DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI"

Transkripsi

1 DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Distribusi Lumba-Lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Chikarista Irfangi C

3 RINGKASAN Chikarista Irfangi. C Distribusi Lumba-lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Totok Hestirianoto. Kepulauan Seribu diduga sebagai salah satu jalur migrasi lumba-lumba. Hal ini didasarkan pada banyaknya laporan dari nelayan maupun masyarakat di Kepulauan Seribu mengenai keberadaan lumba-lumba. Namun, keberadaan lumbalumba di Kepulauan Seribu belum banyak diteliti. Lumba-lumba merupakan satwa yang dilindungi. Upaya konservasi berbasis penelitian terhadap lumba-lumba perlu dilakukan untuk menjaga kelestariannya. Upaya tersebut memerlukan data dan informasi terkini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis, tingkah laku, lokasi penyebaran, dan mengestimasi jumlah lumba-lumba yang ditemukan di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 27 Mei 2010 dan tanggal 22 Juni 3 Juli Pengamatan dilakukan setiap hari, kecuali hari Jumat, dan dimulai pukul WIB. Alat dan bahan yang digunakan adalah kapal motor, teropong binokuler, kamera digital, kamera SLR, GPS, jam, data sheet, peta dasar Kepulauan Seribu, dan buku identifikasi lumba-lumba. Metode yang digunakan adalah metode penjelajahan menggunakan kapal motor. Pengamatan terhadap jumlah, jenis, dan tingkah laku lumba-lumba dilakukan secara visual. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jenis lumba-lumba yang dijumpai di Kepulauan Seribu adalah Delphinus delphis, Pseudorca crassidens, Stenella longirostris, dan Tursiops truncatus, dengan jumlah total sekitar 145 individu. Jenis lumba-lumba yang paling banyak dijumpai adalah Tursiops truncatus, sedangkan jenis yang paling sedikit dijumpai adalah Delphinus delphis. Selain itu, ditemukan pula calf (bayi lumba-lumba) dan jenis yang tidak teridentifikasi. Lokasi perjumpaan dengan lumba-lumba paling sering terjadi di sekitar Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak) dan Karang Lebar. Dilihat dari tingkah laku yang teramati, dapat dikatakan bahwa Kepulauan Seribu merupakan tempat mencari makan dan jalur migrasi bagi lumba-lumba. Selain itu, Kepulauan Seribu diduga sebagai tempat nursery ground bagi calf (bayi lumba-lumba). Rencana pengelolaan yang dapat disarankan adalah melalui perlindungan habitat lumba-lumba di Kepulauan Seribu melalui pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem. Selain itu, diperlukan pengkajian populasi lumba-lumba dengan menghubungkan faktor lingkungan di kawasan Kepulauan Seribu secara berkelanjutan. Perlindungan terhadap keberadaan lumba-lumba di Kepulauan Seribu juga memerlukan kerjasama dari seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Kata kunci: Lumba-lumba, Kepulauan Seribu, populasi

4 DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

5 PENGESAHAN SKRIPSI Judul penelitian Nama NIM Program studi : Distribusi Lumba-lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta : Chikarista Irfangi : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP Tanggal lulus : 23 Agustus 2010

6 PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-nya yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini berjudul Distribusi Lumba-lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta ; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Mei Juli 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku komisi pendidikan program S1 yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga, rekan-rekan, serta seluruh pihak terkait yang telah banyak membantu penulis baik secara moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk penyempurnaan tulisan ini selanjutnya. Bogor, Agustus 2010 Penulis

7 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan pembimbing akademik serta Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku ketua komisi pendidikan program S1 atas saran, masukan, dan perbaikan yang telah diberikan. 3. Para staf Tata Usaha MSP, terutama Mba Widaryanti dan Mba Yani atas arahan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. 4. Keluargaku tercinta, Bapak (Sutanto Budi Prasetyo), Ibu (Yuli Parwati), dan adik-adikku (Ganang dan Niki) atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasi yang telah diberikan selama ini. 5. Denny Wahyudi dan Edwin A. Habibun selaku rekan penelitian di Kepulauan Seribu atas kerja sama, bantuan, dan masukan yang telah diberikan. 6. Bapak Jamal dan keluarga di Pulau Panggang atas bantuannya selama ini. 7. Kak Toni atas bantuan, arahan, serta masukan yang telah diberikan. 8. Rekan-rekan MSP 43 (Afifah, Yuli, Elin, Wahyu, Frida, Pandu, Oktadya, Bibun, Wulan, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu) atas kebersamaanya selama ini. 9. MOSI Crew (khususnya Widya, Novi, Yesti, Friska, Danto, Bakti, Genny, Kharina, Mba Maria, dan Mas Dedi) atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. 10. FHA Crew (khususnya Intan, Nira, dan Tyo) atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. vii

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 14 Januari 1989 dari pasangan Bapak Sutanto Budi Prasetyo dan Ibu Yuli Parwati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN Bekasi Jaya Indah II (1993), SLTPN 3 Bekasi (2000), dan SMAN 1 Bekasi (2003). Pada tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Metode Statistik (2008/2009), Fisiologi Hewan Air (2008/2009 dan 2009/2010), Dinamika Populasi (2009/2010), dan Pengkajian Stok Ikan (2009/2010). Penulis juga aktif sebagai anggota Divisi Sosial dan Lingkungan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (2007/2008 dan 2008/2009). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Distribusi Lumba-lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. viii

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Manfaat penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi umum lokasi penelitian Pengertian umum cetacean Morfologi Cetacea Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Pseudorca crassidens (False Killer Whale) ( Stenella longirostris (Spinner Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Tingkah laku Cetacea Makanan dan cara makan Cetacea Migrasi Cetacea Adaptasi Cetacea Daya apung Ekholokasi (penentuan jarak dengan gema) METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Metode kerja Desain survei Pengumpulan data Pengidentifikasian spesies Analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran umum lokasi penelitian Hasil penelitian secara umum Sebaran lumba-lumba di lokasi penelitian berdasarkan hari perjumpaan Sebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan jumlah Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Indeks Individu xi xii xiii ix

10 Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Pengamatan tingkah laku lumba-lumba di permukaan secara visual Pembahasan Sebaran lumba-lumba berdasarkan lokasi perjumpaan Sebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan jumlah Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Indeks Individu Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Pengamatan tingkah laku lumba-lumba di permukaan secara visual Aspek pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kisaran skala kondisi permukaan laut (Khan 2001 in Siahaninenia 2008) Jenis dan deskripsi tingkah laku lumba-lumba (Carwardine 1995 & Karczmarski et al. 2000) Hasil pengamatan secara umum xi

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Morfologi lumba-lumba (Edward 1993 in Ansori 2004) Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Pseudorca crassidens (False Killer Whale) (Jefferson et al. 1993) Stenella longirostris (Spinner Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Tingkah laku breaching (Ayers 2001 in Anshori 2004) Tingkah laku bowriding (Ayers 2001 in Anshori 2004) Tingkah laku spyhopping (Ayers 2001 in Anshori 2004) Tingkah laku lobtailing (Ayers 2001 in Anshori 2004) Tingkah laku logging (Carwardine 1995 in Setiawan 2004) Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta Posisi pengamat pada metode Single Platform Peta penyebaran lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Peta penyebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan komposisi jumlah di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Indeks Individu berdasarkan jenis Indeks Individu berdasarkan lokasi perjumpaan Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Tingkah laku aerial Tingkah laku lobtailing Tingkah laku breaching Tingkah laku travelling Tingkah laku feeding rush xii

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambar lumba-lumba Jumlah dan jenis lumba-lumba yang ditemukan berdasarkan tanggal, waktu dan lokasi perjumpaan Persentase jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Kondisi permukaan air dan cuaca saat pengamatan Persentase jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan selang waktu perjumpaan Jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan selang waktu perjumpaan Nilai Indeks Individu berdasarkan jenis Nilai Indeks Individu berdasarkan lokasi perjumpaan Contoh perhitungan Indeks Individu Peta rute perjalanan setiap hari pengamatan xiii

14 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Lumba-lumba adalah mamalia laut yang termasuk ke dalam Ordo Cetacea. Perairan laut di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis cetacean yang tinggi, terdapat sekitar 31 jenis paus dan lumba-lumba di Indonesia dari total 86 jenis di dunia (Tomascik et al in Destari 2007). Cetacean termasuk kedalam fauna yang dilindungi. Upaya perlindungan terhadap cetacean di Indonesia belum dilakukan secara optimal, karena masih kurangnya pengetahuan mengenai keberadaan cetacean. IUCN menyatakan bahwa status populasi lumba-lumba di Indonesia adalah dalam keadaan terancam (threat) (Ali 2006). Kepulauan Seribu diduga sebagai salah satu jalur migrasi mamalia laut di Indonesia. Hal ini didasarkan pada banyaknya laporan dari nelayan maupun masyarakat sekitar mengenai kemunculan lumba-lumba. Kepulauan Seribu merupakan salah suatu kawasan Taman Nasional Laut yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5 tahun 1990). Keunikan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah ekosistem pesisir dengan terumbu karang yang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Noor (2003) menyatakan bahwa berdasarkan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh perairan Kepulauan Seribu, maka sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut menurut SK Menteri Kehutanan No. 162/Kpts- II/1995, tanggal 25 Maret Tujuan pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (c) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sumberdaya dan jasa yang berada di kawasan pulau-pulau kecil di masa mendatang akan memegang peranan penting. Hal ini berkaitan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia dan potensi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau-pulau kecil. Pengelolaan terhadap lumba-lumba, khususnya di kawasan perairan di Kepulauan Seribu, perlu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal

15 2 yang dapat mengganggu aktivitas lumba-lumba. Dengan demikian, populasi lumbalumba dapat tetap terjaga. Upaya konservasi berbasis penelitian terhadap mamalia laut sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestariannya. Namun, upaya tersebut di Indonesia belum mendapat perhatian khusus. Hal ini dibuktikan dengan masih sedikitnya hasil riset yang berkaitan dengan mamalia laut. Salah satu informasi yang diperlukan bagi riset mengenai mamalia laut antara lain adalah mengenai populasinya. Berdasarkan informasi mengenai populasi, maka informasi lainnya seperti jumlah, jenis, tingkah laku, dan penyebarannya dapat diketahui Perumusan masalah Lumba-lumba adalah salah satu fauna yang dilindungi, sesuai dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem, serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang perdagangan tumbuhan dan satwa liar (CITES) memasukkan lumba-lumba kedalam Appendix I (memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial) dan Appendix II (memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan). IUCN menyatakan bahwa status populasi lumba-lumba di Indonesia adalah dalam keadaan terancam (threat). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian dan penelitian tentang lumba-lumba di Indonesia masih kurang. Minimnya pengetahuan dan penelitian tentang lumba-lumba dapat menyebabkan pemanfaatan yang kurang bijaksana. Meningkatnya perburuan, gangguan dari aktivitas pelayaran, dan rusaknya habitat lumba-lumba merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup satwa tersebut. Hal ini dapat menyebabkan semakin berkurangnya populasi lumba-lumba (Ali 2006). Lumba-lumba adalah salah satu fauna yang melintasi kawasan perairan di Kepulauan Seribu. Hal ini sudah banyak dilaporkan oleh nelayan-nelayan dan masyarakat sekitar yang sering melihat kemunculan lumba-lumba, tetapi belum ada

16 3 penelitian mengenai jalur migrasi dan aktivitas yang dilakukan oleh lumba-lumba di Kepulauan Seribu. Upaya konservasi in situ merupakan salah satu upaya pengelolaan terhadap lumba-lumba yang dilakukan di habitat asli satwa tersebut. Dalam melaksanakan upaya tersebut, dibutuhkan data dan informasi yang akurat mengenai lumba-lumba. Adapun data dan informasi yang dibutuhkan antara lain mengenai penyebaran, jumlah, jenis, dan tingkah laku lumba-lumba. 1.3.Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis, mengestimasi jumlah, mengkaji tingkah laku, dan mengkaji penyebaran lumba-lumba yang ditemukan di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai jenis, jumlah, tingkah laku, dan penyebaran lumba-lumba di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta sehingga dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan agar kelestarian lumba-lumba tetap terjaga.

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara dan Lintang Selatan dan dan Bujur Timur. Jumlah keseluruhan pulau yang ada di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencapai 110 buah. Adapun komposisi pulau berdasarkan luas yaitu: a. 50 Pulau mempunyai luas kurang dari 5 Ha b. 26 Pulau mempunyai luas antara 5-10 Ha c. 24 Pulau mempunyai luas lebih dari 10 Ha Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada musim Barat bervariasi antara 7-20 knot/jam, yang umumnya bertiup dari Barat Daya sampai Barat Laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot/jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot/jam yang bertiup dari arah Timur sampai Tenggara. Musim hujan biasanya terjadi antara bulan November-April dengan hujan antara hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari dan total curah hujan tahunan sekitar 1700 mm. Musim Kemarau terjadi Bulan Mei Oktober dengan banyaknya hari hujan antara 4 10 hari per bulan, dan curah hujan terendah terjadi pada sekitar bulan Agustus. Sedangkan Musim Pancaroba terjadi Bulan April Mei dan Oktober November. Dalam hal ini cuaca buruk sering terjadi dalam bulan Desember November, dan cuaca baik umumnya terjadi pada Bulan Juni Oktober (Noor 2003). Tipe pasang surut (pasut) tahunan di Kepulauan Seribu adalah Pasut Harian Tunggal (Diurnal), dimana dalam satu hari bulan terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasut selama 24 jam 50 menit (Setiyono 1996 in Djaelani 2009). Tinggi Gelombang di perairan Kepulauan Seribu secara umum berkisar antara 0,5 1,5 meter. Gelombang pada Musim Barat ketinggiannya antara 0,5 1,5

18 5 m, dan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1,5 m. Gelombang pada Musim Timur ketinggiannya antar 0,5 1,0 m. Gelombang pada Musim Pancaroba ketinggiannya dapat lebih rendah dari 0,5 m. Arus permukaan di perairan Kepulauan Seribu secara umum dipengaruhi oleh pola angin musim. Arus permukaan bergerak ke Timur pada Musim Barat, dan arus bergerak ke Barat pada Musim Timur. Sekitar bulan Oktober dan April arah arus tidak teratur. Dalam hal ini secara umum arus akibat pasang surut adalah tidak dominan. Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,05 0,12 m/detik (Dishidros 1998 in Mihardja & Pranowo 2001). Kawasan Kepulauan Seribu memiliki topografi datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0 2 meter d.p.l. Luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1 1,5 m. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim Barat berkisar antara 28,5 C - 30 C. Pada musim Timur suhu permukaan berkisar antara 28,5 C - 31 C. Salinitas permukaan berkisar antara 30 0 / / 00 pada musim barat maupun pada musim timur (Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003) Pengertian umum cetacean Cetacean merupakan istilah untuk golongan mamalia laut dengan Ordo Cetacea. Ordo Cetacea mempunyai tiga sub-ordo yaitu Archaeoceti, Mysticeti dan Odontoceti. Namun, sub-ordo Archaeoceti hanya berupa fosil atau sudah punah (Mead dan Gold 2002 in Hendrian 2007). Salah satu anggota dari sub-ordo Mysticeti adalah paus baleen, sedangkan anggota dari sub-ordo Odontoceti antara lain paus bergigi dan lumba-lumba (Jefferson et al.,1993). Sub-ordo Odontoceti ini memiliki gigi runcing yang digunakan untuk menangkap makanannya yang sebagian besar berupa ikan dan cumi-cumi (Webber dan Thurman 1991 in Hendrian 2007). Kata cetacean berasal dari bahasa latin cetus yang berarti hewan laut yang besar dan ketos yang berarti monster laut (Mead dan Gold 2002; Carwardine 1995 in Hendrian 2007). Sama seperti mamalia lain yang hidup di darat, cetacean juga berdarah panas, bernapas dengan paru-paru dan memiliki rambut, tangan atau kaki depan (yang telah termodifikasi menjadi sirip ventral atau flipper) serta ekor yang disebut dengan fluke (Webber dan Thurman 1991 in Hendrian 2007). Cetacean

19 6 beradaptasi sepenuhnya di lingkungan perairan, mereka makan, tidur, dan bereproduksi (vivipar) di dalam air. Sebagian besar cetacean hidup di air asin, dan hanya sedikit, seperti beberapa jenis lumba-lumba sungai (river dolphin), yang hidup di air tawar (Mead dan Gold 2002 in Hendrian 2007). Menurut Priyono (2001) terdapat 10 jenis lumba-lumba yang menyebar di Indonesia, antara lain lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris), lumba-lumba bergaris (Stenella coeruleoalba), lumba-lumba biasa (Delphinus delphis), lumba-lumba fraser (Lagenodelphis hosei), lumba-lumba putih cina (Sousa chinensis), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredanensis), lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), dan pesut (Orcaella brevirostris) Morfologi Cetacea Hewan-hewan dari ordo Cetacea adalah hewan menyusui yang sepanjang hidupnya ada di perairan dan telah melakukan berbagai adaptasi untuk kehidupan di lingkungan ini. Tubuhnya berbentuk seperti torpedo (streamline) tanpa sirip belakang. Sirip depannya mengecil dan memiliki sebuah ekor horizontal yang kuat untuk bergerak seperti baling-baling perahu. Lubang hidungnya (blowhole) berubah menjadi lubang peniup pada bagian atas kepalanya. Di belakang kepala terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari dan lengan. Morfologi lumbalumba dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Morfologi lumba-lumba (Edward 1993 in Anshori 2004)

20 7 Kebanyakan mamalia memiliki lubang hidung yang menghadap ke depan, tetapi Cetacea memiliki lubang hidung diatas kepala. Lebih ke belakang, terdapat cekungan di samping kepala yang merupakan posisi dari kuping namun tidak terdapat daun telinga. Cetacea memiliki leher yang pendek, tidak fleksibel dan pergerakan kepala yang terbatas. Bentuk seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh Cetacea adalah sirip dorsal dan sirip ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan pengaturan panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsalnya kecil atau bahkan tidak dijumpai sama sekali. Fluks horizontal terdapat di ujung ekor dan ditunjang hanya dibagian tengah oleh bagian akhir tulang ekor (tulang belakang), dan bagian lainnya terdiri dari jaringan non tulang. Menurut Reseck (1998), satu perbedaan mendasar antara ikan dan Cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu pada ekor, dimana ekor mamalia adalah horizontal dan ketika berenang bergerak keatas dan kebawah dan dikombinasikan dengan sedikit gerakan memutar, sedangkan pada ikan ekornya berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang. Cetacea termasuk kedalam golongan hewan berdarah panas, sebagian besar energi tubuhnya dihabiskan untuk menstabilkan suhu tubuhnya. Rambut atau bulu pada mamalia laut berkurang atau bahkan menghilang, Hal tersebut berhubungan dengan adaptasi mengurangi hambatan dalam pergerakan. Untuk kestabilan suhu, Cetacea memiliki lapisan lemak dibawah kulitnya. Lemak terdapat pula di bagian lain dari tubuh, dengan jumlah sekitar 50% dari berat tubuhnya. Lapisan lemak tersebut untuk mempertahankan kondisi tubuh tetap pada suhu 36 o -37 o C, walaupun hidup pada lingkungan dengan suhu kurang dari 25 o C dan mungkin dibawah 10 o C. Lumba-lumba hidup di dalam air dan berenang bergerombol. Lumba-lumba masuk ke dalam kelas satwa menyusui (mamalia). Lumba-lumba termasuk ke dalam Famili Delphinidae, yaitu famili yang besar dan bervariasi. Hampir sebagian besar dari famili ini memiliki kesamaan bila dilihat sepintas. Cara membedakan antarspesies dapat dilakukan dengan identifikasi (Ali 2006). Menurut Carwardine (1995), identifikasi lumba-lumba, paus, dan porpoise dapat dilakukan dengan melihat beberapa tanda atau ciri-ciri yang ada, antara lain: a. Ukuran tubuhnya b. Posisi, bentuk, dan warna sirip punggung (dorsal fin)

21 8 c. Bentuk tubuh, kepala, dan moncongnya d. Warna dan tanda yang ada di tubuhnya e. Karakteristik semburan air dari lubang hidung f. Bentuk ekor dan tanda-tandanya g. Breaching (gerakan meloncat dan menjatuhkan badan ke arah belakang) h. Jumlah kelompok yang diamati i. Habitat utamanya (pantai, sungai, dan lain-lain) j. Lokasi geografis k. Ciri-ciri lain yang tidak biasa Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa bentuk tubuh lumba-lumba ini ramping dengan moncong sedang sampai panjang serta sebuah sirip punggung yang agak tinggi dan agak membentuk sabit. Punggung berwarna abu-abu kecoklatan gelap, perut berwarna putih serta warna coklat kemerahan pada bagian depan sirip ventral dan melebar ke bawah hingga ke bagian bawah sirip punggung. Corak abu-abu terang terdapat pada batang ekor, moncongnya berwarna gelap dengan sebuah garis yang memenjang dari apexmelon (kening) hingga ke lingkar mata (Priyono, 2001). Dalam satu pod, biasanya lumba-lumba ini terdiri dari individu sampai ratusan individu (Evans 1994 in ). Menurut Priyono (2001), klasifikasi dari Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Cetacea Subordo : Odontoceti (toothed whales) Famili : Delphinidae (oceanic dolphins) Genus : Delphinus Spesies : Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) (Linneaus 1758)

22 9 Gambar 2. Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Berdasarkan organisasi CITES, lumba-lumba jenis ini masuk ke dalam Appendix II. IUCN mengkategorikan lumba-lumba ini sebagai Lower risk. Ukuran bayi lumba-lumba ini cm, sedangkan lumba-lumba dewasa mencapai panjang 2,3 m 2,6 m. Bobot tubuhnya mencapai 135 kg pada saat dewasa. Daerah penyebaran lumba-lumba ini berada di perairan tropis hingga subtropis. Makanan utama bagi jenis ini adalah ikan-ikan kecil dan cumi-cumi, khususnya schooling ikan dan cumi-cumi yang berada di zona epipelagik dan mesopelagik. Di beberapa lokasi, lumba-lumba ini makan pada malam hari dan memangsa hewan-hewan yang hidup pada lapisan bawah lalu bermigrasi ke permukaan pada siang harinya. Satwa ini aktif muncul ke udara dan bersuara tinggi. Di perairan Indonesia, lumba-lumba ini hampir dijumpai di seluruh perairan laut dari Selat Malaka hingga Irian Jaya (Priyono, 2001) Pseudorca crassidens (False Killer Whale) Paus pembunuh palsu (Gambar 3) hampir seluruh tubuhnya berwarna hitam, mulai dari permukaan tubuh bagian dorsal, flippers (sirip pektoral), dan fluks (ekor). Bagian sisi kepala berwarna hitam keabu-abuan. Bagian ventralnya berwarna abuabu muda hingga putih mulai dari leher sampai bagian belakang flippers dan lubang genital. Pada bagian yang berwarna hitam, akan tampak guratan-guratan putih yang merupakan bekas gigitan Isistius brasiliensis (cookie-cutter shark) (Stacey et al. 1994).

23 10 Menurut Priyono (2001), klasifikasi dari Pseudorca crassidens (False Killer Whale) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Cetacea Subordo : Odontoceti (toothed whales) Famili : Delphinidae (oceanic dolphins) Genus : Pseudorca Spesies : Pseudorca crassidens (False Killer Whale) (Owen1846) Gambar 3. Pseudorca crassidens (False Killer Whale) ( Panjang maksimum yang dapat dicapai oleh paus pembunuh palsu ini adalah 5,96 m (betina) dan 5,09 m (jantan). Berat badannya dapat mencapai 1360 kg. daerah sebaran paus pembunuh palsu sangat luas, mulai dari perairan tropis, subtropis, dan perairan hangat (Davies 1963 in Stacey et al. 1994). Bayi paus pembunuh palsu biasanya berukuran 1,5 m 2,1 m (Jefferson et al. 1993). Pada paus pembunuh palsu betina, kematangan organ reproduksi terjadi pada saat ukuran panjangnya mencapai 3,4 m 3,8 m atau sekitar umur 8 11 tahun. Sedangkan pada jantan, kematangan organ reproduksi terjadi pada saat ukuran panjangnya mencapai 3,7 m 4,6 m atau sekitar umur 8 14 tahun. Individu jantan dapat hidup hingga umur 57,5 tahun, sedangkan individu betina dapat mencapai 62,5 tahun. (Stacey et al. 1994). Paus pembunuh palsu menyukai perairan dengan kisaran suhu 9 o 38 o C. Di perairan dekat pantai, spesies ini biasanya ditemukan pada daerah dimana terdapat ikan-ikan yang melimpah (Tomilin 1957 in Stacey et al. 1994). Dalam satu pod

24 11 (kumpulan) biasanya terdiri dari individu. Makanan utama dari spesies ini adalah ikan dan cephalopoda. Namun, spesies ini terkadang memangsa cetacean lain. Paus pembunuh palsu merupakan perenang cepat. Biasanya paus pembunuh palsu berasosiasi dengan cetacean lain, paling sering terlihat bersama lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus). Berdasarkan CITES, paus pembunuh palsu masuk ke dalam kategori Appendix II. Organisasi IUCN mengkategorikan spesies ini sebagai Insufficiently known (belum banyak diketahui) (Jefferson et al. 1993) Stenella longirostris (Spinner Dolphin) Lumba-lumba paruh panjang (Gambar 4) memiliki tubuh yang ramping dengan moncong yang panjang dan tipis. Sirip punggungnya tegak berbentuk sabit, hampir menyerupai segitiga. Pada lumba-lumba jantan dewasa terkadang sirip punggungnya miring ke depan sehingga nampak seolah-olah sedang bergerak ke arah belakang, dan batang ekor nampak sangat tebal. Terdapat garis gelap dari mata ke flipper, serta warna gelap pada bibir dan ujung moncong. Pola warna pada tubuh lumba-lumba ini ada 3 bagian, yaitu warna abu-abu gelap pada bagian punggung, abu-abu terang pada sisi tubuh dan warna putih pada perut (Priyono 2001). Penyebaran lumba-lumba moncong panjang ini meliputi perairan tropis dan subtropis. Di Indonesia, lumba-lumba ini terdapat hampir di seluruh perairan laut, terutama Laut Jawa, Sumatera, Pulau Lembata, Halmahera, Selat Sunda, Maluku hingga Irian Jaya (Priyono 2001). Makanan utama bagi lumba-lumba paruh panjang antara lain, ikan-ikan mesopelagis kecil, cumi-cumi, dan udang. Di Asia Tenggara, Spinner Dolphin mencari makan di sekitar terumbu karang dan memakan ikan-ikan di dasar perairan yang dangkal (Perrin 1998). Lumba-lumba yang baru lahir panjangnya cm, sedangkan ukuran panjang untuk lumba-lumba dewasa berkisar antara 2 2,4 m. Berat tubuh dewasa mencapai 77 kg. Kematangan seksual bagi spesies ini dicapai pada saat panjang tubuhnya berkisar antara 1,29 2,35 m, dengan berat tubuh sekitar kg (Priyono 2001).

25 12 Menurut Priyono (2001), klasifikasi dari Stenella longirostris (Spinner Dolphin) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Cetacea Subordo : Odontoceti (toothed whales) Famili : Delphinidae (oceanic dolphins) Genus : Stenella Spesies : Stenella longirostris (Spinner Dolphin) (Gray 1828) Gambar 4. Stenella longirostris (Spinner Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Lumba-lumba ini disebut Spinner dolphin karena perilakunya berlompatan dari permukaan air dan berputar sebelum kembali jatuh ke dalam air (Priyono 2001). Tingkah laku tersebut dilakukan sebagai bentuk komunikasi dan petunjuk bagi anggota kelompoknya jika ada salah satu anggota kelompok yang tersesat. Tingkah laku ini juga bertujuan untuk menghilangkan parasit di tubuh (Perrin 1998). Berdasarkan organisasi CITES, spesies ini tergolong ke dalam Appendix II. Organisasi IUCN mengklasifikasikannya sebagai Lower Risk (resiko rendah) (Ross 2006) Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) Lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) adalah jenis ordo Cetacea kecil yang paling dikenal karena menghuni perairan pantai dan sering dipergunakan

26 13 dalam pentas satwa, Ciri-ciri lumba-lumba hidung botol (Gambar 5) yaitu tubuhnya relatif tegak dengan moncong yang pendek. Sirip punggungnya tinggi dan berujung agak bengkok seperti bulan sabit serta muncul dari pertengahan punggung. Pada bagian punggung berwarna abu-abu terang hingga agak hitam dan kadang berbintik. Terdapat garis gelap dari mata hingga ke flipper. Pada bagian muka dan dari apex melon ke lubang hidung berwarna abu-abu (Priyono 2001). Menurut Priyono (2001), klasifikasi dari Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Cetacea Subordo : Odontoceti (toothed whales) Famili : Delphinidae (oceanic dolphins) Genus : Tursiops Spesies : Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) (Montagus 1821) Gambar 5. Tursiops truncatus (Bottlenose Dolphin) (Jefferson et al. 1993) Ukuran tubuhnya 1,9 3,8 m pada saat dewasa, dimana ukuran lumba-lumba jantan lebih besar dari betina. Sedangkan, pada saat bayi panjangnya berkisar antara 1 1,3 m. Bobot tubuhnya mencapai 650 kg. Lumba-lumba hidung botol melakukan perkawinan pada musim semi atau musim panas. Periode gestasinya berkisar antara bulan. Bayi yang baru lahir diasuh oleh induknya selama kurang lebih enam bulan. Lumba-lumba ini sering memukul-mukul air dengan ekornya, berlompatan dan membentuk formasi di udara. Selain itu, tingkah laku yang unik lainnya juga

27 14 ditunjukkan oleh spesies ini, dimana mereka siaga untuk menolong anggota kelompoknya yang terluka atau sakit. Biasanya, dua ekor lumba-lumba menopang lumba-lumba lain yang sedang sakit atau lemah ke permukaan air agar lumba-lumba tersebut dapat bernafas (Grzimek 1975). Berdasarkan organisasi CITES, spesies ini tergolong ke dalam Appendix II. Sedangkan organisasi IUCN mengklasifikasikannya sebagai Insufficiently known (belum banyak diketahui) (Ross 2006). Daerah penyebaran lumba-lumba hidung botol terutama di perairan pantai dan lepas pantai di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, lumba-lumba ini dijumpai di Laut Cina Selatan, Laut Sawu, Selat Sunda, Pulau Bangka, Selat Malaka, Halmahera, Pulau Seram, Laut Jawa, dan Laut Arafura (Priyono 2001) Tingkah laku Cetacea Mamalia laut melakukan berbagai macam gerakan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya. Lumba-lumba terkadang melakukan gerakan melompat ke udara dan menjatuhkan tubuhnya kembali ke air. Gerakan ini biasa disebut aerial. Gerakan menghindar dari kapal (avoidance) juga sering dilakukan lumba-lumba karena biasanya kapal motor mengeluarkan suara yang bising (Carwardine 1995). Ada beberapa bentuk tingkah laku yang sering diperlihatkan oleh Cetacea di atas permukaan air, diantaranya: 1. Breaching Tingkah laku ini terjadi ketika lumba-lumba atau paus meloncat keluar dari air dan menjatuhkan dirinya di atas permukaan air (Gambar 6) (Ayers 2001 in Anshori 2004). Menurut Carwardine (1995), dalam kebiasaan melakukan breaching ini, Cetacea seringkali menjatuhkan dirinya dengan posisi kepala terlebih dahulu. Gambar 6. Tingkah laku breaching (Ayers 2001 in Anshori 2004)

28 15 Breaching dilakukan sebagai salah satu tingkah laku cetacea digunakan untuk menghilangkan parasit yang menempel di tubuh mereka, selain itu juga dilakukan untuk menggiring ikan sewaktu mereka makan dan juga sebagai salah satu bentuk komunikasi. Tingkah laku tersebut juga dilakukan sebagai petunjuk bagi anggota kelompoknya jika ada salah satu anggota kelompok yang tersesat (Perrin 1998). 2. Bowriding Perahu menciptakan ombak bertekanan kuat ketika perahu bergerak maju. Cetacean berukuran kecil, terutama lumba-lumba, sering berenang di dalam gelombang pada bagian haluan dari kapal yang sedang melaju. Lumba-lumba juga kadang melakukan" bowride" di dalam ombak yang besar yang diciptakan oleh ikan paus yang berukuran lebih besar (Gambar 7). Penjelasan untuk perilaku ini adalah bahwa cetacean melakukan bowriding hanya untuk kesenangan (Ayers 2001 in Anshori 2004). Gambar 7. Tingkah laku bowriding (Ayers 2001 in Anshori 2004) 3. Spyhopping Spyhop adalah gerakan memunculkan kepala ke permukaan air (Gambar 8). Gerakan ini berfungsi untuk mengamati keadaan disekitarnya karena jarak pandang di udara lebih jauh dibandingkan di dalam air (Carwardine 1995). Tingkah laku ini sering dilakukan oleh paus, dengan memunculkan dirinya secara tegak lurus dengan perlahan kepermukaan air, sampai mata hewan ini berada dipermukaan air seluruhnya. Setelah beberapa saat paus tenggelam kembali, sampai saat ini belum diketahui dengan pasti mengapa paus melakukan salah satu tingkah laku tersebut, tetapi dimungkinkan paus melakukan hal tersebut untuk melihat keadaan sekitarnya (Ayers 2001 in Anshori 2004).

29 16 Gambar 8. Tingkah laku spyhopping (Ayers 2001 in Anshori 2004) 4. Lobtailing Cetacea sewaktu sedang diamati sering kali melakukan hal ini, mereka mengangkat ekornya (fluke) keatas permukaan air dan menjatuhkannya keras-keras diatas permukaan air laut (Gambar 9). Diduga hal ini berkaitan dengan agresifitas lumba-lumba dan paus dengan salah satu cara berkomunikasi (Carwadine 1995). Gambar 9. Tingkah laku lobtailing (Ayers 2001 in Anshori 2004) 5. Logging Tingkah laku ini dilakukan sewaktu paus atau lumba-lumba beristirahat di permukaan air tanpa melakukan pergerakan. Keadaan diam ini menggambarkan seperti kayu gelondongan (log) yang mengapung (Gambar 10). Jenis paus sperma sering melakukan hal ini. Cetacea melakukan hal tersebut guna beristirahat setelah melakukan penyelaman yang dalam dan lama (Ayers 2001 in Anshori 2004).

30 17 Gambar 10. Tingkah laku logging (Carwardine 1995 in Setiawan 2004) Menurut Karczmarski dan Cockcroft (1999) in Karczmarski et al. (2000) tingkah laku lumba-lumba dapat dikelompokkan menjadi empat, antara lain: 1. Foraging/feeding yaitu perilaku berupa menyelam dengan arah tak tentu di satu lokasi, muncul ke permukaan dan bernafas berkali-kali, mengejar ikan, dan memakannya. 2. Travelling yaitu melakukan renang ke arah tertentu dan melakukan penyelaman secara berkelompok, muncul ke permukaan air, dan mengejar ikan secara berkelompok. 3. Resting yaitu perilaku istirahat, terkadang terlihat mengapung, jarang muncul ke permukaan, dan sesekali melakukan renang secara pelan. 4. Socializing dan playing yaitu perilaku agresif seperti melompat keluar air, berenang di gelombang pada daerah selancar, dan renang secara cepat dengan merubah arah tujuan atau sering bersentuhan tubuh dengan lumba-lumba lain Makanan dan cara makan Cetacea Weber dan Thurman (1991) in Setiawan 2004 mengatakan bahwa lumbalumba kebanyakan pemakan ikan, walaupun mereka juga memakan cumi-cumi. Mereka memangsa bermacam-macam ikan dengan giginya dan menelannya bulatbulat. Lumba-lumba kecil makanan utamanya ikan-ikan kecil dan cumi-cumi yang berada di zona epipelagik di perairan laut terbuka, beberapa spesies makanannya adalah ikan dasar di perairan dangkal dekat pantai, teluk dan sungai. Menurut Shane (1990) in Setiawan (2004) lumba-lumba memiliki cara makan sebagai berikut :

31 18 1. Bottom feeding : lumba-lumba, sendiri atau pada saat bebas atau pada saat menyebar luas biasanya menyelam dengan batang ekor atau ujung ekor diangkat ke atas, kadang-kadang lumpur teraduk ke atas; 2. Against current feeding : lumba-lumba kadang-kadang melawan arus pasang surut yang kuat dan tetap berada di satu tempat kecuali sedang menangkap dan mengejar ikan, paling sering berada di permukaan; 3. Horizontal circle feeding : lumba-lumba sering berenang membentuk lingkaran hanya di bawah permukaan dengan dua cara. Pertama, lumba-lumba berenang cepat di sisi lingkaran dengan tubuh membongkok ke depan, lebih seperti kucing mengejar ekornya. Kedua, lumba-lumba berada pada posisi yang hampir vertikal di kolom perairan dengan kepala ke atas, kemudian lumba-lumba itu akan memutar kepalanya atau sangat jarang seluruh tubuhnya akan berputar 360 derajat membentuk busur sehingga satu atau beberapa ikan kecil akan lari ke lingkaran dipinggir mulut lumba-lumba dibawah permukaan; 4. Edge feeding : Lumba-lumba berenang sepanjang batas penghalang pasir (sand bar), penghalang tiram (oyster bar) di bawah permukaan air (submerged bar), kanal dan garis pantai mangrove untuk mencari makan; 5. Cara makan dengan menyerbu (feeding rush) ini terlihat pada cara makan di tepi air. Lumba-lumba akan meningkatkan kecepatannya secara tiba-tiba sejauh meter kearah garis pantai. Sebelum mencapai pantai, lumba-lumba akan bersandar pada salah satu sisi dan berputar atau membuat tikungan tajam ke bawah untuk menangkap mangsanya; 6. Fish kicking atau menendang ikan adalah cara makan yang paling unik. Lumbalumba menggunakan ujung atau batang ekornya untuk menendang ikan yang berada di dekat permukaan air ke udara. Fish kicking biasanya dilakukan oleh seekor lumba-lumba yang berenang ke arah schooling ikan; 7. Sebelum membawa mangsanya ke bawah, lumba-lumba mengosongkan permukaan air dari mangsanya dengan cara menghentakkan ekornya ke permukaan. Hal ini menyebabkan hisapan ke bawah yang kemudian diikuti dengan feeding circles dan feeding rush;

32 19 8. Pada beberapa kesempatan lumba-lumba diam di permukaan lalu melambung ke atas dan ke bawah atau menggerakkan badannya dengan kepala di bawah seperti memainkan sesuatu Migrasi Cetacea Musim sangat mempengaruhi migrasi semua makhluk hidup, termasuk cetacean. Musim panas yang panjang di lintang yang tinggi dapat mencairkan es di kutub. Hal ini mengakibatkan populasi fitoplankton berkembang dengan pesat. Fitoplankton inilah yang dimakan oleh krill, copepod, dan zooplankton lainnya. Organisme-organisme tersebut selanjutnya dimakan oleh burung-burung laut, anjing laut, cumi-cumi, ikan-ikan, dan paus. Pada saat ini, cetacean banyak ditemukan di daerah lintang tinggi (Setiawan 2004). Saat musim dingin, lautan di kutub kembali membeku sehingga produktivitasnya menurun. Hal tersebut menyebabkan cetacean bermigrasi ke perairan tropis yang lebih hangat dan memiliki produktivitas yang tinggi. selain itu, cetacean melakukan migrasi untuk bereproduksi. Untuk lumba-lumba, migrasi musiman untuk bereproduksi menuju ke daerah pantai yang dangkal dan terlindung. Pada beberapa cetacean, migrasi dilakukan untuk menghindari predator yang akan memangsanya (Carwardine et al in Setiawan 2004) Adaptasi Cetacea Daya apung Cetacea sebagai salah satu mammalia laut beradaptasi terhadap daya apung dengan menyimpan lipida (lemak dan minyak), biasanya terdapat sebagai lapisan lemak tepat dibawah kulitnya. Fungsinya bukan saja untuk menjaga daya apung, tetapi juga sebagai isolasi untuk mencegah kehilangan panas (Nybakken 1992) Ekholokasi (penentuan jarak dengan gema) Peranan suara penting bagi mammalia laut, karena suara merambat dalam air lima kali lebih cepat daripada di udara dan mempunyai kisaran komunikasi yang lebih luas daripada pengelihatan (Nybakken 1992). Gelombang suara pada

33 20 ekholokasi atau sonar dikeluarkan dari sumber ke arah tertentu. Jika membentur benda, maka gelombang itu akan terpantul dan kembali ke sumbernya. Interval waktu saat suara pertama kali dikeluarkan dan pergerakannya menuju sasaran serta kembalinya setelah terpantul merupakan ukuran jarak antara sumber dan benda. Dengan berubahnya jarak, waktu echo kembali juga berubah. Pengeluaran gelombang suara secara terus-menerus dan evaluasi sensorik dari gelombang yang terpantul selagi berenang merupakan cara hewan tersebut untuk memeriksa benda yang ada disekitarnya dengan mengetahui jarak benda itu, hewan tersebut dapat menjauhinya (predator) atau mendekatinya (sumber makanan) (Nybakken 1992). Suara dengan frekuensi rendah digunakan hewan yang berekholokasi untuk menempatkan dirinya dalam badan air sesuai dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Namun suara dengan frekuensi rendah tidak memberikan informasi mengenai bentuk benda itu. Untuk mendapatkan informasi ini, diperlukan suara dengan frekuensi lebih tinggi yang memantul dari benda dan memberikan perincian lebih lanjut. Oleh karena itu, kebanyakan hewan laut yang mempunyai kemampuan ekolokasi yang berkembang dengan baik juga mempunyai kemampuan mengubah frekuensi suara yang dihasilkan (Nybakken 1992). Lumba-lumba mempunyai dahi bulat dan menonjol. Behubungan dengan hal ini, terdapat lubang nasal eksternal atau lubang udara dibagian punggung. Di bagian dalam, satu seri kantung udara yang kompleks berhubungan dengan saluran nasal mulai dari lubang udara sampai ke paru-paru. Dahi yang bulat disebabkan oleh satu struktur besar yang berisi lemak terletak disebelah dalam yang dinamakan melon (Nybakken 1992). Suara dihasilkan oleh lumba-lumba melalui pergerakan udara yang melewati seluruh nasal dan kantung udara yang berhubungan. Otot-otot khusus pada saluran nasal dan kantung udara membuat saluran ini dapat berubah-ubah bentuk dan volumenya sehingga dapat mengubah frekuensi suara. Melon yang berlemak digunakan sebagai lensa akustik untuk memfokus, sehingga hewan ini dapat mengenali benda dengan suara yang berfrekuensi tinggi. Pembidikan juga didukung oleh tulang-tulang pada tengkorak yang berbentuk khas pada paus begigi ini. Penerimaan gelombang yang terpantul berpusat pada tulang dan lemak yang terletak di rahang bawah dan di telinga dalam (Nybakken 1992).

34 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali. Pengambilan data pertama dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2010 sampai dengan 27 Mei Data kedua diambil pada tanggal 22 Juni 2010 sampai dengan 3 Juli Gambar 11 memperlihatkan lokasi penelitian. Gambar 11. Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta 3.2. Metode Kerja Desain survei Desain survei yang digunakan dalam melakukan penelitian mengenai mamalia air adalah dengan menggunakan metode penjelajahan dengan menggunakan kapal motor. Pengambilan data dimulai sekitar pukul WIB dan dilakukan setiap hari, kecuali hari Jumat. Survei ini dilakukan dengan satu kelompok pengamat (Single platform) (Gambar 12). Pada pengamatan cetacean dengan Single platform, posisi pengamat adalah sebagai berikut (Siahaninenia 2008):

35 22 Gambar 12. Posisi pengamat pada metode Single Platform Pengamatan dilakukan oleh tiga orang yang mengamati kemunculan lumbalumba pada satu dek (platform). Posisi pengamat pertama berada di haluan kapal, pengamat kedua berada di tengah kapal, dan pengamat ketiga berada di buritan kapal Pengumpulan data Pengamatan dan pengidentifikasian jenis dan jumlah lumba-lumba yang melintas di sekitar perairan Kepulauan Seribu dilakukan secara langsung (visual sensus on dolphin) dari atas kapal nelayan dengan bantuan alat dokumentasi (kamera digital dan kamera SLR) untuk melakukan identifikasi lebih lanjut dan mengurangi kesalahan paralaks pada saat pengamatan di lapangan. Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penjelajahan untuk mencari kemunculan lumba-lumba dengan menggunakan kapal motor. Adapun rute pengamatan setiap minggu disajikan pada Lampiran 11. Data yang diambil pada saat pengamatan di lokasi penelitian adalah tanggal dan waktu ketika lumba-lumba terlihat, posisi lintang dan bujur dengan menggunakan GPS, jenis lumba-lumba, jumlah lumba-lumba yang teramati, cuaca pada saat pengamatan, keadaan permukaan air saat pengamatan (Tabel 1), asosiasi spesies, dan beberapa tingkah laku dari lumba-lumba. Tingkah laku lumba-lumba yang diamati adalah tingkah laku yang dilakukan lumba-lumba di permukaan yang teramati oleh pengamat secara visual dari kapal. Jenis-jenis dan deskripsi tingkah

36 23 laku yang diamati disajikan pada Tabel 2. Semua data tersebut dicatat dalam lembar pengamatan Tabel 1. Kisaran skala kondisi permukaan laut No Keterangan Deskripsi 1 Bagus Seperti cermin, sedikit beriak di permukaan. 2 Lumayan Terdapat ombak kecil, tidak berbentuk buih, angin bertiup sepoi-sepoi 3 Agak berombak Berombak kecil, tapi tidak bersuara. Puncak terlihat seperti kaca, namun lebih pecah. 4 Berombak Mulai berombak besar, puncaknya mulai pecah. Buih terlihat jelas. 5 Berombak besar Ombak yang kecil mulai memanjang, dan sudah mulai tinggi. Kadang-kadang menyemprot kapal. Sumber: Khan (2001) in Siahaninenia (2008) Tabel 2. Jenis dan deskripsi tingkah laku lumba-lumba No Jenis tingkah laku Deskripsi 1 Bowriding Gerakan berenang mengikuti ombak yang diciptakan oleh kapal. 2 Aerials Gerakan melompat ke atas permukaan air, salto, berbalik, atau berputar di udara. 3 Spyhoping Gerakan memunculkan kepala ke atas permukaan air untuk mengamati keadaan disekitarnya. 4 Breaching Gerakan melompat ke atas pemukaan air dan menjatuhkan badan kea rah belakang 5 Feeding Kegiatan yang dilakukan ketika sedang mencari makan, biasanya ditandai dengan adanya schooling ikan di dekat lumba-lumba. 6 Lobtailing Gerakan mengangkat fluks (sirip ekor) ke atas permukaan air dan memukul-mukulkannya ke permukaan air. 7 Avoidance Gerakan menghindar dari kapal 8 Travelling Gerakan berenang kea rah tertentu, kemudian melakukan penyelaman secara bersama-sam, lalu muncul kembali ke permukaan air, dan mengejar ikan secara berkelompok. Sumber: Carwardine (1995) & Karczmarski et al. (2000) Pengidentifikasian spesies Pengamatan terhadap jenis dan jumlah pemunculan lumba-lumba yang melintas di perairan Kepulauan Seribu dilakukan secara visual di lapangan dari atas perahu dengan metode sensus visual, yaitu melakukan pencacahan langsung terhadap lumba-lumba yang teramati, seperti yang dilakukan oleh Ali (2006) di Pantai Lovina, Bali. Apabila lumba-lumba muncul ke permukaan,

37 24 pengidentifikasian jenis lumba-lumba dilakukan dengan melihat ciri-ciri khusus yang dijabarkan oleh APEX Environmental (Ali 2006), yaitu: a. Habitat h. Sirip ekor (flukes) b. Lokasi geografis i. Tipe semburan air (blow) c. Ukuran j. Urutan penyelaman d. Sirip dorsal k. Perilaku e. Sirip dada (flippers) l. Ukuran kelompok (pod) f. Bentuk tubuh m. Moncong (snouted) g. Warna dan tanda khusus Identifikasi juga dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi cetacean yaitu FAO Species identification guide: Marine mammals of the world (Jefferson et al. 1993) Analisis data Data koordinat dan sebaran lumba-lumba yang ditemukan diplotkan ke dalam peta Kepulauan Seribu dengan bantuan software Global Mapper 11 dan ArcView GIS 3.3 melalui proses digitasi dan overlay. Komposisi lumba-lumba dan Indeks Individu berdasarkan jenis dan lokasi perjumpaan dihitung dengan bantuan software Microsoft Excel. Kemudian jumlah/komposisi dan jenis lumba-lumba dihubungkan dengan lokasi dan waktu perjumpaan. Tingkah laku dianalisis secara visual. Lalu dilakukan pembahasan terhadap perbandingan-perbandingan tersebut secara deskriptif. Adapun rumus untuk menghitung Indeks Individu berdasarkan jenis adalah sebagai berikut: Indeks Individu jenis ke i = individu lumba lumba jenis ke i hari perjumpaan dengan lumba lumba jenis ke i (1) sedangkan rumus untuk menghitung Indeks Individu berdasarkan lokasi perjumpaan adalah sebagai berikut: Indeks Individu di lokasi ke i = individu lumba lumba di lokasi ke i hari perjumpaan dengan lumba lumba di lokasi ke i (2)

38 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Gambaran umum lokasi penelitian Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara dan Lintang Selatan dan dan Bujur Timur. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim Barat berkisar antara 28,5 C-30 C. Pada musim Timur suhu permukaan berkisar antara 28,5 C-31 C. Salinitas permukaan berkisar antara 30 0 / / 00 pada Musim Barat maupun pada Musim Timur. Tinggi Gelombang di perairan Kepulauan Seribu secara umum berkisar antara 0,5 1,5 m. Gelombang pada Musim Barat ketinggiannya antara 0,5 1,5 m, dan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1,5 meter. Gelombang pada Musim Timur ketinggiannya antar 0,5 1,0 m (Noor 2003) Hasil penelitian secara umum Hasil yang didapat selama penelitian di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil pengamatan secara umum No Variabel Jumlah 1 Hari pengamatan 26 hari 2 Waktu pengamatan 286 jam 3 Total perjumpaan 13 kali 4 Jenis teridentifikasi 4 jenis Total hari pengamatan adalah 26 hari dengan total waktu pengamatan 286 jam. Selama 26 hari pengamatan, perjumpaan dengan lumba-lumba terjadi sebanyak 13 kali. Spesies yang berhasil teridentifikasi sebanyak 4 spesies, yaitu Spinner dolphin (Stenella longirostris), Bottlenose dolphin (Tursiop truncatus), Common dolphin (Delphinus delphis), dan False Killer Whale (Pseudorca crassidens). Selain itu, ditemukan juga bayi lumba-lumba (calf) dan lumba-lumba yang tidak teridentifikasi.

39 Sebaran lumba-lumba di lokasi penelitian berdasarkan hari perjumpaan Hasil plot titik-titik posisi lumba-lumba di GPS (Global Positioning System) pada peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa daerah ditemukannya lumba-lumba adalah di sekitar Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak), Karang Lebar, Pulau Opak, Pulau Kelapa, Pulau Kaliage Besar, Gosong Mungu, Karang Baronang, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang. Pada tanggal 10 Mei 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Gosong Mungu. Pada tanggal 11 Mei 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Karang Baronang. Pada tanggal 16 Mei 2010, lumba-lumba ditemukan di bagian Utara Pulau Payung. Pada tanggal 18 dan19 Mei 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari. Pada tanggal 25 Mei 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Pulau Opak, Pulau Kelapa, dan Pulau Kaliage Besar. Pada tanggal 26 dan 27 Mei 2010, 24 dan 28 Juni 2010, dan 3 Juli 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Pulau Gosong Congkak dan Karang Lebar. Pada tanggal 23 Juni 2010, lumba-lumba ditemukan di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka Sebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan komposisi jumlah Berdasarkan peta penyebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan komposisi jumlah (Gambar 14) dapat terlihat bahwa lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) paling luas daerah penyebarannya. Lumba-lumba hidung botol ditemukan di sekitar Gosong Mungu, Karang Baronang, Pulau Payung, Pulau Kelapa, Pulau Opak, Pulau Kaliage Besar, Karang Lebar, dan Karang Congkak. Jumlah lumbalumba jenis Tursiops truncatus paling banyak ditemukan di sekitar Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar. Lumba-lumba yang ditemukan di sekitar Pulau Opak, Pulau Kaliage Besar, dan Pulau Kelapa adalah jenis Tursiops truncatus dan Delphinus delphis. Selain itu ditemukan juga bayi lumba-lumba (calf). Begitu pula di sekitar Gosong Mungu, ditemukan jenis Tursiops truncatus, Delphinus delphis, dan calf. Di sekitar Karang Baronang, jenis lumba-lumba yang ditemukan adalah Tursiops truncatus dan Stenella longirostris. Selain itu, di daerah tersebut juga ditemukan beberapa lumbalumba yang tidak teridentifikasi, baik genus maupun jenisnya.

40 Gambar 13. Peta penyebaran lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan 27

41 Gambar 14. Peta penyebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan komposisi jumlah di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 28

42 29 Di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari, jenis lumba-lumba yang ditemukan adalah Tursiops truncatus, Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan calf. Di daerah antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, lumba-lumba yang ditemukan tidak teridentifikasi, baik genus maupun jenisnya. Jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis yang ditemukan pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Lampiran Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Selama 26 hari pengamatan, 12 hari diantaranya pengamat melihat kemunculan lumba-lumba. Data jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan hari perjumpaan dapat dilihat pada Lampiran 4. Komposisi lumba-lumba berdasarkan persentase jumlah, jenis, dan hari pengamatan disajikan pada Gambar 13 berikut ini Jumlah lumba-lumba (individu) Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Mei Juni Juni Juni Juli 2010 Tanggal perjumpaan Delphinus delphis Tursiops truncatus Stenella longirostris Pseudorca crassidens Calf Tidak teridentifikasi Gambar 15. Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Berdasarkan Gambar 15, dapat dilihat bahwa jenis lumba-lumba yang paling dominan adalah Tursiops truncatus. Pada tanggal Mei 2010, 24 Juni 2010, 28 Juni 2010, dan 3 Juli 2010, hanya dijumpai satu jenis lumba-lumba yaitu jenis Tursiops truncatus. Pada tanggal 19 Mei 2010, juga hanya dijumpai satu jenis

43 30 lumba-lumba yaitu Pseudorca crassidens. Pada tanggal 23 Juni 2010, lumba-lumba yang ditemukan seluruhnya tidak dapat teridentifikasi. Pada tanggal 10 Mei 2010, ada dua jenis lumba-lumba yang ditemukan yaitu Delphinus delphis dan Tursiops truncatus. Selain itu, ditemukan juga calf, namun jenisnya tidak teridentifikasi. Pada tanggal tersebut, lumba-lumba jenis Delphinus delphis memiliki persentase terbesar, sedangkan lumba-lumba dengan persentase terkecil adalah calf. Begitu pula pada tanggal 25 Mei 2010, namun persentase jumlah dari masing-masing jenis berbeda. Pada tanggal 25 Mei 2010, lumba-lumba dengan persentase terbesar adalah Tursiops truncatus dan yang terkecil adalah Delphinus delphis. Pada tanggal 11 Mei 2010, lumba-lumba yang ditemukan adalah Stenella longirostris dan Tursiops truncatus. Selain itu, ditemukan juga lumba-lumba yang tidak teridentifikasi jenis maupun genusnya. Persentase jumlah lumba-lumba jenis Stenella longirostris lebih besar dari jenis Tursiops truncatus. Pada tanggal 16 Mei 2010, ada dua jenis lumba-lumba yang ditemukan yaitu Stenella longirostris dan Tursiops truncatus. Persentase jumlah lumba-lumba jenis Tursiops truncatus lebih besar dari persentase jumlah lumba-lumba jenis Stenella longirostris. Pada tanggal 18 Mei 2010, lumba-lumba yang ditemukan yaitu Stenella longirostris dan calf Indeks Individu Indeks Individu lumba-lumba jenis ke-i merupakan hasil bagi antara jumlah individu lumba-lumba jenis ke-i dengan jumlah hari perjumpaan dengan lumbalumba jenis ke-i. Gambar 16 merupakan grafik yang menunjukkan Indeks Individu dari masing-masing jenis lumba-lumba yang ditemukan di Kepulauan Seribu. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa lumba-lumba jenis Pseudorca crassidens memiliki nilai indeks tertinggi diantara jenis lumba-lumba yang lain, yaitu 12 individu per hari perjumpaan. Jenis lumba-lumba dengan nilai indeks terendah adalah jenis Delphinus delphis dengan nilai indeks sebesar 4 individu per hari perjumpaan. Calf (bayi lumba-lumba) memiliki nilai indeks terendah, yaitu 2 individu per hari perjumpaan. Nilai Indeks Individu berdasarkan jenis lumba-lumba yang dijumpai disajikan pada Lampiran 8.

44 31 Berdasarkan lokasi perjumpaan, Indeks Individu lumba-lumba juga bervariasi (Lampiran 9). Indeks Individu lumba-lumba di lokasi ke-i merupakan hasil bagi antara jumlah individu lumba-lumba di lokasi ke i dengan jumlah hari perjumpaan dengan lumba-lumba di lokasi ke-i. Berdasarkan Gambar 17 dapat terlihat bahwa nilai indeks tertinggi terdapat di sekitar Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar, yaitu 25 individu per hari perjumpaan. Sedangkan nilai indeks terendah terdapat di selat antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, yaitu 4 individu per hari perjumpaan. Indeks (ind/hari perjumpaan) Jenis Lumba-lumba Gambar 16. Indeks Individu berdasarkan jenis Keterangan: 1 = Gosong Mungu 6 = Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar 2 = Karang Baronang 7 = Selat Karang Congkak dan Karang Lebar 3 = Pulau Payung 8 = Timur Karang Congkak 4 = Pulau Pari 9 = Timur Karang Lebar 5 = Pulau Payung 10 = Selat Pulau Panggang dan Pulau Pramuka Gambar 17. Indeks Individu berdasarkan lokasi perjumpaan

45 Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Pengamataan terhadap kemunculan lumba-lumba dilakukan setiap harinya mulai pukul WIB. Jumlah dan jenis lumba-lumba yang ditemukan per selang waktu perjumpaan dapat dilihat pada Lampiran 7. Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan disajikan pada Gambar 18. Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pada selang waktu WIB lumba-lumba yang dominan ditemukan adalah jenis Tursiops truncatus dengan jumlah 63 individu. Lumba-lumba lain yang juga ditemukan pada selang waktu WIB adalah Delphinus delphis dan calf dengan jumlah berturut-turut sebanyak 8 individu dan 5 individu, sedangkan pada selang waktu WIB ditemukan lumba-lumba yang tidak teridentifikasi dengan jumlah 4 individu. 70 Jumlah lumba-lumba yang ditemukan Selang waktu perjumpaan Delphinus delphis Tursiops truncatus Stenella longirostris Pseudorca crassidens Calf Tidak teridentifikasi Gambar 18. Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Pada selang waktu WIB, jenis yang dominan ditemukan adalah Stenella longirostris dengan jumlah 23 individu. Selain Stenella longirostris, ditemukan juga Tursiops truncatus dan calf dengan jumlah berturut-turut sebanyak 3 individu dan 1 individu. Pada selang waktu WIB ditemukan jenis Pseudorca crassidens, Stenella longirostris, dan Tursiops truncatus. Jumlah individu untuk masing-masing jenis tersebut secara berturut-turut adalah 12, 5 dan

46 33 10 individu. Pada selang waktu tersebut ditemukan juga lumba-lumba yang tidak teridentifikasi sebanyak 3 individu Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Selama penelitian, terdapat empat jenis lumba-lumba yang teridentifikasi. Selain itu, ditemukan juga calf dan lumba-lumba yang tidak teridentifikasi genus maupun jenisnya. Gambar 19 memperlihatkan komposisi persentase jumlah lumbalumba berdasarkan jenisnya. 5.52% 4.14% 4.83% 8.28% Delphinus delphis Pseudorca crassidens 19.31% Stenella longirostris Tursiops truncatus 57.93% Calf Tidak teridentifikasi Gambar 19. Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Berdasarkan Gambar 19, dapat dilihat bahwa lumba-lumba yang dominan ditemukan selama penelitian adalah jenis Tursiops truncatus dengan persentase sebesar 57.93%. Sedangkan jenis yang paling sedikit komposisinya adalah Delphinus delphis dengan persentase jumlah sebesar 5.52%. Persentase jumlah lumba-lumba yang tidak teridentifikasi dan calf berturut-turut sebesar 4.83% dan 4.14% Pengamatan tingkah laku lumba-lumba di permukaan secara visual Lumba-lumba biasanya melakukan berbagai macam tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti aerial, bowriding, breaching, lobtailing, feeding, travelling, logging, avoidance, dan lainnya. Selama pengamatan,

47 34 tingkah laku lumba-lumba yang berhasil teramati adalah aerial, feeding, travelling, lobtailing, dan breaching. Pada saat pengamatan, tingkah laku aerial (Gambar 20) teramati dua kali pada hari yang berbeda dan dilakukan oleh satu individu pada masing-masing hari. Tingkah laku lobtailing (Gambar 21) dilakukan oleh lumba-lumba dengan mengangkat ekornya ke permukaan air, lalu memukul-mukul permukaan air dengan ekornya. Tingkah laku lobtailing hanya teramati dua kali dan dilakukan oleh beberapa individu. Tingkah laku breaching (Gambar 22) dilakukan untuk menghilangkan parasit yang menempel pada tubuh, unjuk kekuatan, atau untuk melumpuhkan mangsanya. Tingkah laku breaching teramati sebanyak dua kali dan dilakukan oleh satu individu. Gambar 20. Tingkah laku aerial di sekitar perairan Pulau Pari Sumber: Dokumentasi pribadi Gambar 21. Tingkah laku lobtailing di sekitar perairan Pulau Opak Sumber: Dokumentasi pribadi

48 35 Gambar 22. Tingkah laku breaching di sekitar perairan Pulau Pramuka Sumber: Dokumentasi pribadi Tingkah laku yang sering dilakukan oleh lumba-lumba yang teramati adalah travelling (Gambar 23), dimana lumba-lumba berenang ke satu arah tertentu dan melakukan penyelaman secara berkelompok, lalu muncul ke permukaan air. Tingkah laku travelling teramati sebanyak empat kali dan dilakukan oleh seluruh individu dalam satu kelompok, kecuali pada pod (kumpulan) False Killer Whale (Pseudorca crassidens). Pada saat pengamatan, ada beberapa individu False Killer Whale (Pseudorca crassidens) yang melakukan feeding dan beberapa individu lainnya melakukan travelling. Gambar 23. Tingkah laku travelling di sekitar perairan Karang Baronang Sumber: Dokumentasi pribadi Tingkah laku feeding yang berhasil teramati adalah tingkah laku feeding rush (Gambar 24) dan fish kicking. Namun tingkah laku fish kicking tidak dapat terekam

49 36 oleh alat dokumentasi, karena tingkah laku ini hanya dilakukan satu kali oleh satu individu. Gambar 24. Tingkah laku feeding rush di sekitar perairan Karang Baronang 4.2. Pembahasan Sebaran lumba-lumba berdasarkan lokasi perjumpaan Berdasarkan hasil pengamatan, lumba-lumba yang dijumpai sebagian besar menyebar di perairan dekat karang. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan di sekitar karang terlihat ikan-ikan kecil, seperti teri, cumi-cumi, dan ikan-ikan kecil lainnya di sekitar perairan Pulau Opak, Pulau Kelapa, Pulau Kaliage Besar, Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak), dan Karang Lebar, yang merupakan makanan bagi lumba-lumba. Weber dan Thurman (1991) in Setiawan (2004) mengatakan bahwa lumba-lumba kebanyakan pemakan ikan, walaupun mereka juga memakan cumi-cumi. Selain itu, keberadaan lumba-lumba di sekitar karang diduga karena di perairan sekitar karang ombaknya tidak terlalu besar, sehingga lumba-lumba merasa nyaman. Gugusan karang dapat meredam ombak yang datang sehingga permukaan airnya lebih tenang. Lumba-lumba yang dijumpai jauh dari gugusan karang, seperti yang ditemukan di sekitar perairan Pulau Payung dan Pulau Pari juga diduga sedang melakukan aktivitas travelling, dimana mereka berenang ke arah tertentu dan melakukan penyelaman secara berkelompok, muncul ke permukaan air, dan mengejar ikan secara berkelompok. Menurut Cañadas et al. 2002, kedalaman sangat mempengaruhi distribusi Cetacea di suatu perairan. Delphinus delphis dan Tursiops truncatus banyak dijumpai di perairan dangkal. Lumba-lumba jenis lain juga sering ditemukan di perairan dangkal namun frekuensinya sedikit. Hal ini sesuai dengan

50 37 keadaan pada lokasi penelitian, dimana kedalaman di kawasan perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 5 90 m (Mihardja & Pranowo 2001) Sebaran lumba-lumba berdasarkan jenis dan jumlah Berdasarkan Gambar 14 dapat terlihat bahwa lumba-lumba jenis Tursiops truncatus memiliki penyebaran yang paling luas diantara lumba-lumba jenis lainnya. Jumlah individu terbanyak yang dijumpai adalah 19 individu di sekitar Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan perairan Kepulauan Seribu merupakan kondisi habitat yang cocok untuk lumbalumba jenis ini. Menurut Rice (1998), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) memiliki daerah sebaran yang sangat luas meliputi perairan tropis dan temperate. Lumba-lumba jenis ini juga dijumpai di perairan dangkal dekat pantai dan di daerah lepas pantai. Di perairan dekat pantai, lumba-lumba hidung botol banyak dijumpai di perairan dengan kedalaman kurang dari 20 m. Di perairan lepas pantai, lumba-lumba ini banyak dijumpai di perairan dengan kedalaman lebih dari 200 m ( Lumba-lumba yang penyebarannya paling sempit yaitu jenis paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens). Lumba-lumba jenis ini hanya dijumpai di sekitar perairan Pulau Payung dan Pulau Pari dengan jumlah 12 individu (Lampiran 2). Kedalaman perairan di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari adalah m (Deny Wahyudi 2010; komunikasi pribadi). Menurut Carwardine 1995, paus pembunuh palsu menyukai perairan hangat dengan kedalaman perairan yang berkisar antara m Komposisi lumba-lumba berdasarkan hari perjumpaan Pada Gambar 15 terlihat bahwa jumlah lumba-lumba yang paling banyak ditemukan adalah pada tanggal 25 Mei Pada tanggal tersebut cuaca yang teramati adalah cerah, permukaan airnya tidak berombak, dan airnya jernih. Hal ini merupakan kondisi yang sesuai bagi lumba-lumba. Pada tanggal Mei 2010, 24 Juni 2010, 28 Juni 2010, dan 3 Juli 2010, hanya lumba-lumba jenis Tursiop truncatus yang dijumpai. Pada tanggal-tanggal tersebut keadaan cuacanya tidak terlalu baik. Hal ini ditandai dengan cuaca yang mendung dan ombak yang agak

51 38 besar, sehingga lumba-lumba yang dijumpai kurang beragam (Lampiran 5). Pada tanggal 19 Mei 2010, jenis yang dijumpai hanya satu yaitu Pseudorca crassidens sebanyak 12 individu. Pada tanggal 23 Juni 2010, lumba-lumba yang ditemukan hanya 4 ekor dan semuanya tidak teridentifikasi. Hal ini disebabkan pada tanggal tersebut terjadi gelombang yang cukup besar dan angin bertiup cukup kencang, sehingga pengidentifikasian jenis sulit untuk dilakukan. Pada tanggal 10 Mei 2010 sampai tanggal 27 Mei 2010, jenis lumba-lumba yang dijumpai lebih beragam dibandingkan tanggal 23 Juni 2010 sampai 3 Juli Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh musim. Noor (2003) menyatakan bahwa keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Pada Musim Pancaroba, gelombang yang terbentuk tidak terlalu besar dan angin yang bertiup tidak terlalu kencang. Pada Musim Timur, gelombang yang terbentuk cukup besar dan angin bertiup cukup kencang. Kondisi ini diduga menyebabkan keragaman jenis lumba-lumba dan jumlahnya menurun pada Musim Timur Indeks Individu Berdasarkan Gambar 16, dapat dilihat bahwa Pseudorca crassidens memiliki nilai indeks tertinggi, yaitu 12 individu per hari perjumpaan. Jenis lumba-lumba dengan nilai indeks terendah adalah jenis Delphinus delphis dengan nilai indeks sebesar 4 individu per hari perjumpaan. Calf (bayi lumba-lumba) memiliki nilai indeks terendah, yaitu 2 individu per hari perjumpaan. Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa lumba-lumba banyak ditemukan di sekitar perairan Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar dengan nilai indeks sebesar 25 individu per hari pengamatan. Selat antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka memiliki nilai indeks terendah, yaitu 4 individu per hari perjumpaan. Nilai indeks yang bervariasi menunjukkan bahwa pada masing-masing lokasi dijumpai lumba-lumba dengan jumlah dan jenis yang berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jalur migrasi dari masing-masing jenis lumba-lumba. Perbedaan jalur migrasi ini juga disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketersediaan

52 39 makanan, kondisi habitat, perbedaan tingkah laku dan keberadaan pemangsa. Menurut Shane et al. (1986) in Hansen (1990), struktur habitat dan akitivitas pergerakan sangat berpengaruh pada keberadaan grup lumba-lumba yang lebih besar dan kemunculan lumba-lumba di suatu perairan Komposisi lumba-lumba berdasarkan selang waktu perjumpaan Berdasarkan Gambar 18, dapat dilihat bahwa jumlah lumba-lumba yang ditemukan paling banyak berada pada selang waktu WIB, sedangkan lumba-lumba yang ditemukan paling sedikit berada pada selang kelas WIB. Pada selang waktu WIB, cahaya yang dibutuhkan oleh lumbalumba untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti travelling dan mencari makan sudah optimal. Pada intensitas cahaya yang optimal, lumba-lumba dapat dengan mudah mencari mangsa. Lammers et al. (2001) in Siahaninenia (2008) mengatakan bahwa perjumpaan dengan Spinner dolphin lebih banyak terjadi pada pagi hari dibandingkan pada sore hari. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siahaninenia (2008) di Pantai Lovina, Bali, yang menyatakan bahwa kemunculan jumlah lumba-lumba terbanyak terjadi pada pukul WIB. Cahaya pada sore hari sudah tidak optimal, sehingga lumba-lumba yang dijumpai pada selang kelas WIB jumlahnya sedikit. Hal berbeda dikemukakan oleh Setiawan (2004) yang mengatakan bahwa di wilayah perairan Taman Nasional Komodo, Cetacea lebih banyak terdistribusi pada sore hari yaitu pukul Cetacea terlihat menuju ke satu tempat pada sore hari. Hal ini diduga berkaitan dengan kebiasaan Cetacea yang mencari makan pada waktu pagi hari dan siang hari, namun menjelang sore hari mereka menuju ke suatu tempat untuk beristirahat Komposisi lumba-lumba berdasarkan jenis Lumba-lumba yang paling banyak dijumpai adalah dari jenis Tursiops truncatus. Hal ini diduga dikarenakan memiliki daerah penyebaran yang luas, seperti yang dikatakan oleh Rice (1998) bahwa lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) memiliki daerah sebaran yang sangat luas. Menurut Klinowska (1991) in

53 40 Siahaninenia 2008, lumba-lumba hidung botol ditemukan di seluruh dunia pada perairan tropis dan sub tropis, inshore dan offshore. Corkeron (1990) menyatakan bahwa lumba-lumba hidung botol biasanya terdapat diantara nearshore dan offshore, serta menghabiskan 92% waktunya pada kedalaman kurang dari 32 m dan berada pada 1 km dari pantai. Hal tersebut sesuai dengan keadaan saat pengamatan, dimana lumba-lumba hidung botol sering ditemukan di perairan dengan kedalaman m dan tidak jauh dari garis pantai (Deny Wahyudi; komunikasi pribadi). Bearzi (2005) menyatakan bahwa distribusi dari lumba-lumba hidung botol di Teluk Santa Monica, California sebagian besar berada 500 m dari pantai. Hal ini disebabkan oleh perbedaan batimetri dan oseanografi antara pantai dan lepas pantai. Berbeda dengan kondisi pada California Utara dimana lumba-lumba hidung botol banyak dijumpai pada 1 km dari pantai dengan kedalaman 10 dan 30 m, namun memiliki perbedaan yang menyolok antara pantai dan lepas pantai. Lumbalumba hidung botol bisa beradaptasi di perairan yang berbeda dengan habitatnya dan bisa berasosiasi dengan komunitas cetacea lainnya. Jenis lumba-lumba yang paling sedikit dijumpai adalah Delphinus delphis. Menurut Fiona et al in Common dolphin lebih sering terlihat di offshore dengan continental shelf yang sempit. Di Mercury Bay, New Zealand, pergerakan secara geografis dari Delphinus delphis dipengaruhi oleh musim. Lumba-lumba ini banyak dijumpai di daerah inshore pada musim semi, sedangkan pada musim panas dan musim gugur, lumba-lumba ini lebih banyak dijumpai di daerah offshore (Neumann & Orams 2005). Stenella longirostris sering ditemukan berasosiasi dengan Tursiops truncatus. Lumba-lumba paruh panjang ini sering terlihat membentuk bergerombol dalam jumlah besar pada jarak ratusan mil dari pantai dengan kondisi perairan yang dangkal, thermocline yang tajam, dan variasi terhadap suhu permukaan rendah (Perrin 1998). Sedangkan Pseudorca crassidens hanya ditemukan satu kali dan tidak berasosiasi dengan jenis lain. Keberadaan paus pembunuh palsu di daerah inshore lebih banyak dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan mengikuti pergerakan arus air laut yang hangat (Stacey et al. 2004). Pada saat pengamatan ditemukan juga calf. Keberadaan calf dapat mengindikasikan bahwa Kepulauan Seribu merupakan daerah nursery ground bagi

54 41 lumba-lumba. Menurut Evans (1987) in Setiawan (2004), Cetacea biasanya diasuh sang induk di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama. Setiawan (2004) juga mengatakan bahwa lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) memiliki kecenderungan membesarkan anaknya di daerah selat dan pulau-pulau Pengamatan tingkah laku lumba-lumba di permukaan secara visual Tingkah laku lumba-lumba sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi, seperti musim, kedalaman perairan, pasang surut, dan aktivitas manusia. Lumbalumba dapat merespon berbagai perubahan ekologi yang mungkin tidak bisa diprediksi dan berbeda-beda di setiap lokasi dimana lumba-lumba diteliti (Burgess 2006). Tingkah laku lumba-lumba yang berhasil teramati selama penelitian adalah aerial, feeding, travelling, lobtailing, dan breaching. Namun, tidak semua tingkah laku tersebut dapat terekam oleh alat dokumentasi. Tingkah laku aerial dilakukan oleh lumba-lumba sebagai salah satu bentuk komunikasi agar tidak tersesat. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian kelompoknya jika mereka terpisah. Pada saat pengamatan, jenis lumba-lumba yang melakukan gerakan aerial adalah lumbalumba hidung botol (Tursiops truncatus). Tingkah laku lobtailing merupakan gerakan mengangkat ekornya ke permukaan air, lalu memukul-mukul ekor ke permukaan air. Aktivitas ini diduga sebagai bentuk komunikasi dengan lumba-lumba lain. Menurut Herzing (2000) in Lusseau (2006), lumba-lumba melakukan gerakan lobtailing untuk menarik perhatian individu lain dalam satu kelompok. Selain itu, tingkah laku lobtailing juga merupakan salah satu kegiatan pemangsaan, dimana lumba-lumba melakukan tingkah laku tersebut untuk melemahkan ikan-ikan yang menjadi mangsanya agar mudah untuk dimakan. Tingkah laku breaching dilakukan sebagai bentuk unjuk kekuatan dalam intraspesies atau hanya sekedar kesenangan (Lusseau 2006). Tingkah laku ini juga sering dilakukan oleh lumba-lumba untuk melemahkan schooling ikan agar mudah dimakan (Carwardine 1995). Menurut Würsig (1986) in Burgess (2006), famili Delphinidae memiliki startegi dalam mencari makan, baik dengan melakukan serangan secara individual maupun menyerang secara berkelompok. Lumba-lumba tidak selalu mencari makan di sekitar karang. Pada saat pengamatan, terdapat beberapa pod (kumpulan) lumba-

55 42 lumba yang melakukan aktifitas mencari makan di daerah yang jauh dari gugusan karang. Pada daerah yang jauh dari gugusan karang tersebut dijumpai schooling ikan tongkol beberapa kali, sehingga dapat diduga bahwa ikan tongkol juga merupakan makanan bagi lumba-lumba. Salah satu tingkah laku feeding terlihat pada pod paus pembunuh palsu. False Killer Whale (Pseudorca crassidens) bergerombol kemudian berenang mendekati dan mengelilingi schooling ikan tongkol. Pada saat itu, terlihat salah satu individu False Killer Whale (Pseudorca crassidens) melemparkan ikan tongkol ke udara dengan menggunakan ekornya. Hal tersebut dinamakan fish kicking atau menendang ikan, yang merupakan cara makan yang paling unik. Lumba-lumba menggunakan ujung atau batang ekornya untuk menendang ikan yang berada di dekat permukaan air ke udara. Fish kicking biasanya dilakukan oleh seekor lumba-lumba yang berenang ke arah schooling ikan. Pada lumba-lumba jenis lainnya, Bottlenose dolphin (Tursiops truncatus), Common dolphin (Delphinus delphis), dan Spinner dolphin (Stenella longirostris), mereka sering ditemukan di daerah sekitar karang. Mereka sesekali muncul ke permukaan, lalu menyelam kembali di pinggir karang. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa lumba-lumba tersebut sedang melakukan aktifitas feeding rush, karena di daerah karang tersebut dijumpai ikan-ikan seperti teri, cumi-cumi, dan ikan-ikan kecil lainnya. Feeding rush merupakan salah satu bentuk mencari makan dengan cara menyerbu sekumpulan ikan di sekitar perairan karang, seperti yang teramati di sekitar perairan Karang Baronang, Karang Lebar, Karang Congkak. Menurut Amir et al. (2004), isi perut dari lumba-lumba jenis Tursiops adancus yang tidak sengaja tertangkap oleh gillnet di Zanzibar, Tanzania kurang lebih terdapat 50 spesies bony fish dan tiga spesies cumi-cumi. Lima spesies ikan diantaranya adalah Uroconger lepturus, Synaphobranchus kaupii, Apogon apogonides, Lethrinus crocineus, dan Lutjanus fulvus, dan tiga spesies cumi-cumi diantaranya adalah Sepioteuthis lessoniana, Sepia latimanus, dan Loligo duvauceli. Berdasarkan persentase jumlah dan berat yang dominan, Uroconger lepturus merupakan makanan utama bagi lumba-lumba dewasa (sudah mengalami kematangan organ reproduksi), sedangkan Apogon apogonides merupakan makanan utama bagi lumba-lumba yang masih kecil (belum mengalami kematangan organ

56 43 reproduksi). Hasil penelitian tersebut secara umum menggambarkan bahwa lumbalumba jenis Tursiops adancus yang ditemukan di Pantai Zanzibar hanya memakan chepalopoda dan ikan-ikan berukuran kecil hingga sedang yang berada di zona neritik. Ekologi dan tingkah laku dari ikan-ikan yang dimangsa oleh Tursiops aduncus mengindikasikan bahwa lumba-lumba tersebut lebih banyak makan di sekitar karang atau di perairan dengan substrat yang halus, dan dekat pantai. Tingkah laku travelling dilakukan oleh lumba-lumba untuk bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, maupun untuk mencari makan secara bergerombol (Karczmarski & Cockcroft 1999 in Karczmarski et al. 2000). Bearzi (2005) menyatakan bahwa tingkah laku yang sering dilakukan oleh Bottlenose dolphin di Teluk Santa Monica Bay, California adalah travelling dengan kecepatan rata-rata 4,3 km/hari. Tingkah laku travelling ini dilakukan oleh semua jenis lumba-lumba yang dijumpai. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa kawasan perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu jalur migrasi lumba-lumba Aspek pengelolaan Wilayah untuk mencari makan, bereproduksi, membesarkan calf, dan migrasi adalah habitat kritis bagi cetacean, khususnya jika wilayah tersebut juga digunakan bagi kepentingan manusia. Perlindungan habitat bagi makhluk hidup dengan pola distribusi yang luas ini paling baik dilakukan melalui pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem, dengan membuat jaringan Sea Mammal Sanctuary atau Daerah Perlindungan Laut (DPL) bagi mamalia laut, namun tetap memperhatikan kepentingan manusia (Hoyt 2005). Manajemen Berbasis Ekosistem merupakan suatu kebijakan untuk mengelola ekosistem, baik dari segi pemanfaatan maupun nilainya, dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk memelihara kesatuan ekologi walaupun dihadapkan pada ketidakpastian dan perubahan ekosistem secara alami. Pengelolaan terhadap aktivitas penangkapan ikan, polusi suara dan kimia, lalu lintas pelayaran, perubahan iklim, aktivitas industri dan pertanian yang menghasilkan limbah dibutuhkan untuk mengurangi dampak buruk dan untuk memelihara fungsi ekosistem (Hoyt 2005). Noor (2003) menyatakan bahwa berdasarkan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh perairan Kepulauan Seribu, maka sebagian wilayahnya ditetapkan

57 44 sebagai Taman Nasional Laut menurut SK Menteri Kehutanan No. 162/Kpts- II/1995, tanggal 25 Maret Tujuan pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (c) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem dapat diterapkan di kawasan perairan Kepulauan Seribu, dimana terdapat banyak gugusan karang yang menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan yang menjadi makanan bagi lumba-lumba. Morfologi Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah pantai, dengan perairan laut ditumbuhi karang yang membentuk atol maupun karang penghalang. Atol dijumpai hampir diseluruh gugusan pulau, kecuali Pulau Pari, sedangkan fringing reef dijumpai antara lain di Pulau Pari, Pulau Kotok, dan Pulau Tikus (Noor 2003). Pada saat penelitian, terlihat beberapa nelayan mengambil bongkahan terumbu karang untuk keperluan pelebaran luasan pulau. Jika hal ini terus menerus dilakukan, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem, dimana ikan-ikan yang berasosiasi dengan karang akan menurun jumlahnya. Seiring dengan menurunnya stok ikan, jumlah populasi lumba-lumba juga akan menurun karena keterbatasan makanan. Penangkapan ikan, wisata selam, jalur pelayaran, dan budidaya merupakan aktivitas-aktivitas yang sering dilakukan di kawasan Kepulauan Seribu. Seiring dengan berkembangnya aktivitas-aktivitas tersebut, ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah penduduk, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas perairan di Kepulauan Seribu jika tidak dikelola dengan baik. Jika kualitas lingkungan menurun, maka keseimbangan ekosistem pun akan terganggu. Berdasarkan tingkah laku lumba-lumba yang teramati selama penelitian, diduga bahwa Kepulauan Seribu merupakan jalur migrasi, feeding ground, dan nursery ground bagi lumba-lumba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kepulauan Seribu merupakan salah satu habitat kritis bagi lumba-lumba, sehingga lingkungannya harus dikelola dengan baik. Menurut Hoyt (2005) perlindungan terhadap habitat kritis melalui Manajemen Berbasis Ekosistem memberikan manfaat bagi seluruh pihak, baik untuk ekosistem maupun kepentingan manusia. Karena Kepulauan Seribu merupakan salah satu habitat kritis bagi lumbalumba, maka perlu dibentuk Daerah Perlindungan Laut (Sea Mammal Sanctuary).

58 45 Terdapat beberapa hal yang diperlukan dalam membangun Sea Mammal Sanctuary atau Daerah Perlindungan Laut bagi mamalia laut, yaitu (Hoyt 2005): 1. Penelitian ilmiah mengenai habitat kritis bagi Cetacea, baik dari segi ekologi, maupun segala sesuatu yang terdapat disana. 2. Masukan multidisiplin terkini untuk memilih, merencanakan, menerapkan, dan mengkaji ulang DPL. 3. Merencanakan pengelolaan berbasis ekosistem dan sosial-ekonomi. 4. Membangun hubungan baik dengan masyarakat lokal dan seluruh stakeholder yang berpartisipasi dalam pencapaian tujuan dari DPL. 5. Membuat batasan dan jaringan mengenai spesies, ekosistem beserta prosesnya yang akan dilindungi. 6. Membuat program edukasi yang interaktif, timbal balik, dan berkelanjutan bagi seluruh pihak terkait. 7. Mengelola pembuangan limbah yang dapat mengakibatkan polusi pada perairan. 8. Pengkajian dan evaluasi terhadap DPL yang sudah terlaksana secara periodik.

59 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jenis lumba-lumba yang dijumpai di Kepulauan Seribu adalah Delphinus delphis, Pseudorca crassidens, Stenella longirostris, dan Tursiops truncatus, dengan jumlah total sekitar 145 individu. Jenis lumba-lumba yang paling banyak dijumpai adalah Tursiops truncatus, sedangkan jenis yang paling sedikit dijumpai adalah Delphinus delphis. Lokasi perjumpaan dengan lumba-lumba paling sering terjadi di sekitar Pulau Gosong Congkak (Karang Congkak) dan Karang Lebar. Dilihat dari tingkah laku yang teramati, dapat dikatakan bahwa Kepulauan Seribu merupakan tempat mencari makan dan jalur migrasi bagi lumba-lumba. Selain itu, Kepulauan Seribu diduga sebagai tempat nursery ground bagi calf (bayi lumba-lumba) Saran Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar penelitian dilakukan pada masing-masing lokus pulau dengan mengaitkan antara faktor musim, faktor biologi (trophic level), faktor fisika (kedalaman, arus, dan gelombang), dan faktor kimia (suhu dan salinitas). Agar pola distribusi lumba-lumba dapat terlihat dengan jelas, maka disarankan untuk menggunakan metode tagging. Kamera underwater dan hydrophone juga sebaiknya digunakan untuk memperjelas tingkah laku yang dilakukan oleh lumba-lumba. Penelitian ini diharapkan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

60 DAFTAR PUSTAKA Ali S Pola distribusi lumba-lumba di Pantai Lovina Buleleng Bali [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm. Amir OA, Berggren P, Ndaro SGM, & Jiddawi NS Feeding ecology of The Indo-Pacific bottlenose dolphin (Tursiops aduncus) incidentally caught in the gillnet fisheries off Zanzibar, Tanzania. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 63: Anshori F Inventarisasi Cetacea di perairan Taman Nasional Komodo, Laporan praktek kerja lapangan. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. 41 hlm. Bearzi M Aspect of the Ecology and Behaviour of Bottlenose Dolphin (Tursiop truncatus) in Santa Monica Bay, California. Journal Cetacean Res. Management 7: Burgess EA Foraging ecology of Common Dolphins (Delphinus sp.) in The Hauraki Gulf, New Zealand [tesis]. Master of Science, Massey University. Albany, New Zealand. 142 p. Cañadas A, Sagarminaga R & Gracia-Tiscar S Cetacean distribution related with depth and slope in The Mediterranean waters off southern Spain. Deep Sea Researches I 49: Carwardine M Smithsonian handbook: Whales, dolphins, and porpoise. Dorling Kindersley Publishing, Inc. New York. 256 p. Corkeron PJ Aspect of the Behavioral Ecology of Inshore Dolphins Tursiops truncatus and Sousa chinensis in Moreton Bay, Australia. In: Leatherwood S. & Reeves RR. The Bottlenose Dolphin. Academic Press, Inc. San Diego, California, United States of America p. Djaelani A Kondisi terumbu karang dan kaitannya dengan proses eutrofikasi di Kepulauan Seribu [tesis]. Program Pascasarjana. Institu Pertanian Bogor. Bogor. Destari, A Studi karakter suara beberapa spesies Odontoceti di perairan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hlm. Evans WE Common dolphin: Delphinus delphis. [terhubung berkala]. =60. [17 Agustus 2010].

61 48 Grzimek B Mammals II. Grzimek s animal life encyclopedia. Volume II. Van Nostrand Reinhold Company. United State. 475 p. Hansen LJ California Coastal Bottlenose Dolphin. In: Leatherwood S. & Reeves RR. The Bottlenose Dolphin. Academic Press, Inc. San Diego, California, United States of America: Hendrian A Deskripsi pola frekuensi suara cetacean sub-ordo Odontoceti di perairan Alor dan Solor, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm. Hoyt E Marine Protected Area for whales, dolphins, and porpoises. A world handbook for cetacean habitat conservation. Earthscan, UK and USA. 492 p. Jefferson TA, Leatherwood S & Webber MA FAO Species identification guide: Marine mammals of the world. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy. 320 p. Karczmarski L, Cockcroft VG & McLachlan A Habitat use and preferences of Indo-Pacific Humpback Dolphins Sousa Chinensis in Algoa Bay, South Africa. Marine Mamal Science 16(1): Lusseau D Why do dolphins jump? Interpreting the behavioural repertoire of Bottlenose Dolphins (Tursiops sp.) in Doubtful Sound, New Zealand. Behavioural Processes 73: Mihardja DK & Pranowo WS Kondisi Perairan Kepulauan Seribu [terhubung berkala] Kondisi-Perairan-Kepulauan-Seribu. [24 Juli 2010]. Neumann M & Orams MB Behaviour and ecology of Common dolphin (Delphinus delphis) and the impact of tourism in Mercury Bay, North Island, New Zealand [terhubung berkala]. [10 Agustus 2010]. Noor A Analisis kebijakan pengambangan marikultur di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta [disertasi]. Program pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 188 hlm. Nybakken JW Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta hlm. Perrin WF Stenella longirostris. Mammalian Species. 599: 1 7. Priyono A Lumba-lumba di Indonesia. Jurusan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 26 hlm.

62 49 Reseck J Jr Marine biology, 2 nd ed. A Reston Book Prentice Hall. Eaglewood Cliff, New Jersey. Rice DW Marine mammals of the world. Systematics and distribution. Special publication number 4. Kansas: Society for Marine Mammalogy. Ross GJB Australian Government: Review of the conservation status of Australia s smaller whales and dolphin [terhubung berkala]. [26 Juli 2010]. Setiawan A Sebaran dan tingkah laku Cetacea di perairan sekitar Taman Nasional Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 61 hlm. Siahaninenia SR Kajian tingkah laku, distribusi, dan karakter suara lumbalumba di perairan Pantai Lovina, Bali, dan Teluk Kiluan, Lampung [tesis]. Program pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 96 hlm. Stacey PJ, Leatherwood S & Baird RW Pseudorca crassidens. Mammalian Species 456: Bottlenose Dolphin (Tursiops truncatus): Northern Gulf of Mexico continental shelf stock [terhubung berkala]. [12 Agustus 2010]. False Killer Whale [terhubung berkala]. [11 Agustus 2010]. Common dolphin (Delphinus delphis) in Galicia, NW Spain: distribution, abundance, life history and conservation [terhubung berkala]. [18 Agustus 2010].

63 LAMPIRAN

64 51 Lampiran 1. Gambar lumba-lumba Moncong Pseudorca crassidens Tubuh bagian dorsal Pseudorca crassidens Sirip dorsal Delphinus delphis Sirip dorsal Stenella longirostris Moncong Stenella longirostris Moncong Tursiops truncatus Sirip dorsal Tursiops truncatus

65 52 Lampiran 2. Jumlah dan jenis lumba-lumba yang ditemukan berdasarkan tanggal, waktu dan lokasi perjumpaan. Tanggal Waktu Lokasi Jenis Jumlah 10/5/ Gosong Mungu Delphinus delphis 6 Tursiops truncatus 5 Calf 1 11/5/ Karang Baronang Stenella longirostris 5 Tursiops truncatus 10 Tidak teridentifikasi 3 16/5/ Utara Pulau Payung Stenella longirostris 10 Tursiops truncatus 3 18/5/ Selat Pulau Pari Stenella longirostris 13 Calf 1 19/5/ Selatan Pulau Payung Grampus griseus 12 25/5/ Barat Pulau Kelapa Tursiops truncatus Pulau Opak dan Pulau Kaliage Besar Calf 3 Delphinus delpnis 2 Tursiops truncatus 12 Calf 1 26/5/ Selat antara Karang Congkak dan Karang Lebar Tursiops truncatus 8 27/5/ Timur Karang Congkak Tursiops truncatus 16 23/6/ Selat antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka Tidak teridentifikasi 4 24/6/ Timur Karang Lebar Tursiops truncatus 10 28/6/ Timur Karang Lebar Tursiops truncatus 8 3/7/ Timur Karang Congkak Tursiops truncatus 5

66 Lampiran 3. Persentase jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Jenis 10 Mei Mei Mei Mei Mei 2010 Kelimpahan 25 Mei 2010 Delphinus delphis 50% 8% Tursiops truncatus 41.7% 55.6% 23.1% 76% 100% 100% 100% 100% 100% Stenella longirostris 27.8% 76.9% 92.9% Grampus griseus 100% Calf 8.3% 7.1% 16% 26 Mei Mei Juni 2010 Tidak teridentifikasi 16.7% 100% 24 Juni Juni Juli 2010 Lampiran 4. Jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Jenis 10 Mei 11 Mei 16 Mei 18 Mei 19 Mei 25 Mei Delphinus delphis 6 2 Kelimpahan Tursiops truncatus Stenella longirostris Grampus griseus 12 Calf Tidak teridentifikasi 3 4 Jumlah Total Mei Mei Juni Juni Juni Juli

67 Lampiran 5. Kondisi permukaan air dan cuaca saat pengamatan Tanggal Waktu Lokasi Cuaca Kondisi permukaan Air 10/5/ Gosong Mungu Cerah Lumayan 11/5/ Karang Baronang Cerah Bagus 16/5/ Utara Pulau Payung Kecil Mendung Agak berombak 18/5/ Selat Pulau Pari Cerah Bagus 19/5/ Selatan Pulau Payung Mendung Berombak Barat Pulau Kelapa Cerah Bagus 25/5/ Timur Pulau Opak dan Selatan Pulau Kaliage Besar Cerah Bagus 26/5/ Selat antara Karang Congkak dan Karang Lebar Cerah Lumayan 27/5/ Timur Karang Congkak Mendung Agak berombak 23/6/ Selat antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka Cerah Bagus 24/6/ Timur Karang Lebar Cerah Agak berombak 28/6/ Timur Karang Lebar Cerah Berombak 3/7/ Timur Karang Congkak Mendung Agak berombak 54

68 55 Lampiran 6. Persentase jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan selang waktu perjumpaan Jenis Kelimpahan Delphinus delphis 10.5% Tursiops truncatus 11.1% 82.9% 33.3% 66.7% Stenella longirostris 85.2% 16.7% Grampus griseus 40.0% Calf 3.7% 6.6% Tidak teridentifikasi 10.0% 33.3% Lampiran 7. Jumlah lumba-lumba berdasarkan jenis dan selang waktu perjumpaan Jenis Kelimpahan Delphinus delphis 8 Tursiops truncatus Stenella longirostris 23 5 Grampus griseus 12 Calf 1 5 Tidak teridentifikasi 3 4 Jumlah total Lampiran 8. Nilai Indeks Individu berdasarkan jenis Jenis Indeks Individu (ind/hari perjumpaan) Delphinus delphis 4 Tursiops truncatus 9 Stenella longirostris 9 Pseudorca crassidens 12 Calf 2 Tidak teridentifikasi 3

69 56 Lampiran 9. Nilai Indeks Individu berdasarkan lokasi perjumpaan Lokasi Perjumpaan Indeks Individu (ind/hari perjumpaan) Gosong Mungu 12 Karang Baronang 18 Pulau Payung 13 Pulau Pari 14 Pulau Payung 12 Pulau Kelapa, Pulau Opak, dan Pulau Kaliage Besar 25 Selat Karang Congkak dan Karang Lebar 8 Timur Karang Congkak 11 Timur Karang Lebar 9 Selat antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka 4 Lampiran 10. Contoh perhitungan Indeks Individu Indeks Individu untuk lumba-lumba jenis Delphinus delphis Jumlah total individu lumba-lumba jenis Delphinus delphis adalah 8 individu, dimana 6 individu ditemukan pada tanggal 10 Mei 2010 dan 2 individu lain ditemukan pada tanggal 25 Mei 2010 sehingga nilai Indeks Individu untuk lumbalumba jenis Delphinus delphis adalah Indeks Individu h h = = 4 individu/hari perjumpaan Indeks Individu untuk lumba-lumba di Timur Karang Lebar Jumlah perjumpaan dengan lumba-lumba di Timur Karang Lebar adalah 2 kali, yaitu pada pada tanggal 24 Juni 2010 (10 individu) dan pada tanggal 28 Juni 2010 (8 individu) sehingga nilai Indeks Individu untuk lumba-lumba yang ditemukan di Timur Karang Congkak adalah Indeks Individu di Timur Karang Congkak = = 9 individu/hari perjumpaan

70 Peta rute perjalanan setiap hari pengamatan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara 06 00 40 dan 05 54

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Wilayah Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara 06 00 40 dan 05 54 40 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 5 45' 9 8 7 5 44' 6 5 43' 5 42' 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa pulau di kawasan Kepulauan Seribu (P. Karang Congkak, P. Karang Lebar), Jakarta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

Family Neobalaenidae. Ordo Odontoceti

Family Neobalaenidae. Ordo Odontoceti Family Neobalaenidae Paus Kerdil Ordo Odontoceti Morfologi: Seluruh anggota sub-ordo tidak memiliki gigi dengan jumlah yang bervariasi (2-260 buah) Rangka Odontoceti asimetris bilateral di daerah dahi

Lebih terperinci

Seperti mamalia pada umumnya, mamalia laut memiliki ciri:

Seperti mamalia pada umumnya, mamalia laut memiliki ciri: Mamalia laut Seperti mamalia pada umumnya, mamalia laut memiliki ciri: Berdarah panas Bernafas dengan paru-paru Melahirkan dan menyusui Memiliki rambut (sebagian besar terdapat pada bagian pipi) Memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Jenis dan lokasi perjumpaan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat beberapa lokasi yang diketahui sebagai jalur aktivitas dari mamalia. Lokasi

Lebih terperinci

KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA 1 KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA MEGA DEWI ASTUTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Perairan Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong. Raja

Lebih terperinci

INVENTARISASI Cetacea DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTARISASI Cetacea DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR INVENTARISASI Cetacea DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN Oleh: FAJAR ANSHORI K2D 000 287 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km 2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin,

Lebih terperinci

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh: Ayu Destari C64102022 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA DENNY WAHYUDI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam

Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam Eckhow Adrian Ian Ilustrasi dan Warna : Rahmat M. H.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian umum cetacean Lumba-lumba hidung botol ( Tursiops sp.)

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian umum cetacean Lumba-lumba hidung botol ( Tursiops sp.) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian umum cetacean Cetacean merupakan istilah golongan mamalia laut yang masuk kedalam ordo Cetacea.Ordo Cetacea mempunyai dua sub-ordo yaitu Mysticeti dan Odontoceti, sub-ordo Mysticeti

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data dan Literatur Data dan informasi yang digunakan untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain : Website - www.enchantedlearning.com

Lebih terperinci

Ordo Pinnipedia. Ordo Pinnipedia

Ordo Pinnipedia. Ordo Pinnipedia Ordo Pinnipedia Terdiri dari 3 famili: 1. Phocidae: True seals (anjing laut sejati) 2. Otariidae: Fur seals & Sea lions (anjing laut berbulu dan singa laut) 3. Odobenidae: Walrus Makanan utama Pinniped:

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil pengamatan lumba-lumba Hasil pengamatan lumba-lumba ditunjukkan dalam Tabel 9. Dari pengamatan lumba-lumba di dua lokasi, total waktu yang dibutuhkan per hari adalah ±

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4 METODOLOGI PENELITIAN

4 METODOLOGI PENELITIAN 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu di Perairan Pantai Lovina Kabupaten Buleleng Bali dan di Perairan Teluk Kiluan Kabupaten

Lebih terperinci

STUDI VARIASI KOMPOSISI CETACEA DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI VARIASI KOMPOSISI CETACEA DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR STUDI VARIASI KOMPOSISI CETACEA DI PERAIRAN TAMAN NASIONAL KOMODO, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR SKRIPSI Oleh: FAJAR ANSHORI K2D 000 287 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

6/7/2012. Mamalia Laut adalah hewan menyusui yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut.

6/7/2012. Mamalia Laut adalah hewan menyusui yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut. Mamalia Laut adalah hewan menyusui yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut. 1 Berdarah Panas Memiliki Rambut Melahirkan anak Menyusui Kapasitas otak besar, organ pendengaran lebih berkembang

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan Lumba-lumba Hasil pengamatan lumba-lumba ditunjukan oleh Tabel 5. Pengamatan lumba-lumba di perairan Pulau Karang Congkak dan Perairan Pulau Karang Lebar

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA

KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

1. DUGONG BUKAN PUTRI DUYUNG

1. DUGONG BUKAN PUTRI DUYUNG 1. DUGONG BUKAN PUTRI DUYUNG Istilah dugong sering dikacaukan dengan istilah lain seperti ikan duyung dan putri duyung. Dalam khasanah ilmiah, istilah dugong adalah satwa mamalia yang hidup di perairan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus Bertepatan dengan perayaan hari paus internasional yang jatuh pada Selasa (30/8/2016), masyarakat dunia ditantang untuk bisa menjaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

Kemampuan khusus Cetacea

Kemampuan khusus Cetacea Kemampuan khusus Cetacea Reproduksi: Cetacean bereproduksi dengan cara vivipar (melahirkan), setelah melahirkan kelompok betina saling menjaga bayi yang baru lahir, agar tidak tenggelam dan bisa ke perukaan

Lebih terperinci

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1 Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Peta Konsep Ciri khusus mahkluk hidup 1. Mencari makan 2. Kelangsungan hidup 3. Menghindari diri dari Hewan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

KEBERADAAN PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR *)

KEBERADAAN PESUT (Orcaella brevirostris) DI SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR *) Keberadaan Pesut (Orcaella brevirostris) di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (Oktaviani, D., et al.) ABSTRAK Pesut atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Irrawaddy dolphin dengan nama ilmiah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

Killer Whale (Paus Pembunuh) Intan Aghniya Safitri Irani Maya Safira

Killer Whale (Paus Pembunuh) Intan Aghniya Safitri Irani Maya Safira Killer Whale (Paus Pembunuh) Intan Aghniya Safitri Irani Maya Safira Paus pembunuh (Orcinus orca) atau orca merupakan salah satu jenis ikan yang paling mudah dijumpai dan paling besar distribusinya dari

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

Beruang Kutub. (Ursus maritimus) Nana Nurhasanah Nabiilah Iffatul Hanuun

Beruang Kutub. (Ursus maritimus) Nana Nurhasanah Nabiilah Iffatul Hanuun Beruang Kutub (Ursus maritimus) Nana Nurhasanah 1417021082 Nabiilah Iffatul Hanuun 1417021077 Merupakan jenis beruang terbesar. Termasuk kedalam suku Ursiidae dan genus Ursus. Memiliki ciri-ciri sebagai

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 1. Cara adaptasi tingkah laku hewan mamalia air yang hidup di air laut

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Pulau Untung Jawa berada pada posisi ,21 Lintang Selatan dan

V. GAMBARAN UMUM. Pulau Untung Jawa berada pada posisi ,21 Lintang Selatan dan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Untung Jawa berada pada posisi 05 0 58 45,21 Lintang Selatan dan 106 0 42 11,07 Bujur Timur. Wilayah Kelurahan Pulau Untung Jawa adalah salah satu

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER VI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kedalaman laut dan salinitas air laut. 2.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 28 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sebuah kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta dimana sebelumnya menjadi salah

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT Mujiyanto, Riswanto dan Adriani S. Nastiti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Jl. Cilalawi No. 01 Jatiluhur,

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA

KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA KAJIAN TINGKAH LAKU, DISTRIBUSI DAN KARAKTER SUARA LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN TELUK KILUAN LAMPUNG STANY RACHEL SIAHAINENIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BULELENG BALI. Stany Rachel Siahainenia *)

TINGKAH LAKU LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BULELENG BALI. Stany Rachel Siahainenia *) TINGKAH LAKU LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BULELENG BALI Stany Rachel Siahainenia *) *) Staf pengajar Univ.Pattimura E-mail : Stanyrachel_m@yahoo.com Abstract : About one-third of dolphin species

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Perairan Kabupaten Raja Ampat Secara administratif, Kabupaten Raja Ampat terletak pada (BPS Raja Ampat 2011, dalam Agustina, 2012): Sebelah Utara : Samudera Pasifik, berbatasan

Lebih terperinci

RIBBON SEAL (ANJING LAUT PITA) HISTRIOPHOCA FASCIATA. Di susun oleh: Nandia Putri Aulia Nida Nurhanifah

RIBBON SEAL (ANJING LAUT PITA) HISTRIOPHOCA FASCIATA. Di susun oleh: Nandia Putri Aulia Nida Nurhanifah RIBBON SEAL (ANJING LAUT PITA) HISTRIOPHOCA FASCIATA Di susun oleh: Nandia Putri Aulia 1417021083 Nida Nurhanifah 1417021084 KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK DAN TAKSONOMI Merupakan spesies endemik Pasifik Utara.

Lebih terperinci

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org LAMUN Project Seagrass Apa itu lamun? Lamun bukan rumput laut (ganggang laut), tetapi merupakan tumbuhan berbunga yang hidup di perairan dangkal yang terlindung di sepanjang pantai. Lamun memiliki daun

Lebih terperinci

3. Diantara pertnyataan berikut ini yang merupakan contoh adaptasi tingakah laku adalah...

3. Diantara pertnyataan berikut ini yang merupakan contoh adaptasi tingakah laku adalah... 1. SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 21. KELANGSUNGAN HIDUP MAKHLUK HIDUPLatihan Soal 21.1 Perhatikan gambar berikut! Image not found http://primemobile.co.id/assets/js/plugins/kcfinder/upload/image/dddd6.jpg

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

JENIS DAN DISTRIBUSI LUMBA - LUMBA DI PERAIRAN TELUK KILUAN LAMPUNG OLEH : STANY R. SIAHAINENIA *) dan ISNANIAH **)

JENIS DAN DISTRIBUSI LUMBA - LUMBA DI PERAIRAN TELUK KILUAN LAMPUNG OLEH : STANY R. SIAHAINENIA *) dan ISNANIAH **) JENIS DAN DISTRIBUSI LUMBA - LUMBA DI PERAIRAN TELUK KILUAN LAMPUNG OLEH : STANY R. SIAHAINENIA *) dan ISNANIAH **) Abstract About one-third of dolphin species in the world is living in Indonesia, including

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari

Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari Bab Satu Pendahuluan Latar Belakang Masalah Kampung Warsambin adalah salah satu kampung yang terletak di distrik Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Sebelum mengalami pemekaran distrik, Teluk Mayalibit

Lebih terperinci

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA Materi Penyebaran Komunitas Fauna di Dunia Keadaan fauna di tiap-tiap daerah (bioma) tergantung pada banyak kemungkinan yang dapat diberikan daerah itu untuk memberi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Kegunaan Kerangka Pemikiran.

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan Kegunaan Kerangka Pemikiran. DAFTAR ISI BAB Hlm DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang... 1.2 Identifikasi Masalah...... 1.3 Tujuan...... 1.4 Kegunaan.. 1.5 Kerangka Pemikiran. xi

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maka lautan merupakan satu-satunya tempat kumpulan organisme yang sangat. besar di planet bumi (Resosoedarmo, dkk, 1990).

I. PENDAHULUAN. maka lautan merupakan satu-satunya tempat kumpulan organisme yang sangat. besar di planet bumi (Resosoedarmo, dkk, 1990). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permukaan planet bumi ditutupi oleh air asin kurang lebih 71 persen dengan kedalaman air rata-rata 3,8 km 2 dan volume sebesar 1370 X 10 6 km 3. Volume air yang besar

Lebih terperinci