BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS
|
|
- Ida Pranoto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 85 BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh periode temporal (waktu menggunakan kondom) terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden sebagian besar sudah menggunakan kondom dengan waktu > 3 bulan dengan hasil tes IMS 1 negatif yaitu 69 (82.1%) dengan nilai OR 0.11 dan nilai p 0.005, hasil tes IMS 2 negatif yaitu 68 (81%) dengan nilai OR 8.5 dan p 0.007, sedangkan sebagian besar yang menggunakan kondom > 3 bulan memiliki IMS yang tidak berulang yaitu 73 (86.9%) dengan OR dan nilai p sehingga H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti ada pengaruh waktu penggunaan kondom dengan kejadian IMS baik IMS 1,2 dan berulang dimana semakin lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS. IMS meningkat pesat karena terbukanya perilaku seks secara komersil yang didukung dengan pendapatan setiap melayani klien yang tinggi sehingga banyak wanita yang menjadi Wanita Pekerja Seksual (WPS). WPS 12 kali lebih beresiko dibandingkan populasi umum untuk terkena IMS. Salah satu faktor yanag sangat mempengaruhi kejadian IMS adalah perilaku penggunaan kondom dimana hal tersebut juga menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mencegah peularan dan memberikan perlindungan terhadap kejadian IMS pada kelompok beresiko termasuk didalamnya adalah WPS kepada mitra seksualnya. Waktu penggunaan kondom bisa ditanyakan dengan menggunakan periode recall (penggunaan kondom pada seks terakhir). Tetapi studi yang melibatkan pekerja seks cenderung mengukur penggunaan kondom dalam periode waktu yang singkat seperti pada minggu atau bulan (Bankole et al., 2007; Graham et al., 2014; Fonner et al., 2014). Hasil penelitian didapatkan bahwa semakin lama menggunakan kondom akan menurunkan kejadian IMS. Penggunaan kondom merupakan langkah awal untuk mencegah terjadinya IMS. Banyak WPS yang mengaku sudah lama menggunakan kondom sehingga banyak dari mereka yang mempunyai hasil IMS negatif dan tidak berulang. Hal tersebut didukung oleh
2 86 penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) bahwa prevalensi WPS yang melaporkan penggunaan kondom dengan mitra terakhir meningkat 50% menjadi 75% pada survey selanjutnya dimana hal tersebut membuat prevalensi HIV/ IMS menurun. Masih adanya WPS yang memiliki hasil IMS yang masih positif kemungkinan disebabkan karena mereka mengatakan sudah lama menggunakan kondom, tetapi kenyataannya mereka tidak selalu menggunakan kondom. Hal tersebut didukung dengan penelitian oleh Fonner et al (2014) yang melibatkan pekerja seks dalam mengukur periode penggunaan kondom yang singkat seperti minggu atau bulan dimana hanya 4% responden yang selalu menggunakan kondom dalam transaksi seksual sesuai dengan lama penggunaan kondom selama ini. Banyak responden sudah lama menggunakan kondom tetapi tidak semua transaksi seksual dilakukan dengan selalu menggunakan kondom. Sehingga banyak responden yang belum konsisten menggunakan kondom yang menyebabkan kejadian HIV dan IMS masih tinggi. Kondom merupakan alat kontrasepsi terbaik yang saat ini bisa digunakan sebagai langkah awal pencegahan IMS walaupun secara teori kondom tidak bisa 100% dalam memberikan perlindungan itu. Menggunakan kondom akan lebih memberikan keamanan bagi para WPS dalam melakukan transaksi seksual dari pada tidak menggunakan sama sekali. Apalagi para WPS yang sudah memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terjadi IMS seperti sudah lama bekerja, berumur lebih tua dan jumlah mitra seksual yang banyak. Selain itu WPS dianggap memiliki resiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom yang tidak konsisten. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang lebih tua, saat ini menikah, bekerja sebagai WPS dalam waktu lama dengan klien yang lebih banyak mungkin untuk terlibat dalam praktek seksual berisiko. WPS dianggap berisiko jika mereka melaporkan penggunaan kondom tidak konsisten dengan semua pasangan seks dan melaporkan pengalaman dari salah satu kerentanan berhubungan seperti seks anal, konsumsi alkohol sebelum seks dan hubungan seksual yang bersamaan.
3 87 Sebagian besar responden pada kedua tempat penelitian sudah menggunakan kondom yang lama tetapi sebagian besar dari mereka belum bisa menggunakan kondom secara rutin karena kendala dengan para pelanggan yang dilayani. Sehingga masih banyak yang hasil tes IMS nya positif. Ada beberapa WPS yang baru menggunakan kondom dalam waktu 3 bulan padahal mereka sudah bekerja sebagai WPS lebih dari satu tahun. Hal tersebut karena sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan kondom sama sekali padahal setiap mau melayani pelanggan para WPS sudah membawa beberapa kondom di tas mereka tetapi kadang kondom tersebut masih utuh dalam beberapa hari karena tidak digunakan sama sekali. Selain itu kebanyakan WPS mengatakan sudah lama menggunakan kondom tetapi kondom tersebut tidak selalu digunakan. WPS sebenarnya sudah tahu tentang bahaya jika tidak menggunakan kondom tetapi mereka tidak berdaya dengan para pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. WPS yang menggunkaan kondom dan hasil tes IMS negatif tidak berulang adalah mereka yang berada di eks Lokalisasi Ngujang. Para WPS tersebut sudah terjadwal dalam melakukan pengecekan untuk IMS setiap bulan, selain itu dalam satu hari mereka hanya melayani maksimal 4 orang. Ada WPS yang mengatakan bahwa dia tidak mau melayani pelanggan apabila mereka tidak menggunakan kondom sehingga hal tersebut meningkatkan perilaku penggunaan kondom yang konsisten. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo dimana banyak dari mereka yang jarang menggunakan kondom dan memiliki hasil tes IMS yang positif karena para WPS tidak pernah secara rutin melakukan pengecekan tes IMS, jumlah mitra yang dilayani juga sangat banyak bisa mencapai 10 mitra tiap hari dan didukung oleh para mitra seksual yang kebanyakan tidak mau menggunakan kondom sehingga lebih beresiko untuk terkena IMS. B. Pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks didapatkan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS 1 negatif dengan rata-
4 88 rata rasio penggunaan kondom tiap bulan adalah 74.83% dengan SD ±14 dan rata-rata tiap hari adalah 0.93 dengan SD ±0.3 dengan nilai P < 0.001, pada tes IMS 2 rata-rata rasio per bulan pada hasil yang negatif adalah 61.19% dengan SD ±11 dan rata-rata tiap hari adalah 2.20 ±0.5 dengan nilai P dan sebagian besar WPS memiliki hasil tes IMS tidak berulang dengan ratarata rasio per bulan 67.16% dengan SD ±11 dan rata-rata per harinya adalah 2.39 kondom dengan SD ±0.6 dengan nilai P < sehingga dapat disimpulkan bahwa HI diterima dan H0 ditolak sehingga ada pengaruh skala pengukuran (rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks) terhadap kejadian IMS 1, 2 dan IMS berulang. Semakin tinggi rasio penggunaan kondom akan menurunkan kejadian IMS. hal tersebut juga didukung dengan data dikotomi dari klien yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki rasio penggunaan kondom 50% dengan hasil IMS yang mayoritas negatif dan tidak berulang. Pengukuran penggunaan kondom paling sering menggunakan dikotomi. Menggambarkan proporsi responden yang melaporkan penggunaan kondom pada skala ordinal (misalnya, selalu, hampir selalu, kadang-kadang, hampir tidak pernah, dan tidak pernah) juga digunakan. Lima penelitian melaporkan penggunaan kondom pada skala kontinyu (misalnya, berapa kali kondom digunakan dalam jangka waktu tertentu). Lima studi melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan seks dilindungi dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Penggunaan kondom secara rutin, konsisten dan tepat memang sangat efektif untuk pencegahan IMS dan efektifitasnya sangat tergantung pada metode penularan IMS. (Fonner et al., 2014; Widyastuti dkk., 2012). Rasio penggunaan kondom dengan hubungan seks sama dengan mengukur konsistensi penggunaan kondom. Dimana mayoritas responden sudah banyak yang menggunakan kondom walaupun masih ada beberapa
5 89 yang penggunaannya masih minim. Penggunaan kondom yang tidak konsisten memang biasanya terjadi pada WPS tidak langsung atau yang berada pada prostitusi ilegal karena mereka sebagian besar bekerja menjadi WPS dengan alasan ekonomi sehingga tidak bisa menolak jika para mitra seksual tidak mau menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Li et al (2012) yang menyatakan proporsi yang cukup tinggi dari WPS tidak langsung (WPS yang biasanya berada pada prostitusi ilegal) adalah penggunaan kondom yang tidak konsisten. Penelitian dari Fonner et al (2014) menyatakan dari lima studi melaporkan hasil dalam bentuk rasio dengan pembilang mengandung jumlah tindakan seks dilindungi yang dilaporkan dalam jangka waktu tertentu dan penyebut yang mengandung jumlah semua tindakan seks dalam periode waktu yang sama. Beberapa penelitian yang digunakan rasio ini untuk mengkategorikan peserta sebagai pengguna kondom yang konsisten (jika jumlah tindakan seks dilindungi menyamai jumlah seks bertindak keseluruhan). Studi intervensi VCT diukur dengan rasio penggunaan kondom per pasangan. Penggunaan kondom "Regular" didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90. Dan didapatkan kurang dari setengah dari total responden yang menggunakan kondom secara konsisten dan memiliki resiko lebih rendah terkena IMS. Banyaknya responden yang sudah menggunakan kondom karena didukung dengan mayoritas responden yang sudah pernah mengikuti jenjang pendidikan walaupun hanya sebatas tingkat SD tetapi hal tersebut membuat responden tidak kesulitan menerima informasi yang didapat yang mayoritas berasal dari tenaga kesehatan dimana informasinya bisa berupa penyuluhan maupun pemberian leaflet yang diperlukan kemampuan membaca dan memahami. Tetapi penggunaan kondom tidak akan bisa efektif dalam mencegah IMS apabila penggunaannya tidak secara benar, rutin dan konsisten. Banyak terjadi pada WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi hasil tes IMS nya positif karena setelah dicermati mayoritas dari mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom dengan berbagai alasan
6 90 sehingga rasio antara penggunaan kondom dengan hubungan seksual < 90%. Sangat sedikit atau bahkan tidak ada responden yang konsisten menggunakan kondom karena semua responden menggunakan kondom dalam bertransaksi seksual hanya bila para pelanggan mereka menginginkan atau bahkan menawarkan sendiri kepada para WPS. Hal tersebut didukung oleh penelitian oleh Ghimire et al (2011), Sebuah studi kualitatif di Nepal, Alasan untuk tidak mengunakan kondom dikalangan pekerja seks adalah karena faktor ketidakberdayaan (low self efficacy) dan kemiskinan yang sering dilaporkan sebagai alasan yang menyebabkan pekerja seks enggan mengunakan kondom. Ada pula beberapa WPS yang mencoba menawarkan penggunaan kondom sebelum bertransaksi seksual kepada pelanggan mereka tetapi sebagian besar pelanggan banyak yang menolaknya walaupun ada beberapa yang menyetujui untuk menggunakan kondom. C. Pengaruh jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 90 responden semuanya menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina yaitu 90 (100%). Rata-rata WPS yang menggunakan seks vagina dalam 1 bulan yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan hasil IMS 1 negatif adalah 24.92±2.48 dan nilai P adalah Pada IMS 2 dengan hasil positif didapatkan rata-rata 24.10±2.77 dan hasil negatif adalah 24.81±2.45 dengan nilai P adalah Sedangkan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dengan nilai P Sehingga dapat disimpulkan nilai P > 0.05 yang berarti H1 ditolak dan H0 diterima sehingga tidak ada pengaruh antara jenis kegiatan seksual terhadap kejadian IMS. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya IMS salah satunya dari faktor host (individu) yaitu jenis kegiatan seksual. Seks anal merupakan salah satu jenis perilaku beresiko yang meningkatkan kejadian IMS. Proporsi yang cukup tinggi dari WPS tidak langsung terlibat dalam seks anal dengan pelanggan mereka sehingga tidak konsisten dalam menggunakan kondom dan meningkatkan kejadian IMS. Dijelaskan pula bahwa seseorang yang bekerja sebagai WPS dalam jangka waktu lama akan memiliki mitra seksual yang
7 91 banyak yang kemungkinan dapat terlibat dalam seks anal. Frekuensi jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari dimensi untuk mengukur utilisasi kondom yang meliputi seks vagina, seks anal, seks oral (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013; Foner et al., 2012). Jenis seks yang dilakukan mempengaruhi kejadian IMS. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis seks vagina tidak berpengaruh terhadap kejadian IMS karena semua respnden yang melakukan seks vagina memiliki hasil tes IMS yang negatif. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Mahaputra et al (2013) bahwa proporsi yang signifikan dengan IMS yang lebih tinggi terjadi pada WPS yang terlibat praktik seksual beresiko. Dimana sebagian besar WPS melakukan praktik seks anal pada salah satu kabupaten yang kejadian IMS nya tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yang mayoritas menggunakan seks vagina dengan hasil IMS rendah. Pada penelitian ini semua responden sudah menggunakan jenis kegiatan seksual per vagina. Tetapi mereka masih merupakan kelompok beresiko karena selain dari jenis kegiatan seksual juga dipengaruhi faktor lain yang sangat signifikan mempengaruhi kejadian IMS seperti jumlah pelanggan dan lama bekerja sebagai WPS sehingga masih ada responden yang memiliki hasil tes IMS positif. Hal tersebut didukung dari penelitian Mahaputra et al (2013) yang menyatakan ada empat kriteria WPS yang beresiko tinggi yaitu umur 35 tahun atau lebih tua, saat ini sudah menikah, bekerja sebagai WPS selama 10 tahun atau lebih dan berhubungan seks dengan tiga atau lebih klien sehari. Selain itu tidak semua responden yang sudah melakukan seks vagina juga selalu menggunakan kondom sehingga memungkinkan hasil tes IMS yang positif. Walaupun mayoritas yang menggunakan kondom sudah mengidentifikasikan memilih jenis seks vagina dalam melayani mitra seksual. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) juga menjelaskan bahwa dari jenis seks antara vagina, anal dan oral hanya satu yang merupakan studi yang mendefinisikan jenis tindakan seks menggunakan kondom yaitu seks vagina. Walaupun sebagian besar hasil tes IMS negatif karena mayoritas WPS yang sudah banyak yang menggunakan kondom tidak mencapai 90% dari total hubungan seks. Hampir semua responden yang
8 92 sudah menggunakan seks vagina mengaku karena para pelanggan mereka lebih menyukai jenis kegiatan seks ini dari pada jenis lainnya seperti seks anal dan oral. Selain itu jenis seks lain juga sangat jarang digunakan terutama seks anal yang masih tabu dikalangan eks lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian dari Fonner et al (2014) yang mengatakan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dimana perilaku seks tertentu seperti seks anal masih dianggap tabu, begitu juga dengan pasangan yang heteroseksual. Peserta yang melaporkan tidak melakukan seks anal mempunyai arti bahwa semua tindakan penggunaan kondom hanya dilakukan pada seks vagina saja. Sehingga kejadian IMS pada seks anal beresiko tinggi menyebabkan IMS dari pada seks vagina. Para pelanggan lebih memilih seks vagina karena para WPS mengaku jenis seks tersebut kurang nikmat, ditambah bagi WPS di Gunung Bolo yang dalam menjajakkan seksnya hanya dalam hitungan menit jadi mereka lebih memilih seks vagina dan jika mencoba seks lain akan mnghabiskan waktu dan akan menambah tarif seks serta belum pasti mendapatkan kenikmatan yang sesuai keinginan. D. Pengaruh konsistensi penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo didapatkan semua responden tidak konsisten menggunakan kondom yaitu 90 (100%) dengan hasil tes IMS yang mayoritas adalah negatif pada tes IMS 1 yaitu 71 (78.89%), IMS 2 yaitu 70 (77.78%) dan sebagian besar responden memiliki hasil tes IMS tidak berulang yaitu 76 (84.44%). Pemakaian kondom dapat menurunkan penularan IMS meskipun kondom tidak 100% dapat mencegah IMS namun kondom tetap merupakan cara terbaik untuk menghindari IMS. Penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko merupakan salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko termasuk kepada WPS dan pelanggannya. Berbagai faktor sangat terkait dengan kejadian IMS yang masih tinggi di berbagai negara. Pencegahan dan penanganan kasus IMS hendaknya disesuaikan dengan faktor yang
9 93 melatarbelakanginya. Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa banyak faktor yang sangat mempengaruhi kejadian IMS antara lain perilaku penggunaan kondom. Sampai saat ini beberapa studi telah berusaha untuk memeriksa penggunaan kondom yang benar dan konsisten pada orang yang aktif secara seksual. penggunaan kondom secara benar dan konsisten diperkirakan memiliki kemungkinan 59% lebih kecil untuk terinfeksi IMS dalam tiga bulan dibandingkan dengan peserta yang tidak menggunakan kondom secara benar dan konsisten. Penggunaan kondom yang konsisten adalah penggunaan kondom yang dilaporkan pada setiap hubungan seks dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ada beberapa yang mendefinisikan penggunaan kondom yang konsisten adalah % dari jumlah hubungan seksual. Penggunaan kondom didefinisikan sebagai ketika kedua pasangan melaporkan memiliki rasio kondom (jumlah tindakan seks dilindungi / semua tindakan seksual) di atas 0,90 (Bankole et al., 2007; Crosby et al 2012; Fonner et al., 2014). Semua responden pada penelitian ini tidak menggunakan kondom secara konsisten tetapi sebagian besar memiliki hasil tes IMS negatif. Hal tersebut dikarenakan walaupun dikatakan tidak konsisten tetapi penggunaan kondom mereka sudah mencapai lebih dari 50% dan banyak dari responden yang mengatakan bahwa sering menggunakan kondom selama tiga kali berturut turut dalam melakukan transaksi seksual Hal tersebut sesuai penelitian dari Karyati (2011) didapatkan sebagian besar WPS memiliki konsistensi kondom yang cukup tinggi yaitu 67% dengan ukuran konsisten menggunakan skala ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian dari Bankole et al (2007) yang mengatakan utilisasi kondom dapat dilihat dengan penggunaan kondom yang benar dan konsisten dengan melihat pada orang yang aktif secara seksual dengan setidaknya pada 2 atau lebih tindakan seksual yang selalu menggunakan kondom.
10 94 Ukuran tidak konsisten atau konsisten pada penelitian ini mengacu pada rasio jumlah kondom yang digunakan dengan jumlah seks yang sudah dilakukan dengan hasil minimal 90%. Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang beragam pada utilitas dari ukuran ini. Penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian lain dari Sembiring dkk (2012) didapatkan terdapat korelasi yang kuat antara konsistensi penggunaan kondom dengan pencegahan IMS dimana pengukuran konsistensi kondom menggunakan ukuran ordinal yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Penelitian lain menggunakan ukuran konsisten kondom dengan hanya melihat pada seks terakhir atau penggunaan kondom dikatakan konsisten apabila selama 12 bulan selalu menggunakan kondom. Hasil penelitian ini sesuai dengan pengukuran konsistensi yang digabungkan oleh Fonner et al (2014). Dikotomi penggunaan kondom adalah skala pengukuran yang paling umum digunakan dalam studi termasuk dalam ulasan ini. Salah satu keuntungan menggunakan hasil dikotomis adalah bahwa hasil dapat dikonversi menjadi metrik dan mudah diinterpretasi, seperti OR sehingga lebih mudah disintesis dan juga dilakukan intervensi dalam meta-analisis. Namun seperti dicatat di penelitian metodologi sebelumnya bahwa ukuran dikotomi hasil penggunaan kondom akan kehilangan informasi berharga mengenai frekuensi penggunaan kondom dan aktivitas seksual yang membantu mencirikan risiko IMS dan ukuran ini tidak direkomendasikan oleh penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi yang tinggi antara penggunaan kondom pada seks terakhir dan penggunaan kondom yang konsisten. Beberapa studi yang memakai penggunaan kondom pada seks terakhir sebagai bagian dari ukuran gabungan menilai kondom secara konsisten yang membantu membangun penailaian yang lebih kuat dari konsistensi. Studi lain menggunakan ukuran konsisten dengan mengukur penggunaan kondom selama waktu yang lebih lama dimana literatur menunjukkan bahwa menggunakan periode recall yang lebih pendek (2-3 bulan). Mayoritas pelanggan enggan menggunakan kondom karena dianggap mengurangi kenikmatan, tetapi ada pelanggan yang selalu membawa kondom sendiri waktu datang ke Eks lokalisasi tanpa harus ditawarkan kondom oleh
11 95 pelanggan. Mayoritas WPS terjun ke dunia prostitusi disebabkan oleh faktor ekonomi karena menjadi tulang punggung keluarga yang didukung mayoritas pendidikan para WPS yang hanya tamat SD yang tidak berfikir panjang dalam mengambil keputusan yang dirasa menguntungkan sehingga mereka lebih mementingkan mendapatkan uang dari pada harus kehilangan pelanggan hanya karena menuntut menggunakan kondom. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Mayanja et al (2016) bahwa studi menunjukkan alasan para wanita menjadi WPS salah satunya adalah terbatasnya akses ke sumber daya ekonomi dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan/ ketrampilan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan keperluan mendesak untuk perawatan anak adalah alasan utama para wanita untuk tetap menjadi seorang WPS. Tetapi masih ada beberapa responden yang selalu menggunakan kondom atau bahkan mereka tdak mau melayani jika pelanggan mereka tidak menggunakan kondom. Hal tersebut biasanya terjadi pada WPS yang justru sudah senior. Hal itu juga sependapat dengan penelitian dari Hilde et al (2013) yang menyatakan WPS yang sudah lama bekerja (senior) akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. E. Pengaruh jumlah kondom terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil penelitian di Eks Lokalisasi Ngujang dan Gunung Bolo didapatkan data dikotomi penggunaan kondom dimana sebagian besar responden sudah pernah menggunakan kondom dan memiliki hasil IMS 1, 2 yang negatif dan IMS tidak berulang yaitu 71 (78.9%), 70 (78.7%) dan 75 (84.3). Sebagian besar responden yang memiliki hasil IMS 1 positif mempunyai rata-rata jumlah kondom per bulan adalah dengan SD ± 13 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah dengan SD±8. Sedangkan Rata-rata jumlah kondom dengan hasil tes IMS 2 positif adalah 18.65±10.27 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 15.94±6.15. Untuk rata-rata jumlah kondom (bulan) yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 44.47±22.99 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 36.64±13.47 dengan hasil uji statistik dengan
12 96 menggunkaan uji t didapatkan nilai p dan yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jumlah penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang. Penggunaan kondom yang benar dan konsisten yaitu dengan melihat pada orang yang aktif perilaku seksualnya dengan setidaknya menggunakan kondom % dari jumlah hubungan seksual. Sehingga jumlah kondom yang digunakan harus sesuai dengan hubungan seksual atau batas minimal yang tidak menggunakan kodom adalah 10% dari jumlah hubungan seksual. (KPAN, 2010). Semakin banyak jumlah kondom yang digunakan memiliki IMS yang positif dan berulang sehingga didapatkan tidak ada hubungan jumlah kondom dengan kejadian IMS. WPS yang memiliki hasil tes IMS yang positif mengaku lebih hati-hati dalam melayani pelanggan yaitu dengan menggunakan kondom tetapi hanya selama masa penyembuhan. Setelah dinyatakan positif maka mereka akan kembali seperti sebelumnya yang asal menerima pelanggan dan melakukan transaksi seksual tanpa menggunakan kondom. Hal tesebut didukung oleh penelitian dari Vandenhoudt et al (2013) yang menemukan pada tingkat individu melaporkan penggunaan kondom tidak dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi HIV dan IMS (disesuaikan infeksi atau dari HIV yang terkait dengan penggunaan kondom dengan klien terakhir yaitu 90%). Sebuah penjelasan ditemukan dalam analisis prediksi penggunaan kondom. Wanita yang telah diuji untuk HIV dan IMS dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling, termasuk konseling HIV dan IMS pada wanita yang sudah terinfeksi mungkin memiliki dampak positif pada penggunaan kondom. Banyak dari WPS kadang masih tidak menggunakan kondom dengan alasan ada beberapa pelanggan yang diyakini tidak akan mempunyai infeksi sehingga mereka yakin walaupun tidak menggunakan kondom tidak akan terkena IMS. Biasanya para WPS melihat para pelanggannya dari kebersihan badan mereka ataupun penampilan dan wajah. Pelanggan yang berpenampilan menarik, wajah yang lumayan, bersih, wangi dianggap tidak mempunyai infeksi. Hal tersebut sependapat dengan penelitian dari Kawangung (2012)
13 97 yang menyatakan salah satu alasan pekerja seks maupun pelanggan tidak menggunakan kondom adalah perasaan, mereka saling percaya dan aman karena sudah lama berhubungan (Kawangung, 2012). Selain itu kebanyakan WPS yang enggan menggunakan kondom mempunyai alasan yang berhubungan dengan keuangan. Dimana mereka takut jika menuntut para pelanggan menggunakan kondom akan membuat mereka mencari WPS yang lain sehingga akan mengurangi pemasukan dalam hal finansial. Penelitian lain yang dilakukan Jie et al (2012) mengatakan tentang hambatan penggunaan kondom di China dimana asumsi pribadi dan perasaan terhadap pasangan tetap dan insentif keuangan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan penggunaan kondom oleh pekerja seks. Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang paling efektif selain dengan cara abstain seks. Tingginya angka kejadian IMS dikarenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak memakai kondom. F. Pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS Rata-rata jumlah penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 19.84±6.08 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 20.97±3.99. Rata-rata penggunaan kondom baru yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 20.20±5.95 dan tes IMS 2 negatif adalah 20.89±4.02. Untuk rata-rata penggunaan kondom baru oleh responden yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 20.33±6.49 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 20.81±4.04. Hasil data dikotomi didapatkan sebagian besar responden mempunyai rasio jumlah kondom 50% dengan sebagian dari WPS mempunyai hasil tes IMS 2 negatif yaitu 63 (87.5%) dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan kondom baru terhadap kejadian IMS berulang.
14 98 Penggunaan kondom baru oleh responden memberikan hasil IMS yang positif maupun negatif seimbang. Dimana semua responden hampir seluruhnya sudah menggunakan kondom baru dalam setiap transaksi seksual. Hal tersebut sudah sesuai dengan penggunaan kondom pada daftar tilik kondom dimana dijelaskan bahwa harus selalu menggunakan kondom baru dalam setiap melayani pelanggam. Masih adanya WPS yang memiliki hasil positif walaupun sudah menggunakan kondom baru karena disebabkan banyak hal. Diantaranya WPS yang sudah menggunakan kondom tetapi mereka tidak rutin dan konsisten dalam menggunakan kondom. Penggunaan kondom disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Banyak WPS yang selalu membawa kondom didalam tas mereka, tetapi kondom tersebut tidak terpakai. Padahal kondom selalu dibagi secara rutin oleh pengurus masingmasing dan apabila para WPS sudah kehabisan kondom lebih awal dipersilahkan segera minta ke pengurus. Tetapi hal tersebut tetap tidak membuat penggunaan kondom maksimal. Penyebab utamanya adalah pelanggan. G. Pengaruh umur terhadap kejadian IMS Rata-rata umur responden yang memiliki hasil IMS 1 positif adalah umur 47 tahun sedangkan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif rata-rata berumur 38 tahun. Rata-rata umur WPS yang memiliki hasil IMS 2 positif berumur 45 tahun dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif berumur 38 tahun. Rata-rata umur yang dimiliki oleh WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah berumur tahun sedangkan untuk rata-rata umur WPS yang memiliki hasil tes IMS tidak berulang adalah tahun dengan uji hasil uji statistik menggunakan uji t didapatkan nilai P adalah < yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh antara umur dengan kejadian IMS berulang. Semakin banyak umur WPS akan semakin meningkatkan kejadian IMS. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan sekitar 51% dari WPS telah terlibat didalam praktik seksual
15 99 beresiko. Dan kemungkinan terlibat dalam seks beresiko yang lebih tinggi terjadi pada WPS yang memiliki umur > 35 tahun. WPS yang memiliki umur lebih banyak kemungkinan besar sudah bekerja dalam waktu yang lama sehingga sudah memiliki jumlah mitra yang banyak yang menyebabkan mereka sangat rentan untuk terkena IMS. hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Mahaputra et al (2013) yang menyatakan WPS yang memiliki umur lebih tua, sudah menikah, menjadi WPS dalam jangka waktu yang lama, melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual 3x/ lebih per hari mempunyai perilaku seksual yang beresiko. Tes IMS pada dua tempat penelitian yang memiliki hasil positif kebanyakan terjadi pada WPS yang berumur lebih tua, memiliki jumlah mitra seksual yang banyak dan memiliki penghasilan yang rendah dalam setiap transaksi seksual. Tetapi penelitian diatas tidak sesuai dengan penelitian dari Widyastuti dkk (2012) yang mengatakan umur pada kaum muda yang sudah aktif dalam perilaku seksual secara dini akan lebih besar kemungkinannya untuk terkena IMS karena wanita muda memiliki tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga lebih mudah terinfeksi. Penelitian ini didukung oleh penelitian Susan et al (2014) yang mengatakan wanita yang sudah lama bekerja menjadi WPS memiliki kemampuan untuk menegosiasikan seks lebih aman kepada pasangan seksualnya sehingga lebih konsisten dalam penggunaan kondom dibandingkan dengan WPS baru yang menyebabkan bresiko rendah trekena IMS. H. Pengaruh jumlah pelanggan seksual terhadap kejadian IMS Jumlah rata-rata pelanggan WPS tiap bulan yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 94 pelanggan dan yang memiliki hasil tes IMS 1 negatif adalah 55 pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani oleh WPS yang menyebabkan hasil tes IMS 2 positif sebanyak 93 tiap bulan dan yang memiliki hasil tes IMS 2 negatif yaitu dengan jumlah pelanggan rata-rata 55 pelanggan. WPS yang memiliki hasil tes IMS berulang rata-rata memiliki jumlah pelanggan dalam satu bulan sejumlah pelanggan atau rata-rata tiga sampai empat pelanggan per hari dan WPS yang hasil tes IMSnya tidak
16 100 berulang memiliki jumlah rata-rata pelanggan sebanyak pelanggan per bulan atau sekitar satu sampai dua pelanggan per hari dengan hasil uji statistik didapatkan nilai P < yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh yang signifikan antara jumlah pelanggan terhadap kejadian IMS dimana semakin banyak jumlah pelanggan akan meningkatkan kejadian IMS. Faktor penyebab IMS terdiri dari faktor agent, host (individu) dan environment (lingkungan). Faktor Agent dapat berupa virus, parasit, bakteri, dan protozoa. Sedangkan faktor host (individu) salah satunya adalah jumlah mitra seksual. Jumlah mitra seksual dijelaskan bahwa seseorang yang menjadi WPS dalam jangka waktu lama akan melakukan hubungan seksual dengan mitra tiga kali atau lebih per hari yang mempunyai perilaku seksual beresiko IMS. Mahaputra et al (2013). Responden pada penelitian ini yang memiliki mitra seksual banyak dalam tiap harinya seharusnya adalah WPS yang masih muda. Tetapi para WPS yang masih muda biasanya membatasi sendiri jumlah pelanggannya. Banyak dari WPS yang jika sudah mendapatkan uang yang dirasa cukup, maka mereka memilih untuk tidak mau melayani lagi dan menghentikan transaksi seksual mereka pada hari itu. Kadang setelah pukul mereka WPS muda sudah enggan menerima tamu. Berbeda dengan WPS tua yang rela menunggu tamu mereka bahkan sampai dini hari. Karena mayoritas dari pelanggan lebih memilih WPS yang masih muda. Kecuali jika para pelanggan tidak menemukan dengan alasan para WPS muda sudah tidak ada sehingga secara tidak sengaja akan mau dilayani oleh WPS yang sudah berumur diatas 40 tahun. Sebagian besar WPS yang masih muda hampir 90% mempunyai pacar dan pacar mereka yang menyuruh para wanita ini bekerja menjadi WPS sehingga uang yang didapatkan akan dinikmati berdua untuk bersenangsenang. Hal tersebut menyebabkan para WPS memiliki pasangan yang non komersial yaitu pacar atau pasangan hidup bahkan suami dimana mereka tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks karena sudah dianggap seperti pasangan hidup. Hal tersebut menyebabkan WPS mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena IMS.
17 101 Hasil diatas sesuai dengan penelitian Mahaputra et al (2013) di India menunjukkan bahwa penggunaan kondom konsisten cukup tinggi dengan mitra yang komersil dan tetap rendah pada yang non komersil dimana ini biasanya dilakukan oleh para WPS bersama pacar, suami atau pasangan hidup mereka. Rendahnya penggunaan kondom dalam hubungan non komersial dapat disebabkan oleh keintiman dan kepercayaan yang terlibat dalam hubungan semacam itu. Lebih lanjut, proporsi pada WPS yang terlibat hubungan secara bersamaan antara komersil dan non komersil dan ditambah penggunaan kondom yang tidak konsisten khususnya pada pasangan non komersil dapat menyebabkan transmisi infeksi IMS/ HIV lebih cepat. Sebagian besar WPS ynag mempunyai hasil tes IMS positif terjadi pada WPS yang sudah berumur. Dimana mereka tidak memilih pelanggan karena desakan ekonomi. Selain itu WPS yang sudah berumur khususnya yang berada di Gunung Bolo bisa mendapatkan pelanggan mencapai 5 orang per hari dengan tarif seksual yang cukup murah. Hal tersebut menyebabkan para WPS tersebut lebih rentan untuk terkena IMS. Hal tersebut didukung dari penelitian dari Graham et al (2014) yang menjelaskan bahwa WPS yang sudah bekerja lama akan mempunyai mitra seksual yang lebih banyak sehingga akan lebih memungkinkan melakukan seks beresiko seperti anal seks. I. Pengaruh pengetahuan terhadap kejadian IMS Pengetahuan WPS tentang utilisasi kondom didapatkan bahwa semua responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu 90 (100) dengan skor > 11. Pengetahuan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan ketrampilan individu bisa didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971).
18 102 Semua responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang utilisasi kondom tetapi masih ada WPS yang mempunyai hasil IMS yang positif. Pengetahuan tentang utilisasi kondom didapatkan dengan WPS mengisi lembar kuesioner yang berhubungan dengan utilisasi kondom. WPS mengaku bahwa mereka sudah tidak asing dengan kondom maupun IMS. Banyak dari mereka sudah terlalu sering mendapatkan informasi maupun penyuluhan tentang kondom maupun IMS. Bahkan untuk kondom sendiri sudah mendapatkan pembagian kondom gratis dari para pengurus. Tetapi para WPS mengaku tidak bisa berbuat banyak karena meeka bekerja seperti ini demi mendapatkan tambahan penghasilan yang bisa digunakan untuk keperluan hidup. Jika mereka menuntut untuk selalu menggunakan kondom maka mereka takut akan kehilangan para pelanggan mereka yang mayoritas tidak menghendaki dalam penggunaan kondom karena merasa tidak nyaman. Penelitian lain juga sependapat dengan hal diatas dimana pengetahuan WPS tentang kondom sebagian besar cukup baik. Dari hasil analisis diketahui tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang IMS dengan konsistensi pemakaian kondom. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Lokollo (2009) yang melaporkan bahwa sebagian besar WPS mengetahui manfaat menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tetapi hanya sekitar 50% yang menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Hal ini terjadi karena adanya alasan klasik pelanggan keberatan akibat merasa tidak nyaman. J. Pengaruh keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS Mayoritas responden memiliki keterampilan yang baik dengan hasil tes IMS 1 yang sebagian besar adalah negatif yaitu 50 (86.2%) dan IMS 2 juga sebagian besar negatif yaitu 49 (84.5%) dan hampir seluruhnya tidak berulang yaitu 51 (87.9%) dengan hasil uji statistik dengan menggunakan Pearson Chi Square didapatkan nilai P pada IMS 1 dan 2 adalah signifikan < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS 1 dan 2 sedangkan pada IMS berulang nilai p adalah
19 yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada hubungan antara keterampilan penggunaan kondom terhadap kejadian IMS berulang. Keterampilan merupakan bagian dari behavioral yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku. Dimana dalam hal ini adalah perilaku utilisasi kondom. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Pengetahuan dan keterampilan individu bisa didapat melalui peniruan dan observasi (Bandura, 1971). Semakin baik ketrampilan WPS dalam penggunaan kondom akan menurunkan kejadian IMS. keterampilan WPS sendiri didapat dengan menggunakan daftar tilik penggunaan kondom yang ditanyakan langsung kepada WPS. Mereka mengaku sudah lama maengetahui tentang kondom. Tetapi beberapa dari mereka banyak yang lupa tentang penggunaan kondom yang baik dan benar. Sebagian besar mereka lupa untuk mengecek tanggal kadaluwarsa kondom sehingga ada beberapa dari responden yang pernah menjumpai kondom yang digunakan robek. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan kondom yang sudah kadaluwarsa mudah robek. Jika kondom robek maka cairan dari alat kelamin dan lesi kulit yang terinfeksi dapat kontak dengan alat kelamin pasangannya dan menularkan IMS sehingga kondom menjadi tidak efektif Widyastuti dkk (2012). Kondom yang kadaluwarsa atau bahkan sampai sobek akan menghambat penggunaan kondom secara konsisten. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa sebagian faktor-faktor pada level individual (pengetahuan, motivasi dan kesiapan menggunakan kondom, niat, keputusan menggunakan kondom, keterampilan dan self-efficacy) dalam situasi yang memadai menjadi faktor penggunaan kondom secara konsisten (Aditya, 2012). Walaupun pada IMS 1 dan 2 keterampilan kondom sangat berpengaruh, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada IMS berulang yang pengaruhnya tidak signifikan untuk terjadinya IMS. Walaupun seperti itu, ada hasil penelitian yang sependapat yaitu Febiyantin dkk (2014) yang
20 104 menjelaskan usia, jumlah pelanggan, pengetahuan dan lama kerja berhubungan dengan kejadian IMS. Sedangkan tingkat pendidikan, sikap, pencegahan, praktik penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan tidak berpengaruh terhadap IMS. K. Pengaruh penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS Pada penggunaan alkohol dimana rata-rata jumlah responden yang melakukan hubungan seks dengan konsumsi alkohol yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 0.74±1.37 dan tes IMS 1 negatif 3.96±3.74, hasil IMS 2 positif adalah 1.85±3.08 dan tes IMS negatif adalah 3.69±3.68 serta IMS berulang 0.87±1.51 dan tidak berulang adalah 3.76±3.73 dan rata-rata yang tidak mengkonsumsi alkohol saat hubungan seksual dengan hasil IMS 1 positif adalah 23.05±2.51, IMS 1 negatif adalah 20.89±4.04, IMS 2 positif adalah 22.30±3.25 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 21.07±3.99. serta ratarata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi alkohol yang memiliki hasil tes IMS berulang adalah 23.40±2.69 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 20.93±3.94 dengan hasil uji statistik dengan menggunkaan uji t didapatkan nilai P dan yang berarti < 0.05 sehingga ada pengaruh signifikan penggunaan alkohol terhadap kejadian IMS 1, 2 dan berulang. Penggunaan alkohol dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual karena orang yang biasa minum alkohol menjadi kurang selektif dalam memilih pasangan sehingga akan sulit memkai kondom dengan benar dan sulit meminta pasangannya menggunakan kondom. Semakin banyak menggunakan kondom akan menurunkan IMS. Hal tersebut disebabkan karena mayoritas WPS yang mengkonsumsi alkohol adalah yang berada di Eks Lokalisasi Ngujang yang mana pada setiap wisma disediaka alkohol oleh para mucikari atau germo untuk para pelanggan yang datang. Berbeda dengan WPS yang berada di Gunung Bolo tidak disediakan alkohol karena tempat transaksi seksual mereka di area makam selain itu waktu transaksi seksual juga cukup singkat sehingga jumlah mitra seksual yang didapatkan lebih banyak dari pada yang berada di eks lokalisasi tetapi memiliki pendapatan lebih rendah karena tarif seksualnya berkisar Rp
21 Penggunaan alkohol sendiri pada WPS tergantung dengan jenis klien yang melakukan transaksi seksualdengannya. WPS tidak akan menggunakan alkohol apabila pelanggan mereka tidak mengajak untuk meminumnya. Kadang ada pelanggan yang mengkonsumsi alkohol tetapi WPS tetap mempertahankan diri untuk tidak ikut alkohol. Hasil diatas sesuai dengan studi dari Mahaputra et al (2013) menemukan bahwa lebih dari setengah dari pekerja seks dikonsumsi alkohol sebelum seks, yang mirip dengan temuan dari studi India lain. Penelitian empiris telah berpendapat bahwa penggunaan alkohol tergantung pada jenis klien dengan siapa WPS berhubungan seks. WPS dikonsumsi alkohol untuk meningkatkan kenikmatan dan keterlibatan saat berhubungan seks, sedangkan dengan satu kali klien yang dikonsumsi alkohol membuat para WPS menjadi sensitif untuk menerima pelanggan. Temuan penelitian lain juga menunjukkan bahwa WPS yang berada dilokalisasi atau eks lokalisasi akan mendapatkan pelanggan dari mucikari yang lebih mungkin untuk mengkonsumsi alkohol. Ini bisa jadi karena fakta bahwa alkohol tersedia dalam rumah-rumah pelacuran dan di tempat-tempat terdekat, dan pelanggan membawa alkohol ketika datang mengunjungi WPS. Menurut penelitian dari Vandenhoudt et al (2013), 48% dari WPS melaporkan bahwa mereka sudah mabuk selama seks dengan klien terakhir mereka dan wanita-wanita ini yang kurang cenderung menggunakan kondom. Penyalahgunaan alkohol merupakan halangan penting untuk penggunaan kondom konsisten dan juga untuk seni kepatuhan. Oleh karena itu sangat penting bahwa intervensi penargetan WPS dalam memberikan konseling tentang hubungan seks dengan alkohol dan setelah hubungan seks serta kecanduan alkohol pada para WPS. L. Pengaruh konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS
22 106 positif. Sedangkan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA saat melakukan transaksi seksual yang memiliki hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.52 dan negatif adalah 24.94±2.37. Berdasarkan hasil konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan rata-rata responden yang mengkonsumsi obat-obatan NAPZA dengan hasil IMS negatif adalah 0.06±0.23 dan tidak ada yang memiliki hasil tes IMS positif serta rata-rata responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil tes IMS 2 positif adalah 24.20±2.61 dan IMS 2 negatif adalah 24.81±2.40. tidak terdapat responden yang memiliki hasil IMS berulang dan rata-rata responden yang memiliki hasil IMS tidak berulang adalah 0.05±0.23 dan rata-rata jumlah responden yang tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA yang memiliki hasil IMS berulang adalah 24.20±2.57 dan hasil IMS tidak berulang adalah 24.77±2.43 dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value dan yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh antara konsumsi obat-obatan NAPZA terhadap kejadian IMS berulang. Penggunaan kondom yang tidak konsisten biasanya terjadi WPS yang mengkonsumsi obat-obatan. Penyalahgunaan obat prinsipnya hampir sama dengn penggunaan alkohol. Orang yang berhubungan seksual dibawah pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual beresiko. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa seseorang melakukan perilaku seksual. Selain itu, penggunaan obat dengan jarum suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit lewat darah, seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat seks (Widyastuti dkk., 2012; Mahaputra et al., 2013). Hampir seluruh responden tidak mengkonsumsi obat-obatan NAPZA. Data ini didapat dari hasil observasi langsung dengan lembar diary yang dilaksanakan setiap hari. Tetapi untuk konsumsi obat-obatan NAPZA didapatkan jika banyak WPS yang tidak mengetahui tentang hal tersebut. Walaupun ada beberapa dari mereka yang mengetahui. Kadang penggunaan obat NAPZA ini identik dengan obat tidur atau obat IMS. Sehingga banyak dari WPS yang tidak menggunakannya.
23 107 Penelitian dari Strathdee et al (2011) menjelaskan setengah dari WPS melaporkan jika mereka pernah terdaftar dalam program perawatan obat. Dalam hal lingkungan sosial WPS yang memiliki hubungan yang signifikan adalah pada WPS dengan HIV pos.itif lebih mungkin untuk melaporkan sering atau selalu menyuntikkan obat dengan mitra seksual. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian dari Handayani R (2012) didapatkan perilaku seksual pengguna obat NAPZA dalam satu bulan terakhir mempunyai kecenderungan beresiko tinggi terhadap penularan IMS/HIV- AIDS yang berdasarkan data hubungan seksual dengan pekerja seks komersial 90.7%, pasangan kasual 74.4% dan pasangan tetap 34,9%, hal ini juga mencerminkan mereka mempunyai pasangan seksual lebih dari satu orang sehingga kemungkinan penularan penyakit seksual semakin tinggi. M. Pengaruh jenis pembayaran pada transaksi seksual terhadap kejadian IMS Pada jenis pembayaran transaksi seksual didapatkan semua responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS 1 yang positif adalah 23.68±2.52 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.44. IMS 2 yang positif adalah 24.10±2.77 dan IMS 2 negatif adalah 24.87±2.41. Didapatkan semua responden melakukan cash transaction dengan rata-rata hasil tes IMS berulang adalah 24.20±2.57 dan IMS tidak berulang adalah 24.80±2.49 dengan hasil uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh jenis pembayaran transaksi seksual terhadap kejadian IMS berulang. Walaupun begitu, jenis transaksi seksual ini sangat erat hubungannya dengan penggunaan kondom yang konsisten. Karena jika ada pelanggan yang melakukan transaksi selain cash tidak akan dilaporkan kepada pengurus karena mereka beranggapan hal itu merupakan urusan mereka dengan para pelanggan masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan penelitian menurut Graham et al (2014) didapatkan faktor-faktor kerja sama yang dikaitkan dengan penggunaan kondom konsisten (yaitu, tempat klub malam,
24 108 pembayaran tunai untuk seks) juga dikaitkan dengan beberapa mitra seks. Wanita yang dikenakan biaya terendah untuk seks cenderung kurang melaporkan mitra yang dilayani dalam seminggu bekerja yang mungkin mencerminkan tekanan ekonomi yang lebih besar pada kelompok ini. Semua responden memiliki jenis transaksi seks secara cash. Dimana walaupun sudah menggunakan cash tetapi masih ada responden yang mempunyai hasil IMS positif. Banyak dari responden yang mengaku jika jenis transaksi tidak mempengaruhi pendapatan maupun penggunaan kondom yang mereka lakukan. Masih adanya hasil IMS yang positif karena sebagian responden masih belum menggunakan kondom secara benar, rutin dan konsisten. Selain itu para WPS lebih mementingkan pendapatan mereka dari pada harus menggunakan kondom dan kehilangan pelanggan. penelitian lain dari Graham et al (2014) menjelaskan WPS yang melaporkan mempunyai mitra seksual dua atau lebih didapatkan pada WPS yang bekerja di klub malam atau tempat lain dengan jenis transaksi adalah cash transaaction. N. Pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS Rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes IMS 1 positif adalah 0.05±0.229 dan hasil tes IMS 1 negatif adalah 0.01 ± sedangkan hasil tes IMS 2 positif adalah 0.05±0.224 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 0.01±0.12 dan rata-rata jumlah responden yang memberikan informasi kepada mitra seksual dengan hasil tes IMS berulang adalah 0.07±0.26 dan hasil tes IMS tidak berulang adalah 0.01±0.12. Rata-rata jumlah responden yang tidak memberikan informasi mempunyai hasil tes IMS 1 positif adalah 23.68±2.47 dan IMS 1 negatif adalah 24.97±2.50, IMS 2 positif adalah 24.05±2.78 dan hasil tes IMS 2 negatif adalah 24.89±2.45. serta IMS berulang adalah 24.13±2.59 dan IMS tidak berulang adalah 24.81±2.52 dengan uji statistik menggunkaan uji t didapatkan p value dan yang berarti > 0.05 sehingga tidak ada pengaruh pemberian informasi kepada mitra seksual terhadap kejadian IMS berulang.
25 109 Perubahan perilaku penggunaan kondom akan meningkat dengan konsekuensi para WPS harus memberikan konseling terlebih dahulu pada pasangannya Susan et al (2014). Wanita yang telah diuji untuk HIV dilaporkan lebih tinggi penggunaan kondom. Hal ini menunjukkan bahwa konseling, termasuk konseling HIV terinfeksi wanita, mungkin memiliki dampak positif pada penggunaan kondom. Semua responden tidak memberikan konseling kepada pelanggan mereka dengan alasan waktu yang singkat dalam melakukan transaksi seksual. Terutama pada WPS yang berada di Gunung Bolo yang tidak mungkin bisa memberikan informasi tentang kondom kepada pelanggan mereka. Untuk WPS di Eks Lokalisasi Ngujag masih bisa memberikan informasi tetapi untuk konseling belum pernah dilakukan karena keterbatasan waktu. WPS yang berani memberikan informasi adalah mereka yang memang sudah bekerja menjadi WPS yang lama. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Graham et al (2014) yang menyatakan WPS yang sudah lama bekerja akan meningkatkan perilaku penggunaan kondom karena mampu menegosiasikan seks yang aman kepada pasangan seksualnya sehingga dapat mengurangi resiko IMS. hal tersebut sependapat dengan penelitian dari Mayanja et al (2016) juga sependapat bahwa WPS melaporkan bahwa mereka tidak berdaya dalam hal tawar menawar untuk mempertahankan penggunaan kondom yang biasanya tergantung pada keinginan klien, harga yang ditawarkan dan ketenangan wanita. Beberapa WPS mengaku ada yang mengancam pelanggan untuk tidak mau bertransaksi seksual apabila tidak menggunakan kondom. Tetapi hal tersebut sangat jarang dilakukan oleh para WPS karena takut membuat pelanggan tersinggung dan tidak memilihnya. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Shannon et al (2009), menunjukkan 205 perempuan yang melaporkan transaksi seksual dengan klien, 25% melaporkan pernah ditekan oleh klien untuk tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dalam 6 bulan terakhir. Dalam konteks ini, keterampilan negosiasi penggunaan kondom sangat penting. Strategi promosi kondom harus diarahkan pada masyarakat dan pekerja seks untuk mengatasi 'hambatan ekonomi dalam
BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang berarti Dewi cinta dari Romawi kuno) yang didefinisikan sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang bisa didapat melalui kontak seksual. IMS adalah istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat
16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan seks merupakan kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu yang telah mencapai kematangan fisik dan psikis baik pada wanita maupun laki-laki terutama
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau
BAB II 2.1. HIV/AIDS TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian HIV/AIDS Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan mengaktualisasikan dirinya. Kesehatan juga berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
Lebih terperinciLampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010
Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 I. INFORMASI WAWANCARA 1. Nomor Urut Responden... 2. Nama Responden...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap
Lebih terperinciLaporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii
iii iii Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 2 Sketsa Lokasi
Lebih terperinciFaktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual
Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual a. Penyebab penyakit (agent) Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa (Widyastuti, 2009).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang rute transmisinya terutama adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual dapat disebabkan oleh bakteri,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa
Lebih terperinciSituasi HIV & AIDS di Indonesia
Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma Akuminata, HIV/ Acquired Immuno
Lebih terperinciKUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON
KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON Disusun oleh: Nama : NIP : LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan satu periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kelamin (veneral diseases) merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal seperti sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan utama dan menjadi beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini salah satu aspek kesehatan yang menjadi bencana bagi manusia adalah penyakit yang disebabkan oleh suatu virus yaitu HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang besar, sehat dan produktif merupakan potensi dan kekuatan efektif bangsa. Begitu pula sebaliknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep dan strategi pembangunan kesehatan telah mengalami pergeseran, yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah berorientasi kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial bagi remaja semakin menjadi perhatian di seluruh dunia sejalan dengan rekomendasi International Conference
Lebih terperinciGLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN
PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena dalam hukum negara Indonesia hanya mengakui
Lebih terperinciKUESIONER PENELITIAN
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WARIA DENGAN TINDAKAN PEMAKAIAN KONDOM DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA MEDAN TAHUN 2010 No. Responden: I. IDENTITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. diteliti (Sutana dan Sudrajat, 2001). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross
BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dimana peneliti menyajikan suatu fakta untuk menggambarkan secara keseluruhan peristiwa yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV merupakan famili retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama limfosit (sel darah putih) dan penyakit AIDS adalah penyakit yang merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan A. Latar Belakang
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pembangunan fisik dan pertambahan penduduk di suatu kota dan perubahan sosial budaya yang tidak sesuai dan selaras, menimbulkan berbagai masalah antara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin lama semakin mengkhawatirkan, baik dari sisi kuantitatif maupun
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KEGIATAN
KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan
Lebih terperinciLEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN. melakukan penelitian tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja
Lampiran 1 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Saya yang bernama Corah Julianti/105102061 adalah mahasiswa Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat juga menunjukkan gambaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Lingkup seksual bukan sekedar kata seks yang merupakan kegiatan hubungan fisik seksual. Kondisi seksualitas
Lebih terperinciVirus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).
AIDS (Aquired Immune Deficiency Sindrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Penyebab AIDS adalah virus yang mengurangi kekebalan tubuh secara perlahan-lahan.
Lebih terperinciOLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )
PROPOSAL PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT (PKM) TENTANG PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TABANAN II TAHUN 2012 OLEH A A ISTRI YULAN
Lebih terperinciSURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja
VSP09-REMAJA [di Dalam Sekolah] SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RAHASIA BLOK I. KETERANGAN RINGKAS Badan Pusat Statistik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serviks merupakan bagian penghubung vagina uterus. Kelenjar serviks berfungsi sebagai pelindung terhadap masuknya organisme lain yang bersifat parasit pada saluran vagina
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini merupakan era globalisasi dimana sering terjadi perdagangan manusia, budaya luar dengan mudahnya masuk dan diadopsi oleh masyarakat sehingga memunculkan
Lebih terperinciJangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti
Ragu? Jangan cuma Ikut VCT, hidup lebih pasti Sudahkah anda mengetahui manfaat VCT* atau Konseling dan Testing HIV Sukarela? *VCT: Voluntary Counselling and Testing 1 VCT atau Konseling dan testing HIV
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak seperti genitor genital, oro genita lmaupun anogenital
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan
Lebih terperinciOleh: Logan Cochrane
Oleh: Logan Cochrane Pengenalan P. Kepanjangan dari apakah HIV itu? J.Human Immuno-deficiency Virus P. Kepanjangan dari apakah AIDS? J. Acquired Immune Deficiency Syndrome Keduanya memiliki hubungan sebab
Lebih terperinciGAMBARAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI KONDOM PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI SUKOSARI KECAMATAN BAWEN KABUPATEN SEMARANG.
GAMBARAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI KONDOM PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI SUKOSARI KECAMATAN BAWEN KABUPATEN SEMARANG. Aya Soffiya, Surjani, Eko Mardiyaningsih ABSTRAK Latar Belakang : Salah satu
Lebih terperinciBAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS
BAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS A. Kerangka Teori dan Konsep Penelitian 1. Kerangka Teori HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan transeksual.
Lebih terperinciKUISIONER PENELITIAN
156 Zeithmal S, J, and Valerie Barry. 2009. Refinement and Reassessment of The SERVQUAL Scale. USA : E-Journal. Lampiran 1 : KUISIONER PENELITIAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMANFAATAN LAYANAN PUSKESMAS
Lebih terperinciGAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (HASIL SURVEI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA TAHUN 2007 DAN SURVER RPJM TAHUN
GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (HASIL SURVEI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA TAHUN 2007 DAN SURVER RPJM TAHUN 2007) 1. Pendahuluan Isu strategis dalam pelaksanaan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah remaja usia 10-19 tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik saat ini mencapai 62 juta jiwa, yang merupakan 28,5%
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia terhitung mulai tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 30 Desember
Lebih terperinciFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI, JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI, JAKARTA Prostitusi aktifitas penjualan secara komersial atas jasa layanan seksual. Tempat prostitusi Tempat dimana lokasi tersebut menjadi sentra bagi aktifitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired
Lebih terperinciHIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH
HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari
Lebih terperinci1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG
Prosiding SNaPP2015 Kesehatan pissn 2477-2364 eissn 2477-2356 FAKT-FAKT YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG 1 Budiman, 2 Ruhyandi, 3 Anissa Pratiwi
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap
Lebih terperinciHUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016 Noorhidayah 1, Asrinawaty 2, Perdana 3 1,2,3 Fakultas Kesehatan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi HIV&AIDS di Indonesia sudah berlangsung selama 15 tahun dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang memudahkan penularan virus penyakit
Lebih terperinciKUESIONER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU IBU DALAM PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI POLI GINEKOLOGI RSUD DR PIRNGADI MEDAN TAHUN
KUESIONER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU IBU DALAM PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI POLI GINEKOLOGI RSUD DR PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012 I. INFORMASI WAWANCARA Tanggal Wawancara.../.../... No. Urut Responden...
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Lokasi penelitian bertempat di Pasar Kembang Yogyakarta,tepatnya di
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Lokasi penelitian bertempat di Pasar Kembang Yogyakarta,tepatnya di berada di RW Sosrowijayan Kulon Gang 3 kelurahan Sosromenduran Kecamatan
Lebih terperinciPERNYATAAN. Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam. penelitian ini dengan judul Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya
100 PERNYATAAN Kode Responden : Umur responden : Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan judul Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya Pencegahan dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat
Lebih terperinciBab II. Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan. Cerita Juanita. Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan
Bab II Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan Cerita Juanita Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan Untuk pekerja di bidang kesehatan 26 Beberapa masalah harus diatasi
Lebih terperinciPENGARUH PENGGUNAAN KONDOM TERHADAP KEJADIAN IMS PADA WPS DI KABUPATEN TULUNGAGUNG TAHUN 2017
PENGARUH PENGGUNAAN KONDOM TERHADAP KEJADIAN IMS PADA WPS DI KABUPATEN TULUNGAGUNG TAHUN 2017 Ainun Hanifa 1), Ari Natalia Probandari 2), Eti Poncorini Pamungkasari 2) 1) PRODI D3 Kebidanan Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BNN dan Puslitkes UI pada 10 kota besar di Indonesia
Lebih terperinciSKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama
Lebih terperinciSURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007
VSP07-PRIA SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RAHASIA BLOK I. PENGENALAN TEMPAT 1 Provinsi 2 Kabupaten/Kota *) 3 Kecamatan 4 Desa/Kelurahan *)
Lebih terperinciLaporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii
Laporan Hasil SSP 2003 B a l i iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk.,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang banyak terjadi pada laki-laki yang sering berganti - ganti pasangan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sifilis merupakan salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang banyak terjadi pada laki-laki yang sering berganti - ganti pasangan. Sifilis atau yang disebut
Lebih terperinciPanduan Wawancara. Penelitian Awal: Penggunaan Crystal Meth & Risiko Penularan HIV di Indonesia. Gender /jenis kelamin :
Panduan Wawancara Penelitian Awal Penggunaan Crystal Meth & Risiko Penularan HIV di Indonesia Kerja Sama Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Unika Atma Jaya Jakarta Mainline - Belanda Catatan Pertanyaan-pertanyaan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Sifilis bersifat kronik dan sistemik karena memiliki masa laten, dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Insidensi infeksi HIV-AIDS secara global cenderung semakin meningkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Semarang (2005) menyebutkan
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Anak jalanan menurut Departemen Sosial RI merupakan anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,
Lebih terperinciJurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN
PENELITIAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN KONDOM DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV-AIDS PADA PSK El Rahmayati*, Ririn Sri Handayani* Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan kumpulan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang dari 30 jenis mikroba (bakteri, virus,
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL. o Riwayat Operasi Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
21 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 5.1 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : o Penularan melalui darah o Penggunaan
Lebih terperinci