BAB I PENGANTAR. Keris ditinjau dari aspek fisik merupakan salah satu jenis. senjata tikam tradisional Jawa yang telah berkembang lebih jauh.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. Keris ditinjau dari aspek fisik merupakan salah satu jenis. senjata tikam tradisional Jawa yang telah berkembang lebih jauh."

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Keris ditinjau dari aspek fisik merupakan salah satu jenis senjata tikam tradisional Jawa yang telah berkembang lebih jauh. Hal itu tercermin pada kesempurnaan bentuk visual yang terkait dengan fungsinya secara kompleks. Bilah keris dibuat tidak hanya bersifat tajam dan runcing saja, tetapi juga simbolik dan artistik mengandung ciri khas berdasarkan zaman tertentu sesuai tempat asal-usul keris dibuat. Arief Syaifuddin mengilustrasikan bahwa bentuk keris berawal dari senjata tusuk genggam sederhana setelah melalui fase zaman sampai akhirnya mencapai tradisi bentuk yang sempurna. 1 Capaian bentuk keris secara kronologis ternyata memerlukan waktu berkembang cukup lama, berabad-abad tumbuh menjadi tradisi dan mencapai bentuk sempurna seperti keris sekarang. Timbul pertanyaan apakah karena sifat ketradisian yang justru mengakibatkan masyarakat Jawa sebagai pemilik merasa jenuh sehingga keris kemudian dijauhkan dari pandangannya. Ada banyak realita yang membuktikan hal itu 1 Arief Syaifuddin, Mencari Jejak Teori Evolusi Keris dalam Pamor: Media Khusus Tosan Aji Vol.7 (Jakarta: Yayasan Panji Nusantara, April-Juni 2008), 20. 1

2 2 bahwa kehidupan tradisi budaya Jawa sudah bergeser dan tidak banyak berhubungan dengan keris. Dengan begitu pembuatan keris menjadi turun dan bahkan tahun 1960-an sampai memasuki tahun 1970-an dikenal sudah mati secara nasional. Di tengah kekosongan empu secara nasional terjadi fenomena menarik yaitu muncul gejala tradisi keempuan di Desa Ngentha-Entha bangkit kembali. Desa yang secara geografis berada kurang lebih 15 kilometer dari Kota Yogyakarta ke arah barat melewati Jalan Godean, tepatnya secara administrasi berada di Kelurahan Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu memiliki potensi keempuan turun-temurun. Desa itu sejak dahulu dikenal oleh kalangan masyarakat perkerisan sebagai desa tempat tinggal para empu pembuat keris unggul yang meninggalkan bukti cerita masyarakat, artefak, dan aktivitas kerja empu sampai sekarang. Pentingnya penelitian ini untuk membongkar dan membahas dengan metode ilmiah misteri seluk-beluk keberadaan tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta, baik berkaitan dengan aspek historis, teknis pembuatan, maupun kekhasan identitas gayanya. Dengan itu dipandang perlu terlebih dahulu menjelaskan kata ngéntha-éntha mengingat kata tersebut memiliki beberapa fungsi. Pertama, kata ngéntha-éntha berasal dari bahasa Jawa yang berarti mereka-reka atau rekayasa

3 3 sesuatu. Kedua, kata ngéntha-éntha merupakan nama sebuah desa yaitu Desa Ngentha-Entha. Nama tersebut dikenal sebagai jelmaan dari kata Entha yaitu nama depan Empu Entha Wayang, seorang tokoh cikal bakal lahirnya desa sekaligus perintis desa empu. Ketiga, kata ngéntha-éntha juga digunakan untuk menyebut salah satu jenis gaya keris, khususnya keluaran desa tersebut yang dikenal sebagai Tangguh Ngéntha-Éntha. Penulisan kata ngéntha-éntha mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) untuk menghindari kesalahan dalam memaknainya. Kata ngéntha-éntha yang cara penulisannya diawali dengan huruf kapital, diikuti huruf tegak, dan tidak menggunakan tanda baca mengandung arti nama desa atau tempat. Kata ngéntha-éntha yang cara penulisan dengan huruf miring serta diikuti dengan tanda baca mengandung arti jenis gaya keris atau tangguh yaitu Tangguh Ngéntha-Éntha Penelitian ini terlebih dahulu juga memandang perlu menjelaskan istilah tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition yaitu merupakan sikap perilaku manusia yang telah berproses pembudayaan dilaksanakan secara turun-temurun. 2 Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan berbuat sesuatu mengulang 2 Slamet Subiantoro, Perubahan Fungsi Seni Tradisi: Upaya Rasionalisasi Terhadap Pengembangan dan Pelestarian Kebudayaan, dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, VI/ ), 345.

4 4 menjadi kebiasaan. 3 Dengan demikian ada sesuatu yang dikerjakan memiliki kesamaan dengan sebelumnya dalam hal ini adalah sistem pembuatan keris yang berlaku dan menjadi kebiasaan empu di Desa Ngentha-Entha secara utuh. Hassan Hanafi menyatakan bahwa tradisi tidak terpecah-pecah, terpisah, dan tidak mendahului masyarakat dalam fase sejarahnya. 4 Terkait dengan itu maka proses gagasan dan realitas pembuatan keris selingkup sejarah desa yang berkaitan dengan batas keperluan penelitian ini penting dan perlu diungkap secara utuh. Fenomena tradisi pembuatan keris sejak menjelang Indonesia merdeka berturut-turut sampai sekarang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bersama pengaruh dinamika perubahan zaman yang cepat telah berakibat pada langkanya sosok empu keris. Niels Mulder menyatakan bahwa di Yogyakarta tinggal satu empu yang umurnya sudah sangat tua tetapi masih mau membuat keris atau benda suci menurut patokan yang ada, tentu ada banyak keris yang harganya murah untuk pasar wisatawan. 5 Kelangkaan empu tersebut berarti pembuatan keris di Jawa yang dengan pedoman tradisi sudah sulit ditemukan, timbul pertanyaan siapa sosok empu yang dimaksud Mulder. 3 Erlinda, Tari Minangkabau dalam Demensi Sosisokultural, dalam Ekspresi (Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 10 tahun 4, 2004), Hassan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003), 1. 5 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (Jakarta: Gramedia, 1984), 90.

5 5 Sementara itu menurut Sri Sultan Hamengku Buwana X, sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana IX pembuatan keris di Keraton Yogyakarta terputus. 6 Dengan itu perlu diketahui oleh masyarakat bahwa penobatan Sri Sultan Hamengku IX menjadi Raja Yogyakarta tanggal 18 Maret Jadi, itu artinya pembuatan keris di Keraton Yogyakarta telah tutup sejak tahun 1940-an, entah kapan dibuka kembali, sampai sekarang belum ada kabar mengenai hal itu. Jika tradisi pembuatan keris yang di keraton saja terputus sejak sebelum Indonesia merdeka, lantas bagaimana pusat tradisi pembuatan keris yang berada di desa-desa seperti di Godean, Wates, Gunung Kidul, Imogiri, dan Bagelen. Asumsi kondisi yang di desa-desa dapat jauh lebih buruk karena pengaruh tutupnya besalèn (dapur tempa) di keraton tentu memancar sampai ke desadesa pembuatan keris. Kondisi semakin buruk karena masuknya pemerintah kolonial Jepang ke Indonesia yang kemudian dikenal membuat kehidupan tradisi semakin tidak menentu. Petrus Yohanes Suwarno menyatakan bahwa sejak menjelang kedatangan Jepang ke Jawa secara psikologis suasana perang sudah dirasakan di Yogyakarta, karena tentara Jepang dikenal sangat 6 Sri Sultan Hamengku Buwana X, Keris Hebat Baru Merupakan Sebuah Simbol yang Menuntut Kehebatan Pemiliknya, Sambutan Pameran Mahakarya Keris Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Panitia Pameran, 2009), 6. 7http://kebudayaan.kemendikbud.go.id/moseumbentengvredebur g/2014/03/18/penobatan -sultan

6 6 kejam. 8 Di samping itu juga dikenal adanya larangan membuat, menyimpan, dan memperjualbelikan keris oleh bala tentara pendudukan Jepang. Dengan itu logis jika masyarakat dalam hal ini khususnya empu sudah lebih dulu mencari aman daripada tetap bekerja di besalèn. Pemerintahan kolonial di Indonesia telah meninggalkan kepedihan yaitu termasuk jejak tradisi pembuatan keris hampir tercerabut dari akarnya. Ki Darmosoegito menyatakan bahwa budaya tradisi perkerisan di Jawa terdesak oleh senjata meriam sehingga tinggal menjadi pusaka. Meskipun begitu, di Desa Ngentha-Entha barat Godean Sleman Yogyakarta masih ada pembuatan keris dengan patokan tradisi seperti nenek moyangnya yang dikerjakan oleh Empu Supowinangun. 9 Hal itu membuktikan bahwa tradisi perkerisan yang semula lekat dengan masyarakat Jawa telah memasuki ambang kelangkaan tetapi masih beruntung ada Empu Supowinangun yang tetap setia pada pekerjaannya. Empu tersebut yang tampaknya dimaksud oleh Mulder karena di Yogyakarta bahkan di Jawa ia dikenal sebagai satu-satunya empu sejati yang tersisa dengan menggunakan patokan yang ada. 8 Petrus Yohanes Suwarno, Sejarah Birokrasi Yogyakarta: Kesinambungan dan Perubahannya, Disertasi (Yogyakarta: UGM, 1992), Ki Darmosoegito, Dhuwung: Winawas Sawatawis Jilid 2 (Surabaya: Djojobojo, 1963), 22.

7 7 Pembuatan keris meskipun belum dapat dikatakan punah karena masih ada Empu Supowinangun yang tetap bekerja menggeluti profesi sebagai empu sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1960-an. Namun budaya perkerisan kondisinya sudah ironis sebagaimana dinyatakan oleh H. Hardi bahwa budaya keris berjalan gagah di masa lampau tetapi tertatih-tatih di masa kemerdekaan. 10 Hanya ada satu kecenderungan sikap pesimistik di antara para pendukung perkerisan waktu itu menghadapi apa yang terjadi, seolah-olah tidak ada lagi kemungkinan bagi tradisi pembuatan keris untuk marak kembali. Mulder menyatakan bahwa keris sebagai senjata simbol status, seremonial, dan spiritual bersama meredupnya budaya keraton di Jawa, pembuatannya benar-benar menuju ke titik akhir. 11 Hanya ada Empu Supowinangun di Desa Ngentha-Entha yang masih sanggup menjadi benteng pertahanan terakhir tradisi pembuatan keris Jawa. Ia tetap tekun dan teguh memegang profesi dan tidak terpengaruh oleh kevakuman pembuatan keris di keraton. Empu Supowinangun mampu menjalankan profesi di tengah semakin banyaknya besalèn keris yang gulung tikar, termasuk besalèn di desanya. Ia bertahan di antara semakin 10 H. Hardi, Keris for The World, Sebuah Gerakan Budaya Keris untuk Dunia (Jakarta: Yayasan Panji Nusantara, 2010), Mulder, 1984, 90.

8 8 banyaknya empu yang lebih suka menjadi pandhé besi biasa untuk membuat benda keperluan sehari-hari daripada membuat keris yang menyita waktu dan membutuhkan laku prihatin. Ada pelajaran yang dapat dipetik dari sikap para empu sebagaimana Friedrich Seltmann melalui Toni Yunus menyatakan bahwa Empu Supowinangun sanggup menerima tugas dari pemimpin perjuangan Indonesia untuk membuat keris yang diisi dengan ilmu batinnya guna membantu perjuangan, untuk tujuan itulah kerisnya digunakan. 12 Sayangnya siapa pemimpin perjuangan yang dimaksud Seltmann tidak disebutkan secara eksplisit. Namun menurut cerita masyarakat ketika zaman peperangan dulu para empu desa itu membuat keris untuk pusaka dan senjata untuk perang dalam hal ini termasuk sangat dibutuhkan sebelum generasi Empu Supowinangun. Menurut catatan sejarah Pangeran Diponegoro ketika terkepung oleh pasukan Belanda, rumah dan masjidnya yang terletak di Tegalrejo, Kota Yogyakarta sisi barat, dibakar Belanda, kemudian ia bersama pengikutnya bergerak ke barat menuju daerah Dekso membangun pertahanan perang gerilya. 13 Ada keyakinan bahwa pangeran itu memperkuat persenjataan di Desa Ngentha-Entha karena desa itu telah dikenal sebagai desa empu 12 Friedrich Seltmann melalui Toni Junus, Tafsir Keris (Jakarta: Komunitas Panji Nusantara, 2012),

9 9 sejak dulu. Sekaligus desa itu otomatis menjadi jalur pintu masuk arah Dekso karena desa itu merupakan jalurnya dan tinggal menyeberang ke barat Sungai Progo tidak jauh dari desa itu. Gerilya Pangeran Diponegoro dilanjutkan ke selatan menuju Selarong Bantul karena Belanda terus mengejar dan satu parajurit Diponegoro tewas yang bukti kuburnya berada di makam empu Desa Ngentha-Entha. Serangan kecil-kecil dan tiba-tiba hilang dan muncul lagi yang dikenal sebagai strategi gerilya itu, Pangeran Diponegora bersama prajuritnya dibantu masyarakat dipersenjatai tombak, pedang, panah, keris, dan tusuk konde bagi prajurit perempuan sebagai telik sandi atau mata-mata. 14 Senjata-senjata itu jelas produk empu tentu termasuk empu Desa Ngentha-Entha yang berperan penting dalam membantu perjuangan Indonesia. Model perang gerilya pun dilakukan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman atas agresi militer Belanda di Yogyakarta karena persenjataan selain bambu runcing, tombak panah, keris pun masih digunakan untuk perang. Menurut Empu Sungkowo, Empu Supowinangun, kakeknya, tidak terlepas dari perjuangan Indonesia melalui karyanya. Bukti di antaranya Empu Supowinangun diminta membuat keris oleh Sultan Kerajaan Yogyakarta, pembuatannya ditunggui langsung oleh Patih Danurejo VIII dari keraton tersebut. Empu Supowinangun 14

10 10 melakukan pekerjaan itu sampai tidak beranjak berhenti istirahat karena ditunggui langsung oleh sang patih di besalèn (dapur tempa) sampai nolèh pun tidak berani, kata Empu Sungkowo. 15 Kesanggupan itu cerminan cinta Empu Supowinangun pada negeri ini sangat kuat, sehingga ia pantas dihargai sebagai teladan anak bangsa karena bukan saja ia bertahan dan sanggup membuat keris di tengah kelangkaan tetapi juga membuat keris untuk perjuangan Indonesia. Sepeninggal Empu Supowinangun tahun 1963, tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha benar-benar mati karena semua putranya belum ada yang sanggup mengikuti jejak profesi ayahnya sehingga tidak ada penerus. Meskipun sesungguhnya mereka berasal dari kerabat empu unggul (lihat lampiran), namun apa boleh dikata sejarahnya menjadi terputus. Silsilah mereka sebagaimana yang termuat dalam buku Bab Dhuwung dimulai dari seorang maestro keris Empu Supodriyo yang dikenal sebagai empu Kerajaan Majapahit berturut-turut sampai generasi Empu Entha Wayang empu di zaman Kerajaan Kartasura dan berturutturut lagi sampai Empu Supowinangun. 16 Dengan tidak adanya kesanggupan putra Empu Supowinangun meneruskan silsilah itu, 15 Wawancara dengan Empu Sungkowo, tanggal Darmosoegito,1961, 46.

11 11 maka praktis kekerabatan empu pembuat keris desa tersebut putus. Keterputusan pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha juga berarti secara menyeluruh pembuatan keris di Jawa telah mati. Bambang Harsrinuksmo menyatakan bahwa sampai menjelang tahun 1975 telah terjadi kekosongan profesi empu keris. Kekosongan itu sudah bersifat nasional karena setelah meninggalnya Empu Supowinangun, belum ada empu baru yang siap menggantikan. 17 Kekosongan itu terjadi dalam waktu cukup lama karena tidak saja putra-putra Empu Supowinangun belum berkeinginan menggantikan ayahnya, tetapi juga karena muncul kekacauan politik di Indonesia yang ikut mendorong krisis empu berkepanjangan. Jika hal itu tidak ada titik terang upaya menghidupkan kembali atau revitalisasi maka pembuatan keris Jawa dapat mati selamanya. Tahun 1970-an, menurut Empu Sungkowo, sudah ada gejala revitalisasi setelah Empu Jeno Harumbrojo, putera bungsu Empu Supowinangun, dalam waktu kurang dari satu tahun mendapat pengalaman tiga kali mimpi dalam tidurnya. Ia ingat dan heran terhadap isi mimpi itu semua, baik mimpi yang pertama sampai yang ketiga kalinya isinya mirip yaitu ditemui ayah dan 17 Bambang Harsrinuksmo, Ensiklopedi Keris (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 148.

12 12 disuruh untuk membuat keris pusaka. Empu Jeno Harumbrojo keheranan, kata Empu Sungkowo, mengapa mimpi itu sama persis sehingga dianggap bukan mimpi biasa. Empu Jeno Harumbrojo dengan penuh kesadaran pada dirinya mulai terusik hatinya, kemudian ia berniat seberat apa pun nantinya akan berupaya menjadi empu keris profesional seperti perintah ayahnya dalam mimpi tersebut. Ia juga tidak peduli apakah mimpinya itu petunjuk Tuhan atau tidak, tetapi ia akan mewujudkan pesan ayahnya itu. Meskipun ia merasa masih minim pengetahuan, keterampilan, alat, bahan, serta modal kerja, namun sejak itu ia ingin segera merevitalisasi pembuatan keris di desanya yang sejak dulu pernah menjadi pusat atau desa krajan pembuatan keris di luar keraton. 18 Langkah awal yang ditempuh Empu Jeno Harumbrojo untuk mewujudkan pesan mimpinya yaitu dengan cara mengajak Empu Yosopangarso, kakak sulungnya. Empu Yosopangarso diajak bekerja sama dan kembali bekerja seperti ayahnya sebagai empu keris. Empu Jeno Harumbrojo mengharapkan keterbatasan dirinya dapat dibantu kakaknya, karena ia mengetahui bahwa kakaknya itu lebih berpengalaman dan dahulu dekat dengan ayahnya. Yosopangarso yang semula menolak ajakan adiknya, 18 Wawancara dengan Empu Sungkowo, tanggal

13 13 namun karena kesetiaan terhadap adik dan almarhum Empu Supowinangun, ayahnya sendiri, maka permintaan itu dipenuhi. Mereka menggunakan segala kemampuan yang dimiliki kemudian bersama-sama merekontruksi tradisi pembuatan keris yang dimulai dari menggali konsep dasar ritual sebagai landasan pengiring pelaksanaan teknis, selanjutnya melakukan percobaan teknis. Haryono Haryo Guritno menyatakan bahwa desa-desa bekas pusat pembuatan keris di Jawa masih menyimpan potensi laten yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan tumbuh lagi jika mendapat pengaruh positif dari luar. 19 Persis hal itu sebagaimana sekitar tahun 1973 upaya revitalisasi yang dilakukan oleh dua tokoh utama yaitu Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo baru dapat berhasil lancar setelah beberapa tahun kemudian mendapat dukungan mental dan modal kerja dari pihak luar. Dietrick Drescher, seorang kapten kapal pengagum keris berkebangsaan Jerman pada tahun 1975 datang ke Desa Ngentha- Entha dengan tujuan utama untuk menemui Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo. Pertemuan mereka telah memicu upaya revitalisasi pembuatan keris oleh Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo sehingga berjalan semakin lancar dan 19 Haryono Haryo Guritno, Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar (Jakarta: PT Indonesia Kebanggaanku, 2006), 50.

14 14 mulai menampakkan perkembangan. Sekitar tahun 1976 Garrett Solyom, seorang peneliti budaya keris Jawa dari Amerika Serikat juga datang ke desa tersebut untuk memberikan bantuan seperti halnya Drescher. Kedatangan dua orang asing tersebut memperkuat tekad anak empu Supowinangun itu melakukan revitalisasi untuk menghidupkan tradisi seperti halnya dulu ayahnya membuat keris, lahirlah keris baru dalam sistem yang utuh dengan tetap bersifat tradisional. 20 Peristiwa di atas oleh masyarakat perkerisan dianggap sebagai tonggak sejarah baru pertumbuhan keris di Indonesia. Oleh karena kebangkitan keris di Desa Ngentha-Entha itu mampu menginspirasi dan menjadi kiblat bagi kebangkitan pembuatan keris di daerah-daerah seluruh Indonesia. Drescher pun oleh masyarakat perkerisan diakui jasanya karena mampu menghidupkan kembali keris Indonesia yang telah lama mati. 21 Ironis, mengapa justru Drescher, orang asing yang peduli terhadap kebangkitan keris Jawa, khususnya keris khas Desa Ngentha- Entha. Sungguh suatu keberuntungan luar biasa karena Drescher hadir pada saat yang tepat di kala benih keempuan Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo belum sepenuhnya 20 Wawancara dengan Empu Sungkowo, tanggal Harsrinuksmo, 2008, 148.

15 15 hilang dari benaknya, sehingga revitalisasi tidak terlalu lama dapat dilakukan dan berhasil. Keberhasikan revitalisasi sekitar tahun tetapi tidak berarti tidak ada hambatan untuk menjadi tradisi yang terus dapat hidup pada masa selanjutnya. Hambatan di zaman semakin tidak ringan apalagi modernisasi desa baru gencar dilakukan oleh pemerintah Orde Baru awal. Program pembangunan di Indonesia dikenal tidak menyentuh arti pentingnya pelestarian budaya tradisi. Michael R. Dove menyatakan bahwa model pembangunan Indonesia mengarah pada apa saja yang berbau tradisional dalam hal ini termasuk pembuatan keris dianggap sebagai penghalang bagi pembangunan sosio-ekonomi, sehingga ada upaya untuk mengubah dan bahkan menyingkirkan budaya tradisional tersebut. 22 Dengan itu maka tradisi pembuatan keris yang baru saja bangkit terpaksa belum ada titik terang dukungan kelanjutan dari pemerintah Indonesia, sehingga keris tidak kunjung hidup. Koentjaraningrat menyatakan bahwa sudah kedahuluan barang dari negara-negara maju tidak terbendung masuk ke Indonesia. 23 Barang-barang asing tersebut telah memicu dan mengubah gaya hidup bangsa Indonesia, sehingga pemakaian keris yang dulu 22 Michael R. Dove, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), xv. 23 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1981), 33.

16 16 lekat dengan pakaian adat pun akhirnya nyaris hilang karena pengaruh pakaian yang dipakai oleh bangsa asing. Meskipun demikian pemerhati tradisi keris dari dalam negeri seperti Go Tik Swan dari Surakarta ikut ambil peran mendanai proyek keris Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo. Di samping itu juga Haryono Haryo Guritno, pemerhati keris dari Jakarta ikut mendukung pendanaan proyek tersebut. Oleh karena itu kedua empu tersebut dapat melewati masa-masa sulit memasuki pertumbuhannya. Upaya untuk menyuburkan tradisi yang sedang tumbuh itu, dunia perkerisan teruji dan dikejutkan kembali oleh meninggalnya Empu Yosopangarso tahun 1989, salah satu tokoh penting dalam revitalisasi. Duka semakin mendalam karena disusul Genyodiharjo dan Wignyosukoyo, kedua adiknya yang kurang dikenal. 24 Sepeninggal ketiga empu bersaudara tersebut maka estafet tradisi pembuatan keris berada di pundak Empu Jeno Harumbrojo seorang diri. Empu Jeno Harumbrojo kembali meneguhkan mimpi yang telah dialami dan menginspirasi niatnya dulu, mulai saat itu ia memacu talenta dan menggali potensi diri yang dulu belum sepenuhnya teraktualisasi bersama kakak-kakaknya. Di besalèn yang dibangun di dekat rumah tinggalnya di Desa Ngentha-Entha 24 Harsrinuksmo, 2008, 540.

17 17 barat yaitu Desa Gathak ia fokus membuat karya dengan pendekatan pribadi tanpa meninggalkan patokan tradisi yang ada. Dengan cara itu ia dapat sepenuh hati mematangkan keahlian dan mengabdi pada profesi empu secara utuh. Ia selanjutnya benarbenar menunjukkan keberhasilan menjadi seorang empu yang unggul di era modern di tengan zaman penuh tantangan ini. Empu Jeno Harumbrojo sosok tokoh yang tidak kenal lelah sebagai ahli keris memperjuangkan pelestarian tradisi dengan menghasilkan keris karya-karya istimewanya. Atas kerja kerasnya, maka pemerintah pusat pun menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Empu Jeno Harumbrojo. Ia dipandang telah berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional. 25 Ia sosok yang benar-benar dapat menjadi teladan bagi generasi muda karena ketekunan, ketokohan, dan yang terpenting dia tidak menyia-nyiakan nilai positif tradisi budaya milik Bangsa Indonesia sampai kapan pun. Pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha bangkit dan hidup, selain telah menjadikan generasi kini ora kepatèn obor (tidak sampai kehilangan alur silsilah) tradisinya, juga telah mengantar 25 Profil Penerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera, Bintang Jasa dan Bintang Budaya Parama Dharma, dalam Rangka Acara Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-58 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2003 (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Tanda- Tanda Kehormatan Republik Indonesia, 2003). 33.

18 18 keris Indonesia mampu berada di tengah budaya dunia. Buktinya tahun 2005, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melalui lembaga kebudayaan The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organitation (UNESCO), menetapkan keris Indonesia tercatat dalam daftar representatif benda budaya warisan manusia. 26 Penetapan itu artinya selain karena keris masih berperan sosial, reputasi keris Indonesia tidak tertandingi oleh keris di negara mana pun, juga karena keris masih ada pelestari pembuatannya. Tahun 2006, masyarakat perkerisan kembali berduka karena Empu Jeno Harumbrojo meninggal dunia. Sepeninggal empu tersebut penerusan tradisi ternyata dapat berjalan mulus. Hal itu karena ia telah mempersiapkan Empu Sungkowo (disebut juga Empu Sungkowo Harumbrojo), putra angkat sekaligus keponakan telah dijadikan calon penggantinya. Empu Sungkowo, telah lama dipersiapkan sebagai kader penerus Empu Jeno Harumbrojo jauh sebelum meninggal. Empu Sungkowo pun mengikuti jejak kepiawaian mendiang ayah angkatnya itu. Ia dikenal konsisten berkarya mengikuti sistem tradisi secara utuh K.R.T. Gaura, Mancacaritadipura. Tanggung Jawab Tindak Lanjut Inskripsi Keris Indonesia pada Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia Oleh UNESCO Paper Diskusi Ilmiah Keris dalam Perspektif Keilmuan (Surakarta: Pusat Penelitian & Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan & Pariwisata RI; ISI Surakarta, 2009), Krishna Hutama Soesmoro, Keris Jawa Tradisional di Daerah Yogyakarta dan Surakarta: Kontinuitas dan Perubahannya, Disertasi (Yogyakarta: UGM, 2010), 296.

19 19 Dengan kata lain, dia juga menjalani ritual laku batin, puasa, menyiapkan sesaji, dan memanjatkan doa sebelum dan selama pembuatan keris berlangsung. Tentu saja dia juga percaya bahwa kalau pembuatan keris dilakukan dengan tulus mengikuti tradisi, maka keris tersebut akan memiliki bentuk visual yang cocok dengan rasa batin siapa pun nanti pemiliknya. Pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo memberi bukti bahwa asumsi yang mengira pandangan dan tata kehidupan moral masyarakat Jawa sudah berubah total karena dinamika politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pengalaman buruk masa lalu, ternyata tidak sepenuhnya benar. Menurut Mulder, konsep Jawa tentang keharmonisan hidup, nilai, serta norma-norma masyarakat ternyata yang mengalami perubahan bukan pada esensinya. 28 Keris dalam konteks sebagai produk seni budaya masih memiliki hubungan dengan tata nilai dan pandangan hidup orang Jawa, sehingga keris masih diperlukan meskipun tidak sepenting dulu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap pesimistik yang muncul sesungguhnya adalah bersifat setengah hati, artinya masih ada secercah sikap optimistik tradisi pembuatan keris untuk diterima lagi oleh masyarakat. Tradisi pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo memiliki kekuatan daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas. 28 Mulder, 90.

20 20 Buktinya orang datang dari berbagai tempat, baik dari dalam maupun luar negeri, membawa berbagai kepentingan: ada yang melihat dan mengagumi teknis pembuatannya, memesan, membeli, melakukan studi, dan meliputnya sebagai dokumentasi. Hal itu merupakan sebuah realitas baru yang membuktikan bahwa tradisi tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, warga manca negara menghargai tradisi pembuatan keris, maka tanpa perlu ragu dan rasa rendah diri keris dapat dipertahankan dan menjadi salah satu identitas budaya bangsa. Pentingnya penelitian ini juga untuk mendalami secara ilmiah aspek teknis pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo. Hal itu mengingat kerumitan teknis sangat tinggi sejak awal dipersiapan sampai diakhir pembuatan, sehingga bagaimana ia sanggup dan mampu melakukannya. Cerminan kerumitan tampak ketika Empu Sungkowo mulai mempersiapkan mental, ide, bahan, alat, dan sesaji makanan dan bukan makanan sebagai satu sistem rangkaian pelaksanaan pembuatan sebuah keris nantinya. Persiapan mental menyangkut kegiatan mensucikan diri seperti harus melakukan mandi keramas dan menjernihkan isi pikiran serta hati sebelum empu mulai mengawali kerja. Seorang empu dalam hal ini Empu Sungkowo melakukan puasa selama sejumlah hitungan 40 hari sesuai patokan yang ditetapkan dalam tradisi. Empu Sungkowo juga mempersiapkan ide terkait dengan

21 21 pencarian bentuk atau dhapur dan pola pamor keris yang akan dibuat nantinya. Pencarian ide membutuhkan ketenangan batin untuk mempermudah mendapatkan ketetapan jenis dhapur lurus atau berkelok-kelok (luk) sebelum pelaksanaan teknis. Bahan keris, seperti besi, baja, nikel, atau bahan pamor meteorit mutlak dipersiapkan secara cermat, karena apabila salah pilih bahan dapat berakibat buruk dalam proses keris selanjutnya. Artinya di tengah proses penyepuhan bahan dapat retak, patah, atau meliuk sehingga sia-sia seluruh pekerjaannya. Oleh karena itu Empu Sungkowo sangat mempertimbangkan sifat bahan, baik dengan cara tradisi maupun melalui tes bakar dan tempa agar diketahui kualitasnya. Demikian pula alat-alat perlu tersedia lebih dulu secara lengkap, termasuk bagaimana tata letak yang mudah dijangkau oleh posisi masing-masing tim kerja di besalèn. Persiapan makanan meliputi penyediaan makanan di antaranya nasi tumpeng, ingkung, pisang raja, jajan pasar, dan seterusnya terasa sangat unik. Makanan tersebut nantinya dimakan bersama tim kerja dan sebagian dibagikan kepada tetangga dekat. Persiapan yang bukan makanan di antaranya menyediakan kemenyan dan bunga telon untuk digunakan mengiringi proses pembakaran bahan keris. Di samping itu, ada musyawarah penting dilakukan oleh seorang empu dengan para

22 22 panjak dan cantrik perihal dhapur, pamor, dan teknik keris yang dipilih dan dipakai penggarapan sebelum proses berjalan. Aspek teknis dalam rangkaian tradisi pembuatan keris merupakan kerja rumit, berat, dan kerja keras karena itu selain membutuhkan persiapan di atas, juga mememerlukan persiapan fisik tim kerja yang prima agar dapat menyelesaikan serangkaian pekerjaan tanpa hambatan. Di samping itu proses keris dibutuhkan kesabaran dan kecermatan tinggi dari seorang empu, sehingga keahlian itu tidak dapat disamakan dengan pandai besi biasa yang jauh lebih sederhana. Oleh karena itu pembuat keris mendapat sebutan empu, karena kualifikasi keahliannya di atas pandhé besi biasa. 29 Sebutan empu mengandung tanggung jawab profesi yang harus direpresentasikan melalui karya cipta mereka dengan landasan keahlian lahir mengelola proses teknis disertai laku batin dengan cara prihatin dengan penghayatan mendalam. Empu terkenal dapat membuat karya yang berkualitas dan dikagumi karena pengaruh landasan dan penghayatan kerja lahir batinnya, sebagaimana dalam hal itu dilakukan oleh Empu Sungkowo. Dengan itu penelitian ini penting untuk membongkar bagaimana pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo dilakukan. Mengapa 29 Sri Sultan Hamengku Buwana X, Keraton Yogya: Sejarah dan Warisan Budaya (Jakarta: PT Indonesia Kebanggaanku, 2008), 228.

23 23 teknologi pembuatan keris di besalèn tersebut dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam dengan metode ilmiah. Saat ini, masyarakat sudah waktunya mendapatkan pengetahuan dan teknologi pembuatan keris yang memadai dari sumber langsung yang diperoleh dari fakta yang ada, bukan fiksi yang dibutuhkan. Pembuatan bentuk visual keris sesungguhnya melekat konsep keselarasan produk dengan tingkat kenyamanan penggunaan. Di samping itu bentuk bangun keris yang rumit dan terdiri atas kesatuan elemen dengan pola dan ukuran tertentu memiliki pedoman asal-usul dari mana keris dibuat. Pengguna keris biasanya tidak menyadari bahwa benda tersebut sesungguhnya mengandung konsep ergonomis karena sebagai benda pakai keris secara fisik harus kuat. Atinya tidak mudah meliuk, tidak mudah patah, tajam, dan dijamin indah. Di samping itu mudah digunakan, aman, dan nyaman dikenakan karena memiliki ukuran sesuai dengan rata-rata anatomi tangan orang Jawa. Keutuhan dasar konsep itu maka dapat dikatakan bahwa empu telah melampaui pengetahuan pembuat karya seni biasa. Masyarakat mengetahui bahwa tenaga penggerak keris sejak dulu bersumber dari kekuatan tangan manusia secara manual, bukan mesin, sehingga daya jangkau dan efektivitas serangan keris sangat terbatas. Akan tetapi keris tanpa kehilangan bentuk

24 24 dasar sebagai senjata tikam tumbuh menjadi senjata dalam kesatuan sistem tradisi budaya Jawa. Keris oleh orang Jawa kemudian digunakan untuk memudahkan dalam memahami konsep hidup yang religius, etis, dan estetis. 30 Dengan itu maka predikat keris sebagai senjata tikam menjadi berkurang dan ada yang berakhir karena orang Jawa menggunakan untuk menyerang lawan hanya ketika dalam keadaan sudah sangat terpaksa keris untuk membunuh dalam peperangan. Masyarakat Jawa menyadari bahwa sehebat apa pun kesaktian keris realitasnya tidak mampu mengalahkan senjata meriam berdaya ledak lebih tinggi daripada keris yang dibawa oleh kaum penjajah, sehingga fungsi utama keris tidak lagi sepenuhnya untuk berperang melawan musuh tetapi juga sebagai senjata simbolik yang dengan itu keris justru untuk mencari kawan bukan lawan. Dengan itu pembuatan keris mengalami penyempurnaan terhadap bentuk visualnya sesuai dengan makna dan fungsi baru yang diperankan. Tulus Warsito dan Wahyu Kartikasari mengatakan bahwa capaian artistik seni tradisi tidak menjadi tujuan utama, tetapi sejauh mana hal itu memuat nilai transenden. 31 Dengan kata lain, 30 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Ombak, 2008), Tulus Warsito dan Wahyu Kartikasari, Deplomasi Kebudayaan: Konsep dan Relevansinya bagi Negara Berkembang Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), 149.

25 25 capaian keindahan bentuk keris tidak lebih hanya semacam wadah yang esensinya memuat tuntunan, keinginan, harapan, dan termasuk memuat pandangan spiritual masyarakat Jawa. Variasi artistik sekecil apapun capaian bentuk dari masingmasing elemen keris kemudian ditampilkan tidak bersifat profan tetapi variasi bentuk sebagai objek hidup yang dapat mengirim pesan nilai luhur, baik bagi yang tertarik pada benda tersebut maupun sebaliknya. Budihardjo Wirjodirdjo menyatakan bahwa kandungan makna keris mampu menjadi acuan perilaku hidup pemiliknya. 32 Meskipun demikian ada gejala apresiasi terhadap keris oleh sebagian kalangan sebatas pemahaman pada objek yang dipandang indah secara visual. Namun demikian hal itu sudah bagus menjadi jembatan mencapai pemahaman visi dan misi di balik bentuk keris yang indah dan diharapkan dapat untuk menjawab persoalan moral di tengah merosotnya sebagian dari anak bangsa. Denys Lombard menyatakan bahwa keris dahulu memiliki fleksibilitas tinggi di masyarakat, raja maupun rakyat biasa, orang kaya maupun orang miskin di Jawa memiliki keris. 33 Kepemilikan jumlah keris tidak ada batasnya sehingga orang dapat mengoleksi 32 Budihardjo Wirjodirdjo, Keris dalam Bingkai Pandang Semiotik, dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, VI/04-Mei 1999), Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia Bagian II, Terj. Winarsih Partaningrat Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 194.

26 26 keris lebih dari satu bilah, karena itu populasi keris tidak terhitung jumlahnya sehingga pembuatan keris tumbuh di seluruh kalangan, baik kerajaan maupun rakyat biasa. Claire Holt menyatakan bahwa unsur seni tradisi, dalam hal ini termasuk keris, berfungsi untuk meningkatkan kehidupan seremonial pada semua peristiwa penting, baik di istana raja-raja maupun di dalam komunitas desa. 34 Dengan demikian mendorong pembuatan keris tidak hanya terbatas di keraton, tetapi merambah sampai wilayah pelosok desa. Kelahiran pembuatan keris di beberapa wilayah memunculkan gaya-gaya yang dilatar belakangi oleh kondisi sosial budaya masyarakat daerah pembuatan ataupun empunya. Hamzuri menyatakan bahwa keris lahir dipengaruhi oleh faktor geografis dan lingkungan, sehingga masing-masing keris memiliki gaya sendiri-sendiri sesuai dengan lingkungan daerahnya. 35 Dengan kata lain bahwa tiap daerah yang geografisnya berbeda maka walaupun lahir bentuk (dhapur) yang sama tetapi dapat melahirkan gaya (tangguh)-nya berbeda sesuai pengaruh latar belakang asal daerah atau empu pembuatnya. Seberapa besar perbedaan itu tentu saja masing-masing walaupun kecil ada sebagai ciri khas sendiri. 34 Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terj. R.M. Soedarsono (Bandung: Arti Line, 2000), xxix. 35 Hamzuri, Keris (Jakarta: Jambatan, 1984), vi.

27 27 Masyarakat umumnya tidak banyak mengetahui perbedaan gaya bentuk keris berdasar asalnya keris. Perbedaan bentuk keris yang mudah ditangkap oleh masyarakat hanya pada aspek bentuk secara umum, ada yang lurus dan ada yang luk. Ada pula yang mendasarkan sederhana atau rumit. Keris dengan bentuk sederhana dianggap identik dengan pemiliknya orang biasa, sedangkan bentuk yang rumit penuh variasi pamor atau hiasan tinatah lung kamarogan (dihiasi dengan pahatan ukiran dan dilapis emas) dianggap identik dengan pemililiknya bangsawan atau orang kaya. Tentu saja hal itu tidak seutuhnya dapat benar atau salah karena itu tidak dapat digunakan untuk menganalisis asal-usul keris. Persoalan tangguh atau gaya keris biasanya menarik bagi para ahli untuk saling memperdebatkan karena pengetahuan menangguh sering ada unsur subjektivitas untuk menaikkan nilai keris. 36 Oleh karena itu kalau ada satu buah keris di-tangguh oleh 10 orang maka hasilnya dapat 10 macam karena mereka berbeda kehendak. Ciri khas yang ada pada bentuk keris secara visual maupun latar belakang proses merupakan bahan untuk digunakan seorang ahli memperkirakan asal keris atau jenis tangguh mana. Dalam me-nangguh keris dapat juga dilakukan 36 Suwarsono Lumintu, Ilmu Keris (Yogyakarta: untuk Kalangan Sendiri, 2004), 1.

28 28 melalui pendalaman karakter besi bahannya, sifat pembuatanya, serta pola-pola pamornya. Hal itu dapat untuk menguji dan menjadi sebagaian bukti nyata adanya tangguh sebagai identitas keris. Pentingnya penelitian ini selain untuk membongkar bagaimana proses pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo, juga untuk mengkaji dan membahas dengan metode ilmiah ciri khas keris asal Desa Ngentha-Entha yang menunjukkan gaya atau tangguh-nya sendiri. Mengapa keris keluaran desa tersebut perlu dikaji dari segi ciri khasnya karena identitas tangguh desa itu penting di ketahui masyarakat. Tradisi pembuatan keris di desa tersebut sudah cukup panjang dan bahkan mampu bertahan sampai sekarang, hal itu tentu memiliki identitas tersendiri yang menarik bagi penggemarnya sehingga tetap eksis. B. Rumusan Masalah 1. Mengapa tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta eksis. 2. Bagaimana pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo. 3. Bagaimana bentuk mengandung ciri khas tangguh.

29 29 C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk melacak dengan metode ilmiah jejak tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha- Entha Yogyakarta guna menemukan riwayat sejarahnya. 2. Guna memahami secara mendalam revitalisasi tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha yang dilakukan oleh anak-anak Empu Supowinangun saat itu dalam suasana zaman tidak lagi mendukung budaya tradisional, namun mereka berhasil. 3. Guna memahami proses tradisi pembuatan keris di besalèn Empu Sungkowo sebagai besalèn empu masa kini yang masih mempertahankan patokan tradisi sebagaimana nenek moyangnya membuat keris, sehingga menemukan patokannya seperti apa saja. 4. Guna memahami bentuk visual keris hasil karya para empu di Desa Ngentha-Entha dengan segala ciri khasnya untuk menemukan identitas keunggulan sebagai tangguh keris desa tersebut. 5. Guna memahami inti sari nilai sejarah, teknologi, seni, dan makna yang terkandung di balik tradisi pembuatan keris untuk pengembangan wawasan dan kreativitas dalam upaya menciptaan karya seni rupa baru yang bermutu dan berorientasi pada akar budaya bangsa.

30 30 D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini menghasilkan uraian seluk-beluk pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha yang dapat bermanfaat untuk pengembangan disiplin ilmu keris secara akademis. 2. Penelitian ini juga dapat menambah khasanah tulisan ilmiah yang dapat berguna untuk referensi maupun rujukan pada penelitian baru yang terkait dengan masalah seni dan khususnya tradisi pembuatan keris maupun tradisi lainnya yang relevan. 3. Tulisan ini dapat membantu siapa pun yang ingin memahami jejak sejarah tradisi perkerisan di Jawa yang sekarang pembuatannya sudah langka di Indonesia melalui rekam jejak sejarah tradisi pembuaan keris di Desa Ngentha-Entha ini. 4. Hasil penelitian ini, selain membantu khalayak untuk menyerap nilai-nilai positif dari tradisi pembuatan keris, juga bermanfaat untuk mengapresiasi keris berdasar temuan ilmiah, bukan cerita fiktif yang sering dapat menyesatkan pandangan atau kepercayaan seseorang. 5. Tulisan ini dapat berguna bagi penggemar keris atau para calon apresiator keris yang cenderung lebih memerlukan penjelasan dan pandangan objektif dan rasional daripada

31 31 memandang sebagai mitos dan mistik seperti yang selama ini masih menyelimuti bidang perkerisan Jawa. E. Tinjauan Pustaka Wardoyo Sugianto pernah melakukan penelitian terhadap keberadaan keris di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta yang titik perhatiannya lebih difokuskan kepada biografi Empu Jeno Harumbrojo. Judul penelitiannya adalah Ki Empu Jeno Arumbrojo [Harumbrojo] Ahli Pembuat Keris dari Desa Gatak Sleman Yogyakarta. Penelitian tersebut dibiayai oleh Balai Penelitian, ISI Yogyakarta pada tahun Penelitian yang dilakukan oleh Wardoyo Sugianto menghasilkan sebuah deskripsi singkat mengenai biografi Empu Jeno Harumbrojo. 37 Penelitian itu juga telah menghasilkan beberapa catatan singkat tentang proses pembuatan keris oleh Empu Jeno Harumbrojo. Sayangnya di beberapa penggal tulisan itu mengambil rujukan dari beberapa sumber, baik uraian maupun gambar karya orang lain, namun tidak dicantumkan sumbernya. Oleh karena itu, hasil penelitian Sugianto sangat memerlukan koreksi mendasar secara akademis. Haryono Haryo Guritno menulis buku berjudul Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar, yang merupakan edisi mewah berisi Wardoyo Sugianto, Ki Empu Jeno Harumbrojo Ahli Pembuat Keris dari Desa Gathak, Sleman Yogyakarta, Laporan Penelitian tidak diterbitkan (dipublikasikan) (Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 1986), 50.

32 32 halaman berbentuk uraian dan gambar-gambar. Buku setebal itu diterbitkan oleh PT Indonesia Kebanggaanku pada tahun 2005 di Jakarta. Buku tersebut secara garis besar berisi: bab I pendahuluan; bab II keris dari masa ke masa; bab III tentang pembuatan bilah keris; bab IV bilah keris; bab V tentang relief dan hiasan; bab VI pelengkap bilah keris; bab VII penilaian keris; bab VIII sebagai bab terakhir berisi tentang tradisi perlakuan keris. Pada bagian prakata halaman xxv, Guritno menyinggung tentang keris buatan empu Desa Ngentha-Entha Yogyakarta dan menulis nama serta peran Empu Jeno Harumbrojo dengan beberapa kalimat menarik. DaIam tulisan itu disebutkan bahwa Empu Jeno Harumbrojo termasuk salah seorang empu keris keturunan ke-15 Tumenggung Supodriyo, empu keris dari Kerajaan Majapahit. Buku itu juga memuat tentang keberadaan Empu Jeno Harumbrojo sebagai satu-satunya empu yang masih berkarya secara tradisional di era ini. Di samping itu juga memuat gambar Jeno Harumbrojo ketika melakukan proses penempaan bilah keris, bilah yang sedang membara ditempa sehingga memercikkan bunga api yang tampak indah sekali. 38 Buku tulisan Guritno juga memuat nama tokoh-tokoh empu keris, salah satu tokoh empu keris terkenal yang disebut saat ini 38 Guritno, 70.

33 33 adalah Empu Jeno Harumbrojo. Uraian tentang Empu Jeno Harumbrojo ditulis dalam dua halaman penuh yang berisi uraian dan gambar serta menyebutkan bahwa Desa Ngentha-Entha sejak dahulu telah menjadi desa tempat tinggal para empu keris Yogyakarta. R.S. Danumurti menulis artikel berjudul Membabar Keris Empu Jeno yang dimuat dalam majalah Pusaka Keris: Khasanah Budaya Nusantara, Vol. 17/2010 yang diterbitkan oleh PT Pustaka Keris Indonesia. Artikel ini sebanyak enam halaman memaparkan fenomena keris Empu Jeno Harumbrojo. Dalam tulisan Danumurti disebutkan bahwa meskipun situasi ekonomi sedang lesu, keris Empu Jeno Harumbrojo tetap kemedol, artinya keris karya Empu Jeno Harumbrojo mudah dijual. Hal ini didasarkan pada pengalaman empiris bahwa karya-karya Empu Jeno Harumbrojo banyak diminati pembeli, diburu orang, karena ciri khas dan mutunya mudah dikenali. Karya Empu Jeno Harumbrojo sangat khas mutu pembuatannya sehingga sulit ditiru atau dimanipulasi sekalipun oleh anak muridnya sendiri. 39 Hingga sekarang nama Empu Jeno Harumbrojo sangat menonjol karena terangkat oleh keris-keris yang dibuatnya memang berkualitas unggul. 39 R.S. Danu Murti, Membabar Keris Empu Jeno, dalam Pusaka Keris: Khasanah Budaya Nusantara, Vol.17 (Jakarta: PT Pustaka Keris Indonesia, 2010), 11.

34 34 Bambang Harsrinuksmo menulis buku yang diberi judul Ensiklopedia Keris yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008 di Jakarta. Buku tersebut berisi 629 halaman yang dicetak dalam edisi mewah dengan penuh gambargambar berwarna yang menarik untuk dilihat. Buku tersebut memuat berbagai informasi selain senjata tradisional Nusantara baik keris, mandau, rencong, dan lainnya. Buku tersebut juga memuat senjata-senjata tradisional dari negara-negara tetangga di antaranya Brunei Darusalam, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Buku tersebut isinya sangat informatif karena dilengkapi dengan gambar yang menarik dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Paparan awal pada buku tersebut membahas tentang keris yang terkait dengan budaya lain, seperti bagaimana hubungan keris dengan legitimasi politik dan kekuasaan. Keris merupakan akar budaya asli Indonesia, karena tidak ada bukti yang menunjukkan pengaruh asing terhadap keris. Buku tulisan Harsrinuksmo juga memuat penjelasan tentang perjodohan keris dan pedoman umum penilaian terhadap asal-usul keris melalui konsep tangguh, sepuh, dan wutuh. Keris diketahui asal-usulnya dengan cara menarik pandangan para ahli yang didukung oleh bukti arkeologis yang masih dapat ditelusuri rekam-jejaknya. Buku tersebut juga memaparkan peran keris milik tokoh-tokoh besar seperti keris milik Pangeran Diponegoro,

35 35 Alibasah Sentot Prawirodirjo, Jendral Sudirman, dan Bung Karno. 40 Peneliti keris Jawa, Garrett dan Bronwen Solyom, berhasil menerbitkan penelitian melalui East-West Center pada tahun 1978 di Honolulu Hawaii dengan judul The World of The Javanese Keris. Buku hasil penelitian itu setebal 63 halaman yang diawali dengan kajian tentang konsep hidup Jawa dan pandangan Jawa terhadap dunia keris. Budaya keris lekat dengan dunia laki-laki, disebutkan dalam bukunya bahwa tidak ada laki-laki Jawa tempo dulu tanpa keris di sabuknya. Solyom juga mengkaji dari sudut perubahan pandangan orang Jawa terhadap keris, terutama pandangan kaum urban terhadap keris setelah terjadinya perang dan revolusi. Buku tersebut selanjutnya mengulas keris terkait dengan bentuk formalistik seperti konsep estetik tiap-tiap bagian keris, baik menyangkut harmoni, proporsi, maupun keseimbangan. 41 Buku Solyom juga membahas warangka, hulu, pendhok keris terkait dengan penggunaan dalam tradisi busana Jawa. Meskipun buku hasil penelitian Solyom tentang keris Jawa itu lebih dominan pada tangguh (gaya) keris Surakarta, namun objek pembuatan yang diteliti adalah besalèn Empu Yosopangarso dan Empu Jeno Harumbrojo di Yogyakarta. Penelitian itu juga 40 Harsrinuksmo, 2008, Garrett dan Bronwen Solyom, The World of The Javanese Keris (Honolulu, Hawaii: East-West Center, 1978),15.

36 36 menghasilkan foto-foto film hitam putih yang dimuat dalam tulisannya dengan hasil pemotretan yang sangat detail dan tajam sehingga tidak kalah menarik daripada foto keris berwarna. Krishna Hutama Soesmoro membuat karya tulis dalam bentuk disertasi yang diberi judul Keris Jawa Tradisional di Daerah Yogyakarta dan Surakarta: Kontinuitas dan Perubahannya. Disertasi tersebut dipertahankan dalam sidang ujian terbuka S3 di Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun Tulisan disertasi tersebut sangat menarik, karena Soesmoro berhasil mengkaji jejak keris-keris pusaka milik keraton, baik keris pusaka Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta. Disertasi Soesmoro, selain mengkaji sejarah keberadaan keris Yogyakarta dan Surakarta, juga mengkaji keris dari sisi idiofak, sosiofak, dan teknofak. Soesmoro juga menyinggung sedikit tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha yang dimulai dari besalèn Empu Entha Wayang di Desa Ngentha-Entha tersebut. Penamaan Desa Ngentha-Entha yang dikenal sekarang sebagaimana dinyatakan bahwa nama tersebut mengambil inspirasi dari nama depan Empu Entha Wayang yaitu Entha. Bukti-bukti tentang hal itu didukung oleh adanya kompleks

37 37 makam empu di Desa Ngentha-Entha yang di antaranya tempat bersemayamnya Empu Supojoyo dan Empu Entha Wayang. 42 Seluruh paparan di atas menunjukkan bahwa sampai dengan penelitian ini dilakukan, ternyata seluk-beluk keberadaan tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha belum pernah ditulis secara mendalam dan menyeluruh oleh siapa pun. Apalagi yang menyangkut dinamika sejarah tradisi pembuatan keris sejak awal sampai dilakukannya revitalisasi. Teknis pembuatan keris dari awal sampai akhir dan ciri khas pembuatannya yang selalu diupayakan untuk dipertahankan oleh para empu hingga kini belum diungkap secara serius. F. Landasan Teori Pembahasan tentang keris dalam tulisan ini tidak dapat dilepaskan dari konsep penting yang menjadi bagian judul disertasi ini yaitu tentang tradisi dan pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta. Di dalam tulisan ini juga terdapat masalah penting tentang revitalisasi akibat dari dinamika sosial maka tidak ada salahnya konsep revitalisasi dan dinamika dipandang perlu dikemukakan dalam tulisan ini. Tradisi sering dianggap sebagai suatu pencapaian yang bersifat tetap. Hal ini berbeda dengan pendapat para pakar. Gerald 42 Soesmoro,

38 38 L. Bruns, misalnya mengatakan bahwa tidak ada satu hal yang disebut tradisi; tradisi itu berganda, berkonflik, terbuka, dapat direvisi, dan dapat produktif ke depannya. Tradisi eksis sebagai gerak maju-mundur antara klaim masa lampau dan upaya untuk memanfaatkan klaim tersebut untuk kepentingan masa kini. 43 Menurut Genevieve Later, tradisi memang sejenis kontinuitas, tetapi dapat saja menolak atau menerima unsur-unsur yang berasal dari tradisi aslinya. Jika banyak unsur-unsur yang ditolak dari tradisi aslinya, maka dapat saja terbentuk tradisi baru. 44 Kembali ke soal tradisi pembuatan keris di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta masih disebut seni tradisional karena tidak banyak unsur-unsur yang ditolak dari tradisi aslinya dan bahkan hampir tidak ada yang ditolak. Menurut Piotr Sztomka, tradisi lahir melalui dua cara. Pertama, tradisi muncul dari bawah melalui mekanisme spontan yang melibatkan rakyat banyak. Oleh karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Artinya, penemuan atau penemuan kembali sesuatu yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum 43 Gerald L. Bruns, Tradition and The Terror of History: Christianity, The Holocaust, and The Jewish Theological Dillema, in Donald G. Marshall (ed.). The Force of Tradition (Lanham,Maryland: Rowman and Littlefield Publishers, 2005), Genevieve Later The Role of The Kuhnian Paradigm in Tradition and Originality, in Donald G. Marshall (ed.). The Force of Tradition (Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield Publishers, 2005), 81.

BAB I PENDAHULUAN. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena terjadinya peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena terjadinya peristiwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena terjadinya peristiwa bersejarah 10 November 1945 yang dikenal dengan Hari Pahlawan. Pertempuran tiga pekan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal-usul (keturunan) silsilah, terutama bagi rajaraja yang memerintah.

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Akar tradisi melekat di kehidupan masyarakat sangat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Akar tradisi melekat di kehidupan masyarakat sangat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal dengan bangsa yang mempunyai kekayaan tradisi dan budaya. Kekhasan serta kekayaan bangsa dalam tradisi dan budaya yang dimiliki, bukti bahwa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kanayatn yaitu pada zaman Kayo (memotong kepala lawan) sekitar ratusan tahun yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kanayatn yaitu pada zaman Kayo (memotong kepala lawan) sekitar ratusan tahun yang 122 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Tangkitn merupakan senjata yang berkembang di dalam masyarakat Suku Dayak Kanayatn yaitu pada zaman Kayo (memotong kepala lawan) sekitar ratusan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah dikenal sebagai salah satu cabang ilmu yang mempelajari peristiwa pada masa lampau untuk kemudian diaplikasikan pada masa kini bahkan diproyeksikan untuk

Lebih terperinci

Ngadeni Empu Keris dari Gunung Kidul

Ngadeni Empu Keris dari Gunung Kidul Ngadeni Empu Keris dari Gunung Kidul Oleh: Unggul Sudrajat, SS Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif unggul_sudrajat@yahoo.com

Lebih terperinci

EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati

EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Pengaruh era globalisasi sangat terasa di berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia, tidak terkecuali di Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki warisan budaya yang beragam salah satunya keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Warisan budaya ini bukan sekedar peninggalan semata, dari bentangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah unsur kebudayaan yang bersumber pada aspek perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi daya manusia untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat Ciamis. Ronggeng gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni

Lebih terperinci

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO Oleh: Wahyu Duhito Sari program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa Wahyu_duhito@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi ketika seseorang pengunjung melakukan perjalanan. Pariwisata secara

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi ketika seseorang pengunjung melakukan perjalanan. Pariwisata secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata adalah istilah yang diberikan apabila seseorang wisatawan melakukan perjalanan itu sendiri, atau dengan kata lain aktivitas dan kejadian yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan salah satu seni budaya Indonesia yang sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia sejak beberapa abad lalu. Batik menjadi salah satu jenis seni kriya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan disimpulkan hasil penellitian yang telah dilakukan dalam penulisan skripsi yang berjudul Tenun Songket Palembang 1980-2000 (Kajian Sosial Budaya Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh Perjanjian Giyanti yang membagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri pada akhir dekade pertama abad ke-19, diresmikan tanggal 25 September 1810. Bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pelestarian budaya bukan hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya dihasilkan dari imajinasi dan temporer seniman. Batasan dari cetak tradisional,

BAB I PENDAHULUAN. karya dihasilkan dari imajinasi dan temporer seniman. Batasan dari cetak tradisional, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni grafis tradisional ditengah arus kemajuan dibidang percetakan. Cetak tradisional mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat, karena sebuah karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diupayakan langkah-langkah ke arah peningkatan kualitas pendidikan, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diupayakan langkah-langkah ke arah peningkatan kualitas pendidikan, dari mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam menunjang keberhasilan pembangunan Bangsa dan Negara. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah-langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggiana Puspa Dewi, 2014 Ayo, Menari Jaipong Dengan Nyi Iteung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggiana Puspa Dewi, 2014 Ayo, Menari Jaipong Dengan Nyi Iteung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki kebudayaan yang melimpah dari Sabang hingga Merauke. Keanekaragaman etnis di Indonesia menjadi sumber terbentuknya musik dan tari daerah;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau, disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan yang terdapat dimasa kini. Perspektif sejarah selalu menjelaskan ruang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu sejarah kebudayaan yang beragam. Keberagaman yang tercipta merupakan hasil dari adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun BAB V KESIMPULAN Sri Sultan Hamengkubuwono IX naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 18 Maret 1940. Sebelum diangkat menjadi penguasa di Kasultanan Yogyakarta, beliau bernama Gusti Raden Mas (GRM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB III STRATEGI KOMUNIKASI DAN KONSEP VISUAL

BAB III STRATEGI KOMUNIKASI DAN KONSEP VISUAL BAB III STRATEGI KOMUNIKASI DAN KONSEP VISUAL 3.1. Tujuan Komunikasi Dalam melakukan sebuah proses pembuatan / pengkaryaan sebuah karya akhir, agar karya tersebut ataupun informasi yang ingin disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai suku bangsa tentunya kaya akan budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Situasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

Oleh : Izza Akbarani*

Oleh : Izza Akbarani* Oleh : Izza Akbarani* Kita sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus dengan cepat sekali cepat check up mengejar keterbelakangan kita ini! Mengejar di segala lapangan. Lapangan politik kita kejar,

Lebih terperinci

Manfaat Mempelajari Sejarah

Manfaat Mempelajari Sejarah Manfaat Mempelajari Sejarah MODUL 2 MATA PELAJARAN SEJARAH KELAS X SEMESTER 1 Penyusun : Yayan Syalviana, S.Pd. Wiwi Wiarsih, SS. SMA Negeri 26 Bandung Jalan Sukaluyu No. 26 Cibiru Bandung 40614 SMAN 26

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang merupakan istana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Seperti halnya Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, kebudayaan ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat dipelajari dari buktibukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dan masyarakat Jepang merupakan hal yang cukup menarik

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dan masyarakat Jepang merupakan hal yang cukup menarik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah dan masyarakat Jepang merupakan hal yang cukup menarik perhatian umat manusia karena berbagai hal. Jepang mula-mula terkenal sebagai bangsa Asia pertama

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya. BAB 2 DATA DAN ANALISIS 2.1. Legenda Hanoman 2.1.1 Perang Wanara dan Raksasa Setelah lakon Hanoman Obong. Hanoman kembali bersama Sri Rama dan Laskmana beserta ribuan pasukan wanara untuk menyerang Alengka

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perubahan yang terjadi di Indonesia selama setengah abad ini sesungguhnya telah membawa masyarakat ke arah yang penuh dengan fragmentasi dan kohesi sekaligus (Abdullah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Budaya lahir dan dibentuk oleh lingkungannya yang akan melahirkan berbagai bentuk pola tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Berbicara tentang kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki keanekaragaman agama, adat, tradisi dan sejarah serta budaya berkesenian yang dalam kehidupan sehari-harinya

Lebih terperinci

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tabut di Bengkulu semula merupakan ritual yang sakral penuh dengan religius-magis yaitu merupakan suatu perayaan tradisional yang diperingati pada tanggal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara garis besar perkembangan seni pertunjukan Indonesia tradisional sangat dipengaruhi oleh adanya budaya yang datang dari luar. Hal itu menjadikan kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji ( ) dan. yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji.

BAB I PENDAHULUAN. surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji ( ) dan. yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sepanjang sejarah, kekaisaran Jepang beberapa kali mengalami masa pasang surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan Kaisar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. langsung, wawancara, studi pustaka dan pembahasan. Tentang Makna

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. langsung, wawancara, studi pustaka dan pembahasan. Tentang Makna BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dengan metode dokumentasi, observasi langsung, wawancara, studi pustaka dan pembahasan. Tentang Makna Simbolis Ukiran Pada Mandau (Senjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa jasa para pahlawannya. Itulah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa jasa para pahlawannya. Itulah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa jasa para pahlawannya. Itulah yang diungkapkan oleh Ir. Soekarno untuk mengenang dan menghargai jasa jasa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sajian pemberitaan media oleh para wartawan narasumber penelitian ini merepresentasikan pemahaman mereka terhadap reputasi lingkungan sosial dan budaya Kota Yogyakarta.

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dalam penelitian yang menggunakan metode deskriptif maka data yang dipoeroleh dianalisis dan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian atau peristiwa di masa lalu yang sungguh-sungguh terjadi. Dalam sejarah, terkandung nilai-nilai yang dijadikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dan pada dasarnya upacara tradisional disebarkan secara lisan. Upacara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Fendra Pratama, 2014 Perkembangan Musik Campak Darat Dari Masa Ke Masa Di Kota Tanjung Pandan Belitung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Fendra Pratama, 2014 Perkembangan Musik Campak Darat Dari Masa Ke Masa Di Kota Tanjung Pandan Belitung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik Melayu Indonesia lahir pada tahun 50an. Musik Melayu Indonesia sendiri adalah musik tradisional yang khas di daerah Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih jauh dari harapan nilai keadilan. Ditambah pula

BAB I PENDAHULUAN. masih jauh dari harapan nilai keadilan. Ditambah pula 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berangkat dari rasa keprihatinan atas kondisi bangsa kita dengan maraknya peristiwa-peristiwa yang mendera saat ini, antara lain tingginya tingkat kriminalitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad ini gerak perubahan zaman terasa semakin cepat sekaligus semakin padat. Perubahan demi perubahan terus-menerus terjadi seiring gejolak globalisasi yang kian

Lebih terperinci

PELESTARIAN KERIS SEBAGAI SALAH SATU WARISAN BUDAYA JAWA DI KOTA KEDIRI TAHUN 2015 ARTIKEL SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna

PELESTARIAN KERIS SEBAGAI SALAH SATU WARISAN BUDAYA JAWA DI KOTA KEDIRI TAHUN 2015 ARTIKEL SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna PELESTARIAN KERIS SEBAGAI SALAH SATU WARISAN BUDAYA JAWA DI KOTA KEDIRI TAHUN 2015 ARTIKEL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal

BAB I PENDAHULUAN. didapat dalam semua kebudayaan dimanapun di dunia. Unsur kebudayaan universal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu hal yang begitu lekat dengan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya kebudayaan di Indonesia merupakan hasil dari kelakuan masyarakat yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Jakarta, 7 November 2012 Rabu, 07 November 2012

Sambutan Presiden RI pada Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Jakarta, 7 November 2012 Rabu, 07 November 2012 Sambutan Presiden RI pada Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Jakarta, 7 November 2012 Rabu, 07 November 2012 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA UPACARA PENGANUGERAHAN GELAR PAHLAWAN

Lebih terperinci

FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN SENI RUPA

FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN SENI RUPA Kegiatan Belajar 2 FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN SENI RUPA A. Pendidikan Seni Rupa Sebagai Penunjang Kebudayaan Pendidikan Seni Rupa di negara kita harus berakar pada budaya Indonesia. Dalam konteks pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting

Lebih terperinci

2016 KAJIAN BENTUK D AN MAKNA KERIS ARTEFAK PUSAKA SITUS MAKAM PANJANG KARAWANG

2016 KAJIAN BENTUK D AN MAKNA KERIS ARTEFAK PUSAKA SITUS MAKAM PANJANG KARAWANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pantai utara atau dikenal dengan akronim Pantura Jawa Barat merupakan bentangan wilayah yang memiliki banyak keunikan, baik dari segi geografis, kesenian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Setiap daerah mempunyai kesenian yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat. Jawa Barat terdiri

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan lagi, dimana arus modernisasi tidak mengenal batasan antar kebudayaan baik regional, nasional

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan 305 BAB V KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Penjelasan yang terkait dengan keberadaan seni lukis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap daerah yang terbentang dari setiap pulau memiliki keunikan tersendiri, terutama pada seni tradisional

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton 387 BAB V KESIMPULAN 1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lembaga formal, dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam buku

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam buku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, karena segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat itu ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama. terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan jangka panjang Indonesia mempunyai sasaran utama terciptanya landasan yang kuat dari bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 35 BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji skripsi yang berjudul Peranan Oda Nobunaga dalam proses Unifikasi Jepang ini, yaitu metode historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perhiasan adalah salah satu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam ritual masyarakat pramoderen Indonesia, sehingga meskipun hingga kini lembaga pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVlNSl KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVlNSl KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVlNSl KALIMANTAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERISTIWA MANDOR SEBAGAI HARI BERKABUNG DAERAH DAN MAKAM JUANG MANDOR SEBAGAI MONUMEN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang kaya akan kebudayaan yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Berbagai macam suku, ras adat istiadat mengenai ragam budaya Indonesia

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA 4 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Produk 2.1.1 Buku Dongeng / Cerita Rakyat Indonesia Berdasarkan pada kajian dari wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Definisi Dongeng adalah suatu kisah yang diangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu dimungkinkan oleh adanya kebudayaan. Kebudayaan tidaklah dihasilkan oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hubungan kekerabatan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1. Batasan Masalah Karya seni mempunyai pengertian sangat luas sehingga setiap individu dapat mengartikannya secara berbeda. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, karya

Lebih terperinci