Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Air bermanfaat bagi kehidupan manusia antara lain untuk kebutuhan konsumsi, kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata, transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan air bersih meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan akan air bersih salah satunya dipenuhi dengan airtanah, oleh sebab itu airtanah sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Kelangkaan airtanah di suatu tempat akan menyadarkan manusia betapa berharganya air yang mungkin tidak dirasakan saat air tersedia dalam jumlah yang melimpah. Kondisi peresapan air pada suatu lahan berkaitan erat dengan keberadaan air, terutama airtanah. Permasalahan yang sering muncul pada umumnya diindikasikan oleh kekeringan atau kesulitan memperoleh air bersih terutama pada musim kemarau. Daerah yang perlu dirawat kondisi hidrologinya salah satunya berupa Daerah Aliran Sungai atau sering disingkat dengan DAS. DAS perlu dijaga karena terdapat keterkaitan antara aspek-aspek dalam DAS baik bagian hulu, tengah maupun hilir. Setiap bagian dari DAS memiliki fungsi dan peran masing-masing. Daerah hulu berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dan mempunyai fungsi perlindungan dari keseluruhan DAS, daerah tengah merupakan daerah peralihan dari hulu ke hilir sedangkan daerah hilir merupakan output sistem DAS dan menjadi cermin dari fenomena yang terjadi di bagian hulu dan tengah. Apabila masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS yang bersangkutan adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir yang tinggi dan kekeringan maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang tingkat kekritisan peresapan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang digunakan adalah semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air larian, sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base-flow) dapat naik, demikian pula cadangan airtanahnya (Dephut, 2009). 1

2 Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari lahan yang seharusnya menjadi kawasan lindung yang dijadikan sebagai kawasan budidaya berupa lahan pertanian maupun permukiman mempengaruhi peresapan air pada daerah resapan air. Bertambahnya jumlah penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan hidup termasuk papan, secara umum telah mengakibatkan perubahan kondisi peresapan air yang pada akhirnya menurunkan kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan (infiltrasi) yang berguna sebagai sumber airtanah. Kondisi peresapan air adalah kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan yang berguna sebagai sumber air (Syahbani, 2001). Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia. Pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan dengan suatu wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air mulai dari masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit wilayah yang dimaksud adalah daerah aliran sungai. Oleh karena itu, langsung maupun tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada hakekatnya juga pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012). Berdasarkan konsep tersebut diketahui adanya keterkaitan antar wilayah, artinya dalam suatu DAS kondisi yang ada pada suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi di wilayah lain. 2

3 DAS Oyo terdiri dari beberapa Sub DAS seperti Oyo Hulu I dan II, Oyo bagian hilir dan Tengah, Mujung, Urang, Pentung, G. Jompong, Widoro, Juwet/Ngalang dan Prambutan memiliki kondisi fisik topografi, litologi serta vegetasi yang sangat kompleks dan sebagian besar hujan yang turun terkumpul menjadi aliran permukaan sehingga mengakibatkan banjir di pertemuan sungai Opak-Oyo sampai ke hilirnya. Berdasarkan fungsinya, sebagian penggunaan lahan yang dimiliki di sekitar Sungai Oyo disarankan menjadi kawasan fungsi lindung. Namun kenyataan menunjukkan bahwa ±60% lahan digunakan untuk pertanian karena sekitar 76% penduduknya hidup dari sektor pertanian (BPDAS, 2003). Hal ini menunjukkan adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang mana perlu dikaji lebih dalam mengenai dampak yang akan diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan tersebut terhadap daerah resapannya. Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan yang luas. Citra Landsat 8 merupakan citra resolusi menengah yang cukup up to date sehingga diharapkan dapat sesuai untuk menyadap parameter penentu kekrititisan daerah resapan. Penelitian ini mengambil daerah yang diteliti berupa Sub DAS Oyo yang memiliki karakteristik wilayah yang sangat kompleks. Perubahan penggunaan lahan yang ada dapat mempengaruhi kondisi daerah resapan atau tingkat kekritisan daerah resapannya. Apabila telah diketahui kondisinya maka hasilnya dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan DAS sehingga DAS dalam kondisi baik dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta meminimalisir fluktuasi aliran sungai yang bisa berakibat banjir maupun kekeringan. 1.2 Perumusan Masalah Kondisi daerah resapan dalam suatu DAS sangat mempengaruhi ketersediaan airtanah maupun kondisi peresapan dari DAS itu sendiri. Kondisi daerah resapan dapat dinilai dari infiltrasi yang ada baik infiltrasi potensial maupun infiltrasi aktualnya. Infiltrasi potensial dinilai dari kondisi fisik yang mana Sub DAS Oyo memiliki kondisi fisik yang sangat kompleks dan sebagian 3

4 besar air hujan mengalir menjadi aliran permukaan sehingga sering mengakibatkan banjir di pertemuan sungai Opak-Oyo sampai ke hilirnya. Penggunaan lahan juga mempengaruhi tingkat infiltrasi di suatu DAS berupa infiltrasi aktual. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dapat mengakibatkan kondisi resapan yang kurang baik sehingga penilaian mengenai kondisi resapan di Sub DAS Oyo perlu dilakukan. Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan yang luas. Data penginderaan jauh berupa citra resolusi menengah Landsat 8 digunakan untuk menyadap informasi tersebut. Citra Landsat 8 ini digunakan untuk perolehan parameter seperti penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi untuk pembuatan model kondisi kekritisan daerah resapan di Sub DAS Oyo. Pengolahan data dan pembuatan model kekritisan daerah resapan dilakukan dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG) sehingga lebih cepat dan efisien serta membantu menyelesaikan masalah spasial kondisi peresapan Sub DAS Oyo. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini antara lain: 1. Bagaimanakah peran citra Landsat 8 dapat membantu menyadap parameter penentu kekrititisan daerah resapan. 2. Bagaimanakah potensi peresapan air di Sub DAS Oyo. 3. Bagaimanakah hubungan pola sebaran keruangan antara infiltrasi Sub DAS Oyo dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS tersebut. 1.3 Tujuan Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 dalam menyadap parameter penentu kekritisan daerah resapan. 2. Memetakan kondisi daerah resapan dalam Sub DAS Oyo. 3. Melihat hubungan antara pola sebaran keruangan infiltrasi Sub DAS Oyo dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo. 4

5 1.4 Manfaat Diharapkan penelitian tentang pemetaan kondisi kekritisan daerah resapan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran bagaimana citra resolusi menengah Landsat 8 dapat digunakan untuk memetakan kondisi daerah resapan suatu DAS. 2. Memberikan informasi mengenai kekritisan daerah resapan Sub DAS Oyo. 3. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka pengelolaan DAS. 1.5 Telaah Pustaka Penginderaan Jauh Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan sutau objek. Penginderaan jauh dilakukan tanpa kontak langsung sehingga diperlukan media supaya objek atau gejala tersebut dapat diamati dan didekati oleh si penafsir. Media ini berupa citra (image atau gambar). Komponen yang ada pada sistem penginderaan jauh diantaranya yaitu sumber tenaga (aktif dan pasif), panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, interaksi panjang gelombang dengan obyek, obyek itu sendiri, atmosfer dan sensor satelit. Gambar 1.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994) (Sumber: 5

6 Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan reaksi yang berbedabeda terhadap sumber tenaga dalam salah satu komponen penginderaan jauh. Ada obyek yang menyerap (absorption), memantulkan (reflection) dan meneruskan (transmition) tenaga-tenaga tersebut. Sifat-sifat obyek/interaksi terhadap gelombang elektromagnetik tersebutlah yang ditangkap oleh sensor satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Hasil dari interaksi komponen-komponen tersebut berupa citra penginderaan jauh. Citra dapat diperoleh melalui perekaman fotografis, yaitu pemotretan dengan kamera, dan dapat juga diperoleh melalui perekaman non-fotografis, misalnya dengan pemindai atau penyiam (scanner). Perekaman fotografis menghasilkan foto udara, sedangkan perekaman lain menghasilkan citra non-foto. Citra foto udara selalu berupa hard copy (barang tercetak) yang diproduksi dan direproduksi dari master rekaman yang berupa film. Citra non-foto biasanya terekam secara digital dalam format asli, dan memerlukan komputer untuk presentasinya. Citra non foto juga dapat (dan perlu) dicetak menjadi hard copy, untuk keperluan interpretasi secara visual. Data penginderaan jauh diperoleh dari suatu satelit, pesawat udara balon udara atau wahana lainnya. Data-data tersebut berasal rekaman sensor yang memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang di hasilkan (Richards dan Jia, 2006). Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi, 2001). Pemanfaatan teknik Penginderaan Jauh untuk hidrologi pada dasarnya akan meringankan pekerjaan, biaya dan tenaga yang dikeluarkan apabila dilakukan secara terestrial. Namun demikian perlu diperhatikan segala keterbatasan dari citra satelit sendiri bila digunakan untuk menggali informasi parameter-parameter hidrologi, baik dalam hal karakteristik citra (misalnya: skala, jenis citra) maupun dalam hal keterbatasan metodologinya. Oleh karena itu pemanfaatan citra satelit 6

7 untuk studi hidrologi biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel lahan yang dapat dikaitkan dengan proses-proses hidrologi Citra Landsat 8 Satelit Landsat 8 merupakan satelit penginderaan jauh milik NASA yang telah diluncurkan pada hari Senin tanggal 11 Februari Satelit Landsat 8 dibawa oleh roket Atlas V ini telah diluncurkan dengan sukses dari Vandenberg Air Force Base di California. Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1). Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22 Januari Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983; Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012, USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5 generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei Landsat 8 memiliki kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi, dari 15 meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 kanal. Dalam satu harinya satelit ini akan mengumpulkan 400 scenes citra atau 150 kali lebih banyak dari Landsat 7. (Sumber: Gambar 1.2 Landsat 8 (Sumber: 7

8 Tabel 1.1. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Spectral Band Wavelength Resolution Band 1 - Coastal/Aerosol µm 30 m Band 2 Blue µm 30 m Band 3 Green µm 30 m Band 4 - Near Infrared µm 30 m Band 5 - Near Infrared µm 30 m Band 6 - Short Wavelength Infrared µm 30 m Band 7 - Short Wavelength Infrared µm 30 m Band 8 Pankromatik µm 15 m Band 9 Cirrus µm 30 m Sumber: Tabel 1.2. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Thermal InfraRed Sensor Spectral Band Wavelength Resolution Band 10 - Long Wavelength µm 100 m Infrared Band 11 - Long Wavelength Infrared Band µm 100 m Sumber: Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau SIG secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem manual atau digital (dengan menggunakan komputer sebagai alat pengolahan dan analisis) yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau geografis (Projo Danoedoro: 1996). SIG memiliki rujukan spasial (keruangan) yang dapat berujud lokasi (titik, garis, area), distribusi, serta terintegrasikan dengan data atribut yang berkaitan dengan tiga unsur penting geografis tersebut secara keruangan. SIG muncul sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan peta yang dihasilkan dengan teknik kartografi manual. Keterbatasan itu meliputi pembuatan, penyimpanan, pemanfaatan, dan pembaruan/modifikasi peta sesuai dengan perkembangan dan keperluan yang dikehendaki. Peta konvensional yang dihasilkan dari proses kartografi manual bersifat statis, sukar untuk diolah kembali, sukar untuk dipadukan (integrated) antara beberapa peta tematik, terbatas kapasitas penanganannya, sukar untuk menyimpan dan memanipulasi 8

9 datanya, usaha untuk memperoleh informasi baru dari peta konvensional yang ada juga sulit dilakukan apabila data yang akan dipadukan dalam jumlah besar. Perencanaan pembangunan atau pengambilan keputusan yang berkaitan dengan spasial diperlukan analisis data yang bereferensi geografis. Analisis ini harus didukung oleh sejumlah konsep-konsep ilmiah dan sejumlah data yang handal. Data/informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan harus dipilih dan diolah melalui pemrosesan yang akurat. SIG merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. SIG memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan menampilkan dan menganalisa data. SIG menyediakan sejumlah komponen atau subsistem antara lain: 1. Masukan data (data input) Subsistem masukan data adalah fasilitas dalam Sistem Informasi Geografi yang digunakan untuk memasukan data dan merubah data dari bentuk data asli ke dalam bentuk data yang dapat diterima dan dipakai dalam SIG. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan 3 cara, yakni: a. Pelarikan (scanning) Pelarikan atau penyiaman adalah proses pengubahan data grafis kontinyu menjadi data diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel). Data hasil penyiaman disimpan dalam bentuk raster. Data raster ini dapat diubah menjadi data vektor melalui proses digitasi. b. Digitasi Digitasi adalah proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam struktur vektor. Pada struktur vektor ini data disimpan dalam bentuk titik (point), garis (lines) atau segmen, data poligon (area) secara matematis-geometris (Lo, 1986). Contoh tipe data titik adalah kota, lapangan terbang, pasar. Tipe data garis diantaranya adalah sungai, jalan, kontur topografik. Tipe data poligon/area antara lain ditunjukkan oleh bentuk-bentuk penggunaan lahan, klasifikasi tanah, daerah aliran sungai. Tipe data ini bergantung pada skalanya. 9

10 c. Tabulasi Basis data dalam SIG dikelompokkan menjadi dua, yakni basis data grafis dan basis data non-grafis (atribut). Data grafis adalah peta itu sendiri, sedangkan data atribut adalah semua informasi non-grafis, seperti derajat kemiringan lereng, jenis tanah, dan lain-lain. Data atribut ini disimpan dalam bentuk tabel, sehingga sering disebut basis data tabuler. Data tabel ini kemudian dikaitkan dengan data grafis untuk keperluan analisis. 2. Pengelolaan data Pengelolaan data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari input data. Beberapa langkah penting lainnya, seperti pengorganisasian data, perbaikan, pengurangan, dan penambahan dilakukan pada subsistem ini. 3. Manipulasi dan Analisis data Fungsi subsistem ini adalah untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG. Untuk merubah format data, mendapatkan parameter dan proses dalam pengelolaan dapat dilakukan pada subsistem ini. Beberapa fasilitas yang biasa terdapat dalam paket SIG untuk manipulasi dan analisis, meliputi empat unsur, yakni: fasilitas penyuntingan, interpolasi spasial, tumpang susun, modeling, dan analisis data (Danoedoro, 1996). Fasilitas yang terdapat pada Sistem Informasi Geografi antara lain: a. Penyuntingan Sebenarnya, sebagian fungsi penyuntingan telah dilakukan dalam subsistem manajemen data (khususnya data spasial), tetapi ada yang belum dikerjakan secara detail, yakni pemutakhiran (up dating) data. Sebagai contoh antara lain, peta pola persebaran pemukiman untuk tahun terbaru tidak perlu digitasi ulang, tetapi cukup diperbaharui dengan menambah data baru. b. Interpolasi spasial Interpolasi spasial merupakan jenis fasilitas SIG yang rumit, bahkan dapat dikatakan bahwa langkah ini tidak dapat dilakukan secara manual. Setiap titik pada koordinat tertentu dalam peta memuat sejumlah informasi koordinat dan nilai-nilai tertentu suatu variabel yang dikehendaki. Misal, pemasukan data 10

11 berupa posisi koordinat dan kemiringan lereng, dapat diinterpolasi. Hasil dari proses interpolasi tersebut adalah peta kontinyu dimana setiap titik pada peta digital tersebut menyajikan informasi berupa nilai riil. c. Tumpang susun (overlay) Tumpang susun ini sebenarnya merupakan langkah di dalam SIG yang dapat dilakukan secara manual, tetapi cara manual terbatas kemampuannya. Bila peta yang akan ditumpangsusunkan lebih dari 4 lembar peta tematik, maka kan terjadi kerumitan besar dan sukar dirunut kembali dalam menyajikan satuansatuan pemetaan baru (Danoedoro, 1996). Software SIG yang berbasis raster dapat melakukan proses tumpang susun secara lebih cepat daripada software SIG berbasis vektor. Proses tumpang susun lebih cepat pada SIG berbasis raster karena proses ini dilakukan antar pixel dari masing-masing input data peta pada koordinat yang sama, tidak harus merumuskan lagi topologi baru untuk satuan pemetaan baru yang dihasilkan dari proses ini sebagaimana yang terjadi pada SIG berbasis vektor. d. Pembuatan Model dan Analisis data Bila input data telah masuk dan tersusun dalam bentuk basis data, maka proses pembuatan model (modeling) dan analisis data menjadi efisien, dapat dilakukan kapan saja dan dapat dipadukan dengan input peta baru. Bagian inilah terletak manfaat SIG yang besar, yakni ketika seluruh data telah tersedia dalam bentuk digital. 4. Keluaran data (data output) Subsistem ini berfungsi untuk menayangkan (displaying) informasi baru dan hasil analisis data geografis secara kuantitatif maupun kualitatif. Wujud keluaran ini berupa peta, tabel atau arsip elektronik (file). Keluaran data ini tidak hanya ditayangkan pada monitor, tetapi selanjutnya perlu disajikan dalam bentuk cetakan (hardcopy), dengan maksud agar dapat dibaca, dianalisis, dan diketahui persebarannya secara visual (data peta). Peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi yang dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak 11

12 dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Manfaat Sistem Informasi Geografis (SIG) antara lain: a. Memudahkan dalam melihat fenomena kebumian dengan perspektif lebih baik. b. Mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta bahkan data statistik. c. Mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. d. Menyongsong pembangunan di masa mendatang yang semakin lama akan semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupakan informasi keruangan dan kewilayahan untuk inventarisasi data keruangan yang berkaitan dengan sumber daya alam Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004). Dengan demikian, DAS merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melalui sungai, tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang 12

13 terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan, maupun teknologi yang terus berkembang. Sub Daerah Aliran Sungai adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS-Sub DAS. DAS mempunyai suatu keterkaitan antara faktor biotik, abiotik dan budaya serta interaksi yang saling berpengaruh dari DAS bagian hulu, tengah dan hilir. Faktor biotik merupakan makhluk hidup yang menempati ruang DAS, faktor abiotik merupakan permukaan lahan DAS tersebut sedangkan budaya adalah sifat dan perilaku masyarakat dan perilaku masyarakat terhadap kawasan DAS. Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau (Dephut, 2008) Infiltrasi Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi termasuk dalam gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler. Gaya kapiler mendorong air untuk bergerak ke segala arah sementara gaya gravitasi mendorong air untuk bergerak mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Laju infiltrasi (infiltration rate) adalah kecepatan infiltrasi nyata yang berubah-ubah sesuai dengan variasi intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi adalah kecepatan infiltrasi maksimum yang tergantung dari sifat permukaan tanah. Nilai laju infiltrasi (f) dapat kurang atau sama dengan kapasitas infiltrasi (f p ). Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sedangkan jika intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Asdak, 2001). 13

14 Secara singkat, Seyhan (1990) dalam Asdak, 2001 menyebutkan faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah : a. Karakteristik hujan Hal ini menyangkut intensitas hujan yang terjadi pada suatu tempat. Apabila intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah, maka infiltrasi akan terus melaju sama dengan laju curah hujan. b. Kondisi permukaan tanah Kondisi tersebut terkait material permukaan ataupun topografinya. Pada permukaan tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian partikel halus oleh air sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan menurunkan laju infiltrasi. Kemiringan tanah juga mempengaruhi karena pada kondisi yang miring, air memiliki kemungkinan meresap lebih kecil dibanding kondisi yang landai, bergelombang hingga datar. Selain itu penggolongan tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi antara lain dengan terasering atau pembajakan kontur dan yang menurunkan laju infiltrasi adalah dengan pengolahan permukaan vegetasi. Hal tersebut dikarenakan kenaikan atau penurunan cadangan permukaan. c. Kondisi penutup permukaan Penutup permukaan berupa vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan melindungi tanah dari dampak tetesan hujan. Sedangkan dengan mengubah penutup permukaan menjadi bangunan atau jalan akan mengurangi kapasitas infiltrasi. d. Transmibilitas tanah Beberapa sifat tanah seperti struktur tanah, kemantapan struktural, faktor biotik dan sifat penampang tanah merupakan faktor yang mempengaruhi pori yang besar dan transmibilitas tanah. Infiltrasi berbanding terbalik dengan kadar lengas tanah, hal ini terjadi dengan berbagai cara, diantaranya adalah kandungan air yang meningkat mengisi ruang pori dan mengurangi kapasitas tanah untuk infiltrasi air selanjutnya. Apabila hujan membasahi permukaan suatu tanah yang kering maka gaya kapiler akan menarik air dengan laju yang lebih tinggi dibanding laju oleh gaya gravitasi, dan 14

15 meningkatnya airtanah menyebabkan pengembangan koloid dan mengurangi ruang pori. e. Karakteristik air yang berinfiltrasi Karakteristik air tesebut antara lain suhu air dan kualitas air. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada bulan-bulan musim panas laju infiltrasi lebih tinggi, namun hal ini tentu disebabkan juga oleh faktor lain, bukan hanya karena faktor suhu air. Kualitas air berhubungan dengan kekeruhan, pada air yang mengandung partikel debu halus saat infiltrasi akan menyumbat ruang pori yang lebih halus dalam tanah sehingga akan mengurangi laju infiltrasi Daerah resapan Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia. Pada umumnya pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan dengan suatu wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air mulai dari masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit wilayah yang dimaksud adalah Daerah Aliran Sungai. Oleh karena itu, baik langsung maupun tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada hakekatnya juga pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Menurut Sautterland (1972), pengelolaan DAS adalah pengelolaan terhadap seluruh sumberdaya alam dari suatu DAS untuk melindungi, memelihara dan memperbaiki hasil air. Sedangkan menurut Brooks et al (1991), memberikan definisi lebih detail yaitu proses mengarahkan dan mengorganisir lahan dan penggunaan sumberdaya lainnya untuk memberikan barang-barang dan jasa yang 15

16 diinginkan tanpa menyalahi kondisi sumberdaya tanah dan air. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012). Berdasarkan konsep tersebut diketahui adanya keterkaitan antar wilayah, artinya dalam suatu DAS kondisi yang ada pada suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi di wilayah lain. 1.6 Penelitian Sebelumnya Dulbahri (1992) melakukan penelitian tentang pemanfaatan foto udara inframerah berwarna untuk kajian agihan dan pemetaan airtanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan unit geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh, mengevaluasi kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi termasuk mata air dan melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan sumberdaya airtanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara inframerah berwarna skala 1: dan cek lapangan. Penelitian ini menghasilkan peta keberadaan dan agihan airtanah dan deskripsi unit daerah airtanah. Syahbani (2003) melakukan penelitian tentang penggunaan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk penilaian kondisi resapan Sub DAS Garang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS dan memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara pankromatik skala 1: dan overlay parameter fisik lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala 1: Karakteristik fisik yang digunakan berupa tekstur tanah, curah hujan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan yang diberi skor tertentu berdasarkan pengaruhnya terhadap infiltrasi. 16

17 Sigit (2010) melakukan penelitian tentang kajian foto udara dan sistem informasi geografis untuk pemetaan kondisi peresapan air Sub DAS Wedi Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketelitian interpretasi foto udara dan mengetahui sebaran potensi peresapan air di daerah penelitian serta menganalisis sebaran tersebut secara keruangan. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991 skala 1:50.000, survey terbatas untuk uji lapangan dan tumpangsusun peta parameter. Penelitian ini merupakan penelitian yang sama dengan Syahbani dimana dalam penelitian ini terdapat tambahan parameter berupa jenis batuan, vegetasi, dan pengelolaan lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi peresapan air skala 1: Lestari (2011) melakukan penelitian tentang pemanfaatan citra ASTER dan Sistem Informasi Geografis untuk pemetaan lokasi potensial dan distribusi spasial daerah resapan (recharge area), kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai Gadjah Wong Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan, memetakan daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan air dan mengkaji kesesuaian antara laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan airtanah. Metode yang digunakan berupa interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju resapan dengan sistem informasi geografis. Penelitian ini menghasilkan informasi potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan serta peta kesesuaian daerah resapan yang mana kelas kesesuaian tidak sesuai paling luas yaitu seluas 48.26% dari total daerah penelitian. 17

18 Peneliti (tahun) Dulbahri (1992) Twosan Syahbani (2003) Agus Anggoro Sigit (2010) Rizki Puji Lestari (2011) Tabel 1.3 Tabel perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian penulis Daerah Tujuan Data yang Metode digunakan Daerah Foto udara Pengaliran Sungai Progo Sub DAS Garang, Semarang Sub DAS Wedi, Klaten, Jawa Tengah Kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai Gadjah Wong, Yogyakarta - Menentukan unit geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh - Mengevaluasi kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi termasuk mata air - Melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan sumberdaya airtanah - Menerapkan teknik penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS - Memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang - Menguji ketelitian interpretasi foto udara - Mengetahui sebaran potensi peresapan air - Menganalisis sebaran tersebut secara keruangan - Mengetahui kemampuan citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan - Memetakan daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan air - Mengkaji kesesuaian antara laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan inframerah berwarna skala 1: Foto udara pankromatik skala 1: Foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991 skala 1: Interpretasi foto udara dan cek lapangan Interpretasi foto udara (penggunaan lahan) dan overlay parameter fisik lahan (tanah, curah hujan dan kemiringan lereng) Interpretasi foto udara, survey terbatas dan tumpangsusun peta parameter (sama halnya dengan Syahbani, ditambah dengan konservasi lahan, kerapatan vegetasi dan jenis batuan) Citra ASTER Interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju resapan dengan sistem informasi geografis Hasil Peta keberadaan dan agihan airtanah dan deskripsi unit daerah airtanah Peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala 1: Peta kondisi peresapan air skala 1: Informasi potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan distribusi 18

19 Annisa Kusuma Pradana (2013) airtanah spasial daerah resapan serta peta kesesuaian daerah resapan Sub DAS Oyo - Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 Landsat 8 Interpretasi citra Peta kondisi untuk menyadap parameter penentu tahun 2013, Landsat 8, cek lapangan, peresapan Sub kekritisan daerah resapan data sekunder overlay parameter DAS Oyo skala - Memetakan kondisi daerah resapan pendukung (parameter 1: Melihat hubungan antara pola sebaran fisik dan aktual) keruangan antara infiltrasi dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo. 19

20 1.7 Kerangka Pemikiran Kondisi peresapan suatu daerah ditentukan oleh proses peresapan air hujan ke dalam tanah. Proses peresapan ini merupakan proses pembaruan cadangan air tanah melalui proses infiltrasi bersumber dari air hujan. Tidak semua tempat di permukaan bumi memiliki kondisi peresapan yang baik, begitu pula dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS dapat dikategorikan ke dalam DAS yang memiliki kondisi baik maupun DAS dengan kondisi tidak baik. DAS dengan kondisi yang baik akan menjalankan fungsi DAS sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kondisi DAS yang tidak baik akan menimbulkan berbagai permasalahan. Kondisi DAS yang tidak baik dapat disebabkan adanya bencana maupun berkaitan dengan daerah resapan yang tidak berfungsi dengan baik. Daerah resapan ini berkaitan dengan infiltrasi yang mana dipengaruhi oleh faktor-faktor alam maupun adanya aktivitas manusia. Proses infiltrasi berperan penting dalam pengisian kembali lengas tanah dan airtanah. Tingkat kekritisan atau kondisi daerah resapan ditentukan oleh faktor-faktor antara lain kemiringan lereng, batuan, jenis tanah, vegetasi, curah hujan, penggunaan lahan dan konservasi. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap proses infiltrasi yang ada. Kemiringan lereng memiliki pengaruh terhadap peresapan air karena semakin curam suatu lereng maka peresapan akan semakin kecil karena air akan lebih berpotensi menjadi limpasan/aliran permukaan. Sedangkan semakin datar topografinya maka infiltrasi yang terjadi akan semakin besar karena air hujan akan lebih mudah meresap ke dalam tanah. Hal tersebut terjadi layaknya pengaruh gravitasi dan sifat air yang mana air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah. Batuan dan jenis tanah yang ada mempengaruhi tingkat infiltrasi karena berhubungan dengan permeabilitas (kemampuan tanah meloloskan air dalam keadaan jenuh) yang terjadi. Permeabilitas menentukan koefisien resapan yang ada. Semakin besar permeabilitas maka infiltrasi akan semakin besar. Permukaan tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian partikel halus oleh air sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan menurunkan laju infiltrasi. 20

21 Sedangkan untuk permukaan tanah yang memiliki material yang kasar seperti pasir yang mana ukuran porinya besar cenderung mudah meloloskan air sehingga potensi infiltrasinya besar. Curah hujan merupakan kontibutor utama sebagai masukan air tanah. Infiltrasi akan lebih besar jika curah hujan semakin besar karena air yang masuk lebih banyak. Apabila intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah, maka infiltrasi akan terus melaju sama dengan laju curah hujan. Konservasi lahan dalam hal ini lebih ditekankan pada ada atau tidaknya teras dan kondisi terasnya. Adanya teras akan mempengaruhi besarnya infiltrasi karena teras sendiri berfungsi untuk menahan laju air hujan yang dapat pula mengakibatkan erosi. Apabila terdapat teras, maka air hujan yang masuk cenderung tertahan dan terinfiltrasi ke dalam tanah sedangkan jika tidak terdapat teras maka air hujan cenderung menjadi air larian terutama di daerah yang topografinya bergelombang hingga curam apabila tidak ada teras atau konservasi lahannya maka air hujan sangat mudah menjadi limpasan. Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan run off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi dalam hal ini cenderung memperbesar nilai infiltrasi. Vegetasi yang rapat akan mempercepat proses infiltrasi dibandingkan vegetasi yang lebih jarang karena air akan diserap oleh akar-akar tanaman. Penggunaan lahan merupakan aspek di bawah pengaruh kegiatan manusia, yang mempunyai implikasi yang berbeda pada infiltrasi. Jika aspek alami seperti faktor-faktor yang telah disebutkan mencerminkan kondisi potensial, maka aspek penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktual. Penggunaan lahan yang ada mempengaruhi besarnya infiltrasi. Penggunaan lahan yang lahannya tertutup vegetasi cenderung memiliki infiltrasi yang lebih besar dan melindungi tanah dari dampak tetesan hujan dibandingkan dengan penggunaan lahan sebagai permukiman di mana air hujan akan lebih berpotensi menjadi limpasan. Dengan menumpang-tindihkan faktor-faktor tersebut yang telah diubah menjadi nilai tingkat infiltrasi baik aspek alami maupun aspek aktual, maka dapat dibuat peta 21

22 hasil overlaynya sehingga daerah mana yang rawan atau kritis kondisi resapannya dan daerah mana yang tidak kritis kondisi resapannya dapat teridentifikasi. Demikian pula dengan menggunakan matriksnya, maka faktor penyebabnya juga dapat dievaluasi. Gambar 1.2. Diagram alir kerangka pemikiran 1.8 Batasan Istilah Daerah Aliran Sungai Adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004). 22

23 Sub Daerah Aliran Sungai Adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS- Sub DAS. Infiltrasi Merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi termasuk dalam gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler. (Asdak, 2001). Daerah resapan Daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. (Sayogyo, 1982) Kondisi Peresapan Air Adalah kondisi kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan zat yang tidak dapat dipisahkan dari makhluk hidup di kehidupan sehari-harinya. Zat tersebut sangatlah dibutuhkan ketersediannya di berbagai waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekritisan Daerah Resapan Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan air, maka bumi menjadi planet dalam tata surya yang memiliki

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ APLIKASI TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN SUB DAS PADANG JANIAH DAN PADANG KARUAH PADA DAS BATANG KURANJI KECAMATAN PAUH KOTA PADANG

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana alam yang hampir pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu)

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Rahmawati Suparno Putri rahmawatisuparnoputri@ymail.com Totok Gunawan totokgunwan@yahoo.com Abstract This

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*) PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS Oleh: Suryana*) Abstrak Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara integratif dari komponen biofisik dan sosial budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dijaga, karena terdapat keterkaitan antara aspek-aspek dalam DAS baik bagian hulu, tengah maupun hilir. Setiap bagian dari DAS memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kedua musim ini berpotensi menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kedua musim ini berpotensi menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kedua musim ini berpotensi menimbulkan bencana. Musim kemarau menyebabkan kekeringan dan musim

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pantai adalah wilayah perbatasan antara daratan dan perairan laut. Batas pantai ini dapat ditemukan pengertiannya dalam UU No. 27 Tahun 2007, yang dimaksud dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kegiatan penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), konsekuensi keruangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kompetensi Utama: Kompetensi Inti Guru: Kompetensi Dasar: Profesional Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

ANALISIS ZONA KRITIS PERESAPAN AIR DENGAN PEMANFAATAN PNGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI SUB DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN

ANALISIS ZONA KRITIS PERESAPAN AIR DENGAN PEMANFAATAN PNGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI SUB DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN ANALISIS ZONA KRITIS PERESAPAN AIR DENGAN PEMANFAATAN PNGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI SUB DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN Agus Anggoro Sigit Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 06 ISBN: 978-60-6-0-0 ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Agus

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... i ii iii vi ix xi xiii xii BAB I. PENDAHULUAN... 1

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off 7 TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS Aliran permukaan, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, karena merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal dengan sumberdaya alamnya yang sangat melimpah seperti sumberdaya lahan, hutan, air, hasil tambang, dan

Lebih terperinci