TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS:"

Transkripsi

1 Ide Utama TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim Umma Farida *) ABSTRACT: One of things which establish gender injustice comes from the inaccuracy of reading religious texts included in the Islamic religious texts that are not friendly toward women. This paper discusses a new reading proposed by some Feminist Muslim. It will be reviewed through the interpretation of the creation of women, leadership and woman as wittnesses. This paper suggest that fundamental structure of religious thought developed by moslem feminist is how to manifest a system of relations and the structure of egalitarian society without discrimination between men and women in the light of guidance of the Qur an Keywords: Feminis moslem, Religious Text, Islamic Studies A. Pendahuluan Agama merupakan salah satu objek kajian yang sangat menarik tatkala memperbincangkan masalah-masalah perempuan. Ini dikarenakan agama merupakan way of life umat Islam, baik laki-laki ataupun perempuansumber kebenaran dalam agama lebih banyak bertumpu pada kitab suci sebagai kodifikasi firman Tuhan dan kumpulan sabda Nabi (hadis) yang berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang, seiring dengan meluasnya jangkauan geografis dan lintasan kultural umat, kedua sumber tersebut membutuhkan perantara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi ini dalam suatu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan. Proses perantaraan ini lebih lazim disebut penafsiran dimana ) Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.

2 204 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 terjadi relasi yang dialektis antara teks dan konteks yang dalam hal ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa menuduh para mufasir (yang mayoritas laki-laki) dengan sengaja merendahkan perempuan, namun perspektif sebagai produk dari sosialisasi kultur secara kolektif, sedikit banyak akan mempengaruhi penafsiran mereka. Selama ini pemahaman dan penafsiran para elit agama atas teks-teks keislaman dalam kaitannya dengan masalah perempuan ini cenderung menempatkan kaum perempuan dalam posisi nomor dua dan mengesankan keunggulan lakilaki atas perempuan. Di sisi lain, pandangan para feminis hampir seluruhnya menyepakati bahwa agama khususnya Islam, dan Kristen adalah termasuk sebuah wilayah seksis. Artinya, dalam agamaagama tersebut banyak menggambarkan citra Tuhan maupun para utusan/nabi sebagai laki-laki, yang pada ujung-ujungnya melegitimasi superioritas laki-laki di atas perempuan. Posisi agama yang merupakan unsur utama kesadaran sosial dan determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat pandangan tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari agama. Terlebih teks-teks suci keislaman dalam konteks ini adalah al-qur an dan Hadis yang secara harfiah memposisikan laki-laki sebagai pihak superior dan kemudian ditafsirkan oleh para mufassir dengan nuansa patriarki (Mustaqim: 41-42). B. Menjernihkan Istilah Feminisme Hingga kini masih banyak orang yang salah memaknai feminisme sehingga seringkali kita melihat orang sinis tatkala disebut kata tersebut. Mereka berasumsi bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap sebagai bentuk pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada, atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya. Akibat dari kesalahpahaman ini, maka feminisme kurang mendapat respon positif di kalangan perempuan itu sendiri, apalagi laki-laki, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Sejatinya, secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa latin, yaitu femina, yang dalam bahasa Inggris

3 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 205 diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambah ism menjadi feminism, yang berarti bahwa hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality). Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas (Mustaqim, 2003: 16). Menurut Kamla Bhasin Akhmad dan Nighat Said Khan (1995: 5) bahwa feminisme adalah suatu paham aliran yang mempunyai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, disertai tindakan sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Senada dengan pengertian tersebut, Mansour Fakih (1987: 10) memberikan batasan bahwa gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun lakilaki. Dengan demikian hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi seorang feminis asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga, perhatian utama dari gerakan feminisme adalah terciptanya suatu keadilan (justice), kesetaraan (equality) dalam sistem dan struktur masyarakat. Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue Morgan dalam Connolly (1999: 64) merupakan suatu pendekatan yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya. Agama sebagai sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian para feminis. Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Atau dengan kata lain, pendekatan ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas

4 206 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan. C. Sekilas tentang Sejarah Feminisme Sebelum membahas lebih lanjut feminisme sebagai sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami teks-teks agama, disini akan diuraikan terlebih dahulu sejarah gerakan feminisme. Secara historis, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkis. Munculnya gerakan ini terkait erat dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar baru kebangkitan kesadaran baru di dunia Eropa dan Amerika. Sara M. Evans, sebagaimana dikutip Kadarusman (2005: 23-26), mengungkapkan bahwa gerakan Women s Liberation di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminisme. Dalam sejarah feminisme, usaha-usaha yang terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul di Amerika Serikat. Gerakan tersebut meliputi perbaikan akses perempuan di bidang pendidikan, sosial dan reformasi politik. Terhitung sejak gerakan massa Stamp Ampf di tahun an sampai aksi antara 1776 dan 1781, kaum perempuan Amerika seperti tak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam penyebaran gejolak revolusioner, tanpa dipandang apakah mereka berasal dari kota atau desa. Pada tahun ini pula, kaum perempuan berpartisipasi mengadakan operasi boikot produk-produk impor dari Inggris untuk dihasilkan sendiri. Kesadaran ini meningkat sesuai dengan gagasan John Locke tentang liberalisme: hak untuk bebas, hak atas kehidupan dan hak milik. Dengan sendirinya, peningkatan pendidikan di kalangan perempuan memberi mereka peluang yang semakin lebar di dunia kerja. Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal tahun Pada akhir tahun 1920, perempuan Inggris mulai

5 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 207 diperbolehkan bekerja di luar rumah, yaitu di pabrik-pabrik, karena memang dengan adanya revolusi industri pabrik-pabrik kekurangan tenaga kerja. Sedangkan di Prancis, baru pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa harus memakai nama suami. Pasca 1920, gerakan ini sempat tenggelam. Baru kirakira tahun 1960-an ketika Betty Friedan menerbitkan bukunya, The Feminine Mystique (1963) kembali mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peranperan tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan. Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum. Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam Negara Mesir sebagai transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Di antara perubahan yang tampak yaitu kam perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, dunia pendidikan dan bahkan politik. Dapat dipastikan bahwa pandangan perempuan yang sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini, mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua penafsiran dalam Islam mengusung gagasan kebebasan gender. Dalam berbagai karya tafsir dan fiqh yang dijadikan pegangan untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi dengan lahirnya gerakan feminisme. Para aktifisnya dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, baik praktisi maupun akademisi. Di antara mereka terdapat nama-nama Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, dan sebagainya.

6 208 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 D. Teori-Teori Feminisme Teori-teori feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme. Kaum feminis Islam adalah bagian dari dinamika tersebut. Untuk memahami posisi para feminis Islam dalam peta teori feminisme, maka penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai dasar feminisme. Berikut ini sketsa tentang ide dasar teori-teori feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial: 1. Feminisme Liberal Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan (Fakih, 2007: 81; Narwoko, 2004: 327). Teori ini dipelopori oleh Mary Wollstonecraft ( ), John Stuart Mill, dan Betty Friedan. Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama (Rosemary Tong, 1998: 28). Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideologi patriarki sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi, serta gender sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis (Kadarusman: 29).

7 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) Feminisme Radikal Brownmiller dalam Fakih (2007: 84) menyebutkan bahwa teori feminisme radikal ini muncul karena seksisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an. Teori ini dirintis oleh Charlotte Perkins Gilma, Emma Goldman, dan Margaret Sanger. Feminisme radikal berkembang pesat pada tahun an dan 1970-an di Amerika Serikat. Teori ini disebut radikal karena memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi laki-laki dan ideologi patriarkinya. Patriarki yang secara literal berarti peraturan bapak adalah sebuah sistem yang menjamin dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan sendirinya, lembaga keluarga dan sistem patriarki menjadi dua institusi yang harus dihancurkan. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi lakilaki sehingga perempuan ditindas (Kadarusman: 31). Bagi feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki, sehingga bisa bersifat sangat personal. Menurut mereka, sepanjang perempuan masih meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan tidak akan mungkin berjuang melawan laki-laki. Jadi, dapat dipahami, bahwa golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki (Fakih: 86). 3. Feminisme Marxis Feminisme Marxis memandang bahwa penindasan perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki, melainkan sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme (Ilyas, 1997: 48). Adapun tokoh yang getol mengusung teori ini adalah Great Britain. Meski Karl Marx sebagai pendiri Marxisme tidak menjelaskan posisi perempuan dalam teori perubahan sosialnya, namun sahabatnya Engels-lah yang mengulas masalah ini dalam sejarah pra-kapitalisme dalam bukunya

8 210 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang berjudul The Origins of the Family: Private Property and the State. Menurutnya, subordinasi perempuan sekarang terjadi setelah perempuan mengalami kekalahan sistem kapitalis. Sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah kesatuan produksi. Seluruh kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan ole semua anggota keluarga termasuk perempuan. Tetapi pasca kapitalisme, industri dan keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi beralih dari rumah ke pabrik, kemudian terjadi pembagian kerja, perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif, dan tidak bernilai ekonomis, sedang laki-laki bekerja di sektor publik dan produktif. Sebagai jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah dengan mengembangkan teori materialisme Karl Marx, artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi (Mustaqim: 27-28). 4. Feminisme Sosialis Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Teori ini berusaha menggabungkan antara feminisme Marxis dan feminisme radikal. Artinya, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan. Feminisme sosialis inilah yang oleh banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan, dianggap lebih memiliki harapan (Fakih: 90). Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas, sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat kopi untuk para suami dan sebagainya. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung

9 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 211 dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas perempuan dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarki (Ilyas: 53). Dari uraian di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan berikut teori-teorinya, menginspirasi kelahiran feminisme sebagai pendekatan dalam memahami teks-teks keislaman. E. Feminisme dalam Studi Islam Feminisme sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji teks-teks keislaman dalam kerangka kerjanya selalu menggunakan analisis gender sebagai alat untuk mempertajam pandangan mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terhadap persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain (Connolly, 1999: 63). Adapun analisis gender difungsikan untuk memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum lakilaki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya (Fakih: xii). Dalam kajian kaum feminis muslim, berbagai teks keislaman yang berpihak pada tradisi patriarkal harus diinterpretasi ulang untuk memperoleh substansi teks yang egaliter. Sehingga, kajian feminisme dapat dikategorikan sebagai kajian sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, kajian feminisme berusaha mengkaji persoalan kesetaraan gender melalui dekonstruksi sistem patriarkal dan rekonstruksi sistem egaliter dalam struktur masyarakat. Kajian feminisme perspektif teologis berusaha melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keislaman yang mengandung muatan sistem patriarkal. Teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan disebut teologi feminisme (theology of feminism). Teologi feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini

10 212 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender. Gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan (Kadarusman: 35). Dzuhayatin (2002: 5) mengungkapkan bahwa istilah teologi feminisme (ada pula yang menyebut teologi feminis) di Indonesia tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih cenderung menggunakan istilah perspektif perempuan dalam agama atau menggunakan analisis gender dalam agama ketimbang teologi feminis. Namun, bukan berarti istilah gender tidak mendapatkan respon yang keras dari kalangan umat beragama di Indonesia tetapi reaksi terhadap feminism nampaknya lebih keras dibandingkan dengan istilah gender. Teologi feminis berpotensi menimbulkan kecurigaan ganda di kalangan umat Islam. Pertama, istilah teologi, meski bersifat netral sebagai pengetahuan tentang agama, namun cenderung dianggap bias Kristen. Kedua, kerancuan untuk melihat feminisme hanya sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat yang identik dengan free sex, aborsi dan anti rumah tangga telah mengaburkan semangat dasar feminisme sebagai kesadaran untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena mereka berjenis kelamin perempuan (Boucher, 1983: 63). Untuk mengkonstruksi teologi feminis Islam, menurut Kuntowijoyo (dalam Dzuhayatin (2002: 9 ), hendaknya tetap menjadikan iman sebagai framework atau niatan dalam menggunakan teologi feminis sebagai tools of analysis terhadap masalah-masalah yang muncul dari pengalaman keberagamaan yang cenderung diskriminatif dari sudut pandang perempuan. Atau dengan kata lain, teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh kaum feminis untuk membebaskan bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci (baca: al-qur an) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi. Berikut ini disebutkan pula faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pendekatan feminisme dalam kajian agama Islam, sebagaimana diungkapkan Mustaqim (2003: 62-74) adalah: 1. Faktor Internal Kaum feminis muslim berpendapat bahwa pada dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara

11 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 213 laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya, al-qur an menggunakan bahasa (ungkapan) yang secara literal seakan menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa pra-islam. Dengan demikian, sesungguhnya ungkapan al-qur an adalah ungkapan yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki dengan menggunakan prinsipprinsip keadilan. 2. Faktor Eksternal a. Realitas Sosial Kaum feminis rata-rata hidup dalam lingkungan yang sangat patriarkis, dan mereka menyadari bahwa ada pola budaya dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan perempuan. Kesadaran tentang hal ini berpengaruh dalam membentuk wacana feminisme dalam mengkaji teks-teks agamanya. Riffat Hassan misalnya, dalam otobiografi singkatnya, menulis tentang lingkungan di mana ia dilahirkan, yakni di sebuah masyarakat di Pakistan yang lazim merayakan kelahiran seorang anak laki-laki dan meratapi kelahiran anak perempuan. Pikiran Riffat Hassan sendiri mengakui sangat dipengaruhi oleh ibunya yang memang sangat feminis dan selalu menentang tradisi suaminya yang konservatiftradisionalis-patriarkis. Feminis muslim lainnya, Fatima Mernissi menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam harem sebagaimana umumnya para gadis Maroko. Harem adalah sebuah ruangan yang dikhususkan untuk dihuni oleh perempuan dan dijaga oleh seorang laki-laki. Perempuan yang tinggal di dalam harem itu dilarang keras keluar sekalipun untuk keperluan berbelanja. Kaum perempuan di dalam harem itu, dipisah dengan kaum laki-laki melalui hudud (pembatas), dan salah satu dari hudud ini adalah pintu harem yang dijaga oleh laki-laki (Mustaqim: 67). Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki yang sangat gencar dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki

12 214 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan perempuan. Dalam hal ini realitas sosiologis, India, negara tempat Asghar berasal, juga sangat berpengaruh dalam mengkonstruksi pemikiran feminis Asghar. Dalam sebagian besar masyarakat India, terutama kalangan menengah ke bawah yang merupakan jumlah mayoritas, kedudukan perempuan dalam keluarga sangatlah lemah. Terjadinya kasus-kasus kekerasan domestik adalah sangat biasa. Contoh lain yang sangat menonjol adalah talak tiga sekaligus yang menurutnya sangat menempatkan perempuan dalam posisi yang seakan tidak dihargai. b. Persentuhan dengan peradaban Barat Persentuhan dengan peradaban Barat berperan dalam membentuk pemikiran feminisme. Baik Riffat Hassan, Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial, ilmu yang nota bene berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu keagamaan yang mempengaruhi pandangan hidup mereka. Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami dan ataupun mengkritik gejala yang ada dalam dunia Islam selama ini. Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya mengembangkan apa yang disebut teologi feminisme yang sejatinya berasal dari Barat untuk membebaskan muslim dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan (Mustaqim: 69). Kecenderungan kaum feminis muslim terhadap ilmuilmu sosial itu sendiri tampaknya dapat dipahami melalui latar belakang akademis atau aktifitas sosial mereka yang juga diperoleh dari negara-negara Barat. c. Perkembangan Global Globalisasi yang melanda dunia memaksa kaum muslim untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat

13 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 215 Islam. Pergolakan emansipasi dan demokrasi di bagian wilayah dunia dengan begitu mudah data diakses oleh umat Islam dan sangat mempengaruhi kehidupannya. Masuknya gagasan feminism di kalangan umat Islam jelas tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perkembangan global yang melanda umat Islam (Mustaqim: 71). d. Gagasan tentang HAM Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya pemikir feminis dalam Islam adalah serangan dunia Barat terhadap Islam yang selalu menuding bahwa Islam tidak menghargai hak-hak kaum perempuan. Tudingan Barat ini memang sulit dibantah meski tidak sepenuhnya benar, karena realitas kebanyakan negara-negara Islam menunjukkan kenyataan itu, bahwa posisi perempuan dalam struktur sosial kehidupan sering berada pada posisi inferior. Serangan Barat kepada Islam dan tuntutan dunia modern untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia (HAM) secara menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela ide-ide egalitarianism dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Permasalahannya adalah penafsiran teks-teks keislaman tentang relasi gender oleh para ulama klasik yang bias patriarki dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia sebab telah memposisikan jenis kelamin lakilaki dalam posisi superior dibandingkan perempuan. F. Karakteristik dan Corak Kajian Feminis Pemahaman terhadap teks-teks keislaman oleh para ulama klasik yang cenderung memojokkan perempuan (patriarkis), telah mengundang tanggapan para feminis. Connolly (1999: 78) menyebut para feminis yang berupaya memberikan pemahaman yang sesuai atas kalam Tuhan yang ada, dengan mengusulkan rangkaian pandangan yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender dengan nama feminis religius. Dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, kaum feminis menggunakan pendekatan dua level, yaitu:

14 216 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-qur an dan Hadis yang selalu dijadikan rujukan oleh kaum muslimin dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, baik persoalan sosial budaya, ekonomi maupun yang menyangkut persoalan keagamaan pada umumnya. Dalam pandangan kaum feminis, sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-qur an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi. Dalam konteks ini mereka akan melihat bagaimana al-qur an menggariskan prinsip-prinsip dasarnya yang lebih bersifat idealis normatif, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-qur an, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri. Model pendekatan ini bersifat deduktif. Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal-normatif (terutama yang bersumber dari al-qur an), kaum feminis mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empirishistoris kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Berdasar data empiris inilah kaum feminis mendapati kesenjangan antara idealis-normatif-metafisis dengan yang historis-empiris-realistis. Jika demikian kenyataannya, berarti ada something wrong dalam sejarah perempuan. Padahal, mestinya fundamental values yang ada dalam al-qur an seperti semangat kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan dapat terjabarkan dan teraktualisasikan dalam historisitas kemanusiaan yang nyata. Karena al-qur an diturunkan jelas bisa diamalkan dan harus diamalkan. Inilah rupanya yang salah satu hal yang menjadi kegelisahan dan mendorong kaum feminis untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-qur an yang mengandung bias-bias patriarkhi (Mustaqim: ). Meski tujuan para feminis ini adalah senada, yakni untuk memperoleh pemahaman atas teks-teks keislaman yang adil secara gender, namun ternyata mereka dapat digolongkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka. Ghazala Anwar dalam Zakiyuddin Baidhawy (1996: 7-14) menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks keislaman kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis reformis, feminis transformis, feminis rasionalis, feminis rejeksionis.

15 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) Feminis Apologis Feminis apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam al-qur an dan Hadis telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masingmasing. Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama, ada perbedaan yang tak bisa dipungkiri antara kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan keinginan perempuan, yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam al-qur an. Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim menyalahi atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks otoritatif (al-qur an dan Hadis). Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-qur an agar berdampak kepada dua jenis kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks-teks tersebut. Cara ini menurut Anwar relatif tidak membangkitkan emosi kalangan konservatif dan dianggap oleh Anwar sebagai jenis feminisme yang aman. 2. Feminis Reformis Persoalan utama feminis reformis adalah adanya perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan tafsiran-tafsiran tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis. Bagi feminis reformis, teks-teks al-qur an telah disalahpahami secara tidak memadai dan/atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para apologis, para reformis juga menggunakan argumen-argumen filologis dan kontekstual untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-qur an, namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan semacam itu. 3. Feminis Transformasionis Feminis transformasionis bertujuan untuk mentransformasikan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacana Islam tradisional. Dasar hermeneutik feminis transformatif ini sudah dikenal dalam wacana Islam klasik, namun dirumuskan dengan

16 218 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 rumusan-rumusan yang baru dan berbeda sama sekali dengan rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya, pengkategorian teks-teks al-qur an menjadi dan. Dalam wacana Islam tradisional, suatu teks disebut muhkamãt apabila maknanya sudah jelas dan tegas secara literal, yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara teks-teks al-qur an disebut jika maknanya masih samar, tidak jelas, ambigu, dan seterusnya. Metodologi ini memang dirumuskan dari teks al-qur an sendiri yang menyatakan, Dialah yang menurunkan kepadamu al-kitab, di antara ayat-ayatnya ada yang, itulah isi kitab inti, dan yang lain adalah (QS. Ali Imran: 7). Masalahnya adalah mana ayat-ayat yang termasuk kategori muhkamat dan mana yang termasuk mutasyabihat, tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama. Salah seorang pemikir Islam Indonesia, Masdar F. Mas udi (1997: 51-55), memperbaharui konsep dan tersebut. Ia tidak setuju dengan makna kedua konsep tersebut seperti yang dikemukakan oleh mufassir klasik. Ia memang sepakat dengan para mufassir klasik, bahwa teks-teks adalah teks yang jelas maknanya dan yang adalah yang samar. Namun berbeda dengan mufasir klasik yang memahami makna dan secara literal, yakni memahami makna ayat secara harfiah. Masdar menegaskan bahwa kejelasan atau kesamaran itu adalah pada pesan, ruh, substansi teksnya. Dan substansi teks itu tidak lain adalah pesan-pesan keadilan, hak asasi, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain. Model hermeneutis yang digagas Masdar ini jelas sekali mempunyai implikasi yang sangat jauh dan kemungkinan yang luas sekali dalam menafsirkan ulang teks-teks keislaman yang dalam pandangan para feminis, terkenal seksis dan tidak adil. Pembacaan terhadap teks-teks al-qur an yang kelihatannya secara literal seksis, bisa ditafsirkan ulang sehingga bias gender yang terasa tidak adil bisa ditransformasikan kepada makna yang lebih setara secara gender. 4. Feminis Rasionalis Feminis rasionalis, seperti Amina Wadud dan Riffat Hassan, menyatakan bahwa karena Allah itu Maha Adil dan Maha Pengasih, maka kata-kata-nya hanya bisa ditafsirkan

17 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 219 dalam istilah-istilah yang selaras dengan kualitas-kualitas Ilahi tersebut. Pandangan ini tentu saja berarti menerapkan kriteria keadilan kepada al-qur an, daripada hanya sekadar menerima begitu saja bahwa al-qur an pastilah adil. Atau, ia mengambil pandangan tentang keadilan yang dikembangkan dalam sebagian ayat-ayat al-qur an, serta menggunakannya untuk menilai ayatayat lain yang tampaknya mengguncangkan pandangan tentang keadilan itu. 5. Feminis Rejeksionis Berbeda dengan aliran feminisme yang lain, aliran feminisme ini menganggap bahwa memang terdapat teks-teks dalam al-qur an dan hadis dalam kaitannya dengan masalah perempuan yang misoginis, seksis, dan diskriminatif. Tilik rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu, argumen apapun di luar itu dari manapun sumbernya yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak. Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh pengikut aliran feminisme rejeksionis ini. Menurut Anwar, Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan menolak sebagian teks al-qur an yang dianggap misoginis atau seksis tersebut. G. Memahami Teks-teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis 1. Konsep Penciptaan Manusia Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar dibicarakan lebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan manusia: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam As.) dalam QS. : 11, : 11, dan al- Hijr: 26; (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan ) dalam QS. : 1, : 189, Az-Zumar: 6; (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah (penciptaan Nabi Isa As.) dalam QS. Maryam: 19-22; (4)

18 220 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, Isa) dalam QS. : Berbeda dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayatayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa dari padanya (nafs wahidah- Adam), Dia menciptakan istrinya (zaujaha-hawa). Redaksi ini sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial (Ilyas: 62). Para mufassir pada umumnya seperti az-zamakhshari,, dan sepakat menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah dalam an- : 1 adalah Adam, dan zawjaha adalah istrinya (Hawa). Argumen yang mereka kemukakan: (1) Berdasar ayat, min yang terdapat dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min yang dengan demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; (2) Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan secara eksplisit penciptaan H{awa dari tulang rusuk Adam. Sementara kaum feminis seperti Riffat Hassan (2000: 55-66) berpendapat bahwa nafs wahidah tidak dapat dipastikan adalah Adam, karena baik kata nafs, maupun zawj bersifat netral, tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu. Bagi Riffat, Adam bukanlah nama diri, melainkan nama jenis secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Jika Adam belum tentu laki-laki, maka zawj Adam pun belum tentu perempuan. Riffat juga menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Menurutnya, Hawa juga diciptakan dari tanah seperti penciptaan Adam. Argumen yang dia kemukakan: (1) min dalam ayat tersebut menunjukkan jenis yang sama. Artinya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, yaitu dari tanah; (2) Semua hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam lemah, baik dari segi sanad ataupun matan. Dari segi sanad, empat orang perawinya (Maisarah al-asyja i, Haramalah bin Yahya, Zaidah, dan Abu Zinad --menurutnya--didha ifkan oleh kritikus hadis adz-dzahabi. Dari segi matan, bertentangan dengan al-qur an karena mengandung elemen-elemen misoginik yang bertentangan dengan konsep penciptaan manusia fi ahsan at-taqwim. Disamping itu Riffat mengaku tidak dapat memahami

19 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 221 relevansi statemen bahwa bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas; (3) Cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dari dongeng-dongeng Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadis (Riffat: 75). Sedangkan pemahaman Amina Wadud Muhsin terhadap QS : 1 tidak secara tegas menyebutkan penolakannya bahwa yang dimaksud nafs di sini adalah Adam mengingat minimnya penjelasan al-qur an tentang ini. Menurutnya, kata nafs secara gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual nafs tidak feminin maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut kisah al-qur an tentang penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal manusia pada Adam. Dengan demikian, secara teknis kata nafs dalam al-qur an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembang biak di muka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama (Amina: 42-43). Mengenai teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah H}awa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) dari untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam : 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi) maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya pendapat mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Penggunaan min yang terakhir ini dapat dilihat contohnya pada QS. Ar-Rûm: 21 misalnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu tenteram. Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.

20 222 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga Kepemimpinan rumah tangga menurut para mufassir klasik dengan berdasar QS An-Nisâ : 34 ditafsirkan sebagai kepemimpinan suami atas istri. Menurut feminis, paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para feminis muslim Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, dan Riffat Hassan berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar penafsiran lama yang dinilai bias gender. Para ulama memaknai kata dalam QS. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. Al- Qur an mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama, karena kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah keluarga. Meski demikian, para ulama masih berselisih pendapat mengenai maksud kelebihan, apakah yang dimaksud kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus. Menurut Asghar, QS. : 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurut dia, struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benarbenar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, al-qur an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali (Asghar, 1994: 61). Asghar mengungkapkan bahwa keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran sosial perempuan waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai sebuah keunggulan. Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh, bahwa peran-peran domestik yang mereka lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang serupa sesuai dengan doktrin yang diajarkan oleh al-qur an (QS. Al-Baqarah: 21), bukan semata-mata kewajiban yang harus mereka lakukan, maka tentu perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki terhadap

21 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 223 mereka tidak dapat lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki, karena peran-peran domestik yang dilakukan perempuan, lakilaki harus mengimbanginya dengan melindungi dan memberi nafkah yang oleh al-qur an disebut sebagai itu. Karena itu, kepemimpinan suami atas istri bersifat kontekstual, bukan normatif. Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan berubah. Dia membangun pendapatnya itu dengan menggunakan argumen struktur kalimat. Dalam bukunya, ia mengatakan: Al-Qur an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi. Dapat dilihat bahwa adalah merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-qur an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu (Asghar: 62-63). Riffat tidak setuju jika diartikan sebagai pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya dengan pelindung. Pelindng juga terkandung di dalamnya sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung perempuan. Berbeda dengan Riffat, karena perempuan mengemban fungsi penting dalam reproduksi, Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun harus memenuhi dua hal (1) Laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang dimaksud Amina hanyalah kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh al-qur an. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggung jawab yang dipikul. Laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan kekayaannya untuk mendukung perempuan, sehingga ia dijamin harta warisannya sebanyak dua kali lipat. Di sini tampak bahwa dalam menafsirkan QS. An-Nisa : 34 Amina lebih menekankan pada kata (Amina, 2003: 121). Amina (2003: 122) juga mengkritik penafsiran laki-laki yang sering mengabaikan dua prasyarat kepemimpinan laki-

22 224 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 laki sebagaimana diuraikan di atas. Ia menulis: Banyak laki-laki yang menafsirkan ayat di atas sebagai indikasi tak bersyarat dari pelebihan laki-laki di atas perempuan. Mereka menandaskan bahwa Laki-laki diciptakan Tuhan lebih tinggi daripada perempuan (dalam hal kekuatan dan akal). Akan tetapi, penafsiran ini tak berdasar karena tidak ada keterangan dalam ayat tersebut yang menyatakan superioritas fisik atau intelektual lakilaki. Pengertian semacam ini menjadikan tidak setiap laki-laki secara otomatis memiliki kelebihan atas istrinya. Hak mendapat warisan lebih banyak dari perempuan memang sudah dijamin oleh al-qur an, tapi apakah warisan itu digunakan untuk mendukung perempuan dalam konteks ini istrinya tentu harus dibuktikan. Oleh sebab itu, kelebihan itu tidak bisa tidak harus bersyarat, karena QS. An-Nisa : 34 tidak mengatakan mereka (jamak maskulin) telah dilebihkan atas mereka (jamak feminin). Ayat itu menyebutnya (sebagian) di antara mereka atas (sebagian lainnya). Penggunaan kata berhubungan dengan hal-hal yang nyata teramati pada manusia. Tidak semua kaum laki-laki unggul atas kaum perempuan dalam segala hal. Sekelompok laki-laki memiliki memiliki kelebihan atas sekelompok perempuan dalam hal-hal tertentu. Demikian pula sebaliknya, perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki dalam hal-hal tertentu (Ilyas: 85). 3. Konsep Kesaksian 1: 2 dan Warisan 2:1 Terhadap konsep kesaksian, Asghar menyatakan bahwa dua kesaksian perempuan sebanding dengan satu kesaksian laki-laki yang berlaku khusus pada transaksi bisnis itu tidak menunjukkan inferioritas perempuan. Hal itu semata-mata karena pada masa itu perempuan tidak mempunyai pengalaman yang memadai dalam masalah keuangan, dan karena itu dua saksi perempuan dianjurkan oleh al-qur an. Sehingga jika terjadi kelupaan maka salah seorang dapat mengingatkan yang lain. Selain itu, Asghar juga mengingatkan bahwa walaupun dua saksi perempuan dianjurkan sebagai pengganti seorang saksi lakilaki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian, yang lain berfungsi tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang (Asghar: 88).

23 TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 225 Senada dengan Asghar, Amina juga mengungkapkan bahwa dalam ayat tidak disebutkan bahwa kedua perempuan tersebut sebagai saksi. Seorang perempuan diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai mitra yang lainnya. Penyaksian dua saksi ini mengindikasikan upaya untuk mencegah penyelewengan. Jika salah seorang keliru, atau terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu, maka ada yang satunya lagi untuk mendukung ketentuan perjanjian. Tetapi, mengingat perempuan dalam masyarakat ketika itu mudah untuk ditekan, jika salah satu dari dua saksi tadi adalah perempuan, maka dia akan menjadi sasaran empuk pemaksaan oleh laki-laki yang ingin mencabut kesaksiannya. Kalau ada dua orang perempuan, maka mereka dapat saling mendukung. Satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan dengan fungsi yang berbeda ini tidak saja memberi nilai signifikan pada tiap-tiap individu, tetapi juga membentuk satu front yang terpadu untuk menghadapi saksi lain. Disamping itu, menurut Amina, satu saksi laki-laki ditambah satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan ini tidaklah sama dengan formula dua-banding-satu, sebab jika tidak demikian, maka empat saksi perempuan dapat menggantikan dua saksi laki-laki. Tetapi, al-qur an tidak memberikan alternatif ini (Amina: 148). Mengenai formula warisan 2:1, ternyata Asghar tidak menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar, selain mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, di akan mendapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Hanya saja Asghar mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan seperti ini sangat keliru, karena kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada struktur sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di dalam masyarakat (Asghar: 97)

24 226 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Berbeda dengan Asghar, Menurut Amina, meski pernyataan awal al-qur an, dalam QS an-nisa: menetapkan bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan, namun kajian yang lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan orangtua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai kombinasi yang berbeda-beda untuk menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa penetapan proporsional yang bisa dilakukan (Amina: 150). Dengan demikian dalam pandangan Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan naf un (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu keluarga yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Mungkin bukan ini keputusannya jika diperhatikan naf un yang nyata bagi ahli waris tertentu (Amina: 151). H. Menimbang Pendekatan Kaum Feminis terhadap Teks-teks Keislaman Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kaum feminis ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model pemahaman baru terhadap teks-teks keislaman (khususnya al- Qur an) dan isu-isu keperempuanan. Sebab mereka yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-qur an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan di masyarakat patriarki. Sehingga, diperlukan keberanian mengkritisi produkproduk penafsiran yang bias gender, karena produk-produk tafsir yang bias gender cenderung melahirkan perilaku yang bias gender pula. Suatu produk tafsir sudah seharusnya mampu berperan menjadi agen perubahan-perubahan sosial (agent of social change). Perubahan itu sendiri antara lain diawali dengan mengubah sistem teologi yang lebih sensitif gender. Sehingga,

Volume 3. Nomor 2. Desember 2010

Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang volume 3, nomor 2, Desember 2010 Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 Penanggung Jawab Abdul Hadi Mitra Bestari Siti Syamsiatun Ismi Dwi Astututi Nurhaeni

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME 51 BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME A. Analisis Terhadap Perlindungan Hak Nafkah Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam Hak perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer Dalam sebuah rentetan sejarah, telah terjadi dominasi laki-laki dalam

Lebih terperinci

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri 198 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada bab terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri Pondok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD A. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Masdar Farid Mas udi dan Kiai Husen Muhammad Tentang Kepemimpinan Perempuan

Lebih terperinci

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Amina Wadud Konsep terstruktur untuk menafsirkan Al Qur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERSPEKTIF AGAMA (ISLAM)

GENDER DALAM PERSPEKTIF AGAMA (ISLAM) GENDER DALAM PERSPEKTIF AGAMA (ISLAM) Oleh: Dr. Marzuki Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Yogyakarta 1 Pendahuluan1 Isu-isu tentang perempuan masih aktual dan menarik hingga sekarang ini. Sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman.

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Tinjauan Buku Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Buku yang berjudul God and the Rethoric of Sexuality ini ditulis oleh Phyllis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timbulnya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum lemah masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang telah di konstruksikan

Lebih terperinci

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja Issue Gender & gerakan Feminisme Rudy Wawolumaja Feminsisme Kaum feminis berpandangan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang pria dan tidak menyuarakan peran wanita dalam membuat sejarah dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah,

BAB VII PENUTUP. 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah, 277 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah, NU dan HTI tentang hadis-hadis misoginis dapat diklasifikasikan menjadi empat model pemahaman, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Muhammad Ilyas Program Studi Pendidikan Islam, Fakultas Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun ABSTRAK Tulisan ini mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN

MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN Danang Arif Darmawan Yogyakarta: Media Wacana 2008, xvi + 1 06 halaman Direview oleh: Sari Seftiani Pada awalnya, buku ini merupakan sebuah

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S ISLAM dan ISU-ISU KONTEMPORER P A I Demokrasi dan Kepemimpinan Islam Musyawarah Islam Versus Demokrasi Teokrasi dan Demokrasi Titik Temu Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara

BAB I PENDAHULUAN. membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi aksioma bahwa keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM. Jihan Abdullah *

KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM. Jihan Abdullah * KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM Jihan Abdullah * Abstract This paper deals with Gender equality from the perspective of Islam. To establish an equal Gender relation, it is necessary to eliminate unfair relation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender. Ida Rosyidah

Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender. Ida Rosyidah Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender Ida Rosyidah Konsep Gender Gender sebagai istilah asing Gender sebagai fenomena sosial budaya Gender sebagai sebuah kesadaran sosial Gender

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan.

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. Beberapa ahli yang bekecimpung di dalam gerakan teologi feminis mendefenisikan teologi feminis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian terhadap perempuan dalam roman Au Bonheur des Dames karya Émile Zola yang diambil sebagai objek penelitian ini memiliki beberapa implikasi.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: perempuan tercermin dalam kalimat wa bimaa anfaqu min amwaalihim yang

BAB V PENUTUP. telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: perempuan tercermin dalam kalimat wa bimaa anfaqu min amwaalihim yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian penelitian pada bab-bab sebelumnya, maka setidaknya telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: 1. Kelebihan laki-laki atas perempuan yang terdapat

Lebih terperinci

Kajian Dinamika Pendidikan:

Kajian Dinamika Pendidikan: Kajian Dinamika Pendidikan: Diskursus Pendidikan Islam dalam Perspektif Pembebasan Hegemoni Kaum Perempuan Umi Halwati *) *) Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Konsentrasi Ilmu Dakwah Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan dalam televisi senantiasa hanya mempertentangkan antara wanita karir dan menjadi ibu-ibu rumah tangga. Dua posisi ini ada didalam lokasi yang berseberangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas berhubungan erat dengan tatanan nilai, norma, pengetahuan,

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah sistem semiotik terbuka, karya dengan demikian tidak memiliki kualitas estetis intrinsik secara tetap, melainkan selalu berubah tergantung dari

Lebih terperinci

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA PENDAHULUAN Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa setiap orang baik laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bergabung dalam

Lebih terperinci

HANIFAH MUYASSARAH FAK. DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHAZALI CILACAP

HANIFAH MUYASSARAH FAK. DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHAZALI CILACAP HANIFAH MUYASSARAH FAK. DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHAZALI CILACAP WACANA GENDER Wacana gender dalam masyarakat pesantren sangat kontradiktif disamping memang tidak diketemukan dalam kitab-kitab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah A. Sonny Keraf mengemukakan bahwa ada dua kategori dari bencana yaitu bencana alam dan bencana lingkungan hidup. Sebagian dikategorikan sebagai bencana alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh orang dewasa untuk memberi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh orang dewasa untuk memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh orang dewasa untuk memberi pengaruh dalam rangka mengembangkan potensi manusia menuju kepada kedewasaan diri agar mampu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

Pendidikan Perempuan Ke Arah Pembebasan Gender. Yuyun Yunarti STAIN Jurai Siwo Metro

Pendidikan Perempuan Ke Arah Pembebasan Gender. Yuyun Yunarti STAIN Jurai Siwo Metro Pendidikan Perempuan Ke Arah Pembebasan Gender Yuyun Yunarti STAIN Jurai Siwo Metro Yuyun_yuniarti@gmail.com Abstrak Perempuan dan gender merupakan isu yang kait-mengait, yang tak terpisahkan bahwa isu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

Teori Feminisme Dalam Kajian Komunikasi

Teori Feminisme Dalam Kajian Komunikasi Teori Feminisme Dalam Kajian Komunikasi Oleh; Agoes Moh. Moefad (NPM : 170130087012) Hamzah Turmudi (NPM : 170130087004) Zaenal Mukarom (NPM : 170230087001) Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perempuan bekerja dan mengurus rumah tangga menjadi pemandangan biasa dalam film Suffragette. Perempuan harus membagi waktunya untuk keluarga dan pekerjaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, media massa sudah menjadi kebutuhan penting bagi khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media massa adalah perpanjangan alat indra.

Lebih terperinci

TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi

TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi i ii TEOLOGI SOSIAL: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi iii iv TEOLOGI SOSIAL: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LatarBelakang Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum perempuan, sebagian besar masyarakat tentu lebih mengenal R.A Kartini. Memang, banyak tokoh perempuan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas,

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, 78 BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Manusia pun mau tidak

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER Oleh: Dr. Marzuki PKnH FIS -UNY Pendahuluan 1 Isu-isu tentang perempuan masih aktual dan menarik Jumlah perempuan sekarang lebih besar dibanding laki-laki Perempuan belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg (1989:6) mengatakan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui berbagai kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai lingkungan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreatif penulis yang berisi potret kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dinikmati,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

Tafsir Edisi 3 : Sekali Lagi: Pemimpin Perempuan!

Tafsir Edisi 3 : Sekali Lagi: Pemimpin Perempuan! Pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diikuti ucapan dan tindakannya, baik mau pun yang buruk. Kaum muslimin menyebutnya: Imam atau sebuatan lain yang semakna. Al Qur-an menyatakan : "Dan Kami telah

Lebih terperinci

Islam dan Sekularisme

Islam dan Sekularisme Islam dan Sekularisme Mukaddimah Mengikut Kamus Dewan:- sekular bermakna yang berkaitan dengan keduniaan dan tidak berkaitan dengan keagamaan. Dan sekularisme pula bermakna faham, doktrin atau pendirian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, kepada tiap-tiap golongan umat pada

Lebih terperinci

PERAN PENDIDIKAN MUSLIMAH DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN, PENDIDIKAN DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT ISLAM 1

PERAN PENDIDIKAN MUSLIMAH DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN, PENDIDIKAN DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT ISLAM 1 PERAN PENDIDIKAN MUSLIMAH DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN, PENDIDIKAN DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT ISLAM 1 Oleh: Prof. Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag Perempuan; Antara yang Kodrati dan Konstruk Sosial Kajian tentang

Lebih terperinci

Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerakgerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya.

Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerakgerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya. BAB II KAJIAN TEORI Di dalam bab dua ini akan dibahas beberapa teori yang menjadi landasan dari analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Teori tersebut adalah Representasi, Cerita Pendek, Feminisme,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 81 A. Kesimpulan BAB V PENUTUP Berangkat dari uraian yang telah penulis paparkan dalam bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Makna tawassul dalam al-qur an bisa dilihat pada Surat al-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku seharihari.

BAB I PENDAHULUAN. luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku seharihari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengahtengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap dan perilaku

Lebih terperinci