BAB V. Kesimpulan. lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1

Transkripsi

1 BAB V Kesimpulan A. Kesimpulan DPD RI merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1 Oktober 2004 yaitu ketika pelantikan anggota terpilih yang merupakan hasil dari pemilihan umum (pemilu) tahun Ada beberapa tujuan konkrit yang mendasari dibentuknya DPD sebagai lembaga perwakilan baru, pertama memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah. Kedua meningkatkan agresi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah. Ketiga mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Pada hakekatnya lahirnya DPD merupakan konsekuensi perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 bahwa MPR terdiri dari anggota DPD dan anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Berdasarkan konsep dasar demikian menunjukkan bahwa model lembaga perwakilan di Indonesia berubah menjadi parlemen sistem dua kamar (bicameral). Pada dasarnya dibentuk sistem dua kamar dimaksudkan untuk menghindari adanya monopoli dalam pembuatan Peraturan PerUndang-Undangan, artinya DPD diposisikan sebagai kamar penyeimbang. Namun sejak dibentuknya lembaga ini sampai sekarang belum dapat menunjukkan maksud awal dibentuknya lembaga ini. Hal ini dikarenakan, kewenangan konstitusioanal DPD sebagai lembaga legislator masih dinilai lemah, kewenangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang mana DPD tidak mempunyai hak untuk memutus RUU 107

2 menjadi UU. Berdasarkan keadaan di atas dapat dikatakan bahwa sistem bikameral yang dianut Indonesia merupakan sistem bikameral lunak (soft bicameral). DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga Negara yang merupakan lembaga perwakilan daerah, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga Negara lainnya, seperti MPR dan DPR. Dari kedudukan tersebut, nyatanya DPD sama sekali tidak sefungsional berkaitan dengan kedudukan dan hubungan dengan kedua lembaga tersebut. Dalam hubungannya dengan DPR dan MPR, kedudukan DPD sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tidak sesuai dengan gagasan awal pembentukan DPD. Reformasi struktur ketatanegaraan Indonesia menuju sistem perwakilan bikameral yang kuat (strong bicameral) tidak terwujud dalam UUD Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maka sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki sistem perwakilan bikameral yang lemah (soft bicameral).hal ini senada dengan ciri-ciri yang telah dijelaskan Giovanni Sartori mengenai soft bicameralism. Dalam prosesnya di lapangan ternyata tidak ada sinkronisasi antara kewenangan konstitusional DPD dengan kedudukan DPD sebagai lembaga Negara. Hal ini dilihat pada fungsi DPD terutama pada fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan, di mana DPD tidak memiliki kemandirian dalam menjalankan fungsinya. Semuanya tampak jelas ketika fungsi DPD disangdingkan dengan DPR. Di mana fungsi DPD jelas terlihat amat kerdil dan tak mampu berdiri sendiri dalam menjalankan fungsinya di parlemen. Dalam fungsi legislasi, terutama dalam bidang tugas mengajukan Rancangan Undang-Undang, ikut membahas Rancangan Undang-Undang, dan memberi pertimbangan kepada DPR, DPD tidak bertindak sebagai pembentuk Undang- 108

3 Undang, tetapi hanya sebagai lembaga yang mengajukan Rancangan Undang-Undang. Pun demikian dengan fungsi pengawasan yang dimiliki DPD tak semewah yang dimiliki DPR. DPD tak dapat berbuat banyak dalam menjalankan fungsi ini bila dikaitkan posisinya sebagai lembaga perwakilan dikarenakan Undang-Undang tak mensyariatkan pemberian wewenang kepada DPD yang serupa dengan DPR. Hal-hal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPD tidak bisa ditindaklanjuti oleh DPD sendiri. Tiap usulan yang dimiliki oleh DPD harus disampaikan kepada DPR, dan DPR-lah yang menentukan ditindaklanjutinya hasil pengawasan tersebut. Setelah penyampaian itu maka di situlah ujung fungsi pengawasan DPD itu berakhir. Selanjutnya akan diproses lebih lanjut oleh DPR. Padahal keduanya dipilih lewat mekanisme yang sama.sedangkan yang berkaitan dengan fungsi penganggaran, pelaksanaan UU yang dilakukan DPD berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah tidak dicantumkan dalam Pasal 22D ayat (3) UUD Fungsi penganggaran yang diberikan kepada DPD hanya berupa pengawasan atas pelaksanaan UU APBN tanpa menyebutkan kewenangan DPD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Meskipun UU perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dengan UU 33/2004 hanya mengatur formulasi kewajiban pusat untuk memberikan dana kepada daerah, namun penentuan besaran dana transfer daerah tanpa melibatkan DPD. Sedangkan dana transfer daerah menjadi bagian dalam struktur APBN. Artinya, penentuan dana transfer ke daerah tidak melibatkan DPD sebagai entitas perwakilan daerah karena fungsi pengawasan DPD hanya terhadap pelaksanaan APBN saja. Untuk itu, perlu diadakannya amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 22D UUD 1945 yang berkaitan dengan penegasan sistem perwakilan di Indonesia sebagai 109

4 strong bicameral atau soft bicameral. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi kehadiran DPD yang merupakan lembaga perwakilan daerah agar berkedudukan setara lembaga Negara lainnya (DPR dan MPR). Amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 22D UUD 1945, akan berdampak pada penegasan bahwa kewenangan konstitusional DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah di parlemen pusat. Dari sini jelas terlihat betapa mubazirnya DPD sebagai lembaga pendamping DPR. Dengan gaung sebagai representasi masyarakat daerah di parlemen namun kenyataannya lembaga ini tak memiliki taji yang mampu menyamai fungsi lembaga perwakilan yang sesungguhnya. DPD hanya jadi lembaga sekunder di belakang DPR dalam kaitannya menjalankan fungsi-fungsi perwakilan. Padahal, sistem dan cara pemilihan anggota DPR dan DPD bisa dikatakan mirip. Sama-sama melalui pemilihan umum tiap 5 tahun sekali dan sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. B. Saran dan Masukan Berdasarkan uraian yang terdapat dalam pembahasan dan juga kesimpulan, dengan terbatasnya kewenangan DPD dalam fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran yang dimiliki, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang mengaturnya antara lain UUD NKRI Tahun 1945, UU No 22 Tahun 2003 dan UU No 27 Tahun 2009, maka menurut hemat penulis sebagai saran kepada DPD dan Pemerintah adalah sebagai berikut: a. Secara Umum Peranan dan fungsi DPD dalam parlemen harus diperkuat guna menciptakan checks and balances yang lebih efektif di internal parlemen antara DPR dan DPD. DPD ini direpresentasikan sebagai perwakilan daerah di pusat, namun kenyataannya tak ada 110

5 kewenangan yang cukup kuat dari DPD guna memperjuangkan kepentingan daerah di tingkatan pusat. Keterbatasan peran ini membuat DPD bagai ada dan tiada. Untuk menciptakan sistem perwakilan, yang mengatasnamakan daerah, yang efektif maka perlu diperkuat fungsi DPD agar dapat benar-benar menjadi representasi daerah di pusat. Atau jalan lainnya adalah bubarkan saja DPD karena kenyatannya lembaga ini tidak memiliki signifikansi yang luar biasa dalam memperjuangkan kepentingan daerah di pusat. Gantikan saja posisinya sebagai representasi daerah oleh DPRD Provinsi atau Pemerintah Provinsi. b. Bagi DPD DPD harus lebih partisipatif dan kritis terhadap kewenangan yang dimiliki sebagai salah satu bagian dari lembaga legislatif yang ada di Indonesia. DPD yang bertindak sebagai salah satu komponen penting penyerap aspirasi masyarakat, harus bisa menyuarakan perubahan terhadap kewenangan yang lebih setara dan berimbang terhadap DPR. Hal ini dikarenakan agar tercipta suatu lembaga pembuat peraturan perundang-undangan yang baik dan efektif. c. Bagi Pemerintah Pemerintah yang mempunyai tugas sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan, harus bisa membaca situasi dan kondisi lembaga legislatif saat ini. Peranan yang tidak berimbang antara kewenangan DPD dan DPR akan berdampak pada pembuatan peraturan perundang-undangan yang kurang efektif. Sehingga akan berimplikasi terhadap pemerintah itu sendiri sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan yang dibuat. Oleh karena itu, maka pemerintah sebagaimana juga DPD, harus bisa lebih berpikir kritis terhadap revitalisasi peranan DPD dalam sistem parlemen di Indonesia. Selain itu bahwa yang terpenting dari adanya revitalisasi itu sendiri akan berdampak lebih baik terhadap penyerapan aspirasi masyarakat. 111

6 C. Harapan bagi DPD ke Depannya Bagaimanapun Negara ini tidak bisa menampik keberadaan dan eksistensi keberadaan representasi wilayah dan golongan di Negara ini, jauh sejak zaman kerajaan sampai saat pembentukan Indonesia Merdeka dan sampai saat ini, konfigurasi kemajemukan Indonesia tetap diakomodasi dalam konstitusi. Karena itu menghilangkan representasi perwakilan daerah dan perwakilan golongan dalam konstitusi juga bukanlah sebuah solusi dan kebijakan terbaik bagi bangsa ini. Kehadiran DPD untuk sementara dirasa mampu menjawab beberapa persoalan yang melibatkan hubungan antara pusat daerah. Hanya saja keberadaan lembaga ini perlu diperbaiki kedepannya guna menciptakan atmosfer kenegaraan yang jauh lebih baik. Salah satu yang menjadi sorotan lembaga ini adalah pola rekrutmen yang dibangun. Harapannya calon anggota perwakilan wilayah/daerah yang terwujudkan dalam DPDini memang betul-betul menjadi representasi wilayahnya. Tokoh-tokohnya haruslah orang yang benar-benar menjadi panutan dan disegani, serta memiliki kapasitas, kapabilitas dan aksestabilitas yang tinggi di daerahnya. Oleh karena itu pola rekrutmennya harus ada syarat yang ketat, sehingga syarat menjadi perwakilan daerah tidak bisa diberlakukan secara umum begitu saja. Tokoh yang bisa mendaftar adalah yang betul-betul netral dan independensi, tidak terafiliasi dengan partai politik, mengenal dan pernah tinggal didaerahnya selama sekian tahun, dan berbagai syarat yang memenuhi unsur kompetensi dan integritas lainnya. 153 Kemudian dari perbaikan pola rekrutmen di atas, maka bentuk dan kewenangan lembaganya perlu ditata kembali, karena saat ini lembaga legislatif yang ada serba tidak menentu, apakah satu kamar, dua kamar atau tiga kamar. Sebenarnya bukan 153 Empi Muslion, Ibid. 112

7 hanya DPD yang dipertanyakan keberadaannya apakah badan legislataif atau bukan, karena memang tidak ada hak legislasi konkrit dan hak sebagai legislator lainnya yang dimiliki DPD. MPR pun juga perlu dipertanyakan dalam kondisinya saat ini, apakah parlemen atau bukan. Nantinya diharapkan, desain kelembagaan betul-betul dikaji secara jernih dan komprehensif, seperti apakah nanti MPR menjadi joint session saja tanpa ada lembaga permanennya. Semuanya harus matang dikaji kembali, lepas dari segala kepentingan politik yang menungganginya. Semoga jika memang kembali para cendikia dan tokoh-tokoh bangsa ini melakukan amandemen terhadap UUD 1945, diharapkan betul-betul lahir dari kejernihan hati dan keluar dari hasil kebersihan metodologi penelitian ilmiah yang betul-betul dikaji, dianalisis, dikomparasi, ditimbang dari berbagai segi dan dikerjakan dengan cara serius dan seksama. Sehingga konstitusi yang tercipta dapat bertahan sekian abad kedepan dan tidak selalu ribut dengan menyalahkan konstitusi tersebut untuk selalu diutak atik kembali. 113