4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 43 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian terhadap bahan baku yaitu limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dan bahan pewarna alami dari secang (Caesalpinia sappan L). Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui tingkat kesegaran bahan baku dan karakteristik secang sebagai bahan pewarna alami Pengujian bahan baku (daging limbah filet ikan kakap merah) Daging limbah filet ikan kakap merah yang diperoleh berupa serpihan daging dan sisa-sisa daging ikan kakap merah yang masih menempel pada tulang, sirip dan bagian kepala. Serpihan digunakan sebagai bahan baku surimi dan selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan edible coating surimi. Daging limbah filet kakap merah yang digunakan dalam penelitian adalah daging limbah filet beku seperti yang disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Daging limbah filet ikan kakap merah beku. Daging limbah filet sebelum digunakan dipisahkan dari sisik, tulang, dan duri yang masih tercampur. Analisis yang dilakukan terhadap bahan baku meliputi Total Volatile Base (TVB) diperoleh hasil 8,58±0,01 mgn/100g dan nilai ph 6,8±0,05. Nilai TVB dan ph menunjukkan bahwa daging limbah filet ikan kakap merah tersebut telah mengalami penurunan mutu, tetapi masih pada tahap awal. Nilai TVB kurang dari 10 mgn/100g menunjukkan ikan masih sangat segar (Farber 1965). Nilai ph dapat mempengaruhi kekuatan gel. Kekuatan gel akan tinggi jika ph daging berkisar antara 6,0-7,0, hal ini disebabkan miosin mudah

2 44 larut pada kisaran ph tersebut (Shimizu 1992). Daging limbah filet ikan yang digunakan dalam penelitian menunjukkan daging yang sangat segar, sehingga apabila digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi dapat menghasilkan kekuatan gel yang tinggi Bahan pewarna alami dari secang Pewarna alami dari secang diperoleh melalui proses ekstraksi berdasarkan metode Ye Min et al. (2006) dengan menggunakan pelarut air. Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami karena mengandung brazilein yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air panas (Sanusi 1993). Senyawa brazilein termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengamatan dilakukan untuk melihat jumlah rendemen ekstrak secang yang baik sebagai pewarna alami untuk dicampurkan pada edible coating. (a) (b) (c) Gambar 9 Ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L). (a) kayu secang, (b) larutan secang, (c) serbuk ekstrak secang. Berdasarkan hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut air, diperoleh rendemen cukup tinggi yaitu 5,7% (±0,03). Pelarut air menghasilkan rendemen paling besar untuk mengekstrak secang dibandingkan dengan pelarut etanol (Weningtyas 2009). Nilai ph larutan secang sebelum dipekatkan menjadi serbuk 6,4±0,05 dengan warna merah. Kondisi keasaman atau ph larutan sangat mempengaruhi stabilitas warna pigmen brazilein. Pada ph 6-7 secang berwarna merah (Adawiyah dan Indriati 2003). Ekstrak kayu secang yang dihasilkan setelah dipekatkan berupa serbuk berwarna kemerahan.

3 Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu pembuatan surimi, pembuatan dan karakterisasi edible coating, aplikasi edible coating pada berbagai konsentrasi surimi terhadap udang rebus serta pengamatan terhadap kemunduran mutu udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C Mutu surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah daging limbah filet ikan kakap merah. Berdasarkan hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa daging limbah filet kakap merah tersebut layak digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan surimi karena memiliki tingkat kesegaran yang sangat tinggi. Daging limbah filet kakap merah beku yang diperoleh dari industri, seringkali masih mengandung sisik, duri dan tulang ikan. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pembuatan surimi daging limbah filet dibersihkan terlebih dahulu dari kemungkinan adanya duri-duri atau kotoran yang lain. Rendemen daging lumat dari daging limbah filet diperoleh 92,31% (±0,34) sedangkan rendemen surimi yang diperoleh dari hasil pencucian sebanyak dua kali adalah 72,36% (±0,18). Proses pembuatan surimi dilakukan pencucian terhadap daging limbah filet ikan kakap merah dengan menggunakan air dingin. Pencucian dengan air dingin merupakan tahap yang paling penting dalam proses pembuatan surimi (Peranginangin et al. 1999). Pencucian yang secara berulangulang maksimal sebanyak tiga kali akan meningkatkan gel surimi dan mencegah terjadinya denaturasi protein miofibril selama penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992). Analisis yang dilakukan terhadap surimi beku meliputi nilai ph dan TVB. Nilai ph surimi beku adalah 7,06±0,05 dan TVB sebesar 9,17 mgn/100g (±0,11). Berdasarkan nilai ph dan TVB tersebut terlihat bahwa telah terjadi penguraian protein selama penyimpanan beku, tetapi proses penguraian masih berjalan dengan lambat. Penyimpanan yang lebih lama dapat menyebabkan terbentuknya senyawa volatil yang dapat meningkatkan nilai ph dan TVBN. Nilai TVBN kurang dari 10 mgn/100g termasuk ke dalam kategori ikan sangat segar (Farber 1965).

4 Pembuatan dan karakterisasi edible coating dari surimi Edible coating dibuat dari surimi dengan berbagai konsentrasi, yaitu 2%, 6%, 10%, dan 14%. Edible coating yang terbentuk berwarna bening dan semakin tinggi konsentrasinya kenampakannya menjadi semakin keruh. Penambahan secang 2,5 mg/ml ke dalam edible coating menghasilkan warna merah tua, warna tersebut dihasilkan karena coating memiliki ph mendekati basa yaitu 7,8±0,04. Edible coating dari surimi limbah filet kakap merah pada berbagai konsentrasi disajikan pada Gambar 10 dan untuk edible coating dengan pemberian ekstrak secang disajikan pada Gambar 11. 2% 6% 10% 14% Gambar 10 Edible coating dari surimi limbah filet kakap merah pada berbagai konsentrasi surimi. 2% 6% 10% 14% Gambar 11 Edible coating dari surimi limbah filet kakap merah pada berbagai konsentrasi surimi dengan penambahan secang sebanyak 2,5 mg/ml. Edible coating yang dicampur dengan ekstrak secang memiliki nilai viskositas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan edible coating yang tidak diberi ekstrak secang. Nilai rataan viskositas edible coating dari surimi limbah filet kakap merah disajikan pada Gambar 12. Pemberian ekstrak secang dilakukan setelah edible coating terbentuk.

5 47 Viskositas (Cp) a e b f c g d h Konsentrasi surimi (%) Gambar 12 Nilai rataan viskositas edible coating dari surimi daging limbah filet Ikan kakap merah. tanpa secang, ditambah secang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan secang, konsentrasi surimi, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap nilai viskositas edible coating seperti pada Lampiran 2. Secara keseluruhan semakin besar konsentrasi surimi yang ditambahkan, maka nilai viskositas edible coating menjadi meningkat. Hal ini disebabkan oleh jumlah protein surimi yang ditambahkan ke dalam larutan mengalami denaturasi oleh basa yang ditambahkan dalam proses pembuatan edible coating. Ikatan-ikatan molekul yang mengalami kerusakan, maka molekul tersebut akan mengembang dan pengembangan molekul ini mengakibatkan viskositas bertambah (Winarno 2008). Semakin banyaknya surimi sebagai zat terlarut yang ditambahkan juga akan meningkatkan jumlah padatan terlarut dalam edible coating. Viskositas dipengaruhi oleh zat yang terlarut dalam larutan tersebut, jika zat yang terlarut semakin banyak dan larutan semakin kental maka nilai viskositas yang dihasilkan akan semakin tinggi. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan. Pengembangan molekul zat terlarut mengakibatkan viskositas bertambah (Winarno 2008). Edible coating dengan penambahan ekstrak secang terdapat sedikit gumpalan di dasar wadah edible coating. Hal ini terjadi karena ekstrak secang memiliki kandungan tanin. Tanin yang terdapat dalam kayu secang ikut terekstrak selama proses ekstraksi, karena tanin merupakan senyawa polar yang larut dalam air dan etanol (Holinesti 2007). Kadar tanin ekstrak kayu secang yang diperoleh

6 48 melalui ekstraksi dengan air adalah 0,137% (Winarti dan Sembiring 1998). Tanin yang terdapat pada ekstrak secang bereaksi dengan surimi yang terdapat dalam edible coating, hal ini disebabkan surimi yang merupakan protein memiliki muatan positif dan tanin bermuatan negatif sehingga terjadi mekanisme pengikatan tanin oleh protein melalui muatan listrik. Menurut Siebert (1996), protein akan mengendap bersama tanin membentuk kompleks yang tidak larut. Interaksi tanin dengan protein akan membentuk ikatan hidrogen yang mengakibatkan berat kedua molekul yang berikatan meningkat sehingga terjadi pengendapan. Berdasarkan hal tersebut juga, sebagian surimi yang terdapat dalam edible coating akan berikatan dengan tanin yang terdapat dalam ekstrak secang. Penambahan secang yang mengandung tanin bermuatan negatif menyebabkan jumlah ion negatif dalam larutan berlebih sehingga terjadi efek salting out. Salting out dapat dideskripsikan sebagai fenomena dimana air tidak dapat melarutkan akibat ion-ion terlarut dalam kondisi jenuh (Hasseine et al. 2008). Hal ini menyebabkan jumlah zat terlarut dalam edible coating menjadi berkurang, dengan demikian viskositasnya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan edible coating yang tidak diberi ekstrak secang Aplikasi edible coating pada udang rebus Udang rebus yang digunakan dalam penelitian adalah udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Kandungan Total Volatile Base (TVB) udang vannamei rebus diperoleh hasil sebesar 4,32 mgn/100g dengan nilai ph adalah 7,36. Analisis kimia udang vannamei rebus meliputi analisis proksimat yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Hasil analisis disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) rebus No Parameter Analisis Udang Rebus 1 Kadar air (%) 68,824±0,19 2 Kadar abu (%) 0,714±0,03 3 Kadar protein (%) 23,257±1,06 4 Kadar lemak (%) 1,634±0,06

7 49 Berdasarkan Tabel 7, maka udang vannamei rebus merupakan produk olahan yang memiliki kandungan protein tinggi dan berlemak rendah, karena kadar proteinnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jacoeb et al. (2008) udang memiliki kadar protein yang tinggi dengan protein yang mudah untuk dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh. Udang vannamei yang telah direbus selama 5 menit, ditiriskan dan selanjutnya dilapisi oleh edible coating dari daging limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dengan metode pencelupan selama 30 menit. Seluruh permukaan udang rebus terselimuti coating secara merata dan berwarna transparan sehingga udang rebus tampak mengkilat. Secara visual warna merah pada udang yang dilapisi edible coating yang ditambah secang relatif lebih merah dibandingkan dengan udang yang dilapisi tanpa secang. Penentuan konsentrasi surimi yang akan digunakan untuk penelitian kemunduran mutu udang rebus dilakukan dengan uji hedonik dan uji warna terhadap udang masak yang telah dilapisi edible coating. Konsentrasi surimi yang terpilih selanjutnya diaplikasikan terhadap udang rebus untuk tahap penelitian selanjutnya. 1. Penilaian organoleptik dengan uji hedonik Uji organoleptik adalah menilai suatu produk menggunakan alat indera penglihatan, pencicip, pembau dan indera pendengar. Uji ini dilakukan supaya dapat diketahui penerimaan panelis atau konsumen terhadap suatu produk (Soekarto 1985). Uji hedonik dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap udang rebus yang dilapisi edible coating. Edible coating terdiri dari dua jenis yaitu tanpa secang dan ditambah dengan secang sebanyak 2,5 mg/ml. Karakteristik yang diuji meliputi kenampakan, warna, aroma dan rasa. Hasil uji hedonik udang rebus yang dilapisi edible coating surimi disajikan pada Gambar 13 dan hasil uji hedonik udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan penambahan ekstrak secang disajikan pada Gambar 14.

8 50 Skor uji hedonik a a a a b b b c d d d d e e e e 1 0 Kenampakan Warna Aroma Rasa Karakteristik organoleptik Gambar 13 Hasil uji hedonik terhadap udang rebus yang dilapisi edible coating surimi. Konsentrasi surimi 2%, 6%, 10%, 14%. Skor uji hedonik a b c c c d e e e e f f f f 0 Kenampakan Warna Aroma Rasa Karakteristik organoleptik Gambar 14 Hasil uji hedonik terhadap udang rebus yang dilapisi edible coating surimi ditambah secang 2,5 mg/ml. Konsentrasi surimi 2%, 6%, 10%, 14%. a. Kenampakan Kenampakan merupakan parameter organoleptik yang penting, karena merupakan sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Bila kesan kenampakan produk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat sifat sensoris lainnya (aroma, rasa, tekstur). Kenampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi kenampakan juga mempengaruhi

9 51 penerimaan konsumen. Umumnya konsumen memilih dan menerima makanan yang memiliki kenampakan yang menarik (Soekarto 1985). Kisaran nilai rataan kenampakan udang rebus yang dilapisi edible coating surimi adalah 4,7 sampai 6,03. Nilai terendah adalah pada udang rebus yang diberi edible coating surimi sebesar 6%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan konsentrasi surimi 14%. Kisaran nilai rataan kenampakan udang rebus yang dilapisi edible coating surimi yang diberi ekstrak secang adalah 3,7 sampai 5,1. Nilai terendah pada konsentrasi surimi 2% dan nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis pada Lampiran 3a diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi pada edible coating surimi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenampakan udang rebus, sedangkan edible coating surimi dengan pemberian secang memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenampakan udang rebus. Nilai rataan kenampakan udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dan udang rebus yang dilapisi edible coating dengan penambahan secang memiliki nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi surimi 14% dapat membentuk edible coating dengan baik. Edible coating dapat menutupi permukaan udang rebus dengan sempurna pada saat diaplikasikan, sehingga mampu membuat permukaan udang rebus terlihat jernih, transparan, mengkilap dan cerah. Menurut Krochta (1992), penggunaan edible coating dapat mereduksi laju kerusakan selama proses, memperbaiki tekstur dan penampakan produk. b. Warna Warna merupakan atribut sensori yang sangat penting dan harus selalu dipertimbangkan, karena mempunyai pengaruh secara langsung terhadap kualitas suatu produk (Niamnuy 2008). Pigmentasi yang bagus dan homogen dalam suatu bahan pangan adalah karakteristik kualitas yang menentukan terhadap penerimaan konsumen. Produk dengan warna yang menarik akan lebih diterima oleh konsumen walaupun dengan harga yang lebih mahal (Delgado et al. 2003). Kisaran nilai rataan warna udang rebus yang dilapisi edible coating surimi adalah 4,5 sampai 6. Nilai terendah adalah pada udang rebus yang diberi edible

10 52 coating surimi 6%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan konsentrasi surimi 14%. Kisaran nilai rataan kenampakan udang rebus yang dilapisi edible coating surimi yang diberi ekstrak secang adalah 3,5 sampai 5,03. Nilai terendah pada konsentrasi surimi 2% dan nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis pada Lampiran 3b diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi pada edible coating surimi dan edible coating surimi dengan pemberian secang memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna udang rebus. Nilai rataan warna udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dan udang rebus yang dilapisi edible coating dengan penambahan secang memiliki nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Konsentrasi surimi 14% terhadap edible coating yang diaplikasikan pada udang rebus mampu memperbaiki warna udang rebus, udang rebus menjadi memiliki warna yang lebih cerah dan mengkilap sehingga banyak disukai oleh panelis. Edible coating efektif dalam mengurangi penurunan kualitas sensori produk yang meliputi warna, bau, dan firmness (Mastromatteo 2010). c. Aroma Enak atau tidaknya suatu produk makanan ditentukan oleh aroma, bahkan aroma lebih kompleks daripada cicip atau rasa, dan kepekaan indera pembauan lebih tinggi daripada indera pencicipan. Industri pangan menganggap sangat penting melakukan uji bau karena dapat memberikan hasil penilaian produksinya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985). Nilai rataan aroma udang rebus yang dilapisi edible coating surimi berkisar antara 5,06 sampai 5,13. Nilai terendah adalah pada udang rebus yang diberi edible coating surimi sebesar 2%%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan konsentrasi surimi 14%. Nilai rataan aroma udang rebus yang dilapisi edible coating surimi yang diberi ekstrak secang berkisar antara 4,50 sampai 4,73. Nilai terendah pada konsentrasi surimi 6% dan nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis pada Lampiran 3c diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi pada edible coating surimi dan edible coating surimi dengan pemberian secang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma udang

11 53 rebus. Hal ini terjadi karena edible coating surimi memiliki aroma yang netral, sehingga ketika diaplikasikan pada udang rebus tidak menimbulkan aroma yang menyimpang dari aroma udang rebus. d. Rasa Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 2008). Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap rasa udang rebus yang dilapisi edible coating surimi berkisar antara 4,16 sampai 4,66. Nilai terendah adalah pada udang rebus yang diberi edible coating surimi 6%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan konsentrasi surimi 14%. Hasil rataan penilaian panelis terhadap rasa udang rebus yang dilapisi edible coating surimi yang diberi ekstrak secang berkisar antara 3,83 sampai 4,56. Nilai terendah pada konsentrasi surimi 2% dan nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14%. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis pada Lampiran 3d diperoleh hasil konsentrasi surimi pada edible coating surimi dan edible coating surimi dengan pemberian secang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa udang rebus. Berdasarkan hasil uji hedonik, aplikasi edible coating terhadap udang rebus menunjukkan bahwa konsentrasi surimi pada edible coating yang diaplikasikan pada udang rebus, yang paling disukai oleh panelis adalah 14%. Konsentrasi tersebut paling disukai baik pada edible coating tanpa secang maupun pada edible coating yang ditambah dengan secang. 2. Uji warna udang pada berbagai konsentrasi surimi dalam edible coating Warna bahan pangan merupakan atribut sensori yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan produk pangan. Produk pangan dengan nilai gizi yang tinggi belum tentu dapat dipilih konsumen jika warnanya tidak menarik atau tidak sesuai dengan standarnya. Hasil uji warna udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi limbah filet ikan kakap merah, disajikan pada Gambar 15, 16, dan 17.

12 54 Nilai L* a e b f c g d h Kontrol Konsentrasi surimi (%) Gambar 15 Nilai L* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai konsentrasi surimi. kontrol, tanpa secang, ditambah secang. Berdasarkan Gambar 15 nilai rata-rata L* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi berkisar antara 72,25-78,07 nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 2%. Nilai rataan L* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan pemberian ekstrak secang berkisar antara 69,76-77,53, nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 6%. Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan, menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L* berkisar dari 0 (hitam) hingga 100 (putih). Berdasarkan Gambar 15, nilai L* udang rebus cenderung mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya konsentrasi surimi yang ditambahkan ke dalam edible coating. Nilai L* pada udang rebus yang diberi edible coating dengan konsentrasi surimi 14% paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hasil tersebut ditunjukkan baik pada perlakuan yang diberi secang maupun yang tidak diberi secang. Hal ini disebabkan pada konsentrasi 14% edible coating yang terbentuk memiliki sifat gel yang stabil, pada saat diaplikasikan pada udang rebus edible coating mampu menyelimuti permukaan dengan sempurna, sehingga udang rebus menjadi mengkilap dan cerah. Hasil analisis ragam pada Lampiran 4a menunjukkan bahwa konsentrasi surimi, perlakuan secang dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang

13 55 nyata (p<0,05) terhadap nilai L* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan pengaruh yang nyata antara interaksi perlakuan secang pada konsentrasi surimi 2%, 6%, 10% dan 14%. 25 Nilai a* a e b f c g d h 5 0 Kontrol Konsentrasi surimi (%) Gambar 16 Nilai a* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai konsentrasi surimi. kontrol, tanpa secang, ditambah secang. Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan nilai rataan a* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi berkisar antara 13,21-16,06, nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 2%. Nilai rataan a* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan pemberian ekstrak secang berkisar antara 17,09-20,22 nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 2%. Nilai a* merupakan nilai yang menerangkan warna kromatik yang terkandung di dalam sampel. Nilai a* menentukan warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai a+ (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah, dan a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Berdasarkan data nilai a* pada Gambar 16 menunjukkan bahwa udang rebus yang dilapisi edible coating surimi tanpa secang dengan konsentrasi surimi sebesar 2% memiliki nilai kromatik merah paling kecil tetapi bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa warna kromatik yang terkandung masih berada pada kisaran warna merah. Nilai kromatik merah paling tinggi ditunjukkan pada udang rebus yang dilapisi edible

14 56 coating dengan konsentrasi surimi 14% yang diberi ekstrak secang. Edible coating yang diberi ekstrak secang menghasilkan nilai kromatik yang lebih tinggi dibandingkan dengan edible coating tanpa ekstrak secang. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating yang dikombinasikan dengan pewarna alami secang dapat memberikan warna merah yang lebih tajam pada udang rebus, sehingga warna udang rebus tersebut menjadi lebih menarik konsumen. Hasil analisis ragam pada Lampiran 4b menunjukkan bahwa konsentrasi surimi, perlakuan secang, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai a* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan pengaruh yang nyata antara interaksi perlakuan secang pada konsentrasi surimi 2%, 6%, 10% dan 14%. Nilai b* a e b f c g d h 40 Kontrol Konsentrasi surimi (%) Gambar 17 Nilai b* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai konsentrasi surimi. kontrol, tanpa secang, ditambah secang. Nilai rataan b* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi berkisar antara 48,46-53,74. Nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 2%. Nilai rataan b* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan pemberian ekstrak secang berkisar antara 49,73-54,28, nilai tertinggi pada konsentrasi surimi 14% dan terendah pada konsentrasi surimi 2%. Nilai b* menentukan warna kromatik gradasi kuning-biru dengan nilai b+ (positif) dari 0 hingga +70 untuk warna kuning dan b (negatif) dari 0 hingga -80 untuk warna biru. Berdasarkan Gambar 17 nilai b* cenderung mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya konsentrasi surimi yang ditambahkan

15 57 ke dalam edible coating. Nilai b* pada udang rebus yang diberi edible coating dengan konsentrasi surimi 14% paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hasil tersebut ditunjukkan baik pada perlakuan yang diberi secang maupun yang tidak diberi secang. Nilai kromatik kuning paling tinggi ditunjukkan pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan konsentrasi surimi 14% yang diberi ekstrak secang. Edible coating yang diberi ekstrak secang menghasilkan nilai kromatik yang lebih tinggi dibandingkan dengan edible coating tanpa ekstrak secang. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating yang dikombinasikan dengan pewarna alami secang dapat memberikan warna kuning pada udang rebus, sehingga dapat memperbaiki warna udang rebus tersebut. Hasil analisis ragam pada Lampiran 4c menunjukkan bahwa konsentrasi surimi, perlakuan secang, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai b* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan pengaruh yang nyata antara interaksi perlakuan secang pada konsentrasi surimi 2%, 6%, 10% dan 14%.. Berdasarkan hasil uji hedonik, diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi pada edible coating yang paling banyak disukai oleh panelis adalah 14%. Hasil uji warna juga menunjukkan bahwa konsentrasi surimi 14% pada edible coating menghasilkan nilai L*, a* dan b* yang paling tinggi. Dengan demikian, untuk tahap penelitian terhadap kemunduran mutu udang rebus konsentrasi surimi yang digunakan adalah 14% Visualisasi aplikasi edible coating surimi terhadap udang rebus Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), menyemprotkan (spraying), atau panning ke permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta meningkatkan nilai tambah produk. Edible coating juga berfungsi sebagai penghalang terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, dan zat terlarut) dan atau sebagai pembawa bahan makanan dan aditif, serta untuk meningkatkan kemudahan penanganan makanan (Krochta 1992). Metode coating yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pencelupan (dipping). Metode ini merupakan metode aplikasi dari coating,

16 58 dimana produk yang akan dilapisi dicelupkan dalam edible coating surimi yang digunakan sebagai pengemas atau pelapis pada udang rebus. Seluruh permukaan udang rebus akan tertutup oleh edible coating setelah dilakukan proses pencelupan. Ketebalan edible coating dapat mempengaruhi kenampakan produk yang dikemas. Ketebalan terbentuk karena adanya pemekaran atau pengembangan molekul protein yang terdenaturasi pada surimi limbah filet ikan kakap merah sehingga membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida. Ikatan antar gugus-gugus reaktif protein tersebut menahan seluruh cairan, maka akan terbentuklah gel (Winarno 2008). Berdasarkan hasil foto mikroskopis (Gambar 18), terlihat adanya perbedaan pada semua perlakuan. Secara visual perbedaan tahap pemberian edible coating pada udang rebus memberikan pengaruh yang berbeda terhadap ketebalan edible coating. Kontrol yang tidak diberi edible coating tampak permukaan udang dengan garis permukaan yang jelas. Udang yang diberi edible coating sebelum proses pemasakan, tidak terlihat jelas lapisan edible coating pada permukaan udang rebus setelah melalui proses pemasakan. Hal ini terjadi karena pada saat proses pemasakan udang, edible coating mengalami denaturasi akibat suhu yang sangat tinggi yaitu 100 o C dan adanya tekanan fisik dari gerakan air yang mendidih, sehingga edible coating yang menutupi udang menjadi terlepas sebagai akibat dari ketidaksabilan lapisan (Gambar 18 A dan B). Struktur gel yang terdapat pada edible coating surimi juga menjadi hancur pada suhu di atas 50 o C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas 50 o C, maka struktur gel tersebut akan hancur, enzim akan mengurai kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan rapuh dan hilang elastisitasnya (Suzuki 1981). Hasil visualisasi ketebalan edible coating di bawah mikroskop disajikan pada Gambar 18.

17 59 K A B lapisan daging C edible coating D udang rebus Gambar 18 Penampang melintang udang rebus pada berbagai perlakuan edible coating surimi (perbesaran 10 kali). K = tidak diberi edible coating; A = pencelupan, pemasakan- tanpa secang; B = pencelupan, pemasakanditambah secang; C= pemasakan, pencelupan-tanpa secang; D = pemasakan, pencelupan- ditambah secang. Tahap pemberian edible coating terhadap udang setelah proses pemasakan, lapisan edible coating pada permukaan udang dapat terlihat dengan jelas (Gambar 18 C dan D). Hal ini terjadi karena seluruh permukaan udang terselimuti coating yang menempel secara merata. Edible coating surimi yang terbentuk memiliki kekuatan gel yang stabil sehingga pada saat diaplikasikan pada udang rebus mampu menempel dan menutupi permukaan udang. Protein miofibril ikan memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi gel yang stabil (Yoon et al. 2004). Edible coating juga setelah diaplikasikan pada udang rebus tidak diberi perlakuan yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap stabilitas edible coating. Edible coating yang ditambah secang menunjukkan hasil lapisan berwarna merah cerah pada permukaan udang rebus. Edible coating tanpa secang menunjukkan hasil lapisan yang transparan, cerah dan mengkilap. Pemberian edible coating setelah proses pemasakan memperlihatkan tekstur daging yang

18 60 lebih halus dan kompak. Penggunaan edible coating mereduksi laju kerusakan selama proses, memperbaiki tekstur dan penampakan produk (Krochta 1992). Permukaan udang rebus yang dilapisi oleh edible coating memiliki kenampakan yang cerah dan mengkilap. Udang rebus yang dilapisi edible coating dengan penambahan secang memiliki warna yang lebih merah. Warna merah pada udang rebus merupakan atribut sensori yang mempengaruhi terhadap kualitas dan penerimaan produk pangan. Hasil pengamatan mikroskopis terhadap permukaan udang rebus disajikan pada Gambar 19. K A B C D Gambar 19 Permukaan udang rebus dengan berbagai perlakuan edible coating surimi diamati secara mikroskopis (perbesaran 10 kali). Hasil pengamatan secara mikroskopis permukaan udang rebus yang tidak dilapisi edible coating memliki kenampakan yang lebih kusam dibandingkan dengan semua perlakuan. Udang rebus yang diberi edible coating semua permukaannya memiliki kenampakan yang transparan, cerah dan mengkilap. Edible coating yang ditambah dengan ekstrak secang memberikan warna yang lebih merah terhadap udang rebus.

19 Kemunduran mutu udang rebus yang diberi edible coating surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C Nilai total plate count (TPC) Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, aktivitas enzim dan perubahan kimia. Mikroba merupakan penyebab utama kerusakan bahan pangan. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan akan menyebabkan kerusakan dan kemunduran mutu. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan. Kandungan TPC dalam udang rebus merupakan salah satu parameter mikrobiologis untuk menentukan tingkat kemunduran mutu udang rebus tersebut. Nilai TPC udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 20. TPC (Log koloni/gram) 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0, Waktu penyimpanan (Hari) Gambar 20 Nilai TPC udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang, batasan SNI TPC. Kandungan mikroorganisme pada udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C berkisar antara 3,1 x ,9 x 10 9 unit koloni/gram. Nilai TPC terendah untuk semua perlakuan terjadi pada hari ke-0 yaitu masing-masing sebesar 1,7 x 10 3 unit koloni/g, 3,1 x 10 2 unit koloni/g, 2,1 x 10 3 unit koloni/g, dan 4,6 x 10 2 unit koloni/g. Kandungan TPC pada hari ke-0 tergolong sudah cukup tinggi. Hal ini menunjukkan telah adanya aktivitas mikrobiologi pada udang rebus sejak awal penyimpanan. Berdasarkan Gambar 20

20 62 nilai TPC udang rebus cenderung semakin meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan. Udang rebus yang tidak diberi edible coating mengalami peningkatan mikroba yang sangat pesat dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Hasil analisis ragam log TPC pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan (RM) dengan pemasakan pencelupan (MR) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk melindungi udang rebus dari kontaminasi mikroba, terutama pada edible coating yang ditambah dengan ekstrak kayu secang. Pelapisan edible coating surimi pada udang rebus memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap perlakuan terhadap pertumbuhan mikrobanya. Udang yang dilapisi edible coating surimi sebelum proses pemasakan mengalami peningkatan jumlah mikroba lebih cepat dibandingkan dengan udang yang mengalami proses pemasakan terlebih dahulu kemudian dilapisi oleh edible coating surimi, baik yang ditambah ekstrak secang maupun yang tidak diberi ekstrak secang. Hal ini disebabkan edible coating yang telah menyelimuti udang segar sebelum pemasakan, pada proses pemasakan edible coating surimi tersebut mengalami pengikisan dari daging udang karena adanya suhu pemasakan yang tinggi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan gel yang terbentuk pada edible coating surimi menjadi rusak sehingga stabilitas edible coating surimi yang menyelimuti udang rebus menjadi rusak. Pemanasan yang ditingkatkan hingga di atas suhu 50 o C menyebabkan struktur gel akan hancur (Suzuki 1981). Adanya kerusakan struktur gel pada edible coating surimi, maka udang rebus menjadi tidak terlindungi dengan sempurna oleh edible coating surimi. Hal ini mengakibatkan mikroba menjadi lebih mudah mengkontaminasi udang rebus. Semakin lama penyimpanan nilai TPC semakin tinggi, nilai TPC yang semakin tinggi tersebut karena pada saat awal penyimpanan terdapat bakteri yang

21 63 telah mengkontaminasi udang rebus. Penyimpanan menyebabkan terjadi berbagai perubahan kondisi lingkungan yang dapat menciptakan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan bakteri. Bakteri anaerobik dapat tetap tumbuh walaupun udang rebus dilapisi dengan edible coating, sehingga walaupun udang rebus dilapisi edible coating pertumbuhan bakteri tetap terjadi tetapi berjalan dengan lambat. Aktivitas enzim yang terdapat pada udang rebus selama penyimpanan juga dapat menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa volatil. Senyawa tersebut merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya bakteri. Pelapisan edible coating setelah udang mengalami proses pemasakan terlebih dahulu, menunjukkan pertumbuhan mikroba yang relatif lambat selama proses penyimpanan. Edible coating yang melindungi udang rebus, dapat menghambat pertumbuhan bakteri, karena selain untuk melindungi produk, edible coating juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riyanto (2006), pelapis edible dari isinglass mampu melindungi udang masak dari kontaminasi mikroba. Hasil yang sama juga diperoleh pada proses coating yang telah diteliti oleh Ouattara et al. (2002) pada precooked shrimp dengan menggunakan edible coating base solution Longevitas (Bio- Envelop Technologies Inc.) yang dikombinasikan dengan irradiasi sinar gamma dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan pathogen, serta dapat memperpanjang umur simpan dari 3 hari menjadi 10 hari. Udang rebus yang dilapisi oleh edible coating surimi dengan penambahan ekstrak secang, menunjukkan tingkat pertumbuhan bakteri yang paling lambat. Hal ini disebabkan ekstrak secang mengandung zat anti mikroba. Ekstrak secang selain memiliki pigmen merah, telah terbukti memiliki efek fungsional sebagai anti mikroba. Ekstrak kayu secang mengandung komponen antimikroba dengan jenis 5- hydroxi-1,4-naptakuinon (Lim et al. 2007). Penggunaan edible coating yang dikombinasikan dengan komponen bioaktif menghasilkan fungsi bahan tambahan pangan dan dapat memperpanjang masa simpan produk yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable product) (Falguera et al. 2011). Standar nilai TPC untuk batas maksimum bakteri pada udang segar adalah sebesar 10 5 unit koloni/gram (BSN 1992). Berdasarkan hal tersebut, maka udang

22 64 rebus yang tidak diberi edible coating (kontrol) masih memenuhi batas maksimum hingga hari ke-2. Udang rebus yang diberi edible coating sebelum proses pemasakan udang, baik yang ditambah ekstrak secang maupun tanpa ekstrak secang dapat bertahan hingga penyimpanan hari ke-3. Udang rebus yang dilapisi edible coating surimi tanpa ekstrak secang dapat bertahan hingga penyimpanan hari ke-5 dan udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan ditambah ekstrak secang dapat bertahan hingga penyimpanan hari ke-6. Berdasarkan hasil TPC tersebut, maka edible coating surimi dapat memperpanjang masa simpan udang rebus yang disimpan pada suhu 1-5 o C Nilai total volatile base (TVB) Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan dengan pengukuran nilai Total Volatile Base (TVB). Prinsipnya adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil seperti amonia, dimetilamin, trimetil amin yang terdapat dalam sampel. Senyawa-senyawa basa volatil tersebut terbentuk karena adanya degradasi atau deaminasi protein, peptida dan asam-asam amino oleh aktivitas bakteri (Food and Agriculture Organization 1995). Nilai TVB udang rebus cenderung semakin meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan. Udang rebus yang tidak diberi edible coating mengalami peningkatan nilai TVB yang sangat pesat dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai TVB udang rebus pada perlakuan pencelupan, pemasakan-tanpa secang berkisar antara 5,39-51,32 mg N/100g, perlakuan pencelupan, pemasakan-ditambah secang berkisar antara 5,29-46,48 mg N/100g, perlakuan pemasakan, pencelupan-tanpa secang berkisar antara 5,43-19,45 mg N/100g, dan perlakuan pemasakan, pencelupan-ditambah secang berkisar antara 5,36-16,83 mg N/100g. Nilai TVB udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 21.

23 65 TVB (mg N/100 g) Waktu penyimpanan (Hari) Gambar 21 Nilai TVB udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. Kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang, batasan nilai TVB udang rebus yang dapat dikonsumsi. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai TVB menjadi semakin meningkat. Peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat dari degradasi protein dan derivatnya oleh mikroorganisme yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, trimetilamin dan senyawa biogenik amin lainnya. Kenaikan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas bakteri dan aktivitas enzimatis (Ozogul F dan Ozogul Y 2000). Awal penyimpanan, nilai TVB dapat terdeteksi walaupun jumlah mikroorganisme masih sedikit. Hal ini terjadi karena produksi amonia oleh enzim dalam jaringan lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh bakteri (Alvarez 2009). Menjelang hari terakhir penyimpanan nilai TVB mengalami peningkatan yang lebih cepat, hal ini terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba yang semakin cepat yang terlibat dalam produksi basa volatil (Caballero et al. 2000). Hasil analisis ragam nilai TVB pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai TVB udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan

24 66 edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan (RM) dengan pemasakan pencelupan (MR) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk mempertahankan mutu udang rebus selama penyimpanan. Laju kenaikan TVB dapat ditekan pada udang rebus yang diberi edible coating surimi setelah melalui proses pemasakan udang terlebih dahulu. Peningkatan nilai TVB berlangsung dengan lambat pada perlakuan pemasakan pencelupan dibandingkan pada perlakuan pencelupan pemasakan. Hal ini terjadi karena edible coating surimi mampu melindungi udang rebus dengan sempurna. Terlindunginya udang rebus oleh edible coating surimi menyebabkan kontaminasi mikroba dapat dikurangi, dengan demikian edible coating surimi mampu menghambat proses perombakan protein baik secara autolisis maupun secara mikrobiologis yang akan menghasilkan senyawa-senyawa nitrogen yang lebih sederhana, diantaranya yaitu asam amino bebas dan basa nitrogen yang menguap. Nilai TVB dapat dibagi menjadi empat kriteria. Nilai TVB kurang dari 10 mg N/100g dapat dikatakan sangat segar, mg N/100g dikatakan segar, mg N/100g dikatakan masih dapat dikonsumsi, dan lebih dari 30 mg N/100g dikatakan tidak dapat dikonsumsi (Farber 1965). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka udang rebus tanpa edible coating (kontrol) hanya dapat bertahan hingga hari ke-3, untuk udang rebus yang dilapisi edible coating sebelum proses pemasakan, mampu bertahan hingga hari ke-5, sedangkan udang rebus yang diberi edible coating surimi baik dengan penambahan secang maupun tanpa secang mampu bertahan hingga akhir penyimpanan. Edible coating mampu menghambat pertumbuhan mikroba, kemampuan tersebut secara langsung akan mempengaruhi produksi TVB sehingga berkurang dan mampu mempertahankan mutu udang rebus selama penyimpanan Warna Pengukuran warna dilakukan secara objektif dengan menggunakan alat chromometer CR200 dengan sistem notasi Hunter (L*a*b*). Tingkat pewarnaan ditunjukkan dengan notasi L*, a* dan b*. Notasi L* merupakan parameter kecerahan, menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih,

25 67 abu-abu dan hitam. Nilai L* berkisar antara 0 hingga 100 (hitam-putih). Notasi a* merupakan warna kromatik gradasi merah hijau dengan nilai positif (+) dari 0 hingga 80 untuk warna merah dan negatif (-) dari niali 0 hingga -80 untuk warna hijau. Notasi b* merupakan kromatik grdasi kuning biru, dengan nilai positif (+) dari 0 hingga 70 untuk warna kuning dan negatif (-) dari niali 0 hingga -80 untuk warna biru. Pengamatan terhadap stabilitas warna udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dilakukan setiap hari. Proses penyimpanan mengakibatkan terjadinya perubahan warna udang rebus. Warna udang rebus yang dilapisi edible coating surimi dengan tahapan proses pemasakan pencelupan (MR) relatif lebih stabil dibandingkan dengan udang rebus yang dilapisi edible coating sebelum pemasakan (RM). Nilai L*, a* dan b* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 22, 23, dan 24. Nilai L* Waktu penyimpanan (Hari) Gambar 22 Nilai L* udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan. Berdasarkan Gambar 22 nilai L* udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan. Udang rebus yang tidak diberi edible coating surimi mengalami penurunan nilai L* yang sangat pesat dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai L* udang rebus pada perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa secang berkisar antara 61,71 hingga

26 68 76,65, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 62,26 hingga 76,28, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar antara 72,13 hingga 77,86, dan perlakuan pemasakan pencelupan-ditambah secang berkisar antara 70,04 hingga 77,24. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai L* menjadi semakin menurun. Hasil analisis ragam nilai L* pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai L* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan (RM) dengan pemasakan pencelupan (MR) juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk mempertahankan kecerahan udang rebus selama penyimpanan Nilai a* Waktu penyimpanan (Hari) Gambar 23 Nilai a* udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang. Nilai a* udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan pada Gambar 23. Udang rebus yang tidak diberi edible coating mengalami penurunan nilai a* yang sangat pesat dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai a* udang rebus pada

27 69 perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa secang berkisar antara 9,36 hingga 14,79, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 10,31 hingga 15,45, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar antara 14,85 hingga 18,36, dan perlakuan pemasakan pencelupan-ditambah secang berkisar antara 17,74 hingga 19,62. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai a* menjadi semakin menurun. Hasil analisis ragam nilai a* pada Lampiran 8 menunjukkan pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai a* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan (RM) dengan pemasakan pencelupan (MR) juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk mempertahankan warna merah udang rebus selama penyimpanan. Nilai b* Waktu penyimpanan (Hari) Gambar 24 Nilai b* udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 o C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang. Nilai b* udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan berdasarkan Gambar 24 di atas. Udang rebus yang tidak diberi edible coating mengalami penurunan nilai b* yang sangat pesat

28 70 dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai b* udang rebus pada perlakuan pencelupan pemakasakan-tanpa secang berkisar antara 42,85 hingga 51,56, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 39,17 hingga 47,84, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar antara 52,16 hingga 57,58, dan perlakuan pemasakan pencelupanditambah secang berkisar antara 53,63 hingga 56,74. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai b* menjadi semakin menurun. Hasil analisis ragam nilai b* pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai b* udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan (RM) dengan pemasakan pencelupan (MR) juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk mempertahankan warna kuning udang rebus selama penyimpanan. Berdasarkan nilai L*, a*, dan b* udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan cenderung mengalami penurunan. Nilai L*, a* dan b* mengalami penurunan karena selama proses penyimpanan udang rebus terjadi oksidasi lemak yang menyebabkan warna semakin menurun. Oksidasi astaxanthin selama penyimpanan udang menyebabkan memudarnya warna astaxanthin merah dan kuning. Perubahan warna pada udang rebus juga terjadi karena isomerasi astaxanthin yang terjadi secara simultan dengan oksidasi astaxanthin, sehingga menyebabkan hilangnya warna yang dominan (merah dan kuning) yang terdapat dalam karotenoid. Penurunan warna merah dan kuning udang rebus berhubungan dengan hilangnya astaxanthin selama penyimpanan (Niamnuy et al. 2008). Nilai L*, a*, dan b* pada perlakuan pencelupan sebelum pemasakan memiliki nilai di bawah perlakuan pencelupan setelah pemasakan. Udang rebus yang tidak diberi edible coating surimi (kontrol) memiliki nilai yang terendah dibandingkan dengan semua perlakuan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya oksidasi lemak dan astaxanthin yang berlangsung lebih cepat sebagai akibat dari tidak terlindunginya permukaan udang rebus. Pelapisan udang rebus oleh edible

29 71 coating surimi dapat mempengaruhi terhadap kandungan oksigen yang terdapat pada produk. Udang rebus yang terlindungi oleh edible coating surimi dengan sempurna dapat mengurangi kontak dengan oksigen sehingga proses oksidasi menjadi terhambat. Edible coating surimi mampu menghambat terjadinya oksidasi lemak dan astaxanthin, sehingga perubahan warna berlangsung dengan lambat. Terutama pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan penambahan ekstrak secang, mampu menghambat terjadinya oksidasi karena selain berperan sebagai pewarna alami secang juga berperan sebagai antioksidan. Pewarna alami selain berfungsi untuk mewarnai produk juga memiliki fungsi flavor, antioksidan, anti mikroba dan fungsi-fungsi lainnya (Winarno 2008). Warna merah pada udang merupakan atribut sensori yang mempengaruhi terhadap kualitas dan penerimaan produk pangan. Ekstrak secang yang ditambahkan pada edible coating mampu mempertahankan warna udang rebus dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna yang terjadi pada perlakuan pemasakan, pencelupan-ditambah secang yang berlangsung dengan lambat. Pengukuran nilai warna merah yang dilakukan dengan menggunakan chromameter, menunjukkan hasil plot nilai a* berada pada kisaran warna merah yaitu dilihat dari nilai a* positif yang menunjukkan kecenderungan warna merah. Berdasarkan pengamatan warna merah pada udang rebus, terlihat jelas bahwa udang rebus yang diberi edible coating surimi dengan ekstrak secang, dengan tahapan proses pemasakan pencelupan memiliki warna merah yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Warna merah ini kemungkinan besar merupakan peran dari brazilein. Terjadinya warna merah disebabkan oleh terbentuknya brazilein (Kim et al. 1997). Brazilein juga memiliki aktivitas antioksidan selain dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami,. Minuman berbasis kayu secang yang mengandung brazilein memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi Yingming (2004). Aktivitas antioksidan tertinggi pada ekstrak secang yaitu pada konsentrasi 25 mg/10 ml (Weningtyas 2009). Kondisi keasaman atau ph sangat mempengaruhi stabilitas warna pigmen brazilein, pada ph 6-7 berwarna merah (Adawiyah dan Indriati 2003). Suhu dan pemanasan, sinar ultraviolet, adanya oksidator dan reduktor serta penambahan metal mempengaruhi stabilitas dan mengakibatkan terjadinya degradasi pada pigmen brazilein. Aplikasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi fikosianin dari spirulina yang digunakan sebagai pewarna alami pada minuman. Fikosianin ini memberikan warna biru alami, sehingga tidak memberikan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Ketebalan dan Rendemen pada Nata

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Ketebalan dan Rendemen pada Nata 4. PEMBAHASAN Nata merupakan senyawa selulosa yang dihasilkan dari fermentasi substrat dengan bantuan mikroba yaitu Acetobacter xylinum. Selama proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dari A.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HSIL DN PEMHSN 4.1 Karakteristik Surimi Patin Pengaruh Pencucian Daging lumat dan surimi merupakan bahan baku yang sering digunakan pada industri perikanan. Sifat fungsional daging lumat dan surimi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan patin adalah ikan air tawar yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk, dan rawa. Di Indonesia, ikan patin telah banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP MUTU FILLET IKAN JAMBAL SIAM (Pangasius hyphopthalmus) SEGAR SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Oleh Noviantari 1), Mirna Ilza 2), N. Ira

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT Alsuhendra 1, Ridawati 1, dan Agus Iman Santoso 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang dari kelas Bivalvia yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam 3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam Pada pengujian fisik mi bayam yang dilakukan meliputi tensile strength dan warna. Salah satu kriteria yang utama pada mi adalah tekstur. Tekstur mi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan Pembuatan Yogurt 1. Pendahuluan Yoghurt merupakan salah satu olahan susu yang diproses melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur organisme yang baik, salah satunya yaitu bakteri asam laktat. Melalui

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Cina. Ikan tersebut termasuk komoditas yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf 4.1.1 Daya Ikat Air Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap daya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menghasilkan bau, sebagai zat harus bersifat menguap. Dua zat atau. atau saling menutupi (Setyaningsih, dkk., 2010).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menghasilkan bau, sebagai zat harus bersifat menguap. Dua zat atau. atau saling menutupi (Setyaningsih, dkk., 2010). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Organoleptik 1. Aroma Bau atau aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar, agar menghasilkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab I akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang dikonsumsi pada bagian umbi di kalangan masyarakat dikenal sebagai sayuran umbi. Kentang

Lebih terperinci

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora KULIAH KE 8: PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN & NILAI TAMBAH TIK: Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan berbagai teknologi pasca panen untuk memberi nilai tambah. Agricultural

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasapan Ikan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan buah yang lain. Buah pisang memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya mengandung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan

Lebih terperinci

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI SURIMI IKAN AIR TAWAR DAN PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT KABUPATEN BOGOR Oleh : Heru Sumaryanto Joko Santoso Pudji Muljono Chairita

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak (perishable) sehingga perlu diolah untuk memperpanjang umur simpannya. Buah memiliki kandungan vitamin yang tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

Sosis ikan SNI 7755:2013

Sosis ikan SNI 7755:2013 Standar Nasional Indonesia Sosis ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan 4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan Antioksidan berperan untuk menetralkan radikal bebas dengan cara menambah atau menyumbang atom pada radikal bebas (Pokorny et al., 2001). Didukung dengan pernyataan

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bermanfaat jika diolah, misalnya dibuat marmalade (Sarwono, 1991). Bagian

I. PENDAHULUAN. bermanfaat jika diolah, misalnya dibuat marmalade (Sarwono, 1991). Bagian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jeruk Bali (Citrus grandis) memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi dalam 100 g bagian, yaitu sebanyak 43 mg dan vitamin A sebanyak 20 SI (Satuan Internasional),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggumpal, serta kombinasi dari perlakuan-perlakuan tersebut, sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggumpal, serta kombinasi dari perlakuan-perlakuan tersebut, sehingga 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keju Mozzarella Keju adalah protein susu yang diendapkan atau dikoagulasikan dengan menggunakan rennet atau enzim lain, fermentasi laktat, dan penggunaan bahan penggumpal,

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan minuman serbuk instan campuran sari buah jambu biji merah dan wortel dengan menggunakan alat pengering semprot/ spary dryer. Komponen-komponen nutrisi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging yang dicetak, dimasak dan dibekukan serta terbuat dari campuran daging giling yang diberi bahan

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut

I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan pangan pada umumnya mudah mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Kimia pada Yoghurt dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji Bangkok (Psidium guajava L.) Rerata hasil analisis statistik untuk uji kualitas kimia yang meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 27 3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Januari 2011 di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah merupakan salah satu jenis pangan yang sangat penting peranannya bagi tubuh kita, terlebih karena mengandung beberapa vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah juga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobial terhadap produk kopi instan formula. Analisis proksimat yang dilakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan. Pengolahan buahbuahan bertujuan selain untuk memperpanjang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml. balik. Didihkan selama 30 menit dan kadang kala digoyang- goyangkan.

1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml. balik. Didihkan selama 30 menit dan kadang kala digoyang- goyangkan. Penentuan kadar serat kasar Kadar serat kasar dianalisa dengan menggunakan metode Sudarmadji dkk, 1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml kemudian ditambahkan 200 ml H 2 SO4

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci