BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme (UNDP) telah merilis data yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2012 meningkat sebesar 0,629. Angka tersebut terus naik dari tahun 2010 sebesar 0,620 dan tahun 2011 sebesar 0,624. Menurut laporan UNDP, IPM Indonesia terus meningkat karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berusaha mencari keseimbangan baru antara negara dengan pasar. Hal tersebut ditunjukkan dengan kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang dulunya terfokus pada pertanian dan pembangunan pedesaan, kini menjadi ekonomi yang lebih terbuka dengan fokus pada perdagangan. Semakin terbukanya perdagangan di Indonesia berpengaruh terhadap jumlah perusahaan yang lahir dan berkembang di Indonesia. Menurut Hasil Listing Sensus Ekonomi (SE06), di luar sektor pertanian terdapat 22,7 juta perusahaan yang lahir dan berkembang di Indonesia. Namun, tidak semua perusahaan di Indonesia mampu mempertahankan eksistensinya dalam kondisi persaingan usaha yang semakin ketat. Terdapat beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk melihat suatu perusahaan dalam keadaan sehat secara keuangan atau tidak. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah: 1

2 2 a. rasio likuiditas Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. 1 b. rasio aktivitas Rasio ini mengukur efektifitas perusahaan dalam penggunaan sumber daya yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan perusahaan untuk mempertahankan operasional perusahaan yang umumnya ditunjukkan dengan kemampuan melakukan usaha secara stabil, termasuk mampu untuk membayar deviden secara teratur kepada para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan. c. rasio solvabilitas Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya. 2 d. rasio rentabilitas atau profitabilitas Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu yang diukur dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. 1 Munawir, 2007, Analisis Laporan Keuangan, Cet. Keempat Belas, Liberty, Yogyakarta, hal Djarwanto, 2004, Pokok-Pokok Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta, hal. 162.

3 3 Dari keempat indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang sehat keuangannya adalah perusahaan yang mampu memenuhi kewajibannya kepada pihak lain secara tepat waktu dan tanpa mengalami hambatan. Kewajiban perusahaan yang belum dilaksanakan merupakan utang dan jika hingga batas waktu yang telah ditentukan baik oleh perjanjian maupun oleh undang-undang, suatu perusahaan tidak dapat membayar lunas utang tersebut, maka perusahaan tersebut dapat dinyatakan bangkrut atau pailit. Secara etimologis, pailit berasal dari bahasa Perancis yakni failite yang berarti kemacetan pembayaran. Menurut Poerwadarminta, pailit artinya bangkrut, sedangkan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). 3 Perusahaan yang berkedudukan sebagai debitor pailit tentunya memiliki utang yang belum terbayarkan kepada pihak lain yang disebut kreditor. Menurut Abdulkadir Muhammad, pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitor. 4 Jika debitor hanya memiliki utang kepada satu kreditor, maka penyelesaiannya dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Namun, lain halnya apabila debitor memiliki utang yang tidak mampu dilunasi kepada beberapa kreditor, maka dibutuhkan lembaga khusus yang mampu mengurus penyelesaian utang-utang kepada kreditor-kreditor secara proporsional, yakni seimbang dengan besar kecilnya utang dan tidak ada yang 3 W.J.S. Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta. 4 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 199.

4 4 didahulukan kecuali ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu pemerintah membentuk lembaga khusus yaitu lembaga kepailitan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK) menyebutkan bahwa, Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, yakni: a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor; b. tidak membayar lunas sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih; c. atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Kreditor menurut Pasal 1 angka 2 UUK adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor menurut Pasal 1 angka 3 UUK adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dari pengertian yang diberikan oleh UUK tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa di antara kreditor dengan debitor terdapat hubungan hukum, yakni utang piutang.

5 5 Kreditor sebagai pihak yang memiliki piutang kepada debitor berhak menuntut prestasi kepada debitor, sedangkan debitor sebagai pihak yang memiliki utang kepada kreditor wajib untuk memenuhi prestasi sebagaimana telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor sebelumnya ataupun yang timbul karena undang-undang. Contoh hubungan utang piutang yang timbul karena perjanjian adalah utang piutang yang timbul dari perjanjian kredit dan penyediaan produk tertentu dalam jangka waktu tertentu, sedangkan contoh hubungan utang piutang yang timbul karena undang-undang adalah utang piutang tagihan telepon, pemakaian jasa Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan pajak. Intinya, hubungan utang piutang timbul karena adanya prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor kepada kreditor, selama prestasi tersebut belum dipenuhi maka akan menjadi utang debitor kepada kreditor. Prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Utang dalam hukum kepailitan diatur lebih spesifik melalui Pasal 1 angka 6 UUK, yakni: utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Pengertian utang jatuh waktu dan dapat ditagih dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK, yakni: yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya

6 6 sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Pada dasarnya, dalam hubungan utang piutang terdapat batas waktu debitor harus memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan ataupun timbul karena undang-undang. Batas waktu inilah yang disebut dengan waktu utang tersebut jatuh waktu. Jika suatu utang telah sampai di batas waktu yang ditentukan namun belum dipenuhi oleh debitor, maka kreditor memiliki hak untuk menagih pemenuhan atas prestasi yang mendasari adanya utang tersebut. Penagihan oleh kreditor dilakukan melalui somasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPER yakni, Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan. Syarat-syarat pailit yang sedemikian mudahnya ternyata tidak mudah dalam implementasinya. Hal ini terlihat dari banyaknya putusan yang berbeda di setiap tingkat peradilan meskipun mengenai satu perkara kepailitan. Misalnya, suatu perkara kepailitan ketika diperiksa di Pengadilan Niaga, hakim mengabulkan permohonan pernyataan pailit sehingga menjatuhkan putusan pernyataan pailit, namun ketika perkara tersebut memperoleh upaya hukum kasasi, Hakim Agung menolak permohonan pernyataan pailit sehingga membatalkan Putusan Pengadilan Niaga. Fenomena peristiwa hukum yang demikian juga dialami oleh PT. TELKOMSEL yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.

7 7 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 14 September Putusan pernyataan pailit tersebut dijatuhkan setelah PT. TELKOMSEL dimohonkan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika pada tanggal 16 Juli 2012 karena memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada PT. Prima Jaya Informatika atas penyediaan voucher isi ulang dan perdana prabayar Kartu Prima bergambar atlet-atlet nasional. Namun, putusan pernyataan pailit tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 21 November 2012 yang merupakan hasil dari upaya hukum kasasi yang diajukan oleh PT. TELKOMSEL pada tanggal 21 September Peristiwa pailit PT. TELKOMSEL tentunya mengejutkan banyak pihak di Indonesia, baik pihak pebisnis, akademisi, maupun masyarakat secara umum, mengingat PT. TELKOMSEL merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kepailitan PT. TELKOMSEL juga akan merugikan keuangan negara hingga mencapai triliunan rupiah, hal ini dikarenakan pemegang saham terbesar PT. TELKOMSEL adalah pemerintah melalui PT. Telekomunikasi Indonesia yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, utang yang dimiliki PT. TELKOMSEL kepada PT. Prima Jaya Informatika hanya sebesar Rp ,00 (lima miliar dua ratus enam puluh juta rupiah). Jumlah tersebut tidak sebanding dengan harta kekayaan PT. TELKOMSEL yang terhitung di tahun 2012 mencapai Rp ,00 (empat puluh delapan triliun tujuh ratus tiga puluh miliar rupiah) dengan laba bersih sebesar

8 8 Rp ,00 (sebelas triliun tujuh ratus dua puluh miliar rupiah). Jadi, sangatlah diragukan jika PT. TELKOMSEL tidak mampu membayar utang yang jumlahnya hanya 0,01% dari keseluruhan harta yang dimilikinya. Namun pada dasarnya, PT. TELKOMSEL tentunya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah terbukti secara sederhana memenuhi syarat-syarat pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK. Perbedaan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara pailit PT. TELKOMSEL ini menimbulkan rasa keingintahuan mengenai penyebab perbedaan hasil putusan tersebut sehingga dilakukan penelitian ini. Melalui penelitian ini akan dianalisis lebih dalam mengenai dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL dan pertimbangan hukum Hakim Agung dalam mengambil keputusan untuk membatalkan putusan tersebut. Oleh karena itu, diangkat penelitian dengan judul Analisis Yuridis Pembatalan Putusan Pailit PT. Telekomunikasi Selular oleh Mahkamah Agung: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/ Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

9 9 1. apakah dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL? 2. bagaimanakah dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Adapun agar pembahasan di dalam penelitian ini dapat terfokus sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka pembahasan di dalam penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup: 1. dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL; 2. dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL. 1.4 Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian ini diajukan pada bulan Februari 2013, yakni 3 (tiga) bulan setelah Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 dijatuhkan. Ide penelitian ini murni dari hasil pemikiran sendiri. Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan internet, ditemukan beberapa penelitian sejenis namun memiliki perbedaan substansi dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut antara lain adalah:

10 10 a. Pembatalan Putusan Pernyataan Pailit di Tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus PT. Dirgantara Indonesia), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Permasalahan: a) dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan permohonan kasasi PT. Dirgantara Indonesia; b) penerapan ketentuan yang terdapat dalam UUK pada Putusan Mahkamah Agung tersebut; dan c) akibat hukum yang timbul dari pembatalan pernyataan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia menurut UUK. b. Analisis Yuridis Putusan Pailit terhadap PT. Telkomsel Tbk., Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Permasalahan: a) putusan pailit menurut UUK; b) kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan menurut UUK; dan c) penerapan ketentuan UUK dalam Putusan Pailit Telkomsel Tbk. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan umum. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penyebab perbedaan putusan yang dijatuhkan oleh dua tingkat peradilan dalam menangani satu perkara kepailitan Tujuan khusus. a. Mengetahui dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL.

11 11 b. Mengetahui dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan Putusan Pernyataan Pailit PT. TELKOMSEL. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah pustaka di bidang ilmu hukum perdata khususnya di dalam hukum kepailitan Manfaat praktis. a. Bagi mahasiswa: sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas maupun penelitian mengenai hukum kepailitan. b. Bagi dosen hukum kepailitan: sebagai bahan diskusi di kelas mengenai kasus nyata perbedaan putusan dua tingkat peradilan dalam memutus satu perkara kepailitan. c. Bagi hakim: sebagai bahan masukan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat putusan pernyataan pailit. d. Bagi kreditor, kuasa hukum kreditor, debitor, dan kuasa hukum debitor: sebagai bahan masukan dalam membuat permohonan pernyataan pailit dan mempersiapkan alat-alat bukti yang diperlukan selama persidangan. e. Bagi masyarakat: sebagai bahan bacaan hukum kepailitan yang kebenaran isinya dapat dipertanggungjawabkan, mengingat mayoritas berita yang beredar luas di masyarakat belum dapat dibuktikan kebenarannya dan bersifat menguntungkan satu pihak.

12 Landasan Teoritis Utang merupakan raison d etre (tujuan) dari suatu kepailitan, oleh karena itu tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan diperiksa. 5 Utang menurut Pasal 1 angka 6 UUK adalah: kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Menurut Setiawan: utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu. 6 Terdapat perbedaan antara definisi utang yang diberikan oleh UUK dengan Setiawan, yakni Setiawan mendeskripsikan utang identik dengan kewajiban pembayaran sejumlah uang, sedangkan UUK mengartikan utang lebih luas, yakni kewajiban yang dapat dinilai dengan uang juga termasuk dalam kategori utang. Kewajiban dalam hukum perikatan merupakan prestasi yang harus dilakukan. Prestasi menurut Pasal 1234 KUHPER adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Jadi, prestasi yang dapat dinilai dengan uang dan belum dipenuhi juga merupakan suatu utang. Hal 5 M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11, mengutip dari Setiawan dalam buku Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan: Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal

13 13 serupa juga dikemukakan oleh Kartini dan Gunawan Widjadja yang mendefinisikan utang sebagai perikatan yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitor dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitor. 7 Pasal 8 ayat (4) UUK menyebutkan bahwa, Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara kepailitan hakim hanya perlu membuktikan: 1. adanya hubungan utang piutang antara kreditor dengan debitor; 2. adanya hubungan utang piutang antara debitor dengan kreditor lain; 3. adanya hutang yang jatuh waktu dan dapat ditagih diantara utang-utang debitor, yang belum atau tidak dibayar lunas oleh debitor. Asas pembuktian sederhana ini didukung oleh asas pembuktian cepat yang dianut oleh UUK melalui ketentuan Pasal 8 ayat (5) UUK yakni, Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, sehingga diharapkan dapat tercapai asas trilogi peradilan, yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan di dalam pemeriksaan perkara kepailitan. Pemeriksaan perkara kepailitan yang menggunakan limit waktu ini juga 7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjadja, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 11.

14 14 meminimalisir pemanfaatan proses peradilan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Seperti yang banyak terjadi di dalam praktik, seorang advokat memperlama proses hukum kliennya dengan semakin banyaknya upaya hukum yang ditempuh sehingga keuntungan ekonomis yang di dapat juga semakin banyak. Bahkan kondisi demikian diperparah dengan keuntungan yang didapat oleh advokat tersebut dibagi-bagi kepada pihak hakim maupun jaksa yang menangani perkara. Di sisi lain, M. Hadi Shubhan mengatakan bahwa syarat kepailitan yang demikian mudah sebenarnya terjadi sejak adanya reformasi hukum kepailitan 1998 atas skenario International Monetary Fund (IMF) dan World Bank dalam menyikapi kreditor dari negara asing yang menghendaki semudahmudahnya m itkan perusahaan di Indonesia. 8 Bahkan, terlalu mudahnya syarat pailit tersebut dapat disalahgunakan oleh debitor yang beritikad buruk dan berkonspirasi dengan penyandang dana yang siap membeli aset-aset pailit yang menjadi murah. 9 Di dalam perkembangannya, syarat pailit yang mudah juga membuka peluang bagi perusahaan yang berkedudukan sebagai kreditor untuk m itkan perusahaan yang berkedudukan sebagai debitor yang lebih sukses. Hal ini tentunya dilakukan untuk mengurangi saingan usaha maupun menjatuhkan citra perusahaan di mata masyarakat. Kondisi demikian sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila hakim bersikap bijaksana dalam mengadili kepailitan, artinya meski suatu perusahaan memenuhi syarat 8 Budi Santoso, 2012, Remehkan Berujung Pailit Telkomsel, Budisan s Blog (Cited 2013 Feb.21), available from: URL: Diakses 9 Februari 2013, jam WITA. 9 Ibid.

15 15 untuk dipailitkan, hakim dapat menolak dengan pertimbangan aspek keadilan, kepatutan, dan kewajaran. 10 M. Hadi Shubhan mengatakan bahwa walaupun terjadi perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit, permohonan pernyataan pailit harus tetap dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. 11 Pendapat tersebut tentunya mendukung asas pembuktian sederhana dan cepat yang dianut oleh UUK, karena asalkan dapat dibuktikan bahwa debitor tidak membayar lunas utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih kepada salah satu kreditornya, tidak peduli berapa jumlah utang tersebut maka syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih terpenuhi. Kondisi yang berbeda akan terjadi apabila hakim berpendapat masih memerlukan proses pembuktian yang lebih rumit untuk membuktikan keberadaan utang debitor kepada kreditor. Konsekuensinya adalah hakim wajib menolak permohonan pernyataan pailit tersebut dengan alasan penyelesaian perkara yang pembuktiannya rumit harus dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Asas pembuktian sederhana dalam penyelesaian perkara kepailitan juga didukung dengan kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara kepailitan. Pasal 299 UUK menyebutkan bahwa kecuali ditentukan lain dalam UUK maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata, oleh karena itu kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara kepailitan adalah 10 Ibid. 11 Jono, op.cit, hal

16 16 kebenaran formil. Maksud dari hakim mencari kebenaran formil adalah hakim hanya terikat pada keterangan atau alat-alat bukti yang disampaikan oleh para pihak di dalam persidangan, berbeda dengan kebenaran materiil yang dicari dalam persidangan pidana dan tata usaha negara, yang berarti hakim mencari fakta yang sesungguhnya dan tidak terikat dengan keterangan para pihak di persidangan. Pasal 1866 KUHPER menentukan bahwa alat-alat bukti dalam hukum perdata terdiri dari bukti tertulis, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Secara otomatis alat-alat bukti tersebut juga merupakan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan karena sesuai dengan asas integrasi dalam UUK, sistem hukum formil dan hukum materiil dalam hukum kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUK, sedangkan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) Pasal 14 ayat (1) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Penghapusan upaya hukum banding dalam penyelesaian perkara kepailitan dikonstruksikan untuk memangkas jalur kepailitan karena hakikat pengadilan tingkat banding adalah sama dengan pengadilan tingkat pertama, yakni

17 17 keduanya sama-sama sebagai pengadilan judex factie, sehingga cenderung terjadi overlapping antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding. Peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung adalah peradilan dalam tingkat banding atau disebut juga appellate jurisdiction dan peradilan tingkat pertama yang disebut dengan original jurisdiction. Kedua tingkatan ini disebut dengan judex factie yang artinya pemeriksaan di tingkat banding adalah merupakan pemeriksaan ulang atas pemeriksaan di tingkat pertama baik mengenai peristiwanya maupun mengenai hukumnya, sedangkan dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung (judex jure) hanya diperiksa mengenai kekeliruan penerapan hukumnya saja. Penghapusan upaya hukum banding juga meminamilisir pemanfaatan proses peradilan dari kepentingan ekonomis pihak-pihak tertentu. Konstruksi proses peradilan pailit yang meniadakan upaya hukum banding ini terbukti efisien dan bahkan konstruksi ini telah diikuti dalam proses pengadilan di bidang lain seperti dalam Pengadilan Hubungan Industrial. 1.8 Metode Penelitian Jenis penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Soemitro dalam Rianto Adi mengemukakan penelitian hukum normatif dapat berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asasasas dan falsafah hukum positif, dan dapat pula suatu usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk digunakan dalam penyelesaian

18 18 suatu perkara tertentu. 12 Suatu penelitian pada dasarnya beranjak dari rasa ingin tahu atas suatu gejala yang mendorong seseorang untuk melakukan penelitian sehingga ditemukan kebenaran ilmiah. Begitu pula dengan penelitian ini yang beranjak dari rasa keingintahuan mengenai penyebab perbedaan putusan dari dua tingkat peradilan dalam menangani satu perkara kepailitan. Didasari oleh asumsi bahwa kemungkinan penyebab perbedaan putusan tersebut adalah adanya kesalahan pada norma yang menjadi acuan dalam proses penyelesaian perkara kepailitan, maka dilakukan penelitian dengan cara menganalisis produk hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan, yakni Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012. Oleh karena sumber utama penelitian ini adalah data sekunder, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif Jenis pendekatan. Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yakni pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konsep (Conceptual approach), pendekatan analisis (Analytical approach), pendekatan perbandingan (Comparatif approach), pendekatan historis (Historis approach), pendekatan filsafat (Philosophical approach), dan pendekatan kasus (Case hal Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi I, Granit, Jakarta,

19 19 approach). 13 Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. pendekatan perundang-undangan (the statute approach). Penelitian normatif tentu harus menggunakan perundangundangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam suatu penelitian. 14 Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah UUK dan KUHPER. 2. pendekatan konsep (the conceptual approach), yaitu dengan menganalisis konsep kepailitan menurut perundang-undangan yang berlaku maupun pendapat para sarjana. 3. pendekatan kasus (the case approach). Kasus memang bermakna empirik, namun dalam penelitian normatif kasus-kasus tersebut digunakan untuk memperoleh gambaran dampak penormaan dalam suatu aturan hukum terhadap praktik hukum. Penelitian ini menggunakan kasus pembatalan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL oleh Mahkamah Agung yang dianalisis melalui Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/ Sumber bahan hukum. Sesuai dengan jenisnya yang normatif, penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. 13 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hal Johni Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. III, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302.

20 20 1. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. 15 Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/ Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. 16 Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, karya tulis hukum, dan website yang berkaitan dengan penelitian. 3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 17 Sumber bahan hukum tertier dalam penelitian ini adalah kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Google Translate Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah sistem kartu (card system). Diawali dengan pencarian bahan hukum primer dan sekunder yang dibutuhkan, kemudian sumber bahan hukum tersebut dibaca sehingga ditemukan isi yang relevan dalam penelitian. 15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal Ibid. 17 Ibid.

21 21 Setelah itu dibuatlah catatan-catatan dengan menggunakan kartu yang diklasifikasikan berdasarkan masing-masing buku sehingga memudahkan penelitian, tidak jarang juga dibutuhkan kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Google Translate untuk mengetahui makna dari istilah-istilah hukum dan kemudian makna tersebut dicatatkan di sebelah istilah hukum yang ditemukan Teknik analisis bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang telah disusun secara sitematis selanjutnya dianalisis dengan teknik-teknik sebagai berikut: 1. teknik deskripsi, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum; 2. teknik evaluasi, yaitu melakukan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, pernyataan rumusan norma dan keputusan yang tertera dalam bahan hukum primer dan sekunder; 3. teknik argumentasi, yaitu penilaian terhadap bahan hukum primer dan sekunder harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun Putusan pailit ini dapat dikatakan menghebohkan, k arena tidak ada yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun Putusan pailit ini dapat dikatakan menghebohkan, k arena tidak ada yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kasus kasus kepailitan belakangan ini semakin banyak terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus putusan pailit terhadap PT. Telkomsel yang dijatuhkan

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA oleh Raden Rizki Agung Firmansyah I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Principle

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga intermediasi ( financial intermediary) untuk menunjang kelancaran

BAB I PENDAHULUAN. lembaga intermediasi ( financial intermediary) untuk menunjang kelancaran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lainnya. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan.

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, banyak badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. Meskipun kondisi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian hukum dogmatik karena tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN.NIAGA/JKAT-PST DALAM PERKARA PT HANIF DINAMIKA YANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN Oleh : Dendi Tjahjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan adalah salah satu sumber dana bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk membeli rumah, mobil

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

DAFTAR REFERENSI. Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. DAFTAR REFERENSI 1. Buku Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Epstein, David G., Steve H. Nickles., James J. White, Bankruptcy, ST.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai pendukung pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi yang

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan sebuah Negara, termasuk di Indonesia sendiri yang notabenenya adalah negara berkembang. Jika kita

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur apakah harta kekayaan debitur masih melebihi

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga JOURNAL SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM KURATOR PERUSAHAAN DEBITOR PAILIT YANG DILANJUTKAN KEGIATAN USAHANYA Oleh : NIM. 031011202 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015 JURNAL SKRIPSI ABSTRAKSI Didalam dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK A. Syarat Kepailitan PT. Telkomsel. Tbk Seorang debitor dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 41 III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana TINJAUAN YURIDIS PADA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PUTUSAN SERTA MERTA (UIT VOERBAAR BIJ VOORAAD) DAN PROVISIONIL TERHADAP PUTUSAN PAILIT YANG BERSIFAT SERTA MERTA Oleh : A.A.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern ini banyak ditemukan permasalahan yang menyangkut berbagai sektor kehidupan terutama pada negara berkembang salah satunya adalah Indonesia, antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian kredit bagi bank merupakan kegiatan yang utama, karena pendapatan terbesar dari bank berasal dari sektor kredit baik dalam bentuk bunga, provisi, ataupun

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. keputusan kepailitan masih banyak yang tidak tepat dan salah dalam

BAB III PENUTUP. keputusan kepailitan masih banyak yang tidak tepat dan salah dalam BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penerapan prinsip-prinsip hukum kepailitan oleh Hakim dalam pengambilan keputusan kepailitan masih banyak yang tidak tepat dan salah dalam mengartikannya. Kesalahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan seperti berikut : 1. Kesesuaian pengajuan Peninjauan Kembali

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

1 of 6 18/12/ :54

1 of 6 18/12/ :54 1 of 6 18/12/2015 15:54 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 163/PMK.06/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit kepada PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel. Keputusan ini timbul

Lebih terperinci

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT A. 1. Posisi Kasus PT Prima telah melakukan suatu perikatan hukum dengan Telkomsel yang dituangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci