2)/(7-6) = (5/3) C2/L2X = (5/3) / 6 = 0,28 Contoh perhitungan ph : Karena harga baku mutu ph memiliki rentang, maka penetuan C3/L3X dilakukan dengan cara : L3X rata-rata = (6 + 9)/2 = 7,5 C3 > L3X rata-rata C3/L3X = (8 7,5)/ (9-8) = 0,5

37 -36- Tentukan nilai (Ci/LiX)R = 2,58 (nilai rata-rata dari kolom 5) Tentukan nilai (Ci/LiX)M = 5,2 (nilai maksimum dari kolom 5) Dengan menggunakan persamaan pada langkah no 5 (lihat prosedur 3.2), maka dapat ditentukan nilai PIX = 4,10. Apabila kemudian data air sungai yang sama ingin dibandingkan terhadap baku mutu yang berbeda, misalnya Y (kelas II), maka perhitungannya menjadi sebagai berikut: Tabel Contoh Penentuan IP untuk Baku Mutu Y Parameter rc i L iy C i /L Iy C i /L iy baru TSS ,25 0,25 DO ,83 PH ,5 0,5 BOD ,8 0,8 Se 0,07 0,08 0,88 0,88 Dari Tabel di atas, maka dapat ditentukan nilai-nilai berikut: (C i /L iy )R = 0,625 (C i /L iy )M = 0,88 PI Y = 0,76 Jika dibandingkan antara contoh pada 2 Tabel di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa air sungai yang diukur memenuhi baku mutu Y dan tidak memenuhi baku mutu X. Jadi bila nilai PI lebih kecil dari 1,0, maka sampel air tersebut memenuhi baku mutu termaksud, sedangkan bila lebih besar dari 1,0 sampel dinyatakan tidak memenuhi baku mutu. C. BAKU MUTU AIR LAUT DAN SEDIMEN LAUT 1. BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK PERAIRAN PELABUHAN No. Parameter Satuan Baku Mutu I. FISIKA 1. Kecerahan a m >3 2. Kebauan -. tidak berbau 3. Padatan tersuspensi total b mg/l mg/l Sampah. nihil 1(4) 5. Suhu c C Alami 3(c) 6. Lapisan minyak 5 - nihil 1(5) II. KIMIA 1. ph d. 6,5-8,5 (d) 2. Salinitas* %o. alami 3(e) 3. Ammonia total (NH 3 -N) mg/l mg/l 0,3 4. Sulfida (H 2 S) mg/l mg/l 0,03 5. Hidrokarbon total mg/l mg/l 1 6. Senyawa Fenol total mg/l 0, PCB (poliklor bifenil) M9/l 0,01 8. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1 9. Minyak dan Lernak TBT (tri butil tin) 5 0,01 III. LOGAM TERLARUT 11. Raksa (Hg) 0, Kadmium (Cd) 0, Tembaga (Cu) 0,05

38 Timbal (Pb) 0, Seng (Zn) 0,1 IV. BIOLOGI 1. Coliform (total) 1000 (f) Keterangan : 1) Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2) Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3) Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) 4) Pengamatan oleh manusia (visual) 5) Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm 6) TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman 2. BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK WISATA BAHARI No. Parameter Satuan Baku Mutu I II Pt.Co - m NTU mg/l o C % o mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 30 Tidak Berbau > alami 3(c) nihil 1(4) nihil 1(5) (c) alami 3(e) >5 10 nihil 0,015 0,008 nihil nihil 0, III FISIKA Warna Bau Kecerahan a Kekeruhan a Padatan tersuspensi total b Suhu c Sampah Lapisan minyak 5 KIMIA ph d Salinitas e Oksigen Terlarut (DO) BOD 5 Amoniak bebas (NH 3 -N) Fosfat (PCVP) 'Nitrat (NO 3 -N) Sulfida (H 2 S) Senyawa Fenol PAH (Poliaromatik hidrokarbon) PCS (polikhlor bifenil) Surfaktan (detergen) Minyak & lemak Pestisida LOGAM TERLARUT Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen (As) Cadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) mg/l MBAS mg/l µg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l nihil 0,001 1 nihil 1(e) 0, ,005 0,095 0,075

39 -38- IV. 1 2 V. 1 BIOLOGI E-Coliform(feecal) g Coliform (total) g RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui MPN/100ml MPN/100ml Bq/L 200 g 1000 g 4 Keterangan : Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, beivariasi setiap saat (siang, malam dan musim) Pengamatan oleh manusia (visual). Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman, euphotic Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan ph Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman. Berbagai jenis pestisida seperti: DOT, Endrin. Endosulfan dan Heptachlor Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman 3. BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT No. Parameter Satuan Baku Mutu FISIKA Kecerahan a Kebauan Kekeruhan a Padatan tersuspensi total b Sampah Suhu c Lapisan minyak 5 m NTU mg/l - o C coral: >5 mangrove: - lamun: >3 alami 3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami 3(c) coral: (c) mangrove: (c) lamun: (c) KIMIA ph d Salinitas e Oksigen terlarut (DO) BOD 5 Amonia total (NH 3 -N) Fosfat (PO 4 -P) Nitrat (NO 3 -N) Sianida (CN) Sulfida (H 2 S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) % O mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l HQ/L mg/l MBAS 7-8,5 (d) Alami 3(e) coral: (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: (e) >5 20 0, ,008 0,5 0,01 0,003

40 Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisida TBT (tributil tin) 7 mg/l µg/l µg/l mg/l mg/l 0, ,01 0,01 No. Parameter Satuan Baku Mutu LOGAM TERLARUT Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nlkel (Ni) mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0, BIOLOGI Coliform (total) g Patogen. Plankton MPN/100ml sel/100ml sel/100ml 1000(g) nihil tidak bloom 6 1 RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui Bq/L 4 Catatan: 1) Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2) Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada. baik internasional maupun nasional. 3) Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4) Pengamatan oleh manusia (visual). 5) Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm. 6) Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7) TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <1.0% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DOT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

41 BAKU MUTU SEDIMEN LAUT Parameter Kimia Konsentrasi Maksimum Zat (mg/kg berat kering) Metode Analisa Arsen (As) 58,00 Spektrofotometri Serapan Atom Uap Hidrida (Hydride Vapour AAS) Kadmium (Cd) 6,20 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) Krom (Cr) Total 160 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) Timbal (Pb) 36,80 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) Merkuri (Hg) 0,30 Spektrofotometri Serapan Atom Uap Dingin (Cold Vapour AAS) Tembaga (Cu) 108,20 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) Seng (Zn) 271 Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) PAH (Benzo[a]pyrene) 0,76 Ekstraksi Soklet Kromatografi Cair Kinerja Tinggi PCB (Aroclor 1254) 0,71 Ekstraksi Soklet Kromatografi Gas D. PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM 1. Bakteriologis a. Air Minum E.Coli atau fecal coli Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan b. Air yang masuk system distribusi E.Coli atau fecal coli Total Bakteri Coliform c. Air pada system distribusi E.Coli atau fecal coli Total Bakteri Coliform Jumlah per 100 ml sample Jumlah per 100 ml sample Jumlah per 100 ml sample Jumlah per 100 ml sample Jumlah per 100 ml sample Keterangan

42 Kimia a. Bahan-bahan Inorganik ( yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan) Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan Antimony (mg/liter) Air Raksa (mg/liter) Arsenic (mg/liter) 0.01 Barium (mg/liter) 0.7 Baron (B) (mg/liter) 0.3 Qadmium (Cd) (mg/liter) Kromium (CrAg) (mg/liter) 0.05 Tembaga (Cu) (mg/liter) 2 Sianida (CN) (mg/liter) 0.07 Fluoride (F) (mg/liter) 1.5 Timbal (Pb) (mg/liter) 0.01 Molyddenum (mg/liter) 0.07 Nikel (Ni) (mg/liter) 0.02 Nitrat (sebagai NO 3 ) (mg/liter) 50 Nitrit (sebagai NO 2 ) (mg/liter) 3 Selenium (mg/liter) 0.01 Keterangan b. Bahan-bahan Inorganik (yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen) Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan Amonia (NH 3 ) mg/l 1.5 Aluminium mg/l 0.2 Klorida (Cl) mg/l 250 Tembaga mg/l 1 Kesadahan mg/l 500 Hidrogen Sulfida mg/l 0.05 Besi (Fe) mg/l 0.3 Mangan (Mn) mg/l 0.1 ph Sodium mg/l 200 Sulfat (SO 4 ) mg/l 250 Total padatan terlarut mg/l 1000 Seng (Zn) mg/l 3 Keterangan

43 -42- c. Bahan-bahan organik (yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan) Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan Chlorinated alkanes : Carbon tetrachloride Dichloromethane 1,2-dichloroethane 1,1,1 trichloroethane Chlorinated ethenes vinyl chloride 1,1-dichloroethene 1,2-dichloroethene Trichloroethene Tetrachloroethene Aromatic hydrocarbons Benzene Toluene Xylenes Benzo[a]pyrene Chlorinated benzenes : Monochlorobenzenes 1,2-dichlorobenzenes 1,4-dichlorobenzenes Trichlorobenzenes Lain-lain : di(2-ethylhexyl) adipate di(2ethylhexyl)phthalate Acrylamide Epichlorohydrin Hexachlorobutadiene Edtic acid (EDTA) Tributyltin oxide (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) Keterangan d. Bahan-bahan organik (yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen) Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) 1-10 (µg/liter) (µg/liter) 5-50 Toluene Xylene Ethybenzene Styrene Monochlorobenzene 1,2-dichlorobenzene 1,4- dichlorobenzene Trichrolobenzenez (total) Desinfektan dan hasil sampingannya : Chlorine 2-chlorophenol 2,4-dischlorophenol 2,4,6-trichlorophenol (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) Keterangan

44 Pestisida Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan (µg/liter) 20 (µg/liter) 10 (µg/liter) 0.03 (µg/liter) 2 (µg/liter) 30 (µg/liter) 5 (µg/liter) 0.2 (µg/liter) 30 Alachlor Aldicarb Aldrin/dieldrin Atrazine Bentazone Carbofuran Chlordane Chlorotoluren DDT 1,2-dibromo 3-chloropropane 2,4-D 1,2-dichloropropane 1,3-dichloropropane Heptachlor and Heptachlor epoxide Hexachlorobenzene Isoproturon Lindane MCPa Methoxychlor Metolachlor (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) Keterangan Lanjutan 3 : Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan (µg/liter) 6 (µg/liter) 20 (µg/liter) 9 (µg/liter) 20 (µg/liter) 20 (µg/liter) 100 (µg/liter) 2 (µg/liter) 20 Molinate Pendimethalin Pentachlorophenol Permethrin Propanil Pyridate Simazine Trifluralin Chlorophenoxy herbicides Selain 2,4-D & MCPA : 2,3-DB Dischlorprop Fenoprop Mecoprop 2,4,5-T (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) Keterangan

45 Desinfektan dan Hasil Sampingannya Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan (µg/liter) 3 (µg/liter) 5 (µg/liter) 25 (µg/liter) 200 Monochloramine Chlorine Bromate Chlorite Chlorophenol : 2,4,6-trichlorophenol Formaldehyde Trihalomethanes : Bromoform Dibromochloromethane Bromodichloromethane Chloroform Chlorinated acetic acida Dichloroacetic acid Trichloroacetic acid Chloral hydrate : (trichloroacetaldehyde) Halogenated acetonitriles : Dichloroacetonitrile Dibromooacetonitrile Tribromooacetonitrile Cyanogen Chloride (sebagai CN) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) (µg/liter) Keterangan 5. Radioaktivitas Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan Cross alpha activity (Bq/Liter) 0.1 Cross beta activity (Bq/Liter) 1 Keterangan 6. Fisik Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan Parameter fisik Warna Rasa dan Bau Temperatur Kekeruhan TCU - o C NTU 15 - Suhu Udara ± 3 o C 5 Keterangan Tidak berbau dan berasa

46 -45- E. PERSYARATAN KUALITAS AIR PEMANDIAN UMUM No Parameter Satuan Kadar yang diperbolehkan Keterangan Min Maks A. FISIKA 1 Bau Tidak berbau 2 Kejernihan Piringan sesuai garis tangan 150 mm pada kedalaman 1,25 m tampak jelas 3 Minyak Tidak berbau minyak dan tidak tampak lapisan film minyak 4 Warna TCU B. KIMIAWI 1 Detergen mg/l - 1,0 2 BOD mg/l - 5,0 3 Oksigen terlarut (O 2 ) mg/l 4 ph - 6,5 8,5 C. MIKROBIOLOGI 1 Koliform total D. RADIO AKTIVITAS Aktivitas Alpha (Gross 1 Alpha Activity) Aktivitas Beta (Gross 2 Beta Activity) Jumlah per 100ml Bg/L - 0,1 Bg/L - 1,0

47 -46- F. PERSYARATAN KUALITAS AIR KOLAM RENANG No Parameter Satuan A. FISIKA Kadar yang diperbolehkan Min Maks 1 Bau Benda terapung Kejernihan B. KIMIAWI 1 Alumunium mg/l - 0,2 2 Kesadahan (Ca SO3) mg/l Oksigen terlarut (O 2 ) mg/l - 0,1 4 ph - 6,5 8,5 5 Sisa Chlor mg/l 0,2 0,5 6 Tembaga sebagai (Cu) mg/l - 1,5 C. MIKROBIOLOGI 1 Koliform total Jumlah per ml 2 Jumlah kuman Jumlah kilon /1ml keterangan Bebas dari bau yang mengganggu Bebas dari benda terapung Piringan sesuai yang diletakan pada dasar kolam yang terdalam dapat dilihat dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 7 m Dalam waktu 4 jam pada suhu udara Catatan : Sumber air kolam renang adalah air baku air minum yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan ini. GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Dr. H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH, MSi, MH

48 47 LAMPIRAN II : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TENTANG : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : TANGGAL : A. BAKU MUTU AIR LIMBAH INDUSTRI 1. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,20 COD 160 0,40 TSS 200 0,50 Minyak dan Lemak 25 0,063 Nitrogen Total (sebagai N) 50 0,125 Ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 2,5 m 2 /ton produk Minyak Sawit (CPO) Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk minyak sawit (CPO). 3) Nitrogen total adalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO 3 + NO BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI GULA Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,3 COD 100 0,5 TSS 50 0,25 Minyak dan Lemak 5 0,025 Sulfida (sebagai S) 0,5 0,0025 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 5,0 m 3 per ton produk gula Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk gula. 3) Debit air limbah maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.

49 48 3. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI TAPIOKA Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,6 COD 200 6,0 TSS 50 3,0 Sianida (CN) 5 0,009 Sulfida (sebagai S) 0,5 0,0025 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 30 m 3 per ton produk tapioca Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk tapioka. 4. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU Kadar Beban Pencemaran Maksimum Parameter Maksimum (mg/l) Pabrik Susu Dasar (kg/ton) Pabrik Susu Terpadu (kg/ton) BOD ,05 0,06 COD 100 0,20 0,15 TSS 50 0,10 0,075 ph 6,0 9,0 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 2,0 L per kg total padatan 1,5 L per kg produk susu Catatan : 1) Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau susu bubuk. 2) Pabrik terpadu : menghasilkan produk dari susu seperti keju, mentega dan atau es krim. 3) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 4) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton total padatan susu atau produk susu. 5. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Dengan Pencucian Botol dan Dengan Pembuatan Sirop Beban Pencemaran Maksimum (gram/m 3 ) Dengan Tanpa Pencucian Pencucian Botol dan Botol dan Tanpa Dengan Pembuatan Pembuatan Sirop Sirop Tanpa Pencucian Botol dan Tanpa Pembuatan Sirop BOD COD TSS ,2 7,2 ph 6,0 9,0 6,0 9,0 6,0 9,0 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 3,5 L per L produk minuman 3,5 L per L produk minuman 3,5 L per L produk minuman 3,5 L per L produk minuman

50 49 Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum pada setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam gram parameter per m 3 produk minuman ringan yang dihasilkan. 6. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI BIR Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran (mg/l) Maksimum (kg/ton) BOD ,0 COD ,0 TSS 40 24,0 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 6 hektoliter per hektoliter Bir Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam parameter per hektometer produk Bir. 7. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN DAGING Beban Pencemaran Parameter Kadar Maksimum Maksimum (mg/l) (kg/ton) BOD COD TSS Amonia (NH 3-N) Minyak dan Lemak ph 6 9 Kuantitas air limbah Maksimum 6 m 3 /ton produk 8. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI Pengolahan Kedelai Parameter Kecap Tahu Tempe Kadar *) Beban Kadar *) Beban Kadar *) (mg/l) (Kg/ton) (mg/l) (Kg/ton) (mg/l) BOD 150 1, ,5 COD TSS ph 6 9 Kuantitas Air Limbah Maksimum (m 3 /ton) Keterangan : *) - kecuali untuk ph - Satuan kuantitas air limbah adalah m 3 per ton bahan baku - Satuan beban adalah kg per ton bahan baku Beban (Kg/ton)

51 50 9. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI 10. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN OBAT TRADISIONAL/JAMU 11. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KELAPA *Kecuali untuk ph dan Kuantitas Air Limbah

52 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT 13. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN YANG MELAKUKAN SATU JENIS PENGOLAHAN Keterangan: 1) Satuan kuantitas air limbah bagi: - usaha dan/atau kegiatan pembekuan dalam satuan m 3 per ton bahan baku. - usaha dan/atau kegiatan pengalengan dalam satuan m 3 per ton bahan baku. - usaha dan/atau kegiatan pembuatan tepung ikan dalam satuan m 3 /ton produk. 2) Satuan beban pencemaran bagi: - usaha dan/atau kegiatan pembekuan dalam satuan kg per ton bahan baku. - usaha dan/atau kegiatan pengalengan dalam satuan kg per ton bahan baku. - usaha dan/atau kegiatan pembuatan tepung ikan dalam satuan kg/ton produk. 3) Khusus bagi usaha dan/atau kegiatan pembuatan tepung ikan, satuan kuantitas air limbah dapat menggunakan satuan m3 per ton bahan baku, yaitu sebesar 60 m 3 per ton bahan baku. Dengan demikian, nilai beban pencemaran bagi masing-masing parameter dalam satuan kg per ton bahan baku adalah sebagai berikut: - TSS : 6 kg/ton bahan baku - Sulfida : 0,06 kg/ton bahan baku - Amonia : 0,3 kg/ton bahan baku - BOD : 6 kg/ton bahan baku - COD : 18 kg/ton bahan baku - Minyak-lemak : 0,9 kg/ton bahan baku 4) Bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan satu jenis kegiatan pengolahan namun menggunakan lebih dari satu jenis bahan baku hasil perikanan, berlaku ketentuan:

53 52 a) nilai kuantitas air limbah adalah jumlah perkalian antara nilai kuantitas air limbah dengan jumlah bahan baku yang digunakan senyatanya, seperti yang dinyatakan dalam persamaan berikut: Keterangan : Qmix : kuantitas air limbah gabungan bahan baku, dalam satuan m 3 ; Qi : kuantitas air limbah yang berlaku bagi masing-masing jenis bahan baku, dalam satuan m 3 /ton; Pi : jumlah bahan baku yang digunakan senyatanya, dalam satuan ton. Contoh 1 Suatu usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan melakukan kegiatan pembekuan ikan dan udang dengan penggunaan bahan baku senyatanya dalam bulan yang sama, berturut-turut, adalah 4 dan 5 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.13 mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pembekuan ikan dan udang, berturut-turut, sebesar 10 dan 30 m 3 per ton bahan baku. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui: Q1 : 10 m 3 /ton Q2 : 30 m 3 /ton P1 : 4 ton P2 : 5 ton Nilai kuantitas air limbah gabungan bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut pada bulan yang bersangkutan adalah: Qmlx = i(qi x Pi) = (Q1 x P1) + (Q2 x P2) = (10 m 3 /ton x 4 ton) + (30 m 3 /ton x 5 ton) = 190 m 3 ( berlaku hanya bagi bulan terkait) Contoh 2 Suatu usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan melakukan kegiatan pengalengan ikan, udang, dan kepiting dengan penggunaan bahan baku senyatanya dalam bulan yang sama, berturut-turut, adalah 4, 5, dan 1 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.13 mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pengalengan ikan, udang, dan kepiting, berturut-turut, sebesar 15, 30, dan 20 m 3 /ton bahan baku. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui: Q1 : 15 m 3 /ton Q2 : 30 m 3 /ton Q3 : 20 m 3 /ton P1 : 4 ton P2 : 5 ton P3 : 1 ton

54 53 Nilai kuantitas air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut pada bulan yang bersangkutan adalah : b) nilai beban pencemaran adalah perkalian antara nilai kadar dengan nilai kuantitas air limbah, seperti yang dinyatakan dalam persamaan berikut : Keterangan : Lmix : beban pencemaran kegiatan, dalam satuan kg; C : kadar parameter air limbah, dalam satuan mg/l; Qmix : kuantitas air limbah gabungan, dalam satuan m3. Contoh 3 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.13, kadar parameter TSS untuk kegiatan pembekuan hasil perikanan dibatasi pada nilai 100 mg/l. Nilai beban pencemaran parameter TSS bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut seperti yang dimaksud pada Contoh 1 adalah: Dengan cara yang sama, nilai beban pencemaran yang berlaku bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel berikut: Tabel Beban pencemaran bagi usaha dan/atau kegiatan

55 54 Contoh 4 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.13, kadar parameter COD untuk kegiatan pengalengan hasil perikanan dibatasi pada nilai 150 mg/l. Nilai beban pencemaran parameter COD bagi industri seperti yang dimaksud pada Contoh 2 adalah : Dengan cara yang sama, nilai beban pencemaran yang berlaku bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel berikut : Tabel Beban pencemaran bagi usaha dan/atau kegiatan BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN YANG MELAKUKAN LEBIH DARI SATU JENIS PENGOLAHAN Keterangan : 1) Nilai kuantitas air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan lebih dari satu jenis kegiatan pengolahan adalah jumlah perkalian antara nilai kuantitas air limbah dengan jumlah bahan baku (atau produk) senyatanya dari masing-masing kegiatan, seperti yang dinyatakan dalam persamaan berikut:

56 55 Qmix : kuantitas air limbah, dalam satuan m 3 ; Qi : kuantitas air limbah yang berlaku bagi masing-masing kegiatan, dalam satuan m 3 /ton; Pi : jumlah bahan baku yang digunakan (atau produk yang dihasilkan) senyatanya, dalam satuan ton bahan baku (atau ton produk). Contoh 1 Suatu usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan melakukan dua jenis kegiatan pengolahan, yaitu pembekuan ikan dan pengalengan kepiting dengan penggunaan bahan baku senyatanya dalam bulan yang sama, berturut-turut, adalah 3 dan 4 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.14 mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pembekuan ikan dan pengalengan kepiting, berturut-turut, sebesar 10 dan 20 m 3 per ton bahan baku. Berdasarkan keterangan ini, dapat diketahui: Q1 : 10 m 3 /ton Q2 : 20 m 3 /ton P1 : 3 ton P2 : 4 ton Nilai kuantitas air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut pada bulan yang bersangkutan adalah: Contoh 2 Suatu usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan melakukan tiga jenis kegiatan pengolahan, yaitu pembekuan udang, pengalengan kepiting, dan pembuatan tepung ikan. Penggunaan bahan baku udang dan kepiting senyatanya dalam bulan yang sama, berturut-turut, adalah 4 dan 5 ton. Sedangkan jumlah produk tepung ikan yang dihasilkan dalam bulan yang sama adalah 1 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.14 mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pembekuan udang, pengalengan kepiting, dan pembuatan tepung ikan, berturut-turut, sebesar 30 m 3 /ton bahan baku, 20 m 3 /ton bahan baku, dan 12 m 3 /ton produk. Berdasarkan keterangan ini, dapat diketahui: Q1 : 30 m 3 /ton Q2 : 20 m 3 /ton Q3 : 12 m 3 /ton P1 : 4 ton P2 : 5 ton P3 : 1 ton Nilai kuantitas air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut pada bulan yang bersangkutan adalah:

57 56 2) Nilai beban pencemaran bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan lebih dari satu jenis kegiatan pengolahan adalah perkalian antara nilai kadar dengan nilai kuantitas air limbah gabungan, seperti yang dinyatakan dalam persamaan berikut: Keterangan : Lmix : beban pencemaran, dalam satuan kg; Cmix : kadar parameter air limbah, dalam satuan mg/l; Qmix : kuantitas air limbah gabungan, dalam satuan m 3. Contoh 3 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.14, kadar parameter TSS dibatasi pada nilai 100 mg/l. Nilai beban pencemaran parameter TSS bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut seperti yang dimaksud pada Contoh 1 adalah: Dengan cara yang sama, nilai beban pencemaran yang berlaku bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel berikut: Tabel Beban pencemaran bagi usaha dan/atau kegiatan contoh

58 57 Contoh 4 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.14, kadar parameter COD dibatasi pada nilai 200 mg/l. Nilai beban pencemaran parameter COD bagi usaha dan/atau kegiatan seperti yang dimaksud pada Contoh 2 adalah : Dengan cara yang sama, nilai beban pencemaran yang berlaku bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel berikut: Tabel Beban pencemaran bagi usaha dan/atau kegiatan contoh 14. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN DAN/ATAU SAYURAN YANG MELAKUKAN SATU JENIS PENGOLAHAN

59 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN DAN/ATAU SAYURAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN PENGOLAHAN GABUNGAN Keterangan: 1) Bagi industri pengolahan buah-buahan dan/atau sayuran yang melakukan proses penggorengan dalam tahapan kegiatan pengolahannya, parameter minyak-lemak dibatasi sebesar 15 mg/l. 2) Nilai kuantitas air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri yang melakukan kegiatan pengolahan gabungan adalah jumlah perkalian antara nilai kuantitas air limbah dengan jumlah bahan baku senyatanya dari masing-masing kegiatan sebagaimana dinyatakan dalam persamaan berikut: dengan Qmix : kuantitas air limbah gabungan kegiatan, dalam satuan m3; Qi : kuantitas air limbah yang berlaku bagi masing-masing kegiatan, dalam satuan m 3 /ton; Pi : jumlah bahan baku yang digunakan senyatanya, dalam satuan ton bahan baku. Contoh 1 Suatu industri melaksanakan kegiatan pengolahan yang menggunakan dua jenis bahan baku, yaitu buah nanas dan buah lainnya dengan penggunaan bahan baku senyatanya dalam bulan yang sama, berturut-turut, adalah 10 dan 5 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.16, mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pengolahan yang menggunakan dua jenis bahan baku tersebut masing-masing sebesar 9 m 3 per ton bahan baku. Berdasarkan keterangan ini, dapat diketahui : Q1 : 9 m 3 /ton Q2 : 9 m 3 /ton P1 : 10 ton P2 : 5 ton Nilai kuantitas air limbah gabungan bagi industri tersebut adalah:

60 59 Contoh 2 Suatu industri melaksanakan kegiatan pengolahan yang menggunakan tiga jenis bahan baku, yaitu buah nanas, buah selain nanas, dan jamur dengan penggunaan bahan baku senyatanya dalam bulan yang sama, berturutturut, adalah 4, 3, dan 2 ton. Tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.16, mengatur kuantitas air limbah bagi kegiatan pengolahan yang menggunakan bahan baku buah nanas dan buah selain nanas masing-masing sebesar 9 m 3 /ton bahan baku, dan bahan baku jamur sebesar 20 m 3 /ton bahan baku. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui : Q1 : 9 m 3 /ton Q2 : 9 m 3 /ton Q3 : 20 m 3 /ton P1 : 4 ton P2 : 3 ton P3 : 2 ton Nilai kuantitas air limbah gabungan bagi industri tersebut adalah: Nilai beban bagi usaha dan/atau kegiatan industri yang melakukan kegiatan pengolahan gabungan adalah perkalian antara nilai baku mutu kadar dengan nilai kuantitas air limbah gabungan, sebagaimana dinyatakan dalam persamaan berikut : dengan Lmix : beban gabungan kegiatan, dalam satuan kg; Cmix : kadar parameter air limbah, dalam satuan mg/l; Qmix : kuantitas air limbah gabungan kegiatan, dalam satuan m 3. Contoh 3 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.16, kadar parameter TSS dibatasi pada nilai 100 mg/l. Nilai beban parameter TSS bagi industri sebagaimana dimaksud pada contoh 1 adalah :

61 60 Contoh 4 Berdasarkan tabel baku mutu yang tercantum dalam Lampiran II.A.16, kadar parameter COD dibatasi pada nilai 150 mg/l. Nilai beban parameter COD bagi industri sebagaimana dimaksud pada contoh 2 adalah : 16. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG) Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,6 COD ,0 TSS ,0 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 120 m 3 per ton produk MSG Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk MSG. 17. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK/KHLOR Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) TSS 25 75,0 Cl 2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5 Tembaga (Cu) 1,0 3,0 Timbal (Pb) 0,6 1,8 Seng (Zn) 1,0 3,0 Krom Total (Cr) 0,5 1,5 Nikel (N) 1,2 3,6 Total Raksa (Hg) 0,004 0,012 Alkil Merkuri Tidak Terdeteksi Ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 3,0 m 3 per ton produk soda kostik atau 3,4 m 3 per ton Cl 2

62 61 Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per Ton produk soda kostik. 18. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI ETHANOL Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,5 COD 200 3,0 TSS 100 1,5 Sulfida (sebagai S) 0,5 0,0075 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 15 m 3 per ton produk ethanol Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk ethanol. 19. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI VINYL CHLORIDE MONOMER DAN POLY VINYL CHLORIDE Parameter Vinyl Chloride Monomer Kadar Maksim um (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (gram/ ton produk) Poly Vinyl Chloride Vinyl Chloride Monomer dan Poly Vinyl Chloride Kadar Kadar Maksimu Maksimum m (mg/l) (mg/l) Beban Pencemar an Maksimu m (gram/ Beban Pencemaran Maksimum (gram/ ton produk) BOD , ,5 COD TSS IDS 0 (-) (*) (*) (*) (*) Tembaga (Cu) 2 14 (-) (-) 0,2 14 Klorin Bebas (Cl 2 ) 1 7 (-) (-) 0,1 7 ph 6,0-9,0 6,0-9,0 6,0-9,0 Volume Air Limbah Maksimum 7 m 3 /ton produk 2,7 m 3 / ton produk 7 m 3 /ton produk VCM + 2, 7 m 3 /ton produk PVC Keterangan: (*) Artinya TDS dalam air limbah tidak boleh lebih besar dari TDS sumber air tempat pembuangan. (-) Artinya tidak dipersyaratkan.

63 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI POLY ETHYLENE TEREPHTHALATE (PET) KADAR MAKSIMUM PARAMETER (mg/l) BOD 75 COD 150 TSS 100 Minyak dan Lemak 10 Krom (Cr) 1 Tembaga (Cu) 3 Seng (Zn) 10 PH 6,0 9,0 Kualitas Air Limbah Maksimal 2 m 3 /ton Produk 21. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PURIFIED TEREPHTHALIC ACID (PTA) KADAR MAKSIMUM PARAMETER (mg/l) BOD 150 COD 300 TSS 100 Minyak dan Lemak 15 Fenol 1 Mangan terlarut (Mn) 3 Cobalt 9\(Co) 1 Besi terlarut 7 ph 6,0 9,0 Kualitas Air Limbah Maksimal 4,5 m 3 /ton Produk 22. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PETRO KIMIA HULU KADAR MAKSIMUM PARAMETER (mg/l) BOD 100 COD 200 TSS 150 Minyak dan Lemak 15 Fenol 1 Cr 1 Cu 3 Zn 10 Ni 0,5 ph 6 9 Kualitas Air Limbah Maksimal 0,6 m 3 /ton bahan baku

64 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI OLEOKIMIA DASAR UNTUK FATTY ALCOHOL MELALUI JALUR ALKYL ESTER Catatan : ton produk adalah penjumlahan ton produk fatty acid + ton produk fatty alcohol + ton produk alkyl ester + ton produk glycerin 24. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM Parameter Kadar Maksimum (mg/l) TSS 20 0,40 Sianida Total (CN) tersisa 0,2 0,004 Khrom Total (Cr) 0,5 0,010 Khrom Heksavalen (Cr+ 6 ) 0,1 0,002 Tembaga (Cu) 0,5 0,010 Seng (Zn) 1,0 0,020 Nikel (N) 1,0 0,020 Kadmium (Cd) 0,05 0,001 Timbal (Pb) 0,1 0,002 Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 20 L per m 2 produk pelapisan logam Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per m 2 produk pelapisan logam.

65 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAM KULIT Parameter Proses Penyamakan menggunakan Krom Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Proses Penyamakan menggunakan daun-daunan Beban Kadar Pencemaran Maksimum Maksimum (mg/l) (kg/ton) BOD ,0 70 2,8 COD 100 4, ,0 TSS 60 2,4 50 2,0 Krom Total (Cr) 0,50 0,024 0,10 0,004 Minyak dan Lemak 5,0 0,20 5,0 0,20 N Total (sebagai N) 10 0, ,60 Amoniak Total (Sbg N) 0,50 0,02 0,50 0,02 Sulfida (sebagai S) 0,70 0,028 0,50 0,02 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 40 m 2 / ton bahan baku 40 m 3 /ton bahan baku Catatan : 1) Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2) Beban pencemaran maksimum pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah). 3) N Total jumlah N organik + Amonia Total + NO 3 + NO 2.

66 45

67 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS Debi Proses/ Produk t (m/to n) A. PULP Parameter BOD COD TTS Kadar Beban Beban Kadar Maksimu Pencemaran Pencemaran Maksimum m Maksimum Maksimum (mg/l) (mg/l) (kg/ton) (kg/ton) Beban Kadar Pencemaran Maksimum Maksimum (mg/l) (kg/ton) Kraft di-kelantang , , ,5 Pulp Larut , , ,5 Kraft yang tidak di kelantang , ,0 60 3,0 Mekanik (CMP dan , ,2 75 4,5 Grounwood) Semi Kimia , , ,0 Pulp Soda , , ,0 De-ink Pulp (dari kertas , ,0 bekas) B. KERTAS Halus , , ,0 Kasar , ,0 80 3,2 Sparet , ,5 45 7,8 Kertas yang Dikelantang , ,6 80 2,8 Ph 6,0 9,0

68 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI KARET Parameter Lateks Pekat Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Karet Bentuk Kering Kadar Maksimum (mg/l) BOD ,0 60 2,4 COD 160 6, ,0 TSS 100 4, ,0 Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Amonia Total 15 0,6 5 0,2 (sebagai NH 3 -N) Nitrogen Total 25 1,0 10 0,4 (sebagai N) ph 6,0 9,0 6,0 9,0 Debit limbah Maksimum 40 m 2 / ton prod`uk Karet 40 m 3 /ton produk karet Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum pada setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk karet kering atau lateks pekat. Nitrogen Total jumlah N Organik = Amonia Total + NO 3 + NO BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PUPUK Catatan : Pengukuran beban air limbah dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir. Beban air limbah (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah. Beban air limbah industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk area dan pupuk nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak.

69 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI TEKSTIL Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Pencucian Pengikisan Pencetak Parameter Kadar Perekatan Tekstil Kapas Pemasakan Pemucatan Merserisas Pencelupa an Maksimum (Sizing) Terpadu Pemintalan (Klering (Blencing) i n (Dyeing) (Printing (m/ton) Desizing Penemuan Scouring) ) BOD ,42 0,6 1,44 1,08 0,9 1,2 0,36 COD ,05 1,5 3,6 2,7 2,25 3,0 0,9 TTS ,35 0,5 1,2 0,9 0,75 1,0 0,3 Fenol Total 0,5 0,05 0,004 0,005 0,012 0,009 0,008 0,01 0,003 Krom Total (Cr) 1,0 0, ,02 0,006 Amonia Total (NH 3 -N) 8,0 0,8 0,056 0,08 0,192 0,144 0,12 0,16 0,048 Sulfida (sebagai S) 0,3 0,03 0,002 0,003 0,007 0,005 0,005 0,005 0,002 Minyak dan lemak 3,0 0,3 0,021 0,03 0,07 0,054 0,045 0,06 0,018 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum (m 3 ton produk) Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk tekstil.

70 65

71 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS Parameter Kadar Maksimum (mg/l) BOD ,5 COD ,5 TSS Fenol 0,25 0,08 Amonia Total (sebagai N) 4 1,2 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 0,30 m 3 per ton produk kayu lapis Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam gram per m 3 produk kayu lapis m 2 produk = 3,6 m 3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter. 31. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI BATEREI KERING Parameter Alkaline-Mangan Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) Karbon-Seng Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) BOD ,75 TSS ,5 NH 3 Total ,25 Minyak dan Lemak 2 3,0 4 1,0 Seng (Zn) 0,2 0,3 0,3 0,075 Total Merkuri (Hg) 0,005 0,015 0,01 0,0025 Alkil Merkuri Tdk terdeteksi Mangan (Mn) 0,3 0,45 0,3 0,075 Krom (Cr) 0,06 0, Nikel (Ni) 0,4 0,6 - - ph 6,0 9,0 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 1,5 L per kg baterai 0,25 L per kg baterai Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum pada setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per kg produk baterei.

72 BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI CAT Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran (mg/l) Maksimum (kg/ton) BOD TSS Total Merkuri (Hg) 0,005 0,0025 Alkil Merkuri Tidak terdeteksi - Seng (Zn) 1,0 0,50 Timbal (Pb) 0,30 0,15 Tembaga (Cu) 0,80 0,40 Krom Heksavalen (Cr + 6) 0,20 0,10 Titanium (T) 0,40 0,20 Kadmium (Cd) 0,08 0,04 Fenol 0,20 0,10 Minyak dan Lemak 10 5 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 0,5 L per L Produk cat water base Zero Discharge untuk cat solvent base Catatan : Solvent-Based Cat harus Zero Discharge ; semua air limbah yang dihasilkan harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam parameter per m 3 produk Cat. 33. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI FARMASI Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran (mg/l) Maksimum (kg/ton) BOD COD TSS TOTAL N 30 - FENOL 1,0 - ph 6,0 9,0 Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 34. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PESTISIDA Pembuatan Pestisida Teknis Formulasi Pengemasan Parameter Kadar Maksimum (mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton produk) Kadar Maksimum (mg/l) BOD ,60 15 COD 100 2,00 50 TSS 25 0,50 15 Fenol 2 0,04 0 Benzena 0,1 0,002 0 Toluena 0,1 0,002 0 Total CN 0,8 0,016 0 Tembaga (Cu) 1,0 0,02 0 Total NH 3 1,0 0,02 0 Bahan Aktif Total 1,0 0,02 0,05 ph 6,0 9,0 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 20 m 3 per ton produk

73 70 Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk pestisida. 35. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI PENGILANGAN MINYAK Parameter Kadar Maksimum (mg/l) BOD COD Minyak dan Lemak Sulfida terlarut 0,5 0,5 Ammonia terlarut 5 5 Phenol Total 0,5 0,5 Temperatur 45 C Ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 1000 m 3 per m 3 bahan baku minyak Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) 36. BAKU MUTU AIR LIMBAH UNTUK INDUSTRI SABUN DITERJEN DAN PRODUK- PRODUK MINYAK NABATI Kadar Beban Pencemaran Maksimum Parameter Maksimum (mg/l) Sabun Minyak Nabati Diterjen BOD 75 0,60 1,88 0,075 COD 160 1,28 4,50 0,18 TSS 60 0,48 1,50 0,06 Minyak dan Lemak 15 0,120 0,375 0,015 Fosfat (PO4) 1 0,016 0,05 0,002 MBAS 3 0,024 0,075 0,003 ph 6,0 9,0 Debit limbah maksimum 8 m 3 per ton produk nabati 25 m 3 per ton produk minyak diterjen 1 m 3 per ton produk Catatan : Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun, minyak nabati dan diterjen. 37. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON KADAR MAKSIMUM PARAMETER (mg/l) BOD 75 COD 150 TSS 100 Sulfida (sebagai S) 0,3 Seng (zn) 5 ph 6,0 9,0 Kualitas Air Limbah Maksimal 130 m 3 /ton Produk serat rayon

74 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH NIKEL Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis** Penambangan Pengolahan ph SNI TSS mg/l SNI Cu* mg/l 2 2 SN Cd* mg/l 0,05 0,05 SNI Zn* mg/l 5 5 SNI Pb\ mg/l 0,1 0,1 SNI Ni* mg/l 0,5 0,5 SNI Cr«*)* mg/l 0,1 0,1 SNI Crtota! mg/l 0,5 0,5 SNI Fe* mg/l 5 5 SNI Co* mg/l 0,4 0,4 SNI Keterangan: * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut. ** = Sesuai dengan SNI dan perubahannya. Untuk memenuhi baku mutu air limbali tersebut, kadar parameter air limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil dari sumbur air. 39. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI KERAMIK Parameter Kadar Maksimum (mg/l) TSS 100 Timbal (Pb) 1,0 Kobalt (Co) 0,6 Kadmium (Cd) 0,1 Krom Total (Cr) 1,0 Ph 6,0 9,0 Kuantitas Air Limbah Maksimum (m 3 /ton bahan baku) 1,5 40. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA

75 41. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

76 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA 44. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH TIMAH

77 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH TIMAH 46. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH BESI 47. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN BIJIH BESI

78 48. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN PASIR BESI BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENDUKUNG PENAMBANGAN DAN PENGOLAHAN BIJIH BESI DAN PASIR BESI 50. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN BIJIH BAUKSIT 51. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENCUCIAN BIJIH BAUKSIT

79 52. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PRODUKSI ALUMINA BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENDUKUNG PENAMBANGAN DAN PENCUCIAN BIJIH BAUKSIT SERTA PRODUKSI ALUMINA 54. BAKU MUTU AIR LIMBAH DARI FASILITAS EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS DI LEPAS PANTAI

80 55. BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS DARI FASILITAS DARAT BAKU MUTU AIR LIMBAH USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN EKSPLORASI DAN PRODUKSI PANAS BUMI

81 57. BAKU MUTU AIR LIMBAH PROSES USAHA DAN/ ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN MINYAK BUMI BAKU MUTU AIR LIMBAH DRAINASE DAN AIR PENDINGIN KEGIATAN PENGOLAHAN MINYAK BUMI 59. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU

82 60. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL SUMBER DARI PROSES UTAMA 62. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER BLOWDOWN BOILER

83 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER BLOWDOWN COOLING TOWER 64. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER DEMINERALISASI/WTP 65. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER PENDINGIN (AIR BAHANG)

84 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER DESALINASI 67. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER FGD SISTEM SEA WATER WET SCRUBBER ke IPAL 68. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL DARI SUMBER COLD STOCKPILE

85 69. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA THERMAL - AIR LIMBAH MENGANDUNG MINYAK No Parameter Satuan Kadar Maksimum 1 TOC mg/l Minyak dan Lemak mg/l 15 Catatan: Apabila sumber air limbah mengandung minyak tidak dialirkan ke IPAL BAKU MUTU INDUSTRI MINYAK GORENG MENGGUNAKAN PROSES BASAH Catatan: Proses basah adalah proses kristalisasi fraksinasi yang melibatkan penambahan deterjen sebagai senyawa penurun tegangan permukaan (wetting agent). 71. BAKU MUTU INDUSTRI MINYAK GORENG MENGGUNAKAN PROSES KERING Catatan: Proses kering adalah proses kristalisasi fraksinasi yang hanya melibatkan pengaturan suhu dan tidak melibatkan penambahan deterjen.

86 72. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI GULA DENGAN KAPASITAS KURANG DARI TON TEBU YANG DIOLAH PER HARI 83 Catatan: - ton tebu yang diolah per hari = Ton Cane per Day (TCD) - Kadar ph harus diukur setiap hari 73. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI GULA DENGAN KAPASITAS ANTARA SAMPAI DENGAN TON TEBU YANG DIOLAH PER HARI Catatan: - ton tebu yang diolah per hari = Ton Cane per Day (TCD) - Kadar ph harus diukur setiap hari 74. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI GULA DENGAN KAPASITAS LEBIH DARI TON TEBU YANG DIOLAH PER HARI Catatan: - ton tebu yang diolah per hari = Ton Cane per Day (TCD) - Kadar ph harus diukur setiap hari - Air Limbah Industri gula adalah air limbah proses, air limbah kondensor dan air limbah abu boiler yang dilakukan penggabungan dalam pengolahannya

87 75. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN / ATAU CERUTU KATEGORI I 84 Catatan: - Kategori I adalah sumber air limbah yang berasal dari proses primer basah dan sumber air limbah yang berasal dari proses sekunder, termasuk sumber air limbah yang hanya berasal dari proses primer basah - Kategori II adalah air limbah ndustry kategori I digabung dengan air limbah domestic - Kategori III adalah sumber air limbah yang berasal dari proses primer kering dan/atau sumber air limbah yang berasal dari proses sekunder, termasuk ndustry cerutu dan ndustry rokok tanpa cengkeh - Kategori IV adalah air limbah ndustry kategori III digabung dengan air limbah ndustry - Kadar ph harus diukur setiap hari 76. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU KATEGORI II Catatan: - Kategori II adalah air limbah ndustry kategori I digabung dengan air limbah domestic - Kadar ph harus diukur setiap hari 77. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU KATEGORI III -98- Catatan: - Kategori III adalah sumber air limbah yang berasal dari proses primer kering dan/atau sumber air limbah yang berasal dari proses sekunder, termasuk industri cerutu dan industri rokok tanpa cengkeh - Kadar ph harus diukur setiap hari

88 78. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU KATEGORI IV 85 Catatan: - Kategori IV adalah air limbah industri kategori III digabung dengan air limbah domestik - Kadar ph harus diukur setiap hari B. BAKU MUTU AIR LIMBAH INDUDTRI LAINNYA No. Parameter Satuan Kadar Maksimum FISIKA 1 Temperatur C 37 2 Zat padat terlarut mg/l Zat padat tersuspensi mg/l 200 KIMIA 1 ph - 6,0 8,5 2 Besi terlarut (Fe) mg/l 5 3 Mangan terlarut mg/l 2 4 Barium (Ba) mg/l 1,5 5 Tembaga (Cu) mg/l 1,5 6 Seng (Zn) mg/l 4 7 Krom heksavalen (Cr 6+ ) mg/l 0,1 8 Krom total (Cr) mg/l 0,5 9 Kadmium (Cd) mg/l 0,05 10 Raksa (Hg) mg/l 0, Timbal (Pb) mg/l 0,1 12 Stannum (Sn) mg/l 1,5 13 Arsen (As) mg/l 0,1 14 Selenium (Se) mg/l 0,05 15 Nikel (Ni) mg/l 0,2 16 Kobalt (Co) mg/l 0,3 17 Sianida (SN) mg/l 0,05 18 Sulfida (H 2 S) mg/l 0,05 19 Fluorida (F) mg/l 1,5 20 Klorin bebas (Cl 2 ) mg/l 1 21 Amoniak bebas (NH 3 -N) mg/l 1 22 Nitrat (NO 3 -N) mg/l Nitrit (NO 2 -N) mg/l 1 24 BOD mg/l COD mg/l Senyawa aktif biru metilen mg/l 5 27 Fenol mg/l 0,5 28 Minyak nabati mg/l 5 29 Minyak mineral mg/l Radioaktifitas **) mg/l -

89 Catatan : *) Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut kadar parameter air limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air yang secara langsung diambil dari sumber air. Kadar parameter limbah tersebut adalah kadar maksimum yang diperbolehkan. **) Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku. 86 C. BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN KAWASAN INDUSTRI Catatan: - Bila Kegiatan dalam kawasan industri sebahagian besar industrinya menggunakan bahan baku utama mengandung amonia (NH3-N) maka baku mutu untuk ammonia akan ditentukan sendiri - Untuk Kadar COD dan ph harus dilakukan pemantauan harian Contoh perhitungan untuk Kawasan Industri Lainnya: Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai hektare. Parameter yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD. Dari baku mutu diketahui : - Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm) = 1 l/det/ha Untuk parameter BOD diketahui : - Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter - Beban maksimum yang diperbolehkan = 4,3 kg/hari/ha Data lapangan - Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter - Debit hasi pengukuran (DA) = l/det - Luas lahan Kawasan terpakai (A) = HA Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan Industri tersebut adalah : BPM= Cm x Dm x f x A = 50 x 1 x 0,086 x 1.500

90 = (4,3 kg/hari/ha) x HA = kg/hari Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut adalah : BPA= CA x DA x f = 60 x x 0,086 = kg/hari Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu Air Limbah. 87 D. BAKU MUTU AIR LIMBAH USAHA JASA 1. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN HOTEL PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/l) BOD 5 30 COD 50 TSS 50 Ph 6,0 9,0 2. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT PARAMETER KADAR MAKSIMUM FISIKA Suhu 30 C KIMIA PH 6 9 BOD 5 30 mg/l COD 70 mg/l TSS 30 mg/l NH 3 Bebas 0,1 mg/l PO 4 2 mg/l MIKROBIOLOGIK MPN Kuman Golongan Koli/100 ml RADIOAKTIVITAS 32P 7 x 10 2 Bq/L 35P 2 x 10 3 Bq/L 45Ca 3 x 10 2 Bq/L 51Cr 7 x 10 4 Bq/L 67Ga 1 x 10 3 Bq/L 85Sr 4 x 10 3 Bq/L 99Mo 7 x 10 3 Bq/L 113Sn 3 x 10 3 Bq/L 129l 1 x 10 4 Bq/L 131l 7 x 10 4 Bq/L 192lr 1 x 10 4 Bq/L 201Tl 1 x 10 5 Bq/L

91 88 3. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN DOMESTIK (KAWASAN PEMUKIMAN, RESTORAN, PERKANTORAN, PERNIAGAAN DAN APARTEMEN) Parameter Satuan Kadar Maksimum * A B C ph BOD mg/l COD mg/l TSS mg/l Minyak dan Lemak mg/l Total Coliform Jml/100 ml Keterangan : * = kecuali ph Kategori A : - Kawasan Permukiman (Real Estate) dengan ukuran > 200 Ha - Restauran (Rumah Makan) dengan ukuran > 2300 m 2 - Perkantoran Perniagaan dan Apartemen dengan ukuran > m 2 Kategori B : - Kawasan Permukiman (Real Estate) dengan ukuran Ha - Restauran (Rumah Makan) dengan ukuran m 2 - Perkantoran Perniagaan & Apartemen dgn ukuran > m 2 Kategori C : - Kawasan Permukiman (Real Estate) dengan ukuran < 14 Ha - Restauran (Rumah Makan) dengan ukuran < 1400 m 2 - Perkantoran Perniagaan dan Apartemen dengan ukuran < m 2 4. BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN RUMAH POTONG HEWAN Parameter Satuan Kadar Maksimum BOD mg/l 100 COD mg/l 200 TSS mg/l 100 Minyak dan Lemak. mg/l 15 NHs-N mg/l 25 Ph Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba Volume air limbah maksimum untuk babi : 1.5 m 3 /ekor/hari : 0.15 m 3 /ekor/hari : 0.65 m 3 /ekor/hari E. PERHITUNGAN DEBIT AIR LIMBAH MAKSIMUM DAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU AIR LIMBAH 1. DEBIT AIR LIMBAH MAKSIMUM Penetapan Baku Mutu Air limbah pada pembuangan air limbah melalui penetapan Debit Air limbah Maksimum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II s/d V untuk masing-masing industri/kegiatan, didasarkan pada tingkat produksi bulanan yang sebenarnya. Untuk digunakan perhitungan sebagai berikut : DM = Dm x Pb Keterangan : DM = debit air limbah maksimum yang dibolehkan bagi industri yang bersangkutan dinyatakan dalam m 3 /bulan.

92 89 Dm = debit air limbah maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran II s/d V yang sesuai dengan industri/kegiatan yang bersangkutan, dinyatakan dalam m 3 air limbah per satuan produk. Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan, dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai dengan yang tercantum dalam Lampiran II s/d V untuk industri yang bersangkutan. Debit air limbah yang sebenarnya dihitung dengan cara berikut : DA = Dp x H Keterangan : DA = debit air limbah sebenarnya, dinyatakan dalam m 3 /bulan Dp = hasil pengukuran debit air limbah, dinyatakan dalam m 3 /hari H = jumlah hari kerja pada bulan yang bersangkutan. Dengan demikian penilaian debit adalah : DA tidak boleh lebih besar dari DM. 2. BEBAN PENCEMARAN Penerapan Baku Mutu Air limbah pada pembuangan air limbah melalui penetapan Beban Pencemaran Maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran II s/d V untuk masing-masing industri/kegiatan didasarkan pada jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran air limbah. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut : BPM = CM)j x Dm x f Keterangan : BM = Beban Pencemaran Maksimum per satuan produk, dinyatakan dalam kg parameter per satuan produk. (CM)j = Kadar maksimum unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/l Dm = debit air limbah maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran II s/d V yang sesuai dengan industri yang bersangkutan, dinyatakan dalam M 3 air limbah per satuan produk. 1 kg 1000 L f = faktor konversi = x = 1/ mg M Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara berikut : BPA = (CA)j x DA/Pb x f Keterangan : BPA = beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam Kg parameter per satuan produk (CA)j = kadar sebenarnya unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/l DA = debit air limbah sebenarnya, dinyatakan dalam m 3 /bulan. Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai dengan yang tercantum dalam Lampiran II s/d V untuk industri/ kegiatan yang bersangkutan. f = faktor konversi = 1/10000 BPMi = BPM x Pb/H Keterangan : BPMi = Beban Pencemaran Maksimum per hari yang dibolehkan bagi industri/ kegiatan yang bersangkutan, dinyatakan dalam kg parameter per hari. Pb = jumlah hari kerja pada bulan yang bersangkutan. H = jumlah hari kerja pada bulan yang bersangkutan. Beban Pencemaran Maksimum yang sebenarnya dihitung dengan cara berikut : BPAI = (CA)j x Dp x f Keterangan : BPAi = beban pencemaran per hari yang sebenarnya, dinyatakan dalam Kg parameter per hari. (CA)j = kadar sebenarnya unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/l Dp = hasil pengukuran debit air limbah, dinyatakan dalam M 3 /hari

93 90 f = faktor konversi = 1/10000 Dengan demikian penilaian beban pencemaran adalah : BPA tidak boleh lebih besar dari BPM BPAi tidak boleh lebih besar dari BPMi F. CARA PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR I. METODE NERACA MASSA Pendahuluan Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan menggunakan metoda neraca massa. Model matematika yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk menentukan persentase perubahan laju alir atau beban polutan. Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan Σ Ci.Qi Σ Mi CR = = Σ Qi Σ Qi dimana CR : konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan Ci : konsentrasi konstituen pada aliran ke-i Qi : laju alir aliran ke-i Mi : massa konstituen pada aliran ke-i Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 N, hanyalah merupakan pendekatan saja. Prosedur Penggunaan Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca massa, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : 1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber pencemar; 2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber pencemar; 3. Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur dengan sumber pecemar dengan perhitungan : Σ Ci.Qi Σ Mi CR = = Σ Qi Σ Qi

94 Contoh Perhitungan 91 Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda Neraca Massa berikut ini. Suatu aliran sungai mengalir dari titik 1 menuju titik 4. Diantara dua titik tersebut terdapat dua aliran lain yang masuk kealiran sungai utama, masing-masing disebut sebagai aliran 2 dan 3. Apabila diketahui data-data pada aliran 1, 2 dan 3, maka ingin dihitung keadaan di aliran 4. Profil aliran sungai : Keterangan : 1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar 2. Aliran sumber pencemar A 3. Aliran sumber pencemar B 4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar. Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini : Tabel Data analisis dan debit Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4, sebagai berikut : Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah: (5,7x2,01) + (3,8x0,59) + (3,4x0,73) CR,DO = = 4,86 mg/l 2,01 + 0,59 + 0,73 Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/l, 8,87 mg/l dan 0,12 mg/l. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti yang disajikan pada Tabel berikut.

95 92 Tabel Data analisis dan debit BM X Baku mutu perairan, untuk Golongan/Kelas X Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak memenuhi baku mutu perairan untuk BOD, sehingga titik 4 tidak mempunyai daya tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain (misalnya aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut cukup tinggi mengandung C1- dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal tersebut tentu perlu dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih rendah dari 600 mg/l. II. METODE STREETER PHELPS Pendahuluan Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak diperkenalkannya perangkat lunak DOSAG1 pada tahun Prinsip dasar dari pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada sungai dengan asumsi dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur terjadinya pencemaran di badan air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc. Deskripsi Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran sungai. Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi) Streeter Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi senyawa organik ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual). dl/dt= - K.L.... (2-1) dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/l) t : waktu (hari) K : konstanta reaksi orde satu (hari -1 ) Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1) dinyatakan sebagai: dl/dt = - K.L... (2-2) Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah : Lt = Lo.e (K.t)...(2-3)

96 Penentuan K dapat dilakukan dengan : (1) metoda selisih logaritmatik, (2) metoda moment (metoda Moore dkk), dan (3) metode Thomas. Laju deoksigenasi akibat senyawa organik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut : rd = -K L... (2-4) dengan K : konstanta laju reaksi orde pertama, hari -1 L : BOD ultimat pada titik yang diminta, mg/l 93 Jika L diganti dengan Loe -K t, persamaan 2-4 menjadi rd.=-k.lo.e (-K.t)... (2-5) dengan : Lo : BOD ultimat pada titik discharge (setelah pencampuran), mg/l Proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi) Kandungan oksigen di dalam air akan menerima tambahan akibat turbulensi sehingga berlangsung perpindahan oksigen dari udara ke air dan proses ini adalah proses reaerasi. Peralihan oksigen ini dinyatakan oleh persamaan laju reaerasi : rr = K`2 (Cs C)...(2-6) dengan K`2 : konstanta reaerasi, hari -1 (basis bilangan natural) Cs : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, mg/l C : konsentrasi oksigen terlarut, mg/l Konstanta reaerasi dapat diperkirakan dengan menetukan karakteristik aliran dan menggunakan salah satu persamaan empirik. Persamaan O Conner dan Dobbins adalah persamaan yang umum digunakan untuk menghitung konstanta reaerasi (K 2). K 2 = 294.(DL U) 1/2... (2-7) H 3/2 dengan DL : koefisien difusi molekular untuk oksigen, m2/hari U : kecepatan aliran rata-rata, m/detik H : kedalaman aliran rata-rata, m Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan persamaan : DLT = x 10-4 m 2 /d x T (2-8) dengan DLT : koefisien difusi molekular oksigen pada temperatur T, m 2 /hari x 10-4 : koefisien difusi molekular oksigen pada 20 0 C T : temperatur, o C Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary District of Chicago untuk berbagai macam badan air seperti pada tabel berikut.

97 94 Tabel Konstanta Reaerasi Kurva Penurunan Oksigen (Oxygen sag curve) Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva penurunan oksigen (oxygen sag curve). Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah Qr Cr + Qw Cw Co = (2-9) Qr + Qw dengan: Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah pencampuran, mg/l Qr = laju alir sungai, m 3 /detik Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran, mg/l Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/l Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir sumbat. Neraca massa oksigen : Akumulasi = aliran masuk aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi Substitusi rd dan rr, maka persamaan 2-10 menjadi... (2-10) Jika diasumsikan keadaan tunak, C/ t = 0, maka... (2-11) 0=-Q dc dx-k L dv + K12 (Cs-C) dv. (2-12) dx substitusi dv menjadi A dx dan A dx/q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi: dc = -K L + K2 (Cs-C).... (2-13) dt Jika defisit oksigen D, didefinisikan sebagai

98 D= (Cs-C).. (2-14) 95 Kemudian perubahan defisit terhadap waktu adalah dd = - dc... (2-15) dt Dt maka perrsamaan 2-13 menjadi dd ---- = K.L + K`2.D.... (2-16) dt Substitusi L dd + K`2.D=K1.Lo. e -k1t (2-17) dt jika pada t=0, D=Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi K1.Lo Dt = (e -k1t e -k12t ) + Do e -k1t... (2-18) K12.-K dengan : Dt = defisit oksigen pada waktu t, mg/l Do= defisit oksigen awal pada titik buangan pada waktu t=o, mg/l Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa digunakan pada analisis sungai. Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada gambar berikut ini. p Gambar Kurva karakteristik oxygen sag berdasarkan Persamaan Streeter Phelps Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang diberikan pada aliran tersebut. Jika dd/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka Dc = K` Lo e -k`tc... (2-19) K`2 dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.

99 96 Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/l Jika dd/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka... (2-20) Xc = tc.v... (2.21) Dengan v = kecepatan aliran sungai Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xc) kondisi kritis dengan menggunakan persamaan Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan. Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan Persamaan tersebut adalah : dengan : Dall : defisit DO yang diizinkan, mg/l = DO jenuh DO baku mutu... (2.22) Prosedur Penggunaan Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan 2.19 dan Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K dan K`2 dan data BOD ultimat. Penentuan K dapat menggunakan berbagai metoda yang tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas, yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang disajikan pada Tabel 2.1 Perlu dicatat bahwa harga K, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah : K T = K 20 (1,047) T (2.23) K 2T = K 2 (20)(1,016) T (2.24) Dengan T = temperatur air, o C dan K 20, K 2 (20) menyatakan harga masing-masing pada temperatur 20 0 C. Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD5 20, yaitu BOD yang ditentukan pada temperatur 20 0 C selama 5 hari dengan menggunakan persamaan berikut : La = BOD5 20 /(1-e -5.K ).... (2.25) dengan K menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya penentuan BOD. 1. Tentukan laju deoksigenasi (K ) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan serangkaian

100 97 percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan Eddy untuk penentuan harga K tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K (basis logaritmit, 20 0 C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari -1. Pada intinya pengukuran K melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K. Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy : Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted) Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y) 1/3 terhadap t sesuai dengan persamaan berikut :.. (2.26) K adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La menyatakan BOD ultimat. Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K dan La dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/l. Berhubung nilai K didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0C, maka nilai K yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama. 2. Tentukan laju aerasi (K 2 ) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau data pada Tabel di atas. 3. Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 :... (2-20) Dimana : Do = defisit oksigen pada saat t=0 Lo = BOD ultimat pada saat t = 0 4. Tentukan defisit oksigen kritik dengan persamaan 2.19 : Dc = K` Lo.e -k`tc.c K`2 5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan Contoh Perhitungan Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu sumber pencemar yang tentu (point source) : 1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata m 3 /hari (1,33 m 3 /detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit minimum 8,5 m 3 /detik. 2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0 C. 3. BOD5 20 air limbah adalah 200 mg/l, sedangkan BOD sungai adalah 2 mg/l. Air limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung DO= 6 mg/l sebelum bercampur dengan limbah. 4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K pada temparatur 20 0 C adalah 0,3 hari Nilai K 2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 20 0 C adalah 0,7 hari -1.

101 98 Berdasarkan data-data di atas akan dihitung : 1. Harga Dc, tc dan Xc, 2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD5 20 maksimum pada air limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut. Langkah-langkah penyesuaian : 1. Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran : a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6 0 C. b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/l c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/l d. Lo campuran = 28,8/[-e (0,3)(5) ] = 37,1 mg/l (pers. 2.25) 2. Tentukan defisit DO setelah pencamuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada temperatur campuran dengan menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari table diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/l Defisit DO pada keadaan awal (Do) = 8,45 5,2 = 3,25 mg/l 3. Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6 0 C a. K = 0,3 (1,047) 24,6-20 = 0,37 hari -1 b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan a. tc = {1/(0,75-0,37)} 1n [0,75)/(0,37) {1-3,25(0,75-0,37)/(0,37) (3,71)}] = 161 hari -1 b. Xc = (1,61)(3,2)(24) = 123,6 km 5. Tentukan Dc dengan menggunakan persamaan 2.19 a. Dc = (0,37)/(0,75) [37,1e (-0,37)(1,61) ]= 10,08 mg/l b. Konsentrasi DO pada tc = 8,45 10,08 = -1,63 mg/l. Karena nilai DO negatif, hal ini berarti sungai tidak mempunyai DO lagi pada jarak 123,6 km (Xc) dari titik pencampuran. 6. Tentukan beban BOD maks pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/l. a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 2 = 6,45 mg/l b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum: log La = log6,45+[1+{0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log(0,75)/(0,37) La = 21,85 mg/l c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 e (-0,3)(5) } = 16,97 mg/l d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan: 16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5) 1,33 X = 166,81 17 = 149,81 X = 112,6 mg/l Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/l Catatan : 1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/l, agar DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/l. 2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber pencemar yang tentu (point source). III. METODE QUAL2E Pendahuluan QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif dan yang paling banyak digunakan saat ini. QUAL2E dikembangkan oleh US Environmental Protecion Agency. Tujuan penggunaan suatu pemodelan adalah menyederhanakan suatu kejadian agar dapat diketahui kelakuan kejadian tersebut. Pada QUAL2E ini dapat diketahui kondisi sepanjang sungai (DO dan BOD), dengan begitu dapat dilakukan tindakan selanjutnya seperti industri yang ada disepanjang sungai hanya diperbolehkan membuang limbahnya pada beban tertentu.

102 99 Manfaat yang dapat diambil dari pemodelan QUAL2E adalah : 1. Mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan membandingkan data yang telah diambil langsung dari sungai tersebut. 2. Mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban dari sumber-sumber pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang terdeteksi, 3. Dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang ke sungai tersebut agar tidak membahayakan makhluk lainnya sesuai baku mutu minimum. Deskripsi Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah dengan arus. Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah dijelaskan di atas, program QUAL2E dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan fosfor. Gambar berikut ini dapat menggambarkan hubungan antar konstituen dengan menggunakan program simulasi QUAL2E. Gambar Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E Keterangan: α1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-n/mg-a α2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-p/mg-a α3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-o/mg-a α4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-o/mg-a α5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-o/mg-n α6 = Laju pengmabilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit, mg-o/mg-n

103 100 σ1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari σ2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-p/ft2-hari σ3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-n/ft2-hari σ4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1 σ5 = Laju pengendapan fosfor, hari -1 µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1 ρ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1 K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari -1 K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day -1 K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day -1 K4 =Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft 2 -hari β1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari -1 β2 = Koefisen laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari -1 β3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari -1 β4 = Laju fosfor yang hilang, hari -1 Pemodelan untuk Oksigen Terlarut (DO) dengan menggunakan QUAL2E Persamaan untuk penentuan laju perubahan DO : do K4 = K2 (O*- O)+ (α3 µ α4 ρ)a K1L α6 β1n1 α6 β2n2... (3-1) dt d dengan O : konsentrasi oksigen terlarut (mg/l) O* : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, pada P dan T setempat (mg/l) A : konsentrasi biomassa dari alga [mg-a/l] L : konsentrasi dari senyawa karbon BOD [mg/l] d : kedalaman aliran rata-rata [ft] N1 : konsentrasi amonia dalam bentuk nitrogen [mg/l] N2 : konsentrasi nitrit dalam bentuk nitrogen [mg/l] Persamaan untuk penentuan konsentrasi oksigen terlarut jenuh : lno* = ( x10 5 /T) - ( x10 7 /T 2 ) + (1.2438/10 10 /T 3 ) ( x10 11 /T 4 ).. (3-2) dengan O * : konsentrasi oksigen jenuh, pada l atm (mg/l) T : temperatur (K) = ( 0 C ) dan 0 C pada rentang C Metoda penentuan laju reaerasi (K2) 1. K2 = 0,05 untuk permukaan sungai yang tertutup es, K2 = 1 untuk permukaan sungai yang tak tertutup es. 2. Harga K2 pada temperatur 20 0 C (Churcill dkk. (1962)) : K2 20 = u d x 2.31 dengan u = kecepatan rata-rata pada aliran (ft/detik) d = kedalaman rata-rata pada aliran (ft) K 2 = koefisien reaerasi 3. O Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen 3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropic (Dm.u)0.5 K2 20 = (3-3) d Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik 4800Dm 0.5.So 0.25 K2 20 = x (3-4) d 1.25

104 101 Dengan So : derajat kemiringan sungai sepanjang aliran (ft/ft) Dm : koefisien difusi molekul (ft 2 /day) Dm : 1.91 x 10 3 (1.037) T Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan batasan kedalaman ft dan kecepatan dari 0,1 5 ft/detik. u K2 20 = 9.4 x x 2.31.(3-5) d Thacktor dan krenkel (1966) u* K2 20 = 10.8 (1 + F 0.5 ) ---- x 2.31.(3-6) d u* F = (3-7) g.d U.n g u * = (d.se.g) = ) 1.49d dengan F = bilangan Froude g = percepatan gravitasi (ft/sec2) Se = Sudut dari perbedaan ketinggian N = koefisien untuk gesekan 6. Langbien dan Durun (1967) u K 2 20 = x (3-9) d Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada bagian hidraulik akan dikorelasikan : K2 = aqb.. (3-10) dengan a : koefisien untuk laju alir untuk K2 Q : laju alir (ft3/detik) b: eksponen untuk laju alir K2 8. Tsivoglou dan Wallace (1972) K2 dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian sepanjang aliran dan waktu yang diperlukan sepanjang aliran tersebut. h K2 20 = c = (3600 x 24) c.se.u.(3-11) tf u 2. n 2 Se = (3-12) (1.49) 2 d 4/3 Harga c (koefisien kehilangan DO tiap ft sungai)dibatasi oleh laju alir Untuk lajut air 1 5 ft 3 /detik harga c = ft -1 (20 0 C) Untuk lajut alir ft 3 /detik harga c = ft -1 (20 0 C)

105 102 Prosedur Penggunaan Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat didownload di internet pada website : 1. WINDOWS/index.html, atau 2. Sedangkan tahap-tahap penggunaan QUAL2E untuk simulasi DO sepanjang aliran sungai adalah sebagai berikut : 1. QUAL2E simulasi 1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan 1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan dinamik 1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI 1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi 1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat 2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta 2.1 Nomor aliran 2.2 Nama aliran 2.3 Titik awal sungai 2.4 Titik akhir sungai 2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak? 2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan 3. Simulasi kualitas yang diinginkan 3.1 Terdapat pilihan temperature, BOD, Algae, Fosfor, Nitrogen, DO 3.2 BOD dengan data koefisien konversi BOD untuk konsentrasi BOD 4. Data iklim dan geografi yang akan dimasukkan 4.1 Letak sungai data bujur dan lintangnya 4.2 Sudut yang dibentuk sungai dari awal hingga titik akhir sungai tersebut untuk menentukan bila menggunakan koefisiens reaerasi (K 2 ) pilihan Ketinggian sungai yang terukur dari awal hingga akhir untuk K2 pilihan 5 5. Membuat beberapa titik untuk pembatasan dengan mengambil sample harga DO baik min, average, dan max 6. Konversi temperature terhadap 6.1 BOD untk Decay dan Settling 6.2 DO untuk reaerasi dan SOD 7. Data hydraulik sungai dengan kebutuhan : 7.1 Persamaan untuk kecepatan u = a.qb maka diperlukan data kecepatan pada beberapa titik di sungai dengan laju air volumentrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap koefisien reaerasi (K 2 ) khususnya pilihan 2, 3, 4, 5, 6, Persamaan untuk kedalaman d = c.qd maka diperlukan data kedalaman sungai pada beberpa titik dengan laju alir volumetrik untuk mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap pilihan K 2 yang sebagian besar merupakan persamaan empiris. 7.3 Manning Factor dengan data dapat dilihat pada manual. 8. Data konstanta reaerasi 8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari) 8.2 SOD rate (g/m2-day) 8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat metoda penentuan laju konstanta reareasi K2) 8.4 Bila persamaan yang digunakan K 2 pilihan 7 untuk persamaan K 2 = e.qf disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f 9. Kondisi awal dengan data yang dimasukkan temperatur, DO, BOD. 10. Kenaikan laju air sepanjang sungai dengan data yang dimasukkan laju alir (m 3 /s), temperatur ( 0 C), DO, BOD.

106 Data-data untuk aliran awal yang diperlukan laju alir (m 3 /s), temperatur ( 0 C), DO, BOD. 12. Harga-harga untuk kondisi iklim global sesuai letak bujur dan lintang dengan data yang diperlukan 12.1 Waktu (jam, hari, bulan, tahun) 12.2 Temperatur bola basah dan kering (K) 12.3 Tekanan (mbar) 12.4 Kecepatan angin 12.5 Derajat sinar matahari (Langley, hr) dan kecerahan sungai. GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Dr. H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH, MSi, MH.

107 106 LAMPIRAN III : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TENTANG : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : TANGGAL : A. BAKU MUTU UDARA AMBIEN No. Parameter 1. SO 2 (Sulfur Dioksida) 2. CO (Karbon Monoksida) 3. NO 2 1 Jam 24 Jam 1 Thn 4. O 3 (Oksidan) 1 Jam 24 Jam 1 Thn 5. HC (Hidro Karbon) 6. PM Jam (Partikel < 10 m) 1 Thn PM 2,5 24 Jam (Partikel < 2,5 m) 1 Thn 7. TSP 24 Jam (Debu) 1 Thn 8. Pb (Timah Hitam) 9. Dustfall (Debu Jatuh) 10. Total Fluorides (as F) Gravimetric Waktu Metode Baku Mutu Pemaparan Analisis* Peralatan* 1 Jam 900 g/nm 3 24 Jam 360 g/nm 3 Spektrofotometer Pararosanilin 1 Thn 60 g/nm 3 1 Jam g/nm 3 24 Jam g/nm 3 NDIR NDIR 1 Thn g/nm 3 Analyzer 400 g/nm g/nm 3 Spektrofotometer Saltzman 100 g/nm g/nm g/nm 3 Chemiluminescenmeter Spektrofoto- 50 g/nm 3 3 Jam 160 g/nm 3 Flame Gas Ionization Chromatografi 150 g/nm 3 Hi Vol 15 g/nm 3 Gravimetric Hi Vol 50 g/nm 3 Hi Vol 15 g/nm 3 Gravimetric Hi Vol 230 g/nm 3 1 g/nm 3 Gravimetric Hi Vol 24 Jam 2 g/nm 3 Hi Vol 1 Thn 1 g/nm 3 Ekstraktif 30 Hari 10 ton/km 2 /bulan (Permukiman) 20 ton/km 2 /bulan (Industri) 24 Jam 90 Hari Pengabuan Gravimetric 3 g/nm 3 0,5 mg/nm 3 Spesific ion Ekectrode 11. Fluor Indeks 30 Hari 40 g/100 cm 2 dari kertas limed Colourimetric filter 12. Khlorine & 24 Jam 150 g/nm 3 Spesific ion Khlorine Electrode Dioksida 13. Sulphat 30 Hari 1 mg SO 2 /100 cm 2 Catatan : dari Lead Peroksida Colourimetric AAS Conister Impinger atau Continous Analyzer Limed Filter Paper Impinger atau Continous Analyzer Lead Peroxide Candle - Nomor 10 s/d 13 hanya diberikan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : Industri Petro Kimia, Industri Pembuatan Asam Sulfat - Dapat digunakan metode dan alat lain yang telah sesuai dan memiliki ISSN atau standar Internasional

108 107 B. BAKU MUTU UDARA DALAM RUANG PROSES PRODUKSI NO. PARAMETER KONSENTRASI MAKSIMAL 1 Air Raksa (Hg) 0,1 2 Amonia 35 3 Amonium Klorida 10 4 Arsen 0,5 5 Asam Asetat 25 6 Asam Klorida 7 7 Asam Nitrat 25 8 Asam Sianida 11 9 Asam Sulfida Asam Sulfat 1 11 Aseton Butil Alkohol Butil Merkaptan 1,5 14 DDT 1 15 Diazinon 0,1 16 Dieldrin 0,26 17 Dimetil Amin Etil Alkohol Fenol Ferum Oksida Flour 2 22 Formaldehid 6 23 Fosfor Kuning 0,1 24 Kadmium 0,2 25 Kalsium Oksida 5 26 Kamfer Kapas 1 28 Karbon Dioksida Karbon Klor Mono Oksida LPG Magnesium Oksida Mangan 5 34 Nitrogen Oksida Nikel 1 36 Perak 0,01 37 Platina 0, Seng Klorida 1 39 Seng Oksida 5 40 Sianida 5 41 Silikon Sulfur Dioksida Timah Hitam 0,1 44 Timah Putih 2

109 108 C. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK 1. BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA No. Standar Parameter 1. Penanganan Bahan Baku (Raw Material Handling) Total Partikel Batas Maksimum mg/m Tanur Oksigen Basa (Basic Oxygen Furnace) 3. Tanur Busur Listrik (Electric Arc Furnace) 4. Dapur Pemanas (Reheating Furnace) 5. Dapur Proses Pelunakan Baja (Annealing Furnace) 6. Proses Celup Lapis Metal (Acid Pickling &Regeneration) 7. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Total Partikel Total Partikel Total Partikel Total Partikel Total Partikel Asam Klorida (HCl) Total Partikel Sulfur dioksida (SO 2 ) Nitrogen dioksida (NO 2 ) Semua Sumber Opasitas 20 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 C dan Tekanan 1 atm) - Untuk sumber pembakaran, particulat di koreksi sebesar 10% Oksigen - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan ikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. - Pemberlakukan BME untuk 95 % waktu operasi normal selama tiga bulan.

110 BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS No. Standar Parameter 1. Tungku Recovery Total Partikel Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur TRS) 2. Tanur Putar Pembakaran Total Partikel Kapur (Lime Kilni) Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur TRS) 3. Tangki Pelarutan Lelehan Total Partikel (Smelt Dissolving Tank) Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur TRS) 4. Digester Total Partikel Total Sulfur Tereduksi (Total Reduced Sulphur TRS) 5. Unit Pemutihan Klorin (Cl 2 ) (Bleach Plant) Klorin Dioksida (ClO 2 ) 6. Tenaga Ketel Uap Total Partikel (Power Boiler) Sulfur Dioxide (SO 2 ) Batas Maksimum mg/m Nitrogen Oxide (NO 2 ) Semua Sumber Opasitas 30 % Catatan : - TRS ditentukan sebagai H 2 S, TRS meliputi senyawa Hidrogen Sulfida, Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida. - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Koreksi 8 % Oksigen untuk Tungku Recovery. - Koreksi 7 % Oksigen untuk Boiler. - Koreksi 10 % untuk Sumber Lain (selain Tungku Recorvery dan Boiler) - Volume Gas dalam keadaan standar (25 C dan Tekanan 1 atm) - Untuk sumber pembakaran, partikulat di koreksi sebesar 10% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. - Pemberlakukan BME untuk 95 % waktu operasi normal selama tiga bulan.

111 BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN N0. Sumber Parameter 1. Tanur Putar (Kiln) Total Partikel Sulfur dioksida (SO 2 ) Nitrogen Oksida (NO 2 ) Opasitas 2. Pendingin Terak (Clinker Cooker) 3. Milling grinding, Alat Pengangkut (Conveying) 4. Tenaga Ketel Uap (Power Boiler) Catatan : Batas Maksimum mg/m % Total Partikel 80 Total Partikel 80 Total Partikel Sulfur dioksida (SO 2 ) Nitrogen Oksida (NO 2 ) Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 C dan Tekanan 1 atm) - Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal Kiln) harus dikoreksi sampai 10% Oksigen. - Batas maksimum total partikel untuk : (1) Proses basah = 250 mg/m 3 (2) Shalt Kiln = 500 mg/m 3 - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. - Pemberlakukan BME untuk 95 % waktu operasi normal selama tiga bulan. 4. BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ZA (AMONIUM SULFAT) Catatan: - Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm). - Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel. - Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan

112 BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK UREA Catatan: - Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm). - Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel. - Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan 6. BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK FOSFAT (SP-36,TSP) Catatan: - Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm). - Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel. - Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan

113 BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ASAM FOSFAT DAN HASIL SAMPING Catatan: - Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm). - Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel. - Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan 8. BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK MAJEMUK NPK Catatan: - Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2 - Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm). - Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel. - Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi normal selama tiga bulan

114 BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI KERAMIK Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) 2. Nitrogen oksida (NOx) merupakan penjumlahan gas (NO2 + NO) dan dinyatakan sebagai NO2. 3. Untuk gas Nitrogen Oksida dan Sulfur Dioksida pada proses pembakaran di Kiln dikoreksi sebesar 10 % oksigen. 4. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

115 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI - SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN DARI MESIN PEMBAKARAN DALAM Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 13%.

116 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI - SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN DARI TURBIN GAS Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 15% dalam keadaan kering.

117 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI - SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN DARI KETEL UAP (BOILER), PEMBANGKIT UAP (STEAM GENERATOR), PEMANAS PROSES (PROCESS HEATHER), PENGOLAHAN PANAS(HEATHER TREATER) Keterangan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas. 13. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI - SUMBER EMISI PROSES PEMBAKARAN DARI UNIT SUAR BAKAR

118 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI-SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN SULFUR 15. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI - SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI UNIT OKSIDASI THERMAL SULFUR Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%. 16. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI-SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI UNIT PELEPASAN DEHIDRASI GLICOL Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0%.

119 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI-SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI-REGENERATOR KATALIS UNIT PERENGKAHAN KATALITIK ALIR Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer), dan kondisi kering serta koreksi O2 sebesar 0 %. 18. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI-SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI-UNIT PENGOLAHAN ULANG SULFUR SISTEM CLAUS UNTUK SISTEM YANG TIDAK DILENGKAPI DENGAN INSINERATOR GAS Keterangan: 1. Hasil pengukuran dinyatakan dalam kondisi kering dan koreksi O2 sebesar 0%. 2. Kandungan Sulfur Tereduksi adalah hydrogen sulfide (H2S), karbonil sulfide (COS) dan Karbon disulfide (CS2). 19. BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI-SUMBER EMISI PROSES PRODUKSI-UNIT PENGOLAHAN ULANG SULFUR SISTEM CLAUS UNTUK SISTEM YANG DILENGKAPI DENGAN INSINERATOR GAS Keterangan : Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer) dan semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 0%

120 BAKU MUTU EMISI KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI KEGIATAN FUEL BLENDING (PENCAMPURAN BAHAN BAKAR /MIX FUEL) Catatan : BME (x,m) = BME untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar BME (x,f1) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1 Q (f1) = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem BME (x,f2) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f2 Q (f2) = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem Qt = Kebutuhan energi total Contoh perhitungan : Kegiatan pengilangan minyak untuk unit ketel uap dengan kapasitas kurang dari 25 MW, menggunakan bahan bakar campuran antara gas (fuel 1=f1) dan oil (fuel 2=f2) dengan komposisi sebagai berikut : - Kebutuhan Energi Total Qt : 5*10 6 KKal - Suplai energi actual dari bahan bakar gas Q(f1) : 2*10 6 KKal - S uplai energi aktual dari bahan bakar oil Q(f2) : 3*10 6 KKal Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyakparameter partikulat bahan bakar gas (lihat table Baku mutu emisi di kegiatan Minyak) BME(f1) : 0 mg/nm 3 Baku Mutu emisi untuk boiler di kegiatan Unit Pengolahan Minyakparameter partikulat bahan bakar oil/minyak (lihat tabel Baku mutu emisi di kegiatan Minyak) BME(f2) : 300 mg/nm 3 BME (x,m) = [(BME(x,f1) * Q(f1)) + (BME(x,f2) * Q(f2))] / Qt BME(partikulat,m) = [0 * 2*10 6 ] + [ 300 * 3*10 6 ] / 5*10 6 = 180 mg/nm 3 Cara Perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain. 21. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK INDUSTRI CARBON BLACK YANG BEROPERASI SEBELUM TANGGAL 20 NOVEMBER 2008 Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25 o C dan tekanan 1 atmosfer). 2. Pengukuran kadar setiap parameter dikoreksi terhadap oksigen (O2) sebesar 7%. 3. Baku mutu ini tidak akan dipakai lagi setelah 1 Januari 2012 dan digantikan dengan Baku mutu sama untuk yang beroperasi setelah 20 November 2008

121 BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK INDUSTRI CARBON BLACK MULAI BEROPERASI PADA DAN SETELAH TANGGAL 20 NOVEMBER 2008 Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25 o C dan tekanan 1 atmosfer). 2. Pengukuran kadar setiap parameter dikoreksi terhadap oksigen (O2) sebesar 7%. 23. PERHITUNGAN BEBAN EMISI MAKSIMUM INDUSTRI CARBON BLACK Beban emisi dihitung untuk seluruh unit (total) dalam satu lokasi pabrik dengan persamaan sebagai berikut yang memiliki n unit : (Kp1xGd1x100/TR1)+(Kp2xGd2x +100/TR2)+... +(KpnxGdnx100/TRn) BETp = (LBB1)+(LBB2)+... +(LBBn) Dimana : BETp = Beban emisi total untuk parameter p; Kp1 = Kadar parameter p pada cerobong Dryer unit 1, mg/nm3; Kp2 = Kadar parameter p pada cerobong Dryer unit 2, mg/nm3; Kpn = Kadar parameter p pada cerobong Dryer unit n, mg/nm3; Gd1 = Laju alir emisi gas pada cerobong Dryer unit 1, m3/jam; Gd2 = Laju alir emisi gas pada cerobong Dryer unit 2, m3/jam; Gdn = Laju alir emisi gas pada cerobong Dryer unit n, m3/jam; TR1 TR2 TRn = Perbandingan emisi gas yang masuk ke unit Dryer 1 terhadap emisi gas yang keluar dari Unit Filter Utama unit 1; = Perbandingan emisi gas yang masuk ke unit Dryer 2 terhadap emisi gas yang keluar dari Unit Filter Utama unit 2; = Perbandingan emisi gas yang masuk ke unit Dryer n terhadap emisi gas yang keluar dari Unit Filter Utama unit n; LBB1 = Laju alir bahan baku pada unit 1, ton/jam; LBB2 = Laju alir bahan baku pada unit 2, ton/jam; LBBn = Laju alir bahan baku pada unit n, ton/jam; n = Jumlah unit produksi Carbon Black.

122 BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK UNTUK KETEL UAP a. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Bio Massa berupa serabut dan/atau cangkang. No Parameter Baku Mutu 1 Partikulat 300 mg/m 3 2 Sulfur Dioksida (SO 2 ) 600 mg/m 3 3 Nitrogen Oksida (NO 2 ) 800 mg/m 3 4 Hydrogen Klorida (HCl) 5 mg/m 3 5 Gas Klorin (Cl 2 ) 5 mg/m 3 6 Ammonia (NH 3 ) 1 mg/m 3 7 Hydrogen Florida (HF) 8 mg/m 3 8 Opasitas 30 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm). - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indicator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. b. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Bio Massa berupa ampas dan/atau daun tebu kering. No Parameter Baku Mutu 1 Partikulat 250 mg/m 3 2 Sulfur Dioksida (SO 2 ) 600 mg/m 3 3 Nitrogen Oksida (NO 2 ) 800 mg/m 3 4 Opasitas 30 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm). - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indicator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. c. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Bio Massa selain point a dan b No Parameter Baku Mutu Bukan Logam 1 Partikulat 350 mg/m 3 2 Sulfur Dioksida (SO 2 ) 800 mg/m 3 3 Nitrogen Oksida (NO 2 ) 1000 mg/m 3 4 Hydrogen Klorida (HCl) 5 mg/m 3 5 Gas Klorin (Cl 2 ) 10 mg/m 3 6 Ammonia (NH 3 ) 0,5 mg/m 3 7 Hydrogen Florida (HF) 10 mg/m 3 8 Opasitas 30 % 9 Total Sulfur Tereduksi (H 2 S) 35 mg/m 3

123 122 Logam 1 Air Raksa (Hg) 5 mg/m 3 2 Arsen (As) 8 mg/m 3 3 Antimon (Sb) 8 mg/m 3 4 Cadmium (Cd) 8 mg/m 3 5 Seng (Zn) 50 mg/m 3 6 Timah Hitam (Pb) 12 mg/m 3 Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm). - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indicator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. d. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Batu Bara No PARAMETER BAKU MUTU 1 Partikulat 230 mg/m 3 2 Sulfur Dioksida (SO 2 ) 750 mg/m 3 3 Nitrogen Oksida (NO 2 ) 825 mg/m 3 4 Opasitas 20 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm). - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indicator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. e. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Minyak No PARAMETER BAKU MUTU 1 Partikulat 200 mg/m 3 2 Sulfur Dioksida (SO 2 ) 700 mg/m 3 3 Nitrogen Oksida (NO 2 ) 700 mg/m 3 4 Opasitas 15 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm). - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6% Oksigen. - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. f. Ketel Uap yang menggunakan Bahan Bakar Gas No PARAMETER BAKU MUTU 1 Sulfur Dioksida (SO 2 ) Nitrogen Oksida (NO 2 ) 650 Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 o C dan tekana 1 atm).

124 123 g. Ketel Uap yang Menggunakan bahan Bakar Gabungan Baku Mutu Emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang menggunakan bahan bakar gabungan ditentukan berdasarkan pada perhitungan sebagai berikut : Catatan : BME (x,m) = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan pencampuran bahan bakar. BME(x,f1) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1. Q(f1) = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem. BME (x,f2) = Bahan baku emisi parameter x, untuk bahan bakar f2. Q(f2) = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem. Qt = Kebutuhan energi total. Contoh perhitungan: Kegiatan industri minyak sawit dengan ketel uap menggunakan bahan bakar antara serabut/cangkang kelapa sawit (f1) dan batu bara (f2) dengan komposisi sbb: 1. Kebutuhan Energi Total Qt : 4 X 10 6 KKal 2. Suplai energi aktual dari bahan bakar serabut/cangkang kelapa sawit Q(f1) : 2 X 10 6 KKal 3. Suplai energi aktual dari bahan bakar batu bara Q(f2) : 2 X 10 6 KKal 4. Baku mutu untuk ketel uap parameter partikulat dengan bahan bakar serabut/cangkang kelapa sawit BME(f1) : 300 mg/m 3 5. Baku mutu untuk ketel uap parameter partikulat dengan bahan bakar batu bara BME(f2) : 230 mg/m 3 BME(partikulat) = [300 X 2 X 10 6 ] + [ 230 X 2 X 10 6 ] / 4 X 10 6 = 265 mg/m 3 Cara perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain. 25. BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) BERBAHAN BAKAR BATU BARA No. Parameter Batas Maksimum mg/m 3 1. Total Partikel Sulfur Dioksida (SO 2 ) Nitrogen Oksida (NO 2 ) Opasitas 20 % Catatan : - Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO 2 - Konsentrasi Partikulat dikoreksi sebesar 3 % O 2 - Volume Gas dalam keadaan standar (25 C dan Tekanan 1 atm) - Untuk sumber pembakaran, partikulat di koreksi sebesar 10% Oksigen.

125 124 - Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel. - Pemberlakukan BME untuk 95 % waktu operasi normal selama tiga bulan. 26. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI PLTU Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7% untuk bahan bakar batubara dalam keadaan kering kecuali opasitas. 4. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas. 5. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas. 6. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan. 27. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI PLTU Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7% untuk bahan bakar batubara dalam keadaan kering kecuali opasitas. 4. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas. 5. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas. 6. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan bagi yang menggunakan CEMS.

126 BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI PLTG Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 15% dalam keadaan kering kecuali opasitas. 4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan. 29. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI PLTG Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atmosfer). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 15% dalam keadaan kering kecuali opasitas. 4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan.

127 126 D. BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK JENIS LAINNYA No. Parameter Batas Maksimum mg/m 3 I Bukan Logam 1 Ammonia (NH 3 ) 0,5 2 Gas Klorin (Cl 2 ) 10 3 Hidrogen Klorida (HCl) 5 4 Hidrogen Fluorida (HF) 10 5 Sulfur Dioksida (SO 2 ) Total Sulfur Tereduksi (H 2 S) 35 (Total Reduced Sulphur) 7 Nitrogen Oksida (NO 2 ) Total Partikel Opasitas 30 II Logam 1 Air Raksa (Hg) 5 2 Arsen (As) 8 3 Antimon (Sb) 8 4 Kadmium (Cd) 8 5 Seng (Zn) 50 6 Timah Hitam (Pb) 12 Catatan : - Volume Gas dalam keadaan standar (25 C dan Tekanan 1 atm) E. BAKU MUTU EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR 1. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI L DENGAN MODE TEST Catatan : L1 L2 : Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm 3 dan dengan desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya : Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda sembarang dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm 3 dan dengan

128 127 L3 L4 L5 desain kecepatan maksimum tidak lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya : Kendaraan bermotor beroda 2 dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya : Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda asimetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya (sepeda motor dengan kereta) : Kendaraan bermotor beroda 3 dengan susunan roda simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan maksimum lebih dari 50 km/jam apapun jenis tenaga penggeraknya. 2. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M DAN N BERPENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN BAKAR BENSIN DENGAN MODE TEST Keterangan: (1) : Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW GVW(2) : Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) RM (3) : Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg M1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi N1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton. Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai

129 128 Ambang Batas mengikuti kategori N1 O O1 O2 : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih dari 3,5 ton 3. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M DAN N BERPENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN BAKAR GAS (LPG/CNG) DENGAN MODE TEST Keterangan: (1) : Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW GVW(2) : Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) RM (3) : Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg M1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi N1 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 3,5 ton Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai

130 129 Ambang Batas mengikuti kategori N1 O O1 O2 : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang`diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih dari 3,5 ton 4. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI L, M, N DAN O BERPENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API BERBAHAN BAKAR BENSIN DENGAN IDLE TEST (TIPE II) 5. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M DAN N BERPENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI (DIESEL) DENGAN MODE TEST Keterangan: (1) : Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel diatas maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkategorian GVW GVW (2) : Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) RM (3) : Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg (4) : Nilai Ambang Batas dalam kurung untuk Diesel Injeksi Langsung, dan setelah 3 (tiga) tahun, Nilai Ambang Batasnya DISAMAKAN DENGAN Nilai Ambang Batas Diesel Injeksi Tidak Langsung

131 130 Untuk kendaraan kategori O1 dan O2 Metode Uji dan Nilai Ambang Batas mengikuti kategori N1 O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O1 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton O2 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 0,75 ton tetapi tidak lebih dari 3,5 ton 6. KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M, N, DAN O BERPENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI (DIESEL) DENGAN MODE TEST Keterangan: GVW (1) : Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) M2 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 5 ton M3 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 5 ton N2 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 12 ton N3 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O3 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 10 ton O4 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 10 ton

132 KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M, N, DAN O BERPENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI (DIESEL) DENGAN DENGAN PENGUJIAN KADAR ASAP MOTOR DIESEL Keterangan: Walaupun nilai nilai diatas mendekati sekitar 0.01 atau 0.05, tetapi tidak berarti bahwa pengukuran perlu dilakukan sesuai derajat ketelitian. (Although the above values are rounded to nearest 0.01 or 0.05, this does not mean that the measurements need to be to this degree of accuracy)

133 KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M, N, DAN O BERPENGGERAK MOTOR BAKAR PENYALAAN KOMPRESI BERBAHAN BAKAR GAS (LPG/CNG) DENGAN MODE TEST Keterangan: GVW (1) : ross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) M2 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) sampai dengan 5 ton M3 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 5 ton N2 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 12 ton N3 : Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton O : Kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel O3 : Kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 ton tetapi tidak lebih dari 10 ton O4 : kendaraan bermotor penarik dengan jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 10 ton] 9. UNTUK KENDARAAN BERMOTOR LAMA a. Kendaraan Bermotor Katagori L Kategori Sepeda motor 2 langkah Sepeda motor 4 langkah Sepeda motor (2 langkah dan 4 langkah) Tahun Pembuatan CO (%) Parameter HC (ppm) Metode Uji < Idle < Idle Idle

134 133 b. Kendaraan Bermotor Katagori M, N dan O Kategori Berpenggerak motor bakar cetus api (bensin) Berpenggerak motor bakar penyalaan Tahun Pembuata n CO (%) Parameter HC Opasitas (ppm) (% HSU)* Metode Uji < Idle kompresi (diesel) - GVW 3.5 ton < GVW >3.5 ton < Catatan : * atau ekivalen % bosch Percepatan bebas Untuk kendaraan bermotor berpenggerak motor bakar cetus api kategori M, N dan O : - < 2007 : berlaku sampai dengan 31 Desember : berlaku mulai tanggal 1 Januari 2007 Untuk kendaraan bermotor berpenggerak motor kategori L dan kendaraan bermotor berpenggerak motor bakar penyalaan kompresi : - < 2010 : berlaku sampai dengan 31 Desember : berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010 F. INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU) 1. PARAMETER DASAR UNTUK ISPU DAN PERIODE WAKTU PENGUKURAN Catatan: 1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu pengukuran. 2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-rata sebelumnya (24 jam sebelumnya). 3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul Waktu Indonesia Tengah (WITA). 4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan ( pkl tgl (n) sampai pkl tgl (n+1 )

135 ANGKA DAN KATEGORI ISPU KATEGORI RENTANG PENJELASAN Baik 0 50 Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan ataupun nilai estetika. Sedang Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif, dan nilai stetika. Tidak sehat Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika. Sangat tidak sehat Tidak kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar. Berbahaya 300 lebih Tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi 3. PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA UNTUK SETIAP PARAMETER PENCEMAR

136 BATAS ISPU DALAM SATUAN SI Catatan: 1. Pada 25 0 C dan 760 mm Hg 2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah dengan jangka pemaparan yang pendek 1. PERHITUNGAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA A. SECARA PERHITUNGAN CONTOH PERUBAHAN ANGKA SECARA PERHITUNGAN: Diketahui konsentrasi udara ambien untuk jenis parameter SO2 = 332 µg/m3. Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagai berikut : Dari Tabel Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)

137 136 Sehingga angka-angka tersebut dimasukkan dalam rumus (*) menjadi : I = (322 80) = = 92 (pembulatan) Jadi konsentrasi udara ambien SO2 322 mg/m 3 dirubah menjadi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92 B. SECARA GRAFIK Contoh : Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM10 adalah 250 µg/m3 konsentrasi ini jika dirubah dalam Indeks Standar Pencemar Udara dengan menggunakan grafik adalah sebagai berikut : Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke atas sampai menyentuh garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka 150. Sehingga konsentrasi PM µg/m3 dirubah menjadi angka Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat dilihat gambar di bawah ini). 2. CONTOH PENGAMBILAN ISPU DARI BEBERAPA STASIUN PEMANTAU Misal : Kota Makassar Jumlah Stasiun Monitoring : 3 buah Angka-angka Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap stasiun : Stasiun I (Pertama) Angka ISPU untuk 5 polutan PM10 = 96, SO2 = 80, O3 = 40, NO2 = 55, CO = 90 Stasiun II (Kedua) Angka ISPU untuk 5 polutan PM10 = 88, SO2 = 44, O 3 = 40, NO2 = 42, CO = 83 Stasiun III (Ketiga) Angka ISPU untuk 5 polutan PM10 = 91, SO2 = 71, O3 = 35, NO2 = 55, CO = 92

138 137 ISPU yang dilaporkan ke media massa (koran harian setempat /televisi stasiun setempat) adalah Indeks Standar Pencemar Udara yang paling tinggi. Untuk kasus di atas Indeks Standar Pencemar Udara tertinggi adalah dari Stasiun I (pertama) yaitu polutan PM10 dengan Indeks Standar Pencemar Udara 96. Sehingga inti laporan kemasyarakatan adalah : Standar Pencemar Udara Makassar adalah : * Indeks Standar Pencemar Udara : 96 Indeks * Kualitas Udara : sedang * Parameter dominan : PM10 Berlaku 24 jam dari hari ini pukul tanggal (n) sampai pkl tgl (n+1). GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Dr. H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH, MSi, MH

139 138 LAMPIRAN IV : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TENTANG : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : TANGGAL : A. BAKU TINGKAT GANGGUAN GETARAN 1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN Nilai Tingkat Getaran, dalam micron (10-6 meter) Frekuensi Tidak (Hz) Mengganggu Tidak Nyaman Menyakitkan Mengganggu 4 < > 500 > < > 350 > < > 275 > < > > < > > ,5 < > > < > > < > > < > > 50 31,5 < > > < > > < > > < > 9 12 > 12 Konversi : Percepatan = ( 2 f ) 2 x simpangan Kecepatan = 2 f x simpangan = 22 / 7 2. NILAI AMBANG BATAS GETARAN UNTUK PEMAJANAN LENGAN DAN TANGAN Jumlah Waktu pemajanan Per hari kerja Nilai percepatan pada frekuensi dominan (m/det 2 ) gram 4 jam dan kurang dari 8 jam 4 0,40 2 jam dan kurang dari 4 jam 6 0,61 1 jam dan kurang dari 2 jam 8 0,81 Kurang dari 1 jam 12 1,22 Catatan : 1 gram = 9,81 m/det 2

140 BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN DAMPAK KERUSAKAN Getaran Batas Getaran, PEAK, mm/detik Frekwensi Parameter Satuan Kategor Kategori Kategori Kategori (Hz) i A B C D - Kecepatan Getaran mm/detik 4 5 < 2 < 7,5 2 7 > 7,5 25 > > > 140 > Frekuensi Keterangan : Hz 6, , , ` < 7 < 6 < 5,2 < 4,8 < 4 < 3,8 < 3,2 < 3 < 2 < 1 > 7 21 > 6 19 > 5,2 16 > 4,8 15 > 4 14 > 3,8 12 > 3,2 10 > 3 9 > 2 8 > 1 7 > > > > > > > > 9 53 > 8 50 > 7 42 > 110 > 100 > 90 > 80 > 70 > 67 > 60 > 53 > 50 > 42 Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan Kategori B : Kemungkinan Keretakan Plesteran (retak/terlepas plesteran pada dinding pemikul batas) Kategori C : Kemungkinan Rusak Komponen struktur dinding pemikul beban Kategori D : Rusak dinding pemikul beban

141 BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN Kecepatan Getaran (mm/detik) Pada bidang datar di Pada Fondasi lantai paling Kelas Tipe Bangunan atas < 10 Hz Frekuensi Campuran Hz frekuensi Hz 1. Bangunan untuk < keperluan niaga, bangunan industri dan bangunan sejenis 2. Perumahan dan bangunan dengan rancangan dan kegunaan sejenis 3. Struktur yang karena sifatnya peka terhadap getaran, tidak seperti tersebut pada no. 1 dan 2, dan mempunyai nilai budaya tinggi, seperti ,5 bangunan yang dilestarikan Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus dicapai 5. BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT Kelas Jenis Bangunan 1. Peruntukan dan bangunan kuno yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi 2. Bangunan dengan kerusakan yang sudah ada, tampak keretakan-keretakan pada tembok 3. Bangunan untuk dalam kondisi teknis yang baik, ada kerusakan-kerusakan kecil seperti : plesteran yang retak. 4. Bangunan kuat (misalnya : bangunan industri terbuat dari beton atau baja). Kecepatan Getaran Maksimum (mm/detik)

142 NILAI AMBANG BATAS FREKUENSI RADIO/GELOMBANG MIKRO Frekwensi 30 khz 100 khz 100 khz 3 MHz 3 MHz 30 MHz 30 MHz 100 MHz 100 MHz 300 MHz 300 MHz 3 GHz 3 GHz 15 GHz 15 GHz 300 GHz Power Density (mw/cm 2 ) f/ Kekuatan Medan Listrik (V/m) /f 61,4 61, Keterangan : khz : Kilo Hertz MHz : Mega Hertz GHz : Gega Hertz f : Frekuensi dalam MHz mw/cm 2 : mili Watt per senti meter persegi V/m : Volt per meter A/m : Amper per meter Kekuatan Medan Magnet (A/m) ,3/f 16,3/f 16,3/f 0, Rata-rata Waktu Pemajanan (menit) /f 1 7. WAKTU PEMAJANAN RADIASI SINAR ULTRA UNGU YANG DIPERKENANKAN Masa pemajanan per hari 8 jam 4 jam 2 jam 1 jam 30 menit 15 menit 10 menit 5 menit 1 menit 30 detik 10 detik 1 detik 0,5 detik 0,1 detik Iradiasi Efektif (E ef ) µw/cm 2 0,1 0,2 0,4 0,8 1,7 3,

143 INTENSITAS CAHAYA DI RUANG KERJA B. METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN a. Peralatan Pedoman yang dipakai ialah: 1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer) 2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer) 3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band) 4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder) 5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer) b. Cara pengukuran 1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan; a) Alat penangkap getaran diletakkan pada lantai atau permukaan yang bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan filter. b) Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat tidak dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran. c) Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekuensi 4-63 Hz atau dengan sapuan oleh alat pencatat getaran. d) Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik berikut

144 Getaran untuk Keutuhan Bangunan Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan kesehatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran puncak (Peak Velocity) dan menggambarkannya dengan menggunakan grafik berikut:

145 144 c. Cara Evaluasi Ke-13 data yang digambarkan pada grafik dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan. Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti pada grafik Kecepatan Puncak di atas. d. Definisi 1. Struktur bangunan adalah bagian dari bangunan yang direncanakan, diperhitungkan dan dimaksudkan untuk: a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban sementara) b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal. Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall). 2. Komponen struktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin fungsi struktur. Misal : balok, kolom dan slab dari frame 3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap. 4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau difungsikan untuk mendukung beban. Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu. e. Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur 1. Kerusakan pada struktur, dapat membahayakan stabilitas bangunan, atau roboh (misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan). 2. Kerusakan pada non-struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa membahayakan penghuni (misal : robohnya dinding partisi, tidak merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni). f. Derajat kerusakan struktur : 1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya. 2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan perkuatan. 3. Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan bangunan.

146 145 C. BAKU TINGKAT GANGGUAN KEBISINGAN 1. BAKU TINGKAT KEBISINGAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN Peruntukan Kawasan / Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan dba a. Peruntukan Kawasan: 1. Perumahan dan Pemukiman Perdagangan dan Jasa Perkantoran dan Perdagangan Ruangan Terbuka Hijau Industri Pemerintahan dan Fasilitas Umum Rekreasi Khusus : Bandar Udara *) Pelabuhan Laut *) Cagar Budaya b. Peruntukan Lingkungan Kegiatan: 1. Rumah Sakit dan Sejenisnya 2. Sekolah dan Sejenisnya 3. Tempat Ibadah dan Sejenisnya Keterangan : *) atau disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan AMBANG BATAS KEBISINGAN KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU BERODA EMPAT ATAU LEBIH KATEGORI M, N, DAN O SECARA DINAMIS Keterangan: (1) : 147 kw (ECE) P (2) : Direct Injection + 1 db(a) relaxation (3) : P<150 kw (ECE) : + 1 db(a) relaxation : 150 kw (ECE) P :+ 2 db(a) relaxation (i) : mulai berlaku 6 Oktober 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 (ii) : mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014

147 AMBANG BATAS KEBISINGAN KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU BERODA EMPAT ATAU LEBIH KATEGORI M, N DAN O SECARA DINAMIS UNTUK PENUMPANG BENTUK LANDASAN (CHASIS) Keterangan: (1) : 147 kw (ECE) P (2) : Direct Injection + 1 db(a) relaxation (3) : P<150 kw (ECE) : + 1 db(a) relaxation : 150 kw (ECE) P :+ 2 db(a) relaxation (i) : mulai berlaku 6 Oktober 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 (ii) : mulai berlaku pada tanggal 1 Januari AMBANG BATAS KEBISINGAN KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI l SECARA DINAMIS Keterangan: (1) : 147 kw (ECE) P (2) : Direct Injection + 1 db(a) relaxation (3) : P<150 kw (ECE) : + 1 db(a) relaxation : 150 kw (ECE) P :+ 2 db(a) relaxation (i) : mulai berlaku 6 Oktober 2009 sampai dengan tanggal 30 Juni 2013 (ii) : mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013 D. METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN LINGKUNGAN 1. Metoda Pengukuran Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara : 1) Cara Sederhana Dengan sebuah sound level meter bisa diukur tingkat tekanan bunyi db (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.

148 147 2) Cara Langsung Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh : - L1 diambil pada jam 7.00 mewakili jam L2 diambil pada jam mewakili jam L3 diambil pada jam mewakili jam L4 diambil pada jam mewakili jam L5 diambil pada jam mewakili jam L6 diambil pada jam mewakili jam L7 diambil pada jam mewakili jam Keterangan : - Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama. Satuannya adalah db (A). - LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik - LS = Leq selama siang hari - LM = Leq selama malam hari - LSM = Leq selama siang dan malam hari. 2. Metode perhitungan: (dari contoh) LS dihitung sebagai berikut : LS = 10 log 1/16 ( T L T4.1001L4) db (A) LM dihitung sebagai berikut : LM = 10 log 1/8 ( T L T7.1001L7) db (A) Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus : LSM = 10 log 1/24 ( L (LM+5)) db (A) 3. Metode Evaluasi Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3 db(a)

149 148 E. BAKU TINGKAT KEBAUAN 1. Bau dari Odoran Tunggal: Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta 2. Bau dari Odoran Campuran Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai ambang bau yang dapat dideteksi secara sensorik oleh lebih dari 50 % anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang. GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Dr. H. SYAHRUL YASIN LIMPO, SH, MSi, MH

150 149 LAMPIRAN V : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN TENTANG : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : TANGGAL : A. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN a. Kerusakan Tanah Mineral yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Sifat Fisik Tanah No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI 1. Struktur tanah Terjadi kerusakan struktur tanah Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Meningkatnya laju erosi tanah 2. Porositas (%) Terjadi penurunan porositas Menurunnya infiltrasi Meningkatnya aliran permukaan Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang 3. Bobot isi Terjadi pemadatan Akar (g/cm 3 ) tanaman tidak berkembang Ketersediaan udara dan air 4. Kadar air tersedia (%) 5. Potensi mengembang dan mengkerut 6. Penetrasi tanah (kg/cm 2 ) 7. Konsistensi tanah untuk tanaman berkurang Terjadi penurunan kaaar air Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air Tanah kehilangan sifat mengembang mengkerutnya Laju erosi meningkat Penetrasi tanah meningkat Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Tanah kehilangan sifat piastisnya Laju erosi meningkat METODE PENGUKURAN Pengamatan langsung (visual) Perhitungan dari bcbot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum Ring sample gravimetri Pressure plate gravirnetri COLE Penetrometer Piridan tangan

151 150 b. Kerusakan Tanah Gambut Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Sifat Fisik Tanah KERUSAKAN YANG No. PARAMETER TERJADI 1. Porositas (%) Terjadi penurunan porositas Menurunnya infiltrasi Meningkatnya aliran permukaan Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang 2. Bobot isi Terjadi pemadatan (gr/cm 3 ) Akar tanaman kurang berkembang Ketersediaan udara dan air 3. Kadar air tersedia (%) 4. Penetrasi tanah (kg/cnr) untuk tanaman berkurang Terjadi penurunan kadar air Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air Penetrasi tanah meningkat Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang 5. Subsidence Terjadi penurunan permukaan tanah gambut Kedalaman efektif tanah menurun Umur pakai lahan turun Sifat Kimia Tanah 1. C-organik (%) Kadar C-organik turun Kesuburan tanah turun 2. N total (%) Kadar N total turun Kesuburan tanah turun a. Amonium (ppm) Kadar Amonium turun Kesuburan tanah turun b. Nitrat (ppm) Kadar Nitrat naik Meracuni air tanah 3. P (ppm) Kadar P-tersedia naik Keseimbangan unsur hara terganggu 4. ph ph naik atau turun Keseimbangan unsur hara 5. Daya Hantai Listrik ( S/cm) terganggu Daya hantar listrik naik Pertumbuhan akar tanaman terganggu Kadar garam naik METODE PENGUKURAN Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum Ring sample - gravimetri Pressure plate - gravimetri Penetrometer Patok subsidence di lapang Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator Spectrofotometer atau autoanalisator ph-meter Konduktometer

152 151 Sifat Biologi Tanah No. PARAMETE R KERUSAKAN YANG TERJADI 1 Carbon Carbon mikroorganisme turun mikroorganism Banyak mikroorganisme mati e Reaksi biokimia tanah terganggu 2 Respirasi Respirasi turun Reaksi kimia tanah terganggu Keragaman mikroorganisme tanah berkurang METODE PENGUKURAN CFE-TOC atau CFE- Walkley and Biack (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987) Metode S topics seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, Metabolic quotien (qcoj 4 Total mikro organisme (SPlOg) 5 Total Fungi (SPK/g) Metabolic quotien naik Mikroorganisme tanah strecs Keragaman mikroorganisme berkurang Total mikroorganisme turun Keragaman mikroorganisme berkurang Total fungi turun Keseimbangan populasi mikroorganisme terganggu Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme Plate counting Plate counting c. Kerusakan Flora yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan PARAMETE KERUSAKAN YANG No. R TERJADI 1 Keragaman Terjadi perubahan keragaman spesies Terjadi pengurangan dan penambahan varietas Terjadi kepunahan spesies Terjadi ketidakseimbangan ekosistem 2 Populasi Terjadi perubahan kepadatan Terjadi perubahan populasi Terjadi ketidakseimbangan ekosistem METODE PENGUKURAN Sampling Sampling

153 152 d. Kerusakan Fauna Yang Berkaitan dengan Kebakaran Hautan dan/atau Lahan PARAMETE KERUSAKAN YANG No. R TERJADI 1 Keragaman Terjadi perubahan keragaman spesies Terjadi perubahan perilaku Terjadi pengurangan dan penambahan varietas Terjadi kepunahan spesies Terjadi ketidakseimbangan ekosistem 2 Populasi Terjadi perubahan kepadatan Terjadi perubahan perilaku Terjadi perubahan populasi Terjadi ketidakseimbangan ekosistem METODE PENGUKURAN Sampling Sampling

154 B. KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN ASPEK / SIFAT FISIK DAN HAYATI LINGKUNGAN 1. TOPOGRAFI Lubang galian a. Kedalaman b. Jarak Dasar galian a. Perbedaan relief dasar galian b. Kemiringan dasar galian Dinding galian a. Tanah tebing teras b. Dasar teras 2. TANAH Tanah yang dikembalikan sebagai tanah penutup 3. VEGETASI 3.1. Tutupan tanaman budi daya 3.2. Tutupan tanaman tahunan 3.3. Tutupan tanaman lahan basah 3.4. Tutupan tanaman lahan kering/ rumput PEMUKIMAN DAN DAERAH INDUSTRI Lebih dalam 1 m di atas muka air tanah pada musim hujan <5 meter dari batas SIPD > 1 meter > 8 % Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter < 25 cm < 20% tanaman tumbuh di seluruh lahan tambang TANAMAN TAHUNAN Melebihi muka air tanah pada musim hujan <5 meter > 1 meter > 8 % Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter < 50 cm - < 50% tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan. - - PERUNTUKAN TANAMAN PANGAN LAHAN BASAH Lebih dari 10 cm di bawah muka air tanah pada musim hujan <5 meter > 1 meter > 3 % Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter < 25 cm - - < 50% tanaman tumbuh diseluruh lahan tambang - TANAMAN PANGAN LAHAN KERING DAN PETERNAKAN Lebih dalam 1 m di atas muka air tanah pada musim hujan <5 meter dari batas SIPD > 1 meter > 8 % tinggi > 3 meter lebar < 6 meter < 25 cm < 50% tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan.

155 154 C. TATACARA PENGUKURAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS Dl DATARAN Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian Strategis dan Vital karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional digolongkan dalam bahan galian Golongan C. Yang termasuk bahan galian golongan C adalah: - nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu (halite); - asbes, talk, mika, grafit, magnesit; - yarosit, leusit, tawas (alum), oker; - batu permata, batu setengah permata; - pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit; - batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth); - marmer, batu tulis; - batu kapur, dolomite, kalsit; - granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan a maupun golongan b dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. a. TOPOGRAFI Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu: keadaan yang menggambarkan permukaan bumi terutama mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah, pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lainnya. Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek topografi yang dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah : a.1. Lubang galian a.2. Dasar galian a.3. Dinding galian a.1. Lubang galian Lubang galian adalah lubang yang terhentuk akibat penambangan galian golongan C. Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah: a). Kedalaman - Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. - Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. - Pengukuran kedalaman lubang galiar, dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam (lihat Gambar berikut)

156 155 Gambar Kedalaman Lubang Galian - Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang periode penambangan. - Penentuan batas kedalaman galian yang ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air tanah. - Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi letak muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan letak muka air tanah biasanya lebih dangkal dibandingkan dengan musim kemarau. - Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali. - Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan (lihat Gambar berikut) PERMUKAAN TANAH Keterangan : = letak muka tanah dari Ketebalan Dasar Sumur Muka air tanah Gambar Pengukuran Muka Air Tanah dengan Sumber Galian Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian (lihat Gambar berikut)

157 156 Permukaan air tanah Lubang bor Keterangan : = letak muka tanah dari permukaan tanah Muka air tanah Gambar Pengukuran Muka Air Tanah dengan Pemboran - Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan. - Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi peruntukan pemukiman/industri adalah areal-areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga permukaan tanahnya tetap kering. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 1 m di atas muka air tanah pada musim penghujan. - Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan adalah areal yang berdrainase baik, minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman gslian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi. - Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan basah adalah areal berdrainase buruk tetapi sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akan terpenuhi. - Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan lahan kering/peternakan adalah area berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanar dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah penutup ke permukaan lahan bekas

158 157 tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman tersebut akar terpenuhi. b). Jarak Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari bata; SIPD. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD. Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD ini dapat dilakukan secara: Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian di masing-masing SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan/bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang ticiak berdampingan/bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD (lihat gambar berikut) Gambar Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan Gambar Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan yang Bersinggungan a.2. Dasar Galian Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter Dasar galian ada 2(dua), yaitu : a). Perbedaan Relief Dasar Galian - Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan material sisa galian.

159 158 - Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan onggokan/ tumpukan tersebut dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan dengan mengukur kedua permukaan tersebut (lihat Gambar berikut) Gambar Sketsa Relief Dasar Galian - Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periods penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat diter.tukan pada akhir masa penambangan. - Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan pemanfaatan lahan, sesuai dengan peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief tersebut dibatasi maksimum 1 m. Tumpukan yang kurang dari 1 m relatif mudah diratakan/disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya. b). Kemiringan Dasar Galian - Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan. - Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. - Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15%. - Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3% sehingga untuk perunlukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%. - Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%. - Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan levelling atau waterpass. - Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya. tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.

160 159 a.3. Dinding Galian Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari perrr.ukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati (lihat Gambar berikut). Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %. Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Pengukuran tebing dan dasar teras ditakukan dengan menggunakan meteran. Keterangan : a = tinggi tebing teras keseluruhan b = lebar dasar teras keseluruhan a : b = 2 Gambar Sketsa Relief Dinding Galian yang Disyaratkan untuk Semua Peruntukan b. TANAH Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal- bekas penambangan adalah tanah-tanah yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas can diamankan sebeium areal tersebut ditambang. Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.

161 160 Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman 50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 untuk. peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yano sebagai penutup ini minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm. Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini dapat dilakukan secara dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini ditentukan setelah akhir masa penambangan. c. VEGETASI Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal pemukiman. adalah 20 persen, sehingga digunakanl sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal pertambangan. Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukannya. Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya diiakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas tambang. Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan. D. TATA CARA PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT 1. PENDAHULUAN Metode penambangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik cebakan emas primer atau sekunder yang dapat mempengaruhi cara pengelolaan lingkungan yang akan dilakukan untuk meminimalisir dampak kegiatan penambangan tersebut. Karakteristik cebakan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial yaitu emas yang diendapkan bersama dengan material sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau gelombang laut adalah karakteristik yang umum ditambang oleh rakyat, karena kemudahan penambangannya. Berdasarkan karakteristik endapan emas tersebut, metode penambangan terbuka yang umum diterapkan dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Tambang semprot (hydraulicking) 2. Pendulangan (panning) Di beberapa tempat juga ditemukan karakteristik cebakan primer tipe vein yang umumnya dilakukan dengan teknik penambangan bawah tanah terutama metode gophering atau lebih dikenal dengan coyoting (di Indonesia disebut lubang tikus atau lubang marmot).

162 161 Terhadap batuan yang ditemukan, dilakukan proses peremukan batuan atau penggerusan, selanjutnya dilakukan sianidasi atau amalgamasi, sedangkan untuk tipe penambangan sekunder umumnya dapat langsung dilakukan sianidasi atau amalgamasi karena sudah dalam bentuk butiran halus. Gambar Alur Proses pengolahan bijih emas a. Penambangan Cebakan emas primer dapat ditambang secara tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Sementara cebakan emas sekunder umumnya ditambang secara tambang terbuka. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak akibat penambangan tergantung pada lokasi dilakukannya penambangan. Kerusakan lahan terjadi akibat dari tergerus/hilangnya lahan yang semula produktif menjadi tidak produktif. Penurunan kualitas tanah dapat terjadi karena tanah subur dipermukaan hilang atau tertutup oleh sedimen yang tidak subur. Sedangkan penurunan kualitas air diakibatkan tingginya kandungan sedimen tersuspensi sebagai akibat pembuangan tailing langsung ke badan air yang juga akan mempengaruhi kehidupan biota air. Hubungan antara kegiatan penambangan dengan potensi kerusakan komponen lingkungan dapat dilihat pada Tabel berikut.

163 162 Tabel Potensi Dampak Pada Komponen Lingkungan Akibat Ket : = berpotensi dampak; - = tidak berpotensi dampak b. Pengolahan Pada pengolahan batuan hasil penambangan, yang terdiri dari tahap kominusi, separasi dan ekstraksi dengan amalgamasi dan sianidasi, potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan mencakup kualitas tanah, kualitas air, biota dan udara. Selain itu, kandungan kimia dan logam dalam tailing juga merupakan sumber dampak yang lebih berbahaya. Dampak pada komponen udara terjadi karena penguapan logam berat dan bahan kimia lainnya. Matrik hubungan antara kegiatan pengolahan emas dengan potensi kerusakan komponen lingkungan dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel Potensi Dampak Terhadap Komponen Lingkungan dari Pengolahan Bijih Ket : = berpotensi dampak; - = tidak berpotensi dampak

164 KARAKTERISTIK PERTAMBANGAN EMAS a. Cebakan Primer Cebakan primer merupakan cebakan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Salah satu tipe cebakan primer yang biasa dilakukan pada penambangan skala kecil adalah bijih tipe vein (urat). Beberapa karakteristik dari bijih tipe urat yang mempengaruhi teknik penambangan antara lain: 1. Komponen mineral atau logam tidak tersebar merata pada badan urat. 2. Mineral bijih dapat berupa kristal-kristal yang kasar. 3. Kebanyakan urat mempunyai lebar yang sempit sehingga rentan dengan pengotoran (dilution). 4. Kebanyakan urat berasosiasi dengan sesar, pengisi rekahan, dan zona geser (regangan), sehingga pada kondisi ini memungkinkan terjadinya efek dilution pada batuan samping. 5. Perbedaan assay (kadar) antara urat dan batuan samping pada umumnya tajam, berhubungan dengan kontak dengan batuan samping, impregnasi pada batuan samping, serta pola urat yang menjari (bercabang). 6. Fluktuasi ketebalan urat sulit diprediksi, dan mempunyai rentang yang terbatas, serta mempunyai kadar yang sangat erratic (acak/tidak beraturan) dan sulit diprediksi. 7. Kebanyakan urat relatif keras dan bersifat brittle. Dengan memperhatikan karakteristik tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah tambang bawah tanah dengan metode Gophering. Nama lain untuk cara ini adalah coyoting (di Indonesia disebut lubang tikus atau lubang marmot), yaitu suatu cara penambangan yang tidak sistematis, tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan penambangan (development works) dan arah penggalian hanya mengikuti arah larinya cebakan bijih. Oleh karena itu ukuran lubang (stope) juga tidak tentu, tergantung dari ukuran cebakan bijih di tempat itu dan umumnya tanpa penyanggaan yang baik. Cara penambangan ini umumnya tanpa penyangga yang memadai dan penggalian umumnya dilakukan tanpa alat-alat mekanis. Metode penambangan ini umum diterapkan diberbagai daerah operasi pertambangan rakyat di Indonesia, seperti di Cineam, Tasikmalaya dan Sulawesi Utara. Penambangan dilakukan secara sederhana, tanpa development works, dan langsung menggali cebakan bijih menuruti arah dan bentuk alamiahnya. Bila cebakan bijih tersebut tidak homogen, kadang-kadang terpaksa ditinggalkan pillar yang tak teratur dari bagian-bagian yang miskin. Proses yang dilakukan dalam penambangan metode gophering: 1. Pembangunan lubang masuk ke tambang. Lubang masuk dibuat sangat sederhana dengan diameter umumnya hanya dapat untuk akses 1 orang saja 2. Pembangunan akses menuju badan bijih. Akses menuju badan bijih dibuat sesuai lokasi badan bijih yang menjadi target. Terdapat 2 cara untuk menuju badan bijih berdasarkan lokasi dari cebakan, yaitu: a. Menggunakan drift (lubang masuk horizontal), jika lokasi badan bijih relatif sejajar dengan jalan masuk utama. b. Menggunakan shaft (lubang masuk vertikal), jika lokasi badan bijih relatif di bawah jalan masuk utama. Seperti halnya lubang masuk ke tambang, akses menuju badan bijih dibuat secara sederhana, dengan lokasi kerja yang hanya cukup untuk dipakai satu orang saja dengan diameter sekitar 1 1,5 meter. Lubang masuk tersebut dibuat tanpa penyangga atau hanya dengan penyangga sederhana untuk daerah yang diperkirakan rawan runtuh.

165 Penggalian bijih emas Penggalian bijih emas dilakukan dengan mengikuti arah kemenerusan bijih. Alat yang dipakai untuk keperluan pemberaian batuan berupa alat gali manual, seperti belincong. 4. Pengangkutan bijih emas dari dalam tambang menuju ke luar tambang dilakukan secara manual. Jalur pengangkutan menggunakan jalan masuk utama. Khusus untuk akses menggunakan shaft, pengangkutan dibantu dengan sistem katrol. Penambangan metode gophering yang baik dilakukan dengan ketentuan: 1. Jalan masuk menuju urat bijih emas harus dibuat lebih dari satu buah, dan dapat dibuat datar/horizontal, miring/inclined maupun tegak lurus/vertikal sesuai dengan kebutuhan. 2. Ukuran jalan masuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan, disarankan diameter > 100 cm. 3. Lokasi jalan masuk berada pada daerah yang stabil (kemiringan < 30º) dan diusahakan tidak membuat jalan masuk pada lereng yang curam. 4. Lubang bukaan harus dijaga dalam kondisi stabil/tidak runtuh, bila diperlukan dapat dipasang suatu sistem penyanggaan yang harus dapat menjamin kestabilan lubang bukaan (untuk lubang masuk dengan kemiringan > 60º disarankan untuk selalu memasang penyangga). 5. Kayu penyangga yang digunakan disarankan kayu kelas 1 (kayu jati, rasamala, dll). Ukuran diameter/garistengah kayu penyangga yang digunakan disarankan tidak kurang dari 7 cm. Jarak antar penyangga disarankan tidak lebih dari 0.75 x diameter bukaan (tergantung kelas kayu penyangga yang digunakan dan kekuatan batuan yang disangga). Gambar Bentuk Sistem Penyangga Pada Tambang Bawah Tanah Ket : (ukuran disesuaikan dengan lubang bukaan yang dibuat) a. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak depan. b. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak samping. c. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk tegak/vertikal 6. Sirkulasi udara harus terjamin sehingga dapat menjamin kebutuhan minimal 2 m3/menit, bila diperlukan dapat digunakan kompresor dengan penghantar berupa selang/pipa plastik. 7. Disekitar lubang masuk dibuat paritan untuk mencegah air masuk, dan paritan diarahkan menuju ke kolam pengendap dengan pengendapan dilakukan bertahap.

166 165 Gambar Skema Lokasi Lubang Masuk Tambang Aktivitas penambangan cebakan emas primer skala kecil dengan menggunakan metode gophering seperti Gambar berikut. Gambar Aktivitas Penambangan Metode Gophering b. Cebakan Sekunder Cebakan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial merupakan emas yang diendapkan bersama dengan material sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau gelombang laut. Karakteristik dari endapan emas aluvial akan menentukan system dan peralatan dalam melakukan kegiatan penambangan. Secara umum penambangan emas aluvial dilakukan berdasarkan atas prinsip: a. Butir emas sudah terlepas sehingga bijih hasil galian langsung mengalami proses pengolahan. b. Berdasarkan lokasi keterdapatan, pada umumnya kegiatan penambangan dilakukan pada lingkungan kerja berair seperti sungai-sungai dan rawa-rawa, sehingga dengan sendirinya akan memanfaatkan air yang ada di tempat sekitarnya.

167 166 Dengan memperhatikan karakteristik endapan emas tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah dengan metode tambang terbuka dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Tambang semprot (hydraulicking) 2. Pendulangan (panning) Gambar Pelaksanaan Tambang Semprot dan Pendulangan Pada tambang semprot digunakan alat semprot (monitor) dan pompa untuk memberaikan batuan dan selanjutnya lumpur hasil semprotan dialirkan atau dipompa ke instalasi pencucian. Cara ini banyak dilakukan pada pertambangan skala kecil termasuk tambang rakyat dimana tersedia sumber air yang cukup, umumnya berlokasi di atau dekat sungai. Beberapa syarat yang menjadikan endapan emas aluvial dapat ditambang menggunakan metode tambang semprot antara lain: a. Kondisi/jenis material memungkinkan terberaikan oleh semprotan air, b. Ketersediaan air yang cukup, c. Ketersediaan ruang untuk penempatan hasil cucian atau pemisahan bijih. Penambangan dengan cara pendulangan banyak dilakukan oleh pertambangan rakyat di sungai atau dekat sungai. Cara ini banyak dilakukan oleh penambang perorangan dengan menggunakan nampan pendulangan untuk memisahkan konsentrat atau butir emas dari mineral pengotornya.

168 PENGOLAHAN Pengolahan bijih emas dilakukan dengan tujuan memisahkan bijih emas dari mineral/batuan yang tidak berharga. Secara umum, emas di alam terdapat dalam bentuk terikat dalam batuan induknya maupun berupa emas native dalam berbagai ukuran. Pada kasus emas yang terikat dalam batuan induk, cara pengolahan yang dilakukan meliputi proses : a. Kominusi Kominusi merupakan kegiatan pengecilan ukuran bijih yang mengandung emas dengan tujuan untuk membebaskan (meliberasi) mineral emas dari mineralmineral lain yang terkandung dalam batuan induk. Liberasi bijih ini menjadi sangat penting antara lain karena : 1. Dapat mengurangi kehilangan emas yang masih terperangkap dalam batuan induk. 2. Dapat dilakukan kegiatan konsentrasi bijih tanpa kehilangan emas berlebihan. 3. Dapat meningkatkan kemampuan ekstraksi emas, baik dengan amalgamasi maupun sianidasi. Perbedaan kondisi bijih dengan derajat liberasi baik dan jelek ditunjukkan pada Gambar berikut. Gambar Ilustrasi Mengenai Derajat Liberasi Proses kominusi ini terutama diperlukan pada pengolahan bijih emas primer, sedangkan pada bijih emas sekunder bijih emas merupakan emas yang terbebaskan dari batuan induk yang kemudian terendapkan. Derajat liberasi yang diperlukan dari masing-masing bijih untuk mendapatkan perolehan emas yang tinggi pada proses ekstraksinya berbeda-beda bergantung pada ukuran mineral emas dan kondisi keterikatannya pada batuan induk. Proses kominusi ini bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan-peralatan mekanis seperti jaw crusher, cone crusher, stamp mill, hammer mill, ball mill dan lain-lain maupun dengan menggunakan peralatan manual seperti palu.

169 168 Gambar Beberapa Contoh Metode Kominusi Proses kominusi ini dilakukan bertahap bergantung pada ukuran bijih yang akan diolah. Pada tabel berikut menunjukkan tahapan proses kominusi dengan diameter umpan dan diameter produknya. Tabel Ukuran Umpan dan Produk Pada Proses Kominusi

170 169 b. Konsentrasi Setelah ukuran bijih diperkecil, proses selanjutnya dilakukan proses konsentrasi dengan memisahkan mineral emas dari mineral pengotornya. Pada endapan emas aluvial, bijih hasil penggalian langsung memasuki tahap ini tanpa tahap kominusi terlebih dahulu. Prinsip konsentrasi/separasi sederhana yang digunakan dengan metode gravitasi. Metode ini memanfaatkan perbedaan massa jenis emas (19.5 ton/m3) dengan massa jenis mineral lain dalam batuan (yang umumnya berkisar 2.8 ton/m3). Metode gravitasi akan efektif bila dilakukan pada material dengan diameter yang sama/seragam, karena pada perbedaan diameter yang besar perilaku material ringan (massa jenis kecil) akan sama dengan material berat (massa jenis besar) dengan diameter kecil. Oleh karena itu proses pengecilan ukuran (kominusi) menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan baik. Peralatan konsentrasi yang menggunakan prinsip gravitasi yang umum digunakan pada pertambangan emas skala kecil antara lain adalah dulang, palong (sluice box), spiral konsentrator, meja goyang (shaking table) dan jig seperti pada Gambar berikut. Gambar Pengolahan Limbah Sederhana Proses Amalgamasi Palong/sluice box lebih banyak digunakan karena mempunyai effisiensi yang sama dengan peralatan konsentrasi yang lain namun mempunyai konstruksi yang lebih sedarhana daripada spiral konsentrator, meja goyang dan jig, serta dapat memproses lebih banyak bijih per hari daripada dulang. Hasil dari proses ini berupa konsentrat yang mengandung bijih emas dengan kandungan yang besar, dan lumpur pencucian yang terdiri atas mineral-mineral pengotor pada bijih emas. Konsentrat emas selanjutnya diolah dengan proses ekstraksi.

171 170 Sistem Pengolahan yang baik Prinsip umum pengolahan bijih emas seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar Perbandingan Proses pengolahan bijih emas yang baik dan tidak baik Konsentrasi yang baik a. Tidak dibenarkan menggunakan merkuri dan sianida dalam proses ini. b. Dilarang menggunakan pelat amalgamasi dari tembaga. c. Konsentrat diperoleh dengan melakukan pencucian karpet yang sebaiknya dilakukan secara bertahap pada bak khusus. d. Tidak menggunakan merkuri untuk mencuci karpet.

172 171 c. Ekstraksi (Amalgamasi dan Sianidasi) 1. Ekstraksi yang baik: a. Lokasi ekstraksi bijih harus terpisah dari lokasi kegiatan penambangan. b. Dilakukan pada lokasi khusus baik untuk amalgamasi ataupun sianidasi untuk meminimalkan penyebab pencemar bahan berbahaya akibat peresapan kedalam tanah, terbawa aliran air permukaan maupun gas yang terbawa oleh angin. c. Dilengkapi dengan kolam pengendap yang berfungsi baik untuk mengolah seluruh tailing hasil pengolahan sebelumdialirkan ke perairan bebas. Gambar Konstruksi Kolam Pengendap d. Lokasi pengolahan bijih dan kolam pengendap diusahakan tidak berada pada daerah banjir. Sebagai panduan, perhitungan sederhana kebutuhan kolam pengendapan di lokasi pengolahan sebagai berikut: Luas kolam pengendap I (m2) = 20 x volume tailing yang dihasilkan setiap proses (m3). Asumsi : 1. Kedalaman kolam = 2 m 2. Ukuran luas kolam pengendap II dapat lebih kecil dari kolam II (minimal 0.5 x luas kolam I). Perkiraan Interval waktu pengerukan terutama untuk kolam pertama (hari) = (volume kolam pengendap I)/[volume tailing/hari (m3/hari)] Catatan: : Kedalaman air pada titik keluaran minimal 0.5 m, kurang dari nilai tersebut kolam pengendap harus dikosongkan untuk menjaga kinerja pengendapan kolam tersebut.

173 172 Contoh Perhitungan : Volume tailing per proses : 1.6 m3 Waktu proses : 8-12 jam Luas kolam pengendap : 32 m2 Kedalaman kolam pengendap : 2 m Kapasitas kolam pengendap : 48 m3 Perkiraan waktu pengurasan kolam pengendap, (asumsi waktu operasi : 30 proses 8 jam/proses dan 2 x proses per hari) : 15 hari e. Gunakan merkuri dan sianida secukupnya. f. Bahan kimia ditempatkan pada ruangan tersendiri. g. Menggunakan perlengkapan yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Ekstraksi terdiri atas : a. Amalgamasi Amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara mencampur bijih emas dengan merkuri (Hg). Produk yang terbentuk adalah ikatan antara emas-perak dan merkuri yang dikenal sebagai amalgam. Merkuri akan membentuk amalgam dengan semua logam kecuali besi dan platina. Amalgamasi akan efektif pada emas yang terliberasi sepenuhnya maupun sebagian pada ukuran partikel yang lebih besar dari 200 mesh (0.074 mm). Tiga bentuk utama dari amalgam adalah AuHg2, Au2Hg and Au3Hg. 1) Metode pembentukan amalgam secara umum ada 2, yaitu : a) Seluruh bijih di amalgamasi pada proses menerus: merkuri dicampur dengan seluruh bijih dalam kotak pompa, dituangkan ke dalam sluice box selama proses konsentrasi, ditambahkan dalam system penggerusan (ball mill) atau seluruh bijih di amalgamasi dalam papan tembaga. b) Amalgamasi pada konsentrasi gravitasi hanya pada proses tidak menerus: merkuri dicampur dengan konsentrat dalam pengaduk, dulang maupun drum sehingga diperlukan pemisahan amalgam dari mineral berat. Proses penggerusan dan amalgamasi dengan ball mill berlangsung selama 8 hingga 12 jam. Sedangkan pada proses manual dengan dulang berkisar antara menit. Hasil dari proses ini berupa amalgam basah (pasta) dan tailing. Amalgam basah kemudian ditampung di dalam suatu tempat yang selanjutnya didulang untuk pemisahan merkuri dengan amalgam. Terhadap amalgam yang diperoleh dari kegiatan pendulangan kemudian dilakukan kegiatan pemerasan (squeezing) dengan menggunakan kain parasut untuk memisahkan merkuri dari amalgam (filtrasi). Merkuri yang diperoleh dapat dipakai untuk proses amalgamasi selanjutnya. Jumlah merkuri yang tersisa dalam amalgan tergantung pada seberapa kuat pemerasan yang dilakukan. Amalgam dengan pemerasan manual akan mengandung % emas, dan amalgam yang disaring dengan alat sentrifugal dapat mengandung emas sampai lebih dari 80 %. Pemurnian emas dari merkuri selanjutnya dilakukan dengan pembakaran amalgam untuk menguapkan merkuri, baik dengan pembakaran langsung maupun dengan retorting. Setelah merkuri menguap yang tertinggal berupa butiran emas.

174 173 2) Amalgamasi yang baik: a) Penambahan merkuri (amalgamasi) dilakukan hanya pada konsentrat akhir yang diperoleh dari pemisahan konsentrat dari bijih melalui proses konsentrasi gravitasi. Konsentrasi gravitasi dapat dilakukan dengan pendulangan, sluice box/palong, dan peralatan konsentrasi gravitasi yang lain. b) Untuk meningkatkan efisiensi proses amalgamasi, perlu didihindari faktor-faktor berikut: (1) derajat liberasi yang buruk sehingga menyebabkan permukaan emas tidak tersingkap. (2) permukaan emas kotor. (3) merkuri tidak teraktifasi sehingga tidak dapat menangkap emas. 3) Kolam Amalgamasi a) Amalgamasi harus dilakukan di kolam tertutup dengan lapisan kedap (semen, plastik, dll) di bawahnya, dan diupayakan jauh (minimal 50 m dan beda tinggi dari muka air badan perairan umum > 2 m) dari badan perairan umum (sungai, mata air dll), saluran air, danau dan sumur penduduk. Gambar Contoh Kolam Amalgamasi b) Kolam amalgamasi ini harus diberi tanda/papan penamaan agar tidak digunakan untuk keperluan lain. 4) Penggunaan merkuri yang baik: a) Hindari kontak langsung ketika bekerja dengan merkuri, gunakanlah selalu sarung tangan. b) Simpanlah merkuri selalu dalam tempat yang tertutup rapat (bukan wadah dari aluminum). c) Selalu tambahkan air di atas cairan merkuri, kecuali pada merkuri yang sudah didaur ulang. d) Jangan sampai menumpahkan merkuri karena sangat sulit untuk membersihkannya. e) Gunakanlah merkuri sesedikit mungkin. 5) Pembakaran Amalgam/Retorting a) Selalu gunakan sistem retort yang baik. b) Jangan membakar raksa atau amalgam di dalam kamar atau ruangan tertutup, lakukanlah di luar atau di ruangan yang memiliki ventilasi yang baik. Lakukan pada bangunan khusus yang dilengkapi dengan cerobong, dengan ketinggian minimal 2 meter lebih tinggi terhadap atap bangunan.

175 174 c) Ambil posisi berlawanan dengan arah angin ketika membakar amalgam. Jangan menghirup asapnya. Jangan makan atau merokok ketika menggunakan raksa. d) Beberapa saran untuk proses retorting yang baik adalah sebagai berikut: (1) Ketika menggunakan retort untuk pertama kali, bakar seluruh bagian retort (dalam dan luar) dan dinginkan, ini akan menghilangkan minyak dan zinc (jika menggunakan baja galvanisasi). Tidak direkomendasikan untuk memakai retort baru dengan amalgam. (2) Tutupi interior untuk peleburan logam dengan lapisan tipis dari clay atau arang. (3) Tempatkan amalgam di dalam tempat peleburan (beberapa penambang membungkus dengan kertas). (4) Benamkan ujung pipa pendingin ke dalam segelas air. (5) Panasi seluruh bagian retort pada temperatur rendah selama 5 15 menit (jangan panaskan pipa pendingin). (6) Akan terlihat gelembung udara keluar dari dalam gelas melalui bagian bawah pipa pendingin. (7) Tingkatkan temperatur dan distribusikan panas keseluruh bagian retort. (8) Ketukkan pipa pendingin untuk melepaskan Hg yang mungkin berada di dalam pipa. (9) Tingkatkan temperatur dan konsentrasikan api di bawah daerah peleburan. (10) Ketika tidak ada lagi merkuri yang keluar (sekitar menit), pindahkan gelas air dan kemudian matikan api. (11) Dinginkan retort di dalam air sebelum membuka dan jangan buka retort yang masih hangat. Gambar Kegiatan Retorting

176 175 6) Penyimpanan Merkuri Meskipun merkuri memiliki titik didih 357 C, namun memiliki kemampuan untuk menguap pada temperature kamar (25 C) karena tekanan penguapannya yang rendah. Untuk menghindari penguapan : (1) Simpan merkuri pada tempat yang teduh (temperature kamar ± 25 C) dan terhindar dari cahaya matahari secara langsung. (2) Simpan dalam wadah khusus (keramik, plastik atau kaca) yang tertutup dan pastikan merkuri terendam dalam air. b. Sianidasi Ekstraksi emas dengan menggunakan sianida saat ini telah menjadi proses utama ekstraksi emas dalam skala industri. Namun demikian, penggunaan metode ini sama halnya dengan metode ekstraksi yang lain yang masih memiliki potensi dampak berupa efek beracunnya bagi pekerja dan lingkungan. Proses Sianidasi terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan dan proses pemisahan emas dari larutannya. Pelarut yang biasa digunakan dalam proses sianidasi berupa NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran ketiganya. Pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Secara umum reaksi pelarutan Au adalah sebagai berikut: 4Au + 8CN- + O2 + 2 H2O 4Au(CN)2- + 4OH-

177 176 1) Metode pelarutan emas dengan sianida, antara lain adalah : a) Metode heap leaching (pelindian tumpukan) : pelindian emas dengan cara menyiramkan larutan sianida pada tumpukan bijih emas (diameter bijih <10 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur. Air lindian yang mengalir di dasar tumpukkan yang kedap kemudian di kumpulkan untuk kemudian dilakukan proses berikutnya. Kemampuan ekstraksi emas berkisar % b) VAT leaching : pelindian emas yang dilakukan dengan cara merendam bijih emas (diameter bijih < 5 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur dengan larutan sianida pada bak kedap. Air lindian yang dihasilkan kemudian dikumpulkan untuk dilakukan proses berikutnya. Proses pelindian berlangsung antara 3 7 hari dan setelah itu tangki dikosongkan untuk pengolahan bijih yang baru. Kemampuan ekstraksi emas berkisar % c) Agitated tank leached : pelindian emas yang dilakukan dengan cara merendam bijih emas (diameter < 0.15 cm) yang sudah dicampur dengan batu kapur dengan larutan sianida pada suatu tangki dan selalu diaduk atau diaerasi dengan gelembung udara. Lamanya pengadukan biasanya selama 24 jam untuk menghasilkan pelindian yang optimal. Air lindian yang dihasilkan kemudian dikumpulkan untuk kemudian dilakukan proses berikutnya. Kemampuan ekstraksi emas dapat mencapai lebih dari 90 %. 2) Pemisahan logam emas dari larutannya, dilakukan dengan cara: a) Pengendapan dengan menggunakan serbuk Zn (Zinc precipitation/ Process Merill Crowe). Penggunaan serbuk seng (Zn) merupakan salah satu cara yang efektif untuk larutan yang mengandung konsentrasi emas kecil. Serbuk seng yang ditambahkan ke dalam larutan kaya, akan mengendapkan logam emas dan perak dalam bentuk ikatan seng emas yang berwarna hitam. Proses selanjutnya dilakukan penambahan asam sulfat pada endapan tersebut yang akan melarutkan Seng dan meninggalkan emas sebagai residunya. Untuk meningkatkan perolehan emas dari proses merill crowe dilakukan dengan cara melebur emas yang dicampur dengan borax dan siliceous fluxing agent pada temperatur 1200 ºC. b) Penyerapan dengan menggunakan karbon aktif. Penyerapan dengan menggunakan karbon aktif saat ini banyak digunakan dalam proses sianidasi pada skala industri pertambangan besar maupun pertambangan rakyat di Indonesia. Karbon aktif yang dipergunakan dapat berasal dari arang batok kelapa, maupun arang kayu yang lain dengan ukuran pallet yang dipergunakan umumnya berdiameter antara 1-2 mm. Kemampuan penyerapan emas dari arang batok kelapa ini mencapai g emas untuk setiap kg-nya, namun umumnya hanya berkisar 2 5 g emas untuk setiap kg-nya. Karbon aktif dapat digunakan pada larutan kaya yang sudah jernih melalui kolom maupun pada tangki pelindian, baik itu dengan cara menggantungkan karbon yang terletak pada kantong permeable (carbon in leach-cil) maupun dengan mencampurkan karbon aktif langsung pada bubur campuran bijih (carbon in pulp-cip).

178 177 Proses selanjutnya dilakukan pemisahan emas dari karbon yang dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1) Membakar karbon yang mengandung emas sehingga yang akan tertinggal berupa abu dan logam emas. Cara ini paling sederhana namun sulit dikontrol apabila dilakukan di tempat terbuka. Jika terdapat kandungan merkuri dalam karbon tersebut akan menghasilkan asap merkuri yang beracun yang akan membayakan penambang dan lingkungan. (2) Merendam karbon (carbon stripping) tersebut pada larutan yang mengandung 2 g sianida per liter larutan dan dipanaskan sampai mendekati temperatur didih air (80 90 ºC) pada tangki baja (stainless steel) selama paling tidak 2 hari. Larutan hasil proses ini kemudian diolah dengan proses merill crowe di atas atau dengan cara electro winning. Karbon yang masih kasar (diameter > 1 mm) dapat digunakan kembali untuk proses penyerapan sampai 5 kali. Lebih dari itu karbon perlu diaktifkan kembali dengan cara dicuci dengan asam klorat (HCl) panas (85 ºC) dan dilanjutkan dengan pemanggangan pada temperatur 700 ºC. 3) Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sianida dalam ekstraksi emas sebagai berikut : Kelebihan a. Hanya memerlukan sejumlah kecil sianida untuk mengekstrak emas, biasanya kurang dari 1 kg/ ton batuan b. Sianida akan mengekstrak emas secara lebih selektif dengan hanya mengikutkan sejumlah kecil mineral lain dalam bijih. c. Sianida dapat mengekstrak emas dalam rentang ukuran bijih dari yang kasar sampai halus. d. Proses ekstraksi dapat berlangsung cepat, pada tangki pelindian biasanya memerlukan waktu kurang dari 1 hari. e. Sianida yang tersisa dan ikut terbuang dalam tailing dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. f. Sianida secara natural di alam dapat terdegradasi, terutama karena terkena sinar ultraviolet dari matahari, dan menjadi bentuk yang lebih tidak beracun dan terutama membentuk karbondioksida dan nitrat yang tidak beracun. g. Jika dilakukan dengan baik, resiko keracunan dapat diminimalkan h. Sianida tidak bersifat akumulasi dalam hewan maupun tanaman. Kekurangan a. Sianida bersifat sangat beracun, dan pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan kematian pada ikan, burung bahkan manusia. b. Sianida akan bereaksi dengan merkuri menghasilkan ikatan kimia terlarut yang secara mudah tertransport dengan air sehingga akan menyebarkan merkuri pada area yang lebih luas. c. Ketika sianida bereaksi dengan merkuri akan mengubah merkuri menjadi bentuk ikatan yang lebih mudah masuk ke dalam makanan dan menjadi lebih berbahaya.

179 178 Gambar Contoh Diagram Pengolahan Bijih Emas Secara Sianidasi dengan C1 4) Sianidasi yang baik: (1) Dilakukan pada kondisi ph 10. (2) Setiap instalasi pengolahan harus memiliki tailing pan yang baik dengan kapasitas yang memadai guna penguraian larutan sianida yang tersisa bersama tailing. (3) Pada waktu pembuangan tailing akhir usahakan konsentrasi sianida sudah dibawah 10 ppm dan tidak boleh jatuh kebadan sungai. (4) Sianida harus disimpan dalam daerah dengan ventilasi yang cukup baik, jauhkan dari benda-benda asam, air, mudah terkorosi, dan mudah meledak. (5) Daerah penyimpanan harus dibatasi/dipagari dan dikunci untuk mencegah kecelakaan. (6) Harus berhati-hati ketika menyiapkan larutan karena resiko penguapan sianida. Tidak diperbolehkan untuk merokok, makan, dan minum selama melakukan proses sianidasi. (7) Sarung tangan plasik harus dipakai untuk menghindari kontak antara kulit dan sianida. (8) Beberapa kemampuan teknis dasar yang diperlukan untuk keberhasilan dan keamanan dalam proses sianidasi: (a) Proses perlu dikontrol melalui tes-tes yang relative mudah (misal: kertas ph) (b) Untuk melarutkan emas, ada 4 komponen yang diperlukan: air, sianida, udara (oksigen), dan alkalinity (ph tinggi). Jika salah satu dari 4 komponen tersebut hilang, proses tidak akan bekerja.

180 179 (c) Gunakan Sianida sesedikit mungkin ± 1 kg sianida per ton bijih. (d) Penambahan sianida yang berlebihan tidak akan meningkatkan jumlah emas yang diperoleh. (e) Sianida dapat bereaksi dengan unsur selain emas, seperti tembaga, besi, perak, dan merkuri. Ketika sianida bereaksi dengan zat tersebut, maka akan mengurangi sianida yang tersedia untuk melarutkan emas. Sehingga terkadang diperlukan sianida yang lebih banyak untuk melarutkan. Bijih tembaga dengan mineral seperti malachite dan azurite menyebabkan masalah besar karena mineral tersebut bereaksi dengan cepat dengan sianida. (f) Sianida bebas sangat beracun dan biasanya terserap melalui pernafasan atau kontak dengan kulit dan didistribusikan keseluruh tubuh melalui darah. Sianida menghentikan sel dalam menyerap oksigen sehingga mengakibatkan kematian yang dikarenakan terganggunya system saraf utama. (g) Hindarkan melakukan proses Sianidasi terhadap tailing hasil pengolahan secara amalgamasi. Karena sianida akan bereaksi dengan merkuri menghasilkan campuran kimia yang dapat saling melarutkan (merkuri akan menjadi bentuk yang lebih mudah masuk ke dalam rantai makanan dan menjadi lebih berbahaya). (h) Gunakan kembali air sisa pengolahan sianidasi untuk proses sianidasi berikutnya. (i) Sisa-sisa sianida pada waste (tailing) dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. Jika terekspose dengan sinar ultraviolet, sianida akan berubah menjadi bentuk yang kurang beracun dan akhirnya menjadi karbon dioksida yang tidak beracun dan nitrat. Sianida tidak terakumulasi pada binatang ataupun tumbuhan

181 180 E. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA a. Kerusakan Tanah di Lahan Kering akibat Erosi Air Tebal Tanah < 20cm 20 - < 50 cm 50 -< 100cm cm > 150cm Ambang Kritis <1> Ton/ha/tahu <2> mm/10 >0.1 n - <1 >0,2 tahun - <1,3 1 - <3 1,3 - <4 3 - <7 4,0 - < 9, ,0-12 >9 Metode Pengukuran 1. Gravimetrik 2. Pengukura n langsung Peralatan 1.Timbangan, Tabung ukur, penera debit (dischange) sungai dan peta daerah tangkapan air (catchment area) 2. Patok erosi b. Kerusakan Tanah di Lahan Kering NO PARAMET ER 1 Ketebalan 2 solum Kebatuan permukaan AMBANG KRITIS METODE PENGUKURAN PERALATAN < 20 cm pengukuran Meteran > 40 % langsung pengukuran meteran; langsung counter (line atau imbangan batu dan total) tanah dalam unit < 18 % koloid; warna pasir, tabung ukur; > 80 % pasir gravimetrik timbangan kuarsitik lilin, tabung ukur; satuan volume ring sampler, 3 Komposisi fraksi 4 Berat isi > 1,4 g/cm 3 gravimetrik pada 5 Porositas total 6 Derajat pelulusan air 7 ph (H2O) 1 : 2,5 < 30 % ; -» 70% perhitungan berat isi (Bl) dan berat jenis (BJ) < 0,7 cm/jam permeabilitas > 8,0 cm/jam timbangan piknometer, timbangan analitik < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik ring sampler; double ring permeameter ph meter; ph stick skala 0,5 > 4,0 ms/cm tahanan listrik satuan EC meter 8 Daya Hantar Listrik/DHL 9 Redoks < 200 mv tegangan listrik ph meter; elektroda platina 10 Jumlah mikroba < 10 2 cfu/g tanah plating technique cawan petri; colony counter

182 181 c. Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Basah NO PARAMETE R 1 Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 2 Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanali 3 Kedalaman air tanah dangkal 4 Redoks untuk tanah berpint 5 Redoks untuk gambut 6 PH (H 2 O) 1 : 2,5 7 Daya Hantar listrik/dhl 8 Jumlah mikroba AMBANG KRITIS >35 cm/5 tahun untuk ketebalan gambut > 3 cm atau 10% 15 tahun untuk ketebalan gambut < 3 cm < 25 cm dengan ph < 2,5 METODE pengukuran langsung reaksi oksidasi dan pengukuran langsung PERALATAN PENGUKURAN patok subsidensi cepuk plastik; H 2 O 2 ph stick skala 0,5 satuan; meteran > 25 cm pengukuran langsung Meteran >-100mV tegangan listrik ph meter; elektroda platina > 200 mv tegangan listrik ph meter; elektroda platina <4,0;>7,0 Potensiometrik ph meter; ph stick skala 0,5 satuan > 4,0 ms/cm tahanan lislrik EC meter < 10 2 cfu/g tanah plating technique cawan petri; colony counter Catatan : 1) Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku. 2) Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak beriaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam. F. KRITERIA BAKU KERUSAKAN MANGROVE Penutupan Kerapatan Kriteria (%) (Pohon/ha) Sangat Padat P 75 P 1500 Baik Sedang P 50 - < 70 P < 1500 Rusak Jarang < 50 < 1000 G. METODE PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE a. Daerah Pengukuran 1) Sempadan Pantai Mangrove : minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Pada kondisi pantai yang terdapat hamparan endapan lumpur (mudflat), digunakan batasan 100 meter dari garis pasang tertinggi. 2) Sempadan Sungai Mangrove : 50 meter ke arah kiri dan kanan dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut.

183 182 b. Metode Pengukuran Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi mangrove adalah dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot). Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang akurat. c. Mekanisme Pengukuran 1) Wilayah kajian yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone mangrove yang terdapat di wilayah kajian (Gambar.berikut); Gambar Contoh Peletakan Garis Transek yang mewakili setiap zona mangrove. 2) Pada setiap wilayah kajian ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian; 3) Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal; 4) Pada setiap zona mangrove yang berada disepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot); 5) Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3 meter (Lihat gambar berikut).

184 183 (A) Gambar (A) Penentuan lingkar batang mangrove setinggi dada. (B) Penentuan lingkar batang mangrove pada berbagai jenis batang mangrove. d. Metode Analisa 1) Penutupan: perbandingan antara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluru RCi = (C i / C) /x 100 Ci = BA/A dimana, BA = DBH 2 /4 (dalam cm 2 ), = (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon dari jenis I, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/ (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada. 2) Kerapatan : perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah (B) Rdi= (ni/ n) x 100 H. KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN TINGKAT KERUSAKAN LUAS AREA KERUSAKAN (%) Tinggi > 50 Sedang 30 49,9 Rendah < 29,9 I. STATUS PADANG LAMUN KONDISI PENUTUPAN (%) Baik Kaya Sehat > 60 Rusak Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 59,9 Miskin < 29,9

185 184 J. PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN 1. Metode Pengukuran Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. 2. Mekanisme Pengukuran a. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi padang lamun harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone padang lamun yang terdapat di wilayah kajian b. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. c. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah darat ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal. d. Pada setiap transek garis, letakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 1 m x 1 m dengan interval 15 m untuk padang lamun kawasan tunggal (homogenous) dan interval 5 m untuk kawasan majemuk. e. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan lamun yang ada dan hitung jumlah individu setiap jenis. 3. Analisa Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe. Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut: a. Petak contoh yang digunakan untuk pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm (Gambar berikut). Gambar Petak Contoh untuk pengambilan contoh

186 185 b. Dicatat banyaknya masing-masing jenis pada tiap sub petak dan dimasukkan kedalam kelas kehadiran berdasarkan tabel berikut: c. Adapun penghitungan penutupan jenis lamun tertentu pada masing-masing petak dilakukan dengan menggunakan rumus : dimana, C = presentase penutupan jenis lamun i, Mi adalah presentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i, dan f adalah banyaknya sub petak dimana kelas kehadiran jenis lamun i sama. d. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia (Dimodifikasi dari Den Hartog 1970 dan Phillips & Menez 1988) 1. Daun pipih Daun berbentuk silindris (Syringodium isoetifolium) seperti pada Gambar Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali (Halophila) a. Panjang helaian daun mm, mempunyai pasang tulang daun (Halophila ovalis) seperti pada Gambar 2. b. Daun dengan 4-7 pasang tulang daun c. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang (Halophila spinulosa) seperti pada Gambar 3. c1. Panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan pendek (Halophila minor) seperti pada Gambar 4. c2. Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji (Halophila decipiens) seperti pada Gambar 5. c3. Daun membujur seperti garis, biasanya panjang mm 3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah a. Tidak seperti diatas 4. Tulang daun tidak lebih dari 3 (Halodule) a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji (Halodule pinifolia) seperti pada Gambar 6. b. Ujung daun seperti trisula (Halodule uninervis) seperti pada Gambar 7. c. Tulang daun lebih dari 3 5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm ujung daun seperti gigi (Thalassodendron ciliatum) seperti pada Gambar Tidak seperti diatas (Cymodocea)

187 186 a. Ujung daun halus licin, tulang daun 9-15 (Cymodocea rotundata) seperti pada Gambar 9. b. Ujung daun seperti gergaji, tulang daun (Cymodocea serrulata) seperti pada Gambar Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku; panjang daun mm, lebar daun 4-10 mm (Thalassia hemprichii) seperti pada Gambar Rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku; panjang daun mm, lebar mm (Enhalus acoroides) seperti pada Gambar 12. Gambar 1. Syringodium iseotifolium Gambar.2.Halophila ovalis

188 187 Gambar.3.Halophila spinulosa Gambar.4. Halophila minor

189 188 Gambar.5. Halophila decipiens Gambar.6. Halodule pinifolia

190 189 Gambar.7. Halodule uninervis Gambar.8. Thalassodendron ciliatum

191 190 Gambar.9. Cymodocea rotundata Gambar.10. Cymodocea serrulata

192 191 Gambar.11. Thalassia hemprichii Gambar.12. Enhalus acoroides

193 192 K. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG PARAMETER Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup Keterangan : KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG (dalam %) Rusak Buruk 0-24,9 Sedang 25-49,9 Baik Baik 50-74,9 Baik sekali Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang: % L. PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN KARANG a. Pemilihan Tapak 1) Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada lereng terumbu (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk pemilihan tempat (Gambar 1). Gambar 1: Metoda Manta Towing 2) Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi. 3) Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih. 4) Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung. b. Pedoman Umum 1) Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang 50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang berdekatan minimal adalah 10 meter. 2) Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter dibawah tonjolan terumbu karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2

194 193 3) atau 6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah. Gambar 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang. 4) Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan. Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data di semua tempat selama pengamatan berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman. 5) Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggungjawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan. 6) Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna) setiap 50 meter transek yang telah dipasang. 7) Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggungjawab terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan meteran tersebut pada masingmasing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan mengulur meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50 meter. (catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat diperpendek dan perubahan tersebut harus dicatat). 8) Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabangcabang karang, tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan. Catatan 1 : apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil pengamatan disebut kategori air; Catatan 2 : bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu) hari, maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman; Catatan 3 : Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter). Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau menggunakan GPS. c. Pencatatan Data 1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet dan ini harus dilakukan bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut.

195 Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek. Gambar 3 : Pencatatan Data Tabel : Lembar Pengumpulan Data Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus memperhatikan dan mencatat langsung setiap titik dimana tali meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan, harus dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4).

196 195 Gambar 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c

197 196

198 197

199 198 Tabel : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/Keterangan Hard Corai (Karang keras) Dead Coral (Karang Mati) DC Terlihat baru saja mati, berwarna putih sampai putih kotor Dead Coral with Algae (Karang mati tertutup ganggang) DCA Karang ini masih berdiri tegak dan utuh, tetapi sudah tidak berwarna putih lagi karena ditumbuhi atau tertutup oleh ganggang * Acropora - Branchina (bercabang) - Encrusting (pipih/merayap) ACB Paling sedikit mempunyai percabangan ke-2, misalnya : Acropora grandis; Acropora formosa ACE dll Siasanya tapisan dassrnya (piringsnnys) dari bentuk-benfuk acropora yang belum devvasa, misalnya Acropora palifera; Acropora cuneata, - Submassive (bercabang pendek Montipera. ACS Bulat panjang dengan penampakan seperti dan gemuk) - Digitate (menjari) tombol atau padat terdapat tonjolan, misalnya: ACD Acropora Dengan dua palifera percabangan seperti jari tangan, tipe ini termasuk Acropora humulis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera. - Tabulate (meja) ACT Meja atau berupa lembaran datar horisontal, * Non-Acropora - Branching CB tampak seperti meja, misalnya : Acropora hyacinthus. Paling sedikit mempunyai percabangan ke-2, (bercabang) misalnya : Seriatopora hystrix - Encrusting CE Sebagian besar menempel pada substratum seperti piringan yang beralis, misalnya : Porites vaughani, Moantipora undata. - Foiiose (daun) CF Karang menempel pada suatu tempat/titik atau lebih, nampak seperti helaian daun, misalnya : Marulina ampliata, Montipora aequituberculata. - Massive (pejal/padat) CM Tampak seperti batu besar / tempurung / gundukan tanah, misalnya Platygyra daedalea. - Submassive ( tombol yang menempel ) CS Tampak seperti tiang-tinng kecil, kancing atau irisan-irisan, misalnya Porites lichen, Psammocora digitata. - Mushroom (jamur) CMR Menyendiri atau soliter, karang yang hidup bebas, tampak seperti payung/jamur (fungi). - Millepora CME Karang api: berbulu lembut, berwarna: kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih bercabang atau pipih semi pejal. - Heliopora CHL Karang biru : berbentuk semi pejal atau pipih semi pejal; jika dipatahkan ada warna biru pada kerangka kapurnya; berwarna; abu-abu kehijauan dengan polip pucat.

200 86 Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/Keterangan Other Fauna : (Fauna lainnya) Soft Coral (karang lunak) SC Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, Karang "berbadan tergantung lunak", terlihat pada seperti pengetahuan Spone (Spon) SP pohon. Karang lembut berbentuk tabung / tubuh seperti spon. Zoanthids Zo Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, bias; hidup sendiri/berkoloni atau seporti hewaihewan kecil menempei pada substratum, misalnya : Platyhea, Protoplayhoa. Other (lain-lain) OT Fauna yang tidak separii sebelumnya, seperti Ascidans, Anemos, Gcrgonias. Algae (ganggang) AA Terdiri lebih dari satu jenis spesies / algae yang - Algae assemblage (kumpulan sulit dipisahkan. ganggang) - Co alline algae (ganggang berkapur) CA Semua jenis ganggang yang dinding tubuhnya terbuat dari bahan kapur. - Halimenda HA Ganggang dari maiga (genus) halirneda. Ganggang berukur&n besar. - Macroalgae (ganggang besar) WV Semacam rumput liar dan "berdaging", berwarna coklat, murah dan semc\csmnya. - Turf - algae (ganggang lembut) Abiotic ( Benda mati ) TA Ganggang halus berspiral lebat, seringk3l: ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan damsel (damsel fish) atau ditemukan di kerangka karang yang baru (beberapa buian mati. - Sand (pasir) S Pasir - Rubble (patahan/pecahan) - Siit (Lumpur) R SI Bagian-bagian / kepingan-kepingar, karang yang tercerai berai (pecahan karang yang sudah mati). Lumpur, pasir bercampur lumpur. - Water (Air) WA Belahan-helijhan /colah yang sempit (jarak antara dua obyek) yang dalarr.nya Isbih dan 50 cm. - Rock (Bebatuan) RCK Pengerasan karang termasuk batu besar dar kapur, granit dan batu-batuan vulkanik.

201 87 d. Analisa Data Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan. - Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan: Panjang Total Setiap Kategori Angka (persentase) = X 100% tutupan Panjang Total Transek - Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan : Panjang Total Seluruh Kategori Terumbu Karang Hidup Angka (persentase) = X 100% Tutupan Panjang Total Transek M. KRITERIA STATUS EKOSISTEM DANAU 1. Kriteria Status Ekosistem Akuatik Danau atau Waduk Parameter Danau STATUS EKOSISTEM DANAU Baik Terancam Rusak Ekosistem Akuatik Status Trofik Oligotof-Mesotrof Eutrof Hypereutrof Status Mutu Air Tidak tercemar Tercemar sedang Tercemar berat Masih terdapat Berkurangnya jenis Hilangnya jenis Keanekaragaman jenis fauna/flora fauna/flora fauna/flora endemic Hayati endemik dan asli endemik dana asli dan asli; banyak dan asli ditemukan jenis (indigenaus) introduksi/ invasive. Tingkat trofik Tingkat trofik tidak Tidak terjadi tingkat Jejaring Makan (food web) seimbang, (produsen, primer/ skunder, consumer/tersier) seimbang trofik Tutupan Tumbuhan Air Alga/Ganggang biru (Microcystis) Limbah Pakan Perikanan Budidaya Terkendali tidak Kurang terkendali Menyebar tidak menyebar dan tidak dan mengganggu terkendali sangan mengganggu fungsi fungsi danau mengganggu fungsi danau danau Sedikit Sedang Marak (blooming) Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan sesuai dengan daya tampung danau dan perizinan Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan melebihi daya tampung danau akan tetapi memenuhi perizinan. Kegiatan budidaya dan pemakaian pakan tidak terkendali, tidak memenuhi perizinan dan tidak memnuhi daya tampung danau.

202 88 2. Kriteria Status Ekosistem Sempadan Danau atau Waduk STATUS EKOSISTEM DANAU Parameter Danau Baik Terancam Rusak Ekosistem Sempadan Sempadan Danau Tidak adan Mulai ada sedikit Banyak bangunan Sempada Pasang- Surut Pembuangan Limbah bangunan a) Tidak ada bangunan b) Tidak ada pengolahan lahan, dan tidak ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan Tidak ada pembuangan limbah Pemanfaatan Air Dana Tidak mengubah Pemanfaatan Tenaga karakteristik pasang surut muka Air PLTA air dan tidak mengganggu ekosistim akuatik Pengambilan Air Baku Tidak mengubah karakteristik pasang surut muka air dan tidak mengganggu ekosistim akuatik bangunan Ada pengelolahan lahan untuk perkebunan dan sawah serta pemupukan Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau. Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik. a) Ada bangunan b) Ada pengolahan lahan, dan tidak ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau. Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan mengganggu ekosistem akuatik. Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastic dan mengganggu ekosistem akuatik

203 89 3. Kriteria Status Ekosistem Terestrial pada Daerah Tangkapan Air Danau atau Waduk. STATUS EKOSISTEM DANAU Parameter Danau Baik Terancam Rusak Ekosistem Terestrial Daerah Tangkapan Air Penutupan > 75% 30-75% < 30% Vegetasi pada lahan DTA *) < > 120 Koefisien regim sungan (Q max /Q min ) masuk danau Erosi Lahan Data Dampak pendakalan danau Pembuangan Limbah Tingkat erosi masih dibawah batas toleransi erosi Tidak terjadi pendangkalan Ada pembuangan limbah, dan ada system pengendalian pencemaran air, serta sesuai dengan daya tampung pencemaran air danau. Tingkat erosi masih menyamai batas toleransi erosi Pendangkalan ratarata pertahun < 2% dari kedalaman danau. Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau Tingkat erosi telah melebihi batas toleransi erosi a) Pendangkalan ratarata pertahun > 2% dari kedalaman danau. b) Pendangkalan menyebabkan ekosistem tipe danaun sangat dangkal berubah menjadi ekosistem rawa. Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau.

204 90 N. METODE PENENTUAN STATUS MUTU EKOSISTEM DANAU Landasan teknis pengelolaan ekosistem danau adalah pencapaian status mutunya sama dengan atau lebih baik dari Baku Mutu Ekosistem Danau (BMED), yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang diinginkan atau berdasarkan penetapan peraturan perundangan. Sedangkan tahapan pengelolaannya berdasarkan Status Mutu Ekosistem Danau (SMED) yang sebenarnya pada saat ini dan akan dipulihkan untuk mencapai BMED yang telah ditetapkan, sebagai tolok ukur keberhasilannya. SMED yang ditetapkan berdasarkan beberapa aspek yang ditetapkan pada BMED, yaitu: a) Kriteria Baku Kerusakan Danau b) Baku Mutu Air Danau dan Penilaian Status Mutunya c) Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Sasaran atau daerah pengelolaannya adalah sebagai berikut : a) Ekosistem akuatik perairan danau b) Ekosistem lahan daerah sempadan dan lahan sempadan danau c) Ekosistem terestrial yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA) danau d) Pemanfaatan sumber daya air danau Lingkup dan intensitas pengelolaan pada setiap daerah sasaran pengelolaan tersebut sangat tergantung kepada status mutu danau pada saat ini, yaitu: a) Baik b) Terancam dan c) Rusak 1. KRITERIA STATUS EKOSISTEM AKUATIK Untuk menentukan status ekosistem akuatik (baik, terancam dan rusak) perlu ditetapkan terlebih dahulu kelas air dan baku mutu air danau, penentuan status mutu air serta penentuan status trofik danau. Adapun parameter lainnya adalah keanekaragaman hayati, jejaring makanan, tutupan tumbuhan air, alga/ganggang biru (Microcystis) dan limbah pakan perikanan budidaya Kelas Air dan Baku Mutu Air Kelas air danau yaitu terdiri dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 4 yaitu sesuai dengan Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Kualitas air danau dangkal tidak banyak berbeda dari permukaan sampai kedalaman mendekati dasar danau, akan tetapi danau dalam memiliki kualitas yang bebeda dan makin kedasar makin memburuk. Oleh karena itu penentuan status kelas air dan baku mutu air danau berbeda dengan air sungai, yaitu sebagai berikut: Danau sangat dangkal yang memiliki kedalaman kurang dari 10 m : penentuan satu baku mutu air untuk semua kedalaman danau. Danau dangkal yang memiliki kedalaman m : penentuan dua baku mutu air untuk lapisan epilimnion dan hypolimnion. Danau medium, dalam dan sangat dalam : penentuan tiga kelas air, yaitu satu baku mutu air pada lapisan epilimnion dan dua baku mutu air (dua lapisan) pada hypolimnion bagian tengah danau dan bawah danau (2 m diatas dasar danau).

205 Status Mutu Air Penentuan status mutu air danau dan waduk dilakukan dengan Metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran seperti yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Penilaian kadar parameter kualitas air mengacu kepada Baku Mutu Air (BMA) yang berlaku untuk danau, atau menggunakan Kelas Air bila BMA belum ditetapkan. Ada perbedaan dengan cara penentuan status mutu air sungai, yaitu perlu disebutkan selain lokasinya (koordinatnya), perlu pula dicatat kedalaman sampel kualitas air danau yang dinilai. Jumlah data pemantauan air juga harus mewakili kondisi musim hujan dan musim kemarau. Parameter danau dan kegiatan yang dinilai adalah: - Kelas Kualitas Air, yang menunjukkan tingkat pencemaran air. - Keanekaragaman hayati, yang menunjukkan keaneka ragaman biota air serta ikan endemik. - Jejaring makan (food web), yang menunjukkan struktur rangkaian makanan secara alami untuk mendukung kehidupan biota air. - Tutupan Tumbuhan Air, baik yang berfungsi untuk menunjang kehidupan biota akuatik maupun yang bersifat gulma menganggu ekosistem dan pemanfaatan air danau. - Alga/ganggang biru (Microcystis), yaitu jenis alga yang menganggu kelestarian dan kualitas air danau serta mengganggu kehidupan ikan. - Limbah pakan perikanan budidaya KJA, mengandung unsur organik dan unsur hara yang berpotensi mencemari air dan menimbulkan proses eutrofikasi Status Trofik Status trofik menunjukkan dampak adanya beban limbah unsur hara yang masuk air danau. Cara penentuan status trofik danau dapat dipilih menurut tiga metode, seperti berikut: Metode UNEP-ILEC Status Trofik Kadar Ratarata Total N (ug/l) Kadar Rata-rata Total P (ug/l) Kadar Ratarata Khlorofil-a (ug/l) Kecerahan Rata-rata (m) Oligotrofik < 650 < 10 < 2,0 > 10 Mesotrofik < 750 < 30 < 5,0 > 4 Eutrofik < 1900 < 100 < 15 > 2,5 Hiperetrofik > 1900 > 100 > 200 < 2,5 Metode Indeks Status Trofik Carlson Klasifikasi Status Keterangan Trofik < 30 Ultraoligotrof Air jernih, kadar unsure hara sangat rendah Oligotrof Air jernih, kadar unsure hara sedang Mesotrof Kecerahan air sedang, kadar unsure hara sedang Eutrof ringan Penurunan kecerahan air, kadar unsure hara meningkat Eutrof sedang Marak alga (microcystis) kandungan unsure hara tinggi Eutrof Berat Marak alga dan pertumbuhan gulma air seceara cepat, kandungan unsure hara tinggi > 80 Hipereutrof Marak alga, keadaan perairan dalam kondisi anoxia yang menyebabkan kematian ikan secara massal, kadar unsure hara amat sangat tinggi

206 92 Rumus Perhitungan Indeks Status Trofik Carlson Trophic Status Indeks (TSI) Carlson s (1977): TSI-TP = 14,42 x Ln [TP] + 4,15 (ug/l) TSI-Klorofil a = 30,6 +(9,81 x Ln [klorofil a] (ug/l) TSI-SD = 60 (14,41 x Ln [Secchi] (meter) Keterangan: TSI-TP = Trofik Status Indeks Untuk Total Phosphor TSI-Klorofil a = Nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil a TSI-SD = Nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman Secchi Disk Rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Comwell (1991): Log (klorofl a) = 1,09 + 1,46 Log TP Keterangan: Klorofil a = Konsentrasi klorofil a (ug/l) TP = Total Phosphor (ug/l) Kondisi kualitas air danau dan waduk diklasifikasikan berdasarkan status proses eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Phosphor (P) dan Nitrogen (N). Pada umumnya rata-rata tumbuhan air mengandung Nitrogen dan Phosphor masing-masing 0,7% dan 0,09% dari berat basah. Phosphor membatasi proses eutrofikasi jika kadar Nitrogen lebih dari delapan kali kadar Phosphor, sementara Nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadari Phosphor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Klorofil-a adalah pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil-a tersebut mengindikasikan kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa. Eutrofikasi yang disebabkan oleh proses peningkatan kadar unsur hara terutama parameter Nitrogen dan Phosphor pada air danau dan waduk. Proses tersebut diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik kualitas air danau dan waduk berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya yaitu: 1) Oligotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Phosphor. 2) Mesotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. 3) Eutrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. 4) Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. Tingkat kesuburan perairan danau dan waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan Indeks Status Trofik atau Tropik Status Index

207 93 (TSI) yaitu: total Phosphor, klorofil-a, dan kecerahan menggunakan pengukuran cakram sechi. Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa Phosphor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut yang ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a, akibat lebih lanjut dengan adanya kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya cahaya yang masuk kedalam kolom perairan danau yang ditandai dengan makin pendeknya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Phosphor (TP) dengan konsentrasi klorofil-a ada korelasi positip seperti ditunjukkan dalam rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Cornwell (1991). 2. KRITERIA STATUS EKOSISTEM SEMPADAN 2.1.Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Daya tampung beban pencemaran air adalah batas kemampuannya untuk menerima masukan beban pencemaran yang tidak melebihi batas syarat kualitas air untuk berbagai pemanfaatannya atau memenuhi baku mutu airnya. Khususnya sumber daya air danau, pengertian daya tampung tersebut lebih spesifik yaitu kemampuan perairan danau menampung beban pencemaran air sehingga kualitas air tetap memenuhi syarat atau baku mutu serta sesuai dengan status trofik yang disyaratkan. Persyaratan kualitas air untuk berbagai pemanfaatan air danau atau baku mutunya terdiri dari syarat kadar kualitas air fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan status trofik air danau terutama terdiri dari syarat kecerahan air, kadar unsur hara Nitrogen dan Phosphor serta kadar Klorofil-a. Oleh karena itu perhitungan daya tampung perairan danau perlu memperhatikan sumber dan beban pencemaran air dan dampaknya terhadap pemanfaatan air serta kesinambungan fungsi danau. Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau tercantum pada Rumus Umum Penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Dan Waduk. 2.2.Alokasi Beban Pencemaran Air Danau dan waduk sebagai sumberdaya air yang memiliki berbagai pemanfaatan, juga berfungsi sebagai penampung air dari daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu berbagai unsur pencemaran air dari DTA dan DAS serta sempadan danau dan waduk terbawa masuk kedalam perairannya. Pada daerah tersebut terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara langsung dan tidak langsung ke danau dan waduk, antara lain limbah penduduk, pertanian, peternakan, serta industri dan pertambangan. Demikian juga erosi DAS merupakan sumber pencemaran air dan pendangkalan danau (Gambar 5.1) Beban pencemaran dari berbagai sektor pada DTA dan DAS akan meningkat terus sesuai dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu jumlah beban pencemaran yang masuk perairan danau dan waduk termasuk limbah pakan ikan dari budidaya ikan (KJA) perlu ditentukan alokasinya dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi serta konservasi sumberdaya air jangka panjang. Penentuan alokasi tersebut memerlukan kajian pada daerah setempat serta kebijaksanaan pemerintah daerah mengenai sumber dan beban pencemaran serta tingkat pengendaliannya yang ditargetkan. Sasaran pengendalian

208 94 pencemaran air pada berbagai sektor kegiatan perlu ditentukan alokasi beban pencemarannya, agar memenuhi daya tampung danau dan waduk terhadap beban pencemaran untuk memenuhi status mutu air yang diinginkan. Penentuan alokasi beban pencemaran dan daya tampungnya pada danau dan waduk perlu memperhatikan syarat pemanfaatan air dan kelestarian air danau dan waduk tersebut. 2.3.Daya Tampung Beban Pencemaran Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung Mengingat pada saat ini beban pencemaran air beberapa danau dan waduk telah meningkat oleh perkembangan budidaya perikanan keramba jaring apung (KJA), maka pada pedoman ini secara khusus' menguraikan cara perhitungan daya tampung beban pencemaran air limbah budi daya perikanan. Namun demikian rumus perhitungan ini memperhitungkan juga adanya beban pencemaran dari sumber lain, antara lain limbah penduduk, industri dan pertambangan, serta pertanian dan peternakan, yang secara langsung maupun tidak langsung memasuki perairan danau yaitu beban pencemaran air dari DAS dan DTA. Intensitas kegiatan atau jumlah produksi budidaya perikanan tergantung kepada daya tampung perairan danau. Sedangkan daya tampung perairan danau sangat tergantung kepada morfologi dan hidrologinya serta status trofik dan status kualitas airnya. Pakan ikan dan limbah budidaya ikan KJA terdiri dari berbagai unsur pencemaran air, sehingga kajian beban pencemarannya dan perhitungan daya tampungnya berdasarkan jenis unsur penecemaran akibat limbah budidaya ikan tersebut, seperti halnya perhitungan beban pencemaran dari sumber limbah lainnya. Namun demikian perhitungan daya tampung beban pencemaran limbah pakan ikan disederhanakan dengan memilih parameter indikator tingkat trofik danau. Parameter beban pencemaran limbah perikanan yang dipilih atau parameter indikator adalah total Phosphor (total- P), mengingat dasar perhitungannya adalah status trofik danau. Rumus perhitungan yang digunakan adalah Kotak 15.

209 95 Gambar 1. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk

210 96 Gambar 2. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk Untuk Limbah Budidaya Perikanan

211 97 Rumus perhitungan Daya Tampung Danau Dan Waduk Untuk Budidaya Perikanan menunjukkan contoh perhitungan daya tampung berbagai tipe danau terhadap beban pencemaran air, dan daya dukungnya terhadap budidaya perikanan KJA. Pemanfaatan danau adalah serbaguna untuk air baku, PLTA, irigasi pertanian, pengendalian banjir dan pariwisata. Selain itu danau juga menampung limbah penduduk, peternakan, pertanian, serta industri dan pertambangan dari DAS, DTA dan sempadan yang membuang limbah unsur Phosphor (P). Contoh hasil perhitungannya seperti tercantum pada tabel berikut:... Penjelasan dari tabel di atas adalah sebagai berikut: a) Contoh a adalah danau yang hanya dimanfaatkan untuk budidaya perikanan dan pertanian dan tidak menampung limbah daerah tangkapan air, sehingga mempunyai toleransi yang tinggi terhadap unsur P, sehingga mempunyai daya dukung yang tinggi bagi budi daya ikan. b) Contoh b adalah danau serbaguna dan menampung limbah perkotaan, peternakan dan pertanian pada daerah tangkapan air, sehingga daya dukungnya bagi budidaya perikanan rendah.

212 98 c) Contoh c sama dengan danau pada Contoh b namun telah marak dengan budidaya perikanan yang melebihi daya tampung danau, sehingga produksinya harus dikurangi. Parameter danau dan kegiatan manusia pada sempadan tersebut yang dinilai adalah : o Sempadan Danau o Sempadan Pasang-Surut o Pembuangan Limbah 3. KRITERIA STATUS EKOSISTEM TRESTRIAL PADA DAERAH TANGKAPAN AIR Kondisi danau dan keberhasilan pengelolaan sangat bergantung juga pada kondisi dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) atau daerah tangkapan air (DTA). Terdapat berbagai sebab kerusakan DAS atau DTA dan dampak negatif yang ditimbulkannya, namun sebagai indikator yang berdampak langsung kepada ekosistem danau adalah luas penutupan vegetasi dan tingkat erosi yang disebabkan oleh penggunaan lahan dan pengolahannya antara lain; pengolahan lahan pertanian, perkebunana dan pemukiman. Apabila kondisinya baik, maka debit air yang masuk danau akan terkendali dengan baik secara alamiah, yaitu DAS dan DTA mampu menyimpan air diwaktu musim hujan dan tetap mengalirkan air selama musim kemarau. Selain itu juga tingkat sedimentasi danau akan rendah karena rendahnya tingkat erosi. Indikator kondisi dan pengaruh ekosistem terstrial pada daerah tangkapan air tersebut adalah sebagai berikut: b) Penutupan vegetasi pada lahan daerah tangkapan air (DTA) adalah luas lahan vegetasi dibagi luas lahan DAS atau DTA. Kondisi yang baik adalah apabila c) nilainya lebih besar dari 75%, dan mulai terancam nilainya 30-75%, sedangkan kondisi rusak apabila nilainya < 30%. Pada danau vulkanik perhitungan luas vegetasi tersebut dikoreksi, yaitu luas DTA terlebih dulu dikurangi dengan luas lahan yang tidak dapat ditanami karena memiliki karakteristik solum tanah yang dangkal. d) Fluktuasi debit air antara debit maksimal pada musim hujan dan debit minimal pada musim kemarau, yang dinyatakan dengan nilai koefisien regim sungai, yaitu RS = Q max /Q min. Kondisi baik apabila KRS < 50; terancam apabila nilainya ; rusak apabila nilainya >120. e) Erosi lahan DAS dan DTA: tingkat erosi baik apabila laju erosi masih di bawah batas toleransi erosi, terncam bila menyamai batas toleransi erosi dan rusak apabila melebih batas toleransi erosi. Batas toleransi erosi untuk berbagai jenis lahan mengacu kepada peraturan pada pedoman yang berlaku. f) PENDANGKALAN danau : kondisi danau adalah baik apabila tidak terjadi pendakalan, terancam apabila pendakngkalan rata-rata pertahun mencapai <2% dari kedalaman danau, rusak apabila > 2% dari kedalaman danau. g) Pembuangan limbah: kondisi danau adalah baik apabila tidak ada pembuangan limbah atau ada pembuangan limbah akan tetapi ada sistem pengendalian pencemaran air serta sesuai dengan daya tampung beban pencemaran air danau; terancam apabila tidak system pengendalian pencemaran air akan tetapi tidak melalui daya tampung beban pencemaran air danau; rusak apabila melampaui daya tampung beban pencemaran air danau.

213 99 Parameter danau dan kegiatan manusia pada daerah tangkapan air yang dinilai adalah: o Fungsi hidrologi Daerah Tangkapan Air (DTA) o Erosi dan pelumpuran Daerah Tangkapan Air (DTA) o Pembuangan limbah O. KRITERIA DAN STANDAR KINERJA DAERAH ALIRAN SUNGAI Kriteria dan standar kinerja Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu ditentukan untuk mengetahui status kondisi kesehatan DAS yang dapat mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan kegiatan pengelolaan DAS dalam kurun waktu tertentu. Perlu ditekankan bahwa kriteria yang digunakan harus didekati dengan indikator yang obyektif dan bersifat sederhana, cukup praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan mudah dipahami sehingga bisa ditentukan standar evaluasinya. Penetapan kriteria, standar dan indikator kinerja DAS diupayakan agar relevan dengan prinsip dan tujuan pengelolaan DAS terpadu dimana di dalamnya ditekankan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dimana terdapat keterkaitan yang kuat antar aktivitas hulu-hilir dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS yaitu untuk mewujudkan kondisi tata air yang optimal, lahan yang produktif sesuai daya dukungnya (carrying capacity) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Penjelasan selanjutnya akan menyangkut kriteria, indikator dan standar kinerja DAS secara garis besar dan kualitatif yang meliputi kriteria pokok penggunaan lahan, tata air, sosial ekonomi dan kelembagaan. 1. Penggunaan Lahan DAS Kriteria penggunaan lahan DAS ditujukan untuk mengetahui perubahan kondisi lahan yang sedang terjadi serta dampaknya pada degradasi DAS. Evaluasi penggunaan lahan DAS dapat dilakukan dengan mengukur beberapa indikator antara lain penutupan lahan oleh vegetasi, kesesuaian penggunaan lahan, indeks erosi atau pengelolaan lahan dan kerawanan tanah longsor. Indikator penutupan lahan oleh vegetasi suatu DAS mencerminkan seberapa luas bagian DAS yang ditumbuhi vegetasi pohon-pohonan atau tanaman tahunan. Standar evaluasi penutupan lahan DAS oleh vegetasi permanen adalah semakin tinggi luas penutupan lahan bervegetasi permanen di DAS, maka semakin baik dalam mengurangi erosi, sedimentasi dan aliran permukaan sehingga akan berkontribusi positif kepada peningkatan kinerja DAS. Sebaliknya semakin kecil luas penutupan vegetasi permanen di suatu DAS, maka semakin tinggi potensi erosi, sedimentasi dan aliran permukaan yang ditimbulkannya sehingga fluktuasi debit maksimum dan debit minimum akan semakin besar, yang berarti DAS menjadi kurang sehat. Indikator kesesuaian penggunaan lahan DAS ditujukan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan/atau zona kelas kemampuan lahan yang ada di DAS. Standar evaluasi indikator kesesuaian penggunaan lahan dalam DAS adalah semakin tinggi kesesuaian penggunaan lahan di DAS, maka semakin baik kinerja DAS tersebut dan sebaliknya semakin kecil kesesuaian penggunaan di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin tidak sehat karena lahan yang diusahakan tidak sesuai dengan peruntukan atau arahannya akan mengandung resiko kerusakan/degradasi ekosistem DAS. Indikator indeks erosi pada DAS adalah perbandingan antara besarnya erosi aktual (ton/ha/tahun) terhadap nilai batas erosi yang bisa ditoleransi (ton/ha/tahun) di DAS. Semakin tinggi nilai indeks erosi di DAS, maka semakin jelek kinerja DAS tersebut dan sebaliknya semakin kecil indeks erosi

214 100 di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin sehat. Erosi yang lebih tinggi dari yang ditoleransi (nilai indeks erosi > 1) akan menurunkan kesuburan tanah, penurunan produktivitas lahan yang dalam jangka panjang akan menyebabkan lahan kritis. Dari segi indikator hidrologi, erosi yang berlebihan akan menyebabkan sedimentasi di waduk/danau atau saluran air (drainase) yang akhirnya mengurangi daya tampungnya. Indikator pengelolaan lahan ditujukan untuk mengetahui tingkat pengelolaan lahan di DAS yang merupakan fungsi dari faktor penutupan lahan oleh vegetasi dengan faktor praktek konservasi tanah. Tingkat pengelolaan lahan ini mempengaruhi terhadap potensi terjadinya erosi tanah, aliran permukaan dan infiltrasi air ke dalam tanah. Nilai pengelolaan lahan merupakan perkalian faktor penutupan lahan (vegetasi) dengan faktor praktek konservasi tanah dan air. Variasi nilai pengelolaan lahan berkisar antara 0-1. Nilai pengelolaan lahan yang semakin kecil di dalam DAS, maka kinerja DAS semakin baik dan sebaliknya semakin besar nilai pengelolaan lahan di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin tidak sehat karena infiltrasi air ke dalam tanah menurun, tetapi limpasan permukaan (runoff) dan erosi tanah akan semakin besar, sehingga potensi banjir, sedimentasi dan kekeringan semakin besar. 2. Tata Air Indikator-indikator yang berkaitan dengan tata air DAS adalah koefisien regim sungai, indeks penggunaan air, koefisien limpasan, laju sedimentasi dan kandungan pencemar. Koefisien regim sungai adalah perbandingan debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Standar evaluasi indikator koefisien regim sungai adalah semakin kecil nilai koefisien regim sungai dalam suatu DAS, maka semakin baik kinerja tata air dalam suatu DAS yang mengalir dalam suatu aliran sungai. Sebaliknya, semakin besar nilai koefisien regim sungai dalam suatu DAS, maka semakin jelek kinerja tata air dalam suatu DAS yang dicirikan dengan kejadian banjir. Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Disamping itu juga terdapat banjir bandang yang pada dasarnya adalah banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan bendabenda besar seperti kayu dan sebagainya. Dengan demikian banjir harus dilihat dari besarnya pasokan air banjir yang berasal dari air hujan yang jatuh dan diproses oleh daerah tangkapan airnya (catchment area), serta kapasitas tampung palung sungai dalam mengalirkan pasokan air tersebut. Perubahan penutupan lahan di DAS dari hutan ke lahan terbuka atau pemukiman, menyebabkan air hujan yang jatuh diatasnya secara nyata meningkatkan jumlah aliran pemukaan (runoff) yang selanjutnya bisa memicu terjadinya banjir di hilir. Indikator indeks penggunaan air ditujukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan/penggunaan lahan di DAS, misal untuk tanaman, rumah tangga, industri, dan lain-lain dibandingkan dengan persediaan air di DAS yang bersangkutan. Standar evaluasi indikator indeks penggunaan air adalah semakin kecil (< 1), maka semakin baik kinerja tata air dalam suatu DAS yang berarti bahwa persediaan air di DAS masih bisa memenuhi kebutuhan/permintaan air yang ada. Sebaliknya indeks penggunaan

215 101 air yang besar menunjukkan kondisi tata air yang jelek dalam suatu DAS karena air di DAS tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dan terjadi potensi kekeringan. Kekeringan adalah suatu keadaan di mana curah hujannya lebih rendah dari biasanya/normalnya. Klasifikasi kekeringan biasanya ditunjukkan dengan jumlah curah hujan yang akan mempunyai nilai impasnya dengan laju evapotranspirasi rata-rata bulanan. Semakin sering terjadi kekeringan dalam suatu DAS, maka semakin buruk kinerja DAS tersebut. Indikator koefisien limpasan merupakan salah satu indikator di dalam kriteria tata air. Koefisien limpasan mencerminkan seberapa besar jumlah curah hujan yang jatuh di suatu DAS berubah menjadi aliran permukaan. Nilai koefisien limpasan air berkisar dari 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Standar evaluasi indikator koefisien limpasan dalam aliran sungai adalah semakin kecil nilai koefisien tersebut, maka semakin baik kinerja suatu DAS. Sebaliknya semakin besar nilai koefisien limpasan maka semakin jelek kinerja suatu DAS. Nilai koefisien limpasan yang bertambah besar bisa disebabkan oleh semakin banyak permukaan tanah yang tertutup oleh lapisan kedap air seperti beton, aspal dan bangunan atau perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lain. Indikator kandungan sedimen adalah jumlah material tanah yang terangkut (kadar lumpur) dalam aliran air sungai yang berasal dari proses erosi di hulu, yang diendapkan pada suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi telah lebih kecil dari kecepatan air yang membawanya. Indikator terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar lumpur (kekeruhan) air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air dan atau waduk. Makin tinggi kadar sedimen yang terbawa oleh aliran berarti kondisi DAS makin tidak sehat, demikian sebaliknya makin kecil kadar sedimen yang terbawa oleh aliran berarti makin sehat kondisi suatu DAS. Indikator lain dalam kriteria tata air adalah tingkat pencemaran air DAS yang dievaluasi dengan melihat parameter kualitas air atau mutu air dari suatu badan air atau aliran air di sungai. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh jenis penutupan vegetasi, tanah/geologi, tetapi juga dipengaruhi oleh limbah buangan domestik, buangan industri, limbah pertanian, dan lain-lain. Kualitas air dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, dan/atau air sumur. Kondisi DAS tidak sehat jika nilai unsur-unsur fisika, kimia, dan biologi yang ada dalam tubuh air telah melebihi nilai ambang batas standar untuk penggunaan tertentu. 3. Sosial Ekonomi DAS Kriteria sosial ekonomi digunakan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh dan hubungan timbal balik antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja DAS. Indikator untuk mengetahui pengaruh sosial pada kinerja DAS, yaitu kepedulian individu, partisipasi masyarakat, tekanan penduduk; dan untuk indikator ekonomi yaitu, ketergantungan penduduk terhadap lahan dan tingkat pendapatan. Indikator kepedulian individu di DAS dinilai untuk mengetahui ada atau tidaknya kegiatan positif konservasi tanah dan air secara mandiri yang telah dilakukan oleh masyarakat di DAS. Standar evaluasi indikator kepedulian individu yang berada dalam suatu DAS dinyatakan baik apabila terdapat kepedulian individu terhadap upaya konservasi tanah dan air lebih tinggi.

216 102 Sebaliknya kondisi DAS diperkirakan sangat tidak sehat apabila tidak ada individu yang hidup dalam suatu komunitas masyarakat DAS peduli terhadap upaya-upaya konservasi hutan, tanah dan air. Indikator partisipasi masyarakat di DAS dievaluasi dengan mengetahui keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan pengelolaan DAS yaitu tingkat kehadiran masyarakat dalam kegiatan bersama dalam pengelolaan DAS. Semakin tinggi tingkat kehadiran dan/atau partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan bersama, maka kondisi DAS akan menunjukkan kinerja yang baik. Demikian pula sebaliknya apabila semakin rendah tingkat kehadiran dan/atau partisipasi masyarakat dalam suatu untuk kegiatan bersama, maka kondisi DAS akan menunjukkan kinerja yang kurang baik Indikator tekanan penduduk terhadap lahan bisa diukur dengan membandingkan ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan dengan jumlah kepala keluarga petani. Makin besar jumlah penduduk makin besar pula kebutuhan akan sumberdaya lahan sehingga tekanan terhadap lahan juga meningkat sebanding dengan dengan kenaikan jumlah penduduk. Semakin sempit ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan untuk tiap keluarga petani dalam suatu DAS, maka semakin besar potensi kerusakan DAS tersebut karena semakin intensif masyarakat memanfaatkan lahan dan hutan semakin terancam. Sebaliknya jika terdapat cukup luas lahan pertanian dan perkebunan untuk setiap keluarga petani disuatu DAS, maka kondisi kesehatan DAS diasumsikan akan lebih baik. Ketergantungan penduduk terhadap lahan dicerminkan oleh proporsi kontribusi pendapatan dari usaha tani (bertani) terhadap total pendapatan keluarga. Semakin tinggi ketergantungan keluarga terhadap pendapatan yang berasal dari usaha lahan, maka lahan akan semakin dieksploitasi untuk kegiatan usaha tani dan kondisi DAS cenderung semakin buruk. Sebaliknya penduduk yang sebagian besar penghasilannya berasal dari luar usahatani (off-farm), maka tekanan penduduk terhadap lahan akan semakin kecil dan diharapkan DAS lebih sehat. Indikator tingkat rata-rata pendapatan penduduk merupakan cerminan dari pendapatan keluarga yang diperoleh dari berbagai usaha tani dan hasil dari non-usaha tani. Dengan asumsi hasil usaha pertanian rata-rata keluarga petani relatif rendah dibandingkan dengan hasil usaha-usaha non pertanian (industri di Jawa), standar evaluasinya adalah semakin besar rata-rata pendapatan per kapita di suatu DAS, maka kondisi DAS diasumsikan lebih baik dari DAS yang rata-rata pendapatan per kapitanya lebih rendah. 4. Kelembagaan DAS Pengelolaan DAS melibatkan stakeholders yang banyak, multi sektor, dan lintas wilayah administratif. Kriteria kelembagaan yang ada di DAS didekati dengan indikator keberdayaan lembaga masyarakat lokal (adat), ketergantungan masyarakat kepada pemerintah, KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplipikasi) dan keberadaan usaha bersama. Dalam analisis kelembagaan pengelolaan DAS yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lembaga-lembaga/instansi yang terlibat dalam pengelonaan DAS serta tugas pokok dan fungsiya masing-masing termasuk lembaga lokal yang ada di DAS. Jika lembaga lokal berperan dalam pelestarian sumberdaya alam di DAS, maka kinerja DAS bisa baik sedang jika tidak berperan, maka kondisi DAS bisa buruk. Indikator ketergantungan masyarakat pada pemerintah dilakukan dengan menganalisis dan mengidentifikasi lembaga-lembaga/instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS serta fungsinya masing-masing termasuk lembaga lokal yang ada di DAS. Tinggi rendahnya intervensi pemerintah dalam kegiatan pengelolaan DAS, terutama rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi

217 103 tanah dan air bisa mencerminkan kemandirian masyarakat dalam pelestarian DAS. Semakin tinggi ketergantungan masyarakat terhadap intervensi pemerintah berarti masyarakat masih banyak memerlukan intervensi pemerintah dengan demikian diasumsikan bahwa DAS tersebut kondisinya masih tidak sehat. Standar evaluasi indikator-indikator koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi (KISS) dilakukan dengan menganalisis dan mengidentifikasi berapa banyak konflik para pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di DAS. Jika tingkat konflik rendah, maka bisa dikatakan kegiatan dari masing-masing lembaga (sesuai perannya) dalam penanganan dan pengelolaan DAS sudah ada keterpaduan (integrated) dan keserasian dan diharapkan kondisi DAS lebih sehat, sebaliknya jika konflik antar lembaga yang ada relatif banyak, maka keterpaduan dan keserasian kegiatan pengelolaan DAS tidak akan tercapai sehingga berpotensi terjadinya degradasi SDA yang mengakibatkan kesehatan DAS lebih jelek/menurun. Indikator Kegiatan Usaha Bersama (KUB) dilakukan dengan menganalisis perubahan jumlah unit usaha KUB terutama unit usaha yang berbasis sumberdaya alam dan/atau mendukung pelestarian sumberdaya alam. Apabila unit usaha KUB bertambah maka diasumsikan kondisi DAS semakin baik, sebaliknya apabila berkurang maka diasumsikan kondisi DAS semakin buruk. Selain kriteria utama di atas, bisa ditambahkan kriteria dan indikator evaluasi sesuai dengan tujuan evaluasi, misalnya untuk evaluasi DAS prioritas dapat digunakan kriteria tambahan berupa pola ruang wilayah, besarnya investasi bangunan vital seperti waduk dan bendungan, serta penerapan norma konservasi sumberdaya alam. Pengelolaan DAS masih menghadapi berbagai permasalahan yang komplek yang mengharuskan pelibatan banyak pihak, lintas sektor, lintas wilayah administrasi pemerintahan dari hulu sampai hilir. Atas dasar Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, maka disusunlah Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu. Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu ini selanjutnya agar dipergunakan sebagai salah satu panduan umum Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, masyarakat dan pihak lain terkait dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan DAS di Indonesia. Sedangkan untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi DAS tertentu, haruslah dilakukan pengelolaan DAS yang dijabarkan dalam program dan kegiatan-kegiatan sektoral yang tepat sesuai dengan karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di DAS yang bersangkutan.

218 Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/Keterangan Other Fauna : (Fauna lainnya) Soft Coral (karang lunak) SC Karang "berbadan lunak", terlihat seperti pohon. Spone (Spon) SP Karang lembut berbentuk tabung / tubuh seperti spon. Zoanthids zo Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, bias; hidup sendiri/berkoloni atau seporti hewai-hewan kecil menempei pada substratum, misalnya : Platyhea, Protoplayhoa. Other (lain-lain) OT Fauna yang tidak separii sebelumnya, seperti Ascidans, Anemos, Gcrgonias. Algae (ganggang) - Algae assemblage (kumpulan ganggang) - Co alline algae (ganggang berkapur) AA CA Terdiri lebih dari satu jenis spesies / algae yang sulit dipisahkan. Semua jenis ganggang yang dinding tubuhnya terbuat dari bahan kapur. - Halimenda HA Ganggang dari maiga (genus) halirneda. Ganggang berukur&n besar. - Macroalgae (ganggang besar) WV Semacam rumput liar dan "berdaging", berwarna coklat, murah dan semc\csmnya. - Turf - algae (ganggang lembut) TA Ganggang halus berspiral lebat, seringk3l: ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan damsel (damsel fish) atau ditemukan di kerangka karang yang baru (beberapa buian mati. Abiotic ( Benda mati ) - Sand (pasir) S Pasir - Rubble (patahan/pecahan) R Bagian-bagian / kepingan-kepingar, karang yang tercerai berai (pecahan karang yang sudah mati). - Siit (Lumpur) SI Lumpur, pasir bercampur lumpur. - Water (Air) WA Belahan-helijhan /colah yang sempit (jarak antara dua obyek) yang dalarr.nya Isbih dan 50 cm. - Rock (Bebatuan) RCK Pengerasan karang termasuk batu besar dar kapur, granit dan batu-batuan vulkanik. Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung pada pengetahuan yang melakukan pengamatan. d. Analisa Data Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan. - Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan: Panjang Total Setiap Kategori Angka (persentase) = X 100% tutupan Panjang Total Transek - Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan : Panjang Total Seluruh Kategori Terumbu Karang Hidup Angka (persentase) = X 100% Tutupan Panjang Total Transek

219 M. KRITERIA STATUS EKOSISTEM DANAU 1. Kriteria Status Ekosistem Akuatik Danau atau Waduk Parameter Danau STATUS EKOSISTEM DANAU Baik Terancam Rusak Ekosistem Akuatik Status Trofik Oligotof-Mesotrof Eutrof Hypereutrof Status Mutu Air Tidak tercemar Tercemar sedang Tercemar berat Keanekaragaman Hayati Masih terdapat jenis fauna/flora endemik dan asli Berkurangnya jenis fauna/flora endemik dana asli dan asli Hilangnya Jejaring Makan (food web) Tutupan Tumbuhan Air Alga/Ganggang biru (Microcystis) Limbah Pakan Perikanan Budidaya jenis fauna/flora endemic dan asli; banyak ditemukan jenis introduksi/ invasive. (indigenaus) Tingkat trofik Tingkat trofik tidak Tidak terjadi tingkat trofik seimbang, seimbang (produsen, primer/ skunder, consumer/tersier) Terkendali tidak Kurang terkendali Menyebar tidak terkendali menyebar dan tidak dan mengganggu sangan mengganggu mengganggu fungsi fungsi danau fungsi danau danau Sedikit Sedang Marak (blooming) Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan sesuai dengan daya tampung danau dan perizinan Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan melebihi daya tampung danau akan tetapi memenuhi perizinan. Kegiatan budidaya dan pemakaian pakan tidak terkendali, tidak memenuhi perizinan dan tidak memnuhi daya tampung danau. 2. Kriteria Status Ekosistem Sempadan Danau atau Waduk Parameter Danau STATUS EKOSISTEM DANAU Baik Terancam Rusak Ekosistem Sempadan Sempadan Danau Tidak adan bangunan Mulai ada sedikit Banyak bangunan Sempada Pasang- Surut Pembuangan Limbah a) Tidak ada bangunan b) Tidak ada pengolahan lahan, dan tidak ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan Tidak ada pembuangan limbah Pemanfaatan Air Dana Pemanfaatan Tidak mengubah Tenaga karakteristik pasang Air PLTA surut muka air dan tidak mengganggu ekosistim akuatik Tidak mengubah Pengambilan Air karakteristik pasang Baku surut muka air dan tidak mengganggu ekosistim akuatik bangunan Ada pengelolahan lahan untuk perkebunan dan sawah serta pemupukan Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau. Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik. a) Ada bangunan b) Ada pengolahan lahan, dan tidak ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau. Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan mengganggu ekosistem akuatik. Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastic dan mengganggu ekosistem akuatik

220 3. Kriteria Status Ekosistem Terestrial pada Daerah Tangkapan Air Danau atau Waduk. Parameter Danau STATUS EKOSISTEM DANAU Baik Terancam Rusak Ekosistem Terestrial Daerah Tangkapan Air Penutupan > 75% 30-75% < 30% Vegetasi pada lahan DTA *) < > 120 Koefisien regim sungan (Q max /Q min ) masuk danau Erosi Lahan Data Dampak pendakalan danau Pembuangan Limbah Tingkat erosi masih dibawah batas toleransi erosi Tidak terjadi pendangkalan Ada pembuangan limbah, dan ada system pengendalian pencemaran air, serta sesuai dengan daya tampung pencemaran air danau. Tingkat erosi masih menyamai batas toleransi erosi Pendangkalan ratarata pertahun < 2% dari kedalaman danau. Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau Tingkat erosi telah melebihi batas toleransi erosi a) Pendangkalan rata-rata pertahun > 2% dari kedalaman danau. b) Pendangkalan menyebabkan ekosistem tipe danaun sangat dangkal berubah menjadi ekosistem rawa. Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau. N. METODE PENENTUAN STATUS MUTU EKOSISTEM DANAU Landasan teknis pengelolaan ekosistem danau adalah pencapaian status mutunya sama dengan atau lebih baik dari Baku Mutu Ekosistem Danau (BMED), yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang diinginkan atau berdasarkan penetapan peraturan perundangan. Sedangkan tahapan pengelolaannya berdasarkan Status Mutu Ekosistem Danau (SMED) yang sebenarnya pada saat ini dan akan dipulihkan untuk mencapai BMED yang telah ditetapkan, sebagai tolok ukur keberhasilannya. SMED yang ditetapkan berdasarkan beberapa aspek yang ditetapkan pada BMED, yaitu: a) Kriteria Baku Kerusakan Danau b) Baku Mutu Air Danau dan Penilaian Status Mutunya c) Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Sasaran atau daerah pengelolaannya adalah sebagai berikut : a) Ekosistem akuatik perairan danau b) Ekosistem lahan daerah sempadan dan lahan sempadan danau c) Ekosistem terestrial yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA) danau d) Pemanfaatan sumber daya air danau Lingkup dan intensitas pengelolaan pada setiap daerah sasaran pengelolaan tersebut sangat tergantung kepada status mutu danau pada saat ini, yaitu:

221 a) Baik b) Terancam dan c) Rusak 1. KRITERIA STATUS EKOSISTEM AKUATIK Untuk menentukan status ekosistem akuatik (baik, terancam dan rusak) perlu ditetapkan terlebih dahulu kelas air dan baku mutu air danau, penentuan status mutu air serta penentuan status trofik danau. Adapun parameter lainnya adalah keanekaragaman hayati, jejaring makanan, tutupan tumbuhan air, alga/ganggang biru (Microcystis) dan limbah pakan perikanan budidaya Kelas Air dan Baku Mutu Air Kelas air danau yaitu terdiri dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 4 yaitu sesuai dengan Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Kualitas air danau dangkal tidak banyak berbeda dari permukaan sampai kedalaman mendekati dasar danau, akan tetapi danau dalam memiliki kualitas yang bebeda dan makin kedasar makin memburuk. Oleh karena itu penentuan status kelas air dan baku mutu air danau berbeda dengan air sungai, yaitu sebagai berikut: Danau sangat dangkal yang memiliki kedalaman kurang dari 10 m : penentuan satu baku mutu air untuk semua kedalaman danau. Danau dangkal yang memiliki kedalaman m : penentuan dua baku mutu air untuk lapisan epilimnion dan hypolimnion. Danau medium, dalam dan sangat dalam : penentuan tiga kelas air, yaitu satu baku mutu air pada lapisan epilimnion dan dua baku mutu air (dua lapisan) pada hypolimnion bagian tengah danau dan bawah danau (2 m diatas dasar danau) Status Mutu Air Penentuan status mutu air danau dan waduk dilakukan dengan Metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran seperti yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Penilaian kadar parameter kualitas air mengacu kepada Baku Mutu Air (BMA) yang berlaku untuk danau, atau menggunakan Kelas Air bila BMA belum ditetapkan. Ada perbedaan dengan cara penentuan status mutu air sungai, yaitu perlu disebutkan selain lokasinya (koordinatnya), perlu pula dicatat kedalaman sampel kualitas air danau yang dinilai. Jumlah data pemantauan air juga harus mewakili kondisi musim hujan dan musim kemarau. Parameter danau dan kegiatan yang dinilai adalah: - Kelas Kualitas Air, yang menunjukkan tingkat pencemaran air. - Keanekaragaman hayati, yang menunjukkan keaneka ragaman biota air serta ikan endemik. - Jejaring makan (food web), yang menunjukkan struktur rangkaian makanan secara alami untuk mendukung kehidupan biota air. - Tutupan Tumbuhan Air, baik yang berfungsi untuk menunjang kehidupan biota akuatik maupun yang bersifat gulma menganggu ekosistem dan pemanfaatan air danau. - Alga/ganggang biru (Microcystis), yaitu jenis alga yang menganggu kelestarian dan kualitas air danau serta mengganggu kehidupan ikan. - Limbah pakan perikanan budidaya KJA, mengandung unsur organik dan unsur hara yang berpotensi mencemari air dan menimbulkan proses eutrofikasi.

222 1.3. Status Trofik Status trofik menunjukkan dampak adanya beban limbah unsur hara yang masuk air danau. Cara penentuan status trofik danau dapat dipilih menurut tiga metode, seperti berikut: Metode UNEP-ILEC Status Kadar Ratarata Total Trofik N Kadar Ratarata Total P (ug/l) Kadar Ratarata Khlorofila (ug/l) Kecerahan Rata-rata (m) (ug/l) Oligotrofik < 650 < 10 < 2,0 > 10 Mesotrofik < 750 < 30 < 5,0 > 4 Eutrofik < 1900 < 100 < 15 > 2,5 Hiperetrofik > 1900 > 100 > 200 < 2,5 Metode Indeks Status Trofik Carlson Klasifikasi Status Trofik Keterangan < 30 Ultraoligotrof Air jernih, kadar unsure hara sangat rendah Oligotrof Air jernih, kadar unsure hara sedang Mesotrof Kecerahan air sedang, kadar unsure hara sedang Eutrof ringan Penurunan kecerahan air, kadar unsure hara meningkat Eutrof sedang Marak alga (microcystis) kandungan unsure hara tinggi Eutrof Berat Marak alga dan pertumbuhan gulma air seceara cepat, kandungan unsure hara tinggi > 80 Hipereutrof Marak alga, keadaan perairan dalam kondisi anoxia yang menyebabkan kematian ikan secara massal, kadar unsure hara amat sangat tinggi Rumus Perhitungan Indeks Status Trofik Carlson Trophic Status Indeks (TSI) Carlson s (1977): TSI-TP = 14,42 x Ln [TP] + 4,15 (ug/l) TSI-Klorofil a = 30,6 +(9,81 x Ln [klorofil a] (ug/l) TSI-SD = 60 (14,41 x Ln [Secchi] (meter) Keterangan: TSI-TP = Trofik Status Indeks Untuk Total Phosphor TSI-Klorofil a = Nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil a TSI-SD = Nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman Secchi Disk Rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Comwell (1991): Log (klorofl a) = 1,09 + 1,46 Log TP Keterangan: Klorofil a = Konsentrasi klorofil a (ug/l) TP = Total Phosphor (ug/l) Kondisi kualitas air danau dan waduk diklasifikasikan berdasarkan status proses eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Phosphor (P) dan Nitrogen (N). Pada umumnya rata-rata tumbuhan air mengandung Nitrogen dan Phosphor masing-masing 0,7% dan 0,09% dari berat basah. Phosphor membatasi proses eutrofikasi jika kadar Nitrogen lebih dari delapan kali kadar Phosphor, sementara Nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadari Phosphor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Klorofil-a adalah pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil-a tersebut mengindikasikan kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa.

223 Eutrofikasi yang disebabkan oleh proses peningkatan kadar unsur hara terutama parameter Nitrogen dan Phosphor pada air danau dan waduk. Proses tersebut diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik kualitas air danau dan waduk berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya yaitu: 1) Oligotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Phosphor. 2) Mesotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. 3) Eutrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. 4) Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. Tingkat kesuburan perairan danau dan waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan Indeks Status Trofik atau Tropik Status Index (TSI) yaitu: total Phosphor, klorofil-a, dan kecerahan menggunakan pengukuran cakram sechi. Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa Phosphor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut yang ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a, akibat lebih lanjut dengan adanya kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya cahaya yang masuk kedalam kolom perairan danau yang ditandai dengan makin pendeknya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Phosphor (TP) dengan konsentrasi klorofil-a ada korelasi positip seperti ditunjukkan dalam rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Cornwell (1991). 2. KRITERIA STATUS EKOSISTEM SEMPADAN 2.1.Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Daya tampung beban pencemaran air adalah batas kemampuannya untuk menerima masukan beban pencemaran yang tidak melebihi batas syarat kualitas air untuk berbagai pemanfaatannya atau memenuhi baku mutu airnya. Khususnya sumber daya air danau, pengertian daya tampung tersebut lebih spesifik yaitu kemampuan perairan danau menampung beban pencemaran air sehingga kualitas air tetap memenuhi syarat atau baku mutu serta sesuai dengan status trofik yang disyaratkan. Persyaratan kualitas air untuk berbagai pemanfaatan air danau atau baku mutunya terdiri dari syarat kadar kualitas air fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan status trofik air danau terutama terdiri dari syarat kecerahan air, kadar unsur hara Nitrogen dan Phosphor serta kadar Klorofil-a. Oleh karena itu perhitungan daya tampung perairan danau perlu memperhatikan sumber dan beban pencemaran air dan dampaknya terhadap

224 pemanfaatan air serta kesinambungan fungsi danau. Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau tercantum pada Rumus Umum Penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Dan Waduk. 2.2.Alokasi Beban Pencemaran Air Danau dan waduk sebagai sumberdaya air yang memiliki berbagai pemanfaatan, juga berfungsi sebagai penampung air dari daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu berbagai unsur pencemaran air dari DTA dan DAS serta sempadan danau dan waduk terbawa masuk kedalam perairannya. Pada daerah tersebut terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara langsung dan tidak langsung ke danau dan waduk, antara lain limbah penduduk, pertanian, peternakan, serta industri dan pertambangan. Demikian juga erosi DAS merupakan sumber pencemaran air dan pendangkalan danau (Gambar 5.1) Beban pencemaran dari berbagai sektor pada DTA dan DAS akan meningkat terus sesuai dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu jumlah beban pencemaran yang masuk perairan danau dan waduk termasuk limbah pakan ikan dari budidaya ikan (KJA) perlu ditentukan alokasinya dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi serta konservasi sumberdaya air jangka panjang. Penentuan alokasi tersebut memerlukan kajian pada daerah setempat serta kebijaksanaan pemerintah daerah mengenai sumber dan beban pencemaran serta tingkat pengendaliannya yang ditargetkan. Sasaran pengendalian pencemaran air pada berbagai sektor kegiatan perlu ditentukan alokasi beban pencemarannya, agar memenuhi daya tampung danau dan waduk terhadap beban pencemaran untuk memenuhi status mutu air yang diinginkan. Penentuan alokasi beban pencemaran dan daya tampungnya pada danau dan waduk perlu memperhatikan syarat pemanfaatan air dan kelestarian air danau dan waduk tersebut. 2.3.Daya Tampung Beban Pencemaran Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung Mengingat pada saat ini beban pencemaran air beberapa danau dan waduk telah meningkat oleh perkembangan budidaya perikanan keramba jaring apung (KJA), maka pada pedoman ini secara khusus' menguraikan cara perhitungan daya tampung beban pencemaran air limbah budi daya perikanan. Namun demikian rumus perhitungan ini memperhitungkan juga adanya beban pencemaran dari sumber lain, antara lain limbah penduduk, industri dan pertambangan, serta pertanian dan peternakan, yang secara langsung maupun tidak langsung memasuki perairan danau yaitu beban pencemaran air dari DAS dan DTA. Intensitas kegiatan atau jumlah produksi budidaya perikanan tergantung kepada daya tampung perairan danau. Sedangkan daya tampung perairan danau sangat tergantung kepada morfologi dan hidrologinya serta status trofik dan status kualitas airnya. Pakan ikan dan limbah budidaya ikan KJA terdiri dari berbagai unsur pencemaran air, sehingga kajian beban pencemarannya dan perhitungan daya tampungnya berdasarkan jenis unsur penecemaran akibat limbah budidaya ikan tersebut, seperti halnya perhitungan beban pencemaran dari sumber limbah lainnya. Namun demikian perhitungan daya tampung beban pencemaran limbah pakan ikan disederhanakan dengan memilih parameter indikator tingkat trofik danau. Parameter beban pencemaran limbah perikanan yang dipilih atau parameter indikator adalah total Phosphor (total-p), mengingat dasar perhitungannya adalah status trofik danau. Rumus perhitungan yang digunakan adalah Kotak 15.

225 Gambar 1. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk

226 Gambar 2. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk Untuk Limbah Budidaya Perikanan

227 Rumus perhitungan Daya Tampung Danau Dan Waduk Untuk Budidaya Perikanan menunjukkan contoh perhitungan daya tampung berbagai tipe danau terhadap beban pencemaran air, dan daya dukungnya terhadap budidaya perikanan KJA. Pemanfaatan danau adalah serbaguna untuk air baku, PLTA, irigasi pertanian, pengendalian banjir dan pariwisata. Selain itu danau juga menampung limbah penduduk, peternakan, pertanian, serta industri dan pertambangan dari DAS, DTA dan sempadan yang membuang limbah unsur Phosphor (P). Contoh hasil perhitungannya seperti tercantum pada tabel berikut:... Penjelasan dari tabel di atas adalah sebagai berikut: a) Contoh a adalah danau yang hanya dimanfaatkan untuk budidaya perikanan dan pertanian dan tidak menampung limbah daerah tangkapan air, sehingga mempunyai toleransi yang tinggi terhadap unsur P, sehingga mempunyai daya dukung yang tinggi bagi budi daya ikan. b) Contoh b adalah danau serbaguna dan menampung limbah perkotaan, peternakan dan pertanian pada daerah tangkapan air, sehingga daya dukungnya bagi budidaya perikanan rendah.

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PETROKIMIA HULU

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PETROKIMIA HULU SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PETROKIMIA HULU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a.

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PURIFIED TEREPHTHALIC ACID DAN POLY ETHYLENE TEREPHTHALATE MENTERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa pencemaran

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN PEMERINTAH KOTA PASURUAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa pengendalian

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG IJIN PEMBUANGAN DAN/ATAU PEMANFAATAN AIR LIMBAH DI KABUPATEN CILACAP

PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG IJIN PEMBUANGAN DAN/ATAU PEMANFAATAN AIR LIMBAH DI KABUPATEN CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG IJIN PEMBUANGAN DAN/ATAU PEMANFAATAN AIR LIMBAH DI KABUPATEN CILACAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN TABALONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 3/2017 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan lebih lanjut

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 3 2009 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa lingkungan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI SALINAN WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN OBAT TRADISIONAL/JAMU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa keberadaan

Lebih terperinci

G U B E R N U R JAMB I

G U B E R N U R JAMB I -1- G U B E R N U R JAMB I PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN DAERAH PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 10 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 19

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 19 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 19 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PURIFIED TEREPHTHALIC ACID DAN POLY ETHYLENE TEREPHTHALATE MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG 1 2015 No.12,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul. Perlindungan, pengelolaan, lingkungan hidup. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa Industri Minyak Sawit berpotensi menghasilkan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI TUNTANG DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN Menimbang : PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a.

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Menimbang Mengingat BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN BUAH BUAHAN DAN/ATAU SAYURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian

Lebih terperinci

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURANDAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURANDAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURANDAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAKASSAR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTAJAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTAJAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTAJAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 39 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI PEMALI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN Menimbang : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 9 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 9 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 9 TAHUN 2012 009 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa air

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA 5 8 BUPATI PENAJAM PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG,

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN OBAT TRADISIONAL/JAMU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa air merupakan sumber daya alam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN, PENGAWASAN DAN PENGUJIAN KUALITAS AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa Industri Minyak Sawit berpotensi menghasilkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 2 2014 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT.

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan

Lebih terperinci

Mengingat : cvi.6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah

Mengingat : cvi.6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI VINYL CHLORIDE MONOMER DAN POLY VINYL CHLORIDE MENTERI NEGARA

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 52 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 52 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 52 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : 1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI MINYAK GORENG

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI MINYAK GORENG SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI MINYAK GORENG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMBUANGAN LIMBAH CAIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KELAPA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KELAPA. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KELAPA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. b. c. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 NOMOR 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 NOMOR 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 NOMOR 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

Lebih terperinci