BAB II PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL. tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL. tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana."

Transkripsi

1 BAB II PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL A. Menurut Ketentuan Di Dalam KUHP Ketertarikan orang dewasa terhadap seks yang menempatkan anak sebagai objek perangsang dan pelampiasan libodi di dalam KUHP dikategorikan sebagai tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi: 61 Barang siapa yang bersetubuh dengan peremuan yang bukan istrinya, sedangkan diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwaa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa hukum pidana berusaha memberikan perlindungan normatif terhadap anak dari kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan yang berasal dari orang dewasa. Diancam selama 9 tahun apabila memperkosa anak yang belum cukup dewasa belum cukup umur (di bawah 15 tahun) atau diperkirakan masih belum cukup umur itu artinya KUHP menilai persetubuhan antara orang dewasa dengan anak akan berdampak merusak secara fisik dan psikologi anak. Karena dampaknya yang merusak inilah KUHP kemudian memberikan penilaian bahwa tindakan ini adalah tindakan jahat dan harus dihukum. Secara biologis orang yang belum dewasa atau orang yang masih anak-anak adalah orang yang belum memiliki kematangan dan kesiapan seksual. Itu artinya anak belum memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Oleh karena itu hubungan 61 R. Soesilo, Op. Cit hal 211.

2 seksual orang dewasa terhadap anak, berdasarkan temuan yang ditunjukan oleh Jeral Diamond tersebut, adalah hubungan seksual yang hanya mencari kenikmatan semata, pencarian kenikmatan seksual yang telah melanggar norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 62 Pasal 287 tersebut merupakan delik aduan, bahwa walaupan dilarang tindakan itu baru dijatuhi hukuman pidana jika adanya laporan kepada pihak berwajib seperti yang disebutkan dalam pasal 287 ayat (2) yang berbunyi: penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya perempuan itu belum 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan pasal 294. Menurut pasal 291 KUHP 63, ancaman hukuman diperberat menjadi 12 tahun jika mengakibatkan luka parah dan 15 tahun, jika mengakibatkan mati. Sedangkan bunyi pasal 294 adalah sebagai berikut: Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau sebawahannya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu: 1. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. 64 Unsur subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur barang siapa. Barang siapa 62 Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal R. Soesilo, Op. Cit, Pasal 291 ayat (1) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289 dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman pejara selama-salanya dua belas tahun. Dan Pasal 291 ayat (2) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 279 dan 290 itu menyebabkan orang mati, dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. 64 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) hal 9

3 dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat. 2. Unsur Objektif Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: 65 a. Perbuatan manusia, berupa: 1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; 2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. b. Akibat (Result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c. Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. 65 Ibid., hal 9.

4 Berdasarkan pasal 291 dan pasal 294 tersebut, dapatlah dipahami, bahwa delik aduan dapat berubah menjadi delik murni apabila: 66 a) Anak berada dibawah usia 12 tahun b) Berada diatas usia 12 tahun atau diatas usia 15 tahun dengan syarat jika hubungan seksual itu menyebabkan kematian c) Jika hubungan seksual tersebut dilakukan orang tua kepada anak kandungnya sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, atau anak yang dipercayakannya untuk dididik dan dirawat. Secara umum larangan perkosaan terhadap kaum perempuan (baik itu dewasa maupun anak-anak) diatur di dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Karena usia korban perkosaan dalam pasal 285 KUHP itu tidak disebutkan, maka itu artinya ketika orang dewasa melakukan tindak pemerkosaan terhadap anak, maka tindakan itu akan masuk dalam kategori delik aduan dirumuskan di dalam pasal 287 ayat (2) KUHP. Menurut pasal 289 yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. 66 Ibid,. Hal

5 Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. 67 B. Menurut Ketentuan Di Luar KUHP j. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa maka anak harus mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial. Pasal 9 yang berbunyi: 68 1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. 2) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahaatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. 3) Selain mendapatkan hak anak yang ayat (1) dan (2), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak memdapatkan pendidikan khusus. 67 Supra catatan kaki nomor Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

6 Pasal 15, disebutkan hak perlindungan untuk anak yang berbunyi: 69 setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungn dari: a. Penyalahgunaan dari kegiatan politik; b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan; dan f. Kejahatan seksual. Di dalam pasal 1 butir 2 di jelasksan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, jawaban siingkatnya adalah oranga tua, pemerintah dan negara 70. Yang dijelaskan lebih rinci dalam pasal 20, yang berbunyi: Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindugan anak. Dalam undang-undang Perlindungan Anak diatur tentang perlindungan khusus yang diatur dalam pasal 59 yang berbunyi: 1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. 2) Perlindungan khusus kepada anak ayat (1) diberikan keapada: a. Anak dalam situasi darurat; b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat akdiktif lainnya; 69 Ibid., 70 Bambang Waluyo, Op.cit,. Hal 71.

7 f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas; m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyipang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya. Perlindungan khusus yang diatur dalam pasal 59, perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilaksanakan melalui pasal 66, yang berbunyi: Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui: a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual dilakukan melalui upaya, dilaksanakan melalui pasal 69 A yang berbunyi: a. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; b. Konseling tentang bahaya terorisme; c. Rehabilitasi sosial; dan d. Pendampingan sosial.

8 Pasal 76 D mengatur tentang larangan, yang berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 76 E yang berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Pasal mengatur tentang sanksi pidana dan denda dan terdapat pula sanksi tambahan, yang berbunyi: 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah); 2) Ketentuan pidana sebagimana ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain; 3) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 4) Selain terhadap pelaku sebagaiman yang ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana karena juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dimaksud dalam pasal 76D; 5) Dalam hal tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; 6) Selain dikenal pidan yang ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 71 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

9 7) Terhadap pelaku sebagaiman ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kemia dan pemasangan alat pendeteksi elekttronik; 8) Tindakan ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak. Sebagaimana yang pasal 81 diatas terdapat pidana tambahan yaitu berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi kimia yang baru diatur dengan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Pasal 82 mengatur sebagai berikut: 72 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah); 2) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 3) Selain terhadap pelaku yang ayat (2), pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dimaksud dalam pasal 76E; 4) Dalam hal tindak pidana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, dipidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 5) Selain dikenai pidana ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 6) Terhadap pelaku sebaagaimana ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik; 72 ibid

10 7) Tindak ayat (6) diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak. Dalam hal pidana tamabahan pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat pelacak elektronik juga diatur mengenai rehabilitasi yang diatur didalam pasal 82 ayat (6), yang berbeda dengan pasal 81 yang mengatur tentang kebiri kimia yang merupakan pidana tambahan yang baru diatur didalam undangundang perlindungan anak. Tabel Perbandingan Undang-Undang perlindungan anak No Undang-Undang Nomor 23 Tahun Pasal 1 angka 15 perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan pada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan negan hukum, anak dari kelompok minoritas dn terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisikdan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 angka 16, Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hhukum. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Pasal 81 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah); 2) Ketentuan pidana sebagimana ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu

11 muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain; 3) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 4) Selain terhadap pelaku sebagaiman yang ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana karena juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana

12 dimaksud dalam pasal 76D; 5) Dalam hal tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; 6) Selain dikenal pidan yang ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 7) Terhadap pelaku sebagaiman ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kemia dan pemasangan alat

13 2. Pasal 59 pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak korban kekerasan baik ffisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran Pasal 15, setiap anak barhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam peperanga;dan f. Kejahatan seksual. pendeteksi elekttronik; 8) Tindakan ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak Pasal 81 A 1) Tindakan dimaksud dala pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok; 2) Pelaksanaan tindakan ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum, sosial, dan kesehatan; 3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan

14 3. Pasal 66, 1) perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. 2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui: a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dalam penghapusan dan eksploitasi Pasal 54 1) Anak didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib mendapatakan perllindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. 2) Perlindungan ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat peerintah, dan/atau masyarakat. rehabilitasi; 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasa 82 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp , 00 (lima milyar rupiah); 2) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama,

15 terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak dimaksud dalam ayat (1). pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 3) Selain terhadap pelaku yang ayat (2), pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dimaksud dalam pasal 76E; 4) Dalam hal tindak pidana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, dipidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1);

16 4. Pasal 69 1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerassan dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: a. Menyebarluaskan dan sosialisasi ketentuan peraturan Pasal 59 1) Pemerintah, pemerintah daerah,dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada 5) Selain dikenai pidana ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 6) Terhadap pelaku sebaagaimana ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik; 7) Tindak ayat (6) diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak. Pasal 82 A 1) Tidakan dimaksudkan dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok; 2) Pelaksanaan

17 perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakuan, atau turut serta melakukan kekerasan dimaksud dalam ayat (1). anak. 2) Perlindungan khusus pada anak sebagaiman ayat (1) diberikan kepada: a. Anak dalam situasi darurat; b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahguna n narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban fornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagagan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. Anak korban tindakan ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggaraka n urusan pemerintah di bidang hukum, sosial, dan kesehatan; 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

18 5. Pasal 81 1) Setiap orang dengan sajanga melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana dimaksud dalam ayat (1) berlaku kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas; m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya. Pasal 59A, Perlindungan khusus bagi anak dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya: a. Penangan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial serta pencengahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b. Pendampingan psikologis pada saat pengobatan sampai pemulihan;

19 pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 6. Pasal 82, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas0 tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. Pasal 66, Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui: a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemmberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat apekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

20 8. Pasal 88, setiap orang yang mengeploitasi ekonomi dan/atau seksual anak dengan maksud untuk menuntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 69 A Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; b. Konseling tentang bahaya terorisme; c. Rehabilitasi sosial; dan d. Pendampingan sosial. 9. Pasal 76 D Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 76 E Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

21 10. Pasal 81 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah); 2) Ketentuan pidana sebagimana ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain; 3) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani

22 perliinidungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1); 11. Pasal 82 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp , 00 (lima milyar rupiah); 2) Dalam hal tindak pidana ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani

23 perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana ayat (1). k. Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-undang ini dibuat sebagai upaya mencegah, menanggulangi dan mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila rumah tangga bahagia, maka lingkugan masyarakat dan bangasa tentu bahagia serta negara menjadi aman dan damai. 73 Pasal 4 menyatakan tujuan penghapusan kekerasan yaitu: 74 a) Mencengah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera Larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 5 yang menyatakan bahwa: Tangga. 73 Bambang Waluyo, Op. Cit,Hal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

24 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan fsikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Pasal 8 menyatakan bahwa: Kekerasan seksual yang pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam linigkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Secara khusus, korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak-hak yang diimplementasikan dalam pasal 10, yaitu: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Pelayanan bimbingan rohani. Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan suatu kewajiban masyarat yang terdapat pada pasal 15, yaitu: Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam ruamah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. Mencengah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan pada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapapan perlindungan.

25 Hal penting lainnya yang perlu dijabarkan berkaitan hak korban, yakni adanya perlindungan sementara, pelayanan kesehatan, pekerja sosial, bimbingan rohani dan sebagainya. 1. Perlindungan sementara adalah perlindungan langsung yang diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan ini wajib diberikan kepolisian kepada korban yang diatur dalam Pasal 16, yaitu: 1) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban; 2) Perlindungan sementara ayat (1) diberikan palinga lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani; 3) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 2. Pelayanan kesehatan, dalam Pasal 21 mengatur ketika korban memperoleh perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka tenaga kesehatan diharuskan untuk: a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti Pelayanan pekerja sosial, seperti yang Pasal 22 dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; 75 Ibid,. Hal 90

26 b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; c. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. 2) Pelayanan pekerja sosial ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. 4. Pelayanan bimbingan rohani, melalui Pasal 24, dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. Pasal 27, menyatakan: Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 29 menjelaskan tentang permohonan untuk memperoleh perlindungan dapat diajukan oleh: a. Korban atau keluarga korban; b. Teman korban; c. Kepolisian; d. Relawan pendampinga; atau e. Pembimbing rohani. Ketentuan pidana mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah tanggan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Pasal 46 yang menyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dimaksud didalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara palinga

27 lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (tiga puluh eman juta rupiah). Pasal 47, yang berbunyi: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakkukan hubungan seksual dimaksud dalam pasal 8 b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima balas) tahun atau denda paling sedikit Rp ,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48, menyatakan bahwa: Dalam hal perbuatan dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan koraban dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, megalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp ,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). Seperti yang diketehui bahwa korban berasal dari golongan dan strata yang heterogen pendidikannya, status sosial, suku, agama. 76 pelakunya berasal dari lingkup keluarga/rumah tangga sendiri dimana seharusnya anak menperoleh rasa aman, tempat anak mendapat perlindungan, pendidikan. l. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Didalam bagian menimbang undang-undang perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki perana yang penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan 76 Ibid,. Hal 87

28 saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana. Dalam kasus kekerasan seksual sering kali pelakunya adalah orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pelakunya telah dikenal sebelumnya oleh korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali atau bisa jadi pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga. Menurut Rita Serena Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia adalah ayah korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum. Orang tua canderung menjaga korban untuk tidak menjalani proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk membantu karena takut kepada suami dan keluarganya. Padahal dalam proses hukum seseorang anak yang berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun harus didampingi orang tua atau wali. 77 Situasi diperparah dengan ideologi jaga praja, atau menjaga ketat kerahasian keluarga khususnya dalam budaya jawa membuka aib dalam keluarga berarti membuka aib diri sendiri, sehingga membuat situasi anak korban kekerasan semakin memperihatiankan karena tidak mendapatakan perlindungan atas haknya. Di dalam Pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 7A menyatakan tentang hak saksi dan korban, yaitu: pasal 5 menyatakan: 1) Saksi dan korban berhak atas: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilh dan menuntut dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 77 Mein Rukmini, op.cit. hal 1-2.

29 c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya; j. Mendapat identitas baru; k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru; m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasehat hukum; o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau p. Mendapat pendamping 2) Hak ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK; 3) kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu dimasud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. Pasal 6 menyatakan: 1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak dimaksud dalam pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. Bantuan medis; dan b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. 2) Bantuan ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK. Pasal 7 menyatakan bahwa: 1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, juga berhak atas kompensasi; 2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK; 3) Pelaksanaan pembayaran kompensasi ayat (2) diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

30 4) Pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme. Pasal 7A menyakan bahwa: 1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Ganti kerugaian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. 2) Tindak pidana ayat (1) ditetpkan dengan keputusan LPSK; 3) Pengajan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK; 4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya; 5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep, LPSK dapat mengajukan penetapan; 6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban. Tata cara memperoleh perlindungan diataur dalam Pasal 29 yang menyatakan bahwa: 1) Tata cara memperoleh perlindungan dimaksud dalam Pasal 5, yaitu sebagai berikut: a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksan terhadap permohonan huruf a; dan c. Keputusan LPSK diberikan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. 2) Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan permohonan. Ketentuan pidana mengenai tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38, yaitu: Pasal 37 menyatakan bahwa:

31 1) Setiap orang yang memaksaan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, hiruf i, huruf j, huruf k, huruf l sehigga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah); 2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah); 3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 38 menyatakan bahwa: Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korba secara melawan hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf k, huruf l, huruf p, pasal 6 ayat (1), pasal 7 ayat (1) atau pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). m. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam bagian menimbang didalam peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang penyelenggara dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Didalam Bab II peraturan pemerintah ini mengatur tentang penyelenggaraan pemulihan yang diatur dalam beberapa pasal yaitu: Pasal 2 menyatakan bahwa: 1) Penyelanggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-

32 masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemilihan korban; 2) Fasilitas sebagaiman ayat (1) meliputi: a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. Tenaga yang ahli dan profesional; c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban. 3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) dan ayat (2). Pasal 3 menyatakn bahwa: 1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender; 2) Pedoman pemulihan korban sebagaiman ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 4 menyatakan bahwa: Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi: a. Pelayanan kesehatan; b. Pendampingan korban; c. Konseling; d. Bimbingan rohani; dan e. Resosialisasi. Pasal 5 menyatakan bahwa: 1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga keseshatan di sarana milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban; 2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan peulihan diri korban; 3) Pemberi konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologi korban; 4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; 5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.297, 2014 SOSIAL. Perlindungan Anak. Kewajiban. Tanggung Jawab. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.99, 2016 SOSIAL. Perlindungan Anak. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882). PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM. A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP)

BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM. A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP) BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP) Anak mempunyai kedudukan strategis dalam bangsa, negara,

Lebih terperinci

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. IPDA Yospin Ngii 2. AIPDA Yan Aswati 3. BRIPTU Eva Ratna Sari 4. BRIPDA Luci Armala Wardani 5. BRIPDA Ida Ayu Sri Dian Lestari 6. BRIPDA Widya Windiarti 7. BRIPDA Oktaviana Siburian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3) Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari penelantaran, diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi dan/atau seksual, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, perlakuan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

[

[ PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang No.237, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Perlindungan Anak. Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang No.237, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Perlindungan Anak. Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Bentuk perlindungan terhadap masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMANDAU,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Terdapat beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang masih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING) BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING) A. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) 38 1. Pasal 285 KUHP Pasal ini berbunyi:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK, SALINAN BUPATI DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 1. Pertanyaan : Negara Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan kepada anak yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

- 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

- 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DOMPU, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BLITAR, Menimbang : a. bahwa Kota Blitar memiliki

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK Menimbang Mengingat : : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, a. bahwa anak harus mendapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H Tim Abdimas Pusat Studi Gender UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG Abstrak Anak adalah generasi

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG { PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 2 TAHUN 2013 SERI C NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Masalah kekerasan dalam rumah tangga pertama kali dibahas dalam

Lebih terperinci

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASER, Menimbang : Mengingat a. bahwa anak

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR D. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296 Pasal 289 KUHP menentukan: 14 Barang siapa

Lebih terperinci