BAB V EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: HASIL ANALISIS PARSIAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: HASIL ANALISIS PARSIAL"

Transkripsi

1 BAB V EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: HASIL ANALISIS PARSIAL Analisis Umum Model Dugaan Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa modifikasi karena adanya ketidakkonsistenan hasil dugaan dengan teori, s& karena sejumlah dugaan parameter tidak nyata. Sehingga model akhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana dicerminkan oleh ke-22 dugaan persamaan struktu~al pada Tabel 7. Hasil pendugaan parameter atas model memberikan nilai koefisien detenninasi (RZ) pada masing-masing persamaan cukup besar, yaitu berkisar antara hingga " Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan fluktuasi setiap variabel endogen secara baik. Pada masing-masing persamaan, variabel penjelas secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, yang ditunjukkan oleh nil& statistik F berkisar antara 5.30 hingga Selain itu, variabel endogen di dalam penamam dipengaruhi secara nyata oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf nyata (a) 0.05,0.10,0.15, clan " Hasil uji datidik DW dan Durbin-h menunjukkan bahwa terdapat masalah rnrtocmel~~tion pada bebnapa pasamaan. Namun, rcbagaimm dikunukakan Pindyk dan Rubiafeld (1991), (~to-cmlation hanya mcmpengaruhi cfisiensi pmdugaan, scdangkan dugaan paramacrnya tctap tidak bias.

2 Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Model U = E-06*GDP *GEI *POP *DRP *DD POVR = *GEA 'GW *W 'DRP *DD *LPOVR POVU = *GEI *GW *W 'DRP 'DD GEEH = -9GY *POV *U 'GR *INF iDRP tDD *LGEEH GEI GEA = *POV *GR 'INF *DRP *DD = *POV *GR *INF *DRP 'DD GDPA = ;LA *PC 'HC *GEI 'DRP StDD *LGDPA GDPL = 'LN *PC *HC SaGEI S1DRP 'DD *U3DPL GR = TR 'WOIL *DRP *DD * LGR FDR = 'WIR 'GR *ER *DRP *DD 'LFDR DDR = *DIR *GR *DRP S8DD Keterangan : Penjelasan notasi setiap variabel dapat d ili pada Lampiran 1

3 Suatu hal yang menjadi orientasi utarna penelitian ini adalah tanda parameter dugaan dalam model sesuai dengan harapan, berdasarkan teori maupun logika ekonomi. Dan, harapan tersebut terpenuhi pada hampir semua parameter hasil dugaan (Tabel 7). Berdasarkan ha1 ini dan uraian pada alinea di atas, dapat disimpulkan bahwa model cukup baik dan dapat digunakan untuk melakukan analisis ekonomi-politik kebijakan fiskal dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran Dugaan Parameter Persamaan Struktural Pengangguran Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran memberikan nilai koefisien deterrninasi (R') sebesar 94.9 persen. Hal ini benuti variasi variabel- variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 94.9 persen fluktuasi variabel pengangguran. Variabel endogen di dalam persamaan pengangguran dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 8 menunjukkan hasil pendugaan persamaan pengangguran. Pengangguran secara nyata dipengaxuhi oleh pengeluaran pemerintah untuk mfrastruktur, clan desentralisasi. Pengeluaran pemerintah untuk hfktdtw me~pcikan faktor yang berpengaruh nyata dalam mengurangi pengangguran. Hal ini tercermin dari nilai parameter dugaan sebesar , artinya peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar Rp 1 miliar akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar juta orang, sehingga untuk mengurangi

4 tingkat pengangguran 1 juta orang diperlukan kenaikan anggaran pengeluaran untuk sektor infrastnktur sebesar Rp miliar. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengangguran adalah desentralisasi. Kebijakan desentralisasi tidak efektif dalam menekan pengangguran. Yang te jadi setelah implementasi desentralisasi justru sebaliknya, yaitu jumlah pengangguran 1.89 juta orang lebii banyak dibandingkan sebelum desentralisasi. Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran Tahun Keterangan (Untuk tabel di atas dan tabel-tabel selanjutnya): A = Parameter dugaan berbeda dengan no1 pada taraf nyata (a) 0.05 B = Parameter dugaan berbeda dengan no1 pada taraf nyata (a) 0.10 C = Parameter dugaau berbeda dengan no1 pa& taraf nyata (a) 0.15 D = Parameter dugaan berbeda dengan no1 pa& tarafnyata (a) Kerniskinan Kerniskinan di Perdesaan Hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan di perdesaan memberikan nilai koefisien detenninasi (R') sebesar 93.4 persen. Hal ini berarti variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan 93.4 persen fluktuasi variabel kemiskinan di perdesaan. Kemiskinan di perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersarna-sama pada taraf nyata (a) 0.01, yang ditunjukan oleh statistik F dengan nilai

5 Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan Tahun Tabel 9 menunjukkan hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan di perdesaan. Kemiskinan secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional, dan rejim pemerintahan. Masing-masing nilai dugaan parametemya adalah , , clan Apabila pemerintah &an mengupayakan penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan melalui kenailcan pengeluaran pembangunan pemerintah untuk sektor pertanian sebesar Rp 1 miliar, maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar juta orang. Dalam arti lain, ceteris paribus, diperlukan anggaran pembangunan pertanian sebesar 67 miliar pia ah per 1 juta orang miskin atau sekitar 67 ribu ~piah/orang untuk mengangkat mereka ke atas garis kemiskinan.

6 Namun perlu disampaikan bahwa prediksi ini bersifat parsial. Prediksiiramalan yang bersifat sistemik dapat dilihat pada hail simulasi. Untuk mewujudkan pembangunan pertanian dan p e r d dibutuhkan ~ stimulus pembangunan perdesaan melalui pertumbuhan ekonomi. Dari persamaan kemiskinan di-perdesaan diperoleh gambaran bahwa kenaikan phmbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan mendan sekitar 0.36 juta orang miskin di perdesaan. Dengan kata lain, untuk mengurangi jumlah orang miskin sebesar 1 juta orang, ceterisparibus, diperlukan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 2.8 persen. Kenaikan upah secara relatif tentunya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan menaikkan upah minimum regional di perdesaan sebesar Rp lhulan akan menekan tingkat kemiskinan di perdesaan sebesar juta orang. Lebii lanjut, diperoleh gambaran bahwa berbagai kebijakan pemerintah di era reformasi temyata cenderung menyebabkan bertambahnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, jumlah orang miskin di perdesaan pada pemerintahan reformasi meningkat sebanyak 5.72 juta orang Kerniskinan di Perkotaan Hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan di perkotaan memberikan nilai koefisien determinasi (I?) sebesar 75.4 persen. Hal ini berarti variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut &pat menjelaskan 75.4 persen fluktuasi variabel kemiskinan di perkotaan. Variabel endogen di dalam persamaan kemiskinan di perkotaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel- variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai

7 Tabel 9 menunjukkan hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan di perkotaan. Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infiastruktur, pertumbuhan ekonomi, rejim pemerintahan dan desentralisasi. Koefisien regresi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur adalah Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar 10 persen dapat mendan jumlah orang miskin di perkotaan sebesar 1.5 persen. Sesuai Tabel 9, jumlah orang miskin di perkotaan akan berkurang sekitar 0.20 juta orang bila pertumbuhan ekonomi ditingkatkan sebesar 1 persen. Dengan kata lain, jumlah orang miskin di perkotaan akan berkurang sebanyak 1 juta orang apabila pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.04 persen. Pada pemmaan kerniskinan di perdesaan, untuk mengurangi jumlah orang miskin sebesar 1 juta orang diperlukan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 2.8 persen. Dengan demikian, laju pembuhan ekonomi yang sama akan menurunkan jumlah orang miskin lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Kondisi yang terjadi di perdesaan juga terjadi di perkotaan, diiana pemerintahan reformasi justru cendemg meningkatkan jumlah orang miskin di perkotaan. Sementara itu, dengan diberlakukannya desentraliii, jumlah orang miskin di perkotaan menjadi lebii rendah Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran pemerintah untuk pendidii dan kesehatan memberikan nilai koefisien determinasi (R') sebesar 83.4 persen Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan

8 tersebut dapat menjelaskan 83.4 persen fluktuasi variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan. Variabel endogen di dalam persamaan pengelwan pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pemerintah Tahun Tabel 10 menunjukkan bahwa secara nyata pengelwan pemerintah untuk sektor ini dipengaruhi pengangguran, rejim pemerintahan, dan pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya. Hasil analisis persamaan pengeluaran pemerintah

9 untuk pendidikan dan kesehatan menunjukkan bahwa kenaikan tingkat pengangguran sebesar 1 juta orang mendorong pemerintah untuk menambah anggaran belanjanya untuk pendidikan dan kesehatan sebesar 7.40 miliar rupiah saja. Di samping itu, diperoleh gambaran bahwa pada pemerintahan reformasi alokasi pengehan pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan justru lebii rendah dibandingkan pemerintahan sebelumnya Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran pemerintah untuk i&a&&ur memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 95.9 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95.9 persen fluktuasi variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur. Variabel endogen di dalam persamaan pengelurn pemerintah untuk infrastruktur dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 10 menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk sektor infrastruktur dipengaruhi secara nyata oleh kemiskinan, penerimaan pemerintah, reformasi, dan desentralisasi. Kenaikan tingkat kemiskinan sebesar satu juta orang akan diiiti dengan pertambahan anggaran belanja pemerintah untuk sebesar 2.13 miliar rupiah. Minimnya pembiayaan untuk menyelesaikan suatu program akan mendorong pemerintah untuk memperoleh sumber dana tambahan. Peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 1 miliar rupiah memberikan dampak kepada bertambahnya jumlah anggaran belanja pemerintah untuk infiastruktur sebesar 0.09 miliar rupiah. Dengan kata lain, pengeluaran pemerintah untuk sektor

10 inhtruktur akan bertambah sebesar 1 miliar rupiah apabila pemerintah mampu meningkatkan penerimaan sebesar miliar rupiah. Lebih lanjut, diperoleh gambaran bahwa pada era reformasi dan desentralisasi, pengeluaran untuk infrastruktur cenderung menurun Pengeluaran Pemerintah untuk Pertanian Hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran pemerintah untuk pertanian memberikan nilai koefisien determinasi (R') sebesar 93.8 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan 93.8 persen fluktuasi variabel pengeluaran pemerintah untuk pertanian. Variabel endogen di dalam persamaan pengeluaran pemerintah untuk pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan njlai Tabel 10 menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh kemiskinan clan inflasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat kemiskinan sebesar satu juta orang akan diiiti dengan pertambahan anggaran belanja pemerintah untuk pertanian sebesar 1.28 miliar rupiah. Inflasi juga akan berpengaruh secara nyata terhadap besaran pengeluaran pemerintah untuk pertanian. Kenaikan laju infiasi sebesar 1 persen akan berdampak terhadap berkurangnya pengeluaran pemerintah untuk pertanian sebesar 0.41 miliar. Hal ini terjadi karena pengeluaran pemerintah dinyatakan dalam bentuk nil, dimana kenaikan tingkat harga umum (iasi) menyebabkan menurunnya pengeluaran tersebut.

11 Tenagakerja Tenagakerja Sektor Pertanian Hasil pendugaan parameter persamaan tenagakeja pertanian memberikan nilai koefisien determinasi (R*) sebesar 99.6 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99.6 persen fluktuasi variabel tenagakeja pertanian. Variabel endogen di dalam persamaan tenagakerja pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah tenagakerja pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel upah minimum regional, populasi, dan rejim pemerintahan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan upah sebesar 1 rupiahlbulan akan memberikan dampak pada penurunan penyerapan tenagakerja pertanian sebesar juta orang. Sedangkan peningkatan jumlah populasi satu juta orang akan memberikan dampak pe~ngkatan tenagakerja di sektor pertanian sebesar 0.26 juta orang. Kebijakan pemerintah di era reformasi cenderung menyebabkan lebi rendahnya serapan tenagakerja sektor pertanian sebesar 8.1 juta orang dibandingkan pada rejim pemerintahan sebelumnya.

12 Tabel 1 1. Hasil Pendugaan Parameter Persarnaan Tenagakerja Tahun Tenagakerja Sektor Non-Pertanian Hasil pendugaan parameter persamaan model tenagakeja non-pertanian memberikan nilai koefisien determinasi (R~) sebesar 98.3 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjeiaskan 98.3 pmen fluktuasi variabel tenagakerja non-pertanian. Variabel endogen di dalam persamaan tenagakeja non-pertanian dipengaruhi secara nyata oleh va~iabel-variabel penjelas secara bersarna-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Jumlah tenagake rja non-pertanian dipengaruhi secara nyata oleh populasi, GDP non-pertanian, dan rejim pemerintahan. Kenaikan jumlah penduduk 1 juta orang diikuti penurunan tenagake rja non-pertanian sebesar 0.47 juta orang. Arah pengaruh ini bertentangan dengan arah pengaruh populasi pada tenagakeja

13 pertanian yang menunjukkan kecenderungan bahwa pertumbuhan populasi cenderung diikuti dengan pertambahan tenagakerja pehan. Sedangkan tenagakeja non-pertanian justru cenderung menurun dengan bertarnbahnya populasi. Kenaikan GDP non-pertanian sebesar 1 miliar rupiah akan menambah serapan tenagake ja non-pertanian sebesar juta orang. Pada pemerintahan reformasi, serapan tenagakqa non-pertanian cenderung lebih besar dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jika dibandingkan, analisis ini menunjukkan bahwa pa& peme~tahan refonnasi, serapan tenagakerja pertanian cenderung turun sedangkan serapan tenagake rja non-pertanian cenderung meningkat Modal Sumberdaya Manusia (Human Capirar) Hasil pendugaan parameter persamaan human capital memberikan nilai koefisien determinasi (R~) sebesar 70.9 persen. Hal ini berarti variasi variabel- variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 70.9 persen fluktuasi variabel human capital. Variabel endogen di dalam persamaan human capital dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama- sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Modal Sumberdaya Manusia (Human Capital) Tahun

14 Tabel 12 menunjukkan bahwa variabel human capital dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, dan desentralisasi. Kenaikan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan sebesar Rp 1 miliar akan meningkatkan stok human capital sebesar satuan. Analisis ini juga menunjukkan bahwa setelah penerapan desentralisasi, stok human capital cenderung lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini, dimana dengan diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah, terdapat kecenderungan bahwa Pemda-pemda gencar menyekolahkan aparatnya serta memberikan beasiswa kepada murid-murid berprestasi di daerah untuk melanjutkan pendidiiannya ke berbagai perguruan tinggi Modal Fisik (Physical Capital) Hasil pendugaan parameter persamaan physical capital memberikan nilai koefisien determinasi (R') sebesar 98.2 persen. Hal ini berarti variasi variabelvariabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 98.2 persen fluktuasi variabel physical capital. Variabel endogen di dalam persamaan physical capital dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah physical capital dipengaruhi secara nyata oleh investasi swasta, rejim pemerintahan, dan desentralisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa ken& investasi swash Rp I miliar akan me~ngkatkan stokphysical capital sebesar miliar rupiah.

15 Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Modal Fisik (Physical Capital) Tahun Analisis ini juga menunjukkan bahwa pada pemerintahan reformasi serta setelah diterapkannya desentralisasi, terdapat kecenderungan lebih tingginya stok physical capital. Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari rejim pemerintahan maupun kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi, pentingnya memperhatikan keadaan stok physical capital secara konsisten perlu mendapat perhatian khusus dalam perumusan kebijakan pembangunan ke depan Produk Domestik Bruto (PDB) PDB Sektor Pertauian Hasil pendugaan parameter persamaan PDB sektor pertanian memberikan nilai koefisien determinasi (RZ) sebesar 99.3 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99.3 persen fluktuasi variabel PDB sektor pertanian. Variabel endogen di dalam persamaan PDB sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada tar& nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 14 menunjukkan bahwa PDB sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh jurnlah tenaga keja pertanian, physical capital, rejim pemerintahan,

16 desentralisasi, dan PDB sektor pertanian tahun sebelumnya. Peningkatan tenaga kerja pertanian sebanyak 1 juta orang'secara nyata akan meningkatkan PDB pertanian sebesar miliar rupiah. Selanjutnya, meningkatnya Physical Capital sebanyak 1 miliar rupiah akan berdampak pula kepada meningkatnya PDB pertanian sebesar miliar rupiah. Lebih lanjut, diperoleh gambaran bahwa pada era reformasi dan desentralisasi, terdapat kecenderungan bahwa PDB pertanian justru menurun. Dan besarannya yang hanya 0.31 menunjukkan relatif kecilnya pen@ PDB tahun sebelumnya terhadap PDB tahun berjalan. Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Bruto Tahun

17 PDB Sektor Non-Pertanian Hasil pendugaan parameter persamaan PDB sektor non-pertanian memberikan nilai koefisien determinasi (R~) sebesar 99.7 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99.7 persen &ktuasi variabel PDB sektor non-pertanian. Variabel endogen di dalam persamaan PDB sektor non-pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah PDB sektor non-pertanian dipengaruhi secara nyata oleh physical capital, rejim pemenntahan, desentralisasi, dan PDB sektor non-pertanian tahun sebelumnya. Peningkatan physical capital sebanyak 1 unit akan menaikan PDB sektor non-pertanian sebesar 0.15 miliar pia ah. Sama halnya dengan yang te jadi pada persamaan PDB sektor pertanian, pada persarnaan PDB sektor non-pertanian, dugaan parameter kedua variabel dummy juga negatif. Ini menunjukkan bahwa PDB sektor non-pertanian juga dipengaruhi secara negatif oleh kebijakan desentralisasi maupun rejim pemerintahan reformasi Investasi Swasta Hasil pendugaan parameter persamaan investasi swasta memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98.0 persen. Hal ini berarti variasi variabelvariabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 98.0 persen fluktuasi variabel investasi swasta. Variabel endogen (investasi swasta) dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada tarafnyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai

18 Jumlah investasi swasta dipengaruhi secara nyata oleh PDB, rejim pemerintahan, dan investasi swasta tahun sebelumnya. Tabel 15 menunjukkan bahwa bila tejadi pe~ngkatan PDB sebesar 1 miliar rupiah, investasi swasta meningkat sebesar 0.27 miliar rupiah. Tabel 15.- Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Swasta Tahun Hasil pendugaan parameter pada variabel investasi swasta tahun sebelumnya (lag PI) yang bernilai positif, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan investasi swasta setiap tahunnya. Selain itu, terdapat kecenderungan penurunan investasi swasta pada pemerintahan di era reformasi dibandingkan dengan pemerintahan era sebelumnya Penerimaan Pajak Hasil pendugaan parameter persamaan penerimaan pajak memberikan nilai koefisien determinasi (R*) sebesar 99.2 persen. Hal ini berarti variasi variabel- variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99.2 persen fluktuasi variabel penerimaan pajak. Variabel endogen (penerimaan pajak) dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai

19 Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penerimaan Pajak Tah~ Tabel 16 menunjukkan bahwa jumlah penerimaan pajak (tax revenue) dipengaruhi secara nyata oleh PDB, rejim pemerintahan, clan desentralisasi. Setiap peningkatan PDB sebesar Rp. 1 miliar akan meningkatkan penerimaan pajak Rp miliar. Pada pemerintahan era reformasi, penerimaan pajak lebih rendah dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Sebaliknya terjadi pada desentralisasi Penerimaan Pemerintab Hasil pendugaan parameter persamaan penerimaan pemerintah memberikan nilai koefisien determinasi (ItZ) sebesar 98.3 persen. Hal ini b d variasi variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan 98.3 persen fluktuasi variabel penerimaan pemerintah. Variabel endogen di dalam penerimaan pemerintah dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai

20 Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penenmaan Pemerintah Tahun Kecuali desentralisasi, semua variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap penerimaan pemerintah. Peningkatan penerimaan pajak sebesar 1 miliar rupiah akan menambah penerimaan pemerintah sebesar 0.70 miliar rupiah. Sumber penerimaan pemerintah yang secara nyata meningkatkan penerimaan pemerintah adalah harga minyak pada pasar internasioanal. Apabila harga minyak dunia meningkat sebesar 1 dollar AS per barel, maka penerimaan pemerintah akan bertambah sebesar 0.67 miliar rupiah saja. Relatif kecilnya angka ini karena peningkatan harga minyak membebani APBN melalui pembayaran subsidi BBM. Berdasarkan analisis ini, pada pemerintahan era reformasi ternyata terjadi kecenderungan penurunan penerimaan Nilai Tukar Rupiah Hasil pendugaan parameter pada persamaan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS memberikan nilai koefisien determinasi (lt2) seksar 97.1 persen Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 97.1 persen fluktuasi variabel nilai tukar. Variakl endogen di dalarn nilai tukar dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai

21 Tabel 18 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Tukar Rupiah Tahun Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dipengamhi secara nyata oleh rejim pemerintahan dan desentralisasi. Analisis ini menunjukkan bahwa Nlai tukar rupiah cenderung melemah pada era reformasi. Dan, desentralisasi temyata berkorelasi positif dengan Nlai tukar rupiah yang akhir-akhir ini memang cenderung terdepresiasi Ekspor Bersih Hasil pendugaan parameter pada persamaan ekspor bersih memberikan nilai koefisien determinasi (R~) sebesar 96.3 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut &pat menjelaskan 96.3 persen fluktuasi variabel ekspor bersih. Variabel endogen di dalam ekspor bersih dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 19 menunjukkan bahwa ekspor bersih dipengaruhi secara nyata oleh nilai tukar, rejim pemerintahan, desentralisasi, dan ekspor bersih tahun lalu. Setiap depresiasi (peningkatan) nilai tukar rupiah sebesar 1 R@S$ akan meningkatkan ekspor bersih sebesar miliar rupiah. Analisis ini juga menunjukkan bahwa pada rejim pemerintahan refonnasi, terdapat kecenderungan peningkatan ekspor bersih sejalan dengan kecenderungan

22 melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, desentralisasi temyata berkorelasi negatif dengan ekspor bersih. Tabel 19 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Bersih Tahun Inflasi Hasil pendugaan parameter pada persamaan inflasi memberikan nil& koefisien determinasi (R') sebesar 82.4 persen. Hal ini berarti variasi variabel- variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 82.4 persen fluktuasi variabel inflasi. Variabel endogen (iasi) dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Masi Tahun Tabel 20 menunjukkan bahwa laju inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDB, nilai tukar rupiah, rejirn pemerintahan, clan desentralisasi. Kenaikan PDB

23 Rp 1 miliar akan mengurangi tingkat inflasi sebesar persen. Depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 1 Rp/US$ akan meningkatkan laju inflasi sebesar 0.03 persen. Selain itu, laju inflasi cenderung menurun pada pemerintahan era reformasi dan setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi Kredit Hasil pendugaan parameter pada persamaan kredit memberikan nilai koefisien determinasi (R') sebesar 93.4 persen. Hal ini berarti variasi variabel- variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 93.4 persen fluktuasi variabel kredit. Variabel endogen (kredit) dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 2 1. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit Tahun Tabel 21 menunjukkan bahwa jumlah kredit dipengaruhi secara nyata oleh PDB, rejim pemerintahan, clan desentralisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap kenaikan PDB sebesar Rp 1 miliar akan meningkatkan jumlah kredit sebesar miliar rupiah. Sementara itu, jumlah kredit cenderung menurun pada pemerintahan era reformasi dan setelah diterapkannya desentralisasi.

24 Penawaran Uang Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawman uang memberikan nilai koefisien determinasi (R*) sebesar 99.1 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99.1 persen fluktuasi variabel penawaran uang. Variabel endogen (penawaran uang) dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penawaran Uang Tahun Tabel 22 menunjukkan bahwa jurnlah penawaran uang dipengaruhi secara nyata oleh PDB, nilai tuka rupiah, rejim pemerintahan, dan desentralisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan PDB Rp 1 miliar cenderung meningkatkan penawaran uang Rp 1.53 mihar. kpresiasi rupiah sebesar Rp. INS$ akan diiiti oleh penwunan penawaran uang sebesar Rp 65.0 miliar. Penunman penawaran uang secara teoritis &pat terjadi saat suku bunga meningkat. Peningkatan suku bunga menstabilkan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi itu.

25 Pembayaran Utang Luar Negeri Hasil pendugaan parameter pada persamaan pembayaran utang luar negeri memberikan nilai koefisien determinasi (R~) sebesar 95.4 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95.4 persenfluktuasi variabel pembayaran utang luar negeri. Variabel endogen pembayaran utang luar negeri dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pembayaran Utang Luar Negeri Tahun Tabel 23 menunjukkan bahwa jumlah pembayaran utang luar negeri dipengaruhi secara nyata oleh penerimaan pemerintah, nilai tukar rupiah, rejim pemerintahan, desentralisasi, dan pembayaran utang luar negeri tahun lalu Analisis ini menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pemerintah memungkinkan pemerintah untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri sehingga pembayaran kembali utang luar negeri semakin berkurang. Depresiasi rupiah sebesar 1 RpRTS$ akan menambah pembayaran utang luar negeri sebesar miliar rupiah. Lebih lanjut, analisis ini menunjukkan bahwa

26 pembayaran utang luar negeri cenderung menurun pada pemerintahan reformasi. Hal ini menunjukkan pengalihan sumber pinjaman ke dalam negeri Pembayaran Utang Dalam Negeri Hasil pendugaan parameter pada persamaan pembayaran utang dalam.- negeri memberikan nilai koefisien determinasi (R') sebesar 60.2 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 60.2 persen fluktuasi variabel pembayaran utang dalam negeri. Variabel endogen pembayaran utang dalam negeri dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (a) 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pembayaran Utang Dalam Negeri Tahun Tabel 24 menunjukkan bahwa jurnlah pembayaran utang dalarn negeri dipengaruhi sewa nyata oleh penerimaan pemerintah dan desentralisasi. Kenailcan penerimaan pemerintah Rp 1 miliat meningkatkan pembayaran kembali utang dalam negeri Rp 0.15 rniliar. Dan, desentralisasi, yang memerlukan hampir 30 persen dari total pengeluaran pemerintah untuk perimbangan keuangan pusatdaerah, secara nyata mengurangi kemampuan melakukan pembayaran kembali utang domestik.

27 Sebagai penutup bab ini, berdasarkan hasil-hasil analisis parsial, dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dapat secara nyata menumnkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dapat secara nyata menuntdcan -kerniskinan di perdesaan. Sedangkan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dapat meningkatkan modal sumberdaya manusia (SDM). Rejim pemerintahan pasca Orde Baru cenderung meningkatkan kemiskinan di perdesaan dan di perkotaan. Ini tidak berarti bahwa rejim Orde Baru lebii baik, melainkan kondisi yang relatif stabil dalam bidang keamanan clan politik serta penegakan hukum yang relatif lebih pasti seperti yang berlangsung pada rejim Orde Baru, hendaknya dapat diwujudkan kembali. Strategi untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui pendekatan yang demokratis. Terakhir, desentralisasi secara nyata dapat menurunkan kemiskinan di perkotaan, namun meningkatkan pengangguran. Penurunan kemiskinan tersebut mencerminkan kemampuan pemerintah-pemerintah daerah perkotaan yang relatif baik untuk memanfaatkan desentralisasi fiskal, dalam rangka menerapkan program-program pengurangan kemiskinan. Meningkatnya pengangguran setelah desentralisasi, pada sisi lain, mencerminkan belum efektihya pemerintahpemerintah daerah dalam menginduksi pembukaan lapangan kerja baru. Bahkan, maraknya upaya pemerintah daerah dalam memberlakukan retribusi dan meningkatnya birokrasi, telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, yang pa& gilirannya menurunkan penggunaan tenagake rja (meningkatkan pengangguran).

- - Model kebijakan fiskal untuk mendorong pembangunan pertanian dan

- - Model kebijakan fiskal untuk mendorong pembangunan pertanian dan BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan - - Model kebijakan fiskal untuk mendorong pembangunan pertanian dan perdesaan dan kaitannya dengan masalah kemiskinan dan pengangguran berhasil

Lebih terperinci

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini mengalami beberapa modifikasi karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

BAB VI EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: SIMULASI SKENAFUO KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN

BAB VI EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: SIMULASI SKENAFUO KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN BAB VI EKONOMI-POLITIK KEBIJAKAN FISKAL, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN: SIMULASI SKENAFUO KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN..- 6.1. Validasi Model Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak pe~bdm berbagai skenario

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang sangat penting dalam perekonomian setiap negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Krisis ekonomi yang terjadi

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 74/DPD RI/IV/2012 2013 PERTIMBANGAN TERHADAP KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL SERTA DANA TRANSFER DAERAH DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas mengenai pengaruh pertumbuhan variabel PMTDB, pertumbuhan variabel angkatan kerja terdidik, pertumbuhan variabel pengeluaran pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan indeks harga konsumen (IHK) Indonesia, tingkat suku bunga dunia, nilai dollar dalam rupiah, rasio belanja

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi dan selisih neraca pembayaran terhadap kurs

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, seorang kepala daerah dalam mengimplementasikan pola kepemimpinannya seharusnya tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi bertujuan antara lain pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, mengentaskan kemiskinan, menjaga kestabilan harga dengan memperhatikan tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang terencana menuju keadaan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik daripada kondisi yang lalu (Tanuwidjaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan III 2007 Kondisi ekonomi makro pada triwulan IV 2007 diperkirakan relatif sama dengan realisasi triwulan IV 2006. Kondisi ekonomi makro pada 2007 diperkirakan lebih baik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Reformasi yang telah terjadi membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan II - 2005 Kondisi ekonomi makro triwulan III-2005 diperkirakan membaik Kondisi ekonomi makro Indonesia 2005 diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun 2004 Responden optimis

Lebih terperinci

Perkiraan Kondisi Ekonomi Makro Triwulan IV Perkiraan Tw. I Perkiraan Kondisi Ekonomi Realisasi

Perkiraan Kondisi Ekonomi Makro Triwulan IV Perkiraan Tw. I Perkiraan Kondisi Ekonomi Realisasi SURVEI 1 PERSEPSI PASAR Triwulan III - 2005 Kondisi ekonomi makro triwulan IV-2005 dan keseluruhan diperkirakan memburuk, dengan tingkat inflasi dan pengangguran yang meningkat Responden optimis kondisi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan I 2008 Responden memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahunan pada triwulan II-2008 relatif sama dengan triwulan II-2007, namun tingkat inflasi pada triwulan II-2008 diperkirakan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah atau bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan pinjaman luar negeri merupakan sesuatu yang wajar untuk negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Keterbukaan Indonesia terhadap modal asing baik

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan LAMPIRAN BAB II. Inflasi PERKEMBANGAN TINGKAT INFLASI Prov/Kab/Kota Tingkat Inflasi (%) Keterangan Prov Maret 0 (YoY) Kabupaten Maret 0 (bulanan)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memajukan kesejahteraan umum, itulah salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INVESTASI, INFLASI, PENGELUARAN PEMERINTAH, PENAWARAN UANG DAN EKSPOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN

ANALISIS PENGARUH INVESTASI, INFLASI, PENGELUARAN PEMERINTAH, PENAWARAN UANG DAN EKSPOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN ANALISIS PENGARUH INVESTASI, INFLASI, PENGELUARAN PEMERINTAH, PENAWARAN UANG DAN EKSPOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 1981-2006 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

Antiremed Kelas 10 Ekonomi Antiremed Kelas 10 Ekonomi Pendapatan Nasional - Soal Halaman 1 01. Pada metode pendapatan, besar pendapatan nasional suatu negara akan sama dengan (A) jumlah produksi ditambah upah (B) jumlah investasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

SISTEM EKONOMI INDONESIA

SISTEM EKONOMI INDONESIA SISTEM EKONOMI INDONESIA Suatu sistem ekonomi mencakup nilai nilai, kebiasaan, adat istiadat, hukum, norma norma, peraturanperaturan yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan.

Lebih terperinci

VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah

VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi Modul ke: 04Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1 MANAJEMEN Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia Periode Revormasi Krisis ekonomi di Indonesia Fundamental ekonomi nasional pengaruh

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perekonomian tiga sektor, campur tangan pemerintah tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh inflasi di Indonesia, rasio Bank Indonesia (BI rate) dan nilai tuka rupiah (kurs) terhadap Jakarta Islamic Index (JII).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan IV

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan IV SURVEI 1 PERSEPSI PASAR Triwulan IV - 2005 Kondisi ekonomi makro triwulan I-2006 diperkirakan masih sama dengan kondisi ekonomi pada triwulan IV-2005 Kondisi ekonomi 2006 yang diperkirakan membaik, dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri Judul : Pengaruh Kurs dan Impor Terhadap Produk Domestik Bruto Melalui Utang Luar Negeri di Indonesia Tahun 1996-2015 Nama : Nur Hamimah Nim : 1306105143 ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat

Lebih terperinci

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 6.1 KESIMPULAN. Berdasarkan hasil empiris penelitian dan analisis pada bab sebelumnya

BAB VI PENUTUP 6.1 KESIMPULAN. Berdasarkan hasil empiris penelitian dan analisis pada bab sebelumnya BAB VI PENUTUP 6.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil empiris penelitian dan analisis pada bab sebelumnya untuk menjawab tujuan utama dari penelitian ini maka disimpulkan sebagai berikut: a. Hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Melalui hal ini Indonesia diharapkan dapat bersaing dengan Negara-negara lain di

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Melalui hal ini Indonesia diharapkan dapat bersaing dengan Negara-negara lain di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang cukup baik dibidang sumber daya alam dan sumber daya manusia. Melalui hal ini Indonesia diharapkan dapat bersaing dengan Negara-negara

Lebih terperinci

PERTEMUAN III ASPEK EKONOMI, POLITIK,

PERTEMUAN III ASPEK EKONOMI, POLITIK, Manajemen Proyek PERTEMUAN III ASPEK EKONOMI, POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA Aspek Politik UMUMNYA ASPEK POLITIK YANG BERKAIT DENGAN MANAJEMEN PROYEK ADALAH : A. STABILITAS POLITIK B. ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan II 2008 Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2008 diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan triwulan III-2007, tingkat inflasi diperkirakan diatas 10%, dan nilai tukar

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan II 2006

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan II 2006 SURVEI 1 PERSEPSI PASAR Triwulan II 2006 Kondisi ekonomi Indonesia pada triwulan I- 2006 diperkirakan membaik Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2006 diperkirakan melambat dibanding pertumbuhan triwulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan permasalahan jangka panjang yang menjadi tolak ukur dalam mengukur

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

Pertemuan ke: 03 KEBIJAKAN FISKAL. POLITIK KEUANGAN NEGARA (3 SKS) Pengampu: Miftah Adhi Ikhsanto, S.IP, MiOP Amirudin, S.IP, M.Ec.

Pertemuan ke: 03 KEBIJAKAN FISKAL. POLITIK KEUANGAN NEGARA (3 SKS) Pengampu: Miftah Adhi Ikhsanto, S.IP, MiOP Amirudin, S.IP, M.Ec. Pertemuan ke: 03 KEBIJAKAN FISKAL POLITIK KEUANGAN NEGARA (3 SKS) Pengampu: Miftah Adhi Ikhsanto, S.IP, MiOP Amirudin, S.IP, M.Ec.Dev 1 Alamat: Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Jl. Sosio-Justisia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang menerima simpanan dan membuat pinjaman serta sebagai lembaga perantara interaksi antara pihak yang kelebihan dana dan kekurangan

Lebih terperinci