BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK. A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK. A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Perumusan hak dan kedudukan warga negara dihadapan hukum merupakan penjelmaan dari salah satu Sila Pancasila yaitu sila keadilan sosial. Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang ada di luar pribadinya. Hukum mempunyai komponen-komponen, yaitu: (a) Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif konstan; (b) Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi dinamis; (c) Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan hukum dan undang-undang; (d) Komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Dalam kaitan, ini Hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni disatu sisi berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya, di sisi lain untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah agar jangan sampai dijatuhi pidana. 40 Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas- 2008), hlm Maidin gultom, Perlindungan Hukum Terhadap anak, (Bandung: Repika Aditama, 29

2 30 luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani,dan sosial. Pemerkosaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur dalam peraturan tertulis yaitu sebagai berikut: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana pemerkosaan di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke- II yakni dimulai dengan pasal 285 sampai dengan pasal 288 KUHP. Pasal 285 KUHP 41 Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 285 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut: 42 a. Perbuatannya : memaksa; b. Caranya : 1) dengan kekerasan; 2) ancaman kekerasan; c. Objek : seseorang perempuan bukan istrinya; d. Bersetubuh dengan dia; Pengertian perbuatan memaksa adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendak sendiri. Menerima kehendak ini setidaknya ada dua macam, yaitu: a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirrinya; atau 41 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm.62

3 31 b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang memaksa. Cara-cara memaksa disini terbatas dengan ada dua cara, yaitu kekerasan dan ancaman kekerasan. Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan, ada Pasal 89 yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R. Soesilo member arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satochid kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat. Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut: a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian diatas, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 dapatlah didefenisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkan diisyarakatkan dengan menggunakan kekuatan badan besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya wujud konkretnya cara kekerasan itu ada bermacam-macam

4 32 yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan sebagainya. Ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditunjukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukkan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan ada mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak mmbuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku. Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1. Aspek objektif ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan). 2. Aspek subjektif ialah timbulnya suatu percayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benarbenar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangan penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kekerasan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya.

5 33 Kekerasan dan ancaman kekerasan ditujukan pada seseorang perempuan yang bukan istrinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadi persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu. Perkosaan ini adalah tindak pidana materil, dan bukan tindak pidana formal walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam Pasal 285 yakni memaksa. Kekerasan yang bersifat fisik dengan kekuatan besar dan ditujukan pada orang lain yang in casu seorang perempuan, dapat menimbulkan akibat luka berat atau kematian. Dalam kejahatan perkosaan bersetubuh, akibat luka berat tidak merupakan alasan pemberatan. Akan tetapi, akibat kematian adalah merupakan dasar pemberatan pidana. Pasal 286 KUHP: 43 Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Pasal 286 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut: 44 Unsur-unsur objektif: a. Perbuatannya : bersetubuh; b. Objeknya : seorang perempuan bukan istrinya: c. Dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; Unsur-unsur subjektif: d. Diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Persamaan antara kejahatan Pasal 286 dan Pasal 285, ialah sebagai berikut: 43 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 67

6 34 1. Persetubuhan itu telah terwujud pada atau dengan perempuan korban, pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya. 2. Perempuan korban bukan istri si pembuat. Sementara itu perbedaan, ialah sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaaan atau pingsan perempuan (korban) pada Pasal 286 ini tidak disebutkan sebab-sebabnya, yang jelas bukan sebab dari perbuatan si pembuat sebab jika disebabkan oleh si pembuat maka masuk dalam Pasal 285. Akan tetapi, pada Pasal 285 ketidakberdayaan disebabkan oleh kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan oleh si pembuat. Misalnya seorang dokter menyuntikan obat tidur pada seorang pasien perempuan, dalam keadaan tertidur kemudian perempuan itu disetubuhinya. 2. Persetubuhan menurut Pasal 286 ini merupakan unsur perbuatan, sedangkan menurut Pasal 285 adalah yang dituju oleh perbuatan memaksa atau apa yang dikehendaki si pembuat, yang sekaligus adalah unsur akibat konstitutif dalam perkosaan. 3. Pada Pasal 286 terdapat unsur diketahui bahwa perempuan itu dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan, yang dalam Pasal 285 tidak ada unsur demikian. Keadaan pingsan dan keadaan tidak berdaya memiliki perbedaan maka walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan itu ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, yang dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat oleh orang

7 35 lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Orang dalam keadaan tidur biasa, tidaklah disebut dalam keadaan pingsan. Akan tetapi dalam keadaan tidur karena menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, keadaan tidur itu dapat disebut dengan keeadaan pingsan. Misalnya orang dalam keadaan tidak sadar karena minum obat penenang yang melebihi dosis atau obat tidur. Akan tetapi, dalam keadaan tidak berdaya orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawaan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dalam keadaan sakit. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah merupakan unsur objektif, yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Untuk yang disebutkan terakhir, yaitu disadari atau diketahuinya bahwa perempuan iu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah berupa unsur subjektif, yakni unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan si pembuat. Pasal 287 KUHP: 45 (1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun atau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 45 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.211

8 36 (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampe 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294. Pasal 287 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut: 46 Unsur- unsur objektif: a. Perbuatannya : bersetubuh b. Objek : dengan perempuan di luar nikah c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya untuk kawin; Unsur-unsur subjektif: d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun. Berbeda dengan Pasal 285 dan Pasal 286 dimana persetubuhan itu terjadi di luar kehendak korban perempuan, pada Pasal 287 ini persetubuhan itu terjadi atas persetujuan atau kehendak perempuan itu sendiri, artinya suka sama senang. Letak patut dipidana pada Pasal 287 ini adalah pada umurnya yang belum lima belas tahun atau belum waktu untuk dikawin. Persetubuhan menurut Pasal 287 ini sama dengan persetubuhan menurut Pasal 284 tentang turut serta berzina. Apabila didasarkan pada bentuknya kejahatan Pasal 287, yang maksudnya memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan- perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional dan tidak adil jika dia dipidana. Akan tetapi apabila didasarkan pada perbuatan persetubuhan itu dilakukan suka sama senang padahal laki-laki itu telah beristri, dan Pasal 287 BW berlaku bagi laki-laki 46 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 70

9 37 tersebut, dan tentang keadaan ini telah diketahui oleh perempuan pasangannya bersetubuh itu, dia dapat pula dijatuhi pidana. Perbuatan perempuan yang belum berumur lima belas tahun itu sesuai Pasal 284, tetap merupakan perbuatan turut berzina. Tidak boleh dipidana karena deengan berdasarkan pada Pasal 287 ini perbuatannya itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di luar undang-undang. Sementara itu terhadap si laki-laki yang telah beristri ini, dia telah melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284 sebagai pleger (pembuat pelaksana) dan Pasal 287 sebagai dader (pembuat tunggal). Perempuan diluar kawin, artinya bukan istrinya. Pada dasarnya hukum pidana tidak mengancam pidana pada pembuat yang menyetubuhi perempuan belum berumur lima belas tahun. Jika perempuan itu adalah istrinya sendiri, kecuali apabila dari persetubuhan itu menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. Pengertian belum waktunya untuk dikawin, adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya masih wajah anak-anak atau tubuh anak kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahan, yang berupa : (1)

10 38 kesengajaan, yaitu diketahuinya umurnya belum lima belas tahun; dan (2) kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin. Kejahatan Pasal 287 merupakan tindak pidana aduan relatif karena pengaduan itu belaku atau diperlukan hanya dalam hal persetubuhan yang dilakukan pada anak perempuan yang umurnya dua belas sampai lima belas tahun atau jika dalam melakukan persetubuhan itu tidak ada unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 291 dan 294. Akan tetapi, apabila persetubuhan itu dilakukaan pada anak perempuan belum berumur dua belas tahun, dan terdapat unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 291 dan 294, kejahatan itu bukan merupakan tindak pidana aduan. Unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 291, merupakan unsur akibat perbuatan menyetubuhi, yakni luka-luka, luka berat dan kematian. Unsur ini disebut dengan unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan. Antara perbuatan dan akibat terdapat causal verband, artinya akibatakibat itu benar-benar langsung diakibatkan oleh sebab persetubuhan. Sementara itu, yang dimaksud dngan salah satu dari hal berdasarkan Pasal 294, ialah bila persetubuhan itu dilakukan pada anak kandungnya, anak tiri, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, pembantu atau bawahannya. Pasal 288 KUHP: 47 (1) Barangsiapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus dipatut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat 47 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.213

11 39 dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu erakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, diajatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 288 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut: 48 Unsur-unsur objektif: a. Perbuatannya : bersetubuh; b. Objek : dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin c. Menimbulkan akibat luka-luka; Unsur-unsur subjektif: d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan itu belum waktunya untuk kawin. Perempuan yang disetubuhi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk disetubuhi karena masih anak-anak. Pada pasal 288 ini tidak dimasukkan unsur belum berumur lima belas tahun seperti pada Pasal 287. Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal ini tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk kawin, maka dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan bahwa perempuan (istrinya) yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas tahun. Kejahatan pasal ini tidak dioper dari WvS Belanda, melainkan khusus ada dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), berdasarkan pertimbangan bahwa pada penduduk asli Indonesia dahulu serinng kali adanya pernikahan anak. Akan tetapi, 48 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RG Persada, 2005, hlm. 73

12 40 kini tidak mungkin terjadi pernikahan anak yang umurnya belum lima belas tahun, karena menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seorang perempuan untuk izin menikah umurnya sekurang-kurangnya yang telah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat 1). Perempuan (istrinya) belum waktunya untuk dikawin adalah unsur objektif. Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu. Apabila dia tidak tahu secara pasti tentang keadaan itu, dia sepatutnya harus menduga bahwa perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Ini merupakan unsur kesalahan si pembuat. Menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk kawin ini tidaklah dilarang atau tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka. Akibat luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istrinya) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas disetubuhi, tidaklah meenimbulkan luka-luka sebagaimana yang dimaksud disini, apabila luka berat. Robeknya selaput darah (keperawanan) semata-mata karena persetubuhan tidaklah masuk dalam pengertian luka-luka disini. Karena robeknya keperawanan itu adalah suatu keharusan dari persetubuhan pertama. Jadi yang dimaksud dengan luka-luka adalah luka-luka lain diluar robeknya selaput dara. Misalnya luka-luka di dalam liang vagina. Jadi unsur akibat ini adalah berupa unsur syarat untuk dapat dipidana, yang timbul setelah perbuatan menyetubuhi dilakukan. Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekadar luka-luka tetapi luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. Bahkan apabila berakibatkan kematian istrinya itu, maka dapat dijatuhkan pidana paling lama dua

13 41 belas tahun. Akibat luka berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini. Mengenai luka berat oleh undang-undang telah diberikan pengertian khusus secara limitatif oleh pasal 90, yang menyatakan, bahwa lua berat berarti : a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;. b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; c. Kehilangan salah satu pancaindra; d. Mendapat cacat berat; e. Menderita sakit lumpuh; f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; Itulah pengertian luka berat. Karena telah dirinci secara limitatif, maka tidak ada luka berat lain di luar dari yang disebutkan secara limitatif menurut Pasal 90 tersebut. b. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-Undang No 23 Tahun Pembentukan Undang- Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspek merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam

14 42 mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang- Undang Perlindungan Anak ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaran Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran Perlindungan Anak. Kewajiban dan tanggungjawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu: 49 a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (pasal 21). b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggarakan perlindungan anak (pasal 22). c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 23). d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal24) Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberantasan sanksi pidana dan denda Aditama, 2008), hlm Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika

15 43 bagi pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: a. Non diskriminasi b. Kepentingan yang terbaik bagi anak c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. 50 Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 51 Pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu: 52 Pasal 81 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun 50 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm Ibid 52 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

16 44 dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 76D berbunyi: Setiap orang yang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 1. Unsur Pasal 76D sebagai berikut: a. Setiap orang Yang dimaksud adalah subjek hukum atau orang pendukung hak dan kewajiban yang padanya dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. b. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan Dalam unsur ini kekerasan atau ancaman kekerasan fisik atau kekerasan lain yang bersifat psikis atau kejiwaan yang termasuk didalamnya. c. Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan dan persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan yang bisa dijalankan unuk menjalankan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.

17 45 2. Unsur-unsurnya: a. Dengan sengaja Berarti si pelaku dalam hal ini menghendaki perbuatannya tersebut dan menginsafi akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut. Kata sengaja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia departemen pendidikan dan kebudayaan pustaka member pengertian sengaja adalah dimaksud (direncanakan) memang diniatkan begitu, tidak secara kebetulan. Teori pidana tentang sengaja tidak lagi memberikan defenisi secara gramatical tetapi telah berkembang sehingga dapat berupa: 1. Sengaja sebagai niat 2. Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan dan; 3. Sengaja sadar akan kemungkinan b. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Yang dimaksud tipu muslihat adalah siasat dengan maksud mengakali agar dapat memperdaya korban (anak) untuk mencapai kehendaknya dalam hal melakukan persetubuhan dengannya (pelaku) atau dengan orang lain serangkain kebohongan adalah rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan dengan kebenaran sedangkan membujuk berarti berusaha mempengaruhi supaya orang yang menuruti kehendak yang membujuk dalam hal ini melakukan persetubuhan dengannya atau dengaan orang lain.

18 46 3. Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang dilakukan oleh: a. Orang tua adalah ayah dan ibu kandung atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan/ atau ibu angkat. b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. c. Pengasuh anak adalah orang tua, wali atau badan yang merawat anak. d. Pendidik adalah tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pengabdian. e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Pasal 82 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

19 47 Pasal 76E berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Penjelasan untuk setiap unsur (setiap orang, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk) sama dengan pengertian yang telah dijelaskan di atas. Bentuk tindak pidana yang ditekankan disini adalah salah satu unsur yang terbukti (unsurnya bersifat alternatif) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dalam arti apabila seorang anak (perempuan) dengan tindakan (unsur) yang sedemikian rupa di atas, sehingga mengikuti kehendak pelaku untuk dilakukan pencabulan terhadap dirinya. Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh : a. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat; b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak; c. Pengasuh anak adalah orang tua, wali atau badan yang merawat anak.

20 48 d. Pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pengabdian. e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). c. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016 Pemerintah menerapkan keadaan darurat dan memaksa, atas kejahatan seksual yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah menganggap bahwa kejahatan seksual sudah merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditangani dan dihukum dengan cara luar biasa juga. Penerapan hukuman tambahan pada Perppu sebagai parameter dan keluasan hakim dalam mengambil putusan. Perppu ini hanya berlaku untuk pelaku yang sudah dewasa, sedangkan terhadap pelaku anak-anak tetap diberlakukan Undang-Undang Peradilan Anak (lex spesialis). Pasal 81 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

21 49 tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D. (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), pelaku dapat dikenal pidana tambahan berupa pengumunan identitas pelaku. (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenal tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak. 53 Tambahan pasal 81 yakni pasal 81A yang berbunyi sebagai berkut: (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (7) dikarenakan untuk jangka waktu paling lama (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidananya menjalani pidana pokok. (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan scara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintaan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. (3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitas diatur dengan Peraturan Pemerintah. 53 PERPPU No.1 Tahun 2016

22 50 Pasal 76D Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu: a. Setiap orang Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi. b. Melakukan kekerasan Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. c. Ancaman kekerasan Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990), hlm.113

23 51 d. Memaksa Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan tidak boleh atau harus). 55 e. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Yakni bertemunya dua alat kelamin, baik lewat jalan depan maupun belakang dengannya atau dengan orang lain. f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh. 56 g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga kependidikan. Pasal 82 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal ini tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana di maksud pada ayat (1). 55 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm Ibid, hlm.1079

24 52 (3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehablitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. (7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak. Tambahan pasal 82 yakni pasal 82A yang berbunyi: (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2) Pelaksanaan tindakan sbagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76E Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu:

25 53 a. Setiap orang Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi. b. Melakukan kekerasan Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. c. Ancaman kekerasan Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya. 57 d. Memaksa Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan tidak boleh atau harus) P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990), hlm W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm.697

26 54 e. Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Yakni yang melakukan perbuatan cabul adalah si pembuat yang memaksa dan yang membiarkan dilakukan perbuatan cabul adalah korban yang dipaksa disebut pasif. f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh. g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga kependidikan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.99, 2016 SOSIAL. Perlindungan Anak. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882). PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

[

[ PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang No.237, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Perlindungan Anak. Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang No.237, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Perlindungan Anak. Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban diperlakukan seolah. barang dagangan yang dapat dibeli dan dijual kembali.

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban diperlakukan seolah. barang dagangan yang dapat dibeli dan dijual kembali. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang Maha Kuasa karena itu anak harus mendapatkan apa yang menjadi hak- hak mereka terutama yang namanya perlindungan baik orang tua

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Hubungan antara Undang-Undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. IPDA Yospin Ngii 2. AIPDA Yan Aswati 3. BRIPTU Eva Ratna Sari 4. BRIPDA Luci Armala Wardani 5. BRIPDA Ida Ayu Sri Dian Lestari 6. BRIPDA Widya Windiarti 7. BRIPDA Oktaviana Siburian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3) Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari penelantaran, diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi dan/atau seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, perlakuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM. A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP)

BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM. A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP) BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP) Anak mempunyai kedudukan strategis dalam bangsa, negara,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak

Lebih terperinci

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) A. Landasan Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang R.I.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING) BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING) A. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) 38 1. Pasal 285 KUHP Pasal ini berbunyi:

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Terdapat beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN A. Tindak Pidana Penganiayaan Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 294 Dan Pasal 13 UU No.23 Tahun 2002 Untuk melindungi

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H Tim Abdimas Pusat Studi Gender UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG Abstrak Anak adalah generasi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.297, 2014 SOSIAL. Perlindungan Anak. Kewajiban. Tanggung Jawab. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan BAB IV ANALISIS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURABAYA DALAM PERKARA PENCABULAN YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis

Lebih terperinci

TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 1. Pertanyaan : Negara Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan kepada anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL INDONESIA

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL INDONESIA BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL INDONESIA A. Penelantaran Anak Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bila dikaitkan dengan hukum nasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG TERHADAP ANAKNYA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Memperoleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Gambaran Umum Undang-undang perlindungan anak dibentuk dalam rangka melindungi hakhak dan kewajiban anak,

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF 40 BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF A. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Orang Tuanya Menurut Hukum Pidana Positif

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang berbentuk republik dengan keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, kepercayaan serta

Lebih terperinci

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA PEDOPHILIA DALAM PASAL 82 UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF MAQA>S}ID AL- SYARI>`AH A. Analisis Pasal 82 Undang-Undang no. 23

Lebih terperinci