BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Latar Belakang Formal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Latar Belakang Formal"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Latar Belakang Formal Manusia merupakan makhluk yang tidak pernah diam, namun manusia juga bukanlah makhluk yang berpindah-pindah. Perpindahan merupakan bagian dari proses adaptasi dengan lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi. Oleh karena itu, mobilitas penduduk dalam berbagai wujudnya kurang mencerminkan adaptasi manusia dengan daerah sekitarnya. Mobilitas penduduk di suatu wilayah terjadi karena adanya faktor yang mendorong dan menarik dalam suatu wilayah. Kondisi sosial ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan seseorang menyebabkan orang ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. Daerah asal dan daerah tujuan memiliki perbedaan nilai kefaedahan wilayah. Daerah tujuan mempunyai nilai kefaedahan wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal. Daerah rentan bahaya longsor dapat memberikan dampak buruk pada keadaan sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Daerah tersebut mempunyai dampak negatif pada aspek mental, spiritual, pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, sumberdaya alam, dan perekonomian secara umum. Desa yang mengalami kerusakan tempat tinggal, sarana dan infrastruktur, seperti sekolah, puskesmas, tempat beribadah, dan pasar. Desa yang mengalami kerusakan akan membuat penduduk untuk mencari aktivitas ekonomi di daerah lain yang tidak rentan terhadap bahaya longsor untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat dikemukakan bahwa kurang terpenuhinya kebutuhan hidup di daerah yang rentan bahaya longsor merupakan daerah asal yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan mobilitas penduduk. Greenpressnetwork (2011) menjelaskan data mengenai kejadian, korban serta kerusakan yang terjadi akibat bencana tanah longsor di Desa Soko yang 1

2 terjadi pada tahun 2007 terdapat 3 orang tewas, namun tidak terdapat kerusakan yang parah, seperti lahan atau rumah rusak. Sumber: Survei Lapangan, 2013 Gambar 1.1 Kondisi Desa Soko Tahun 2013 Pada Gambar 1.1 merupakan keadaan di daerah rentan bahaya longsor. Banyak rumah penduduk yang dibangun di daerah yang rentan tersebut. Daerah yang rentan bahaya longsor tersebut merupakan daerah penambangan batu. Dapat dilihat bahwa daerah tersebut rentan untuk ditinggalin, namun penduduk masih tetap tinggal. Mobilitas dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horizontal. Mobilitas penduduk vertikal sering disebut dengan perubahan status, misalnya perubahan status pekerjaan. Mobilitas penduduk horizontal atau sering pula disebut dengan mobilitas penduduk geografis, adalah gerak (movement) penduduk yang melintas batas wilayah menuju ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang mendasarkan konsepnya atas wilayah dan waktu (space and time concept) (Mantra, 2003). Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas permanen dan mobilitas nonpermanen. Mobilitas permanen atau sering disebut dengan migrasi merupakan gerak penduduk dari suatu wilayah menuju wilayah lain dengan ada keinginan menetap di daerah tujuan. Sedangkan, mobilitas penduduk nonpermanen merupakan gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain 2

3 dengan tidak ada keinginan menetap di daerah tujuan. Hal ini tergantung pada pengambilan keputusan penduduk di daerah tersebut. Jika penduduk mempunyai keinginan berpindah karena ingin mempunyai tempat tinggal yang aman dari daerah rentan bahaya longsor, maka bentuk mobilitas penduduk itu adalah migrasi permanen, yakni menetap di daerah tujuan. Penduduk yang melakukan migrasi di daerah rentan bahaya longsor adalah penduduk usia produktif yang berkisar antara tahun. Penduduk usia tersebut dapat disebut sebagai migran potensiil. Migran potensiin dilihat dari usia produtif dimana pada usia tersebut mereka mempunyai pemikiran untuk melakukan migrasi dengan alasan mencari pekerjaan di daerah tujuan atau mencari daerah yang aman dari dari daerah asal. Migran potensiil tersebut melakukan migrasi permanen maupun migrasi nonpermanen dilihat dari kondisi daerah tersebut. Hal ini dapat ditentukan jenis migrasinya untuk penduduk yang tinggal di daerah rentan bahaya longsor. Apabila dilihat dari keadaan daerahnya, maka dapat dimengerti bahwa aktivitas ekonomi misalnya untuk bidang pertaniannya mempunyai hasil yang tidak begitu tinggi dan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya tersebut akan mengalami stres diluar batas toleransinya. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya, penduduk harus mencari sumber tambahan di daerah lain, sehingga dapat diduga bahwa penduduk akan melakukan migrasi permanen ke daerah lain untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap di tempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi (Tjiptoherijanto, 2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis untuk menganalisis masalah mobilitas peduduk di daerah rentan bahaya longsor. Pendekatan yang 3

4 digunakan mempunyai maksud untuk melihat masalah mobilitas penduduk dengan melibatkan keberadaan manusia dengan lingkungan habitatnya. Manusia dalam hal ini bukan sebagai sosok biologis, namun manusia sebagai makhluk sosial, ekonomi, budaya, politik, dan religius yang mempunyai yang mempunyai perilaku tertentu (Sabari, 2010). Pendekatan ini digunakan dalam penelitian karena ingin mengetahui perilaku penduduk untuk melakukan mobilitas di Desa Soko, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Longsor merupakan gejala alami yang berdampak negatif pada lingkungan karena sangat berbahaya di daerah sekitarnya, misalnya di daerah tersebut akan terkena dampak dari longsoran. Hal ini akan membuat penduduk di Desa Soko melakukan perpindahan ke daerah yang aman dari longsoran. Perpindahan tersebut merupakan perilaku penduduk yang terkait dengan persepsi, preferensi, dan aksi menentukan sesuatu di daerah rentan bahaya longsor. Pendekatan ekologis digunakan dalam penelitian ini agar bertujuan untuk mengungkapkan alasan-alasan yang mendasari mengapa penduduk harus melakukan mobilitas di daerah rentan bahaya longsor adalah sangat penting untuk dilakukan. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mencari solusi yang tepat supaya pada masa mendatang penduduk dapat melakukan mobilitas setelah terjadinya bencana alam apabila penduduk kehilangan tempat tinggal. Oleh karena itu, kebutuhan penduduk dapat dipenuhi Latar Belakang Material Pengambilan keputusan untuk melakukan mobilitas penduduk secara menetap seperti halnya migrasi tidak dapat dilakukan secara mendadak. Akumulasi dari berbagai aspek terlebih dahulu dipertimbangkan secara seksama untuk kehidupan jangka panjang maupun jangka pendek. Sejalan dengan hal tersebut adalah wajar, bila pengambilan keputusan untuk melakukan mobilitas penduduk memerlukan waktu yang relatif lama. Mereka mempertimbangkan dengan teliti bahwa kehidupan di daerah tujuan akan lebih baik daripada di daerah asal. Oleh sebab itu, informasi tentang daerah tujuan terutama faktor-faktor 4

5 pendukungnya dapat memberikan peluang kehidupan yang lebih baik menjadi penting untuk diketahui (Sontosudarmo, 1996). Kelengkapan dan kualitas informasi tentang kondisi daerah tujuan bagi penduduk yang akan pindah akan menjadi penting dalam pengambilan keputusan. Penyampaian informasi yang kurang tepat tentang daerah tujuan yang disampaikan oleh pengelola program mengakibatkan munculnya persepsi yang negatif. Kunjungan ke daerah tujuan yang muncul di berbagai media massa masih belum dapat dipercaya oleh mereka apabila belum dilihat sendiri atau disampaikan oleh keluarga ataupun sesama warga dari daerah asal. Oleh karena itu, banyaknya mobilitas penduduk pun seringkali sejalan dengan banyaknya informasi yang diketahui. Daerah rentan bahaya longsor dapat mengakibatkan timbulnya dampak fisikal dan non fisikal yang luas terhadap penduduk yang bertempat tinggal di sekitarnya. Penduduk di sekitarnya tersebut seperti penduduk di Desa Soko dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, yaitu antara pindah tempat tinggal ke daerah tujuan atau bertahan tetap tinggal di daerah asal yang merupakan daerah rentan bahaya longsor. Daerah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya kerugian material maupun korban jiwa. Mereka seyogyanya pindah jika tidak berani menanggung risiko terlanda bahaya yang datangnya tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Kemudian, bagi yang tetap bertahan di daerah tersebut tetap dihadapkan pada ketidakpastian dalam bekerja dan berusaha karena datangnya bahaya longsor tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu. Bagi mereka yang menginginkan pindah dihadapkan pada permasalahan yang sulit. Kemantapan kehidupan penduduk di daerah rentan bahaya longsor yang sudah cukup lama dirasakan, secara tiba-tiba harus ditinggalkan apabila terjadi bahaya longsor. Secara logika, dapat diterima apabila penduduk yang terancam eksistensinya apapun bentuknya akan pergi meninggalkan daerah asalnya. Berbagai media massa menyatakan bahwa penalaran tersebut bertentangan dengan fakta yang ada, yaitu penduduk yang berada di daerah rentan bahaya longsor tidak ingin untuk pindah meninggalkan daerah asalnya. Hal ini jelas berkaitan dengan persepsi penduduk terhadap keadaan di daerah asalnya dan 5

6 aspirasi terhadap kehidupan yang mereka inginkan. Penduduk harus mulai kehidupan barunya di daerah tujuan dan rencana jangka panjangnya belum dapat diketahui secara pasti. Sebenarnya mereka membutuhkan sebuah bukti nyata bahwa di daerah tujuan merupakan daerah harapan. Keberhasilan di daerah tujuan misalnya di daerah migrasi, perlu dibuktikan sendiri bahwa memang ada keluarga atau warga dari daerah asal yang berhasil di daerah tersebut. Hal ini sangat penting karena dapat digunakan sebagai tempat berdiskusi maupun berbagi pengalaman yang dapat diharapkan untuk membangun kehidupan baru di daerah tujuan. 1.2 Perumusan Permasalahan Penelitian Desa Soko merupakan daerah yang rentan bahaya longsor. Longsor yang terjadi dapat meliputi di sebagian wilayah Desa Soko, namun penduduk di desa tersebut mempunyai keinginan untuk berpindah. Fenomena keinginan berpindah penduduk di daerah rentan bahaya longsor diindikasikan sangat erat dengan kerentanan yang melekat pada masing-masing individu yang ada di desa tersebut. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas maka dapat menimbulkan permasalahan yaitu: 1. Bagaimana persepsi penduduk dalam menilai daerah rentan bahaya longsor? 2. Bagaimana keinginan pindah penduduk dari daerah rentan bahaya longsor? 3. Apakah yang menyebabkan penduduk di Desa Soko mempunyai keinginan berpindah dari daerah rentan bahaya longsor? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui persepsi penduduk dalam menilai daerah rentan bahaya longsor. 2. Mengetahui keinginan pindah penduduk dari daerah rentan bahaya longsor. 3. Mengetahui penyebab penduduk di Desa Soko mempunyai keinginan berpindah dari daerah rentan bahaya longsor? 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis 6

7 1. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dalam hal menemukan model formatif terbentuknya migrasi permanen ataupun migrasi nonpermanen di Desa Soko yang merupakan daerah rentan bahaya longsor. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan pada masyarakat tentang mobilitas penduduk untuk daerah rentan bahaya longsor Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi instansi yang terkait terhadap permasalahan yang ada serta hubungan dengan daerah yang diteliti. 2. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan kajian mengenai proses perkembangan mobilitas penduduk dalam peranannya untuk memajukan Desa Soko, sehingga dapat bermanfaat untuk perencanaan kependudukan dan pembangunan. 1.5 Keaslian Penelitian Sebelumnya Penelitian menyangkut penanganan bahaya longsor telah dilakukan. Namun penelitian mengenai mobilitas penduduk di daerah rentan bahaya longsor Desa Soko belum dilakukan. Terdapat penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang mobilitas penduduk di daerah rentan bahaya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan penelitian, yaitu sebagai berikut: 7

8 Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti Judul Pendekatan Tujuan Metode Hasil 1. Wahyuni (1980) Mobilitas Penduduk di Daerah Banjir Kecamatan Kompleks Wilayah 1. Mengetahui pola mobilitas penduduk di daerah banjir Kecamatan Purwodadi. 1. Aspek populasi dengan metode penelitian sampling yaitu 1. Pola mobilitas penduduk di Kecamatan Purwodadi ditentu oleh faktor ekonomi. Purwodadi 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pola mobilitas penduduk di daerah banjir systematic random sampling. 2. Karakteristik objek penelitian dengan 2. Faktor yang mempengaruhi mobilitas penduduk di Kecama Purwodadi adalah untuk beker perkotaan rutin dengan daerah banjir tidak rutin metode survei analitis. 3. Analisis data dengan pendekatan gabungan kualitatif dan kuantitatif (Univariate Analysis, Bivariate Analysis, dan Multivariate Analysis). 2. Sugiyanto (1981) Pengaruh Daerah Banjir Terhadap Mobilitas Penduduk Kompleks Wilayah 1. Mengetahui keadaan sosial, ekonomi budaya di daerah banjir daerah Kecamatan 1. Aspek populasi dengan metode penelitian sampling yaitu 1. Mobilitas penduduk di Kecam Gabus ditentukan oleh keadaan sosial, ekonomi budaya. 8

9 di Kecamatan Gabus Gabus. systematic random 2. Bentuk dan perilaku mobilitas Kabupaten Pati 2. Mengetahui bentuk dan sampling. penduduk di Kecamatan Gabu perilaku mobilitas 2. Karakteristik objek meliputi nglaju, sirkulasi, dan penduduk di daerah banjir penelitian dengan migrasi. Kecamatan Gabus. metode survei deskriptif. 3. Keadaan banjir di Kecamatan 3. Mengetahui keadaan banjir 3. Analisis data dengan Gabus membuat penduduk di wilayah Kecamatan pendekatan kuantitatif. membangun rumah dengan Gabus. penanggulangan yang kuat. 4. Mengetahui faktor-faktor 4. Faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi mobilitas penduduk di Kecama mobilitas penduduk di Gabus adalah untuk mencukup daerah penelitian. kebutuhan hidup 9

10 1.6 Tinjauan Pustaka Rentan Bahaya Longsor Rentan dan Bahaya Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya atau ancaman bencana. Faktor kerentanan meliputi: Fisik: kekuatan bangunan struktur (rumah, jalan, jembatan) terhadap ancaman bencana. Sosial: kondisi demografi (jenis kelamin, usia, kesehatan, gizi, perilaku masyarakat) terhadap ancaman bencana. Ekonomi: kemampuan finansial masyarakat dalam menghadapi ancaman di wilayahnya. Lingkungan: tingkat ketersediaan/kelangkaan sumberdaya (lahan, air, udara) serta kerusakan lingkungan yan terjadi. Bahaya (hazards) adalah fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia, kehilangan hartabenda, kehilangan mata pencaharian, kerusakan lingkungan, misalnya tanah longsor, banjir, gempa bumi, letusan gunungapi, dan kebakaran. Tidak semua potensi bahaya alam akan menimbulkan resiko bencana. Apabila suatu peristiwa yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang rentan, maka daerah tersebut beresiko terjadi bencana. Jadi resiko dipengaruhi oleh faktor-faktor bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Dalam hal ini faktor kapasitas (capacity) dapat dianggap sebagai bagian dari faktor kerentanan, yang dapat mengurangi kerentanan bila kapasitas daerah tersebut tinggi. Sebaliknya, apabila kapasitas daerah rendah maka akan meningkatkan faktor kerentanannya (Sadisun, 2007). Peristiwa bencana alam tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat yang dilakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun 10

11 lingkungan. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana yang selama ini terjadi, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya. Pembangunan seharusnya bukan proses modernisasi saja, tetapi harus juga memperhatikan peningkatan kualitas hidup dari berbagai aspek seperti ekonomi, sosial dan lingkungan yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pembangunan secara seimbang, diantaranya dengan memperhatikan kaidah-kaidah kebencanaan dalam pelaksanaan pembangunan. Agar dapat maju dan bersaing dengan bangsa lain, bagi kita yang hidup di daerah rawan bencana, sudah seharusnya memiliki kebijakan, strategi, perencanaan, atau program-program yang dilakukan sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan menghadapi bencana Longsor Longsor merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi. Terjadinya longsoran ini terjadi karena proses alamiah dalam perubahan struktur muka bumi, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab, yaitu fenomena alam, seperti curah hujan, tata air tanah, dan struktur geologi. Selain itu, aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga mempengaruhi terjadinya longsoran yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak (Rahman, 2011). Gerakan tanah atau umum disebut sebagai longsor merupakan hal yang umum di daerah yang memiliki kondisi morfologi yang berelief tinggi dengan banyak lereng. Pada kondisi daerah seperti ini, kemungkinan terjadinya gerakan tanah akan lebih besar daripada daerah dengan morfologi yang landai-landai saja. Gerakan tanah dapat memberikan dampak yang serius apabila menimbulkan suatu kerugian. Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran -butiran 11

12 tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang kompleks seperti kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan serta pola pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air permukaan), ulah manusia seperti penggalian dan lain sebagainya (Noor, 2012). Penanggulangan dan pencegahan bahaya longsoran tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode, baik yang berkaitan dengan tipe longsoran dan faktor penyebabnya. Terdapat beberapa tipe longsoran tanah yang dapat ditanggulangi melalui rekayasa keteknikan, seperti membuat terasering di kawasan perbukitan yang berlereng terjal agar lereng menjadi stabil, atau struktur pondasi bangunannya menggunakan tiang pancang hingga mencapai kedalaman tertentu sehingga dapat menahan bangunan jika terjadi longsoran tanah. Untuk dapat mengetahui secara detil tentang tipe dan faktor penyebab longsoran tanah di suatu wilayah, maka diperlukan penyelidikan geologi secara detail dan komprehensif sehinga dapat diketahui secara pasti sebaran, lokasi, jenis gerakan tanahnya serta kestabilan wilayah di daerah tersebut. Peta kestabilan wilayah dan lokasi gerakan tanah merupakan output dari penyelidikan geologi yang berguna untuk perencanaan tataguna lahan Keinginan Pindah Penduduk Keinginan ( intention) merupakan fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku, persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan aspek kontrol 12

13 perilaku yang dihayati. Menurut Ajzen dan Fishbein (1991) dalam teori perilaku terencana (theory of planned behavior), sikap dan kepribadian seseorang berperilaku terhadap perilaku tertentu hanya jika tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan erat dengan perilaku. Faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu dalam teori perilaku terencana adalah keinginan untuk menampilkan perilaku tertentu. Keinginan diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Keinginan merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan seseorang untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut. Menurut Karr S.B, ada lima determinan perilaku. Pertama, adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya. Kedua, adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Ketiga, terjangkaunya informasi ( accessibility of information). Keempat, adanya otonomi atau kebebasan pribadi ( personnal autonomy) untuk mengambil keputusan. Kelima, adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Menurut Rossi (1955), alasan -alasan penduduk mempunyai keinginan berpindah tempat tinggal dengan dasar karakteristik tempat tinggal dan lingkungan sosial ekonomi terdekat menyatakan bahwa perpindahan disebabkan oleh adanya alasan dari luar keluarga (pindah kerja, kawin, atau diusir), tidak puas dengan keadaan tempat tinggal lama, mencari tempat tinggal yang sesuai dengan keinginan, keamanan, tempat lain lebih menarik, dan lebih murah. Selanjutnya Golledge and Stimson (1987) menyimpulkan bahwa pola perpindahan tempat tinggal yang diinginkan oleh penduduk, yaitu tempat-tempat fungsional yang sangat diperlukan oleh masyarakat, kualitas lingkungan fisik dan kualitas estetik dari lingkungan tetangga, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tersedia, faktor lingkungan sosial (prestige, socio-economic status, ethnicity), tahapan dalam siklus kehidupan/keluarga 13

14 yang berhubungan dengan kebutuhan tempat tinggal, serta pengenalan akan lokasi tempat tinggal dan karakrakteristiknya (Samyahardja, 2001). Suatu proses keinginan penduduk untuk berpindah tempat tinggal atau tetap tinggal di daerah yang lama akan bergantung pada keinginan dan harapan yang ada dapat tercukupi oleh daerah tersebut atau tidak. Tekanan-tekanan yang ada selama tinggal di daerah tersebut sebagai dasar acuan suatu pengambilan keputusan tinggal atau pindah. Ada empat bentuk umum dari tekanan (stressor) lingkungan yang dinyatakan oleh Pacione (1990), yaitu kejadian bencana, kejadian tekanan hidup, gangguan sehari hari, dan gangguan atau tekanan yang terjadi terus-menerus (ambient stressor) (Samyahardja, 2001). Keinginan pindah penduduk dapat dipengaruhi oleh faktor non ekonomis. Pertama, faktor-faktor sosial yang membuat keinginan para penduduk untuk melepaskan dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasiorganisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka. Kedua, faktor-faktor fisik yang dapat terjadi karena pengaruh iklim dan bencana meteorologis, seperti banjir dan kekeringan. Ketiga, faktor-faktor demografi yang disebabkan oleh penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat. Keempat, faktor-faktor kultural yang disebabkan oleh pembinaan kelestarian hubungan keluarga besar yang berada pada tempat tujuan berpindah penduduk. Kelima, faktor-faktor komunikasi yang disebabkan oleh kualitas seluruh sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh media massa atau media elektronik Migrasi Konsep dan Definisi Migrasi Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor yang dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor lainnya, yaitu kelahiran dan kematian. Peninjauan migrasi secara regional sangat penting untuk 14

15 ditelaah secara khusus mengingat adanya desentralisasi (kepadatan) dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi orang-orang untuk melakukan migrasi, adanya desentralisasi dalam pembangunan, di lain pihak, komunikasi termasuk transportasi semakin lancar (Munir, 2000: hal 115). Berdasarkan Sensus Penduduk 1971, Sensus Penduduk 1980, Sensus Penduduk 1990 dan Survei Penduduk Antar Sensus tahun 1995 tidak ada satu propinsi pun yang tidak mengalami perpindahan penduduk baik perpindahan masuk maupun perpindahan keluar (Emalisa, 2003). Istilah umum untuk mobilitas penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna pergerakan spasial, fisik, dan geografis yang termasuk ke dalam mobilitas penduduk permanen dan maupun nonpermanen (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Rusli, 1996: hal 136). Migrasi merupakan mobilitas penduduk permanen, sedangkan mobilitas penduduk nonpermanen terdiri dari sirkulasi dan komunikasi (Rusli, 1996: hal 136). Definisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000: hal 116). Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Menurut Young (1984), hampir semua definisi mengguna kan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu (Emalisa, 2003). Proses migrasi dalam setting teknologi dan transportasi yang berbeda telah berlangsung, yang mempengaruhi proses dan hakikat dari migrasi itu. Sifat migrasi permanen atau keputusan untuk menetap atau kembali ke daerah asal menjadi sangat berbeda pada saat konteks teknologi dari migrasi itu 15

16 berkembang pesat. Oleh karena itu, isu-isu tentang jaminan keamanan, status hukum, status kewarganegaraan, dan diskriminasi sosial (Castles, 2000: 204) menjadi penting untuk diperhatikan dalam analisis mobilitas penduduk. Perubahan-perubahan struktural pada tingkat mikro dan makro tidak dapat dipisahkan dalam studi mobilitas penduduk karena perubahan tersebut membentuk karakter mobilitas penduduk secara langsung. Dalam hal ini, mobilitas penduduk dilihat sebagai respon terhadap perubahan-perubahan struktural tersebut yang karakternya akan mengalami pergeseran dari waktu ke waktu (Abdullah, 2002). Batas-batas ruang yang semakin tidak terlihat dalam mobilitas penduduk merupakan akibat intensitas perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang semakin tinggi. Jarak dan waktu bersifat relatif secara keseluruhan disebabkan oleh berbagai fasilitas transportasi dan telekomunikasi serta dukungan institusional, sehingga memudahkan pengambilan keputusan dan proses migrasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kajian mobilitas penduduk dapat memberi respon pada tataran-tataran filosofis keilmuan yang menentukan peneliti menanggapi kecenderungan masa kini dalam studi mobilitas penduduk (Abdullah, 2002). Model-model pengambilan keputusan berfokus pada motivasi-motivasi untuk bermigrasi. Menurut De Jong dan Gardner (1981), pengambilan keputusan bermigrasi merupakan motif-motif sebagai suatu penyebab utama (proximate causes) dari keinginan berpindah. Secara subyektif, apabila seseorang memperhitungkan rasio biaya manfaat, tingkat tekanan dan kepuasan serta nilai dan harapan-harapan untuk berpindah ataupun tidak berpindah, maka konsep yang mendasarinya adalah motivasi. Motivasi migrasi dikategorikan atas maksimalisasi penerimaan ekonomi aktual atau yang diharapkan mobilitas sosial dan status sosial yang dicapai, kepuasan bertempat tinggal, afiliasi dengan keluarga dan teman-teman dan preferensi gaya hidup yang dicapai. 16

17 Model nilai harapan (the value expectancy model) merupakan pendekatan pengambilan keputusan. De Jong dan Fawcett (1981) menerapkan suatu model kognitif psikologis (psychological cognitive modal) yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa mental dengan suatu kerangka kerja esensial terhadap migrasi. Mereka menerima bahwa motivasi bermigrasi tergantung pada penjumlahan hasil kali nilai harapan, yakni seseorang yang termotivasi untuk bermigrasi akan terpengaruh oleh harapan bahwa perpindahan itu akan mewujutkan tujuan-tujuan tertentu yang secara pribadi. Menurut De Jong dan Fawcett (1981), dimensi -dimensi nilai utama dari individu yang dihubungkan dengan migrasi terdiri dari kemakmuran (wealth), status kenyamanan (comfort), stimulasi (stimulation), otonomi (autonomi), afiliasi (affiliation), dan moralitas (morality). Fenomena proses migrasi terjadi berulang-ulang disebabkan oleh faktor pendapatan, distribusi tanah, pengorganisasian hasil pertanian, budaya migrasi, distribusi sumber daya manusia dalam tingkat regional dan sosial pelabelan (Setiadi, 2000). Pendekatan yang komprehensif dengan fenomena tersebut adalah pendekatan nilai-harapan oleh Fawcett, 1989 dan Zlotnik, 1992, melihat proses migrasi sebagai hasil perhitungan dan harapan terhadap daerah asal dengan berbagai aspek pertimbangan seperti aspek ekonomi, sosial, demografi, psikologi, dan lain-lain. Apa yang menjadi harapan tentang daerah asal belum tentu menjadi kenyataan. Ketika harapan di daerah asal tidak terwujud maka proses migrasi ke daerah lain akan berlangsung kembali Determinan Migrasi Menurut Everett Lee (1970), ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan. 17

18 Rintangan-rintangan yang menghambat. Faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor determinan mobilitas penduduk menurut Everett S. Lee tahun 1970 dapat dilihat pada Gambar 1.2 sebagai berikut: Gambar 1.2 Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk menurut Everett S. Lee (1970) Daerah asal dan daerah tujuan mempunyai faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik seseorang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +) dan terdapat pula faktor -faktor yang memaksa seseorang untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor -). Selain itu, ada faktor-faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (faktor 0). Dalam keadaan tertentu yang tidak begitu berat akan mendapatkan beberapa rintangan, namun dalam keadaan lain dapat diatasi, misalnya jarak. Namun saat ini jarak tidak menjadi masalah karena adanya sarana dan transportasi. Rintangan tersebut akan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap orang-orang yang akan pindah. Ada orang-orang yang menganggap rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi juga ada orang-orang yang menganggap rintangan tersebut sebagai hal yang menghalangi mereka untuk pindah. Faktor-faktor pribadi mempunyai peranan penting karena faktor-faktor nyata yang terdapat di daerah asal atau daerah tujuan belum merupakan faktor 18

19 utama. Hal tersebut pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut yakni kepekaan pribadi dan kecerdasannnya. Diantara keempat faktor tersebut, faktor-faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri (Lee, 1970). Menurut Robert Norris (1972), ada tujuh faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan Rintangan-rintangan yang menghambat Migrasi kembali Kesempatan antara Migrasi Paksaan Faktor-faktor determinan mobilitas penduduk menurut Robert E. Norris tahun 1972 dapat dilihat pada Gambar 1.3 sebagai berikut: 19

20 Gambar 1.3 Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk menurut Robert E. Norris (1972) Teori Robert Norris melengkapi teori Everett Lee yaitu adanya migrasi kembali, kesempatan antara dan migrasi paksaan. Hal tersebut karena teori Everett Lee mengabaikan fungsi daerah antara dan tidak menjelaskan hubungan antara migran dengan daerah asal. Daerah antara merupakan tempat di antara daerah asal dengan daerah tujuan, dimana migran telah mendapatkan kebutuhan yang sudah dapat dipenuhi. Pekerjaan migran terpola karena migran yang baru tertampung oleh migran yang terdahulu, sehingga dipengaruhi oleh migran terdahulu tersebut. Namun kondisi migran kembali di daerah tujuan belum tentu mempunyai penghidupan yang lebih baik daripada di daerah asal. Adanya migran kembali menyebabkan migran-migran berikutnya (Norris, 1972). Mabogunje (1970) menjelaskan bahwa The System of Migration merupakan hubungan migran dengan desa yang dapat dilihat dari materi informasi yang mengalir dari kota atau daerah tujuan ke daerah asal. Informasi tersebut dapat bersifat positif dan negatif. Pada umumnya, informasi positif datang pada migran yang berhasil. Hal tersebut dapat berakibat stimulus untuk pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di desa, pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa ke luar semakin longgar, arah pergerakan penduduk tertuju ke kota-kota atau daerah tertentu, dan perubahan pola investasi dan pemilikan tanah di desa karena tanah mulai dilihat sebagai suatu komoditi pasar. Informasi negatif biasanya dating dari para migran yang gagal atau kurang berhasil, sehingga dapat mengakibatkan dampak yang sebaliknya. Menurut Mabogunje (1970), kontribusi dari migran terdahulu di kota sangat besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah yang sama dengan mereka. Hal tersebut terjadi pada tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan. 20

21 Penduduk yang berpindah harus kembali pada batasan tentang perbedaan tanggapan perorangan terhadap rangsangan berpindah pada derajat integrasi masyarakat pedesaan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi nasional. Ide tentang harapan atau aspirasi menjadi amat sentral untuk dipahami, sebab cara setiap lingkungan dalam memberikan rangsangan kepada setiap orang tentu berbeda melalui penyebaran rangsangan kepada setiap individu. Untuk alasan seperti ini, maka variabel-variabel dalam teori migrasi desa-kota menjadi amat kompleks dan krusial. Seseorang akan mengejar mobilitas sosial atau status sosial yang lebih baik di daerah tujuan. Hal tersebut sering terjadi pada migrasi penduduk di negara-negara berkembang, karena perpindahan penduduk golongan muda dari desa untuk menempuh pendidikan tinggi di kota-kota besar sangat besar, sedangkan di negara-negara maju tidak begitu nampak. Selain itu, seseorang juga akan mempertahankan basis sosial ekonomi masyarakat (Mabogunje, 1970). 1.7 Kerangka Pemikiran De Jong (1981) mengembangkan teori psikologi, berupa aspek internal dari individu (mikro) dalam pengambilan keputusan berpindah atau tidak. Model ini didasarkan pada subjective expected utility yang terdiri atas kekayaan materi, status, rasa nyaman, stimulasi, otonomi, afiliasi, dan moralitas yang dibobot secara rasional oleh pelaku mobilitas. Keputusan pindah atau tidak, seseorang akan memilih alternatif yang diharapkan dapat memberikan manfaat terbesar. Keputusan berpindah sangat ditentukan oleh pertimbangan kognitif sehingga penilaian terhadap berbagai faktor yang berpengaruh cenderung bersifat subjektif. Akibat variabel yang berpengaruh dinilai secara subjektif, nilai harapan rasional yang digunakan sebagai indikator berpindah atau tidak cenderung kualitatif, tergantung dari penilaian setiap individu. Walaupun demikian, harapan yang rasional untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di daerah baru, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya, maupun 21

22 politik merupakan faktor yang penting terhadap keputusan individu untuk melakukan mobilitas. De Jong dan Gardner (1981), menjelaskan bahwa migrasi merupakan mobilitas dalam level mikro. Mobilitas dalam level mikro tersebut terletak pada aspek motivasi bermigrasi yang dilakukan oleh penduduk. Motivasi tersebut merupakan sikap yang ada pada seseorang untuk pengambilan keputusan bermigrasi atau tidak. Selain itu juga seseorang dapat memilih daerah tujuan migrasi sesuai dengan keinginan. Pemahaman mobilitas dalam level mikro dapat digunakan model psikologi yang didasarkan pada nilai kebutuhan dan harapan. Model tersebut digunakan untuk mengetahui kecenderungan seseorang yang bergantung pada harapan yang diikuti dengan nilai kebutuhan seseorang tersebut pula. Nilai kebutuhan manusia dapat dilihat dari kepentingannya. Nilai kebutuhan tersebut harus dapat terpenuhi, misalnya kebutuhan untuk rasa aman. Kebutuhan untuk rasa aman ini berhubungan dengan keselamatan diri sendiri dan anggota keluarga. Nilai kebutuhan tersebut harus dapat dipenuhi semua oleh seseorang, baik kebutuhan sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini harus dilakukan oleh seseorang karena jika salah satu kebutuhan seseorang tidak dapat terpenuhi, maka kebutuhankebutuhan lain akan terhambat pemenuhannya. Kebutuhan sosial merupakan kebutuhan yang utama dalam nilai kebutuhan. Hal ini dapat terjadi karena kebutuhan sosial adalah cara hidup manusia. Manusia perlu memandang hubungan dan menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya karena terdapat persamaan kepentingan termasuk kegiatan sosial kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia telah mulai memperhitungkan atau memandang status sosial di dalam masyarakat. Selain itu, kebutuhan aktualisasi diri tidak boleh ditinggalkan oleh manusia. Kebutuhan ini berhubungan dengan adanya sumberdaya manusia. Nilai kebutuhan-kebutuhan tersebut membuat seseorang mempunyai harapan dimasa yang akan datang. Misalnya harapan agar terus merasa aman. Bahaya longsor dapat menimbulkan dampak-dampak yang sangat merugikan. Dampak-dampak negatif dapat muncul di daerah rentan bahaya longsor. Dampak- 22

23 dampak negatif tersebut dapat berupa dampak fisikal, dampak non fisikal, dan dampak terhadap fasilitas sosial, ekonomi, dan budaya. Contoh dari dampak fisikal adalah kerusakan lingkungan atau bangunan rumah, sedangkan dampak non fisikal terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya, seperti masalah psikologis, kurangnya akses dan kesehatan, dan banyaknya korban jiwa. Dampak-dampak tersebut memunculkan persepsi penduduk terhadap daerah tempat tinggal yang merupakan daerah rentan bahaya longsor. Persepsi penduduk terhadap daerah rentan bahaya longsor memunculkan kondisi faktual yang didasarkan pada keinginan/harapan terhadap wilayah dan nilai wilayah. Keinginan/harapan dan nilai wilayah tersebut memunculkan pengambilan keputusan bermigrasi. Hal ini menyebabkan tingkat keinginan penduduk untuk berpindah dapat diketahui. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 1.4 sebagai berikut: 23

24 Daerah Rentan Bahaya Longsor Pengetahuan Penduduk Terhadap Daerah Rentan Bahaya Longsor Persepsi Penduduk Terhadap Daerah Rentan Bahaya Longsor Karakteristik dan Sejarah Permukiman Penduduk Keinginan Pindah Kondisi Penduduk Faktual Kondisi Fisik dan Lingkungan Kondisi Sosial dan Ekonomi Keinginan/Harapan Terhadap Wilayah Nilai Wilayah Tingkat Keinginan Pindah Penduduk Gambar 1.4 Kerangka Pemikiran 24

25 1.8 Hipotesis 1. Lama tinggal penduduk di daerah rentan bahaya longsor mempengaruhi keinginan penduduk untuk berpindah. 2. Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah rentan bahaya longsor mempunyai keinginan untuk berpindah. 25

Mobilitas Penduduk I. Kependudukan (Demografi) Dian Kurnia Anggreta, S.Sos, M.Si 1

Mobilitas Penduduk I. Kependudukan (Demografi) Dian Kurnia Anggreta, S.Sos, M.Si 1 Mobilitas Penduduk I Kependudukan (Demografi) Dian Kurnia Anggreta, S.Sos, M.Si 1 Mobilitas Ditinjau Secara Sosiologis Mobilitas o Mobilitas Geografis Perpindahan penduduk dari batas geografis yang satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi penduduk atau population geography merupakan cabang ilmu geografi.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi penduduk atau population geography merupakan cabang ilmu geografi. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Penduduk Geografi penduduk atau population geography merupakan cabang ilmu geografi. Menurut Bintarto (1977: 10) geografi dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Migrasi 1. Pengertian Migrasi Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah tujuan dengan maksud menetap. Sedangkan migrasi sirkuler ialah gerak penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB IV DISKUSI TEORITIK

BAB IV DISKUSI TEORITIK BAB IV DISKUSI TEORITIK Teori yang digunakan dalam analisa ini bermaksud untuk memahami apakah yang menjadi alasan para buruh petani garam luar Kecamatan Pakalmelakukan migrasi ke Kecamatan Pakal, Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, khususnya bencana gerakan tanah. Tingginya frekuensi bencana gerakan tanah di Indonesia berhubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Disampaikan pada Workshop Mitigasi dan Penanganan Gerakan Tanah di Indonesia 24 Januari 2008 oleh: Gatot M Soedradjat PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI Jln.

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA BENCANA :

MITIGASI BENCANA BENCANA : MITIGASI BENCANA BENCANA : suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, maupun faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong masyarakat disekitar

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 13 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA GEOLOGI 1. Pendahuluan Perencanaan tataguna lahan berbasis mitigasi bencana geologi dimaksudkan untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pembangunan sebab mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan.

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi BAB 1 PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan daerah yaitu mencari kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata,

Lebih terperinci

TINGKAT KEINGINAN PENDUDUK UNTUK BERPINDAH DI DAERAH RENTAN BAHAYA LONGSOR DESA SOKO KECAMATAN MIRI KABUPATEN SRAGEN

TINGKAT KEINGINAN PENDUDUK UNTUK BERPINDAH DI DAERAH RENTAN BAHAYA LONGSOR DESA SOKO KECAMATAN MIRI KABUPATEN SRAGEN TINGKAT KEINGINAN PENDUDUK UNTUK BERPINDAH DI DAERAH RENTAN BAHAYA LONGSOR DESA SOKO KECAMATAN MIRI KABUPATEN SRAGEN Annisa Fitri Septiani annisa.fitriseptiani@gmail.com Umi Listyaningsih umilis@ugm.ac.id

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas penduduk, terutama mobilitas dari pedesaan ke perkotaan. Banyak hal yang

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas penduduk, terutama mobilitas dari pedesaan ke perkotaan. Banyak hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia berpengaruh terhadap perubahan sosial demografi. Salah satu perubahan itu tercermin dari meningkatnya mobilitas penduduk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran, kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana, termasuk bencana alam. Bencana alam merupakan fenomena alam yang dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi komputer dari waktu ke waktu membawa dampak semakin banyaknya sarana-sarana yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Dampak perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang sangat diinginkan oleh semua orang. Setiap orang memiliki harapan-harapan yang ingin dicapai guna memenuhi kepuasan dalam kehidupannya. Kebahagiaan

Lebih terperinci

2015 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN MIGRAN BERMIGRASI KE KECAMATAN BANTARGEBANG KO TA BEKASI

2015 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN MIGRAN BERMIGRASI KE KECAMATAN BANTARGEBANG KO TA BEKASI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Migrasi adalah salah satu fenomena penduduk yang dipelajari dalam studi geografi. Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor dasar yang mepengaruhi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia yaitu : lempeng Hindia-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan 230 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Wilayah Kecamatan Nglipar mempunyai morfologi yang beragam mulai dataran, perbukitan berelief sedang sampai dengan pegunungan sangat curam yang berpotensi

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 7. MOBILITAS PENDUDUK 7.1. Definisi dan Konsep Mobilitas Perilaku mobilitas penduduk berbeda dengan perilaku kelahiran dan kematian. Mobilitas penduduk tidak ada sifat keajegan seperti angka kelahiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG merupakan wilayah dengan karateristik geologi dan geografis yang cukup beragam mulai dari kawasan pantai hingga pegunungan/dataran tinggi. Adanya perbedaan karateristik ini menyebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana longsor lahan (landslide) merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Longsor lahan mengakibatkan berubahnya bentuk lahan juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Erwindy, Jossy. Tesis Magister dengan judul Analisis Kesesuaian Lahan Sebagai Masukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Erwindy, Jossy. Tesis Magister dengan judul Analisis Kesesuaian Lahan Sebagai Masukan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan merupakan sesuatu yang alamiah dan pasti terjadi. Meskipun pertumbuhan tidak dapat dihindarkan, namun kecepatan pertumbuhan sangat bervariasi dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sangat penting guna untuk merancang penelitian yang akan dilakukan peneliti. Beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan kondisi iklim global di dunia yang terjadi dalam beberapa tahun ini merupakan sebab pemicu terjadinya berbagai bencana alam yang sering melanda Indonesia. Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan mereka, termasuk pengetahuan bencana longsor lahan.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan mereka, termasuk pengetahuan bencana longsor lahan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya setiap manusia itu memiliki akal pikiran untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia belajar mengenali lingkungan agar dapat memenuhi kebutuhan serta dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Seminar Lokakarya Nasional Geografi di IKIP Semarang Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Seminar Lokakarya Nasional Geografi di IKIP Semarang Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Seminar Lokakarya Nasional Geografi di IKIP Semarang Tahun 1989, Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena Geosfer dengan sudut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamnya, sehingga sangatlah wajar apabila Indonesia menjadi sebuah Negara

BAB I PENDAHULUAN. alamnya, sehingga sangatlah wajar apabila Indonesia menjadi sebuah Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terkenal dengan kesuburan alamnya, sehingga sangatlah wajar apabila Indonesia menjadi sebuah Negara agraris. Sebagaimana kita ketahui

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor,

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor, I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor, semakin tajam kemiringan lereng pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme) bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor utama dari mobilitas

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 19 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Masalah Kependudukan Masalah kependudukan di Indonesia dikategorikan sebagai suatu masalah nasional yang besar dan memerlukan pemecahan segera. Hal ini mencakup lima masalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat proses geologi yang siklus kejadiannya mulai dari sekala beberapa tahun hingga beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomi berada pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis Indonesia terletak di antara

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. dan permasalahannya di masing-masing daerah. masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional.

BAB. I PENDAHULUAN. dan permasalahannya di masing-masing daerah. masyarakat baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan lingkungan semakin meningkat dan semakin kompleks, Berbagai program pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dirancang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BAB III ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Isu Strategis Dalam penyusunan renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor tentunya tidak terlepas dari adanya isu strategis pembangunan Kota Bogor, yaitu : a. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Teori teori yang akan diuraikan berkaitan dengan variabel variabel yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Teori teori yang akan diuraikan berkaitan dengan variabel variabel yang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori Teori teori yang akan diuraikan berkaitan dengan variabel variabel yang dibahas dalam penelitian antara lain mencakup (1) pengertian migrasi;

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan menunjukkan bahwa manusia dengan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang semakin meningkat seharusnya diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kota yang akan memberikan dampak positif terhadap tingkat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun badan hukum. Usaha pemerintah ini tidak terlepas dari tujuan negara

BAB I PENDAHULUAN. maupun badan hukum. Usaha pemerintah ini tidak terlepas dari tujuan negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Masalah Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki karakteristik wilayah pegunungan dan perbukitan, sehingga seringkali terjadi bencana. Tanah merupakan salah satu bencana alam yang paling sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men PEMETAAN BANJIR KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Farida Angriani 1), Rosalina Kumalawati 1) 1)Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan IPS FKIP, UNLAM e-mail: rosalinaunlam@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 1. Usaha mengurangi resiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timpang dan ketidakseimbangan struktural (Mudrajad Kuncoro, 1997). tidak hanya mampu mendorong, tetapi juga dapat menganggu proses

BAB I PENDAHULUAN. timpang dan ketidakseimbangan struktural (Mudrajad Kuncoro, 1997). tidak hanya mampu mendorong, tetapi juga dapat menganggu proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Teori Kuznet pembangunan di Negara sedang berkembang identik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahap awal pembangunan namun disertai dengan timbulnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang PENGANTAR MITIGASI BENCANA Definisi Bencana (1) Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas dan dampak yang ditimbulkan bencana terhadap manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas dan dampak yang ditimbulkan bencana terhadap manusia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intensitas dan dampak yang ditimbulkan bencana terhadap manusia dan sektor ekonomi secara keseluruhan mengalami peningkatan (Berz, 1999; World Bank, 2005 dalam Lowe,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci