ANALISIS KEBIJAKAN DAN BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEBIJAKAN DAN BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN MALUKU TENGAH"

Transkripsi

1 ANALISIS KEBIJAKAN DAN BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN MALUKU TENGAH (Studi Kasus : Kecamatan Leihitu) ACHMAD ZAKY MARASABESSY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatkan bahwa tesis Analisis Kebijakan dan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tengah. Studi Kasus di Kecamatan Leihitu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2010 Achmad Zaky Marasabessy NRP H

3 ABSTRACT ACHMAD ZAKY MARASABESSY, Policy Analysis and Transaction Cost Management Resources Catchs Fishery in Maluku Tengah Region. Case Study in Leihitu District. Direction: ACHMAD FAHRUDIN and ACENG HIDAYAT. Maluku Tengah marine water has fish resources, which can be managed in an optimal way to support fishermen. The policy increase fish production is needed for fishermen prosperity and sustainable resources use. This policy should include government, private sector and fisher community so can rerealize fishermen prosperity and continuity fisher resources. The purpose of this research are: (1). To analyse bioeconomic for fishery resources management, (2). To analyse the institutional to fishery resource management (3). To calculate transaction cost of help package, (4) To analyse fishery governance, The results of this research indicates that: (1). Bioeconomic analyse to big fish pelagic at MSY condition, fish stock is ,45 ton, catch is ,36 ton. At MEY condition, fish stock is ,22 ton, catch is ,69 ton. To small pelagic fish, at MSY condition, fish stock is 6.879,60 ton, catch is 5.288,92 ton. At MEY condition, fish stock is 7.445,71 ton, catch is 5.253,11 ton. To demersal fish at MSY condition, fish stock is 1.465,00 ton, catch is 616,44 ton. At MEY condition fish stock is 1.523,43 ton, catch is 615,46 ton. Policy impact to fisherman earning shows the income improvement from Rp million to Rp million after policy, (2). Fishery resources governance entangles stakeholders that is government, private sector and fisherman, (3). Help package transaction cost in the form of selection cost is Rp million, construction cost is Rp million and monitoring cost is Rp million, (4). Formulation pattern of policy haves the character of bottom up, and more aimed to increase fishery production, Keywords : Policy, Transaction Cost, Resources, Catch Fishery.

4 Ringkasan ACHMAD ZAKY MARASABESSY, Analisis Kebijakan dan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tengah. Studi Kasus di Kecamatan Leihitu. Dibimbing Oleh ACHMAD FAHRUDIN dan ACENG HIDAYAT. Indonesia adalah negera bahari yang memiliki potensi sumberdaya perikanan sangat potensial. Dengan karakteristik kelautan tropika, maka salah satu sektor andalan sumberdaya kalautan adalah sektor perikanan. Karakeristik laut negaranegara tropis dicirikan dengan jumlah kandungan sumberdaya perikanan yang terdiri dari berbagai macam spesies ikan lebih besar jika dibandingkan dengan negaranegara sub tropis, hal ini disebabkan karena laut tropika mempunyai ekosistem pendukung berupa terumbu karang, padang lamun dan mangrove sebagai tempat berkembangbiaknya berbagai jenis spesies ikan. Kondisi ini, secara ekonomi menguntungkan bagi Indonesia karena sektor perikanan dapat dijadikan sebagai salah satu ujung tombak bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan pegelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia selama ini lebih ditujukan untuk meningkatkan jumlah produksi perikanan dengan mendayagunakan masyarakat nelayan, baik nelayan skala besar seperti nelayan industri maupun nelayan skala kecil yang terdiri dari nelayan tradisional. Penggunaan pendekatan produktifitas dalam pemecahan persoalan kemiskinan nelayan perlu dilengkapi dengan pendekatan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih terarah pada konteks kearifan lokal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya perikanan. Disamping pendekatan produktifitas dalam rangka pemecahan masalah kemiskinan nelayan tersebut, terdapat faktor lain yang selama ini terabaikan dan kurang diperhitungkan oleh pemerintah sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pendekatan tersebut adalah faktor non produktifitas dimana salah satunya yang jarang dilakukan adalah pendekatan biaya transaksi (transaction cost) yang secara umum dapat diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan selain dari biaya produksi. Wilayah perairan Kabupaten Maluku tengah memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap yang dapat dikelola secara optimal untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat nelayan khususnya nelayan tradisional. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang lebih diarahkan kepada peningkatan produksi dengan melibatkan pihak pemerintah, swasta dan masyarakat nelayan sebagai suatu bentuk tata kelola sumberdaya perikanan efektif, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan nelayan dan kelesterian sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (Resources Sustainability). Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk menganalisis bioekonomi sumberdaya perikanan tangkap (2).Untuk melihat bagaimana kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (3). Untuk menganalisis biaya transaksi pemberian paket bantuan kepada nelayan. (4).Untuk untuk menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

5 Hasil penelitian menunjukan bahwa (1). Analisis bioekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terhadap jenis ikan pelagis besar pada kondisi MSY, stok ikan adalah ,45 ton, hasil tangkapan adalah ,36 ton, keuntungan adalah Rp Pada kondisi MEY, stok adalah ,22 ton hasil tangkapan adalah ,69 ton dan keuntungan Rp Pengelolaan optimal ikan pelagis besar dengan diskon faktor 8 %, stok yang tersedia adalah ,58 ton, hasil tangkapan adalah ,99 ton dan keuntungan adalah Rp Sedangkan pengelolaan optimal dengan diskon faktor 15 %, stok yang tersedia adalah ,78 ton, hasil tangkapan adalah ,13 ton dan keuntungan adalah Rp Untuk ikan pelagis kecil pada kondisi MSY, stok ikan adalah ,06 ton hasil tangkapan adalah ,24 ton dan keutungan adalah Rp Dalam kondisi MEY stok ikan adalah ,14 ton hasil tangkapan adalah ,11 ton, keuntungan adalah Rp Pengelolaan optimal ikan pelagis kecil dengan diskon faktor 8 %, stok yang tersedia adalah ,61 ton, hasil tangkapan adalah ,85 ton dan keuntungan adalah Rp Sedangkan pengelolaan optimal dengan diskon faktor 15 %, stok yang tersedia adalah ,18 ton, hasil tangkapan adalah ,02 ton dan keuntungan adalah Rp Sedangkan ikan demersal, dalam kondisi MSY stok adalah 1.465,00 ton, hasil tangkapan adalah 616,44 ton, keuntungan adalah Rp Dalam kondisi MEY, stok ikan adalah 1.523,43 ton hasil tangkapan adalah 615,46 ton keuntungan adalah Rp Pengelolaan optimal ikan demersal dengan diskon faktor 8 %, stok yang tersedia adalah 1.510,58 ton, hasil tangkapan adalah 615,85.ton dan keuntungan adalah Rp Sedangkan pengelolaan optimal dengan diskon faktor 15 %, stok yang tersedia adalah 1.499,35 ton, hasil tangkapan adalah ton dan keuntungan adalah Rp (2).Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan melibatkan berbagai aktor yaitu pihak pemerintah, swasta dan nelayan dalam suatu bentuk kelembagaan di Kabupaten Maluku Tengah, yang mengakibatkan adanya pola interaksi antar masing-masing sektor, terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. (3)Biaya transaksi pemberian paket bantuan di Kecamatan Leihitu berupa biaya seleksi sebesar Rp , biaya pembinaan sebesar Rp dan biaya monitoring sebesar Rp , dimana hasil analisis menunjukan bahwa biaya transaksi tersebut berada pada tingkat efisien pada pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah Pendapatan nelayan, menunjukan adanya peningkatan dari Rp sebelum adanya paket bantuan menjadi Rp setelah adanya paket bantuan, peningkatan tersebut mencapai kisaran yang signifikan yaitu sebesar 158 % hal ini secara ekonomi, kebijakan pemerintah telah memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nalayan tradisional di Kecamatan Leihitu. (4).Pola perumusan kebijakan bersifat bottom up, karena dianggap lebih menyentuh permasalahan yang dihadapi oleh nelayan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah dan lebih diarahkan kepada peningkatan hasil produksi perikanan sebesar-besarnya, sehingga secara ekonomi telah dapat meningkatkan pendapatan nelayan di sektor perikanan. (5). Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tengah dari hasil penelitian menunjukan bahwa lebih diarahkan untuk meningkatkan hasil produksi sebesar-besarnya yang bertujuan agar dapat memehuhi permintaan pasar ekspor.

6 Akibatnya pemerintah lebih canderung mengarahkan pemberian paket bantuan kepada nelayan untuk dapat menangkap ikan dalam jumlah sebesar-besarnya. Kondisi ini kemudian berdampak kepada kondisi keberlanjutan (sustainability) sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Dari laporan tahunan dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tengah tahun , terlihat adanya kenaikan hasil tangkapan dari tehun ke tahun selama kurun waktu tersebut, khususnya untuk jenis ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Jika dilihat dari hasil produksi aktual dan produksi lestari dari kedua jenis komoditas ini seperti yang terlihat pada analisis bioekonomi sumberdaya ikan sebelumnya, terlihat bahwa hasil tangkap aktual untuk komoditas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil telah melampaui hasil tangkapan lestari. Ini menujukan bahwa kondisi sumberdaya ikan untuk kedua jenis komoditas tersebut menglami ancaman dalam konteks keberlanjutn sumberdaya ikan kedepan. Sebaliknya untuk jenis komoditas demersal dari hasil analisis bioekonomi menunjukan bahwa hasil tangkapan aktual masih berada di bawah hasil tangkapan lestari ini artinya dari konteks sustainability komoditas ini masih layak untuk ditingkatkan hasil produksi. Dalam kaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah didalam mengelola sumberdaya ikan yang ada, telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan kecil. Dari hasil analisis yang dilakukan, bahwa terjadi peningkatan pendapatan nelayan dengan diberikannya paket bantuan berupa sarana-prasarana penangkapan ikan oleh pemerintah sehingga terjadi peningkatan jumlah produkasi ikan dan berakibat kepada peningkatan pendapatan nelayan yang sangat signifikan yaitu sebesar 185 %, akan tetapi jika dikaitkan dengan keberlanjutan sumberdaya, maka kenaikan pendapatan ini secara ekonomi, hanya bersifat jangka pendek mengingat kondisi sumberdaya ikan mengalami over fishing. Ini berarti bahwa dalam jangka panjang akan berakibat kepada menurunnya pendapatan masyarakat nelayan sebagia akibat dari lebih tingginya hasil tangkapan. Program-program yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah menunjukan adanya keberhasilan terkait dengan sasaran produksi perikanan yaitu untuk meningkatkan jumlah hasil tangkapan sebesar-besarnya. Dengan demikian maka secara kelembagaan, keterkaitan antara pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan nelayan, telah menunjukan adanya sinkronisasi secara kelembagaan, yang memang pada dasarnya keterkaitan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi sebagai pengambil kebijakan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan disisi lain dengan adanya kebijakan tersebut dapat berakibat terhadap adanya perbaikan kondisi sosial ekonomi kearah yang lebih baik. Dengan demikian, maka keberadaan lembaga Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Akan tetapi tingkat kesejahteraan nelayan ini akan dirasakan dalam waktu jangka pendek, mengingat kebijakan tersebut telah berakibat terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan kedepan dimana telah terjadi over fishing, yang sebetulnya tidak disadari oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan. Kata Kunci : Kebijakan, Biaya Transaksi, Sumberdaya, Perikanan Tangkap.

7 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

8 ANALISIS KEBIJAKAN DAN BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN MALUKU TENGAH. STUDI KASIS DI KECAMATAN LEIHITU. ACHMAD ZAKY MARASABESSY Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 PENGUJI LUAR KOMISI: Akhmad Solihin, S.Pi. MH.

10 Judul Tesis Nama NRP : Analisis Kebijakan dan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tengah: Studi Kasus di Kecamatan Leihitu. : Achmad Zaky Marasabessy : H Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Dr. Ir Aceng Hidayat, M.T. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 19 April 2010 Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji dan syukur di sampaikan kepada Allah SWT, atas karunia dan rahmatnya-nya, sehingga penulis diberikan kesempatan untuk dapat merampungkan tesis ini dengan judul Analisis Kebijakan dan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tengah (Studi Kasus: Kecamatan Leihitu). Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi program pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini antara lain; 1. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin,M.Si dan Dr. Ir. Aceng Hidayat MT. selaku team komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, 3. Bapak Akhmad Solihin, S.pi, MH. Yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi peguji luar komisi dalam sidang akhir sebagai syarat dalam penyelesaian studi ini. 4. PKSPL, sebagai lembaga yang telah memberikan bantuan fasilitas belajar selama masa perkuliahan hingga selesai. 5. Ayahanda dan Ibunda Tercinta Hi. Achmad Marasabessy dan Hj. Siti Hadijah Marasaebssy (alm) yang selalu memberikan doa restu sehingga penulisan ini dapat diselesaikan. 6. Istri dan anak tercinta Nia dan Ai, yang telah memberikan dorongan baik moril maupun material, sehingga memacu semangat dan insprirsi penulis dalam menyelasaikan Tesis ini. 7. Universitas Darussalam Ambon, yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan dan biaya selama proses pendidikan berlangsung. 8. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, yang telah bersedia memberikan informasi berupa data yang terkait dengan penelitian ini.

12 9. Ibu Muti di bagian sekretariat ESK. Yang telah membantu memperlancar administrasi selama masa perkuliahan. 10. Keluarga besar dan rekan rekan pada program studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, terutama Mas Bambang, Fajri dan Kastana 11. Seluruh keluarga besar yang pada kesempatan ini tidak dapat disebutkan satu demi satu 12. Pihak-pihak yang telah membantu dalam merampungkan Hasil penelitian ini Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini, masih banyak hal yang perlu disempurnakan, mengingat sebagai manusia biasa penulis merasa pengetahuan yang di miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengharapkan adanya saran-saran yang positif dalam rangka penyempuraan penulisan ini ke arah yang lebih baik sehingga hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang akan menggunakannya. Bogor, April 2010 Achmad Zaky Marasabessy

13 RIWAYAT HIDUP Nama lengkap penulis Achmad Zaky Marasabessy, dilahirkan di Ambon, 19 September 1967, dari Pasangan Ayahanda Hi. Achmad Marasabessy dan Ibunda Hj. Siti Hadijah Marasabessy (Alm) sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara. Tahun 1987 penulis kuliah pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon. Lulus Sarjana Pertanian dari Universitas Pattimura pada tahun Semenjak lulus, penulis menekuni beberapa bidang pekerjaan antara lain, sebagai staf pada perusahaan Djati Goup di Ambon, Bekerja Pada PT. Silva Inhutani di Lampung, sebagai pegawai honorarium di Dinas Pertanian Provinsi Maluku. Pada tahun 2003, penulis menjadi staf pengajar di Universitas Darussalam Ambon hingga sekarang. Tahun 2007, penulis melanjutkan studi di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus tahun Pada Bulan Maret 1995, penulis menikah dengan Hj. Husnia Marasabessy, SE, M.M dan sampai saat ini telah dikaruniai seorang putra bernama Muhammad Ali Marasabessy.

14 RIWAYAT HIDUP Nama lengkap penulis Achmad Zaky Marasabessy, dilahirkan di Ambon, 19 September 1967 dari pasangan Ayahanda Hi. Achmad Marasabessy dan Ibunda Hj. Siti Hadija Marasabessy (alm) sebagai anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara. Pada tahun 1987, penulis berkesempatan kuliah di jurusan budidaya pertanian, program study sosial ekonomi pertanian pada fakuktas pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus sarjana pertanian dari Universitas Pattimura tahun Semenjak lulus, penulis sempat bekerja pada PT. Djati Grup, kemudian pada PT. Silvainhutani, dan sempat bekerja sebagai tenaga honorer pada instansi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Maluku. Pada Tahun 2004 sampai saat ini penulis aktif sebagai tenaga pengajar pada Universitas Darussalam Ambon. Pada tahun 2007, penulis mel;anjutkan studi di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun Pada bulan April 1995, penulis menikah dengan Hj. Husnia Marasabessy, SE, MM dan saat ini telah dikaruniai seorang putra bernama Muhammad Ali Marasabessy.

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. i DAFTAR GAMBAR..... i ii DAFTAR LAMPIRAN.... iii ii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Biaya Transaksi Klasifikasi Biaya Transaksi Karakteristik dan Faktor Berpengaruh Terhadap Biaya Transaksi Analisis Kabijakan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya Perikanan Perikanan Sebagai Sebuah Sistem Defenisi Karakteristik Nelayan III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Metode Penentuan Sampel... 34

16 4.6. Analisis Bioekonmi Sumberdaya ikan Langkah-Langkah Dalam Pemodelan Penghitungan Stok Ikan Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan Desain Kelembagaan Analisis Pendapatan Terhadap Kesejahteraan Nelayan Analisis Biaya Transaksi.. 46 V. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1. Kondisi Geografi Wilayah Iklim Penduduk Mata Pencaharian Tingkat Pendidikan Rumah Tangga perikanan (RTP) Koperasi Transportasi Laut Kondisi Yang Diinginkan Proyeksi ke Depan Sentra Produksi Perikanan Klaster Industri Perikanan Terpadu. 57 VI. Hasil dan Pembahasan 6.1. Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Tangkap Analisis Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap VII. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Produktifitas kapal penangkap ikan Tebel 2. Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi.. 25 Tabel 3. Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya Tabel 4. Matriks jenis dan sumber data. 32 Tabel 5.Jumlah penduduk dirinci berdasarkan jenis kelamin Tabel 6.Presentase jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan 50 Tabel 7.Jumlah Rumah tangga perikanan dan Penjual Ikan (Papalele) di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Tahun Tabel 8. Distribusi jumlah koperasi 52 Tabel 9. Pelabuhan umum. 53 Tabel 10.Kondisi yang diinginkan dan proyeksi ke depan. 54 Tabel 11. Jumlah tangkapan ikan pelagis besar Tabel 12. Jumlah tangkapan ikan pelagis kecil.. 59 Tabel 13. Jumlah tangkapan ikan demersal. 61 Tabel 14. Jumlah produksi dan effort jenis ikan pelagis besar Tabel 15. Jumlah produksi dan effort jenis ikan pelagis kecil. 65 Tabel 16. Jumlah produksi dan effort jenis ikan demersal.. 67 Tabel 17. Parameter biologi. 69 Tabel 18. Biaya ikan pelagis besar dan kecil dengan alat tangkap jaring.. 70 Tabel 19. Biaya ikan pelagis besar dan kecil dengan alat tangkap pancing. 70 Tabel 20. Biaya ikan demersal Tabel 21. Biaya riil ikan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal 72 Tabel 22. Perbandingan produksi aktual dan lestari 74 Tabel 23. Hasil analisis bioekonomi ikan pelagis besar. 77 Tabel 24. Pengelolaan optimum pada ikan pelagis besar. 78 Tabel 25. Hasil analisis bioekonomi ikan pelagis kecil. 80 Tabel 26. Pengelolaan optimum pada ikan pelagis kecil. 80 Tabel 27. Hasil analisis bioekonomi ikan demersal. 82

18 Tabel 28. Pengelolaan optimum pada ikan demersal Tabel 29. Potensi perikanan laut perdasarkan jenis ikan 83 Tabel 30. Potensi ikan pelagis besar Tabel.31. Potensi ikan pelagis kecil Tabel 32. Potensi ikan pelagis demersal 86 Tabel 33. Potensi ikan karang.. 87 Tabel 34. Jumlah armada tangkap dirinci menurut desa 89 Tabel.35. Jumlah Alat Tangkap Kabupaten Maluku Tengah.. 89 Tabel 36. Perbandingan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah adanya paket bantuan. 97 Tabel 37. Harga ikan pelagis besar Tabel 38. Harga ikan pelagis kecil 116 Tabel 39. Harga ikan demeral Tabel 40. Komponen biaya transaksi. 133 Tabel 41. Rasio biaya seleksi terhadap total biaya transasksi Tabel 42. Rasio biaya pembinaan terhadap total biaya transasksi Tabel 43. Rasio biaya monitoring terhadap total biaya transasksi Tabel 44. Biaya transaksi dan paket bantuan 136 Tabel 45. Rasio biaya transaksi terhadap biaya paket bantuan. 137 Tabel 46. Biaya transaksi pemberian paket bantuan. 139 Tabel 47. Pendapatan nelayan setelah adanya paket bantuan Tabel 48. Perbandingan pendapatan dan biaya transaksi.. 140

19 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan. 10 Gambar 2. Skema tingkatan biaya transaksi 13 Gambar 3. Faktor-faktor yang berpengaruh tarhadap biaya transaksi. 14 Gambar 4. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah Gambar 5. Aransemen kelembagaan kelautan Gambar 6. Perikanan sebagai sebuah sistem.. 23 Gambar 7. Pengelompokan nelayan Gambar 8. Kerangka pendekatan studi Gambar 9. Kerangka analisis kelembagaan. 34 Gambar 10. Lokasi Penelitian.. 48 Gambar 11. Sentra Produksi Perikanan Gambar 12. Letak Klester Industri Perikanan Terpadu Gambar 13. Produksi kelompok ikan pelagis besar 58 Gambar 14. Produksi kelompok ikan pelagis kecil.. 60 Gambar 15. Produksi kelompok ikan demersal 62 Gambar 16. Perbandingan jumlah tangkapan dan effort ikan pelagis besar Gambar 17. Perbandingan jumlah produksi dan effort ikan pelagis kecil 66 Gambar 18. Perbandingan jumlah produksi dan effort ikan demersal.. 68 Gambar 19. Perbandingan aktual dan lestari ikan pelagis besar.. 75 Gambar 20. Perbandingan aktual dan lestari ikan pelagis kecil 75 Gambar 21. Perbandingan aktual dan lestari ikan demersal. 76 Gambar 22. Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan. 101 Gambar 23. Tata kelola sumberdaya perikanan 108 Gambar 24. Alur rantai pemasaran perduksi ikan Gambar 25. Pemetaan aktor pengelolaan sumberdaya ikan Gambar 26. Hubungan kelembagaan dan aktor pengelolaan sumberdaya ikan

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Daftar kuisioner penelitian Lampiran 2. Perhitungan regresi ikan pelagis besar Lampiran 3. Perhitunga bioekonomi ikan pelagis besar. 143 Lampiran 4. Perhitungan regresi ikan pelagir kecil 150 Lampiran 5. Perhitungan bioekonomi ikanpelagis kecil Lampiran 6. Perhitungan regresi ikan demersal. 158 Lampiran 7. Perhitungan bioekonomi ikan demersal Lampiran 8. Hasil perhitungan CPUE dan KQ ikan pelagis besar. 166 Lampiran 9. Hasil Perhitungan CPUE dan nilai KQ Ikan Pelagis Kecil 167 Lampiran 10. Hasil perhitungan CPUE dan KQ ikan demersal Lampiran 11. Penerimaan nelayan sebelum adanya kebijakan. 169 Lampiran 12. Penerimaan nelayan setelah adanya kebijakan 170 Lampiran 13. Biaya produksi sebelum adanya kebijakan. 171 Lampiran 14. Biaya peroduksi setelah adanya kebijakan Lampiran 15. Indeks Harga Konsumen dan harga rill ikan pelagis besar, 173 ikan pelagis kecil dan ikan demersal Lampiran 16. Inflasi dan biaya rill ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal. 174 Lampiran 17. SK. Kepala Dinas Kalautan dan Perikanan Mal-Teng 175 Lampiran 18. Matriks program limatahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Lampiran 19. Dokumentasi Penelitian.. 185

21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negera bahari yang memiliki sumberdaya ikan sangat potensial. Dengan karakteristik kelautan tropika, maka salah satu sektor andalan sumberdaya kelautan adalah sektor perikanan tangkap. Manurut Kusumastanto (2006), karakeristik laut negara-negara tropis dicirikan dengan jumlah kandungan sumberdaya perikanan yang terdiri dari berbagai macam spesies ikan lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara sub tropis, hal ini disebabkan karena laut tropika mempunyai ciri ekosistem pendukung berupa terumbu karang, padang lamun dan mangrove sebagai tempat berkembang biaknya berbagai jenis spesies ikan. Kondisi ini, secara ekonomi menguntungkan bagi Indonesia karena sektor perikanan dapat dijadikan sebagai salah satu ujung tombak bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan pegelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia selama ini lebih ditujukan untuk meningkatkan jumlah produksi perikanan dengan mendayagunakan masyarakat nelayan, baik nelayan skala besar seperti nelayan industri maupun nelayan skala kecil yang terdiri dari nelayan tradisional. Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB nasional non-migas selama tahun mencapai pertumbuhan rata-rata 37,06 persen. Kontribusi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti pertanian, peternakan, serta kehutanan. Bahkan, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional yang semula di bawah 1,0 persen kini telah menjadi 10 persen. Tingginya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB Nasional, tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya nelayan kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan, hampir diseluruh wilayah Indonesia. Menurut

22 2 Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPP HNSI, 2008 ), sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90% dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian ada indikasi bahwa kebijakan yang dilakukan selama ini lebih banyak dirasakan hasilnya oleh nelayannelayan komersial skala besar, sebabnya adalah tingkat keuntungan dan hasil tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan skala besar / industri lebih tinggi di bandingkan dengan nelayan kecil. Keterbatasan modal dan teknologi alat tangkap marupakan kendala utama dalam meningkatkan produksi hasil tangkapan nelayan kecil. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya nelayan kecil untuk keluar dari kondisi kemiskinan yang membelenggu mereka selama ini. Penggunaan pendekatan produktifitas dalam pemecahan persoalan kemiskinan nelayan perlu dilengkapi dengan pendekatan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih terarah pada konteks kearifan lokal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya perikanan. Disamping pendekatan produktifitas dalam rangka pemecahan masalah kemiskinan nelayan tersebut, terdapat faktor lain yang selama ini terabaikan dan kurang diperhitungkan oleh pemerintah sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pendekatan tersebut adalah faktor non produktifitas dimana salah satunya yang jarang dilakukan adalah pendekatan biaya transaksi (transaction cost) yang secara umum dapat diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan selain dari biaya produksi. Dalam hal itu, maka faktor yang tidak dapat diabaikan juga adalah bagaimana sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai bagian yang tidak kalah penting, karena sistem kelembagaan perikanan yang baik akan menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan nelayan khususnya nelayan tradisional. Terkait dengan permasalahan tersebut di atas, maka bagaimana suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dicanangkan oleh pemerintah dapat menyentuh aspek kehidupan masyarakat nelayan tradisional secara berkelanjutan (social sustainability). Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang dilaksanakan dapat memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat

23 3 nelayan khususnya nelayan tradisional serta kelestarian sumberdaya perikanan tetap terjaga oleh seluruh komponen pangguna terutama nelayan. Faktor yang tidak kalah penting adalah dari proses sampai penerapan suatu kebijakan harus diupayakan menekan serendah mungkin terjadinya biaya transaksi. Tingginya biaya transaksi dapat menyebabkan implementasi kebijakan tidak berjalan sesuai yang diharapkan, hal ini dimungkinkan karena pemerintah harus mengeluarkan biaya ekstra untuk merancang suatu kebijakan dan mengimplementasikannya kepada nelayan akibatnya adalah jika biaya transaksi dalam suatu kebijakan tidak ditekan serendah mungkin, maka akan berpengaruh terhadap kinerja kebijakan tersebut Perumusan Masalah Kabupaten Maluku Tengah memiliki keragaman kandungan sumberdaya perikanan sehingga memberi peluang bagi dunia usaha untuk penanaman dan pengembangan investasi. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan dan memiliki peluang cukup besar dibanding sektor-sektor lain. Hal ini dapat terlihat jelas dengan adanya berbagai perusahaan perikanan yang beroperasi di daerah ini dalam mengeksploitasi berbagai sumber daya perikanan guna memperoleh devisa maupun pendapatan daerah serta peningkatan pendapatan nelayan yang ada di daerah tersebut. Sejalan dengan hal ini, maka arah pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan, mutu dan pemasaran dalam rangka peningkatan eksport dan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Hal ini karena potensi sumberdaya laut yang mendukung berupa, perikanan tangkap meliputi luas wilayah laut Km 2 dengan panjang garis pantai Km dari luas wilayah Km 2. Potensi sumberdaya ikan yang dimiliki sebesar ton/tahun dengan, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi (JTB) adalah sebesar ton/tahun. Dari potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar ton/tahun, sedangkan jumlah nelayan adalah Dengan didukung oleh sejumlah sarana

24 4 dan prasarana berupa perahu tanpa motor/ jukung sebanyak buah, motor kecil buah, motor sedang sebanyak 324 buah, motor besar sebanyak 14 buah dan jumlah perahu motor tempel sebanyak 682 buah.( Dinas Perikanan Maluku Tengah, 2005) Arah pembangunan perikanan itu kemudian dilaksanakan melalui kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan melalui penetapan strategi kebijakan pelaksanaan, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi ; 1. Penataan pengelolaan perairan di wilayah laut kabupaten/kota. 2. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kabupaten/kota. 3. Konservasi dan pengelolaan plasma nuftah spesifik lokal serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. 4. Pelayanan izin usaha di bidang perikanan serta pengawasan pemanfaatannya. Salah satu wilayah potensi perikanan di Kabupaten Maluku Tengah adalah Kecamatan Leihitu dengan kandungan sumberdaya perikanan dan berbagai spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Permasalahan yang dihadapi sekarang ini oleh nelayan setempat adalah persoalan kemiskinan nelayan yang sampai saat ini sedang dicari solusi pemecahannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional di Kecamatan Laihitu yang kebanyakan belum dapat mencukupi kebutuhan hidup dengan mengandalkan sektor perikanan sebagai sumber mata pencaharian. Hal ini kemudian didukung dengan implementasi kebijakan pemerintah yang selama ini dirasakan belum optimal terhadap masyarakat nelayan tradisional sehingga dampaknya tidak dirasakan masyarakat nelayan tradisional pada umumnya. Disamping itu, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingginya biaya transaksi dapat menyebabkan suatu kebijakan menjadi tidak efisien karena alokasi biaya terhadap suatu kebijakan lebih tinggi dari pada apa yang diharapkan. Kondisi ini dapat mempengaruhi optimalisasi kinerja kebijakan baik berupa perumuskan kebijakan sampai kepada tingkat implementasi kebijakan tersebut di tingkat nelayan. Dengan kata lain, pengambil kebijakan dalam hal ini pihak

25 5 pemerintah daerah ketika merumuskan sampai implementasi suatu kebijakan harus melakukan pilihan atas strategi kombinasi antara kegiatan dan biaya transaksi yang memberikan hasil optimal, yakni kegiatan yang menghasilkan outcome tinggi dengan biaya transaksi murah yang oleh Williamson (1995 a) disebut strategizing dan economizing. Mengacu pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji adalah : Bagaimana kondisi bioekonomi sumberdyaa perikanan tangkap terkait dengan keberlanjutan pengelolaannya?. Bagaimana bentuk kelembagaan terutama tata kelola sumberdaya perikanan tangkap?. Apa kebijakan pemerintah dan bagaimana pola perumusannya terkait pengelolaan sumberdaya perikanan?. Berapa besar biaya transaksi pemberian paket bantuan sebagai implementasi kebijakan meliputi biaya seleksi, biaya pembinaan dan biaya monitoring sampai ke tingkat nelayan?. Bagaimana dampak pemberian paket bantuan terhadap tingkat kesejahteraan nelayan? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis aspek bioekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan tankap 2. Menganalisis kelembagaan dan biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 3. Menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan dampaknya terhadap pendapatan nelayan Kegunaan penelitian Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara akademik yang lebih komprehensif untuk melihat bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan dengan melibatkan

26 6 peranan dari berbagai pihak secara kelembagaan dan akan bermuara peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan tradisional. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan kepada pemerintah daerah terutama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku untuk dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan secara berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan dampak positif dalam mengingkatkan taraf hidup masyarakat khususnya nelayan tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Maluku Tengah.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan Nikijuluw (2002) mengungkapkan bahwa dalam pengelolaam sumberdaya perikanan, terdapat dua rezim pengelolaan sumberdaya ikan yang dikenal oleh masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah atau yang dikenal dengan sentralistis (Government Centralized Management/ GCM ) dan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis mesyarakat ( Community Based management/ CBM). Pengelolaan sentralistik adalah rezim pengelolaan dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur hak ekslusif dan hak mengalihkan. Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir, dll. Hal ini karena model penerapan kebijakan bersifat top- down, sehingga menempatkan masyarakat sebagai sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu model ini mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku sudah sejak lama (turun temurun) di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di beberapa daerah masyarakat pesisir. Kegagalan model sentralistik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah meciptakan permasalahan yang kompleks di masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pesisir dan pantai, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan cara mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka mewujudkan visi pembangunan perikanan berkelanjutan yang mempu mensejahterakan para pelakunya. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu model lama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini termarginalkan oleh sistem pemerintahan sentralistis. Model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir di Indonesia seperti awigawig di Lombok, sasi di Maluku, rompong di Sulawesi Selatan, panglima laot di

28 8 Nangroe Aceh Darussalam, kewang di Riau dan beberapa daerah di kawasan Indonesia Timur (Wahyono et.al 2000, Satria et.al 2002 dan Indar et. al 2002) Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untk mengelola sumberdaya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan dan keinginan, tujuam dan aspirasinya ( Nikijuluw 2002 ). Dengan model ini, masyarakat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan sebagia mata pencaharian hidup sehari-hari. ( Satria et.al 2002). Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien, karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengkomodir setiap aspirsi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondsi daerahnya. (Satria et.al 2002) Biaya Transaksi Dalam menelaah hubungan antara pengelolaan suatu sumberdaya, ada kencenderungan bahwa meningkatnya pendapatan dan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat, maka satu-satunya aspek yang dianggap mempengaruhi adalah persoalan produktifitas. Akan tetapi ada faktor lain yang selama ini terabaikan yaitu faktor non produktifitas. Salah satu faktor non produktifitas tersebut adalah biaya transaksi ( tranasaction cost). Rumusan biaya transaksi pertama kali dikemukakan oleh Ronald H. Coase pada tahun 1937 sebagai kerangka pemikiran baru untuk menganalisis transaksi dalam perusahaan. Namun, setelah itu para ekonom gagal mengoperasionalisasikan konsep tersebut, sampai akhirnya dikembangkan oleh Williamson (1995.b) yang menyebut upaya yang dilakukannya sebagai kelembagaan ekonomi baru (the new institutional economics) yang berasal dan merupakan cabang dari biaya transaksi (transaction costs). Williamson memperkenalkan konsep transaction cost of

29 9 economics (TCE atau ekonomi biaya transaksi dan sering disebut biaya transaksi ) yang merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu yang terdiri dari ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan ilmu organisasi. Williamson (1995.a) menyebutkan, Transaction Cost Economic (TCE) mengasumsikan bahwa dalam satu usaha cenderung untuk mencari biaya transaksi yang paling murah, antara lain membandingkan biaya transaksi melalui pasar (market transaction) dengan biaya transaksi di dalam perusahaan sendiri (hierarchical transaction) atau dikenal dengan istilah make or buy. Timbulnya TCE, disebabkan oleh kegagalan pasar (market failure) sebagai konsekuensi dari perilaku oprtunis (opportunistic) dan rasionalitas yang dibatasi (bounded rationality) oleh pihak-pihak yang berinteraksi. Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya biaya transaksi adalah biaya yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan pertukaran dalam dunia yang informasinya tidak sempurna, banyak aktor yang berperilaku opportunistic, dan rasionalitas para pelakunya yang terbatas. Dalam hal ini, loopholes atau celah dalam suatu peraturan perundang-undangan (institutional arrangement) dapat menimbulkan beda persepsi yang selanjutnya akan meningkatkan biaya transaksi. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu transaksi terjadi manakala suatu jasa atau kebaikan di transfer melalui teknologi penghubung yang dapat dipisah-pisah. Terkait pengelolaan sumberdaya, Allen (1991) mengatakan dalam pengelolaan suatu sumberdaya, hak kepemilikan (property right) dari pada sumberdya tersebut harus jelas sehingga pihak lain tidak akan mengklaim sebagai hak kepemilikan pihak tersebut. Lebih lanjut,allen (1991) mendefenisikan biaya transaksi sebagai biaya yang digunakan untuk melindungi dan memelihara suatu sumberdaya dan menetapkan hak kepemilikan atas sumberdaya tersebut. Dalam hal ini termasuk didalamnya adalah melindungi hasil tangkapan (harus dilakukan sesuai dengan izin) dari pemilik sumberdaya, terutama setiap biaya untuk memelihara sumberdaya dari eksploitasi oleh pihak-pihak tidak memiliki hak terhadap sumberdaya tersebut.

30 10 Abdullah et.al dalam Fishery Transaction Cost (1998) mengelompokan biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan menjadi 3 kategori: (i) biaya untuk memperoleh informasi, (ii) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (iii) biaya operasional bersama. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak dilakukan ( ex ante transaction cost) sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan kontrak (ex post transaction cost). Jabaran biaya transaksi dan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Abdullah et.al.(1998). dapat dilihat pada Gambar 1. Biaya Transaksi Dalam Komanajemen Perikanan Biaya Informasi Biaya Pengambilan Keputusan Bersama Biaya Operasional Bersama Pengetahuan Sumberdaya Mamperoleh dan mengunakan informasi Biaya penyusunan strategi dan free riding * Menghadapi masalah dibidang perikanan * Keikut sertaan dalam pertemuan dan rapa * Membuat Kabijakan dan aturan * Menyampaikan hasil keputusan * Melakukan koordinasi dengan pihak berwenang, pusat dan daerah Biaya Pemantuan,Penegakan & Pengendalian Biaya Mempertahankan kondisi sumberdaya Biaya distribusi sumberdaya Pemantauan aturan perikanan * Perlindungan terhadap hak penangkapan * Distribusi hak Pemantuan lokasi penangkapan * Peningkatan stok sumberdaya penangkapan * Biaya Kelemba- Pemantauan input untuk kegiatan * Evaluasi kondisi sumberdaya gaan dan keikut- Penangkapan sertaan Manajemen atau resolusi konflik Pemberian sanksi terhadap setiap Pelanggara. Gambar 1. Skema Biaya Transaksi dalam Ko-manajemen Perikanan. Menurut Kuperan dan Pomeroy diacu dalam Makino dan Matsuda (2005), biaya transaksi perikanan digolongkan dalam tiga kategori yang utama yaitu : 1).Biaya-

31 11 biaya informasi; adalah biaya untuk memperoleh informasi dari mereka yang mempunyai pengetahuan tentang sumberdaya perikanan, serta untuk memperoleh informasi tentang organisasi perikanan secara kolektif (Collective Fisheries). 2). biaya-biaya pengambilan keputusan secara kolektif sektor perikanan adalah biayabiaya yang dialokasikan untuk persiapan pertemuan-pertemuan, pembuatan kebijakan/peraturan, sosialisasi kebijakan, dan koordinasi dengan Pemerintah pusat dan daerah (Collective Operational) 3).Biaya-biaya operasional dalam suatu sistem manajemen dari tingkat pimpinan sampai ke bawahan, yang dibagi dalam tiga bagian yaitu : biaya penyelenggaraan, monitoring dan pemenuhan yang meliputi biaya pemeliharaan sumberdaya dan biaya distribusi sumberdaya Klasifikasi Biaya Transaksi Biaya transaksi menurut Furubotn dan Richer (2000), diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Biaya Transaksi Pasar Seluruh biaya yang dikeluarkan agar barang / jasa bisa sampai ke pasar. Biaya persiapan kontrak (biaya pencarian/pengadaan informasi); biaya pembuatan kontrak (biaya bargaining /negosiasi dan pembuatan keputusan); biaya monitoring dan penegakan kontrak ( biaya supervise dan penegakan kesepakatan) merupakan biaya yang harus dikeluarka agar pasar dapat berjalan. Dalam biaya transaksi pasar, biaya mencari atau menyediakan informasi meliputi biaya pembuatan atau pemasangan iklan, mendatangi calon pemakai, pelanggan, mengikuti pameran, kegiatan pasar mingguan, biaya komunikasi (post, telepon dll) biaya pengujian kualitas, dan biaya mencari pegawai yang berkualitas. Bargaining dan decision cost meliputi biaya yang dikeluarkan agar informasi yang dikumpulkan dapat memberikan manfaat terhadap informasi yang diperoleh, biaya konsultan dll. Supervision dan enforcement cost meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengawasi pengiriman barang agar sampai tepat waktu, mengukur kualitas dan jumlah produk yang ditransaksikan, biaya penegakan kontrak agar berjalan sesuai kesepakatan.

32 12 2. Biaya Transaksi Managerial Biaya yang dikeluarkan untuk mengimplementasikan kontrak kerja antara pihak pekerja dengan perusahaan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan terkait dengan upaya menciptakan keteraturan dalam perusahaan atau organisasi, juga merupakan biaya transaksi managerial yang meliputi: (1). biaya membuat, mempertahankan atau merubah rancangan/struktur organisasi, biaya personal management, mengembangkan ilmu dan teknologi untuk kemudahan menjalankan organisasi, biaya mempertahankan kemungkinan pengambilalihan pihak lain, hubungan masyarakat dan lobby. (2). biaya menjalankan organisasi meliputi: biaya informasi (biaya pembuatan keputusan, pengawasan pelaksanaan perintah sesuai keputusan, mengukur kinerja pegawai, biaya agen, management informasi. Termasuk juga biaya pemindahan barang intra perisahaan. 3. Biaya Transaksi Politik Biaya terkait pembuatan tata aturan/ kelembagaan sehingga transaksi pasar dan managerial dapat bisa berlangsung dengan baik, meliputi: (1). biaya pembuatan, pemeliharaan, pengubahan organisasi politik formal dan informal, seperti biaya penetapan kerangka hukum, struktur organisasi pemerintahan, militer, sistem pendidikan, pengadilan dll. (2). biaya menjalankan bentuk pemerintahan, peraturan pemerintah atau masyarakat yang bertata negara, seperti biaya legislasi, pertahanan, administrasi hukum, pendidikan termasuk didalamnya semua biaya pencarian/pengumpulan dan pengolahan informasi yang diperlukan agar tata pemerintahan dapat berjalan. Biaya upaya pelibatan masyarakat dalam proses politik termasik ke dalam transaksi politik Karakteristik dan Faktor Berpengaruh Terhadap Biaya Transaksi Perusahaan, birokrasi, organisasi dll merupakan contoh-contoh governance (tata kelola). Didalamnya terjadi transaksi atau interaksi antar individu atau antar bagian mengikuti kelembagaan atau aturan main yang berlaku dalam tata kelola tersebut.transaksi dengan pihak luar dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan

33 13 eksternal yang tingkatannya lebih tinggi. Perubahan pada lingkungan kelembagaan eksternal berpengaruh terhadap transaksi yang terjadi antar individual atau antar bagian dengan tata kelola. Negara merupakan sebuah governance. Transaksi terjadi mengikuti kelembagaan internal tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan global. Semakin kompleks transaksi, biayanya semakin mahal. Untuk melihat skema hubungan antara lingkungan kelembagaan dan governance yang berpengaruh terhadap tingginya biaya transaksi, dapat dilihat pada Gambar 2. Lingkungan Kelembagaan Perubahan Perubahan Atribut Perilaku Tata kelola Governance Individu Strategi Preverensi Endogen Gambar 2. Skema tingkatan biaya transaksi (Williamson, 1995.a). Karakteristik transaksi mempengaruhi besaran biaya transaksi. Menurut Williamson (1996), ada tiga karakteristik transaksi yang penting, yaitu: Ketidakpastian, terutama terkait dengan produksi, supply, demand, fluktuasi harga, iklim, kondisi lapangan dan lain-lain. Frekuensi, tergantung pada keadaan dan kemampuan produksi. Produk pertanian, perikanan sangat tergantung pada musim. Transaksi pada musim panen atau saat musim ikan melimpah, berbeda dengan transaksi pada pada musim paceklik. Spesifikasi, yang meliputi site specifity, phisycal asset specifity, dan human asset specifity. Asset yang spesifik membatasi kegiatan tertentu yang memiliki transaksi yang terbatas. Zhang (2002) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi transaksi sebagai berikut: (1). karakteristik benda dan hak atas benda tersebut ( terkait dengan

34 14 informasi benda dan status orang atas benda tersebut). (2). identitas faktor yang terlibat dalam transaksi tersebut, berkenan dengan sifat manusia yang rasional terbatas, yaitu keterbatasan manusia mencari, menerima, menyimpan, mengelola informasi; kekurangan dan ketersediaan informasi. (3). situasi teknis dan sosial penataan pertukaran dan bagaimana pertukaran tersebut dikelola. Apakah pertukaran tersebut hanya karena kekuatan pasar atau ada intervensi kelembagaan yang turut menata kekurangan tersebut. Berdasarkan penjelasan tentang defenisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran biaya transaksi, Beckman (2000), memformulasi empat determinan biaya transaksi, selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 3. Atribut perilaku dari aktor Rasionalitas Terbatas Opportunisme Struktur tata kelola Lingkungan kelembagaan Pasar, hirarki, hybrid Biaya transaksi * Hak milik, kontrak agreemen Regulasi, birokrasi * Budaya Atribut transaksi Ketidakpastian Spesifikasi asset Frekuensi Gambar 3. Faktor-faktor yang berpengaruh tarhadap biaya transaksi (Yustika, 2000) Besarnya biaya transaksi dipegaruhi pertama oleh atribut aktor/pelaku seperti rasionalitas terbatas dan oportunisme. Aktor yang menguasai banyak informasi akan dapat berpikir lebih rasional dan memiliki banyak kesempatan, sehingga bisa menekan biaya transaksi. Besarnya biaya transaksi juga sangat tergantung pada atribut transaksi seperti spesifits asset, ketidakpastian dan frekuensi. Besaran biaya transaksi dipengaruhi juga oleh struktur transaksi apakah berlangsung mengikuti mekanisme pasar, hirarky, hybrid (campuran keduanya) atau berbasiskan regulasi.

35 15 Pola transaksi ini akan berpengaruh terhadap besaran biaya transaksi yang akan dikeluarkan Analisis Kabijakan Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 1998). Menurut Partowidagdo (1999), analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat sosial tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok, dan relatif merugikan kelompok lainnya. Terdapat tiga macam peranan analisis kebijakan; 1. Analisis Objektif. Mereka mangatakan keadaan apa adanya dalam analisisnya dan membiarkan analis menyatakan kebenaran. Kepentingan klien adalah nomor dua. 2. Pembela Klien. Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang definitif dan justru menggunakan kesamaran tersebut demi kepentingan klien. 3. Pembela Isu. Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang definitif dan justru menguatkan kesamaran tersebut dan membuang hal-hal yang tidak menguntungkan jika diperkirakan hasil analisisnya tidak mendukung pembelaan isu tersebut. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujiarn-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para

36 16 pengambil kebijakan mengendalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan; tetapi analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah; juga menghasilkan informasii mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi baik evaluasi maupun anjuran kebijakan (Dunn 1999). Quade dalam Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi, sehingga dapat menjadi dasar bagi paraa pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata "analisa" digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-altematiff baru. Lebih lajut dikatakan bahwa untuk menganalisiss suatu kebijakan, harus dilakukan angkah-langkah yang sesuai dengann prosedur kebijakan. Peran prosedur adalah untuk menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Selanjutnya prosedur analisis kebijakan yang berorientasii pada masalah selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kinerja Kebijakan Evaluasi Peramalan Perumusan Masalah Hasil Kabijakan Masalah Kebijakan Masa Depan Kebijakan Perumusan Masalah Pemantauan Aksi Kebijakan Rekomendasi Gambar 4. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Quade dalam Dunn, 2008)

37 17 Menurut Dunn (1999), ada 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu : 1). Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada? 2). Pendekatan evaluasi adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dan beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu? 3). Pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah lindakan apa yang narus dilakukan? Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisa urnum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. yaitu Deskripsi, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan diambil; sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi (Dunn 1998) Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan MSY. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekrutmen, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi

38 18 pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented). Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan Maximum Sustainable Yield telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian, besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : 1). Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan 2). Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar 3). Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu 2.6. Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pentingnya kebijakan kelautan dalam konteks global merupakan dampak dari perubahan politik dunia sejak tahun 1989 dimana terjadi perubahan cepat dalam bidang transportasi, komunikasi dan interdependensi ekonomi, peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya alam dan spesies dunia, serta

39 19 berakhirnya perang dingin ( dimana terjadi perlombaan senjata kimia, biologi dan nuklir ), dan pada akhirnya memunculkan suatu kesadaran lingkungan di seluruh masyarakat dunia.( Friedheim, 2000 diacu dalam Kusumastanto, 2003 ). Menurut Kusumastanto (2003) dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk sektor perikanan, perlu didukung oleh suatu kelembagaan yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam hal ini pada tingkat lembaga politik, diimplementasikan ke lembaga departemen dan non departemen yang mempunyai keterkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya kelautan, stakeholder dan masyarakat. Secara lengkap aransemen kelembagaan kelautan dan perikanan dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkatan Politis Ocean Policy Eksekutif Presiden Gubernur Bupati Walikota Legislatif DPR DPRD Implementasi / Pengaturan Kelembagaan Lembaga Pemerintah Dept/non dept Menkoekuin Bappenas Dept. ESM Deperindak DKP Pariwisata seni dan Budaya Dephan POLRI Depkeu Depkeh & Ham Ristek Depnakertans Dephub Depdiknas Dinas Daerah TNI-AL Koperasi dan UKM Mabes TNI LIPI LH BPK,BPKP, IRJEN Masyarakat/ Stakeholders Nalayan Petani Ikan Pengusaha Hasil Akhir (Outcome) Alur Kebijakan Pola Interaksi Implikasi Evaluasi Gambar 5. Aransemen Kelembagaan Kelautan (Kusumastanto, 2003)

40 20 Salah satu bidang kelautan yang menyentuh langsung kondisi sosial ekonomi masyarakat adalah sektor perikanan dimana sesuai dengan ketentuan hukum nasional Indonesia seperti Undang- undang (UU) No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan terutama Pasal 6 menjelaskan tujuan pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diantaranya untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut, maka Menteri menetapkan rencana pengelolaan perikanan, potensi dan alokasi sumberdaya ikan dan wilayah pengelolaan perikanan (WPP); jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WWP; jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan, dan lain-lain (Pasal 7). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP 23/MEN/2001 tentang Produktifitas Kapal Penangkap Ikan, sebenarnya sudah menghadirkan dasar perhitungan kapasitas penangkapan ikan karena didalammya terdapat data estimasi produktifitas kapal dikaitkan dengan ketentuan mengenai perijinan dan pungutan perikann yang diatur oleh pemerintah pusat (kapal-kapal berukuran 30 Gross Tonnage atau lebih). Tingkat produktifitas kapal penangkap ikan dan komposisi hasil tangkap menurut jenis alat penangkap yang dipergunakan dalam perhitungan Pungutan Hasil Perikanan (PHP), selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produktifitas Kapal Penangkap Ikan. No Jenis Alat tangkap HasilTangkapan Produktifitas (ton/gt/tahun) 1. Pukat Udang Udang 0,40 Ikan Pukat Ikan Ikan 4,00 Udang 0,05 3. Longline ( Rawai tuna ) Ikan 0,60 4. Pancing rawai dasar Ikan 1,00 5. Pukat cincin pelagis kecil Ikan 1,30 6. Pukat cincin 6.1 operasi 1 kapal Ikan 2,00 Pelagis besar 6.2 Operasi secara terpadu Ikan I2,50 7. Huhate Ikan 1,50 8. Sguid jig Cumi-cumi 0,30 9. Bouke ami Ikan dan cumi-cumi 0, Bubu Ikan 0, Long-bag set net Ikan Sumber : Lampiran Kepmen No. 23/MEN/2001.

41 21 Dalam bidang perijinan, kewenangan pemerintah daerah untuk perijinan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002, diberikan kepada provinsi untuk kapal GT dan daya mesin PK, sedangkan bagi kabupaten/ kota diberikan otoritas untuk melayani ijin atas kapal ukuran < 10 GT. Pengaturan di sektor perikanan terkait juga dengan wacana desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Pemerintah juga mengeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kelestarian stok dan mengembalikan kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari SK Mentan No. 123/Kpts/Um/3/1975 tentang ukuran mata jaring pukat cincin dengan hasil tangkapannya berupa ikan kembung, layang selar, lemuru dan ikan pelagis sejenisnya yaitu 60 mm dan melarang jenis pukat cincin yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inci pada bagian sayap dan kurang dari 1 inci pada bagian kantong Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources). Artinya sumberdaya yang apabila diambil sebagian, sisa ikan yang teringgal memiliki kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak. Ini berarti bahwa apabila terjadi eksploitasi secara tidak terbatas, (over fishing) terhadap sumberdaya tanpa memperhatikan sruktur umur dan ketersediaan populasi ikan, maka sumberdaya perikanan akan mengalami krisis, yang mengarah pada kepada sumberdaya yag tidak dapat dipulihkan (nonrenewable). Karena itu pemanfaatan sumberdaya perikanan harus dilakukan secara hati-hati agar aliran manfaatnya dapat terus ada setiap tahun. Nikijuluw (2002) mendefenisikan sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya ikan dari beberapa jenis atau kelompok jenis, seperti ikan-ikan pelagis yang hidup di

42 22 kolom atau permukaan air. Selanjutnya FAO dan Bakosurtanal (2001) dalam Priyatna (2003) mendefenisikan sumberdaya perikanan adalah: sumberdaya yang didalamnya mengandung (1) ikan pelagis besar: tuna dan cakalang,(2) ikan pelagis kecil: ikan Karangid dan Klupeid (lemuru, sira), ikan demersal: ikan Sebelah, Bawal Putih dan Pepetek, (4) ikan Karang: Kerapu, Kakap merah dan Baronang, (5) Induk dan Benih benih alami untuk usaha sea farming : Udang, Teripang dan Kerang Mutiara, (6) ikan hias: Kuda Laut, Clown Fish, (7) Udang dan Crustacea:Udang Rebon, Kepiting dan Rajungan, (8) Kerang-kerangan, (9) Rumput Laut,(10) Cepalophoda: Cumi-cumi, Sotong dan Gurita. Dalam kaitannya dengan sumberdaya perikanan sebagai suatu sistem, Adrianto (2005), mengatakan bahwa perikanan memiliki peranan peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi, tidak saja bagi masyarakat di lingkungan sekitar sumberdaya, tapi juga meliputi suatu kawasan atau komunitas tertentu. Karena itu sumberdaya perikanan membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang (sustainable), tidak hanya bagi generasi saat ini, tapi juga bagi generasi masa depan. Lebih lanjut, Adrianto (2005), mengemukakan bahwa dalam konteks ini, pengelolaan yang bertanggung jawab (responsible management) menjadi salah satu kunci untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries development) Perikanan Sebagai Sebuah Sistem Perikanan merupakan suatu sektor yang selama ini dibicarakan terpisah sebagai suatu sistem sumberdaya yang dapat dieksploitasi tanpa melihat adanya keterkaitan yang erat hubungannya dengan suatu system alam dan manusia. Menurut Hanna dalam Adrianto (2005). Hubungan langsung langsung (direct interlingkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas serta kelembagaan yang mempunyai kaitan dengan sektor perikanan. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang perikanan dan kelautan.

43 23 Charles (2001) menjelaskan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan sumberdaya ikan. Hall dan Day (1977) menganggap bahwa setiap peristiwa, apakah struktural dan fungsional, paling sedikit mempunyai dua komponen yang dapat dipisah dan mempunyai hubungan antara komponen tersebut, dapat dianggap sebagai sebuah sistem. Dalam konteks ini, perikanan oleh alam adalah sebuah sistem karena benyak faktor dan fenomena yang terkait secara bersama-sama dan saling menggantung (inter-dependencies) dapat dilihat pada Gambar 6. EKOSISTEM ALAM MANAGEMENT SYSTEM Fish Population FFF Policy Manag ement Human System Develop ment Research Aquatic envoronmet Harvest External forces (e.g.climate change Commo nity Post Harvest External (e.g.governmet Downzing) External forces (e.g. Macroeconomic Polyce) Gambar 6. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (Charles 2001) Charles(2001) dalam konteks perikanan sebagai sebuah sistem, menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan satu kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1). sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik, (2) sistem manusia (human system) terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang tekait dengan sistem ini, dan (3)

44 24 sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsurunsur perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan, dan riset perikanan. Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Dengan menggunakan prespektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, defenisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut ( Charles 2001) 2.9. Definisi Karakteristik Nelayan Menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan didefenisikan sebagai orang yang mata pencahariannya sebagai penangkap ikan. Dengan demikian, secara sempit nelayan memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya ikan. DKP (2005) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan curahan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan atau biota laut lainnya, yaitu: 1. Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya, 2. Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan dan biota laut lainnya, 3. Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau biota laut lainnya. Berdasarkan karakteristik adisional social-ekonomi seperti kapasitas jenis usaha, orientasi ekonomi, tingkat teknologi (alat tangkap dan armada) dan hubungan produksi, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 kategori menurut jenis usaha yaitu seperti terlihat pada Tabel 2.

45 25 Tebel 2. Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi. Jenis Usaha Orientasi Ekonomi dan Pasar Usaha Tradisional Sub sistem rumah tangga UsahaPostTradisional Sub sistem, rumah tangga Usaha Komersial Surplus,Pasar domestik, ekspor Tingkat Teknologi Rendah Rendah Menengah Hubungan Produksi Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogrn Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogen Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogrn Usaha Industri Surplus, Ekspor Tinggi Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogen Sumber : Satria (2002) Menurut Panayatou (1985 a) nelayan ke dalam empat kelompok utama, yaitu susbsistence, indigenous, commercial dan recreation. Sementara itu nelayan komersial dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu nelayan arsitanal dan nelayan industry. Secara lengakap pengelompokan nelayan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Nelayan Subsistenc Indigenous Commercial Recreation Small- scale (Artisanal) Large- Scale Gambar 7. Pengelompokan Nelayan (Panayotou 1985a) Selanjutnya Berkes (1998), lebih memperjelas pengertian nelayan artisanal dengan mengemukakan sejumlah karakteristik yang lebih lengkap mengenai nelayan

46 26 artisanal dibandingkan dengan nelayan industri. Secara jelas karakteristik nelayan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya. Karakteristik hubungan perikanan Unit penangkapan Stabil, dengan pembagian kerja dan peluang karir Kategori Skala Besar Skala Kecil Subsisten Stabil, kecil, Sendiri atau keluarga spesialisasi pembagian atau komunitas kerja kelompok Kepemilikan Bukan pelaku Bisa dimiliki oleh pelaku senior atau pelaku gabungan Komitmen waktu Biasanya penuh waktu Penuh atau paruh waktu Kapal Bertenaga mesin, Kecil, motor dalam banyak peralatan atau motor tempel Tipe Peralatan Mesin, dirakit oleh Sebagian atau semua pelaku material mesin dirakit Pemiliknya si pelaku Paruh waktu Kecil biasanya tidak bermotor Material buatan sendiri, dirakit oleh pelaku oleh pelaku Alat tangkap Elektronik, otomatis Mekank dan manual Sebagian besar tidak mekanik Investasi Tinggi, proporsi lebih besar daripada pelaku Menengah ke rendah, seluruhnya oleh pelaku Rendah Hasil tangkapan Besar Sedang ke rendah Rendah ke sangat rendah Hasil tangkapan Besar Sedang ke rendah Rendah ke sangat rendah Sebagian dikonsumsi Penjualan hasil tangkapan Pasat yang terorganisir Penjualan likal, konsumsi signifikan oleh operator oleh pelaku, keluarga dan sahabat, ditukar dengan barter, kadang-kadang dijual Pengolahan hasil tangkapan Tingkat pendapatan pelaku Integrasi ekonomi Masa kerja Lebih banyak untuk tepung ikan dan bukan konsumsi manusia Penegeringan, pengasapan, penggaraman, sebagian besar untuk konsumsi manusia Sedikit atau tidak, semua untuk konsumsi manusia Tinggi Sedang Minim ( rendah) Formal, integrasi penuh Penuh waktu atau musiman Integrasi parsial Sering multi pekerjaan Informal, tidak terintegrasi Multi pekerjaan

47 27 Lanjutan Luas Pemasaran Kapasitas manajemen dari otoritas perikanan Unit Manajemen Pengumpulan data perikanan Sumber : Berkes (1998). Produk ditemukan di seluruh dunia Layak, dengan banyak ilmuwan dan manejer Satu atau beberapa unit besar Tidak terlalu sulit, ada kapasitas kekuasaan Nasional dan Lokal Lokal dan Hanya tingkat daerah Minimal unutk Sering tidak dikelola moderat, sedikit kecuali oleh penguna ilmuwan atau manejer sumberdaya Biasanya banyak unit Sangat banyak unit kecil Sulit dalam kaitan perikanan dan figure otoritas kecil Sering tidak ada data, pengumpulan sulit dilakukan

48 III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Faktor kemiskinan yang masih membelenggu nelayan karena tidak dapat meningkatkan hasil produksinya yang disebabkan keterbatasan modal, teknologi penangkapan dan kapal yang digunakan yang cenderung sangat sederhana. Hal ini mendorong pemerintah melakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi keterpurukan kondisi ekonomi masyarakat nelayan dengan melakukan berbagai kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan langkah kebijakan yang diambil pemerintah, dalam kerangka mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini ditujukan bagi nelayan sebagai upaya peningkatan hasil tangkapan sehingga diharapkan adanya implikasi pada peningkatanya pendapatan yang bermuara kepada perbaikan kondisi sosial ekonmi masyarakat nelayan. Kebijakan ini juga berkaitan erat dengan bagaimana suatu tata kelola kelembagaan sunberdaya perikanan sehingga yang harus memperhatikan keterkaitan antar masing masing kepentingan sebagai bagian yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Disamping itu kebijakan tersebut harus memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan dengan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Persoalan yang timbul adalah bukan hanya dari faktor pendekatan produktifitas, tetapi ada faktor lain yaitu pendekatan biaya transaksi sebagai faktor non produktifitas yang tidak dapat diabaikan begitu saja karena dalam teori ekonomi kelembagaan biaya transaksi akan berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Adanya biaya transaksi sebagai akibat dari adanya suatu proses pemberian paket bantuan tidak dapat diabaikan karena mempunyai keterkaitan dengan adanya efisiensi biaya. Semakin rendah biaya transaksi, maka semakin efisien paket bantun tersebut tersebut. Komponen biaya transaksi tersebut dalam penelitian ini terdiri atas; biaya seleksi, biaya pembinaan, biaya monitoring. Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana kelembagaan sumberdaya perikanan terutama terkait dengan tata kelolanya.

49 29 Selanjutnya melihat dan menganalisis bioekonmi sumberdaya ikan yang terdiri atas kondisi sumberdaya perikanan dan penggunaan teknologi penangkapan, selanjutnya akan melihat aktor-aktor yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya dari hasil produksi perikanan berdasarkan data series, selanjutnya melihat kebijakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah terkait pengelolaan sumberdaya perikanan bagi nelayan perikanan tangkap, menelaah pola dan proses perumusan kebijakan, serta melihat dampak daripada implementasi kebijakan tersebut terhadap kebijakan tersebut terhadap stok sumberdaya perikanan dan pendapatan nelayan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah serta menghitung biaya transaksi yang timbul dari adanya implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang mencakup; 1). biaya seleksi, 2). biaya pembinaan dan 3) biaya monitoring. Selanjutnya malakukan perbandingan antara pendapatan nelayan dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap olen nelayan dan biaya transaksi pemberian paket bantuan. Permasalahan pertama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: kelembagaan sumberdaya perikanan terutama tata kelolanya, mendesain kelembagaan sumberdaya perikanan, Melakukan analisis bioekonmi utnuk melihat keberlanjutan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah selanjutnya melihat aktor-aktor yang berperan penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik langsung maupun tidak langsung, mengkaji kebijakan oleh pemerintah daerah terutama bagaimana merumuskan dan pola yang diterapkan. Selanjutnya adalah menghitung berapa besar biaya transaksi dalam kaitan dengan pemberian paket bantuan kepada nelayan kecil untuk dapat diketahui efisiensinya, melakukan analisis kebijakan terkait dampak yang ditimbulkan baik terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan, maupun tingkat kesejahteraan nalayan. dan membandingkan pendapatan tersebut dengan optimalisasi pemenfaatan sumberdaya perikanan tangkap oleh nelayan dan kemudian melakukan perbandingan dengan biaya transaksi implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Secara skematik, kerangka pendekatan studi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

50 30 SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP ANALISIS KELEMBAGAAN SUMBERDAYA IKAN ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA IKAN TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BIAYA TRANSASKSI PAKET BANTUAN ANALISIS KEBIJAKAN EVALUASI KEBIJAKAN Gambar 8. Kerangka Pendekatan Studi.

51 IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah dengan mengambil studi kasus di Kecmatan Leihitu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga bulan September Pertimbangan penelitian pada lokasi tersebut dengan pertimbangan bahwa lokasi peneltian adalah salah satu sentra produksi perikanan tangkap yang ada di Propinsi Maluku, sehingga sangat menarik untuk diteliti. Lokasi Penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar Kec. Seram Utara #Y Kab. Seram Bagian Barat P. Seram Kec. Teon N ila Serua #Y Kab. M aluku Tengah Kec. Amahai Kec. Salahutu Kec. Saparua Kec. Leihitu P. Ambon Kec. Pulau Haruku #Y Kota Ambon Kec. Tehoru #Y Kab. Seram Bagian Timur Lokasi Penelitian Peta Lokasi Penelitian W N S km E Keterangan Gambar : Kecamatan : Amahai Leihitu Pulau Haruku Sala Hutu Saparua Seram Utara Tehoru Teon Nila Serua #Y Kabupaten Batas Kabupaten Batas Kecamatan Garis Pantai Peta Indeks : P. Halmahera P. Buru P. S eram Maluku T en ggara A. Zaky Marasabessy NRP. H Program Studi ESK Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Gambar 9. Lokasi Penelitian 4.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan mengambil lokasi di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Metode studi kasus digunakan untuk mengkaji lebih dalam aktifitas ekonomi masyarakat dan

52 32 sangat mempertimbangkan karakteristik lokal masyarakat di daerah tersebut. Nazir (1988) menyatakan bahwa penelitian kasus adalah penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Dalam studi kasus, metode yang digunakan bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data (Blaxter et al. 2006). Hasil dari penelitian kasus perupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga dan sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu atau keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan pada mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan metode survey dimana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar (Nazir 1988). Nazir (1988) mengungkapkan langkah-langkah pokok dalam penelitian kasus adalah sebagai berikut : 1) Merumuskan tujuan penelitian; 2) Menentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan diteliti dan hubungan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan yang akan menuntun penelitian; 3) Menentukan rencana serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang digunakan. Sumber-sumber data apa yang tersedia; 4) Mengumpulkan data; 5) Mengorganisasikan informasi serta data yang terkumpul dan analisa untuk membuat interpretasi serta generalisasi; 6) Menyusun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian. Yin (1996) diacu dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa ada 6 sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan data studi kasus adalah: (1) dokumen, (2) rekaman arsip, (3) wawancara, (4) observasi langsung, (5) observasi pemeran

53 33 serta, (6) perangkat fisik. Dalam hal ini yang diperlukan dua kategori data yaitu data utama dan data penunjang. Data utama diperoleh dengan catatan langsung di lapangan, wawancara pada beberapa nelayan dan pengamatan kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan tujuan penelitian Jenis dan Sumber Data Jenis data dan informasi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekundar. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuisioner atau wawancara dengan responden yang terdiri dari nelayan, dan dinas-dinas terkait pelaksana kebijakan, serta tokoh masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah, Dinas Perikanan, dan dinas-dinas yang terkait langsung dengan penelitian ini. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks Jenis dan Sumber Data. No Data Jenis Sumber 1 Sosial Ekonomi Kabupaten Maluku Tengah Jumlah Penduduk Pendidikan Mata Pencaharian Sekunder Sekunder Sekunder Dalam Angka Perikanan tangkap Primer Responden 3 Produksi Perikanan Tangkap Tahun Sekunder 4 Kebijakan Pengelolaan Kebijakan Perikanan Tangkap Sekunder Program Kebijakan Sekunder Total Biaya Kebijakan Sekunder Biaya Transaksi Kebijakan Sekunder Biaya Seleksi Sekunder Biaya Pembinaan Sekunder Biaya Monitoring Sekunder Dinas Perikanan Maluku Tengah Kabupaten / Dinas Perikanan Maluku Tengah 4.4. Teknik Pengumpulan Data Untuk melakukan pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive atau judgement sampling. Maksudnya adalah pengumpulan data melalui penjelasan oleh peneliti dan mengambil responden berupa nelayan yang menurut pertimbangan sesuai dengan maksud penelitian. Nasution S (2003) menyebutkan bahwa sampling purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain

54 34 penelitian. Dalam penelitian ini karena objek penelitiannya adalah nelayan maka yang dipilih adalah nelayan kecil dengan kapasitas ukuran kapal kurang dari 10 Gross tonnest (<10 GT, atau ukuran kapal yang kapasitasnya hanya bisa dioperasikan oleh paling banyak dua orang Metode Penentuan Sampel Dalam penelitian ini, desa sampel akan ditentukan berdasarkan potensi jumlah nelayan dan frekwensi penangkapan ikan yang dianggap relevan dengan penelitian, dari 13 desa yang ada di kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sedangkan jumlah sampel yang diambil adalah berdasarkan pada surat keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah tahun 2007, tentang daftar namanama kelompok nelayan penerima paket bantuan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana penangkapan Kabupaten Maluku Tengah yang terdiri atas 22 orang nelayan perikanan tangkap Analisis Bioekonomi Sumberdaya Ikan Persoalan yang merupakan hal yang sulit dalam menentukan suatu kebijakan adalah dalam menentukan tingkat eksternalitas sebagai dampak terhadap pengelolaan sumberdaya. Dalam kaitannya dengan depresiaisi terhadap sumberdaya alam, Fauzi dan Anna (2008) mengatakan dalam penilaian sumberdaya perikanan, hal terpenting yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dari stok ikan, yang idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari dapat diketahui dengan lebih dahulu mengetahui produktifitas dari stok ikan yang biasanya diestimasi dengan model kuantitatif. Produktifitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim, maupun aktifitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan (pencemaran), perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan mata rantai makanan. Menurut Clark (1976), untuk menganalisis stok ikan digunakan model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomas dengan persamaan :

55 35 dx dt x = F( x) = rx 1 K... (1.1) Dimana : dx = F(x) = dt x = stok ikan Perubahan stok ikan = Fungsi perubahan stok ikan r = Laju pertumbuhan intrinsik ikan K = kapasitas daya dukung Aktifitas penangkapan ikan di laut diasumsikan punya hubungan yang linier antara produksi dan upaya yang dinyatakan dengan fungsi : H = qxe...(1.2) Dimana : H = Produksi Q = cathability coefisien = koefisien daya tangkap x = stok ikan E = Upaya Selanjutnya dengan adanya intervensi manusia melalui aktifitas penangkapan, maka perubahan stok ikan dilaut menjadi : dx dt = F ( x ) = rx 1 x K H (1.3) 2.3) Dimana : r = Tingkat pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) K = Daya Dukung lingkungan (carrying capacity) Implikasi dari persamaan (1.3) menurut hartwich dan Olewiler (1998) dapat menghasilkan tiga kondisi stok ikan sebagai berikut F( x) H < 0 Berarti terjadi akses harvest berakibat stok ikan segera punah F( x) H = 0 Berarti keseimbangan statis pada titik yang stabil ( glitch point/msy) F( x) H > 0 Berarti akan tidak stabil berada sebelah kiri glitch point (MSY) karena ikan masih kecil dan bisa punah, dan akan stabil bila stok ikan yang

56 36 dieksploitasi berada di sebelah kanan glitch point (MSY) karena ikan sudah besar. Pada kondisi keseimbangan ekologi dimana dx dt = 0, maka nilai stok ikan (X) dapat ditulis :.... q x = K 1 E (1.4) (2.4 r Sehingga dengan dengan mensubtitusi persamaan (1.4) ke persamaan (1.2), diperoleh fungsi upaya produksi (yield effort curve) atau fungsi upaya produksi lestari adalah sebagai berikut : 2 H q K ((1.5) = Kq E E r Dari persamaan di atas dapat diturunkan kurva CPUE yang linier, yaitu dengan membagi dua sisi persamaan dengan E sehingga menghasilkan: H E 2 q K = Kq E.... r (1.6) Atau bila persamaan tersebut di atas disederhanakan menjadi : U = α βe...(2. (1.7) Dimana : U = H / E = CPUE α = Kq... (1.8) Kq 2 β =... (1.9) r Melalui teknik regresi antara variabel U dan E dari data runtut waktu yang tersedia, maka dapat diperoleh nilai-nilai koefisien α dan β. Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (1.8) dan (1.9) ke fungsi produksi lestari pada persamaan (1.5), maka akan diperoleh fungsi produksi lestari dalam bentuk yang lain, yaitu: H = αe βe (1.10)

57 37 Nilai MSY diperoleh dengan menurunkan kurva yield effort terhadap E atau H E = 0 Yaitu : E = α Kqr r.... MSY 2 2β = 2Kq = 2 (1.11) q Sehingga dengan demikian produksi pada tingkat MSY diproleh dengan 2 mensubtitusikan nilai E tersebut α α MSY H = α β kedalam persamaan 2 2β 4β (1.10) : α K q r Kr H MSY = = =... (1.12) 2 4 β 4Kq 4 Sedang stok ikan (x) pada tingkat MSY dapat diperoleh dengan mensubtitusikan α q α nilai E = ke persamaan (1.4), x ekuilibrium sehingga : MSY x = 2β MSY K 1 r 2 β menjadi : q rqk = K 1 r 2q K x MSY (1.13) K Sehingga secara lebih sederhana dapat diperoleh hasil : x MSY = 2 Sementara itu, kondisi tingkat stok ikan, upaya dan produksi pada kondisi MSY, OA dan optimal dinamik yang bernuansa ekonomi dapat diperoleh dengan memasukan fungsi produksi lestari, persamaan (1.5), kedalam rente sumberdaya, persamaan π = ph c E sehingga : t t t π = p 2 ( αe βe ) ce... (1.14) Nilai EMEY dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan (1.4) terhadap upaya, ( ) yaitu π sehingga diperoleh : pα c r pqk c = 0 E MEY = menjadi E MEY = 2 E 2 pβ 2Kpq Sehingga : r c E = MEY 1... (2.15 q Kpq (1.15) 2

58 38 Dengan asumsi dalam keseimbangan lestari F(x)=H sehingga stok ikan pada kondisi MEY, XMEY, diperoleh dengan mensubtitusikan persamaan (1.1), fungsi pertumbuhan F(x), dan fungsi upaya (H/qx), dari persamaan (1.2), kedalam perdamaan keuntungan (П), fungsi rente sumberdaya dan kemudian membuat : π = 0 x Menjadi rx x prx c 1 π = 1 K qx x K c selanjutnya π = p rx 1 qx x K 2 2 prx crx cx kemudian π = prx + sehingga ; K qx Kqx K c x MEY = Kpq (2.16 (1.16) Jadi tingkat HMEY dapat diselesaikan dengan mensubtitusikan EMEY dan XMEY ke dalam persamaan (1.2) yaitu H = qx E MEY MEY sehingga K c r c H = q Kpq 2q Kpq Dengan demikian maka : rk c c H = MEY Kpq.... (2.1 (1.17) Dalam kondisi open acces П =0, sehingga x rx 1 x K prx = c 1 sehingga : K qx x OA = c pq... (1.18) (2.18 Untuk mencari tingkat produksi pada kondisi open access, HOA adalah dengan mensubtitusikan persamaan (1.18) ke persamaan (1.1) yaitu H x = F OA K ( ) = OA x rx OA 1 sehingga menjadi :

59 39 rc c H = OA 1 pq Kpq (1.19) (2.19 Dengan demikian tingkat, EOA, dapat dicari dari persamaan (1.2), yaitu : rc c 1 pq Kpq menjadi E OA = sehingga : qc pq H E OA = qx OA OA r c E = OA 1 q Kpq.... (2.20 (1.20) Dalam model dinamik stok ikan dianggap sebagai kapital yang memiliki dua manfaat, yakni apakah dipanen sekarang sehingga memperoleh manfaat kini atau dipanen yang akan datang sebagai investasi. Nilai manfaat kini dihitung dengan persamaan: ( ) π t V t =...(2. (1.21) δ dimana δ = discount rate untuk t yang menggambarkan manfaat ekonomi dan sosial yang paling maksimum. Manfaat kini dan yang akan datang menunjukkan adanya aspek antar waktu sehingga penggunaan discount rate menjadi sangat penting untuk menggambarkan akumulasi capital Rente sumberdaya sepanjang waktu yang dirumuskan Clark and Munro ditulis sebagai: maxπ = t= 0 π t t ( 1+ δ ) t = ρ π t ( x, h ) t t...(2. (1.22) Dimana ρ 1 t = t ( 1+ δ ) = adalah discount factor

60 40 Pemecahan rumus dinamik tersebut di atas menghasilkan golden rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan, yang oleh Conrad (1999) disebut sebagai the fundamental equation of renewable resources: F x π / x + = δ π / h.(2.23 (1.23) dan F ( x) = h...(2.24 (1.24) Menurut Conrad (1999), solusi dari persamaan (2.23) menghasilkan sebuah kurva, h = Ø(x), yang dapat diplot sepanjang kurva F(x) = h untuk mengidentifikasi nilai optimal dari x* dan h* dengan menyatakan fungsi rente sebagai : π h qx c qx ( x, h) = ph c = p h dan fungsi pertumbuhan pada persamaan (2.1), yaitu: (2.2 (1.25) dx dt x = F( x) = rx 1 K (2.25 (1.26) dan fungsi pertumbuhan pada persamaan (1.1) yaitu : x F( x) = rx 1 maka dengan melakukan derivatif parsial sesuai kaidah pada K persamaan (2.23) menghasilkan: F x = r 1 2 x K.(2.26) (1.27) π ch 2 x = qx.(2.27) (1.28) π c = p h qx.(2.28) (2.29) (1.29)

61 41 dengan mensubstitusikan persamaan-persamaan (1.26), (1.27) dan (1.28) ke dalam persamaan (2.23), maka diperoleh: 2x r 1 K + 2 ch / qx = δ c p qx menjadi 2x = 2 c ch δ r 1 qx p K qx maka h x = c K 2x ( pqx c) δ r 1 (2.29 (1.30) h = Ø(x) merupakan sebuah kurva yang tergantung dari semua parameter bioekonomi, yaitu K, q, r, p, c dan δ.golden rule menyatakan F(x) = h, sehingga dengan mensubstitusikan fungsi pertumbuhan : x F( x) = rx 1 K ke dalam persamaan (28) di atas, maka dapat diperoleh solusi untuk nilai stok ikan optimal, yaitu: rx 1 x x ( pqx c) δ r 1 2 x = K c K menjadi : 2 K c δ c δ cδ x = (1.31) 4 kemudian untuk Kpq r Kpq r Kpqr mendapatkan produksi optimal, nilai stok ikan optimal tersebut di atas disubstitusikan ke fungsi pertumbuhan (Clark 1985): x F( x) = h = rx 1 yang merupakan interseksi antara kurva h = Ø(x) dan K kurva F(x) (Conrad, 1999) sehingga diperoleh: ( ) = = x F x h rx 1 K (1.32) dengan diketahuinya nilai stok ikan dan produksi optimal, maka dari fungsi produksi nilai upaya optimal diperoleh dengan rumus:

62 42 h E =. qx (1.33) Berdasarkan persamaan (2.30) terlihat, bahwa jika parameter-parameter bioekonomi r, K, atau c meningkat, maka stok ikan optimal meningkat dan jika p, q, dan δ meningkat, maka stok ikan optimal berkurang Langkah-Langkah Dalam Pemodelan Penghitungan Stok Ikan Untuk melakukan pemodelan bioekonomi ada beberapa langka yang perlu dilakukan (Fauzi dan Anna, 2005) : 1. Menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (series), minimal 15 tahun yang lalu. Jika menyangkut multigear multispecies, terlebih dahulu harus dipisahkan menurut jenis alat tangkap dan produksi tersebut diusahakan merupakan target spesies dari alat tangkap yang dianalisis. 2. Melakukan standarisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. 3. Melakukan pendugaan terhadap parameter biologi dengan teknik Ordinary Lest Square (OLS). 4. Melakukan estimasi parameter ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanen per trip atau per hari melaut, sebaliknya diukur dalam ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga konsumen) jadi harga nominal pada periode t(p nt ), misalnya, bisa di konversi dengan harga riil (p rt ) berdasarkan formula berikut : p rt pnt = IHK t X100 (1.34) 5. Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang sudah ditetapkan. Langka ini dapat dilakukan dengan software EXCELL maupun MAPLE yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik.

63 43 6. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai data riil yang ada Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan Analisis tata kelola sumberdaya perikanan yang akan digunakan dalam penelitin ini adalah menggunakan analisis yang dikembangkan oleh Pido et al (1979) diacu dalam Suhana (2008). Analisis ini merupakan pengembangan dari analisis kelembagaan dan pembangunan ( The Institutional Analisys and Develpment) yang dikembangkan oleh Pido (1979). Secara skematis kerangka analisis kelembagaan tersebutdapat dilihat pada Gambar 10. Atribut Biologi ( fisik, teknologi) Atribut makro Ekonomi politik Dan sosial Atribut Pasar (Supply Demand) Atribut Stakeholders Masyarakat, nelayan, Pemerintah, swasta Tata Kelola - Pola Interaksi - Persaingan - Koordinasi Outcome Atribut kelembagaan nelayan dan aturan organisasi Atribut kelembagaan Eksternal dan Aturan Organisasi Gambar 10. Kerangka Analisis Kelembagaan diadopsi dari ( Pido et.al 1997). Dari gambar diatas terlihat bahwa ada enam atribut yang memberikan pengaruh pengelolaan sumberdaya perikanan. Pertama, atribut biofisik dan teknologi. Atribut ini pembatas atau kendala bagi pembangunan perikanan. Artinya, semakin besar area dan jumlah potensi sumberdaya perkanan yang tersedia, maka semakin besar pula skala pembangunan perikanan yang dapat dilaksanakan. Atribut biofisik juga menentukan cara para pengguna sumberdaya terutama nelayan dapat saling berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Aksi teknologi yang digunakan untuk

64 44 memanfaatkan sumberdaya sangat tergantung pada jenis dan jumlah sumberdaya perikanan yang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kedua, atribut pasar yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas perikanan yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Atribut pasar seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif dan dis insentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Ketiga, atribut pemegang kepentingan. Pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah nelayan serta masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Atribut ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah kepercayaan, agama, tradisi, budaya, sumber matapencaharian, derajat social ekonomi, homogenitas dan heterogenitas dalam masyarakat, kepemlikan aset, norma masyarakat serta tingkat integritas dalam ekonmi politik. Keempat, atribut tatanan dan indikator pengambilan keputusan. Atribut pengambilan keputusan sangat tergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Tiga aspek penting yang harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan adalah : 1). Keterwakilan (representation) yang didefenisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepantingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan; 2). Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi; 3). Penegakan hukum ( enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakan. Kelima, atribut kelembagaan dan organisasi eksternal, yaitu lembaga atau organisasi yang berada di luar masyarakat nelayan, tetapi masih berpengaruh pada kehidupan nelayan serta kondisi sumberdaya ikan.

65 45 Keenam, atribut eksogen. Berbagai faktor eksogen dapat berdampak bagi pembangunan serta pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor eksogen adalah halhal yang terjadi di luar kontrol nelayan dan masyarakat. Faktor ini juga merupakan peristiwa dalam bentuk kebijakan atau lainnya yang terjadi pada organisasi yang lebih tinggi tingkatannya. Hal-hal ini terjadi secara tiba-tiba di tingkat nasional dan internasional dan yang mengakibatkan kegoncangan pada usaha perikanan adalah atribut eksogen dalam pengelolaan sumberdyaa perikanan. Beberapa variabel eksogen yang umumnya dihadapi nelayan adalah gempa bumu, tsunami, banjir, kebijakan makro, kebijakan ekonomi, resesi, perdagangan global, komitmen dan kesepakatan masyarakat internasional, serta penemuan teknologi Desain Kelembagaan Metode desain kelembagaan dalam peneltian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Pakpahan (1990), dimana dikatakan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama, yaitu : 1) Batas yurediksi (yuridiction of boundary). Artinya hak atas (batas wilayah kekuasaan ) atau ( batas otoritas ) yang dimilki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat, ditentukan oleh batas yuridiksi. 2) Hak kepemilikan (property right). Konsep property atau kepemilikan, muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubugan antar masyarakat dalam hal ini kepentingannya terhadap sumberdaya. Selanjutnya dikatakan bahwa tidak seorangpun dapat mengatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan aspek kontrol terhadap sumberdaya. 3) Aturan representasi (rule of representation). Hal ini mengatur permasalahan siapa yang berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan lokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat

66 46 keputusan. Biaya transaksi yang tinggi dapat menyebabkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan biaya transaksi Analisis Biaya Transaksi Komponen biaya transaksi terkait dengan pemberian paket bantuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah yang akan dihitung adalah meliputi biaya seleksi (Z1), biaya pembinaan (Z2), biaya monitoring (Z3). Untuk menghitung besarnya komponen masing-masing biaya transaksi terhadap total biaya transaksi ( TrC) menurut Anggraini (2005) adalah : TrCij = Zij. (1.1) Rasio masing- masing komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (Z) dihitung dengan menggunakan persamaan: Zij Zij = ; TrCij Zij = (1.2) Guna menentukan besarnya proporsi biaya transaksi terhadap seluruh biaya paket bantuan, maka dihitung total biaya transaksi terhadap total biaya (hasil penjumlahan biaya paket bantuan dan biaya transaksi paket bantuan) dengan menggunakan persamaan : rtcj = TrCj ( TCij + TrCij).....(1.3) Dimana : rtcj = Rasio biaya transaksi terhadap total biaya

67 47 TCj TrCj = Total biaya kebijakan (Rp) = Total biaya transaksi (Rp/tahun) Analisis Pendapatan Terhadap Kesejahteraan Nelayan Dalam penelitian ini akan dihitung besarnya pendapatan nelayan perikanan sebagai implikasi dari adanya pemberian paket bantuan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di tingkat nelayan, sehingga dapat diketahui pengeruh keberhasilan pemberian paket bantuan terhadap pendapatan nelayan yang bermuara kepada tingkat kesejahteraan nelayan sebagia penerima paket bantuan. Hasil perhitungan ini, kemudian dibandingkan dengan pendapatan nelayan sebelum adanya pemberian paket bantuan kepada nelayan di lokasi penelitian. Untuk itu persamaan yang digunakan untuk menghitung pengaruh pemberian paket bantuan terhadap pendapatan nelayan adalah : π= TR - TC (3.1) Dimana : π ( Pendapatan) TR (Total Revenue) TC (Total Cost) : Pendapatan : Total Penerimaan : Total Biaya

68 V. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1. Kondisi Geografi Wilayah Kabupaten Maluku Tengah merupakan wilayah kepualauan dengan luas wilayah Km² yang terdiri dari luas lautan ,43 Km² ( 95,80 % ), luas daratan ,57 Km² sedangkan panjang garis pantai adalah 1.375,295 km. Wilayah Kabupaten Maluku Tengah terdiri dari pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil yaitu pulau Seram yang luasnya Km² dan sisanya terdiri dari pulaupulau kecil. Secara geografis Kabupaten Maluku Tengah terletak antara 127⁰ ⁰10 00 Bujur Timur dan 02⁰ ⁰05 00 Lintang Selatan dengan batasbatas sebagai berikut : sebelah Utara dengan Laut Seram, Sebelah selatan dengan Laut Banda, Sebelah Barat dengan Kabupaten Seram Bagian Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Seram Bagian Timur, dan bagian tengah dengan Kota Ambon. Wilayah Kabupaten Maluku Tengah terbagi atas 11 Kecamatan, 167 Negeri, 111 Kampung / Dusun dan 6 Kelurahan. Dari deretan pulau-pulau yang tersebar di Kabupaten Maluku Tengah berjumlah 42 pulau, yang dihuni sebanyak 17 buah pulau sedangkn yang tidak dihuni adalah sebanyak 25 buah pulau. Berdasarkan pendekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam, maka wilayah Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Propinsi Maluku dikelompokkan dalam gugus pulau III yang meliputi : Pulau Seram, Ambon, Haruku, Saparua, Banda, Manowaka, Teon Nila Sarua dan Pulau Buru dalam satu gugus pulau. Sebagai wilayah dengan karakteristik kelautan tropis, maka keadaan perairan umumnya jernih terutama tampak jelas di daerah sebaran terumbu karang. Pada tempat-tempat tersebut terutama pada saat air mengalami pasang surut, berbagai jenis karang hidup dapat terlihat di permukaan. Keadaan arus di perairan di perairan selat atau antara pulau-pulau yang ada umumnya sangat kuat dan di beberapa tempat terlihat putaran arus yang kadangkadang sangat membahayakan bagi nelayan yang menggunakan perahu-perahu kecil tanpa mesin.

69 49 Keadaan dasar perairan pada umumnya mempunyai substrat padat, substrat berpasirdan variasi antara berpasir dan berlumpur. Pada substrat padat berbatu umumnya ditumbuhi oleh koloni karang hidup, sedangkan beberapa tempat dengan substrat berpasir dan berlumpur ditumbuhi padang lamun dan mengrove. Keadaan tersebut dapat dijumpai pada hamper seluruh wilayah di Kabupaten Maluku Tengah Iklim Iklim Kabupaten Maluku Tengah sangat dipengaruhi oleh Lautan dan berlangsung seirama dengan iklim musim yang berlangsung di daerah ini. Musim yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah terbagi atas 2 ( dua ) musim yaitu Musim Barat/Utara dan Musim Timur/ Tenggara yang diselingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi antara kedua musim tersebut, disamping itu musim hujan dan musim panas di daerah ini tidak bersamaan waktunya. Musim Barat/Utara berlangsung pada bulan Oktober sampai Maret diselingi oleh pancaroba di bulan April. Musim Timur/ Tenggara berlangsung dari Bukan April sampai September. Keadaan musim di Maluku Tengah tidak berlangsung homogen, artinya setiap musim yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah memberikan pengaruh yang berbeda pada daratan maupun lautan Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Maluku Tengah sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik ( BPS) Kabupaten Maluku Tengah Tahun berjumlah jiwa Penyebaran penduduk tidak merata dimana sebagian penduduk berpusat pada pulau-pulau kecil maupun besar di tiap-tiap Kecamatan antara lain Teon Nila Sarua jiwa (5,17 %), Banda jiwa (7,05 %), Saparua 34.28jiwa (12,44 %), Pulau Haruku jiwa (9,81 %), Leihitu jiwa (22,86 %), Salahutu 44,541 jiwa (16,17 %), Amahai jiwa (16,47 %), Seram Utara 48,822 jiwa (17,72 %), Tehoru jiwa (12,56 %), Nusalaut jiwa (2,19 %) dan Kota Masohi jiwa (9,32 %).

70 50 Jika dilihat dari penyebaran penduduk, maka jumlah penduduk tersebut di atas, yang paling banyak populasinya di wilayah Kabupaten Maluku Tengah adalah di Kecamatan Leihitu dengan total jumlah penduduk adapal jiwa atau sekitar 22,86 % dari jumlah populasi penduduk yang ada di Kabupaten Maluku Tengah. Sedangkan yang paling sedikit penyebaran jumlah populasi penduduknya adalah di Kecamatan Nusalaut yaitu sebesar jiwa atau sekitar 2,19 % dari jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Maluku Tengah. Total jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan adalah berjumlah jiwa. Selanjutnya untuk melihat jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin pada dirinci pada masing-masing Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, pada tahun 2007, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah Dirinci Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun Jenis Kelamin No Kecamatan Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah Teon Nila Sarua Banda Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Seram Utara Tehoru Nusalaut Kota Masohi , Jumlah Sumber : BPS Maluku Tengah Mata Pencaharian Kabupaten Maluku Tengah secara geografis sebagian besar adalah wilayah lautan yang menggambarkan bahwa masyarakat dalam aktifitasnya baik dari segi ekonomi, sosial dan lain-lain selalu ada hubungan dengan perairan laut. Mata

71 51 pencaharian sebagian besar penduduk adalah nelayan, bertani ( cengkih, pala, kopra dll) dan ternak Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah tahun 2007, relatif semakin berkembang untuk semua wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. Khusus untuk wilayah Kecamatan Leihitu berkembangnya tingkat pendidikan dikarenakan terdapat banyak fasilitias sekolah yang terdapat di Kecamatan Leihitu, baik SD, SMP ataupun SMA dan sederajat. Disamping itu akses ke ibukota propinsi yaitu Kota Ambon yang lebih dekat dibanding dengan sebagian besar kecamatan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah. Untuk melihat secara jelas rincian penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di tingkat kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Presentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat pendidikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Tahun No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Presentase (%) Sekolah Dasar Sekolah Lanjutan Pertama Sekolah Lanjutan Atas Perguruan Tinggi Jumlah Sumber : Kantor Kecamatan Leihitu ,5 31,04 20,8 3, Rumah Tangga Perikanan (RTP) Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada Wilayah Kecamatan Leihitu di dominasi oleh Rumah Tangga Perikanan Tangkap yaitu sebanyak rumah tangga perikanan (RTP), Untuk Rumah Tangga Budidaya Kolam terdapat 1 rumah tangga perikanan (RTP), sedangkan untuk perikanan tambak tidak terdapat di Kecamatan Leihitu. Selain banyaknya Rumah Tangga Perikanan Tangkap, ditunjang juga oleh 15 rumah tangga perikanan (RTP) pengelolaan ikan yang terdapat di Desa Wakal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.

72 52 Tabel 7. Jumlah Rumah tangga perikanan dan Penjual Ikan (Papalele) dirinci menurut desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Tahun Jenis Rumah Tangga perikanan (RTP) No Desa Tangkap Budidaya Laut Kolam Pengolah Ikan 1 Morella Mamala Hitu Messing Hitu Lama Wakal Hila Kaitetu Seith Negeri Lima Ureng Asilulu Larike Wakasihu Alang Liliboy Hatu Jumlah Sumber : PPL Perikanan Kecamatan Leihitu Dari tabel 6 di atas, terlihat bahwa jenis rumah tangga nelayan yang ada di Kecamatan Leihitu, terdiri atas rumah tangga perikanan tangkap, yang paling banyak jumlahnya yaitu di Desa Asilulu sebesar 424 rumah tangga, sedangkan yang paling sedikit adalah di Desa Seith sebanyak 4 rumah tangga. Rumah tangga budi daya dan rumah tangga kolam hanya ada di Desa Mamala masing-masing 1 rumah tangga.. sedangkan untuk rumah tangga pengolahan ikan, hanya terdapat di Desa Wakal sebanyak 15 rumah tangga Koperasi Koperasi yang berpotensi dikembangkan dalam rangka pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Maluku Tengah, terdiri atas Koperasi Unit Desa, Koperasi Serba Usaha dan Koperasi Serba Usaha Perikanan yang terdistribusi di Seluruh Kecamatan. Kecamatan Seram Utara merupakan wilayah yang memiliki potensi Koperasi Unit Desa yang kuat untuk mendukung usaha perikanan dengan

73 53 jumlah KUD sebanyak 26 unit. Sedangkan yang paling sedikit jumlahnya adalah di Kecamatan TNS, Kecamatan Banda dan Kota Masohi, masing-masing terdiri dari 2 unit KUD Sedangkan untuk Koperasi Serba Usaha, jumlah koperasi yang terbanyak adalah di Kota Masohi yaitu sebanyak 14 unit, dan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Nusa Laut yaitu sebanyak 1 unit. Dari keseluruhan jumlah koperasi yang ada di Kabupaten Maluku Tengah, jumlah koperasi yang paling banyak baik untuk Koperasi Unit Desa (KUD), maupun untuk Koperasi Serba Usaha (KSU), terdapat di Kecamatan Seram Utara dengan jumlah 38 unit Koperasi, sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah di Kecamatan Nusa Laut yaitu sebanyak 3. Untuk melihat jumlah distribusi koperasi di Kabupaten Maluku Tengah dirinci untuk setiap Kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi Jumlah Koperasi di Maluku tengah Kecamatan KUD KSU Koperasi Perikanan Jumlah Banda Tehoru Amahai Kota Masohi T N S Saparua Nusa Laut Pulau Haruku Salahutu Pulau Haruku Seram Utara Total Sumber : Profil Investasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah Transportasi Laut Pelabuhan umum yang terdistribusi di Kabupaten Maluku Tengah, umumnya memiliki kostruksi beton dan beton kayu, di beberapa lokasi seperti di Desa Tulehu, Desa Haria (Saparua), Kecamatan Banda, Desa Tehoru, Desa Wahai, Desa Amahai dan Desa Hitu. Dari seluruh pelabuhan umum yang ada, yang menjadi pelabuhan utama dan mampu mengakomodasi kapal pelni adalah pelabuhan di Kecamatan

74 54 Banda dan pelabuhan di Desa Amahai. Keseluruhan pelabuhan ini difungsikan sebagai sarana penunjang transportasi dan penghubung antar pulau di Kabupaten Maluku Tengah dan di Propinsi Maluku. Untuk lebih jelas jumlah sarana transportasi laut, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pelabuhan Umum di Kabupaten Maluku Tengah. Pelabuhan Umum Konstruksi Dermaga Ukuran (m) Fasilitas gudang (m²) 1. Tulehu 2. Amahai 3. Banda 4. Tehoru 5. Wahai 6. Amahai 7. Hitu Beton Beton Kayu Beton Beton Beton Beton Beton 4 (50x5) 50x5 92,2x6 48x5 70x6 72x6 40x Sumber : Profil Investasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah Kondisi Yang Diinginkan dan Proyeksi Kedepan Pembangunan kelautan dan perikanan selain diharapkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Maluku Tengah, juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan wilayah-wilayah sentra dan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah, yang bertujuan untuk kesinambungan pelaksanaan pembangunan tersebut. Hal ini mengingat potensi sumberdaya yang dimiliki masih sangat berpotensi untuk di kembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Proyeksi ke depan dan kondisi yang dinginkan dari pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan sampai tahun 2012 di Kabupaten Maluku Tengah, diharapkan akan mengalami peningkatan 2,5-15 % per tahun dari segala aspek. Hal ini mengingat potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki cukup memadai. Proyeksi yang diharapkan memiliki peluang terbesar untuk dikembangkan adalah dibidang ekspor, disamping hasil produksi sektor laut yang juga menjadi

75 55 salah satu sektor andalan dalam penge,bangan sebagai prospek ke depan. Proyeksi pembangunan yang diharapkan sampai tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Kondisi Yang Diinginkan dan Proyeksi ke Depan. Tahun. No Rincian Sasaran Produksi (ton) - Darat 2.07, , , , , ,3 - Laut , , , ,4 2 Armada tangkap ,141 17,569 18, Alat tangkap ,921 24,519 25, Nelayan (orang) ,424 36,146 37, Ekspor (ton) , , , , , ,05 6 Antar Pulau 9.132, , , , ,08 7 Pendapatan (Rp/Thn) ,178 8 Tenaga Kerja (orang) ,277 1,308 1,341 1, Konsumsi Perkapita ,2 99,6 102,1 104,7 107,3 10 PAD (Rp) , Sumber : Renstra Maluku Tengah tahun Sentra Produksi Perikanan Sentra produksi adalah kawasan produksi dimana perusahaan-perusahaan sejenis (industri yang berskala kecil) dan menengah (UKM) berlokasi. Karena mereka pada kawasan yang sama, maka interaksi positif diantara perusahaan perusahaan kecil bisa terbentuk. Hakekat suatu sentra produksi adalah sinergitas untuk mencapai efisiensi. Dengan adanya kerjasama antar perusahaan sejenis dan sama skala usahanya, maka mereka dapat mencapai efisiensi secara bersama. Hal tersebut tidak mungkin di capai bila berusaha secara sendiri-sendiri. Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah telah menentukan kawasan sentra produksi untuk dikembangkan. Pembinaan, fasilitas, katalisasi dan pelayanan dilakukan agar usaha bersama melalui sentra produksi dapat dijalankan. Fasilitas umum seperti prasarana jalan, air bersih, komunikasi, transportasi dan pelayanan perizinan, pembinaan, merupakan sebagian tanggung jawab pemerintah daerah.

76 56 Namun setiap perusahaan dalam sentra usaha ini bertanggung jawab mengembangkan sarana produksinya dalam menjalankan proses produksi dan pemasaran. Sentra produksi mudah untuk diiklankan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Produksi yang sejeniss yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaandi perusahaan, namun demikian pemerintah daerah membantu dalam promosi dan pembinaan pemasaran dan perdagangan. Dengan demikian, efisiensi bisa di capai melalui skala dan skop ekonomi. sentra produksi, memang dipasarkan oleh masing-masing Bedasarkan karakteristik daerah dan ketersediaan sumberdaya, maka kawasan pengembangan sentra produksi perikanan di Maluku Tengah adalah : Sentra produksi cakalang Banda di Kecamatan Salahutu, Sentra produksi tepung ikan skala rumah tanggaa di Kecamatan Laihitu, Sentra produksi pindang momar dan kawalinyadii Kecamatan Salahutu, Sentra produksi rumput laut di teluk tuhaha pulau Saparua, Sentra produksi rumput laut di Kecamatan Nusalaut, Sentra produksi ikan pindang di Tehoru, Sentra produksi ikan pindang di Amahai, Sentra budidaya udang windu di Seram Utara, Sentra produksi benih mutiara di Kecamatan Seram Utara. Gambar 11. Sentra Produksi Perikanan. Gambar11. Sentra Produksi Perikanan.

77 Klaster Industri Perikanan Terpadu Pengembangan industri perikanan terpadu dewasaa ini dilakukan dengan pendekatan sistem klaster. Dikalangan pemerintah, pendekatan klaster dilakukan untuk membina UKM, terutama untuk produk perikanan yang memiliki nilai jual yang tinggi namun dihasilkan dengan teknologi produksi skala kecil sederhana. Pendekatan klaster tidak hanya cocok untuk pembinaan UKM, tapi bagi perusahaan individu skala besar, koperasi dan sentra produksi dapat dipadukan dalam satu sistem klaster industri perikanan terpadu. Interaksi bisnis dapat dilakukan antara berbagai perusahaan yang memilki skalaa usaha yang berbeda serta memiliki jenis yang berbeda untuk pada akhirnya menghasilkan produk yang bernilai tambah dan tinggi harga pasarnya. Di Kabupaten Maluku Tengah, terdapat klaster industri di dua tempatt yaitu masing masing Klaster Industri Fillet Ikan Demersal di Kecamatan Leihitu dan Klaster Industri Produk Olahan di Kota Masohi. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Letak Klester Industri Perikanan Terpadu.

78 VI. Hasil dan Pembahasan Analisis Bioekonmi Sumberdaya Perikanan Tangkap Produksi Jenis Komoditas Perikanan Tangkap Model bioekonomi sumberdaya perikanan tangkap yang dianalisis dalam penelitian ini yakni analisis bioekonomi pada beberapa spesies ikan yang merupakan komoditas andalan dan memiliki nilai ekonomi tinggi yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Hal ini dikarenakan pada siklus musim penangkapan ikan, jenis ikan ini yang selalu ditangkap oleh nelayan. Jenis-jenis ikan tersebut meliputi ikan pelagis besar yang terdiri atas ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tuna (Thunnus albacore), ikan pelagis kecil yang terdiri atas ikan layang (Decapterus ruselli), ikan selar ( Selaroides leptoleptis), ikan tongkol (Auxis thazard) ikan tembang (Sardinella sp), ikan teri ( Stelophorus sp) dan ikan kembung ( Rastrelinger kanagurta). Sedangkan jenis ikan demersal terdiri atas ikan kerapu (Epinephelus sp), ikan sikuda/ lencam (Lethrinus lentjam), ikan kakap (Lutjanus sp), ikan kakap merah (Lutjanus altifrontalis) dan ikan biji nangka / salmaneti (Upeneus sp). a. Produksi Ikan Pelagis Besar pada Tabel 11. Untuk melihat jumlah hasil tangkapan jenis ikan pelagis besar dapat dilihat Tabel 11. Jumlah Tangkapan Ikan Pelagis Besar Produksi pada tahun (Ton) Jenis ikan Cakalang , , , , , ,7 Tuna 2.486, , , , , ,2 Jumlah , ,7 21,967, , , , ,9 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah 2008

79 59 Dari Tabel 11. diatas terlihat bahwa hasil tangkapan untuk jenis ikan pelagis besar mengalami kenaikan dari tahun ke tahun hanya, saja untuk jenis ikan cakalang pada tahun 2007 mengalami sedikit penurunan tingkat produksi dibandingkan dari tahun 2006 yaitu jika pada tahun 2006 produksi hasil tangkapan berjumlah ,9 ton, maka pada tahun 2007 turun menjadi ,3 ton atau terjadi penurunan hasil tangkapan sebesar 109,6 ton atau 0,52 %.. Demikian juga dengan jenis ikan tuna dimana terjadi kenaikan secara signifikan dari tahun ke tahun hanya saja terjadi sedikit penurunan pada tahun Jika pada tahun 2004 produksi hasil tangkapan mencapai ton maka pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi ,4. Dengan kata lain jumlah penurunan hasil produksi dari tahun 2004 dan 2005 mencapai 361,5 ton atau sekitar 9,53 %. Laju pertumbuhan penangkapan ikan pelagis besar dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar Produksi (ton) Cakalang Tuna Total Produksi Tahun Gambar 13. Produksi kelompok ikan pelagis besar Dari Gambar 13 terlihat bahwa jika dibandingkan dengan ikan tuna, jenis ikan cakalang jumlah produksinya lebih besar, disamping itu untuk komoditas ikan cakalang pada tahun 2007 terjadi sedikit penurunan penangkapan, sedangkan untuk

80 60 jenis ikan tuna pada tahun 2005 sedikit terjadi penurunan. Akan tetapi jika dilihat dari total produksi, dari tahun 2002 hingga 2008 mengalami peningkatan yang signifkan. Tingginya tingkat produksi komoditas cakalang dibanding tuna, disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan cakalang di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, relatif lebih besar di bandingkan tuna, dari sisi pasar kecenderungan untuk pedagang di pasar tradisional memperoleh keuntungan pada komoditas jenis ikan cakalang lebih menjanjikan jika dibandingkan dengan keuntungan yang di peroleh dari komditas ikan tuna. b. Produksi Ikan Pelagis Kecil Untuk melihat jumlah hasil tangkapan jenis ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Produksi pada tahun (ton) Jenis ikan Layang , , , , ,2 Selar 725,7 887,3 943,1 958, , , ,4 Tongkol , , , , , , ,4 Tembang 4.793, , ,2 6,644, , , ,4 Teri 974, , , ,4 2,137, , ,7 Kembung 620,8 754,4 849,3 892,1 923,7 954, ,6 Jumlah , , , , , , ,7 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah 2008 Dari tabel diatas 12 diatas, terlihat bahwa produksi ikan pelagis kecil mengalami kenaikan jumlah produksi dari tahun ke tahun untuk semua jenis ikan. Hal ini dapat dilihat dari angka-angka yang ditunjukan pada Tabel 27. Untuk jenis ikan tongkol sedikit mengalami penurunan jumlah produksi di tahun 2005 jika dibandingkan dengan produksi pada tahun Jika pada tahun 2004 jumlah produksi mencapai ,7 ton maka pada tahun 2005 produksi hanya mencapai

81 , 9 ton.ini berarti laju pertumbuhan produksi tahun 2005 mengalami penurunan dibanding tahun 2004 sebesar 295,8 ton. Akan tetapi jika dilihat dari jumlah produksi total jenis ikan pelagis kecil secara keseluruhan mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008.Laju pertumbuhan jenis komoditas pelagis kecil dapat dilihat pada Gambar Produksi (ton) Tahun Layang Selar Tongkol Tembang Teri Kembung Total Produksi Gambar 14. Produksi kelompok ikan pelagis kecil. Dari Gambar 14 di atas, dapat dilihat bahwa jenis komoditas ikan selar, ikan teri dan ikan kembung adalah jenis komuditas yang jika dibandingkan dengan komoditas ikan pelagis kecil lainnya, masih lebih kecil tingkat prduksinya. Akan tetapi laju pertumbuhan yang cukup tinggi diantara ke tiga jenis ikan ini adalah terjadi antara tahun 2007 dan tahun 2008, khususnya untuk jenis dan ikan selar, tetap mengalami kenaikan yang tidak berarti. Laju pertumbuhan yang paling tinggi jumlah produksinya diantara jenis ikan pelagis kecil adalah ikan tingkol, dimana dari tahun 2002 hinga tahun 2008 menduduki posisi tertinggi jumlah produksinya, kemudian ikan layang dan ikan tembang. Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa untuk semua komoditas dari tahun 2002 sampai dengan 2008 mengalami kenaikan jumlah produksi hasil tangkapan.

82 62 c. Produksi Ikan Demersal Untuk melihat laju pertumbuhan jenis ikan demersal di Kabupaten Maluku Tengah dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Tangkapan Ikan Demersal Produksi pada tahun (ton) Jenis ikan Kerapu 739,3 882,5 883,3 925,2 993, , ,8 Sikuda 998,9 1,299, , , , , ,5 Kakap 72,4 97,4 97,9 158,4 191,8 237,7 332,1 Kakap Merah 313,3 549,3 579,7 604,9 743,6 827,4 985,5 Salmaneti 430,6 490,6 501,1 538,6 669,5 727,5 844,0 Jumlah 1.654, , , , , , Sumber : Dinas Kelautan Kabupaten dan Perikanan Maluku Tengah 2008 Dari Tabel 13 diatas terlihat bahwa jenis ikan demersal dari tahun 2002 sampai tahun 2008 untuk semua jenis ikan, mengalami peningkatan begitu juga dengan jumlah hasil tangkapan secara keseluruhan. Meningkatnya produksi hasil tangkapan berbagai jenis ikan baik itu jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil maupun ikan demersal dari tahun 2002 sampai tahun 2008, disebabkan oleh kondisi sumberdaya wilayah perairan di Kabupaten Maluku Tengah masih berada dalam keadaan belum tercemar oleh limbah, disamping itu sebagai bagian dari sebagai daerah dengan karakteristik laut tropis, kondisi terumbu karang, mangrove dan padang lamun yang berada di wilayah perairan Kabupaten Maluku tengah masih cukup terjaga secara alami dengan baik. Keadaan ini yang menyebabkan kondisi sumberdaya perikanan masih berada dalam kondisi stabil, terbukti dengan meningkatnya hasil produksi perikanan dari tahun ke tahun. Ditinjau dari teknologi penangkapan, sudah cukup banyak nelayan yang menggunakan teknologi penunjang yang memudahkan mereka menangkap ikan seperti mesin tempel, ketinting ataupun jaring, maupun alat tangkap lainnya yang sesuai dengan kondisi nelayan tradisional

83 63 pada umumnya, kondisi ini dapat membantu nelayan dalam aktifitas penangkapan terutama sebagai upaya meningkan produksi hasil tangkapan khususnya bagi nelayan tradisional. Selanjutnya untuk melihat produksi setiap kelompok ikan demersal dapat dilihat pada Gambar Produksi (ton) Kerapu Sikuda Kakap Kakap Merah Salmaneti Total Produksi Tahun Gambar 15. Produksi kelompok ikan demersal. Dari Gambar 15 di atas, terlihat bahwa dari jenis-ikan demersal pada masing masing komoditi, tingkat pertumbuhannya terjadi secara simultan, atau secara bersamaan terjadi pertumbuhan garis yang searah. Hal ini menunjukan laju pertumbuhan seluruh jenis komoditas demersal yang mengalami peningkatan jumlah produksi, dimana laju pertumbuhan produksi dari tahun 2002 singga 2008 terus meningkat. Peningkatan ini terjadi pada semua jenis ikan demersal. Untuk jenis ikan kerapu, laju pertumbuhan produksi dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 tidak terlalu mengalami pertumbuhan yang signifikan, akan tetapi pad tahun 2007 ke tahun 2007, laju pertumbuhannya cukup signifikan. Pada gambar juga terlihat bahwa diantara jenis ikan demersal, jenis ikan sikuda adalah komoditas yang paling banyak hasil produksinya jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya.

84 Perbandingan Produksi dan Effort ( Trip) 1. Perbandingan Produksi dan Effort Ikan Pelagis Besar Untuk melihat jumlah total produksi hasil tangkapan nelayan dan effort / upaya tangkap oleh nelayan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah untuk jenis komoditas ikan pelagis besar, dapat dilihat pada Tabel 14.. Tabel 14. Jumlah Produksi dan Effort Jenis Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Besar Tahun Produksi (ton) Effort (trip) , , , , , , , , , , , , , ,00 Rata-rata , ,7. Sumber : Dinas Kelautan Kabupaten dan Perikanan Maluku Tengah 2008 Dari Tabel 14 di atas, terlihat bahwa untuk jenis ikan pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, mengalami kenaikan jumlah produksi dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 dibarengi dengan meningkatnya upaya tangkap (effort) yang dilakukan oleh nelayan. Jika dilhat dari keseluruhan hasil tangkapan dalam satu tahun, maka rata-rata produksi hasil tangkapan jenis ikan pelagis besar setiap tahunnya adalah ,1 ton. Sedangkan rata- rata peningkatan hasil produksi dari tahun ke tahun adalah ton per tahun. Sebagaimana pertumbuhan hasil Produksi, maka jumlah trip aktifitas penengkapan ikan jenis pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku tengah, juga meningkat dari tahun 2002 sampai tahun Jika dilihat dari Tabel 29 di atas, rata-rata aktifitas (effort) penangkapan yang dilakukan setiap tahunnya adalah ,7 trip. Sedangkan peningkatan aktifitas penangkapan dari tahun ke tahun adalah 9.538,1 trip per tahun. Produksi jenis komoditas ikan pelagis besar ini, yang paling tinggi

85 65 jumlahya adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar ,9 ton, dengan upaya tangkap yang dilakukan adalah sebanyak Meningkatnya hasil tangkapan dikarenakan adanya peningkatan upaya tangkap yang terjadi dari tahun 2002 hingga tahun 2008, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan jumlah produksi hasil tangkapan. Secara grafik, perbandingan jumlah produksi penagkapan ikan komoditas pelagis besar dan jumlah effort di wilayah perairan Kabupaten Maluku tengah dapat dilihat pada Gambar , , , , , , , , , ,00 0,00 Perbandingan Produksi dan Effort Ikan Pelagis Besar Tahun Produksi effort Gambar 16. Perbandingan Jumlah Tangkapan dan Effort Ikan Pelagis Besar Dari Gambar 16 di atas terlihat bahwa antara laju pertumbuhan produksi komoditas ikan pelagis besar antara tahun 2002 sampai tahun 2008 berbanding lurus dengan jumlah effort atau bangyaknya jumlah trip aktifitas penangkapan jenis ikan tersebut di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Artinya, semakin meningkatnya jumlah aktifitas penangkapan jenis komoditas ikan pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, akan berdampak kepada menigkatnya jumlah hasil produksi ikan pelagis besar. Aktifitas penangkapan jenis ikan pelagis

86 66 besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tangah, dilakukan oleh nelayan yang mempunyai tekhnologi penangkapan berupa alat tangkap yang memadai disertai perahu yang berukuran dibawah 10 GT, di samping itu daya jelajah perahu dengan menggunakan mesin tempel dapat dilakukan dalam jarak 2 mil laut sehingga peluang untuk mencari sumber ikan pelagis besar pada saat musim penangkapan sangat besar, mengingat daya jelajah perahu yang digunakan. Disamping itu, ketersediaan stok ikan jenis komoditas pelagis besar pada saat musim penangkapan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah masih berada di atas ambang batas eksploitasi, sehingga peluang untuk meningkatka hasil produksi masih sangat besar. 2. Perbandingan Produksi dan Effort Ikan Pelagis Kecil Untuk melihat jumlah total produksi hasil tangkapan nelayan dan effort / lamanya malaut oleh nelayan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah terhadap jenis komoditas ikan pelagis kecil, dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Jumlah Produksi dan Effort Jenis Ikan Pelagis Kecil Ikan Pelagis Kecil Tahun Produksi (ton) Effort (trip) , , , , , , , Rata-rata , ,28 Sumber : Dinas Kelautan Kabupaten dan Perikanan Maluku Tengah 2008 Tabel 15 menunjukan bahwa laju pertumbuhan produksi perikanan jenis komoditas pelagis kecil mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga Ratarata hasil hasil tangkapan setiap tahunnya adalah sebesar ,7 ton. Sedangkan untuk effort jumlah aktifitas penangkapan dari tahun 2002 hingga 2008 juga mengalami kenaikan hanya, hanya saja pada tahu 2004 mengalami penurunan

87 67 aktifitas tangkap di banding tahun Jika pada tahun 2003 jumlah trip adalah sebanyak trip, maka tahun 2004 turun menjadi trip atau menurun sebesar trip. Jika dilihat pada tabel di atas, produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2008, yang berjumlah ,7 ton, sedangkan upaya tangkap adalah sebanyak Artinya bahwa semakin besar upaya tangkap akan berpengaryh terhadap meningkatnya jumlah hasil tangkapan. Untuk melihat perbandingannya secara grafik, dapat dilihat pada Gambar , , , , , , , , ,00 0,00 Perbandingan Produksi dan Effort ikan Pelagis Kecil effort Produksi Tahun Gambar 17. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort (trip) Ikan Pelagis Kecil Dari Gambar 17 di atas terlihat bahwa laju pertumbuhan produksi ikan komoditas pelagis kecil di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah meningkat dari tahun 2002 sampai dengan tahun Jika dibandingkan dengan effort atau jumlah aktifitas penangkapan ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah yang sedikit mengalami penurunan aktifitas penangkapan di tahun 2004, akan tetapi. meningkat lagi di tahun 2005 bahkan peningakatan tersebut lebih besar dari yang terjadi di tahun Hal yang sebaliknya terjadi pada tahun 2008, dimana laju pertumbuhan produksi ikan komoditas pelagis kecil dan jumlah aktifitas penangkapan untuk jenis

88 68 komoditas yang sama, berbanding lurus bahkan laju produksi ikan dan aktifitas penangkapan ikan, sama- sama mengalami peningkatan yang cukup besar. 3. Perbandingan Produksi dan Effort Ikan Demersal Untuk melihat jumlah total produksi hasil tangkapan nelayan dan effort / lamanya melaut oleh nelayan, di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah terhadap jenis komoditas ikan demersal, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah Produksi dan Effort Jenis Ikan Demersal. Ikan Demersal Tahun Produksi (ton) Effort (trip) , , , , , , , Rata-rata 3.849, Sumber : Dinas Kelautan Kabupaten dan Perikanan Maluku Tengah 2008 Dari Tabel 16 di atas terlihat bahwa laju pertumbuhan produksi jenis komodias ikan demersal dari tahun 2002 sampai tahun 2008 terus mengalami peningkatan, dimana rata-rata pertumbuhan produksi setiap tahunnya adalah sebesar 3.849,7 ton/ tahun. Pertumbuhan yang paling mencolok terlihat pada tahun 2006 dimana jika dibandingkan dengan produksi tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 2.612,4 ton, dimana dari jumlah produksi sebesar 2.423,8 ton pada tahun 2005, meningkat menjadi 5.036,2 ton di tahun Dengan jumlah trip/ upaya tangkap yang tidak berbeda jauh dengan tahun 2004, pada tabel menunjukan bahwa pada saat itu jumlah stok ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah cukup melimpah. Selanjutnya untuk melihat grafik perbandingan antara produksi dengan effort untuk jenis komoditas ikan demersal di Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 18.

89 , , , , , ,00 0,00 Perbandingan Produksi dan Effort Ikan Demersal Effort Produksi Tahun Gambar 18. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort (trip) Ikan Demersal. Dari Gambar 18 di atas terlihat antara jumlah produksi hasil tangkapan dan jumlah trip/ upaya tangkap atas penangkapan jenis ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 berbanding lurus. Perubahan produksi terlihat meningkat secara tajam pada tahun 2005 hingga 2008, dimana pada terlihat adanya perubahan karah peningkatan hasil produksi. Sedangkan jumlah trip/ upaya tangkap walaupun tetap mengalami kenaikan dari tahun ke tahun tapi kenaikan tersebut tidak sebanding dengan jumlah produksi. Meningaktnya laju produksi ketiga jenis komoditas yaitu pelagis besar, pelagis kecil dan demersal, secara umum didukung oleh meningkatnya jumlah trip penangkapan oleh nelayan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, artinya semakin tinggi jumlah trip, maka akan berdampak kepada semakin meningkatnya jumlah produksi hasil tangkapan. Disisi lain, meningkatnya jumlah produksi hasil tangkapan, tidak terlepas dari daya dukung lingkungan perairan dan ketersediaan sumberdaya perikanan yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah yang secara umum belum terkontaminasi limbah industri. Di samping itu penggunaan teknologi alat tangkap yang sudah berkembang seperti motor tempel dan ketinting oleh nelayan tidak serta merta berdampak negatif terhadap kerusakan lingkungan perairan di wilayah Kabupaten Maluku Tengah,

90 Estimasi Parameter Biologi Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model estimator Gordon- Schaefer (1957). Adapun parameter yang diestimasi meliputi: tingkat pertumbuhan instrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Hasil estimasi ketiga parameter biologi ini akan sangat berguna dalam menentukan tingkat produksi lestari seperti maximum sustainable yield (MSY) dan maximum economic yield (MEY). Berdasarkan perhitungan seperti yang terlihat dan pada Lampiran 13 dan pada Lampiran 14, maka diperoleh parameter biologi untuk jenis ikan pelagis kecil dan ikan demersal dalam Tabel 32. Berdasarkan tabel diperoleh hasil bahwa pada ikan pelagis besar, tingkat pertumbuhan instrinsiknya (r) adalah 1, dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 1,07 x10-05 serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah ,07 ton. Tingkat pertumbuhan instrinsik pada ikan pelagis kecil adalah 0,0153 dan koefisien daya tangkap (q) sebesar7,57 x10-08 serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah ton. Sedangkan Tingkat pertumbuhan instrinsik pada ikan demersal adalah 8,415 dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 0, serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah ,23 ton. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Parameter Biologi. Parameter Pelagis Besar Pelagis Kecil Demersal r 1, , , q 1,07448E-05 7,5759E-08 0, K (ton) , , , Sumber : Hasil anaisis Struktur Biaya Mengenai struktur biaya, diperoleh dengan mewawancarai nelayan perikanan tangkap yang menggunakan perahu motor tempel dengan peralatan jaring dan tali pancing (long hand), baik untuk penagkapan ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan demersal. Total biaya yang dikeluarkan untuk jenis alat tangkap jaring dengan

91 71 menggunakan motor tempel untuk penangkapan jenis ikan pelagis besar dan pelagis kecil adalah Rp / trip dimana jika dikalikan dengan inflasi nilai inflasi tahun 2008 maka biaya riil adalah Rp ,-. Biaya penangkapan ikan jenis pelagis besar dan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap jaring dengan peralatan mesin motor tempel. selengkapnya untuk melihat biaya ikan pelagis besar dengan alat tangkap jaring, dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Biaya Ikan Pelagis Besar dan Kecil Dengan Alat Tangkap Jaring Komponen Biaya Per trip Es (Rp) BBM (Rp) Oli (Rp) Pangan (Rp) Jumlah (Rp) Total (Rp) Biaya Riil (Rp) Biaya riil / E (Rp juta/ribu hari) 1,7141 Sumber : Hasil analisis Struktur biaya untuk nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing ( long line ), dengan menggunakan motor penggerak berupa mesin ketinting, maka total biaya adalah yang digunakan adalah sebesar Rp ,- untuk setiap trip/upaya tangkap. Biaya ini jika dikalikan dengan inflasi, maka biaya riilnya adalah sebesar Rp ,- Selanjutnya jumlah biaya dan komponen biaya untuk jenis ikan pelagis kecil dengan alat tangkap pancing ( long line ) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Biaya Ikan Pelagis Kecil Dengan Alat Tangkap Pancing Komponen Biaya Per trip Es (Rp) BBM (Rp) Oli (Rp) Pangan (Rp) Jumlah (Rp) Total (Rp) Biaya Riil (Rp) Biaya riil / E (Rp juta/ribu hari) 0,124 Sumber : Hasil analisis 2009.

92 72 Untuk jenis ikan demersal di Kabupaten Maluku tengah penangkapan dilakukan biasanya menggunakan alat tangkap pancing ( long line ) dengan menggunakan perahu dengan motor penggerak mesin ketinting. Penggunaan alat tangkap berupa pancing yang menjadi pilihan nelayan, disebabkan karena dalam proses operasional penangkapan, nelayan akan lebih mudah untuk segera berpindah tempat ke wilayah panangkapan lain jika pada suatu wilayah tidak ada hasil tangkapan. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan struktur biaya operasional yang dikeluarkan oleh nelayan setiap kali melakukan aktifitas penangkapan, total biaya adalah Rp ,- / trip. Jika dilkalikan dengan harga inflasi, maka biaya rill yang dikeluarkan adalah sebesar Rp ,-. Untuk lebih jelasnya komponen biaya jenis ikan pelagis besar, dapat tilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Biaya Ikan Demersal. Komponen Biaya Per trip Es (Rp) BBM (Rp) Oli (Rp) Pangan (Rp) Jumlah (Rp) Total (Rp) Biaya Riil (Rp) Biaya riil / E (Rp juta/ribu hari) 0,938 Sumber : Hasil analisis Untuk itu maka biaya riil bagi setiap trip penangkapan dari tahun 2002 hingga 2008 terhadap nelayan di Kabupaten Maluku Tengah berbeda dari masing-masing komoditas, baik untuk komoditas ikan pelagis besar, komoditas ikan pelagis kecil maupun komoditas ikan demersal. Untuk kooditas ikan pelagis besar, rata-rata biaya riil setiap tahunnya adalah 0,003, untuk ikan pelagis kecil, rata-rata biaya rill setiap tahunnya adalah 0,020, sedangkan untuk ikan demersal, rata-rata biaya riil adalah 0,016. Selanjutnya untuk melihat perbandingan biaya riil terhadap masing-masing komoditas ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal, dapat dilihat pada Tabel 21.

93 73 Tabel 21. Biaya Riil Pada Penangkapan Ikan Pelagis Besar,Pelagis Kecil dan Ikan Demersal Biaya Riil (Rp juta per trip) Tahun Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal ,003 0,026 0, ,004 0,032 0, ,003 0,022 0, ,004 0,029 0, ,002 0,002 0, ,001 0,013 0, ,002 0,016 0,012 Rata-Rata 0,003 0,020 0,016 Sumber: Hasil analisis Dari keseluruhan tabel biaya produksi di atas tidak terlhat adanya biaya pembelian umpan baik untuk jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal, hal ini disebebkan karena umpan yang digunakan adalah jenis ikan kecil yang oleh nelayan ketika hendak melaut, maka mereka akan memancing ikan-ikan kecil tersebut dan dijadikan sebagai umpan Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman. Di dalam penelitian ini, tingkat discount rate yang

94 74 digunakan adalah perhitungan discount rate Fauzi (2004) sebesar 8% dan market discount rate (15%). Market discount rate yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam. Teknik ini merupakan teknik penentuan tingkat discount rate yang sama digunakan oleh Fauzi (1998) dan Resosudarma (1995) serta Anna (2003) Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologis saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan bukan hanya berupa parameter biologi saja, melainkan juga harus menggunakan beberapa parameter ekonomi. Parameter biologi yang digunakan dalam MSY diantaranya parameter r, q, dan K, sedangkan parameter yang digunakan untuk menghitung MEY diantaranya ditambahkan peremeter ekonomi seperti c (cost per unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate (δ). Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap di wilayah Perairan Kabupaten Maluku Tengah, terlihat bahwa untuk jenis komoditas ikan pelagis besar, pemanfaatan /penangkapan sudah melewati batas lestari dimana dari rata-rata produksi lestari ,32 ton, sedangkan secara aktual eksploitasi sudah mencapai rata-rata ,1 ton, sehingga penangkapan telah berada di atas titik optimal. Untuk jenis komoditas pelagis kecil, sama dengan jenis pelagis besar, penangkapan juga sudah dilakukan di atas titik optimal dimana rata-rata produksi lestari adalah 5.287,55 ton sedangkan rata-rata produksi aktual telah mencapai ratarata eksploitasi sebesar ,7 ton. Kondisi ini berbeda dengan jenis pelagis besar dan kecil. Untuk komoditas ikan demersal penangkapan masih dilakukan di bawah titik optimal, dimana rata-rata produksi lestari adalah 6.160,977 ton sedangkan produksi aktualnya masih mencapai rata-rata 3.770,9 ton artinya untuk jenis komoditas ini,

95 75 jumlah prodiksi hasil tangkapan masih dapat ditingkatkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Tahun Produksi Ikan Pelagis Besar (ton) Produksi Ikan Pelagis Kecil (ton) Produksi Ikan Demersal (ton) Aktual Lestari Aktual Lestari Aktual Lestari , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,978 Rata-rata , , , , , ,977 Sumber: Hasil analisis Tingginya laju produksi aktual ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil, disebabkan karena tujuan rata-rata nelayan dalam melakukan penangkapan, sasaran utama adalah kedua jenis komoditas yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Hal ini disebebkan karena berdasarkan pengalaman memancing, mereka secara alami mereka dapat dengan mudah mengetahui kondisi dan keberadaan jenis ikan ini. Disamping itu hal ini sudah merupakan satu kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat nelayan sebagai penduduk asli Kabupaten Maluku Tengah. Sedangkan untuk ikan demersal, dengan adanya kondisi tempat hidup yang berada di sekitar terumbu karang, menyebabkan nelayan kesulitan untuk mengeksploitasi, mengingat resiko terhadap alat pancing jika mereka memancing ikan demersal ini, sehingga secara sederhana biasanya mereka menggunakan bubu semacam anyaman berbentuk kotak dari bambu untuk menangkap ikan demersal. Alat tangkap ini hanya sering digunakan oleh pendatang dari daerah lain. Secara grafik untuk membandingkan antara produksi lestari dan aktual masing-masing komoditas baik komoditas ikan pelagis besar, kooditas ikan pelagis kecil dan jenis komoditas ikan demersal dapat dilihat pada Gambar 19.

96 lestari aktual Gambar 19. Perbandingan aktual dan lestari ikan pelagis besar. Dari Gambar 19 di atas terlihat bahwa laju penangkapan aktual jenis ikan pelagis besar pada tahun 2002, masih berada di bawah hasil tangkapann lestari, akan tetapi sejak tahun 2003 hasil tangkapan aktual terus meningkat peningkatan ini kemudian melebihi hasil tangkapann lestari. Sedangkan untuk produksi lestari tidak mengalami perubahan dari tahun 2002 hingga 2008, sehingga grafiknya membentuk garis lurus , , ,000 0,000 aktual lestari Gambar 20. Perbandingan aktual dan lestari ikan pelagis kecil.

97 77 Untuk jenis komoditas pelagis kecil, terlihat juga adanya perbedaan yang cukup signifikan antara produksi lestari dan aktual, dimanaa kondisi dari tahun 2002 hingga 2008 hasil tangkapan aktual sudah jauh melebihi hasil tangkapann lestari , , , ,00 0,00 aktual lestari Gambar 21. Perbandingan aktual dan lestari ikan demersal Dari Gambar 21 di atas terlihat, bahwa berbeda dengan produksi aktual dan lestari jenis komoditas pelagis besar dan pelagis kecil dimana untuk jenis komoditas tersebut produksi aktual telah melebihi produksi lestari, maka untuk komoditas demersal. Produksi aktual dari tahun 2002 hingga tahun 2007 produksi aktual masih berada di bawah batas optimal produksi lestari. Namun pada tahun 2008 produksi aktual telah melewati batar titik optimal sehingga melebihi batas produksi lestari. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa peningkatan laju produksi aktual paling menonjol adalah terjadi pada tahun 2005, sedangkan untuk peroduksi lestari berada dalam kondisi stabil Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Ikan a. Ikan Pelagis Besar Dari analisis bioekonomi ikan pelagis besar, terlihatt bahwa pada saat kondisi MSY, jumlah stok ikan pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah

98 78 adalah sebanyak ,45 ton, dengan hasil tangkapan sebesar ,36 ton, dan upaya tangkap adalah sebesar trip, sehingga jumlah rente keuntungan yang didapatkan adalah Rp ,5,-. Pada kondisi MEY ( pengelolaan sole owner) persediaan stok ikan pelagis besar adalah sebesar ,22 ton, dengan hasil tangkapan sebesar ,69 ton, dan upaya penangkapan adalah sebangak trip, maka diperoleh rente sebesar Rp ,-. Sedangkan pada kondisi open acces kondisi ketersediaan stok ikan pelagis besar adalah sebesar ,56 ton, dengan hasil tangkapan sebesar ,38 ton, dan upaya tangkap sebanyak trip. Dari hasil perhitungan di atas, terlihat bahwa nilai rente sumberdaya ikan pelagis besar pada kondisi open access adalah 0. Ini berarti jika sumberdaya ikan di wilayah perairan Maluku Tengah dibiarkan terbuka untuk setiap orang, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Kondisi ini menjadi wajar jika setiap disebabkan dalam kondisi open acces siapa saja boleh melakukan eksploitasi di suatu wilayah perairan tanpa ada larangan dan batas wilayah yang jelas. Pada rezim pengelolaan MSY nilai keuntungan jenis ikan pelagis besar yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi MEY. Walaupun, pada kondisi MSY jumlah stok ikan di perairan Kabupaten Maluku tengah menghasilkan jumlah yang lebih sedikit disbanding MEY. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya jenis ikan pelagis besar secara statik di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, baiknya dikelola dengan pengelolaan MSY. Selengkapnya untuk analisis ikan pelagis besar, dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Pelagis Besar Parameter MSY MEY Open Access x (ton) , , ,56 H (ton) , , ,38 E (trip) Rente Sumber : Hasil analisis 2009.

99 79 Pengelolaan sumberdaya perikanan secara dinamik dengan menggunakan discount rate 8% dan 15% seperti terlihat pada Tabel 38, dimana analisis secara dinamik ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, dapat dikelola secara berkelanjutan. Dengan mengetahui jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan maka sumberdaya ikan pelagis kecil di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Tabel 24. Pengelolaan Optimum Pada Ikan Pelagis Besar Parameter Optimum 8% Optimum 15% x , ,78 H , ,13 E , ,13 Rente Rente Overtime (Rp Juta) Sumber : Hasil analisis Pengelolaan secara optimal dengan menggunakan nilai discount rate 8% dan 15% menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai rente pada discount rate 8% untuk jenis komoditas ikan pelagis besar adalah Rp juta dan rente atau keuntungan yang diperoleh pada tingkat penggunaan discount rate 15% adalah Rp juta. Pada pengelolaan ini, secara overtime menunjukkan hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp juta pada penggunaan discount rate 8% dan Rp juta pada discount rate 15%. Pada tabel 24 diatas juga terlihat semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin kecil. Akan tetapi jika dilihat dari pemanfaatan secara optimal terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan telah melebihi ketersediaan stok sumberdaya ikan pelagis besar, ini menunjukan bahwa telah terjadi over fishingi sumberdaya perikanan jenis pelagis besar yang juga ditunjukan dengan produksi hasil actual dan lestari. Kondisi ini tidak bisa dipertahankan mengingat akan berdampak buruk terhadap ketersediaan stok sumberdaya perikanan yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah

100 80 Terjadinya over fishing sumberdaya perikanan jenis pelagis besar, karena jenis ikan ini merupakan komoditas yang memang selalu ditangkap oleh nelayan untuk ditangkap, dan biasanya yang melakukan penangkapan terhadap jenis ikan ini adalah nelayan tradisional skala besar dengan armada tangkap yang dioperasikan oleh lebih dari 10 orang nelayan. Hal ini kemudian secara optimal dari hasil perhitungan bioekonomi seperti yang terlihat di atas untuk jangka panjang menyebabkan terjadi over eksploitasi ikan pelagis besar. b. Ikan Pelagis Kecil Hasil analisis bioekonomi komoditas ikan pelagis kecil, dapat dilihat bahwa pada saat kondisi MSY, jumlah stok ikan pelagis kecil di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah adalah sebanyak ,06 ton, dengan hasil tangkapan sebesar ,24 ton, dan upaya tangkap adalah sebesar trip, sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp , kondisi ini menunjukan bahwa upaya penangkapan masih bisa dilakukan dalam kondisi MSY dengan cara meningkatkan jumlah trip tangkapan sehingga dapat meningatkan produksi ikan, mengingat stok sumberdaya ikan yang masih tersedia cukup besar untuk komoditas pelagis kecil saat kondisi MSY. Sedangkan pada kondisi MEY ( pengelolaan sole owner) persediaan stok ikan pelagis kecil adalah sebesar ,14 ton, dengan hasil tangkapan sebesar ,11 ton, dan upaya penangkapan adalah sebanyak trip, maka diperoleh rente sebesar Rp Sedangkan pada kondisi open acces kondisi ketersediaan stok ikan pelagis kecil adalah sebesar ,16 ton, dengan hasil tangkapan sebesar 1.597,60 ton, dan upaya tangkap sebanyak trip, maka rente yang dihasilkan adalah 0. Ini berarti jika sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah jika dibiarkan terbuka (open acces) untuk setiap orang, maka dalam persaingan usaha pada kondisi ini akan menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya untuk jenis komoditas pelagis kecil menjadi nol. Dalam pengelolaan MEY nilai rente untuk jenis ikan pelagis kecil yang diperoleh adalah tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi MSY. Selain itu, pada

101 81 kondisi MEY jumlah stok ikan diperairan Kabupaten Maluku tengah adalah yang paling banyak dibandingkan MSY. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil secara statik di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah jika dikelola dengan pengelolaan MEYmaka akan lebih menguntungkan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Pelagis Kecil. Parameter MSY MEY Open Access x , , ,1 H , , ,0 E Rente Sumber : Hasil analisis Selanjutnya untuk mengetahui dan melihat Pengelolaan secara optimal dengan menggunakan nilai discount rate 8% dan 15%, menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai rente pada discount rate 8% adalah Rp juta dan rente pada discount rate 15% adalah Rp juta. Pada pengelolaan ini, secara overtime rente menunjukkan hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp juta pada discount rate 8% dan Rp juta pada discount rate 15%. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi akan semakin menurun. Akan tetapi dalam optimalisasi pemanfaatan jangka panjang ikan pelagis kecil, menunjukan kondisi adanya over fishing dimana hasil tangkapan menunjukan jumlah yang ditangkap melebihi stok sumberdaya perikanan yang tersedia secara alami. Dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Pengelolaan Optimum Ikan Pelagis Kecil Parameter Optimum 8% Optimum 15% x , ,18 H , ,02 E Rente Rente Overtime (Rp Juta) Sumber: Hasil analisis 2009.

102 82 Terjadinya over fishing terhadap ikan pelagis kecil dalam pengelolaan optimal, disebabkan ikan pelagis kecil adalah jenis ikan yang menjadi sasaran hasil tangkapan oleh nelayan yang berada di wilayah Kabupaten Maluku tengah, baik nelayan tradisional skala besar maupun skala kecil. Hal ini kemudian menyebabkan hasil tangkapan menjadi berlimpah apalagi pada saat musim penangkapan. c. Ikan Demersal Hasil analisis bioekonomi komoditas ikan demersal dapat dilihat, bahwa pada saat kondisi MSY, jumlah stok ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah adalah sebanyak 1.465,00 ton, dengan hasil tangkapan sebesar 616,44 ton, dan upaya tangkap adalah sebesar trip, sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp kondisi ini menunjukan bahwa upaya penangkapan harus dikurangi dalam kondisi MSY dengan cara mengurangi jumlah trip tangkapan sehingga dapat meningatkan produksi ikan, mengingat stok sumberdaya ikan yang masih tersedia sudah berkurang untuk komoditas pelagis kecil saat kondisi MSY. Sedangkan pada kondisi MEY, pengelolaan sole owner persediaan stok ikan demersal adalah sebesar 1.523,43 ton, dengan hasil tangkapan sebesar 6.154,68 ton, dan upaya penangkapan adalah sebanyak trip, maka diperoleh rente sebesar Rp Sama halnya dengan pada kondisi MSY, maka pada kondisi MEY jumlah tangkapan juga harus dikurangi mengingat ketersediaan stok ikan yang jauh lebih keci dari produksi. Sedangkan pada kondisi open acces kondisi ketersediaan stok ikan pelagis kecil adalah sebesar ton, dengan hasil tangkapan sebesar ton, dan upaya tangkap sebanyak trip, maka rente yang dihasilkan adalah 0. Ini berarti jika sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah jika dibiarkan terbuka (open acces) untuk setiap orangsebagai pengguna, maka usaha penangkapan pada kondisi ini akan menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya untuk jenis komoditas ikan demersal menjadi nol.

103 83 Dalam pengelolaan MSY nilai rente untuk jenis ikan demersal yang diperoleh adalah sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi MEY. Selain itu, pada kondisi ini, jumlah stok sumberdaya ikan komoditas demersal tidak berbeda jauh antara kondisi MEY dan MSY. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Demersal. Parameter MSY MEY Open Access x 1.465, ,43 116,86 H 616,44 615,46 944,24 E Rente Sumber: Hasil analisis Selanjutnya untuk mengetahui dan melihat tingkat Pengelolaan secara optimal untuk komoditas ikan demersal, dengan menggunakan nilai discount rate 8% dan discount rate 15%, menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai rente pada discount rate 8% untuk jenis komoditas demersal adalah Rp dan rente pada discount rate 15% adalah Rp Pada pengelolaan ini, secara overtime rente adalah Rp pada discount rate 8% dan Rp pada discount rate 15%. Pada tabel 41 juga terlihat bahwa semakin rendah nilai discount rate, maka mengakibatkan jumlah input produksi semakin menurun, sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan demersal semakin meningkat dan lestari. Selengkapnya, pengelolaan optimal ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Pengelolaan Optimum Ikan Demersal Parameter Optimum 8% Optimum 15% x 1.510, ,35 H 615, E Rente Rente Overtime (Rp Juta) Sumber: Hasil analisis 2009.

104 Analisis Kelembagaan Status/ Keadaan Sumberdaya Ikan Wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah Sebagai wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya kelautan yang cukup besar, telah melakukan langkah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan secara labih intensif baik dalam upaya pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan sumberdaya laut yang ada, maupun dalam upaya meningkatkan kesejahteeraan nelayan terutama nelayan tradisional khususnya perikanan tangkap. Mengingat kondisi nelayan tradisional masih diperhadapkan kepada persoalan kemiskinan, sedangkan ketersediaan sumberdaya perikanan masih cukup melimpah, dimana menurut Dinas Kelautan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah dalam Profil Investasi Kelautan dan Perikanan, potensi perikanan yang terdapat di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah meliputi berbagai jenis ikan antara lain dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Potensi Perikanan Laut Kabupaten Berdasarkan Jenis Ikan. No Jenis Ikan Komoditas 1 Pelagis Besar Tuna Cakalang 2 3 Pelagis Kecil Demersal Layang Selar Tongkol Kembung dll Kerapu Sikuda Biji nangka dll 4 Ikan Karang Ikan hias Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah Dari Tabel 29 di atas terlihat bahwa potensi perikanan laut Kabupaten Maluku Tengah terdiri dari jenis ikan pelagis besar yang terdiri dari komoditas tuna

105 85 dan cakalang. Jenis ikan pelagis kecil terdiri dari komoditas layang, selar, tongkol, kembung dll, dan jenis ikan demersal terdiri dari komoditas kerapu, sikuda, biji nangka dll. Sedangkan jenis ikan karang adalah ikan hias. 1. Potensi Ikan Pelagis Besar Menurut Dinas Kelautan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah dalam Profil Investasi Kelautan dan Perikanan, potensi sumberdaya perikanan tangkap jenis ikan pelagis besar di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, dengan wilayah kelola 0 4 mil laut adalah sebesar ,57 ton dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) sebesar 2.192,78 ton/ tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 2.192,78 ton/ tahun. Dari potensi yang dimiliki tersebut, jumlah yang paling terbanyak adalah yang terdapat di wilayah perairan Kecamatan TNS (Teo Nila Sarua), dengan jumlah potensi perikanan adalah 776,58 ton dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah 388,29 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 310,63 ton/tahun. Jumlah yang paling sedikit adalah pada wilayah perairan Kota Masohi dengan potensi 29,34 ton, dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah 14,67 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 11,74 ton/tahun. Pada wilayah kelola 4 12 mil laut, potensi yang dimiliki adalah 6.268,13 ton dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) sebesar 3.134,07 ton/ tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 2.507,25 ton/ tahun. Dari jumlah tersebut potensi terbesar berada di wilayah perairan Kecamatan Banda dengan jumlah potensi sebesar 2.235,80 ton. Jumlah eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah sebesar 1.117,90 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 894,32 ton/tahun. Pada wilayah kelola ini, potensi yang paling sedikit kandungan sumberdaya perikanannya adalah di wilayah perairan Kecamatan Salahutu, dimana kandungan sumberdaya perikanan yang dimiliki adalah sebesar 17,28 ton, dengan jumlah eksploitasi maksimum lestari (MSY) sebesar 8,64 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 6,91 ton/tahun. Untuk melihat lebih lengkap potensi jenis ikan pelagis

106 86 besar di Kabupaten Maluku Tengah pada tiap-tiap Kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Potensi Ikan Pelagis Besar Di kabupaten Maluku Tengah Kecamatan Potensi (0-4 ) mil Laut Potensi MSY ]TB (ton) (Ton/Thn) (ton/ thn) Potensi (4-12) mil Laut Potensi MSY (ton) (Ton/Thn) ]TB (ton/ thn) Seram Utara 682,09 341,05 272, ,93 599,47 479,57 Tehoru 376,50 188,25 150,60 590,28 295,14 236,11 Saparua 261,89 130,94 104,75 236,94 118,47 94,78 Haruku 192,34 96,17 76,94 208,71 104,36 83,49 Leihitu 559,51 279,76 223,80 220,25 110,13 88,10 Banda 764,55 382,27 305, , ,90 894,32 TNS 776,58 388,29 310,63 572,09 286,04 228,83 Amahai 417,26 208,63 166,90 495,75 247,88 198,30 Nusalaut 163,60 81,80 65,44 492,09 246,04 196,84 Kota Masohi 29,34 14,67 11, Salahutu 161,91 80,96 64,76 17,28 8,64 6,91 Total 4.385, , , , , ,25 Sumber: Profil Dan Infestasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah Potensi Ikan Pelagis Kecil Dalam Profil Infestasi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, terlihat bahwa potensi ikan pelagis kecil yang di miliki adalah sebesar ,64 ton dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) sebesar 5.384,32 ton/ tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 4.307,46 ton/ tahun. Dari jumlah tersebut, kandungan sumberdaya jenis ikan pelagis kecil yang terbanyak adalah di wilayah perairan Kecamatan Teo Nila Sarua (TNS). Jumlah potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di wilayah ini adalah sebesar 1.508,45 ton, dengan jumlah eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah sebesar 754,23 ton/tahun, sedangkan untuk jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 603,38 ton/tahun. Sedangkan dari potensi yang ada, jumlah yang paling sedikit kandungan ikan pelagis kecil berada di wilayah perairan Kota Masohi, dengan jumlah potensi adalah sebesar 56,99 ton, dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah sebesar 28,49 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 22,80 ton/tahun. Untuk melihat lebih lengkap potensi jenis ikan pelagis kecil pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Tabel 31.

107 87 Tabel 31. Potensi Ikan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah Potensi Ikan Pelagis Kecil Kecamatan Potensi (ton) MSY (Ton/Thn) ]TB (ton/ thn) Seram Utara 3.574, , ,95 Tehoru 731,34 365,67 292,53 Saparua 508,70 254,35 203,48 Haruku 373,61 186,81 149,45 Leihitu 1.086,81 543,41 434,73 Banda 1.485,09 742,54 594,03 TNS 1.508,45 754,23 603,38 Amahai 810,50 405,25 324,20 Nusalaut 317,78 158,89 127,11 Kota Masohi 56,99 28,49 22,80 Salahutu 314,50 157,25 125,80 Total , , ,46 Sumber: Profil Dan Infestasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah Potensi Ikan Demersal Jenis ikan demersal di wilayah Perairan Kabupaten Maluku Tengah sesuai dengan Profil Investasi Kelautan dan Perikanan, potensi jenis ikan demersal secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Potensi Ikan Demersal Di kabupaten Maluku Tengah Potensi Ikan Demersal Kecamatan Potensi (ton) MSY (Ton/Thn) ]TB (ton/ thn) Seram Utara 843,56 421,78 337,43 Tehoru 368,21 184,11 147,28 Saparua 343,53 171,77 137,41 Haruku 269,64 134,82 107,86 Leihitu 326,19 163,09 130,47 Banda 351,24 175,62 140,49 TNS 305,03 152,51 122,01 Amahai 351,94 175,97 140,78 Nusalaut 107,17 53,58 42,87 Kota Masohi 39,95 19,97 15,98 Salahutu 217,71 108,85 87,08 Total 3.524, , ,66 Sumber: Profil Dan Infestasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah 2007.

108 88 Dari Tabel 32, terlihat bahwa jumlah potensi jenis ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah adalah sebesar 3.524,16 ton, dengan eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah sebesar 1.762,08 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 1.409,66 ton/tahun. Dari jumlah potensi yang ada, yang paling banyak memiliki potensi jenis ikan demersal adalah adalah di wilayah perairan Kecamatan Seram Utara, dengan jumlah 843,56 ton, dengan jumlah eksploitasi maksimum lestari (MSY) adalah sebesar 421,78 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 337,43 ton/tahun. Sedangkan kecamatan yang wilayahnya paling sedikit memiliki potensi ikan demersal adalah perairan Kota Masohi dengan jumlah potensi adalah sebesar 39,95 ton, dari potensi tersebut, jumlah eksploitasi maksimum lestari (MSY) yang diperbolehkan adalah 19,97 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 15,98 ton/tahun. 4. Potensi Ikan Karang Potensi ikan karang di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, terbagi atas 2 kelompok yaitu ikan konsimsi dan ikan hias. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Potensi Ikan Karang di Kabupaten Maluku Tengah Potensi Ikan Karang (jumlah jenis) Kecamatan Jumlah Spesies Ikan Konsumsi Ikan Hias Seram Utara Tehoru Saparua Haruku Leihitu Banda TNS tad tad tad Amahai Nusalaut Kota Masohi Salahutu Ket: tad = tidak ada data. Sumber: Profil Dan Infestasi Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah 2007

109 89 Dari Tabel 33 terlihat bahwa jumlah ikan karang jenis terbanyak adalah di wilayah perairan Kecamatan Banda dimana terdapat 209 spesies, yang dikonsumsi adalah sebesar 97 spesies, sedangkan jenis ikan hias adalah sebanyak 122 spesies. Sedangkan wilayah yang memiliki potensi ikan karang paling sedikit adalah perairan Kota Masohi dengan jumlah potensi adalah sebangak 60 spesies dari. Dari potensi tersebut, yang dikonsumsi adalah sebesar 24 spesies sedangkan jenis ikan hias adalah sebesar 36 spesies. 5. Teknologi Penangkapan 5.1. Armada Penangkapan Armada penangkapan yang ada di Kecamatan Leihitu dari hasil survey dimana data terakhir tahun 2007, menunjukan bahwa armada penangkapan ikan masih didominasi oleh armada perahu tanpa motor, dimana pengoperasiannya masih menggunakan tanaga manusia dengan menggunakan dayung, jenis armada ini lebih banyak digunakan oleh nelayan kecil yang ada di Kecamatan Leihitu. Dominasi terhadap armada perahu tanpa motor sebagai akibat dari kurangnya modal yang dimiliki oleh nelayan kecil sehingga ada ketidak mampuan untuk membeli armada yang lebih besar. Sebaliknya bagi nelayan yang memilki modal yang lebih besar dapat membeli armada penangkpan yang lebih besar. Kondisi keberadaan armada penangkapan ikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah meliputi, armada jukung yang berjumlah unit, perahu kecil berjumlah 663 unit, perahu sedang terdapat 737 unit, dan perahu besar berjumlah 15 unit. Sedangkan untuk jenis mesin yang digunakan oleh masing-masing armada penangkapan ikan meliputi jenis mesin tempel Yamaha berjumlah 473 unit, mesin metinting berjumlah 477 unit. Untuk jenis kapal motor dengan ukuran 1-10 GT, berjumlah 23 unit, kapal motor berukuran GT terdapat 2 unit, untuk kapal motor berukuran GT berjumlah 4 unit. Sedangkan untuk ukuran GT tidak terdapat di Kecamatan Leihitu. Selanjutnya secara lebih terinci, jumlah armada penangkapan ikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, dirinci pada tiap-tiap armada tangkap dapat dilihat pada Tabel 34.

110 90 Tabel 34. Jumlah Armada Tangkap Dirinci Menurut Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Tahun No Desa Jukung Armada Tangkap Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor Perahu Perahu Perahu Yamaha Katintig Kecil sedang Besar GT GT 1 Morella Mamala Hitu Messing Hitu Lama Wakal Hila Kaitetu Seith Negeri Lima Ureng Asilulu Larike Wakasihu Alang Liliboy Hatu Jumlah Sumber: PPL Perikanan Kecamatan Leihitu G-T 5.2. Alat Penangkapan Ikan Jenis alat penangkapan ikan yang dimliki oleh nelayan yang ada di Kecamatan Leihitu, pada masing-masing desa bervariasi, akan tetapi diantara jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan lebih banyak didominasi oleh jenis alat tangkap pancing tonda, pancing ulur dan tegak. Selain dari ketiga jenis alat tangkap tersebut tardapat juga alat tangkap lain seperti jaring insang hanyut, jaring lingkar dan lainnya. Jenis alat tangkap yang paling banyak jumlahnya adalah pancing tonda yaitu sebanyak unit, sedangkan jenis alat tangkap yang paling sedikit jumlahnya adalah jenis huhate yaitu sebanyak 1 unit. Kondisi ini berdampak kepada luasan areal penangkapan yang dapat di jangkau dan akan berpengaruh terhadap meningkatnya hasil tangkapan. Bagi mereka yang memiliki jaring insang hanyut maupun jaring lingkar akan lebih banyak ikan yang dihasilkan dibandingkan dengan yang menggunakan alat tangkap pancing. Bagi nelayang kecil lebih banyak menggunakan alat tangkap rawai (ling lina) dengan pancing kail, di bandingkan dengan alat tangkap lainnya Kondisi perkembangan alat tangkap di Kecamatan Leihitu dapat dilihat pada Tabel 35.

111 76 Tabel. 35. Jumlah Alat Tangkap Dirinci Menurut Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2007 No Alat Tangkap (Unit) Morella Mamala Hitu Mesing Hitu Lama Wakal Hila Kaitetu Seith Negeri Lima Ureng Asilulu Larike Wakasihu Alang Liliboy Hatu Jumlah 1 Pukat Pantai Pukat Cincin JaringInsang Hanyut Jaring Insang Lingkar 5 Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Bagan Tancap Serok Jaring Alat Lain Rawai Tetap Huhate Pancing Tonda Pancing Ulur Pancing Tegak Pancing Cumi Pancing Lain Sero Bubu Perangkap Lain Pengumpul Rumput Laut 21 Pengumpul Kerang Pengumpul Teripang Pengumpul Kepiting Jala Lebar Garpu/Tombak Alat Lainnya Jumlah Sumber: PPL Kecamatan Leihitu Desa

112 Sustaiability Sumberdaya Ikan 1. Ikan Pelagis Pembangunan berkelanjutan ( Suatainable Development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak dan menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ( WCED, 1987). Jika konsep ini di konfersikan ke dalam koteks pemanfaatan sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan (Fishery Sustainability) adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi sekarang dalam meningkatkan taraf hidupnya, tanpa menurunkan kemampuan generasi mendatang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa mendatang. Di Kabupaten Maluku Tengah, pemanfaatan sumberdaya ikan pada saat ini jika dilihat dari pertumbuhan produksi ikan sesuai laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2008, mengalami peningkatan hasil produksi dari tahun 2002 hingga 2008 seperti yang terlihat pada Tabel produksi ikan yang disajikan sebelumnya. Hal ini kemudian mempengaruhi kelestarian sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Hasil analisis bioekonomi sumberdaya ikan untuk beberapa komoditas yang mempunyai nilai ekonmis, seperti komoditas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil, setelah dilakukan perbandingan antara produksi aktual dan produksi lestari terhadap hasil tangkapan terlihat bahwa ternyata hasil tangkapan aktul ( ,32 dan 5.287,55) telah melampaui batas hasil tangkapan lestari (23.093,1 dan ,7), terlihat pada tabel 22. Hal ini menunjukan adanya kelebihan hasil tangkapan (over fishing), secara alami sehingga dapat mempengaruhi ketersedian stok sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Tingginya hasil tangkapan lestari jika dibandingkan dengan hasil tangkapan aktual terhadap terhadap komoditas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil tersebut adalah disebabkan oleh faktor kebiasaan nelayan yang ada di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, dimana secara turun temurun telah terbiasa dalam menangkap jenis ikan pelagis. Kebiasaan ini lebih disebabkan karena pola konsumsi masyarakat di Kabupaten Maluku Tengah dan sekitarnya yang lebih

113 92 suka mengkonsumsi ikan pelagis, terutama ikan cakalang dan dalam hampir seluruh jenis ikan pelagis kecil. 2. Ikan Demersal Hasil tangkapan jenis komoditas ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah jika dibandingkan dengan komoditas ikan pelagis, menunjukan hasil yang sebaliknya. Hasil analisis bioekonmi yang membandingkan antara produksi hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapn lestari terhadap komoditas ikan demersal seperti yang telah disajikan pada Tabel 21, menunjukan bahwa hasil tangkapan aktual, masih jauh di bawah hasil tangkapan lestari. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan produksi komoditas ikan demersal masih dapat ditingkatkan hasil tangkapannya. Rendahnya produksi lestari jika dibandingkan dengan produksi aktual, lebih disebabkan karena faktor sosial. Nelayan yang menangkap ikan demersal di wilayah perairan Kabupaten Maluku tengah adalah mereka yang bukan penduduk asli, yang kebanyakan adalah pendatang dan tinggal di Maluku Tengah. Kebanyakan mereka ini berasal dari Sulewesi Tenggara. Alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan demersal, tidak seperti alat tangkap yang digunakan untuk menengkap ikan pelagis seperti kebiasaan masyarakat lokal yang menggunakan rawai (long line) tetapi yang digunakan adalah alat tangkap bubu. Bubu adalah sejenis alat tangkap yang digunakan untuk menengkap ikan demersal yang dibuat dalam bentuk anyaman dari bambu atau tali rotan, dan dibuat berbentuk segi empat yang ukurannya sesuai dengan yang diinginkan nelayan tersebut. Sesuai dengan karekteristik ikan demersal yang hidup di sekitar karang, maka alat ini digunakan untuk menangkap ikan yang hidup di wilayah karang tersebut. Tingkat kesulitan pembuatan alat tangkap bubu inilah, yang menyebabkan masyarkat lokal kesulitan dalam menangkap ikan demersal. Bagi masyarakat lokal penggunaan alat tangkap rawai (long line) merupakan alat tangkap yang telah terbiasa digubakan secara turun temurun sesuai dengan karakteristik nelayan di Kabupaten Malaku Tengah yang selama ini masih tetap dipertahankan, dalam upaya melakukan proses panangkapan ikan di perairan Kabupatan Maluku Tengah.

114 Kesejahteraan Nelayan Dalam pendekatan teori ekonomi makro, aktifitas ekonomi ditentukan oleh tiga pelaku utama yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda satu dengan lainnya. Mereka-mereka itu adalah: konsumen, produsen dan pemerintah. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan atas keputusan ekonomi yang dilakukan oleh masing-masing pihak, dimana pihak yang mengambil keputuan untuk mengkonsumsi barang/ jasa disebut sebagai konsumen, dan pihak yang mengambil keputusan untuk memproduksi barang/ jasa disebut sebagai produsen. Sementara itu pemerintah adalah pihak yang mengambil keputusan untuk mengkonsumsi dan memproduksi berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Sadoulet dan Alain, Rumah tangga mengambil keputusan untuk mengkonsumsi dan memproduksi dalam waktu yang sama. Untuk itu berdasarkan jenis sumber daya alam yang dikelola serta komuditas yang diproduksi, maka penelitian ini dikemukakan pelaku produksi sebagai nelayan terutama nelayan perikanan tangkap. Pekerjaan menangkap ikan atau yang berprofesi sebagai nelayan, bukan hanya merupakan aktifitas ekonomi saja, tetapi lebih dari itu sudah merupakan suatu budaya dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah pesisir. Dengan kata lain, kehidupan debagian besar masyarakat pesisir tidak dapat dilepaskan dari kegiatan di laut. 1. Kondisi Nelayan Sebelum Adanya Paket Bantuan. Kondisi nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu, sebelum adanya imlementasi kebijakan oleh pemerintah sama dengan kondisi nelayan pada umumnya. Jika di lihat dari sisi ekonomi, pendapatan yang diperoleh dari hasil tangkapan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari beserta keluarganya. Disamping itu penggunaan teknologi juga masih sederhana, dengan alat tangkap dan tekhnologi pada saat melaut masih sederhana. Kondisi ini diperhadapkan dengan kekurangan modal yang dimiliki sehingga sulit untuk dapat keluar dari keinginan untuk menggunakan teknologi penangkapan yang lebih baik. Hal ini akan berpengaruh

115 94 terhadap keterbatasan ruang gerak nelayan dalam menjangkau lokasi penangkapan ikan, sehingga hasil produksi yang diperoleh juga kadang tidak memadai pada saat musim penangkapan ikan. Kondisi ini memberikan dampak terhadap rendahnya tingktt pendapatan yang berakibat pada buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan khususnya nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu. 2. Bantuan Pemerintah Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap bagi nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu dilakukan dengan pengadaan saranaprasarana perikanan tangkap yang sesuai dengan kebutuhan dan ukuran alat tangkap berupa perahu yang dimiliki oleh nelayan. Rata-rata ukuran perahu yang dimiliki oleh nelayan di Kecamatan Laihitu adalah yang beukuran dibawah 10 GT yang hanya dapat dioperasikan oleh 2 sampai 3 orang nelayan, serta hak kepemilikannya adalah milik sendiri. Paket bantuan yang diberikan kepada nelayan adalah berupa motor penggerak yaitu jenis ketinting yang berukuran 6,5 HP, dan jenis alat tangkap adalah berupa jaring yang berukuran 1¾ inch, ukuran 2,5 inch dan alat pancing berupa tali pancing dan kail. Penetuan pemberian paket bantuan kepada nelayan tersebut dilakukan berdasarkan permintaan nelayan, melalui rapat koordinasi oleh nelayan di tingkat desa, dalam rangka menentukan jenis bantuan yang akan diusulkan kepada pemerintah Kabupaten melalui pemerintah kecamatan, dan oleh pemerintah kecamatan diusulkan ke pemerintah Kabupaten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah untuk direalisasikan. Dalam hal ini di kecamatan Leihitu terdapat 26 orang penerima paket bantuan yang berasal dari 8 desa antara lan : Desa Asilulu, Desa Ureng, Desa Negeri Lima, Desa Kaitetu, Desa Seith, Desa Wakal dan Desa Liliboy. Jumlah desa yang ada di Kecamatan Leihitu berjumlah 14 desa dan menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, pemberian paket bantuan kepada desa lainnya akan diberikan pada tahun berikutnya sesuai dengan perencanaan dan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku tengah.

116 95 3. Penerimaan nelayan 3.1. Penerimaan Nelayan Sebelum Adanya Paket Bantuan Nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu pada umumnya memilki alat tangkap yang sederhana yaitu berupa perahu kecil dengan kapasitas 2 sampai 3 orang dengan menggunakan dayung sebagai peggerak. Kondisi ini menyebabkan daya jelajah di wilayah perairan menjadi terbatas mengingat pergerakan perahu masih menggunakan tenaga manusia. Ditinjau dari sisi pengalaman, rata-rata nelayan tradisional yang ada di Kecamatan Leihitu mempunyai pengetahuan secara alami yang sangat baik dalam menentukan lokasi keberadaan jenis ikan pada waktu musim penangkapan, sehingga mereka dapat mengetehui keberadaan ikan pada waktu melaut. Kendala yang dihadapi oleh nelayan dengan alat tangkap yang sederhana dan masih menggunakan tenaga pendorong, adalah ketika berada di suatu lokasi penangkapan. Mengingat pergerakan ikan yang secara dinamis berpindah-pindah, menyebabkan kesulitan nelayan dalam melakukan aktifitas penangkapan, disamping itu jika keberadan ikan pada musim penangkapan beradah cukup jauh dari dari wilayah pesisir, maka pada umumnya nelayan tidak dapat menjangkau daerah tersebut dan hanya mencari disekitar wilayah sesuai dengan kemampuan tenaga yang dimiliki. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan, jika dibandingkan dengan kandungan sumberdaya perikanan pada wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah dengan potensi yang cukup besar. Dengan demikian pemanfaatan secara optimal oleh nelayan tradisional dengan kondisi alat tangkap yang dimiliki masih berada di bawah kapasitas yang ada. Selanjutnya dapat dilihat produksi rata-rata nelayan perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu sesuai dengan Lampiran 11. Dimana rata-rata produksi hasil tangkapan setiap tripnya adalah 5,60 kg. Jika harga jual per kg rata-rata adalah Rp , dan hasil produksi pertahun adalah 875,018 kg maka rata- rata peneramaan nelayan di Kecamatan Leihitu sebelum adanya kebijakan adalah sebesar Rp Dengan jumlah penerimaan sebesar ini tidak dapat memenuki kebutuhan kelauarga nelayan tersebut sehinggi

117 96 belenggu kemiskinan akan terus bagi nelayan tradisional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Penerimaan Nelayan Sesudah Adanya Paket Bantuan Untuk melihat pendapatan nelayan tradisional perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu, sesuai dengan paket bantuan yang telah diberikan kepada nelayan berupa motor pengerak mesin katinting, jaring dan alat pancing sesuai dengan kebutuhan permintaan nelayan, pada Lampiran 12. Terlihat bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan meningkat menjadi 16,78 kg/ trip. Jika dengan harga rata-rata yang sama yaitu Rp / kg dan hasil tangkapan rata-rata setiap tahunnya adalah ton, maka penerimaan rata nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu setelah memperoleh paket bantuan adalah sebesar Rp , setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Meningkatnya jumlah produksi hasil tangkapan menurut hasil wawancara dengan nelayan, adalah karena pengalaman sebagai nelayan perikanan tangkap yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Disamping itu, di sebabkan dengan adanya bentuan berupa motor penggerak dan jaring, menyebabkan nelayan lebih mudah bergerak untuk melakukan pencarian keberadaan ikan, serta daya jelajah yang bisah ditempuh terhadap suatu wilayah penangkapan dalam waktu yang relatif singkat, serta bisa lebih mudah mencapai lokasi sumber keberadan ikan yang lebih jauh, sehingga hal inilah yang menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan. 4. Biaya Produksi 4.1. Biaya Produksi Sebelum Adanya Paket Bantuan Komponen biaya produksi bagi nelayan sebelum adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan bagi nelayan, terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Komponen biaya peralatan merupakan biaya tetap (fixed cost) yang merupakan biaya yang tidak berubah pada setiap kali melakukan aktifitas penangkapan dalam waktu yang lama. Komponen biaya tetap ini disebut juga sebagai biaya infestasi terdiri dari biaya untuk membeli perahu, dayung, biaya

118 97 pemeliharaan perahu dan biaya pengecatan, sedangkan biaya variabel (Variable cost) disebut juga sebagai biaya operasional adalah biaya yang berubah-ubah pada setiap kali melakukan aktifitas penangkapan yang meliputi, biaya pembelian umpan, bagi nelayan pengguna tali pancing ( long line ), biaya makan selama melaut dan dan biaya lain-lain. Salah satu komponen yang tidak dihitung dalam penelitian ini adalah biaya tenaga kerja. Faktor tenaga kerja bagi nelayan perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, menggunakan tenaga keluarga khususnya laki-laki dewasa yang berada di dalam keluarga masing-masing nelayan pemilik perahu sehingga tidak ada biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk membayar upah bagi nelayan. Pada Lampiran 13. diperlihatkan besarnya biaya produksi perikanan tangkap dimana rata-rata jumlah biaya investasi adalah Rp sehingga jika rata-rata biaya operasional bagi masing - masing nelayan adalah Rp , maka rata - rata biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan sebelum adanya implementasi kebijakan adalah sebesar Rp setiap tahunnya. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran Biaya Produksi Sesudah Adanya Paket Bantuan. Komponen biaya produksi bagi nelayan sesudah adanya kebijakan, sama dengan komponen biaya produksi pada saat sebelum adanya kebijakan, dimana terdiri dari komponen biaya inversati dan biaya operasional. Yang membedakan antara komponen sebelum dan sesudah adanya kebijakan adalah pada komponen harga bahan bakar minyak (BBM). Adanya penambahan komponen bahan bakar minyak bagi nelayan setelah adanya kebijakan oleh Pemerintah, disebabkan karena implementasi kebijakan yang diberikan kepada nelayan disamping alat tangkap berupa jaring dan alat pancing, adalah motor penggerak perahu barupa jenis mesin katinting 6,5 Hp, dimana untuk menggerakannya diperlukan BBM berupa bensin dan oli. Dalam hasil perhitungan biaya produksi sesudah adanya kebijakan sesuai dengan Lampiran 14, terlihat bahwa rata-rata pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh nelayan untuk biaya perlengkapan setiap tahunnya adalah sebesar Rp ,

119 98 sedangkan rata-rata biaya peralatan yang dialokasikan oleh nelayan tiap tahunnya adalah Rp ,- untuk biaya bahan bakar minyak adalah sebesar Rp Dengan demikian, maka rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan oleh nelayan setelah adanya implementasi kebijakan adalah Rp Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran Manfaat Pekat Bantuan Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu tentunya diharapkan akan memberikan nilai manfaat bagi nelayan terutama adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan tersebut, yang akan bermuara kepada meningkatnya kesejahteraan nelayan itu sendiri. Secara ekonomi, adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, diarahkan kepada peningkatan produksi hasil tangkapan dan meningkatkan nilai jual di pasar, sehingga hasil keuntungan yang didapatkan akan lebih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka keberhasilan suatu kebijakan, ditentukan oleh perubahan yang terjadi kearah yang lebih baik terutama dari sisi pendapatan nelayan terhadap kondisi sebelum adanya implementasi kebijakan. Untuk melihat apakah pemberian paket bantuan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu dapat meningkatkan pendapatan nelayan, maka sebagai parameternya akan dilihat perbandingan pendapatan nelayan sebelum adanya pemberian paket bantuan dan sesudah adanya pemberian paket bantuan. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Perbandingan Pendapatan Nelayan Sebelum dan Sesudah Adanya Paket Bantuan. Uraian Biaya Produksi JT/ Thn Penerimaan JT/Thn Pendapatan JT/Thn Sebelum ada paket bantuan Sesudah ada ada paket bantuan Persen Peningkatan (%) 28 % 214 % 185 % Sumber : Hasil analisis 2009.

120 99 Pada Tabel 36. diatas terlihat bahwa besarnya total biaya produksi yang dikeluarkan oleh nelayan sebelum adanya paket bantuan adalah Rp , setelah adanya paket bantuan terjadi peningkatan biaya produksi sebesar 28 % menjadi Rp Sedangkan pada penerimaan nelayan sebelum adanya paket bantuan, peneriman sebesar Rp dengan adanya paket bantuan terjadi peningkatan penerimaan sebesar Rp , atau sebesar 214 %. Demikian halnya dengan pendapatan bersih nelayan. Sebelum adanya paket bantuan pendapatan nelayan adalah sebesar Rp Sedangkan pendapatan setelah adanya paket bantuan Rp Dengan demikian terjadi peningkatan pendapatan nelayan sebear 185 %. Dari hasil perhitungan diatas menunjukan bahwa adanya paket bantuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu telah berhasil meningkatkan pendapatan nelayan perikanan tangkap khususnya nelayan tradisional. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa, secara ekonomi pertumbuhan pendapatan nelayan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan terutama nelayan tradisional Hak Pengelolaan (Properti Right) Nelayan Atas Sumberdaya Ikan Properti right merupakana hak yang harus ditegakan dan dihormati oleh satu pihak atas hak kepemilikan yang dimiliki oleh pihak lain. Oleh Karen itu maka property right merupakan institusi/ lembaga atau aturan main yang dalam penegakannya memerlukan badan atau lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut. Alasan lain mengapa property right perlu ditegakan, karena property right dianggap sebagai hak asasi manusia. Hak manusia untuk memiliki merupakan hak mendasar yang bila tidak ada, maka manusia kehilangan eksisitensinya. Oleh karena itu, pihak berwenang dalam hal ini pemerintah, lembaga adat atau lembaga yang mendapatkan mandat harus berupaya agar property manusia atas sesuatu bisa tegak. Di Kabupaten Maluku Tengah, hak pengelolaan sumberdaya ikan (property right) bagi nelayan, sesuai dengan anggapan bahwa laut adalah milik siapa saja yang yang ingin memanfaatkannya, maka terhadap nelayan di berikan kebebasan sebesar-

121 100 besarnya untuk melakukan penangkapan atas sumberdaya ikan sesuai kemampuan yang mereka miliki. Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah tidak membuat aturan untuk membatasi hak eksploitasi oleh nelayan. Pemerintah dalam hal ini hanya memantau penggunaan alat tangkap yang tidak melanggar ketentuan yang sifatnya merusak sumberdaya alam seperti penggunaan bom atau putasium. Aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan di wilayah Perairan Kabupaten Maluku Tengah hanya di batasi oleh keadaan keadaan iklim, dimana jika cuaca ekstrim, maka nelayan tidak akan melaut. Disamping itu wilayah-wilayah yang tidak boleh dimasuki nelayan adalah batas wilayah perairan yang secara kelembagaan lokal (lembaga adat) telah diklaim sebagai milik wilayah tertentu yang di Maluku di kenal dengan nama sasi laut. Sasi laut ini merupakan wilayah yang oleh pemerintah dan masyarakat desa dibatasi oleh aturan kelembagaan lokal/lembaga adat yang hanya dapat manangkap hasil laut pada saat yang telah ditentukan, Apabila ketentuan itu dilanggar oleh siapa saja maka akan mendapatkan sanksi berupa denda atau pembayaran ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati berdasarkan keputusan lembaga adat di desa tersebut. Di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, sasi laut ini terdapat di wilayah perairan Desa Haruku. Selain batas wilayah ini, maka nelayan diberikan kebebasan untuk menangkap ikan pada wilayah yang diinginkan Desain Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Merencanakan suatu desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan, mengingat berbagai komponen yang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Desain kelembagaan ini harus dilakukan dengan melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat dimana tidak terjadi perubahan didalam fungsi dan karakternya. Bromley (1988) mengatakan jika kondisi-kondisi ekonomi dan sosial masyarakat berubah, maka struktur kelembagaan yang ada tidak akan cocok lagi untuk dipakai. Anggota-anggota masyarakat akan berusaha merancang suatu

122 101 aransemen kelembagaan yang baru yang lebih ssuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi maupun selera masyarakat pada kondisi saat itu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk mewadahi kepentingan masingmasing aktor yang terlibat, maka perlu di buat suatu lembaga khusus dengan struktur, keanggotaan, mekanisme pengambilan keputusan dan kewenangan yang harus disepakati oleh para aktor. Ada tiga hal penting yang harus mendapatkan kesepakatan dari para aktor tersebut yaitu: 1). Format lembaga. Struktur lembaga harus disusun sedemikian rupa sehingga kepentingan masing-masing aktor secara proporsional dapat terwakili dalam lembaga tersebut. Kepentingan-kepentingan itu harus terpresentasikan dalam konfigurasi keanggotaan yang akan dipilih berdasarkan mekanisme yang disepakati sebelumnya. 2). Mekanisme pengambilan keputusan. Sebagai sebuah lembaga yang melibatkan multi kepentingan, maka sejak awal perlu ditetapkan mekanisme pengambilan keputusan. Secara teoritik, mekanisme pengambilan keputusan itu dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. 3). Kewengan Lembaga. Kewenangan dari lembaga kerjasama tersebut juga harus disepakati, diantaranya adalah pemetaan wilayah kewenangan daerah laut, identifikasi potensi sumberdaya perikanan dan sumberdaya sosial kelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan, serta mekanisme resolusi konflik. Berdasarkan hasil analisis dalam tata kelola kelembagaan sebelumnya, maka lembaga yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, harus melibatkan komponen masyarakan nelayan baik yang formal maupun informal, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi, Upaya ini dalam rangka mengintegrasikan masing-masing aktor kedalam suatu tatanan kelembagaan pengelolaan yang baik dan terpadu sehingga masing-masing kepentingan dapat terwakili dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan. Secara lengkap, desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 22

123 102 Sumberdaya Perikanan Dep. Kelautan dan Perikanan Colective Choise Level Laporan Tindak Pelanggaran Informasi Transformasi Teknologi Alat tangkap Pengguna Dinas Kelautan dan Perikanan Mal-Teng Input Musyawarah Perencanaan Pembangunan ( Masyarakat Nelayan ) Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Akademisi ( Penelitian dan Pengambangan ) Pengawas sumberdaya Perikanan Eksploitasi Lembaga Pengelola SD Perikanan Lembaga Pemasaran Hasil Polisi, Angkatan Laut Kelompok Nelayan Kecamatan Pedagang pengumpul / Leihitu Papalele dan KUD Operasional Choise Level Ket : : Instruksi : Konsultasi : Koordinsai. Gambar 22. Desain Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kecamatan Leihitu. Dari Gambar 22 di atas terlihat bagaimana peran dari masing-masing lembaga dan sistem koordinasi yang dibangun dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku tengah. Peran dan fungsi masing-masing lembaga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dimana masing masing saling ada keterkaitan antar lembaga. Peran yang cukup menonjol adalah suatu lembaga musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dimana didalammya terdiri dari kumpulan kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Leihitu, yang merupakan jembatan penghubung antara tingkat collective choise level ( pihak pengambil kebijakan ) dalam hal ini lembaga pemerintah dan masyarakat selaku pelaksana lapangan (operational choise level). Lembaga ini mempunyai peranan penting dalam menentukan siapa-siapa diantara lembaga pengelola sumberdaya perikanan yang berhak memperoleh bantuan pemerintah dalam kaitan dengan

124 103 implementasi kebijakan. Oleh karena itu untuk memperkuan eksistensi badan tersebut, maka harus mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu juga lembaga tersebut harus harus merumuskan aturan-aturan main bagi masing-masing aktor yang menjadi anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar interaksi masing-masing aktor dalam lembaga dapat berjalan secara baik. Selain itu juga aturan main tersebut untuk menghindari berbagai konflik kepentingan yang dapat muncul dari masingmasing aktor. Berdasarkan kerangka desentralisasi perikanan, komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan sistem kelembagaan adalah : (1). Aspek keterbatasan kewenangan (yuridiction boundary), Batas kewenangan lembaga pengelolaan sumberdaya perikanan Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, sesuai dengan UU No 32, tentang kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan adalah 12 mil laut untuk masing-masing daerah, sedangkan bagi Kabupaten/Kota adalah 1/3 nya atau sekitar 4 mil laut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya kebanyakan ada yang keluar dari batas yuridiksi, walaupun tidak sampai batas 12 mil laut, yang tidak hanya terjadi pada nelayan di Leihitu, tapi juga nelayan yang berasal dari Leihitu. Hal ini menyebabkan masih banyak terjadi pelanggaran batas wilayah penangkapan akan tetapi belum ada aturan mengenai tindak pelanggaran terhadap batas wilayah operasional. (2). Aspek kepemilikan (property right). Bedasarkan hasil penelitian terlihat bahwa hak kepemilikan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu adalah masih bersifat open acces. Kondisi ini karena masyarakat nelayan masih menganggap bahwa laut adalah milik bersama sehingga tidak ada kewenangan bagi siapapun untuk membatasi keinginan nelayan lain untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Akan tetapi beberapa wilayah di Kabupaten Maluku tengah sebenarnya telah menetapkan hak ulayat dalam kepemilikan sumberdaya perikanan (sasi), sehingga tidak diperbolehkan bagi pihak lain untuk menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah tersebut.

125 104 (3). Aturan representasi (Rule of Representation). Aturan representasi dalam dalam kelembagaan ini dapt dikelompokan dalam menjadi dua level, yaitu: pertama level penentu kebijakan (Colective Choise Level). Level ini berperan dalam penentuan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah : 1). Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di sekitar wilayah perairan Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku tengah, sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan. Selanjutnya adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku yang mempunyai fungsi koordinasi dengan dinas Kabupaten Maluku Tengah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta Departemen Kelautan dan perikanan sebagai dua lembaga pemerintah yang bersifat pemberi instruksi kapada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. 2). Kelompok Masyarakat yang tergabung dalam kelompok musyawarah perencanaan pembangunan perikanan. Lembaga ini merupakan lembaga yang dibentuk untuk bersama-sama mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kelompok nelayan, baik yang formal maupun informal. Hasil dari rapat koordinasi lembaga ini biasanya akan merupakan masukan kepada pihak pengambil kebijakan dalam menentukan arah kebijakan yang terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan yang ada di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. 3). Badan Penasehat Teknik dan Ilmiah yang dalam hal ini adalah kalangan akademisi. Badan ini berperan dalam memberikan masukan kepada pemerintah daerah atau lembaga lain yang membutuhkan mengenai hasil-hasil penelitian ilmiah sehingga dapat dijadikan dasar pijak bagi pengambilan keputusan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang membutuhkan.

126 105 Kedua, level operasional (Operasional Choice Level). Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah perencanaan pembangunan di Kecamatan Leihitu. Selain itu level ini juga bertugas memberi dukungan dan mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu. Kelompok ini terdiri atas: 1) Kelompok lembaga pengelolaan sumberdaya perikanan baik yang formal maupun informal yang berada di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku tengah. Lembaga ini terdiri dari kelompok nelayan yang diakui keberadaannya oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah, dan mereka inilah yang biasanya mendapatkan paket bantuan dai pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 2) Kelompok yang terdiri dari pedagang pengumpul/ papalele yang berfungsi sebagai kelompok yang memasarkan hasil produksi perikanan dari kelompok nelayan. Kelompok ini dalam aktifitasnya mengumpulkan hasil tangkapan, selalu mendatangi nelayan pada saat musim penangkapan ketika nelayan pulang melaut untuk melakukan transaksi jual beli hasil tangkapan dari nelayan. Selanjutnnya mereka akan memasarkan ikan tersebut kepada masyarakat sekitar atau di pasar yang berada di Kecamatan Leihitu, yang terletak di Desa Hitu. Tetapi jika jumlah hasil tangkapan cukup banyak, maka akan dipasarkan di Kota Ambon. 3) Kelompok lembaga pengawas sumberdaya perikanan yang berfungsi untuk mengawasi wilyah perairan Kecamatan Kabupaten Meluku Tengah, dan juga bertugas sebagai lembaga penegak hukum bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Lembaga ini terdiri dari polisi perairan dan Angkatan Laut. Dalam menjalankan fungsinya, lembaga ini akan sering memantau keadaan laut serta aktifitas yang terjadi dalam pemanfaatannya, hal ini untuk menjaga tindak pelanggaran aktifitas penangkapan oleh nelayan lokal, misalnya aksi penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau potassium dan juga terjadinya illegal fishing oleh nelayan atau menggunakan alat tiangkap yang tidak diperbolehkan dalam aturan penangkapan.

127 Tata Kelola Sumberdaya Ikan Model tata kelola kelembagaan sumberdaya perikanan tangkap dalam penelitian ini diadopsi dari kerangka analisis kelembagaan yang dikembangkan oleh Pido et al (1997), yang membagi tata kelola sumberdaya perikanan kedalam beberapa beberapa atribut yaitu: 1). atribut biofisik dan teknologi, 2). atribut pasar, 3) atribut pemegang kepentingan, 4). atribut tatanan dan indikator pengambilan keputusan 5). atribut kelembagaan dan organisasi eksternal dan 6). Atribut eksogen. Hasil analisis mengenai tata kelola sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di Kecamatan Leihitu, terdiri dari berbagai atribut yang saling mempengaruhi dalam pola interaksi antara yang satu dengan yang lainnya. Atributatribut tersebut antara lain : Pertama, atribut biofisik dan teknologi. Atribut biofisik adalah kandungan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kabupatan Meluku Tengah. Kandungan sumberdaya perikanan yang dimiliki masih tergolong baik dan dalam kondisi alami, dengan berbagai species ikan yang masih cukup melimpah, Potensi sumberdaya perikanan di kabupaten Maluku Tengah khususnya perikanan tangkap adalah ton /tahun dan yang baru dimanfaatkan adalah sebesar ,1 ton / tahun, hal ini didukung oleh luas wilayah laut yang mencakup ,1 Km². Sedangkan atribut teknologi adalah jenis teknologi alat tangkap yang selama ini digunakan oleh nelayan tradisional yang ada di wilayah Kecamatan Leihitu. Teknologi alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan berbeda- beda disesuaikan dengan besarnya armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Jenis alat tangkap yang selama ini digunakan oleh nelayan tradisional antara lain rawai, jaring pancing tonda. Untuk nelayan formal terdiri dari perahu yang hanya dapat diolerasionalkan oleh 2 sampai 3 orang dengan motor penggerak adalah mesin ketinting, dan alat tangkap yang digunakan adalah berupa tali pancing dan kail ( Long hand), jaring ukuran 2,5 inci. Sedangkan untuk nelayan informal perahu yang digunakan, dapat dioperasikan oleh orang dengan alat tangkap pancing tonda maupun jaring yang berukuran besar.motor penggerak yang digunakan adalah jenis mesin Yamaha berukuran 40

128 107 PK. Disamping itu ada juga yang masih menggunakan perahu dengan dayung sebagai penggerak. Kedua, atribut pasar yang elemen utamanya adalah meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran ( supply). Di kecamatan Leihitu atribut ini terdiri atas pasar lokal dimana hasil tangkapan langsung dipasarkan oleh nelayan atau pedagang pengumpul, dimana pasar lokal yang menjadi pusat perdagangan hasil tangkapan di Kecamatan Leihitu bertempat di Desa Hitu Lama. Kondisi ini tergantung dari jumlah hasil tangkapan. Semakin besar hasil tangkapan, maka hasil produksi akan dipasarkan di pasar yang lebih besar yaitu pasar yang terdapat dikota Ambon, hal ini disebabkan karena jumlah konsumen yang lebih besar jika dibandingkan dengan pasar lokal. Disamping itu ada juga kelompok masyarakat lokal pengguna sumberdaya perikanan tangkap, biasanya mereka adalah komoditas yang mengkonsumsi langsung, dengan cara membeli dari nelayan ketika nelayan baru pulang setelah menangkap ikan. Ketiga, atribut pemegang kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Di Kecamatan Leihitu mereka ini terdiri dari kelompok- kelompok nelayan, baik nelayan formal yang terdiri atas kelompok-kelompok nelayan yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. maupun informal yang keberadaannya tidak diketahui oleh pemerintah. Disamping itu ada juga pemerintah selaku pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan perikanan apakah itu ditingkat Propinsi Maluku ataupun ditingkat Kabupaten Maluku Tengah. Kelompok swasta yang termasuk dalam atribut ini adalah para pedagang pengumpul (papalele) mereka ini, secara sosial ekonomi memiliki kepentingan terhadap sumberdaya perikanan dimana mereka adalah pembeli langsung hasil tangkapan dari nelayan untuk dipasarkan. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan hidup dari hasil penjualan ikan oleh mereka. Kempat, atribut pengambilan keputusan. atrbut ini pada tingkat nelayan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah dikenal sebagai suatu lembaga musyawarah yang bertujuan untuk mengambil keputusan, terkait dengan persoalanpersoalan yang dihadapi di tingkat nelayan. Lembaga ini dikenal dengan lembaga

129 108 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat nelayan dan keanggotaannya terdiri dari kolompok masyarakat nelayan yang dikoordinir oleh penyuluh perikanan lapangan (PPL) yang ada di tingkat Kecamatan Laihitu. Hasil keputusan musyawarah biasanya akan dikoordinasikan kepada dinas kelutan dan perikanan yang ada di tingkat kabupaten sebagai permasalahan nelayan yang diharapkan dapat diatasi oleh pemerintah daerah. Atribut lainnya adalah penegakan hukum. Penegakan hukum ini dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran dalam cara-cara melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan tangkap. Di tingkat Kabupaten Maluku Tengah, terdapat pemberlakuan pelarangan terhadap illegal fishing, penangkapan dengan menggunakan potasium maupun bom ikan. Biasanya bagi mereka yang melanggar aturan ini akan dikenai sanksi. Sanksi tersebut berupa pambayaran ganti rugi ataupun dikenai hukuman kurungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Aparat penegak hukum yang dilibatkan sebagai pengawasan dalam mengantisipasi terjadinya tindak pidana kejahatan sesuai dengan larangan yang diberlakukan adalah pihak Angkatan Laut dan Polisi perairan wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Kelima, atribut kelembagaan eksternal dan organisasi eksternal. Mereka yang terlibat di dalam atribut ini adalah mereka yang tidak mempunyai akses langsung terhadap terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, tapi masih berpengaruh terhadap kehidupan nelayan dan kondisi sumberdaya perikanan. Di Kecamatan Leihitu mereka adalah aparatur desa dan pihak bank. Aparatur desa dalam hal ini sebegai perangkat pelayanan masyarakat yang secara administratif membantu nelayan terkait pengelolaan sumberdaya ikan sebagai penghubung antara nelayan dengan pemerintah, disamping itu dalam kaitan penegakan hukum dalam kelembagaan lokal peran aparat desa sangat penting dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan di batas wilayah desa dari tindak pelanggaran eksploitasi sumberdaya ikan. Pihak bank dalam kaitan dengan iklim usaha nelayan berfungsi sebagai pemberi pinjaman modal bagi nelayan dalam mengembangkan usahanya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.

130 109 Untuk melihat tata kelola sumberdaya ikan berdasarkan atribut dan interaksi antar atribut dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dapat dilihat pada Gambar Biofisik dan teknologi Pengawasan Informasi Batas-batas pengelolaan Interaksi Pengguna Tekhnologi - Alat tangkap - Armada Penangkapan Bantuan Bantuan Dinas Kelautan dan Masyarakat Dana KUD Perikanan PerikananMaluku Kontribusi - Nelayan Kelompok Sarana Leihitu Tengah - Nelayan Bebas -Sarana Produksi (Kec. Laihitu) Perikanan Laporan Koordinasi Hasil Pendapatan Tangkapan Informasi Dinas Kelautan dan Perikanan Tk I Maluku Dep. Kelautan dan Perikanan RI Pedagang Pengumpul (Papalele) Stake Holder Lembaga Pengawasan dan Penegakan Hukum - Polisi Perairan - Angkatan Laut Atribut Eksternal Batsa Gambar 23. Tata Kelola Sumberdaya Ikan Hasil Tangkapan Pendapatan -Konsumsi Masyarakat -Pasar Lokal -Pasar Ambon Atribut Pasar Persoalan Nelayan MusyawarahPerencanaan Pembangunan Nelayan. -Kelompok Nelayan -PPL Atribut Kelembagaan Nelayan Dari Gambar 23. terlihat bahwa atribut mempunyai peranan dan saling adanya keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini terlihat dengan adanya interaksi antar masing-masing aktor didalam atribut itu sendiri, maupun adanya interaksi antara aktor diantara satu atribut dengan atribut lainnya. Dari seluruh atribut yang ada, pada aktor masyarakat nelayan merupakan aktor yang dapat menghubungkan dengan berbagai aktor yang ada dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu, hal ini mengingat pengelolan sumberdaya perikanan tangkap tersebut ditujukan kepada penyelesaian masalah-masalah nelayan dan berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya perikanan yang ada. Atribut ini kemudian berhubungan dengan penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan dengan nelayan adalah sebagai pengguna. Semakin baik teknologi yang digunakan

131 110 akan semakin berpengaruh terhadap hasil tangkapan, meningkatnya hasil tangkapan apabila didukung oleh kondisi pasar yang memadai, maka akan berdampak kepada meningkatnya pendapatan nelayan. Disamping itu eksploitasi sumberdaya perikanan akan berdampak kepada kondisi sumberdaya perikanan itu sendiri, maka harus ada aturan-aturan dari lembaga berwenang dalam hal ini pihak pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggarn yang dilakukan dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Untuk itu dalam atribut eksternal terdapat aktor yang yang bertugas mengawasi sumberdaya kelautan sehingga dalam melakukan eksploitasi oleh pihak pengguna, tidak menyalahi aturan yang berampak kepada kerusakan sumberdaya perikanan. Mereka ini adalah polisi perairan dan angkatan laut, yang bertugas untuk menjaga agar tidak terjadi eksploitasi yang keluar dari tata aturan yang telah ditetapkan dan disepakati. Tindak pelanggaran yang kemudian akan dilaporkan kepada instansi terkait yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah maupun Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku untuk diketahui dan ditindak lanjuti. Atribut lainnya adalah kelembagaan nelayan yang biasanya digunakan untuk bermusyawarah terkait persoalan yang dihadapi oleh nelayan, kemudian mencari solusi pemecahannya. Mereka adalah kelompok nelayan yang dalam kaitannya dengan pemerintah adalah melakukan koordinasi dan memberikan informasi kepada pemerintah mengenai persoalan yang dihadapi, sehingga diharapkan ada campur tangan pemerintah untuk turut mengatasinya. 1. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Dalam wilayah teritorial negara, batas-batas wilayah perairan dalam suatu kawasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) adalah merupakan milik atau wilayah pengelolaan negara tersebut. Dalam kaitan dengan rezim pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, oleh pemerintah daerah dinyatakan sebagai milik bersama (private property) seluruh elemen pengguna sumberdaya ikan yang dalam hal ini adalah nelayan, artinya seluruh komponen masyarakat nelayan boleh manangkap ikan tanpa ada larangan dari pemerintah

132 111 setempat terhadap siapa yang boleh dan tidak boleh menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, selama itu masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak berakibat bagi terjadnya kerusakan lingkungan, Dalam hal ini oleh pemerintah setempat hanya mengawasi proses penangkapan oleh nelayan untuk menghindari terjadinya penggunaan alat tangkap atau teknologi yang dapat menggangu ekosistem laut yang dapat berakibat terhadap kestabilan kondisi sumberdaya ikan. Hal ini kemudian menyebabkan nelayan dapat menangkap ikan sesuai dengan kemauan mereka dan bebas malakukannya sesuai dengan yang mereka inginkan. Pentapan rezim pengelolaan bahwa laut adalah milik persama oleh pemerintah setempat menyebabkan tidak adanya batasan wilayah pengelolaan bagi nelayan yang berasal dari daerah lain untuk menangkap ikan di zona tangkapan Perairan Kabupaten Maluku Tengah. Kondisi ini kemudian mengarah menjadi rezim pengelolaan open acces dimana tidak ada kejelasan batas wilayah terhadap nelayan dari daerah lain untuk menangkap ikan, artinya nelayan dari mana saja diizinkan untuk menangkap ikan diwilayah perairan Kabupaten Maluku tengah. Di tingkat nelayan sendiri, dari hasil pengamatan dan wawancara mereka menganggap bahwa laut adalah bukan milik siapapun yang mau memanfaatkannya, sehingga mereka tidak punya hak untuk melarang nelayan dari daerah manapun agar tidak menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Disamping itu, di tingkat kecamatan maupun aparatur desa, tidak memiliki aturan khusus yang dapat digunakan untuk menjadi dasar hukum sebagai larangan untuk nelayan dari daerah lain agar tidak menangkap ikan pada batas-batas kecamatan ataupun desa. Walaupun dalam pelaksanaannya rezim pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku tengah bersifat open acces, tidak sampai menimbulkan konflik antar nelayan baik skala besar, maupun skala kecil. Hal ini disebabkan bagi nelayan skala besar, operasi penangkapan selalu dilakukan di abagian terluar dari pulau, sedangkan nelayan kecil wilayah operasi penangkapan dilakukan di bagian dalam pulau sehingga ada pemisahan wilayah operasi penangkapan. Satu-satuya aturan lokal yang ada di Kabupaten Maluku tengah yang digunakan oleh masyarakat untuk melindungi sumberdaya ikan adalah aturan adat

133 112 sasi ikan, itupun tidak semua desa memberlakukannya. Lembaga ini hanya ada di Desa Haruku yang dikenal dengan nama sasi ikan lompa, dan itupun hanya untuk melindungi satu komoditi saja yaitu ikan lompa pada musim-musim tertentu. Dalam sejarahnya, sasi memang sudah ada sejak jaman nenek moyang yang diberlakukan turun-temurun dengan menggunakan aturan tidak tertulis tapi jelas pengaturannya. Sasi laut itu sendiri bertujuan untuk mengatur kegiatan eksploitasi di laut, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga adat desa setempat Karakteristik Fisik. 1. Stakeholder. Stakeholder merupakan komponen anggota masyarakat maupun pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung adalah pengguna sumberdaya ikan yang terdiri dari nelayan, pemerintah dan swasta Nelayan Di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, nelayan adalah anggota masyarakat, baik penduduk asli maupun pendatang yang secara ekonomi tergantung kepada sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Kebanyakan dari bertempat tinggal di wilayah pesisir sehingga lebih mempermudah akses mereka ke laut. Disamping sebagai nelayan pekerjaan yang lain yang ditekuni adalah sebagai petani pada saat tidak melakukan aktifitas penangkapan di laut. Penduduk asli yang bekerja sebagai nelayan kebanyakan hidup di wilayah pesisir Pulau Seram. Pulau-Pulau Lease, Pulau Haruku dan Pulau Ambon. Sedangkan para pendatang adalah penduduk yang hidup di dusun-dusun yang berasal dari Sulawesi Tenggara Pemerintah Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah merupakan adalah lembaga yang tidak mempunyai akses langsung

134 113 dalam pengelolaan sumberdaya ikan, tetapi memilki pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah Pedagang dan Koperasi. Merupakan lembaga di luar pemerintah yang merupakan penyalur ataupun penadah hasil tangkapan dari nelayan. Mereka ini adalah pedagang pengumpul (papalel) yang kebanyakan berasal dari daerah setempat, dan Koperasi perikanan yang berada di Kabupaten Maluku tengah. Di samping itu, koperasi juga memegang peranan pengting dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tengah, sebagai penyedia sarana-prasarana produksi perikanan/ faktor-faktor produksi bagi nelayan sehingga mempermudah nelayan dalam memperoleh sarana produksi perikanan 2. Non Excludable Dalam pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, kebebasan dalam menangkap ikan merupakan aspek yang selama ini tidak dapat dihindari, hal ini dikarenakan pada wilayah penangkapan tersebut, nelayan dari daerah mana saja bebas menangkap ikan karena tidak ada larangan atau aturan untuk melarang nelayan dari daerah/wilayah lain agar tidak menangkap ikan. Bagi nelayan setempat menangkap ikan merupakan hak setiap orang sehingga tidak ada alasan untuk melarang nelayan dari daerah lain untuk menangkap ikan di wilayah mereka. Nelayan-nelayan tersebut kebanyakan berasal dari Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan sebagai nelayan yang berasal dari Kota Ambon. 3. Batas-Batas Pengelolaan Batas kewenangan wilayah pengelolaan ikan di Kebupaten Maluku Tengah meliputi wilayah perairan bagian dalam yang terletak di antara Pulau Seram dengan Pulau Ambon dan Pulau- pulau Lease. Disamping itu batas kewenangan pengelolaan

135 114 sumberdaya ikan sesuai dengan batas wilayah, berada di daerah bagian luar pulau Seram, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sesuai dengan kerangka otonomi dearah, maka kewenangan batas pengelolaan kea rah laut adalah 4 mil laut Karakteristik Nelayan 1. Sosial Budaya Masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tengah, merupakan masyarakat yang pada umumnya hidup dan menetap di wilayah pesisir dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebagian dari mereka juga memiliki mata pencaharian sampingan yaitu sebagai petani yang mengelola hasil hutan milik keluarga. Mata pencaharian sebagai petani dilakukan jika kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melaut (cuaca ekstrim). Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan sebahagian besar adalah merupakan penduduk asli setempat, disamping itu ada juga yang berasal dari daerah lain (suku buton) dari Sulawesi Tenggara. Kehidupan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun temurun, dan telah dilakukan hingga sekarang. 2. Pemahaman Atas Sumberdaya Ikan Pengetahuan dalam memahami sumberdaya ikan pada satu wilayah pengelolaan sangat penting khususnya bagi para nelayan agar dapat menentukan arah dan jenis ikan yang dapat di tangkap. Sebagai nelayan kecil yang telah beraktifitas dalam pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, telah memiliki pengetahuan yang sudah berlangsung secara turun temurun dalam mengenal sumberdaya ikan terutama jenis ikan yang akan di tangkap, pengetahuan ini didasarkan kepada pengelaman yang dimiliki selama bertahun-tahun dan tidak dimiliki oleh masyarakat awam. Secara alami para nelayan di Kabupaten Maluku Tengah dapat menentukan dan mengetahui jenis ikan yang ada pada waktu-waktu tertentu khususnya pada waktu musim penengkapan. hal ini dilakukan dengan mengenal kondisi alam pada musim penangkapan, ataupun arus air pada saat melaut,

136 115 dengan demikian mereka dapat menentukan arah pergerakan ikan. Khusus untuk mengetahui jenis ikan, sudah merupakan kebisaan dengan berpatokan pada bulanbulan tertentu ataupun hari tertentu mereka dapat mengetahui jenis ikan yang ada pada saat itu. Disamping itu penangkapan pun diketahui dapat dilakukan pada jam Pasar 1. Keadaan Pasar Dalam teori kelembagan, atribut pasar memegang peranan penting dalam proses mendistribusikan hasil tangkapan perikanan kepada konsumen, yang dalam hal ini melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Di Kecamatan Leihitu, dalam mendistribusikan hasil tangkapan perikanan sampai ke tingkat konsumen, melibatkan pihak lain selain dari pada nelayan itu sendiri. Pihak lain tersebut adalah pedagang pengumpul yang dalam konteks daerah setempat disebut sebagai istilah Papalele mereka ini pada umumnya terdiri dari kaum wanita yang rata-rata telah berumah tangga. Struktur pasar yang ada di Kecamatan Leihitu terdiri meliputi terdiri atas beberapa komponen antara lain: 1). kelompok masyarakat. Kelompok ini dalam kaitan dengan hasil tangkapan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu adalah sebagai pihak masyarakat konsumen yang langsung berhubungan dengan nelayan. Sistem dalam hubungan ini adalah proses pembelian hasil tangkapan ikan dari nelayan untuk dikonsumsi oleh mereka pada saat dibutuhkan, atau biasanya juga dilakukan dengan membeli langsung dari pedagang pengumpul, sehingga tidak perlu melakukan pembelian di pasar. 2). pasar lokal. Pasar lokal yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pasar yang secara formal merupakan tempat terjadinya transaksi jual beli hasil tangkapan sumberdaya perikanan, dimana dicirikan dengan adanya pembayaran restribusi kepada pemerintah setempat dari para pedagang. Di Kecamatan Leihitu, pasar ini terletak di Desa Hitu dengan skala ukuran yang lebih kecil dan waktu melakukan aktifitas transaksi jual beli lebih singkat dimana, transaksi hanya dapat dilakukan pada waktu pagi sampai siang hari, dan hanya melibatkan konsumen yang merupakan masyarakat yang ada disekitar Kecamatan Leihitu. 3). pasar eksternal.

137 116 Yang dimaksud dengan pasar eksternal adalah pasar yang berada di Kota Ambon. Bagi para distributor perikanan, pasar di Kota Ambon merupakan struktur pasar terakhir yang biasanya menjadi tempat tujuan untuk memasarkan hasil tangkapan. Pendistribusian hasil tangkapan ke pasar di Kota Ambon dilakukan apabila hasil tangkapan melimpah sehingga dirasakan tidak akan terjual habis di pasar lokal, dengan asumsi bahwa jumlah konsumen sebagai pembeli sumberdaya perikanan lebih besar jumlahnya dan berasal dari berbagai tempat. 2. Komponen Harga Harga merupakan salah satu komponen penting yang dapat menentukan tingkat keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil penjualan sumberdaya perikanan oleh mereka yang mempunyai kepentingan langsung dengan sumberdaya perikanan. Besar kecilnya harga penjualan hasil tangkapan dapat ditentukan oleh jenis ikan, dan jumlah produksi. Pada kenyataannya harga produksi hasil tangkapan kadang-kadang berfluktuasi, dimana apabila hasil tangkapannya melimpah maka harga ikan akan turun, sebaliknya jika produksi ikan sedikit maka harga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan teori permintaan dan penawaran (supply and demand), dimana semakin kecil supply sumberdaya perikanan maka demand akan semakin meningkat dan sebaliknya. Untuk harga ikan pada beberapa jenis komoditas terutama perolehan data harga didapat dangan cara melakukan wawancara langsung di lapangan dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian terutama adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. Data harga nominal adalah nilai rataan dari segenap spesies berdasarkan kelompok tiap-tiap komoditas. Pengelompokkan berdasarkan komoditas yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga komoditas ikan yaitu komoditas ikan pelagis besar ikan pelagis kecil dan ikan demersal., Harga yang digunakan pada perhitungan harga ikan pelagis besar adalah harga riil. Yang dimaksudakan dengan harga riil adalah harga yang diperoleh dengan mengalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2002, dimana pada beberapa penelitian sebelumnya

138 117 digunakan harga 2002 karena dianggap lebih stabil dibandingkan dengan hargaharga tahun yang lainnya. Selanjutnya untuk memperoleh nilai harga riil, maka harga dibagi dengan indeks Pada analisis bioekonomi ini, rata-rata harga per kg ikan pelagis besar adalah Rp Jika rata-rata harga setiap ton adalah Rp. 14,67 juta, maka rata-rata harga riil ikan pelagis besar adalah Rp 14,36 juta per ton. Indeks harga/ kg tertinggi adalah berada di tahun 2003 yaitu sebesr Rp /kg dan mempengaruhi indeks harga pertonnya menjadi Rp. 17,75 juta/ ton. Selanjutnya untuk melihat secara rinci harga ikan pelagis besar dari tahun 2002 hingga tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Harga Ikan Pelagis Besar Tahun Harga/Kg Harga (Juta/Ton) Harga riil (Juta/Ton) ,50 15, ,75 17, ,50 16, ,75 16, ,00 12, ,75 11, ,50 10,29 Rata-rata ,67 14,36 Sumber : Hasil analisis Untuk jenis ikan pelagis kecil, harga ikan perfluktuasi antara tahun 2002 hingga 2008, setelah dikalikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar 2002, seperti yang terlihat pada Tabel 38, jika rata-rata harga / kg adalah Rp dan rata-rata harga setiap tonnya adalah Rp.13,46 juta, maka rata-rata harga rill yang diperoleh untuk komoditas ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah adalah 13,93 juta / ton, indeks harga konsumen tertinggi untuk jenis komoditas ini perkilogram adalah pada tahun 2005 dimana harganya adalah Rp / kg. Hal ini kemudian mempengaruhi indeks harga/tonnya menjadi Rp. 15, /ton setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, harga jenis pelagis kecil dari tahun 2002 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 38.

139 118 Tabel 38. Harga Ikan Pelagis Kecil Tahun Harga/Kg Harga (Juta/Ton) Harga riil (Juta/Ton) ,50 10, ,75 13, ,50 11, ,00 14, ,75 15, ,75 13, ,00 18,20 Rata-rata ,46 13,98 Sumber: Hasil analisis Seperti halnya komoditas pelagis besar dan ikan pelagis kecil, maka untuk menghitung harga riil komoditas ikan demersal digunakan cara yang sama, sehingga diperoleh hasil perhitungan harga rill untuk komoditas demersal, setelah dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan tahun dasar 2002, maka diperoleh harga rill sebesar 40,03 juta / ton. Dimana dengan rata-rata harga per kg adalah Rp , dan rata-rata harga setiap ton adalah Rp. 41,46 juta. Harga tertinggi/kg adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp /kg, sedangkan indeks harga jual tertinggi setiap tonnya adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 47,50 juta/ton. Harga riil tertinggi adalah pad tahun 2004 yaitu Rp. 48,69 juta/ton. Untuk melihat secara keseluruhan harga komoditas ikan demersal dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 38. Harga Ikan Demersal Tahun Harga /Kg Harga (Juta/Ton) Harga riil (Juta/Ton) ,75 35, ,00 34, ,75 48, ,75 32, ,50 48, ,00 41, ,50 39,12 Rata-rata ,46 40,03 Sumber : Hasil analisis 2009.

140 Proses Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Dalam kaitan dengan pemasaran hasil tangkapan oleh nelayan tradisional yang ada di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, terdapat dua pelaku utama dalam proses ini, yaitu nelayan dan pedagang pengumpul. maka pemasaran dilakukan oleh nelayan dimana ketika nelayan tersebut pulang melaut, sudah ada para pembeli yang menunggu untuk mempeli hasil tangkapan mereka. Pembeli terdiri dari para pedangang pengumpul, atau oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Oleh pedagang, pengumpul hasil tangkapan ini kemudian dijual dalam bentuk ikan segar yang masih mentah maupun dalam bentuk ikan yang telah diasap untuk diawetkan. Setelah itu hasilnya dijual ke masyarakat sekitar, dijual ke pasar lokal atau di pasar Kota Ambon. Demikian juga yang dilakukan oleh nelayan tapi dalam hal ini, proses penjualan tidak dilakukan oleh nelayan itu sendiri, tapi dilakukan oleh keluarga nelayan diantaranya adalah istri dan anak perempuan yang sudah dewasa. Alur pemesarannya juga sama dengan pedagang pengumpul. Untuk melihat secara skematik proses pemasaran hasil produksi perikanan ini dapat disajikan dalam bentuk rantai pemasaran pada Gambar 24. Sumberdaya Perikanan Hasil tangkapan (nelayan) Pedagang Pengumpul (Papalele) Konsumsi Masyarakat setempat Pasar Lokal Leihitu Ket : = Alur pemasaran Pasar Kota Ambon Gambar 24. Alur pemasaran perduksi ikan di Kecamatan Leihitu.

141 120 Dari Gambar 24 di atas, terlihat rantai pemasaran yang dilakukan oleh pelaku pasar yang dalam hal ini adalah para produsen, yang ditempati oleh nelayan dan pedagang pengumpul selanjutnya yang menjadi sasaran penjualan adalah para konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat lokal, konsumen di pasar lokal, bahkan ada juga yang membeli dari pasar lokal untuk dijual di pasar ambon dalam bentuk ikan yang telah diawetkan dalam bentuk di ikan asar dan konsumen terakhir adalah pasar Ambon. Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa yang menjadi sasaran akhir adalah masyarakat atau konsumen di pasar Kota Ambon Aturan Main (Rule Of The Game) Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, mengacu pada aturan yang telah disahkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah ataupun lembaga-lembaga adat yang di tetapkan oleh kelompok masyarakat.. Aturan yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat dikelompokan menjadi: 1. Kelembagaan Formal Kelembagaan formal adalah aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tengah dapat dikelompokkan menjadi : 1) Undang-undang yang terdiri dari UU No 9 tahun 1985 tentang perikanan yang kemudian direvisi dengan UU No 31 tahun 2004 tentan Perikanan, Undang undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 2) Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia. 3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap.

142 121 4) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep. 58/Men/2001 Tentang Tata Caraa Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. 5) Keputusan Menteri Pertanian No. 123/Kpts/Um/1975 tentang Ktentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk penangkapan ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya. 6) Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tantang Jalur-jalur Penangkapan ikan. 7) Perda Kabupaten Maluku Tengah No. 04 Tahun 2004 tanggal 27 Pebruari 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Ketujuh aturan main tersebut secara formal mengatur penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, menjaga kelestarian sumberdaya ikan, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, perlindungan kepentingan nelayan, pengaturan izin penangkapan, pengaturan alat penangkapan ikan, pengaturan alat penangkapan ikan, pengturan upaya penangkapan ikan, pengaturan jenis dan ukuran yang boleh ditangkap, pengaturan jalur dan zonasi penangkapan ikan, sanksi terhadap pelanggaran dan pungutan perikanan bagi setiap nelayan yang melanggar aturan tersebut. 3. Kelembagaan Informal Kelembagaan informal dalam hal ini adalah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh nelayan yang ada di Kecamatan Leihitu dalam hal ini adalah kelompok nelayan yang membawahi suatu wadah Musyawarah Perencanaan Pembangunan bagi masyarakat nelayan, yang didalamnya terdapat lembaga masyarakat nelayan Kecamatan Leihitu. Dibentuknya lembaga ini didasarkan pada aturan pemerintah Dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, bahwa dalam rangka pemberian paket bantuan kepada nelayan, maka harus dilakukan kepada nelayan yang terdaftar sebagai anggota kelompok telah memilki kelompok nelayan secara legal.

143 122 Kelembagaan informal lainnya adalah para nelayan yang tidak memilki keterkaitan langsung dengan pemerintah dalam hal perolehan bantuan seperti halnya kelompok nelayan. Mereka adalah kelompok nelayan yang berdiri sendiri dan pada umumnya menggunakan perahu yang dioperasikan oleh lebih dari 10 orang anak buah kapal. Biasanya mereka dipimpin oleh pemilik kapal penangkap ikan itu sendiri yang membawahi para ABK yang mengoperasikan kapal penangkap ikan. Walaupun kelembagaan ini sifatnya terpisah dari kelompok nelayan yang dibentuk pemerintah, tapi masing-masing memiliki kesadaran yang tinggi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sehingga sampai saat ini konflik antar nelayan masih dapat dihin dari. 4. Hubungan Antara Kelembagaan dan Aktor Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan 4.1. Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya didalam pemanfatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, dapat dibagi dalam empat kuadran antara lain: Kuadran I (Subjek) ditempati oleh para nelayan dan pedagang pengumpul (papalele) sumberdaya ikan. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap keberadaan hasil tangkapan sumberdaya perikanan, namun tidak terkait dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil tangkapan dan pemasaran hasil produksi perikanan. Selama ini hasil tangkapan oleh nelayan biasanya disalurkan kepada pihak pedagang pengumpul (papalele) untuk kemudian dijual oleh pedagang pengumpul tersebut ke pasar, baik dalam bentuk ikan mentah, maupun dalam bentuk ikan yang telah di asap yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan nama ikan asar. Kuadran II (Pemain) ditempati oleh Dinas Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, Perguruan tinggi, kelompok ini mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

144 123 perikanan di Kabupaten Maluku Tengah melalui perumusan berbagai peraturan, baik formal maupun informal. Kuadran III (Penonton) ditempati oleh aparat desa dan perbankan. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu. Pihak perbankan juga mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mengembangkan aktifitas usahanya sehingga tidak tergantung kepada keberadaan sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kecamatan Laihitu Kabupaten Maluku Tengah. Kwadran IV (Aktor) yang di tempati oleh polisi perairan dan angkatan laut. Kelompok ini memilki pengaruh tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Melalui penegakan berbagai penegakan hukum terhadap pelanggaran aktifitas penangkapan ikan yang sesuai dengan peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar DKP. RI PPL Kuadran I Subjek Nelayan dan pepedagang (papalele) Perguruan Tinggi DKP. Propinsi DKP.Kab.Malteng Kuadran II Pemain KUD Aparat Desa Polair AL 100 Kuadran II Penonton Kuadran IV Aktor Gambar 25. Pemetaan Aktor Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya perikanan.

145 Hubungan Antar Kelembagaan Aktor Dalam Pengelolaan Suberdaya Ikan Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan, perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom (1990) tersebut, aktor-aktor pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tengah yang tergolong dalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Sementara itu, yang termasuk ke dalam level operasional (operational choice level) adalah kelompok usaha swasta, kelompok nelayan formal dan kelompok nelayan informal. Untuk melihat hubungan antar kelambagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 26. Collective Choice Level Dana Perguruan tinggi Koordinasi Penyaluran Dana Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan Koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah Koordinasi Kordinasi Kalompok Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Kelompok pedagang/swasta Akses Dana Kelompok Masyarakat Formal Koordinas Kelompok Masyarakat informal Operational Chice Level Nelayan Koordin Nelayan Gambar 26. Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sumberdaya ikan.

146 125 Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah Perairan Kabupaten Maluku Tengah teridintifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya, dilakukan berdasarkan keputusan masingmasing aktor. Hal ini disebabkan belum adanya suatu lembaga formal yang yang khusus dapat mengkoordinasikan masing-masing kepentingan di antara aktor. Namun demikian kondisi ini sampai saat tidak sampai menimbulkan konflik antar aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dikarenakan adanya anggapan bahwa laut sifatnya bebas untuk dieksploitasi oleh siapa saja, sehingga sesungguhnya tidak terjadinya konflik antar masing-masing kepentingan disebabkan oleh adanya kesadaran masyarakat/ pengguna atas pemahaman bahwa laut dan sumberdaya ikan adalah milik siapa saja terutama mereka yang beraktifitas dan bermatapencaharian sebagai nelayan, yang akan menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah.. Pemerintah yang diharapkan mampu menyatukan masing-masing kepentingan ternyata belum mampu dalam melakukan hal itu. Pemerintah dalam menjalankan programnya selama ini lebih cenderung bermitra dengan kelompok nelayan formal. Sementara kelompok informal jarang dilibatkan dalam program-program pemerintah, padahal kekuatan kelompok ini umumnya dikendalikan oleh tokohtokoh pemilik perahu dan sesepuh nelayan yang cukup mempunyai pengaruh dikalangan nelayan formal yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini kemudian jika pada saat ini belum ada konflik dalam pengelolaan sumberdaya ikan, kedepan bisa saja terjadi konflik jika kondisi ini tidak diperhatikan., sehingga harus segera di cari solusi untuk pemecahannya. Disamping itu lembaga yang diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antar aktor dalam menyatukan kepentingannya masing-masing yaitu Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Maluku Tengah tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada umumnya lembaga ini hanya lebih condong kepada pengusaha-pengusaha skala besar, menyebabkan pemerintah harus secara langsung menemui nelayan-nelayan kecil untuk melaksanakan program yang diperuntukan bagi nelayan kecil.

147 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pola Perumusan Kebijakan Pasal 33 UUD 45 dengan jelas mengatur pentingnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Salah satu sektor penting penyedia sumberdaya alam adalah sektor kelautan dan perikanan. Sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu ujung tombak pertumbuhan ekonomi nasional mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama nelayan. Mengingat kondisi nelayan di Indonesia khususnya nelayan kecil yang menurut Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPP HNSI, 2008 ), sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 90% dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, mengharuskan pemerintah dalam hal ini sebagai pengambil kebijakan, dituntut untuk memperhatikan pola perumusan kebijakan yang mengarah kepada kepentingan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh nelayan khususnya nelayan tradisional. Mengingat potensi sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap tersebut di atas, maka dalam mengambil langkah kebijakan pengelolaannya, pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah telah mengambil pola kebijakan yang bersifat Bottom Up dimana kebijakan yang dilakukan adalah dengan memperhatikan kondisi sumberdaya perikanan yang ada, dan yang terpenting untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan sehingga dapat lebih meningkatkan pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional Proses Perumusan Kebijakan Penngelolaan Sumberdaya Perikanan Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah, dilakukan oleh sebuah tim perumus yang ditentukan dan berasal dari lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah yang dikoordinir oleh kepala dinas, berdasarkan instruksi bupati Kepala Daerah Kabupaten Maluku Tengah. Dalam pelaksanaannya telah menghasilkan berbagai bentuk

148 127 kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berada di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Dalam proses perumusan kebijakan tersebut telah menghasilkan berbagai produk kebijakan antara lain : 1. Kebijakan Umum Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah diarahkan pada upaya mendinamisasi pembangunan daerah secara integratif, untuk itu telah dirumuskan empat kebijakan strategis pembangunan untuk Kabupaten Maluku Tengah dibidang kalautan dan perikanan. Empat kebijakan strategi pembangunan di bidang kelautan dan perikanan yang sesuai dengan rumusan dalam kebijakan Pembangunan Kabupaten Maluku tengah meliputi : 1. Mengidentifikasi potensi laut dan pesisir 2. Pemanfaatan, pengelolaan dan perbaikan lingkungan laut, wilayah pesisir dan zona-zona sensitive, perilaku-perilaku, baku mutu lingkungan, wawasan lingkungan dan sumberdaya laut langka/ hampir punah secara terpadu dan berkelanjutan. 3. Pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pengembangan sumberdaya manusia, memantapkan kelembagan ekonomi dan permodalan serta menciptakan iklim usaha yang sehat dan dinamis. 4. Pengembangan dan peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM) melalui pendidikan/ pelatihan mengembangkan teknik-teknik budidaya yang ekonomis serta peningkatan bioteknologi sebagai sebagai terobosan peningkatan produksi. 1. Strategi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dan untuk mewujudkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tengah, maka strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya

149 128 perikanan yang telah dirumuskan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah adalah : 1. Memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. 2. Memperdayakan sosial dan ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan. 3. Menerapkan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan dan manajemen profesional pada setiap mata rantai usaha bidang kelautan dan perikanan. 4. Mengembangkan dan memperkuat jaringan ekonomi. 5. Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan perikanan. 6. Meningkatkan pengawasan, pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan 7. Merehabilitsi ekosistem pesisir dan laut 8. Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum serta kelembagaan daerah. 9. Menanamkan wawasn dan jiwa kebaharian/ kelautan pada seluruh masyarakat. 1. Orientsi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Mengacu kepada kebijakan umum dan langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah Kebupaten Maluku Tengah, maka oleh pemerintaha Kabupaten melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah telah dirumuskan berbagai orientasi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut adalah : 1. Berorientasi pada kepentingan nasional dan daerah 2. Pembangunan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, harus memenuhi pembangunan berkelanjutan. 3. Pembangunan kelautan dan perikanan harus berdasarkan pendekatan wilayah terpadu 4. Berorientasi pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat (seluruh stake holder kelautan dan perikanan)

150 Memaksimalkan terobosan menyangkut pendanaan guna mengembangkan kelautan dan perikanan daerah 2. Program-program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Dalam rangka pelaksanaan strategi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah Kaupaten Maluku Tengah, maka program pembangunan terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang telah dirumuskan meliputi: 1. Pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan 2. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan 3. Perencanaan wilayah pengembangan kelautan dan perikanan (WAPPEL) serta pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 4. Pengawasan, pengendalian dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan. 5. Pengembangan teknologi dan sistem informasi kelautan dan perikanan 6. Pengembangan kapasitas kelambagaan dinas kelautan dan perikanan Lembaga Penegakan Hukum Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah dirumuskan, harus disertai dengan sistem penegakan hukum untuk menjaga berlangsungnya implementasi kebijakan tersebut. Hal ini terkait dengan keberlanjutan dari pada sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh suatu wilayah perairan. Di Kabupaten Maluku Tengah, lembaga yang bertugas dalam pelaksanaan pengawasan implementasi kebijakan, serta menjaga batas-batas teritorial wilayah perairan dari tindak illegal fishing adalah polisi perairan Kabupatan Maluku Tengah dan Angkatan Laut. Tugas dan fungsi dari kedua lembaga ini adalah untuk menjaga keamanan dan kelestarian sumberdaya perikanan dari tindakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan. Aktifitas tindak pelanggaran pengelolaan sumberdaya perikanan yang marak dilakukan oleh pihakpihak tertentu adalah menangkap ikan dengan cara pengeboman, atau dengan

151 130 menggunakan potasium. Oleh karena itu untuk meminimalisir atau menghentikan kegiatan tersebut, maka oleh pol air dan angkatan laut, sering melakukan patrol untuk melakukan pemantauan di laut Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tengah dari hasil penelitian menunjukan bahwa lebih diarahkan untuk meningkatkan hasil produksi sebesar-besarnya yang bertujuan agar dapat memehuhi permintaan pasar ekspor. Akibatnya pemerintah lebih canderung mengarahkan pemberian paket bantuan kepada nelayan untuk dapat menangkap ikan dalam jumlah sebesarbesarnya. Kondisi ini kemudian berdampak kepada kondisi keberlanjutan (sustainability) sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. 1. Analisis Kebijakan Terhadap Keberlanjutan (Sustainability) Sumberdaya Ikan Hasil analisis bioekonomi sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, dimana orientasi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi ikan, telah menyebabkan adanya peningkatan hasil produksi yang sangat signifikan. Dari laporan tahunan dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tengah tahun , terlihat adanya kenaikan hasil tangkapan dari tehun ke tahun selama kurun waktu tersebut, khususnya untuk jenis ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Jika dilihat dari hasil produksi aktual dan produksi lestari dari kedua jenis komoditas ini seperti yang terlihat pada analisis bioekonomi sumberdaya ikan sebelumnya, terlihat bahwa hasil tangkap aktual untuk komoditas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil telah melampaui hasil tangkapan lestari. Ini menujukan bahwa kondisi sumberdaya ikan untuk kedua jenis komoditas tersebut menglami ancaman dalam konteks keberlanjutn sumberdaya ikan kedepan. Sebaliknya untuk jenis komoditas demersal dari hasil analisis bioekonomi menunjukan bahwa hasil tangkapan aktual masih berada di bawah hasil tangkapan lestari ini artinya dari konteks sustainability komoditas ini masih layak untuk ditingkatkan hasil produksi. Dengan demikian bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di

152 131 Kabupaten Maluku Tengah yang rumuskan dan dilaksanakan selama ini justru telah menyebabkan terjadinya ancaman terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, sehingga disadari atsu tidak sangat berpengaruh negative terhadap sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. 2. Analisis Kebijakan Terhadap Kesejahteraan Masyarakan Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dalam pendekatan sustainable development harus didasari pada dua pendekatan, yaitu pendekatan terhadap aspek keberlanjutan sumberdaya itu sendiri dan yang kedua pendekatan dari aspek ekonomi dengan melihat pengelolaannya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah didalam mengelola sumberdaya ikan yang ada, telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan kecil. Dari hasil analisis yang dilakukan, bahwa terjadi peningkatan pendapatan nelayan dengan diberikannya paket bantuan berupa sarana-prasarana penangkapan ikan oleh pemerintah sehingga terjadi peningkatan jumlah produkasi ikan dan berakibat kepada peningkatan pendapatan nelayan yang sangat signifikan yaitu sebesar 185 %, akan tetapi jika dikaitkan dengan keberlanjutan sumberdaya, maka kenaikan pendapatan ini secara ekonomi, hanya bersifat jangka pendek mengingat kondisi sumberdaya ikan pada komoditi yang menjadi primadona tangkapan nelayan mengalami over fishing. Ini berarti bahwa dalam jangka panjang akan berakibat kepada menurunnya pendapatan masyarakat nelayan sebagia akibat dari lebih tingginya hasil tangkapan aktual dari hasil tangkpan lestari Biaya Transaksi Pemberian Paket Bantuan Penerapan pemberian paket bantuan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kebupaten Maluku Tengah dilakukan melalui pelaksanaan proyek-proyek pemerintah terhadap nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap, dimana implementasinya dilakukan atas dasar permintaan dan kebutuhan nelayan tersebut. Oleh karena

153 132 penelitian ini sifanya studi kasus di Kecamatan Leihitu, maka Komponen biaya transaksi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang akan dilihat adalah pada tingkat Kecamatan Leihitu pada tahun 2007 sesuai dengan data yang disediakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Untuk melihat tingkat efisiensi biaya transaksi terhadap pemberian paket bantuan yang diterapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, diperlukan adanya pembanding dengan kecamatan lain. Untuk itu sebagai pembandingnya dipilih Kecamatan Salahutu dengan berbagai asumsi antara lain : 1. Letak wilayah yang sama-sama berada di wilayah pesisir 2. Jarak dari Ibukota Kabupaten hampir sama 3. Letak Kecamatan yang berdekatan 4. Luas wilayah yang hampir sama 5. Rata-rata bermata pencaharian sebagai nelayan 6. Pemberian paket bantuan terhadap kedua wilayah pada tahun yang sama. Adapun komponen biaya transaksi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap meliputi :1) biaya seleksi, 2) biaya pembinaan, 3) dan biaya monitoring. Ketiga komponen biaya ini diidentifikasi berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah dalam dalam memberikan paket bantuan di tiap-tiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah Struktur Biaya Transaksi Pemberian Paket Bantuan 1. Biaya Seleksi Sebagai bagian dari pemberia paket bantuan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah terhadap nelayan perikanan tangkap di tiap-tiap kecamatan yang ada, implementasinya dilakukan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh nelayan. Ini dilakukan mengingat pada prinsipnya yang mengtahui persoalan yang dihadapi oleh nelayan adalah nelayan itu sendiri. Mengingat dalam implementasi kebijakan tersebut dihadapkan oleh keterbatasan anggaran, maka Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah malalui Dinas Kelautan dan Perikanan telah

154 133 melakukan seleksi terhadap pengajuan permintaan bantuan oleh nelayan tradisional. Seleksi dilakukan bertujuan untuk melihat secara langsung kondisi nelayan sehingga dapat membedakan nelayan yang memenuhi syarat untuk menerima bantuan dan yang tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan tersebut. Untuk melakukan proses seleksi, anggaran yang dikeluarkan bagi Kecamatan Leihitu adalah sebesar Rp ,- atau 36,54 % dari total biaya transaksi di Kecamatan Leihitu sedangkan untuk Kecamatan Salahutu adalah Rp ,- atau 33,15 % dari total biaya transaksi untuk Kecamatan Salahutu. 2. Biaya Pembinaan Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan perikanan untuk memberikan materi-materi pengajaran kepada nelayan bagaimana mempergunakan bantuan-bantuan yang telah diberikan agar tidak salah dalam penggunaannya. Kegiatan pembinaan itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan lewat kerja sama dengan Penyuluh Perikanan Lapangan (PPL) Baik di Kecamatan Leihitu, maupun Kecamatan Salahutu. Hal ini dilakukan mengingat nelayan-nelayan tradisional yang diberikan bantuan pada awalnya menggunakan dayung sebagai pendorong, sedangkan bantuan yang diberikan adalah jenis motor tempel berupa mesin ketinting, dimana cara penggunaannya harus diajarkan kepada nelayan, sehingga perlu adanya pembinaan mengenai cara penggunaan dan perawatannya. Untuk kegiatan ini maka besarnya komponen biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah adalah kepada Kecamatan Laihitu sebesar Rp ,- atau sebesar 27,56 %., dari total biaya transaksi sedangkan untuk Kecamatan Salahutu komponen biaya pembinaan adalah sebesar Rp , atau sekitar 27,59 % dari total biaya transaksi. 3. Biaya Monitoring Kegiatan monitoring pemberian paket bantuan, dilakukan dalam rangka melihat secara langsung sasaran implementasi kebijakan yang bertujuan untuk memantau keabsahan daripada pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam hal ini apakah bantuan

155 134 yang diberikan oleh pemerintah Daerah Kabupaten Maluku tengah sudah tepat pada sasaran yang sesuai dengan syarat-syarat pelaksanaannya di daerah yang ditentukan. Untuk pelaksaan kegiatan monitoring di Kecamatan Leihitu dan Kecamatan Salahutu, maka besarnya biaya yang telah dialokasikan adalah sebesar Rp ,- atau sebesar 35,89 % untuk Kecamatan Leihitu. Sedangkan Untuk Kecamatan Salahutu adalah sebesar Rp , atau sekitar 39,24 % dari total biaya transaksi. Untuk melihan lebih jelas presentasi komponen biaya transaksi pada kedua kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Komponen Biaya Transaksi Komponen Biaya Transaksi Leihitu Persentase (%) Salahutu Persentase (%) Biaya Seleksi (Rp) , ,15 Biaya Pembinaan (Rp) , ,59 Biaya Monotoring (Rp) , ,24 Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Dari Tabel 40 di atas terlihat bahwa masing-masing komponen biaya transaksi kedua kecamatan adalah berbeda antara satu dengan yang lain, baik untuk biaya seleksi, pembinaan maupun monitoring. Untuk biaya seleksi, selisih antara biaya untuk kecamatan Leihitu Rp , lebih besar dari biaya seleksi untuk Kecamatan Salahutu atau perbedannya sekitar 3,51 % dari total biaya seleksi. Sedangkan selisih biaya pembinaan, antara kedua kecamatan tersebut, Kecamatan Salahutu lebih besar biayanya dibandingkan dengan Kecamatan Leihitu dimana kisarannya adalah sebesar Rp , atau berbeda sekitar 1,39 % dari total komponen biaya pembinaan. Terhadap komponen biaya monitoring, perbedaan antara kedua kecamatan biaya yang lebih tinggi adalah terhdap Kecamatan Pulau Haruku, dimana selisihnya adalah sebesar Rp , dimana kisaran presentasenya adalah 5,80 %. 4. Rasio Komponen Biaya Transaksi Terhadap Total Biaya Transakasi Rasio komponen biaya transaksi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu dan Pulau Haruku terhadap total biaya transaksi adalah berbeda.

156 135 Perbedaan tersebut dapat dilhat dari masing- masing komponen antara lain biaya seleksi, biaya pembinaan dan biaya monitoring. Terhadap biaya seleksi untuk tiaptiap kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Rasio Biaya Seleksi Terhadap Total Biaya Transaksi Uraian Leihitu Salahutu Biaya Seleksi (Rp) Total biaya transaksi (Rp) Rasio biaya transaksi-seleksi 0,18 0,16 Sumber : Hasil analisis Besarnya biaya seleksi dari masing-masing kecamatan terhadap total biaya transaksi seperti yang ditunjukan pada Tabel 40. di atas menunjukan bahwa dari total biaya transaksi sebesar Rp yang dianggarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku tengah di Kecamatan Leihitu adalah dengan rasio adalah 0,18. Artinya dari total biaya transaksi, sebesar 18 % alokasi biaya seleksi diperuntukan di Kecamatan Leihitu. Sedangkan untuk Kecamatan Salahutu, dari total biaya transaksi, rasio biaya seleksi yang dialokasikan adalah sebesar 0,16 atau sebesar 16 %. Dengan demikian jika ditinjau dari segi efisiensi biaya seleksi untuk kedua kecamatan, maka untuk Kecamatan Salahutu lebih efisien biaya seleksinya jika dibandingkan dengaan biaya seleksi Kecamatan Leihitu karena hanya mengalokasikan sebesar 16 %, sedangkan kecamatan Pulau leihitu adalah 18 %. untuk melihat rasio antara total biaya transaksi dengan komponen biaya pembinaan di kedua Kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Rasio Biaya Pembinaan Terhadap Total Biaya Transaksi Uraian Leihitu Salahutu Biaya Pembinaan (Rp) 5.300, Total biaya transaksi (Rp) Rasio biaya transaksi-pembinaan 0,13 0,13 Sumber : Hasil analisis 2009.

157 136 Besaran rasio komponen biaya transaksi pembinaan dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari total biaya transaksi sebesar Rp, yang dialokasikan untuk biaya pembinaan di Kecamatan Leihitu adalah sebesar Rp ,000 atau rasionya adalah sebesar 0,13 atau sebesar 13 % dari total biaya transaksi. Sedangkan untuk kecamatan Pulau Haruku dari total biaya transaksi terhadap biaya pembinaan adalah sebesar Rp atau rasionya 0,13 atau sebesar 0,13 % dari total biaya transaksi. Jika dilihat dari rasio antara dan presentasi antara komponen biaya transaksi pembinaan tarhadap total biaya transaksi, terlihat bahwa terhadap kedua kecamatan memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0,13 atau sekitar 13 %. Akan tetapi jika dilihat dari jumlah anggaran yang terlihat pada tabel diatas, maka alokasi anggaran untuk Kecamatan Pulau Haruku lebih besar di bandingkan Kecamatan Laihitu dimana selisihnya adalah sebesar Rp ,- Ini berarti di tinjau dari segi efisiensi komponen biaya transaksi pembinaan, untuk Kecamatan Leihitu lebih efisien jika dibandingkan dengan biaya pembinaan untuk Kecamatan Salahutu. Selanjutnya untuk mengetahui Rasio komponen biaya monitoring terhadap total biaya transaksi di Kacamatan Leihitu dan Kecamatan Salahutu dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Rasio Biaya Monitoring Terhadap Total Biaya Transaksi Uraian Leihitu Salahutu Biaya Monitoring (Rp) Total biaya transaksi (Rp) Rasio biaya transaksi-monitoring 0,17 0,19 Sumber: Hasil analisis Dari komponen biaya pembinaan sebagaimana yang ditunjukan oleh tabel di atas, dimana dari total biaya transaksi sebesar Rp. 38,973,000, untuk Kecamatan Leihitu dengan komponen biaya pembinaan sebesar Rp , maka rasio biaya transaksi adalah 0.17 atau sebesar 17 % dari total biaya transaksi. Sedangkan untuk Kecamatan Salahutu, rasio komponen biaya monitoring terhadap total biaya transaksi adalah 0,19 atau sebesar 19 %. Dengan demikian, mengacu pada rasio komponen biaya monitoring pada masing-masing kecamatan yang disebutkan diatas, maka

158 137 komponen biaya monitoring untuk Kecamatan Leihitu lebih efisien dibandingkan dengan Kecamatan Salahutu dimana, rasio komponen biaya transaksi monitoring untuk Kecamatan Leihitu adalah 17 % lebih kecil dari pada rasio komponen biaya monitoring untuk Kecamatan Pulau Haruku yang 19 %. 5. Rasio Biaya Transaksi Terhadap Total Biaya Paket Bantuan Sebagai biaya yang harus dikeluarkan dalam konteks faktor-faktor non produktifitas, maka memperhitungkan biaya transaksi dalam merencanakan dan mengimplementasikan suau kebijakan harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena, timbulnya biaya transaksi bisa menyebabkan terjadinya biaya ekonomi tinggi dalam perencanaan maupun implementasi kebijakan, akibatnya kebijakan tersebut akan menjadi tidak efisien. Besarnya biaya transaksi pada penelitian ini, dalam kaitan dengan implementasi kebijakan di Kecamatan Leihitu dan Kecamatan Salahutu menunjukan jumlah yang berbeda pada masing-masing kecamatan.untuk lebih jelas selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Biaya Transaksi dan Paket Bantuan Komponen Biaya Leihitu Salahutu Biaya Seleksi (Rp) Biaya Pembinaan (Rp) Biaya Monitoring (Rp) Biaya Implementasi (Rp) Total Biaya (Rp) Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah Dari Tabel 44 di atas terlihat bahwa, adanya perbedaan biaya transaksi untuk masing-masing kecamatan, seperti yang telah dijelaskan pada tabel rasio masingmasing komponen biaya transaksi terhadap toral biaya transaksi sebelumnya. Sedangkan biaya implementasi kebijakan untuk Kecamatan Leihitu adalah sebesar Rp. 787,025,000 atau sebesar 97,55% terhadap total biaya kebijakan di Kecamatan Leihitu dan Kecamatan Salahutu adalah sebesar Rp. 609,098,000 atau sebesar 96,75 % dari total biaya kebijkan. Dalam hal ini maka komponen biaya implementasi

159 138 kebijakan untuk Kecamatan Leihitu lebih besar dari komponen biaya kebijakan Kecamatan Salahutu. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat efisiensi biaya transaksi terhadap biaya kebijakan, maka dilakukan perhitungan rasio atau perbandingan antara biaya transaksi terhadap total biaya kebijakan di Kecamatan Laihitu dan Kecamatan Salahutu. Hal ini dilakukan mengingat secara kuantitatif belum dapat diukur tingkat efisiensi biaya transaksi dalam suatu aktifitas transaksi sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi biaya transaksi implementasi kebijakan di Kecamatan Leihitu, maka dilakukan dengan cara membandingkan dengan kecamatan lain, dengan berbagai pertimbangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Rasio Biaya Transaksi Terhadap Biaya Paket Bantuan Komponen Biaya Leihitu Salahutu Biaya Transaksi (Rp) Total Biaya Kebijakan (Rp) Rasio Biaya Transaksi - Kebijakan 0,013. 0,014. Sumber : Hasil analisis Dari Tabel 44 diatas terlihat bahwa rasio biaya transaksi Kecamatan Leihitu terhadap Kecamatan Salahutu, dari total biaya kebijakan sebesar Rp adalah 0,013 atau sebesar 0,13 %, sedangkan untuk biaya transaksi di Kecamatan Salahutu adalah 0,014 atau sebesar 0,14 %, sehingga. Dengan demikian maka dapat dikatakan biaya transaksi di tingkat Kecamatan Leihitu lebih kecil dari biaya transaksi di tingkat Kecamatan Salahutu. Dari secara ekonomi kelembagaan, semakin rendah biaya transaksi kebijakan maka semakin efisien suatu kebijakan, maka dapat dikatakan bahwa biaya transaksi dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu adalah lebih efisien jika dibandingkan dengan biaya transaksi di Kecamatan Salahutu Tolok Ukur Penentuan Biaya Transaksi dan Paket Bantuan Penetuan besarnya biaya pemberian paket bantuan maupun biaya transaksi, oleh pemerintah daerah Kabupaten Maluku tengah dalam hal ini melalui Dinas

160 139 Kelautan dan Perikanan adalah didasarkan oleh adanya kepentingan yang berkaitan langsung dengan penyelesaian persoalan sosial ekonomi nelayan yang ada di tingkat kecamatan pada masing-masing desa. Hasil penelitian menujukan bahwa dalam menentukan besarnya biaya tersebut, dilakukan berdasarkan usulan dari tingkat kecamatan atas dasar permintaan bantuan alat tangkap oleh masyarakat kelompok nelayan yang ada di tingkat desa. Dengan adanya permintaan bantuan dari tingkat desa barulah ditentukan besaran biaya yang akan dialokasikan untuk mengimplementasikannya. Untuk menentukan jenis alat tangkap di tingkat desa khusus untuk nelayan tradisional, dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak kecamatan untuk merencanakannya dalam satu program musyawarah tingkat kecamatan yang dikenal dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan. Untuk menentukan besaran biaya transaksi implementasi kebijakan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di tingkat kecamatan, maka beberapa tolok ukur yang dijadikan dasar pertimbangan oleh pelaksana proyek Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, diantaranya adalah : 1) jauhnya jarak kecamatan dari ibukota kabupaten, 2) berapa banyak harus menggunakan alat transportasi, 3) jumlah pejabat / pegawai yang akan melakukan perjalanan, 4) biaya akomodasi serta biaya hidup (living cost) yang disesuaikan dengan kondisi dan keberadaan wilayah yang akan didatangi. Atas dasar itulah baru ditentukan besaran biaya transaksi yang akan di alokasikan untuk melakukan kegiatan seleksi, pembinaan dan monitoring di masing-masing kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Maluku Tengah Perbandingan Biaya Transaksi Dengan Pendapatan Nelayan Untuk melakukan perbandingan biaya transaksi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu Kabupatan Maluku Tengah, dengan pendapatan nalayan kecil setelah adanya pemberian paket bantuan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap bagi nelayan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, maka diperhitungkan total biaya transaksi implemetasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang terdiri atas beberapa

161 140 komponen yang telah disebutkan sebelumnya meliputi; (1). biaya seleksi, (2). biaya pembinaan dan (3). biaya monitoring. Perbandingan ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh biaya transaksi dalam implementasi kebijakan terhadap peningkatan pendapatan nelayan setelah adanya implementasi kebijakan bagi nelayan. Selanjutnya perbandingan tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46. Biaya Transaksi Pemberian Paket Bantuan. Komponen Biaya Transaksi Jumlah (Rp) Persentase (%) Seleksi ,54 Pembinaan ,56 Monitoring ,89 Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Dari Tabel 45 diatas terlihat bahwa dari masing-masing komponen biaya transaksi pemberian paket bantuan di Kecamatan Leihitu, biaya seleksi adalah Rp atau sebesar 36,54 % dari total biaya transaksi. Komponen biaya pembinaan adalah Rp dari total biaya transaksi atau sebesar 27,56 % sedangkan komponen biaya monitoring dari total biaya transaksi adalah Rp atau sebesar 35,89 %. Komponen biaya transaksi tersebut diatas, kemudian dibandingkan dengan pendapatan nelayan setelah adanya pemberian paket bantuan pengelolaan sumberdaya dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah ikan. Selanjutnya untuk melihat pendapatan nelayan sesudah adanya kebijakan dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Pendapatan Nelayan Setelah Adanya Paket Bantuan Pendapatan Nelayan Jumlah (Rp) Biaya Produksi Penerimaan Pendapatan Sumber : Hasil analisis 2009.

162 141 Dari Tabel 47 diatas terlihat besarnya pendapatan nelayan setelah penerimaan sebesar Rp dikurangi dengan biaya produksi Rp setelah adanya kebijakan maka pendapatan nelayan adalah sebesar Rp Jika dibandingkan dengan total biaya transaksi seperti yang terlihat pada tabel 43, terlihat bahwa pendapatan nelayan lebih besar dari pada biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengahyaitu sebesar Rp Hal ini menunjukan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan secara ekonomis tidak memberikan pengaruh signifikan jika dipandang dari efisiensi biaya kebijakan, karena biaya transkasi lebih rendah dari pendapatan nelayansetelah adanya kebijakan. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48. Perbandingan Pendapatan dengan Biaya Transaksi Uraian Jumlah (Rp) Total Biaya Transaksi Total Pendapatan Setelah Setelah Paket Bantuan Sumber: Hasil analisis Dampak Peningkatan Pendapatan Nelayan Terhadap Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap Meningkatnya pendapatan nelayan perikanan tangkap seiring dengan adanya kebijakan pemberian alat tangkap oleh pemerintah daerah kepada nelayan tradisional di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan pendapatan nelayan hingga mencapai 185 %, dari Rp , menjadi Rp kondisi ini disebabkan adanya peningkatan jumlah produksi hasil tangkapan oleh nelayan setelah adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah setempat, penyebabnya adalah terjadi peningkatan eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap. Jika dikaitkan dengan hasil perhitungan optimal bioekonomi yang telah dilakukan sebelumnya, maka peningkatan pendapatan nelayan yang besar tersebut,

163 142 berdampak kepada terjadinya over exploitasi hasil tangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, khususnya terhadap jenis komoditas ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Hasil perhitungan optimal pengelolaan sumberdaya ikan terhadap jenis komoditas pelagis kecil adalah ketersediaan stok sebesar 1.363,96. ton. Dengan hasil tangkapan sebesar 1.889,28 ton, dengan demikian terjadi over fishing sebesar 525,32 ton. Demikian halnya dengan jenis komoditas demersal dimana dari ketersedian stok yang hanya sebesar 1.510,58 ton sedangkan hasil tangkapan yang meleihi ketersediaan stok adalah 6.158,52 ton dengan demikian, terjadi over eksploitasi sebesar 4,647,96 ton. Untuk wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah, selama ini yang menjadi komoditas utama penangkapan adalah jenis komoditas ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal, mengingat jenis komoditas ini adalah jenis yang berada di wilayah pesisir sehingga lebih mudah dijangkau dengan ukuran perahu dan mesin yang dimiliki, disamping itu untuk jenis demersal harganya sedikit lebih mahal di pasaran jika dibandingkan dengan pelagis kecil. Dengan demikian maka untuk menghindari terjadinya kondisi ini secara berkelanjutan, maka harus ada langkah-langkah lebih lanjut dari pemerintah selaku pengambil kebijakan, untuk dalam mengantisipasi terjadinya over fishing tersebut, mengingat jika hal ini dibiarkan maka akan berdampak negatif terhadap ketersediaan stok sumberdaya ikan di Kabupaten Maluku Tengah. Untuk itu sudah selayaknya pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam hal ini selaku pengambil kebijakan, dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan harus memperhatikan aspek kestabilan ketersediaan stok sumberdaya ikan Efektifitas Kelembagaan Perikanan Terhadap Keberhasilan Pengeolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Peranan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku tengah dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, dalam hal ini mempunyai peranan yang

164 143 sangat penting jika dikaitkan implikasinya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir khususnya nelayan perikanan tangkap. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan tergantung pada lembaga yang mengelolanya. Dikabupaten Maluku tengah, lembaga yang berperan penting terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan. Keberhasilan ini dapat dilihat dari adanya implikasi implementasi kebijakan terhadap peningkatan pendapatan nelayan perikanan tangkap. Hasil penelitian ini menunjukan adanya peningkatan pendapatan nelayan, setelah adanya implementasi kebijakan di tinjau dari segi sosial ekonomi masyarakat nelayan, khususnya terhadap nelayan tradisional yang mendapatkan pekat bantuan. Program-program yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah menunjukan adanya keberhasilan terkait dengan sasaran produksi perikanan yaitu untuk meningkatkan jumlah hasil tangkapan sebesar-besarnya. Dengan demikian maka secara kelembagaan, keterkaitan antara pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan nelayan, telah menunjukan adanya sinkronisasi secara kelembagaan, yang memang pada dasarnya keterkaitan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi sebagai pengambil kebijakan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan disisi lain dengan adanya kebijakan tersebut dapat berakibat terhadap adanya perbaikan kondisi sosial ekonomi kearah yang lebih baik. Disamping itu efektif tidaknya kelembagaan pemerintah tersebut, dapat dilihat dari adanya manfaat yang diberikan dari program dan implementasinya terhadap perubahanperubahan kearah yang lebih baik, yang dirasakan oleh nelayan selaku sasaran peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, maka keberadaan lembaga Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Akan tetapi tingkat kesejahteraan nelayan ini akan dirasakan dalam waktu jangka pendek, mengingat kebijakan tersebut telah berakibat terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan kedepan dimana telah terjadi over fishing, yang sebetulnya tidak disadari oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan.

165 VII. Kesimpulan dan Saran 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di dapat di tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan analisis bioekonomi, pengelolaan optimal ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan demersal, rente overtime pada tingkat suku bunga 8 % adalah lebih besar jika dibandingkan pengelolaan optimum dengan tingkat suku bunga 15 %, sedangkan pada perhitungan produksi aktual lestari, jenis komoditas pelagis besar dan pelagis kecil telah mengalami over fishing dimana produksi aktual telah melampaui kondisi produksi lestari. 2. Aktor-aktor yang telibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah adalah Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, Lembaga Masyarakat yang tergabung dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Masyarakat Nelayan, Kelompok pengusaha dan pedagang pengumpul / papalele dan serta Polisi Perairan dan Angkatan Laut. 3. Desain Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku tengah menunjukan adanya keterkaitan antara pihak pengambil kebijakan dalam hal ini Pemerintah (collective choice level) dengan lembaga pelaksana kebijakan yang (Operasional Choice Level). 4. Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tengah telah mengakibatkan terjadinya over fishing terhadap sumberdaya ikan. 5. Berdasarkan hasil analisis pendapatan nelayan terhadap dapat dilihat bahwa setelah adanya paket bantuan, terlihat adanya peningkatan pendapatan nelayan jika dibandingkan dengan sebelum adanya paket bantuan. 6. Biaya transaksi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kecamatan Leihitu lebih efisien jika dibandingkan dengan Kecamatan Salahutu,

166 Perbandingan total biaya transaksi dengan pendapatan nelayan setelah adanya kebijakan, menunjukan bahwa pendapatan nelayan lebih besar dibandingkan dengan total biaya transaksi Saran Adapun saran yang diajukan mengacu pada hasil penelitian ini adalah 1. Adanya pemberlakuan batas wilayah kewenangan penangkapan ikan sesuai dengan undang undang Otonomi Daerah, tentang kewenangan pengelolaan batas wilayah 12 mil laut bagi Propinsi dan 1/3nya untuk Kabupaten Kota. sehingga menghindari adanya over fishing sumberdaya ikan. 2. Adanya penelitian lebih lanjut dalam rangka penyempurnaan kelembagaan perikanan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, sehingga konsep sustainability terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan tangkap dapat dipertahankan.

167 145 DAFTAR PUSAKA Abdullah, N.R.M, K, Kuperan, Robert. S. Pomeroy.1998, Transaction Cost and Fishery Co-management. Adrianto, L Aspek Sosial ekonomi Dalam Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan: Revitalisasi Commonity-Based Fish Disease and Environmental Management. Makalah disampaikan pada Workshop Forum Koordinasi Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Dirjen. Perikanan Budidaya Departemen kelautan dan Perikanan. Jakarta, 28 September Adrianto, L, dkk Assesing Local Sustainability of Fisheries System : A multycriteria Participatory Aproach with the case of Yoran Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy 29 (2005). Allen, D. W What are Transaction cost? JAI Press Inc. Anggraini, E, Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Tesis Magister Sains.Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pasca Sarjana institute Pertanian Bogor. Berkes F. 1998, The Comman Property Resources Problem and Cretion of Limited Property Rights Human Ecology. Blaxter L.et al How to Reseach. Second Edition. Open University Press. Bromley DW. 1988, Property Right and Environment Natural: natural resources policy in intransition. Published by the Ministryfor the Environment. Wellington, New Zealand. Clark, CW Mathematical Bioeconomics: The Optimal Management of Renewable Resources. John Willey & Sons. New York Cunningham. S, M.R. Dunn and D. Whitmarsh.1985 Fisheries Economics. An Introduction. Mansell Publishing Limited. London Douglass C. N. 1990, Institutions, Transaction Costs and Productivity In The Long Run. Washington University. Dunn,W. N. 1994,Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gadjah Mada Universitas Press. Efendi, D.S Analisis Kapasitas Pukat Berlebih Perikanan Pukat cincin Pekalongan Dalam Kerangka Kebijakan Perikanan Tangkap di Laut Jawa dan

168 146 Sekitarnya. Tesis Magister Sains. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A Statistik Industri I. UI. Press Yogyakarta. Fauzi dan Anna, Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Furubotn EG and Rudolf Richter Institutions and Economic Theory: The Contribution of the New Institutional Economic. The University of Michigan Press. Grenee, W. H. Economic Analysis. New York, Macmilian Publishing Company. Kusumastanto, T Ocean Policy Dalam Mambangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kusumastanto, T Ekonomi Kelautan (Ocean Economics-Oceanomics).PKSPL- IPB. Lawson. R.M, Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter (Publisher). London. Makino & Hiroyuki.2004, Co-management in Japanese coastal fisheries: institutional features and transaction costs. Yokohama National University. Nasution. S, Metode Research. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. Nazir M Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta Nikijuluw,V Rejim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional, PT. Pustaka Cidesindi, Jakarta. Oestorm E Self Government of common-pool resurces. Workshop in political theory and policy analisys. Indiana University, Indiana USA Pakpahan A Permasalahan dan Landasan Konseptual Dalam Rekayasa Institusi (Koperasi). Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Masalah Pengkoperasian Nasional, Badan Litbang Kperasi di Jakarta 23 Oktober Pusat Penelitian Sosial Ekonmi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Panigoro, C Kajian Rejim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Pesisir Gorontalo ( Studi Kasus Pengembangan Perikanan Tangkap taksi Mina Bahari di Kelurahan Tenda Kota Gorontalo). Tesis Megister Sains. Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Sekolah Pascasarjana institute Pertanian Bogor.

169 147 Partowidagdo,W. 1999, Memahami Analisis Kebijakan. Program Studi Pembangunan. Program Pascasarjana IPB. Pido et.al. 1997, A. Rafid Aprasial Aproach to evaluation of Community-Level Fisheries Management Systam Framework and Field Application at Selected Coastal Fishing Vilage in the Philippines and Indonesia. Priyatna, F. N Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan di Desa Karangjaldri, Parigi, Jawa Barat:Tinjauan Sosiologi Antropologi. Skripsi FPIK, IPB. Satria A, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Penerbit Cidesindo. Jakarta. Sevilla et.al Pengantar Metode penelitian. UI Press. Jakarta. Suhana, Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Tesis Magister Sains.Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pasca Sarjana institute Pertanian Bogor. Usman H. dkk Metode Penelitian Sosial. Penertbit Bumi Aksara Jakarta. Williamson OE. 1995a. The Economic Institution of Capitalism. New York :Free Press. Williamson OE. 1995b. Organization Theory : From Chester Barnard to the Present and Beyond (New York. Yin RK Studi Kasus desain dan matode. Edisi revisi. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Yustika A.E Defenisi, Teori dan Strategi. Cetakan I Penerbit Banyumas Publishing. Malang.

170 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Bagian Pertama : Telaah Proses Kebijakan dan Identifikasi Biaya kebijakan. 1) Kebijakan apa yang telah diambil terkait pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap Terkait kebijakan tersebut, apa saja program-program yang dibuat dan dilaksanakan... 2) Bagaimana proses perumusan kebijakan tersebut : A. Berdasarkan UU, (Tahun berapa).... B. Berdasarkan keputusan Presiden,(Tahun berapa)... C. Berdasarkan keputusan menteri Kelautan & Perikanan (Tahun perapa). D. Berdasarkan keputusan Gubernur,(Tahun berapa)... E. Berdasarkan Keputusan Bupati ( Tahun Berapa ) F. Berdasarkan adanya permasalahan/konflik pemanfaatan yang terjadi di tingkat nelayan(sebutkan) G. Berdasarkan potensi kandungan sumberdaya perikanan yang ada di daerah... Apa saja kendala yang muncul/dirasakan dari perumusan hingga sosialisasi kebijakan tersebu..(sebutkan) 2) Sejak tahun berapa kebijkan tersebut diberlakukan... (Sebutkan) Berapa Lama proses Perumusan hingga rampungnya kebijakan tersebut (sebutkan ).. Berapa jumlah biaya yang dibutuhkan untuk dari perumusan hingga rampungnya kebijakan tersebut.(rp)..(sebutkan)

171 Bagian Kedua: Identifikasi Biaya Transaksi dan Proses Perumusan Sampai Dengan Sosialisasi Kebijakan di Tingkat Pemerintah Daerah(Propinsi/ Kabupaten) 1. Biaya Transasksi Dalam Rangka Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. No Biaya Jumlah (Rp) Keterangan/alasan 1 Informasi Kebutuhan Kebijakan 2 PengumpulanBahanbahan kebijakan 3 Penyusunan Kebijakan 4 Lobi Anggota DPRD 6 Sosialisasi 7 Monitoring 8 Lainnya ( sebutkan) Jumlah Bagian Ketiga : Identifikasi Pendapatan Nelayan di Kecamatan Leihitu No Responden : Desa : Data Responsen Nama Responden : Umur Responden : TingkatPendidikan :..... Umum 1. Jenis Alat Tangkap :. 2. Ukuran perahu/ kapal yang digunakan :.GT 3. Dimensi (L,B,D) :..M 4. Jenis mesin penggerak: Motor tempel/ Diesel Alat bantu tangkap: kekuatan.(pk) 5. Ukuran alat tangkap : - Jaring :...(PxL) - Ukuran Mata jaring.

172 - Ukuran alat pancing line dan berapa banyak kail yang digunakan. 6. Jumlah nelayan ABK : - Nakhoda. orang - Fishing Master... orang - Jurumudi....orang 7. Status kepemilikan usaha : milik sendiri/ kelompok nelayan/perusahan Operasional Penangkapan Ikan 1. Daerah penangkapan ikan (fishing ground) : perairan. 2. Jarak dari tempat pendaratan ikan ke fishing ground :.mil laut atau.hari pejalanan 3. Jarak dari fishing ground ke pantai terdekat :..mil laut 4. Waktu penangkapan ikan : -Musim barat : (Bulan..s.d Bulan. ) -Musim Timur: (Bulan s.d Bulan..... ) - Musim Peralihan dari timur ke barat: (Bulan:.. s.d. Bulan.) - Musim Peralihan dari barat ke timur: (Bulan:.. s.d. Bulan.) 5. Banyaknya trip operasional penengkapan ikan: Trip/hari :../.. Trip/bulan :../.. Trip/tahun :../.. 6. Lamanya satu kali trip operasi penangkapan ikan :.hari/jam 7. Waktu pengoperasian alat tangkap : pagi/siang/malam 8. Hari tidak ke laut selama satu minggu : hari,. (sebutkan ) 9. Jumlah hasil tangkapan pada musim penangkapan ikan: Jumlah banyak : bulan..sampai bulan.(sebutkan ) Jumlah sedang : bulan..sampai bulan..(sebutkan) Jumlah kurang : bulan..sampaibulan..(sebutkan) 10. Apakah ada nelayan luar daerah pada daerah yang sama? Jika ada apakah dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan? 12. Apa yang dilakukan jika ada nelayan lain pada daerah penangkapan? Apakah ada aturan lokal dalam dalam penangkapan ikan?...

173 14. Jika ada apa saja aturan tersebut.. (Sebutkan) 15. Apa sanksi yang diperoleh apabila aturan itu dilanggar?...(sebutkan) 16. Siapa yang berperan dalam menentukan sanksi. (Sebutkan) 17. Sanksi tersebut berupa apa saja... (Sebutkan) Program kebijakan dan manfaatnya bagi nelayan Apa bantuan yang diberikan pemerintah terkait usaha perikanan tangkap: A) Perahu (ukuran....gt) B) Jaring (ukuran.pxl ) C) Mesin (ukuran.. PK ) D) Tempat Pelelangan ikan ( bagaimana letaknya dari pusat penangkapan...) E) Tempat Pengawetan ikan ( Berapa lama bisa bertahan..) F) Jaringan pemasaran ( luar daerah / luar negeri ). ) G) Lembaga koperasi nelayan.) H) Lain-lain (Sebutkan) Jika bantuan tersebut adalah A,B dan C apakah terjadi peningkatan hasil tangkapan? Ya / Tidak.. (Lingkari Jawaban) Jika ya / tidak.(berikan Alasan) Bagiamana kualitas hasil tangkapan : a) Kecil b) Sedang c) Besar Bagaimana jumlah hasil tangkapan : a) Kurang b) Sedikit d) Banyak Jika bantuannya A dan C, apakah terjadi peningkatan daya jelajah ruang tangkapan di laut? Ya / Tidak.(Lingkari Jawaban) Jika ya / tidak. (Berikan Alasan) Jika ya, berapa persen jika dibandingkan sebelum adanya bantuan tersebut. ( Jelaskan.)

174 Berapa lama waktu melaut setelah adanya bantuan tersebut dibanding sebelumnya..... Jam Bagaimana pengaruhnya terhadap biaya operasional : a) Biaya operasional meningkat b) Biaya operasional berkurang. Jika bantuan tersebut adalah D dan F Apakah terjadi peningkatan pendapatan? Ya / Tidak ( Lingkari Jawaban ) Jika ya, berapa persen peningkatan pendapatan dari sebelumnya. ( Jelaskan ) Apakah dijadikan sebagai tempat penjualan / pembelian: a) Seluruh hasil tangkapan b) Sebagian Hasil tangkapan c) Jenis tangkapan tertentu Jika a, b atau c mengapa. ( Jelaskan) Bagaimana pengaruhnya terhadap biaya transportasi dalam menjual hasil tangkapan: a) Biaya transportasi berkurang b) Biaya transportasi meningkat c) Biaya Transportasi tetap Jika a, b atau c mengapa. (Jelaskan) Jika tempat pengawetan ikan, berapa lama ikan bisa bertahan jika diawetkan (sebutkan) Apakah ada biaya sewa yang harus dikeluarkan untuk pengawetan..(sebutkan) Apakah memberikan pengaruh terhadap Kualitas ikan? Ya / Tidak.. (Lingkari Jawaban ) Jika Ya / Tidak..( Jelaskan ) Bagaimana harga jual dari ikan yang diawetkan: a) Tinggi b) Sama dengan yang tidak diawetkan c) Rendah Jika a, b atau c mengapa?...(jelaskan) Jika ada koparasi nelayan apakah dirasakan berpengaruh bagi nelayan?

175 a) Ya b) Tidak Jika ya apa saja pengaruhnya.....(jelaskan) Jika Tidak, mengapa....(jelaskan) Apakah koperasi tersebut memberikan kredit kepada nelayan? a) Ya b) Tidak Apakah nelayan memanfaatkan pemberian kredit tersebut? Bagaimana pola pengembalian kredit tersebut (Jelaskan) Apakah kredit tersebut membantu nelayan dalam usaha penangkapan?...(jelaskan) Apakah pernah dilakukan penangkapan dengan menggunakan Bom atau sejenisnya? a) Ya b) Tidak Jika Ya / Tidak, Mengapa (Jelaskan) Apakah ada pengawasan dari pemerintah dalam hal ini pihak terkait, untuk menjaga lingkungan perairan sehingga terhindar dari cara-cara penangkapan yang tidak bertanggung jawab? a) Ya b) Tidak Jika Ya apakah dirasakan manfaatnya bagi nelayan?... Jika ya apa saja manfaat yang dirasakan (Jelaskan) Apakah Ada bantuan lain bagi nelayan selain yang disebutkan di atas? a) Ya b) Tidak Jika Ya, apa saja bantuannya?...(sebutkan) Bagaimana manfaatnya bagi nelayan..(jelaskan) Hasil Tangkapan Sebelum Adanya Kebijakan 1. Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan :..

176 2. Hasil tangkapan utama No Jenis ikan Jumlah banyak (kg/trip) Jumlah kurang (kg/trip) Penanganan ikan di atas kapal : menggunakan palkah dan es/menggunakan palkah tanpa es/ dibiarkan diatas dek/lain-lain 4. Dari hasil tangkapan yang diperoleh menurut anda : Sangat Banyak (Alasannya:.. ) Banyak (Alasannya:. ) Sedikit (Alasannya:..) 5. Bagaimana tanggapan anda terhadap hasil tangkapan : Sangat Puas (Alasannya: ) Puas (Alasannya: ) Tidak Puas (Alasannya:.) Hasil Tangkapan Sesudah Adanya Kebijakan 6. Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan : 7. Hasil tangkapan utama No Jenis ikan Jumlah banyak (kg/trip) Jumlah kurang (kg/trip) Penanganan ikan di atas kapal : menggunakan palkah dan es/menggunakan palkah tanpa es/ dibiarkan diatas dek/lain-lain 9. Dari hasil tangkapan yang diperoleh menurut anda : Sangat Banyak (Alasannya:..... ) Banyak (Alasannya:. ) Sedikit(Alasannya:...) 10. Bagaimana tanggapan anda terhadap hasil tangkapan :

177 Sangat Puas (Alasannya:.) Puas (Alasannya:.) Tidak Puas (Alasannya:..) Pendapatan Sebelum Adanya Kebijakan. 1. Hasil tangkapan: No Jenis ikan Jumlah (kg/trip/tahun) Harga (Rp/kg) Total: Rp/kg/trip/bulan/tahun... Biaya No Investasi Jumlah Nilai (Rp) 1 Kapal/perahu 2 Mesin 3 Alat tangkap (unit) 4 Penanganan 5 Lainnya Baru/lama Umur ekonomi Beban Biaya Operasional 1. Biaya ABK/trip : Rp... (Sebutkan) 2. Bahan bakar : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) 3. Oli : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) 4. Total bahan pengawet : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) 5. Lain-lain : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) Biaya Perawatan 1. Kapal/perahu : Rp/kali/bulan/tahun. (Sebutkan) 2. Alat tangkap : Rp/kali/bulan/tahun. (Sebutkan) 3. Biaya lain-lain : Rp. (Sebutkan) Pendapatan Sesudah Adanya Kebijakan. 2. Hasil tangkapan:

178 No Jenis ikan Jumlah (kg/trip/tahun) Harga (Rp/kg) Total: Rp/kg/trip/bulan/tahun... Biaya No Investasi Jumlah Nilai (Rp) 1 Kapal/perahu 2 Mesin 3 Alat tangkap (unit) 4 Penanganan 5 Lainnya Baru/lama Umur ekonomi Beban Biaya Operasional I) Biaya ABK/trip : Rp... (Sebutkan) J) Bahan bakar : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) K) Oli : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) L) Total bahan pengawet : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) M) Lain-lain : Rp/trip/kapal (perahu) (Sebutkan) Biaya Perawatan 4. Kapal/perahu : Rp/kali/bulan/tahun. (Sebutkan) 5. Alat tangkap : Rp/kali/bulan/tahun. (Sebutkan) 6. Biaya lain-lain : Rp. (Sebutkan)

179 Lampiran 2. Ikan pelagis besar Produksi (ton) Effort (trip) E^2 17, , ,246,492, , , ,510,207, , , ,596,161, , , ,901,001, , , ,863,807, , , ,291,107, , , ,436,475, r= q= E-05 kq= k= c= 1.71 p= SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept X Variable X Variable E E E E E E 06

180 Lampiran 3. Analisis Bioekonomi Pelagis Besar > restart; > r:= ; > q:= E-05 ; > K:= ; > p:= ; > c:= 1.71 ; > delta1:= 0.08 ; > r := q := K := p := c := 1.71 d1 := 0.08 > f(x):=r*x*(1-(x/k)); f (x ) := x (1K x ) > plot(f(x),x= ,growth= );

181 Lanjutan lampiran 3. > h:=q*x*e; h := x > g:=solve(f(x)=h,x); g := 0., K > y:=q*e*(k*(1-q/r*e)); y := E (1K E ) Perhitungan MSY: > Hmsy:=r*K/4; > Emsy:=r/2/q; > Xmsy:=K/2; Hmsy := Emsy := Xmsy :=

182 Lanjutan lampiran 3. > plot({y,hmsy},e= ,yield= ); > RentMSY:=(p*Hmsy-c*Emsy); RentMSY := > TC:=c*E; > TR:=p*y; TC := 1.71 TR := E (1K E ) > plot({tr,tc},e= ,revenue= );

183 Lanjutan Lampiran 3. > Xoa:=c/(p*q); Xoa := > Eoa:=solve(TR=TC,E); Eoa := 0., > Hoa:=q*Xoa*Eoa; > MC:=diff(TC,E); Hoa := 0., MC := 1.71 > MR:=diff(TR,E); MR := K > Emey:=solve(MC=MR,E); Emey := > TRmey:=p*q*Emey*(K*(1-q/r*Emey)); TRmey :=

184 Lanjutan lampiran 3. > TCmey:=c*Emey; TCmey := > Rent_mey:=TRmey-TCmey; Rent_mey := > Hmey:=q*Emey*(K*(1-q/r*Emey)); Hmey := > Xmey:=Hmey/(q*Emey); Xmey := Perhitungan optimal Dinamis: > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta1; f ( x ) := K x (1 K x ) C = x K 1.71 > solve(f(x),x); K , > Xopt:= ; Xopt := > Hopt:=r*Xopt*(1-Xopt/K); Hopt := > Eopt:=Hopt/(q*Xopt); Eopt := > Rent_opt:=p*Hopt-c*Eopt; Rent_opt := > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt},e= ,yield= );

185 Lanjutan Lampiran 3 > Rent_overtime:=Rent_opt/delta1; Rent_overtime := > delta2:=0.15; d2 := 0.15 > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta2; f ( x ) := K x (1 K x ) C = x K 1.71 > solve(f(x),x); K ,

186 Lanjutan lampiran 3. > Xopt2:= ; Xopt2 := > Hopt2:=r*Xopt2*(1-Xopt2/K); Hopt2 := > Eopt2:=Hopt2/(q*Xopt2); Eopt2 := > Rent_opt2:=p*Hopt2-c*Eopt2; Rent_opt2 := > Rent_overtime:=Rent_opt2/delta2; Rent_overtime := > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt2},e= ,yield= );

187 Lampiran 4. Pelagis Kecil Produksi (ton) Effort (trip) E^2 31, , ,581,868, , , ,059,138, , , ,184,361, , , ,298,522, , , ,332,102, , , ,877,319, r= q= E-08 kq= k= c= 0.12 p= Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 6 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P value Lower 95% Upper 95% Intercept X Variable E X Variable E E E 07 Lower 95.0% Upper 95.0% E E 07

188 Lampiran 5. Analisis Bioekonomi Pelagis Kecil > restart; > r:= ; > q:= E-08 ; > K:= ; > p:= ; > c:= 0.12 ; > delta:= 0.08 ; > r := q := K := p := c := 0.12 d := 0.08 > f(x):=r*x*(1-(x/k)); f (x ) := x (1K x ) > plot(f(x),x= ,growth= );

189 Lanjutan lampiran 5. > h:=q*x*e; h := x > g:=solve(f(x)=h,x); g := 0., K > y:=q*e*(k*(1-q/r*e)); y := E (1K E ) Perhitungan MSY: > Hmsy:=r*K/4; Hmsy := > Emsy:=r/2/q; > Xmsy:=K/2; Emsy := Xmsy :=

190 Lanjutan lampiran 5. > plot({y,hmsy},e= ,yield= ); > RentMSY:=(p*Hmsy-c*Emsy); RentMSY := > TC:=c*E; > TR:=p*y; TC := 0.12 TR := E (1K E ) > plot({tr,tc},e= ,revenue= );

191 Lanjutan lampiran 5. > Xoa:=c/(p*q); Xoa := > Eoa:=solve(TR=TC,E); Eoa := 0., > Hoa:=q*Xoa*Eoa; Hoa :=0., > MC:=diff(TC,E); MC := 0.12 > MR:=diff(TR,E); MR := K > Emey:=solve(MC=MR,E); Emey := > TRmey:=p*q*Emey*(K*(1-q/r*Emey)); TRmey :=

192 Lanjutan lampiran 5. > TCmey:=c*Emey; TCmey := > Rent_mey:=TRmey-TCmey; Rent_mey := > Hmey:=q*Emey*(K*(1-q/r*Emey)); Hmey := > Xmey:=Hmey/(q*Emey); Perhitungan optimal Dinamis: > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta1; f (x ) := K x C (1 K x ) = x K 0.12 > solve(f(x),x); K , > Xopt:= ; Xopt := > Hopt:=r*Xopt*(1-Xopt/K); Hopt := > Eopt:=Hopt/(q*Xopt); Xmey := Eopt := > Rent_opt:=p*Hopt-c*Eopt; Rent_opt := > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt},e= ,yield= );

193 Lanjutan lampiran 5. > Rent_overtime:=Rent_opt/delta1; Rent_overtime:= > delta2:=0.15; d2 := 0.15 > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta2; f (x ) := K x C (1 K x ) = x K 0.12 > solve(f(x),x); K , > Xopt2:= ; Xopt2 := > Hopt2:=r*Xopt2*(1-Xopt2/K); Hopt2 :=

194 Lanjutan lampiran 5. > Eopt2:=Hopt2/(q*Xopt2); Eopt2 := > Rent_opt2:=p*Hopt2-c*Eopt2; Rent_opt2 := > Rent_overtime:=Rent_opt2/delta2; Rent_overtime:= > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt2},e= ,yield= );

195 Lampiran 6. Ikan Demersal Produksi (ton) Effort (trip) E^2 1, , ,379, , , ,521, , , ,212, , , ,596, , , ,568, , , ,841, , , ,630, r= q= kq= k= c= 1.57 p= SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept X Variable X Variable E E

196 Lampiran 7. Analisis Bioekonomi Demersal. > restart; > r:= ; > q:= ; > K:= 2.93E+03 ; > p:= ; > c:= 1.57 ; > delta:= 0.08 ; > r := q := K := p := c := 1.57 d := 0.08 > f(x):=r*x*(1-(x/k)); f (x ) := x (1K x ) > plot(f(x),x= ,growth= );

197 Lanjutan lampiran 7. > h:=q*x*e; h := x > g:=solve(f(x)=h,x); g := 0., K > y:=q*e*(k*(1-q/r*e)); y := E (1K E ) Perhitungan MSY: > Hmsy:=r*K/4; > Emsy:=r/2/q; > Xmsy:=K/2; Hmsy := Emsy := Xmsy :=

198 Lanjutan lampiran.7 > plot({y,hmsy},e= ,yield= ); > RentMSY:=(p*Hmsy-c*Emsy); RentMSY := > TC:=c*E; TC := 1.57 > TR:=p*y; TR := E (1K E ) > plot({tr,tc},e= ,revenue= );

199 Lanjutan lampiran 7. > Xoa:=c/(p*q); > Eoa:=solve(TR=TC,E); > Hoa:=q*Xoa*Eoa; > MC:=diff(TC,E); Xoa := Eoa := 0., Hoa := 0., MC := 1.57 > MR:=diff(TR,E); MR := K > Emey:=solve(MC=MR,E); Emey := > TRmey:=p*q*Emey*(K*(1-q/r*Emey));

200 Lanjutan lampiran 7. TRmey := > TCmey:=c*Emey; TCmey := > Rent_mey:=TRmey-TCmey; Rent_mey := > Hmey:=q*Emey*(K*(1-q/r*Emey)); Hmey := > Xmey:=Hmey/(q*Emey); Xmey := Perhitungan optimal Dinamis: > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta; f ( x ) := K x (1 K x ) C = x K 1.57 > solve(f(x),x); K , > Xopt:= ; Xopt := > Hopt:=r*Xopt*(1-Xopt/K); Hopt := > Eopt:=Hopt/(q*Xopt); Eopt := > Rent_opt:=p*Hopt-c*Eopt; Rent_opt := > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt},e= ,yield= );

201 Lanjutan lampiran 7. > Rent_overtime:=Rent_opt/delta; Rent_overtime := > delta2:=0.15; d2 := 0.15 > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta2; f ( x ) := K x (1 K x ) C = x K 1.57 > solve(f(x),x); K , > Xopt2:= ; > Hopt2:=r*Xopt2*(1-Xopt2/K); Xopt2 :=

202 Hopt2 := Lanjutan lampiran7. > Eopt2:=Hopt2/(q*Xopt2); Eopt2 := > Rent_opt2:=p*Hopt2-c*Eopt2; Rent_opt2 := > Rent_overtime:=Rent_opt2/delta2; Rent_overtime := > plot({y,hmsy,hoa,hmey,hopt2},e= ,yield= );

203 Lampiran 8 Hasil perhitungan CPUE dan KQ ikan pelagis besar. Ikan Pelagis Besar Tahun Produksi Effort (ton) (trip) CPUE , , , , , , , , , , , , , , kq= SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E E Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept X Variable E E E E E E-06

204 Lampiran 9. Hasil Perhitungan CPUE dan nilai KQ Ikan Pelagis Kecil Ikan Pelagis Kecil Tahun Produksi Effort (ton) (trip) CPUE , , , , , , , , , , , , , , kq= SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual E E 05 Total Coefficients Standard Error t Stat P value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E X Variable E E E E E E 08

205 Lampiran 10. Hasil perhitungan CPUE dan KQ ikan demersal. Ikan demersal Tahun Produksi Effort (trip) (ton) CPUE , , , , , , , , , , , , , , kq= SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept X Variable E E E E

206 Lampiran 11. Penerimaan nelayan sebelum adanya kebijakan Penerimaan nelayan sebelum adanya kebijakan No Nama Nelayan Produksi/trip Harga Jual/kg Produksi/thn Penerimaan/thn 1 Djafar Layn 5, , Hasan Nurlili 7, , abubakar Mamang 6, , Ahmad Ba Layn 3, Ibrahim Layn 7, , Ali Heluth 4, La Nasir Muhammad 4, , Hasanudin 5, , La Djaka 5, , Yusuf Isamail 6, , Abd. Kahar Nukuhaly 6, , Kasm Ely 8, , Effendy Thalib 6, , Majid Iha 4, , La Apu Molle 3, , Erwin Molle 6, , Musa Titapele 5, , Mahdun Hatuina 3, , Faisal Titapele 6, , Jamaluddin Fattah 7, , S. J. Hasan 2, , Klemen Nussy 5, , Rata-rata 5, , Sumber : Data Primer 2009.

207 Lampiran 12.Penerimaan nelayan setelah adanya kebijakan. Penerimaan nelayan setelah adanya kebijakan No Nama Nelayan Produksi/trip Harga Jual/kg Produksi/thn Penerimaan 1 Djafar Layn 11, Hasan Nurlili 15, abubakar Mamang 15, Ahmad Ba Layn 10, Ibrahim Layn 13, Ali Heluth 9, La Nasir Muhammad 8, Hasanudin 13, La Djaka 12, Yusuf Isamail 20, Abd. Kahar Nukuhaly 23, Kasm Ely 22, Effendy Thalib Majid Iha 29, La Apu Molle 9, Erwin Molle 8, Musa Titapele 21, Mahdun Hatuina 19, Faisal Titapele 25, Jamaluddin Fattah 21, S. J. Hasan 19, , Klemen Nussy 18, Rata-rata , Sumber : Data Primer 2009 Ket: 1 Tahun = 156 trip

208 Lampiran 13. Biaya produksi nelayan sebelum adanya kebijakan. Biaya produksi nelayan sebelum adanya kebijakan No Nama Nelayan Asal Desa Biaya Investasi Biaya Operasional /thn Total Biaya/thn 1 Djafar Layn Asilulu Hasan Nurlili Asilulu abubakar Mamang Asilulu Ahmad Ba Layn Asilulu Ibrahim Layn Asilulu Ali Heluth Ureng La Nasir Muhammad Ureng Hasanudin Negeri Lima La Djaka Negeri Lima Yusuf Isamail Negeri Lima Abd. Kahar Nukuhaly Kaitetu Kasm Ely Kaitetu Effendy Thalib Kaitetu Majid Iha Kaitetu La Apu Molle Kaitetu Erwin Molle Kaitetu Musa Titapele Seith Mahdun Hatuina Seith Faisal Titapele Seith Jamaluddin Fattah Wakal S. J. Hasan Wakal Klemen Nussy Liliboy Rata-rata Sumber : Data Primer 2009.

209 Lampiran 14. Biaya produksi nelayan setelah adanya kebijakan. Biaya produksi nelayan sesudah adanya kebijakan No Nama Nelayan Asal Desa Biaya Investasi Biaya Peralatan/thn BBM/thn Total Biaya 1 Djafar Layn Asilulu Hasan Nurlili Asilulu abubakar Mamang Asilulu Ahmad Ba Layn Asilulu Ibrahim Layn Asilulu Ali Heluth Ureng La Nasir Muhammad Ureng Hasanudin Negeri Lima La Djaka Negeri Lima Yusuf Isamail Negeri Lima Abd. Kahar Nukuhaly Kaitetu Kasm Ely Kaitetu Effendy Thalib Kaitetu Majid Iha Kaitetu La Apu Molle Kaitetu Erwin Molle Kaitetu Musa Titapele Seith Mahdun Hatuina Seith Faisal Titapele Seith Jamaluddin Fattah Wakal S. J. Hasan Wakal Klemen Nussy Liliboy Rata-rata Sumber : Data Primer 2009

210 Lampiran 15. Indeks Harga Konsumen dan harga rill ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Harga ikan pelagis besar Tahun Harga/Kg Harga IHK Indeks Harga riil (Juta/Ton) 2002 (Juta/Ton) ,50 114, , ,75 116,29 1,01 17, ,50 107,44 0,93 16, ,75 108,78 0,95 16, ,00 119,56 1,04 12, ,75 123,62 1,08 11, ,50 138,82 1,21 10,29 Rata-rata ,67 118,40 1,03 14,36 Harga Riil Ikan Pelagis Kecil Tahun Harga/Kg Harga IHK Indeks Harga riil (Juta/Ton) 2002 (Juta/Ton) ,50 114, , ,75 116,29 1,01 13, ,50 107,44 0,93 11, ,00 108,78 0,95 14, ,75 119,56 1,04 15, ,75 123,62 1,08 13, ,00 138,82 1,21 18,20 Rata-rata ,46 118,40 1,03 13,98 Harga ikan demersal Tahun Harga/Kg Harga IHK Indeks Harga riil (Juta/Ton) 2002 (Juta/Ton) ,75 114, , ,00 116,29 1,01 34, ,75 107,44 0,93 48, ,75 108,78 0,95 32, ,50 119,56 1,04 48, ,00 123,62 1,08 41, ,50 138,82 1,21 39,12 Rata-rata ,46 118,40 1,03 40,03

211 Lampiran 16. Inflasi dan biaya rill ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Biaya rill dan inflasi ikan pelagis besar Tahun Inflasi ( % ) indeks biaya biaya riil ,61 1 3,655 0, , ,466 0, , ,040 0, , ,116 0, , ,262 0, , ,921 0, , ,252 0,002 Biaya rill dan inflasi ikan pelagis kecil Tahun Inflasi ( % ) indeks biaya biaya riil , , ,30 1, , ,33 0, , ,57 1, , ,71 0, , ,00 0, , ,69 0, ,016 Biaya riil dan inflasi ikan demersal Tahun Inflasi ( % ) indeks biaya biaya riil , , , , , , , ,012

212 185 Lampiran 20. Dokumentasi Penelitian Kantor Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Aktifitas Memancing Di Laut

213 186 Lanjutan lampiran 13 Wilayah Perairan Kecamatan Leihitu Pulau tiga Wilayah Penangkapan

214 187 Lanjutan Lampiran 18. Nelayan di Salah Satu Desa Penelitian Menuju Lokasi Penangkapan

215 188 Lanjutan lapiran 18. Aktifitas penangkapan ikan di wilayah perairan leihitu Proses Pengasapan ikan di Desa Hitu.

216 189 Lanjutan Lampiran 18 Jenis Ikan Cakalng Jenis Ikan Tuna

217 190 Lanjutan Lampiran 18 Ikan Pelagis Kecil

218 191 Lanjutan Lampiran 18 Ikan Demersal

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGERTIAN TRANSAKSI DAN BIAYA TRANSAKSI

PENGERTIAN TRANSAKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN (ESL224) KULIAH 9: PENGERTIAN TRANSAKSI DAN BIAYA TRANSAKSI Koordinator : Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

EKONOMI KELEMBAGAAN RASIONALITAS, OPPORTUNITY DAN DETERMINAN BIAYA TRANSAKSI. Koordinator : Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T

EKONOMI KELEMBAGAAN RASIONALITAS, OPPORTUNITY DAN DETERMINAN BIAYA TRANSAKSI. Koordinator : Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T EKONOMI KELEMBAGAAN : RASIONALITAS, OPPORTUNITY DAN DETERMINAN BIAYA TRANSAKSI Koordinator : Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Lebih terperinci

PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN (ESL224)

PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN (ESL224) PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN (ESL224) KULIAH 10: RASIONALITAS, OPPORTUNITY DAN DETERMINAN BIAYA TRANSAKSI Koordinator : Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ILMU EKONOMI KELEMBAGAAN

PERKEMBANGAN ILMU EKONOMI KELEMBAGAAN Kuliah X PERKEMBANGAN ILMU EKONOMI KELEMBAGAAN PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN (ESL 223) Ekonomi kelembagaan adalah paradigma baru dalam ilmu ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

BIAYA TRANSAKSI EFESIENSI EKONOMI

BIAYA TRANSAKSI EFESIENSI EKONOMI BIAYA TRANSAKSI DAN EFESIENSI EKONOMI SKEMA TINGKATAN BIAYA TRANSAKSI Perubahan parameter Lingkungan Kelembagaan Strategi Atribut prilaku Tata Kelola/ Governance Individu Preferensi endogen Williamson,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan Nikijuluw (2002) mengungkapkan bahwa dalam pengelolaam sumberdaya perikanan, terdapat dua rezim pengelolaan sumberdaya ikan yang dikenal

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER ANALISIS FUNGSI KELEMBAGAAN NON-PASAR (NON- MARKET INSTITUTIONS) DALAM EFISIENSI ALOKASI SUMBERDAYA PERIKANAN (Studi Kasus: Pelabuhanratu, Kab. Sukabumi) RIAKANTRI

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri perikanan adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan dalam bidang perikanan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan paket-paket teknologi. Menurut Porter (1990)

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Lebih terperinci

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 126 VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Oleh : MAYA RESMAYANTY C44101004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan ketahanan pangan nasional, pembentukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR MEISWITA PERMATA HARDY SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta ton/tahun. Dengan besarnya potensi tersebut

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN. PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 03 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 40 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN LEBAK

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor perikanan berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah. Sumber daya alam ini diharapkan dapat mensejahterakan rakyat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI Oleh : Ongki Wiratno PROGRAM STUDI MAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 @ Hak cipta

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO 1 ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO SUDARMIN PARENRENGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2

Lebih terperinci