Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang. Nuniek Sri Widyanti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang. Nuniek Sri Widyanti"

Transkripsi

1 Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Nuniek Sri Widyanti

2 PENDAHULUAN

3 Perkembangan Struktur Ruang No. Kecamatan RUTRD RTRW Kebijakan Struktur Tata Ruang Kegiatan Utama yang dikembangkan Kebijakan Struktur Tata Ruang Kegiatan Utama yang dikembangkan 1 Bangil Pusat SSWP Bangil 2 Kraton Wilayah penunjang SSWP Bangil 3 Rejoso Wilayah penunjang SSWP Gondang Wetan 4 Lekok Wilayah penunjang SSWP Grati Pertanian Pusat SSWP Bangil perdagangan dan jasa, pendidikan, industri Pertanian Wilayah Penunjang perdagangan dan jasa, SSWP Bangil pendidikan, industri Tanaman Pangan Peternakan Wilayah Penunjang SSWP Gondang Wetan Wilayah Penunjang SSWP Grati industri, perikanan, pertanian dan peternakan Perikanan, peternakan, Perdagangan dan Jasa, dan Perkebunan 5 Nguling Wilayah penunjang SSWP Grati Peternakan Wilayah Penunjang SSWP Grati Perikanan, peternakan, Perdagangan dan Jasa, dan Perkebunan

4 Konversi Hutan Mangrove di Pasuruan Pesisir Kabupaten Pasuruan memiliki kesesuaian untuk tanaman mangrove, namun seiring perkembangan struktur ruang Kabupaten Pasuruan ditemui adanya kegiatan konversi lahan mangrove Kawasan pantai berhutan bakau di Kabupaten Pasuruan rawan terjadi penebangan liar, alih fungsi lahan, dan pencemaran air laut yang diakibatkan pembuangan limbah industri.. Hutan bakau yang rusak di Kabupaten Pasuruan seluas 69,33 persen dari 476 hektare. Seluas 125 hektare rusak berat, 205 hektare rusak ringan, dan hanya 146 hektare yang dalam kondisi bagus

5 Dampak Konversi Hutan Mangrove Dari segi ekonomi, konversi hutan mangrove berdampak terhadap penurunan hasil perikanan. Pada tahun 2006 total produksi perikanan laut sebesar 9.817, 51 ton, pada tahun 2007 menurun menjadi 9541,35 ton dan pada tahun 2008 kembali menurun menjadi 9.409,27 ton seperti menurunnya kualitas lingkungan pantai, meningkatnya laju pencemaran dan sedimentasi, semakin langkanya sumber benih alam, menyusutnya jumlah dan jenis hasil tangkapan, dan semakin jauhnya intrusi air laut ke daratan Upaya yang pernah dilakukan Pemerintah (dinas kehutanan, DKP, BLH) melakukan program rehabilitasi mangrove. Namun upaya yang telah dilakukan kurang berhasi

6 Konversi hutan mangrove berdampak terhadap penurunan hasil perikanan dan terganggunya ekosistem di pesisir. Konversi hutan mangrove sudah terjadi sejak tahun 1990 hingga saat ini seiring dengan perkembangan struktur ruang. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh perkembangan struktur ruang terhadap konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan. Pertanyaan Penelitian: Apa Saja Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang?

7 merumuskan faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang. Menganalisis karakteristik konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan. Menganalisis model konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang. Simulasi model untuk mencari faktor-faktor konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang.

8 Ruang Lingkup Wilayah Wilayah penelitian adalah kecamatan-kecamatan di pesisir Kabupaten Pasuruan yang terdiri dari 5 kecamatan antara lain; Kecamatan Bangil, Kraton, Rejoso, Lekok, dan Nguling (Gambar 1.1) dengan batas-batas administrasi sebagai berikut: Sebelah Utara : Selat Madura dan Kabupaten Sidoarjo Sebelah Barat : Kecamatan Beji, Gempol, Kabupaten Mojokerto Sebelah Selatan : Kecamatan Rembang, Wonorejo, Gondangwetan, Grati, Kejayan Sebelah Timur : Kabupaten Probolinggo.

9 Peta Orientasi Wilayah Penelitian

10 Latar belakang Konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan telah terjadi sejak tahun 1990 dan mencapa lebih dari 60 % dari total luas hutan mangrove Upaya yang ada belum memberikan hasil optimal Konversi hutan mangrove berdampak terhadap penurunan hasil perikanan dan terganggunya ekosistem di pesisir Rumusan masalah Konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan menjadi kawasan budidaya berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem kawasan pesisir serta penurunan hasil perikanan. Konversi hutan mangrove sudah terjadi sejak tahun 1990 hingga saat ini seiring dengan perkembangan struktur ruang. Pertanyaan penelitian Apa saja faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang? Menganalisis karakteristik konversi hutan mangrove di pesisir Kabupaten Pasuruan Menganalisis model konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang. Simulasi model untuk mencari faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang Tujuan Penelitian: Mendapatkan merumuskan faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang Hasil Penelitian Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang

11 TINJAUAN PUSTAKA

12 SINTESA TEORI Indikator Karakterisitik Konversi Hutan Mangrove Luas perubahan konversi hutan mangrove Luasan perubahan pemanfaatan lahan mangrove sebagai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya Laju perubahan konversi hutan mangrove Kecepatan perubahan penggunaan lahan dari hutan mangrove sebagai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya Jenis perubahan konversi hutan mangrove Jenis perubahan konversi hutan mangrove di kawasan pesisir sangat mempengaruhi dampak yang timbul terhadap keberlanjutan hutan mangrove.

13 Gambar 2.2 SINTESA TEORI Indikator Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Terhadap Struktur Ruang Fungsi Kegiatan Pusat Kegiatan Infrastruktur Pola Ruang Konversi Kebijakan struktur ruang wilayah Kebijakan strukur ruang wilayah meliputi pusat kegiatan dan fungsi kegiatan yang ditetapkan. Perkembangan infrastruktur Perkembangan infrastruktur meliputi perkembangan ketersediaan infrastruktur berupa jaringan jalan, listrik, dan air

14 KONSEPTUALISASI TEORI Teori Ekosistem Hutan Mangrove Teori Perubahan Pemanfaatan Lahan Teori Struktur Ruang KonversiHutan Mangrove Penyebab Perubahan Pemanfaatan Lahan KarakteristikKonversi Hutan Mangrove : Luas perubahan hutan mangrove Laju kecepatan perubahan Jenis konversi hutan mangrove Indikator Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Terhadap: - Kebijakan Struktur Ruang Wilayah - Perkembangan Infrastruktur Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang

15 METODE PENELITIAN

16 Pendekatan Penelitian Pendekatan Rasionalistik Pendekatan ini biasanya dengan menggunakan metode theoretical analytic dan empirical analytic yakni dengan menggunakan teori-teori yang digunakan untuk melakukan analisis dan menggambarkan/analisa untuk mendapatkan pengaruh perkembangan struktur ruang terhadap konversi lahan mangrove di Kabupaten Pasuruan Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kausal dan deskriptif

17 Variabel-variabel analisis karakteristik konversi hutan mangrove No. Variabel Definisi operasional 1 Luas perubahan hutan mangrove 2 Laju kecepatan perubahan hutan mangrove 3 Jenis perubahan hutan mangrove Luas mangrove yang berubah (berkurang), dengan satuan Ha Kecepatan perubahan yang terjadi pada hutan mangrove, dengan satuan Ha/tahun Lokasi penggunaan lahan hutan mangrove dan perubahannya

18 Variabel-variabel Analisa Faktor-faktor Penentu dari Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang No. Variabel Sub Variabel Jenis Variabel Definisi operasional Kategori 1 Luas perubahan Dependen luasan perubahan hutan -- hutan mangrove mangrove tahun Kebijakan Struktur Ruang 3 Perkembang-an Infrastruktur Pusat Kegiatan Independen Sistem pusat pelayanan yang ditetapkan Perkembang-an Fungsi Kegiatan Perkembang-an Jaringan Jalan Independen Perubahan fungsi kegiatan struktur ruang RUTRD dengan RTRW Independen panjang perkembangan jaringan jalan tahun (1) PKL (2) PPK (3) PKW (4) PKN (1) Pertanian industri, perdagangan dan jasa (2)Tanaman Pangan industri, perikanan (3) Peternakan perikanan, perdagangan dan jasa -- Perkembang-an Jaringan air Perkembang-an Jaringan listrik Independen Perkembangan distribusi air tahun Independen Perkembang distribusi listrik tahun

19 No. Data Sumber Data Instansi 1 Luas hutan mangrove di Penyusunan Perencanaan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. pesisir Kabupaten Pasuruan 8 Pengelolaan Kawasan Pesisir Pasuruan tahun terakhir dan upaya Kabupaten Pasuruan tahun 2009 Dinas Kehutanan Kabupaten reboisasi hutan mangrove Pasuruan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pasuruan Bappeda Kabupaten Pasuruan 2 Peta persebaran hutan mangrove di pesisir Kabupaten Pasuruan 3 Perkembangan infrastruktur jaringan jalan 4 Perkembangan infrastruktur jaringan listrik 5 Perkembangan infrastruktur jaringan PDAM RTRW Kabupaten Pasuruan tahun 2003, RTRW Kabupaten Pasuruan 2009, Penyusunan Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pesisir Kabupaten Pasuruan tahun 2009, peta guna lahan time series Data panjang jaringan jalan per kecamatan tahun Data distribusi listrik per kecamatan tahun Data distribusi air PDAM per kecamatan tahun Bappeda Kabupaten Pasuruan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan Dinas PU Bina Marga Kabupaten Pasuruan Dinas PU Bina Marga Provinsi Jawa Timur PLN Kabupaten Pasuruan PDAM Kabupaten Pasuruan

20 No. Sasaran Penelitian Input data Teknik Analisa Output 1 Analisa karakteristik konversi hutan mangrove 2 Analisa faktor-faktor penentu dari model konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan struktur ruang perkembangan Variebel karakteristik konversi hutan mangrove: Luas perubahan hutan mangrove Laju percepatan perubahan lahan Jenis Perubahan Lahan Variabel dependent (Y): luas perubahan hutan mangrove Variabel independent (X): - perkembangan fungsi kegiatan -perkembangan jaringan jalan -perkembangan fungsi kegiatan - perkembangan jaringan listrik - perkembangan jaringan air Dekriptif kuantitatif Teknik overlay Analisa Regresi Karakteristik hutan mangrove konversi Model konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan struktur ruang 3 Simulasi model untuk mencari faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan perkembangan struktur ruang Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Deskriptif kuantitatif Faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan berdasarkan strukturruang

21 Konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan menjadi kawasan budidaya berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem kawasan pesisir serta penurunan hasil perikanan. Konversi hutan mangrove seiring dengan perkembangan stuktur ruang dari tahun dan upaya pemerintah dalam mengurangi konversi hutan mangrove kurang berhasil. Ekosistem Mangrove Teori Perubahan Pemanfaatn Lahan Teori Struktur Ruang Konversi Hutan Mangrove Penyebab Perubahan Pemanfaatan Lahan Variabel karakteristik konversi hutan mangrove: - jenis konversi hutan mangrove - luas perubahan c hutan mangrove - Laju konversi hutan mangrove Variabel Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang : perkembangan fungsi kegiatan pusat kegiatan perkembangan jaringan jalan Analisa deskriptif kuantitatif overlay Karakteristik konversi hutan mangrove analisa regresi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Faktor-faktor Penentu Konversi Hutan Mangrove Berddasarkan Perkembangan Struktur Ruang perkembangan fungsi jalan perkembangan jaringan listrik perkembangan jaringan air Simulasi Model untuk mencari Faktor-faktor Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang Perumusan Masalah Studi Literatur Analisis Hasil

22 Hasil & Pembahasan

23 Gambaran Umum

24 Penggunaan Lahan

25 Ekosistem Hutan Mangrove Jenis Mangrove : Api-api (Avicennia marina) Bakau merah (Rhizopora stylosa) Prapat ( Sonneratia alba) Tinjang (Bruguiera gymnorrhiza Upaya Reboisasi: No Luas (Ha) / banyaknya (batang) Lokasi batang Desa Penunggul, Nguling Tahun Pelaksanaan batang Desa Jarangan, Rejoso batang Nguling batang Desa Jarangan, Rejoso Ha Seluruh desa di pesisir batang jenis api-api batang jenis tinjang dan api-api Kecamatan Rejoso dan Kraton 2009 Seluruh desa di pesisir batang Desa Penunggul, 2009 Nguling batang Desa Mlaten, Nguling 2009 Instansi Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan hidup Dinas Kehutanan Dinas Kelautan dan Perikanan Badan Lingkungan Hidup Pemkab, CSR Danone Aqua Pemkab, CSR Danone Aqua

26 Ekosistem Hutan Mangrove Luasan Eksisting Hutan Mangrove Tahun 2003, 2008, 2010 luasan hutan mangrove Kabupaten Pasuruan cenderung menurun. Pada tahun terjadi penurunan hutan mangrove seluas 110 ha. Kemudian pada tahun menurun kembali seluas 169,53 ha No Kecamatan Luas Eksisting (Ha) Bangil 328,4 27, Kraton 126, Rejoso 43, Lekok 38, Nguling ,8 95,5 Total 550, ,47

27 Eksisting Hutan Mangrove 2003

28 Ekosistem Hutan Mangrove 2009

29 Analisa Karakteristik Konversi Hutan Mangrove

30 Karakteristik Konversi Hutan Mangrove Luasan Perubahan Hutan Mangrove Luas Eksisting (Ha) Luas Penurunan No Kecamatan (Ha) Periode Periode Bangil 328,4 27, ,22-25,26 2 Kraton 126, ,93 15,19 3 Rejoso 43, ,47-78,96 4 Lekok 38, ,6-2,2 5 Nguling ,8 95,5 160,56-78,3 Total 550, ,47-139,71-169,53

31 Karakteristik Konversi Hutan Mangrove Kecepatan Perubahan Pada periode 1 tingkat perubahan laju kecepatan perubahan hutan mangrove terbagi menjadi 3 kelompok yaitu; (1) kelompok tingkat perubahan kategori lambat tanpa disertai adanya penambahan luasan hutan mangrove yaitu Kecamatan Lekok, (2) kelompok tingkat perubahan kategori lambat disertai adanya penambahan luasan hutan mangrove yaitu Kecamatan Nguling dan Rejoso, dan (3) kelompok tingkat perubahan kategori cepat di Kecamatan Bangil dan Kraton. Pada periode 2 tingkat perubahan didominasi kategori lambat dan hampir semua kecamatan mengalami penurunan luasan hutan mangrove kecuali Kecamatan Kraton No Kecamatan Kecepatan Perubahan (Ha) V1 (Ha/tahun) V2 (Ha/tahun) Tingkat Perubahan Periode 1 Periode 2 Keterangan Vi > Vrata-rata Vrata-rata > Vi > 0 Vi = 0 Tingkat Kecepatan Cepat Lambat Tetap 1 Bangil 2 Kraton 3 Rejoso 4 Lekok - 60,24-12,63-12,19 7,6 13,49-39,48-1,12-1,1 Cepat Cepat Lambat Lambat Lambat Lambat Lambat Lambat 5 Nguling 32,11-39,15 Lambat Lambat

32 Peta Perubahan Hutan Mangrove

33 Karakteristik Konversi Hutan Mangrove Peta Perubahan Hutan Mangrove di Kecamatan Bangil dan Kraton

34 Karakteristik Konversi Hutan Mangrove Peta Perubahan Hutan Mangrove di Kecamatan Rejoso, Lekok, Nguling

35 Karakteristik Konversi Hutan Mangrove Kec. Bangil Kec. Kraton Kec. Rejoso Kec. Lekok Kec, Nguling Luas Perubahan hutan mangrove Pada periode 1 Pada periode 1 dan 2 mengalami penurunan luasan mengalami penuruna luasan hutan mangrove dan pada periode 2 mengalami penambahan luasan Kecepatan Perubahan Hutan Mangrove Kecepatan perubahan lambat Kecepatan perubahan lambat Jenis Perubaha Hutan Mangrove Didominasi Didominasi perubahan perubahan menjadi menjadi tambak tambak Pada periode 1 mengalami penambahan luasan dan pada periode 2 mengalami penurunan luasan Kecepatan perubahan lambat Didominasi perubahan menjadi tambak Pada periode 1 dan 2 mengalami penurunan luasan Kecepatan perubahan lambat Didominasi perubahan menjadi tambak Pada periode 1 mengalami penambahan luasan dan pada periode 2 mengalami penurunan luasan Kecepatan perubahan lambat Perubahan menjadi permukiman

36 Analisa Faktor-faktor Penentu dari Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang

37 Model Luas Perubahan Hutan Mangrove dengan Pusat Kegiatan No Hasil Nilai 1 R square 0,907 2 Signifikansi 0,012 3 Model Y= 335,09-330,78 X Koefisien regresi X sebesar - 330,78 menyatakan bahwa adanya hubungan linier negatif antara pusat kegiatan dengan luas perubahan hutan mangrove, dimana kenaikan per skala pusat kegiatan akan menyebabkan luas penurunan hutan mangrove sebesar 330,783 Ha.

38 Model Luas Perubahan Hutan Mangrove dengan Perkembangan Fungsi Kegiatan No Hasil Nilai 1 R square 0,550 2 Signifikansi 0,45 3 Model Y= 174,62 X ,339 X 2-186,108 Berdasarkan hasil analisis regresi linier dengan nilai alpha 5 persen diketahui bahwa fungsi kegiatan tidak berpengaruh terhadap luas perubahan hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan.

39 Model Luas Perubahan Hutan Mangrove dengan Perkembangan Jaringan Jalan No Hasil Nilai 1 R-square 0,784 2 Signifikansi 0,046 3 Model Y= ,17 X Persamaan regresi tersebut memiliki arti koefisien regresi X sebesar -13,7 menyatakan bahwa adanya hubungan linier negatif antara perkembangan jaringan jalan dengan perubahan luasan hutan mangrove, di mana perubahan 1 km dari nilai X (perkembangan jaringan jalan) akan menyebabkan penurunan luas hutan mangrove sebesar 13,7 Ha.

40 Model Luas Perubahan Hutan Mangrove dengan Perkembangan Jaringan Air No Hasil Nilai 1 R square 0,912 2 Signifikansi 0,011 3 Model Y= 62,445-0,001X Persamaan regresi tersebut memiliki arti koefisien regresi X sebesar 0,001 menyatakan bahwa adanya hubungan linier negatif antara perkembangan jaringan air dengan konversi hutan mangrove, di mana perubahan 1 m 3 dari nilai X (perkembangan jaringan air) akan menyebabkan penuruan luasan hutan mangrove sebesar 0,001 Ha.

41 Model Luas Perubahan Hutan Mangrove dengan Perkembangan Jaringan Listrik No Hasil Nilai 1 R square 0,932 2 Signifikansi 0,008 3 Model Y= X Persamaan regresi tersebut memiliki arti koefisien regresi X sebesar -0,26 menyatakan bahwa adanya hubungan linier negatif antara perkembangan jaringan listrik dengan luas perubahan hutan mangrove mangrove, di mana perubahan 1 Kw dari nilai X (perkembangan jaringan listrik) akan menyebabkan penurunan luas hutan mangrove sebesar: 0,26 Ha.

42 Model Konversi Hutan Mangrove Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang No. Faktor-faktor penentu Konversi Hutan Mangrove Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang R 2 Model 1 Pusat kegiatan 0,907 Y = 335, X 2 Perkembangan Jaringan Jalan 0,784 Y= ,17 X 3 Perkembangan Jaringan Air 0,912 Y= 62,445-0,001X 4 Perkembangan Jaringan Listrik 0,932 Y= ,26 X

43 Simulasi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Perkembangan Struktur Ruang

44 Simulasi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Faktor Pusat Kegiatan No. Kecamatan Luas Eksisting Perubahan Hutan Mangrove (Ha) Persentase perubahan (%) jika sebagai PKW (Y= - 657,259 Ha) Persentase perubahan (%) jika sebagai PKL (Y= - 326,476 Ha) Persentase perubahan (%) jika sebagai PPK (Y= 4,307 Ha) 1 Bangil % - 0 % 3.3 % 2 Kraton % % 0.5 % 3 Rejoso % % 0.2 % 4 Lekok % % 0.1 % 5 Nguling % % % Berdasarkan hasil simulasi didapatkan semakin tinggi kenaikan skala pusat kegiatan semakin besar luas penurunan hutan mangrove. Apabila skala pusat kegiatan tetap persentase perubahan sama dengan 0 atau mendekati 0. Apabila skala pusat kegiatan diturunkan luas konversi akan berkurang atau terjadi peningkatan luasan hutan mangrove.

45 Berdasarkan hasil simulasi didapatkan persentase perubahan terbesar di Kecamatan Bangil. Sesuai kondisi eksisting Kecamatan Bangil memiliki perkembangan panjang jaringan jalan yang lebih pesat dibandingkan kecamatan lain. Semakin panjang jaringan jalan, konversi hutan mangrove cenderung akan semakin besar. Simulasi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Faktor Perkembangan Jaringan Jalan No. Kecamatan Luas Eksisting Konversi Hutan Mangrove (Ha) 1 Bangil - 326,48 2 Kraton - 45,74 3 Rejoso - 11,49 4 Lekok - 7,80 5 Nguling 82,26 Luas Prediksi Konversi Hutan Mangrove (Ha) Persentase Perubahan (%)

46 Simulasi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Faktor Perkembangan Jaringan Air No. Kecamatan Luas Eksisting Konversi Hutan Mangrove (Ha) 1 Bangil - 326,48 2 Kraton - 45,74 3 Rejoso - 11,49 4 Lekok - 7,80 5 Nguling 82,26 Luas Prediksi Konversi Hutan Mangrove (Ha) Persentase Perubahan (%) Berdasarkan hasil simulasi didapatkan persentase perubahan terbesar di Kecamatan Bangil. Sesuai kondisi eksisting Kecamatan Bangil memiliki intensitas distribusi air PDAM tertinggi, sedangkan Kecamatan Lekok memiliki distribusi air paling rendah. Berdasarkan hasil simulasi didaptkan Semakin tinggi perkembangan distribusi air PDAM (jaringan air PDAM), luas penurunan hutan mangrove semakin tinggi (konversi hutan mangrove).

47 Simulasi Model Konversi Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan Berdasarkan Faktor Perkembangan Jaringan Listrik No. Kecamatan Luas Eksisting Konversi Hutan Mangrove (Ha) Luas Prediksi Konversi Hutan Mangrove (Ha) Persentase Perubahan (%) 1 Bangil - 326, Kraton - 45, Rejoso - 11, Lekok - 7, Nguling 82, Berdasarkan hasil simulasi didapatkan persentase perubahan terbesar di Kecamatan Bangil. Sesuai kondisi eksisting Kecamatan Bangil memiliki distribusi listrik terbesar. Semakin besar perkembangan distribusi listrik, semakin tinggi luas perubahan hutan mangrove dan potensi konversi hutan mangrove.

48 Faktor Pusat Kegiatan Pusat kegiatan merupakan skala pelayanan pusat kegiatan perkotaan yang telah ditetapkan di Kabupaten Pasuruan. Berdasarkan hasil analisa didapatkan semakin tinggi skala pusat pelayanan semakin besar penurunan luasan hutan mangrove di wilayah penelitian. Dengan meningkatnya skala pelayanan pusat kegiatan maka kebutuhan akan fasilitas dan utilitas, tingkat aktivitas dan mobilitas pun akan semakin tinggi pula. Hal ini mendorong adanya kebutuhan akan lahan yang tinggi, sehingga ada kecenderungan konversi lahan. Konversi lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Pasuruann berupa konversi lahan mangrove. Faktor Jaringan Jalan Perkembangan kegiatan pada suatu wilayah bisa dilihat dari perkembangan jaringan jalan, semakin tinggi perkembangan jaringan jalan di suatu wilayah semakin tinggi tingkat aksesbilitas di wilayah tersebut. Hal ini yang memicu konversi lahan karena kebutuhan lahan yang tinggi. Faktor Jaringan Air dan Faktor Jaringan Listrik (utilitas) Jaringan air dan jaringan listrik merupakan elemen fisik ruang/kota yang berfungsi menghubungkan fungsi utama dengan pusat kegiatan. Dengan adanya pertambahan distribusi jaringan air dan distribusi listrik hal ini mengindikasikan adanya pertambahan penduduk, pertambahan penduduk mengindikasikan adanya perkembangan kegiatan pada wilayah tersebut. Perkembangan kegiatan dan perkembangan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin tinggi sehingga ada kecenderungan mengkonversi lahanlahan tidak terbangun seperti kawasan hutan mangrove. Sehingga semakin jaringan air dan listrik berkembang di suatu wilayah, maka akan mendorong konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan menjadi semakin tinggi.

49 Kesimpulan dan Saran

50 TERIMA KASIH

51 Kesimpulan a. Kecamatan Bangil mengalami penurunan luasan hutan mangrove pada periode 1 dan 2, kecepatan perubahan lambat, dan jenis perubahan menjadi tambak. Kecamatan Kraton mengalami penurunan luasan hutan mangrove pada periode 1 dan pada periode 2 mengalami penambahan luasan mangrove, kecepatan perubahan lambat, dan jenis perubahan menjadi tambak. Kecamatan Rejoso mengalami penambahan luasan mangrove pada periode 1 dan penurunan luasan pada periode 2, kecepatan perubahan lambat, dan jenis perubahan menjadi tambak. Kecamatan Lekok mengalami penurunan luasan hutan mangrove pada periode 1 dan 2, kecepatan perubahan lambat, dan jenis perubahan menjadi tambak. Kecamatan Rejoso mengalami penambahan luasan mangrove pada periode 1 dan penurunan luasan pada periode 2, kecepatan perubahan lambat, dan jenis perubahan menjadi permukiman. b. Faktor-faktor penentu konversi hutan mangrove berdasarkan perkembangan struktur ruang adalah pusat kegiatan, perkembangan jaringan air, perkembangan jaringan jalan, dan perkembangan jaringan listrik.

52 Rekomendasi Rekomendasi Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh pemerintah sebagai bahan masukan dalam pengendalian konversi hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan. Rekomendasi Penelitian Lanjutan Perlu penelitian lebih lanjut dengan cakupan wilayah yang lebih mikro (lingkup desa). Penelitian lebih lanjut untuk faktor-faktor penentu konversi lahan selain hutan mangrove berdasarkan perkembangan struktur ruang. Perlu penelitian lanjutan untuk menentukan arahan pengendalian konversi hutan mangrove di wilayah studi.

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab.

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab. LAMPIRAN IV PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011-2031 I. RENCANA STRUKTUR RUANG No Rencana

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PEKERJAAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN TATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT KABUPATEN PASURUAN

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT KABUPATEN PASURUAN BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK Oleh : Achmad Ghozali 36 09 100 048 Dosen Pembimbing : Putu Gde Ariastita, ST., MT Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA GEOGRAFIS KABUPATEN BANGKA PKL Sungailiat PKW PKNp PKWp PKW PKW Struktur Perekonomian Kabupaten Bangka tanpa Timah Tahun 2009-2013 Sektor 2009 (%)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana.

BAB I PENDAHULUAN. lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana. BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini berisi mengenai latar belakang yang digunakan sebagai dasar penelitian, perumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, kebutuhan data, teknik pengumpulan data,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN PREVIEW III TUGAS AKHIR PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita, ST., MT. Merisa Kurniasari 3610100038

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Lampung Selatan 117 Lampiran 2. Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Lampung Selatan. 118 119 Lampiran 3. Peta Kondisi Kawasan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Kawasan Pantai Timur Surabaya sebagai Kawasan Konservasi Berkelanjutan

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Kawasan Pantai Timur Surabaya sebagai Kawasan Konservasi Berkelanjutan JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 2, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-65 Penilaian Tingkat Keberlanjutan Kawasan Pantai Timur sebagai Kawasan Konservasi Berkelanjutan Yani Wulandari dan Rulli Pratiwi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACTION DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACTION DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1 DAFTR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACTION DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL i ii iii iv v vi vii x xii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam potensi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah lautan dengan luas mencapai

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman 301-308 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN METODE NDVI CITRA LANDSAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW

VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW 232 VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW 6.1.1 Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW Dengan menggabungkan hasil simulasi model, Multi Dimensional Scaling dan Analytical

Lebih terperinci

III. INDIKASI PEMANFAATAN ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI LIMA TAHUNAN

III. INDIKASI PEMANFAATAN ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI LIMA TAHUNAN III. INDIKASI PEMANFAATAN ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROINSI LIMA TAHUNAN No Program Utama Lokasi Instansi Pelaksana Sumber A Program Utama Pengembangan Wilayah 1 Pengembangan kerjasama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian disajikan dalam diagram langkah-langkah metodologi penelitian yang merupakan skema sistematis mengenai keseluruhan proses studi yang

Lebih terperinci

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Koordinator : Judul Kegiatan : Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc Oleh : CUCU HAYATI NRP. 3606 100 018 Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan

Lebih terperinci

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN Oleh : Veranita Hadyanti Utami (3609100055) Dosen Pembimbing : Adjie Pamungkas, ST. M. Dev. Plg. PhD Prodi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melaksanakan usaha-usaha yang paling baik untuk menghasilkan pangan tanpa

I. PENDAHULUAN. melaksanakan usaha-usaha yang paling baik untuk menghasilkan pangan tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dunia mulai memperhatikan persoalan lingkungan dan ketahanan pangan yang dilanjutkan dengan melaksanakan usaha-usaha yang paling

Lebih terperinci

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

PERSEN TASE (%) Dinas Kelautan dan Perikanan ,81 JUMLAH ,81

PERSEN TASE (%) Dinas Kelautan dan Perikanan ,81 JUMLAH ,81 05. A. KEBIJAKAN PROGRAM Arah kebijakan program pada Urusan Pilihan Kelautan dan Perikanan diarahkan pada Peningkatan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan secara Optimal, dengan tetap menjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 sebanyak rumah tangga Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 sebanyak 183.031 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 sebanyak 26 Perusahaan Jumlah

Lebih terperinci

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG

PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG PREVIEW II ARAHAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI DAERAH RESAPAN AIR MENJADI LAHAN TERBANGUN DI KECAMATAN LEMBANG, BANDUNG NASTITI PREMONO PUTRI (3609100069) DOSEN PEMBIMBING : IR. HERU PURWADIO,MSP LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain menempati

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Pada awalnya Kabupaten Tulang Bawang mempunyai luas daratan kurang lebih mendekati 22% dari luas Propinsi Lampung, dengan pusat pemerintahannya di Kota Menggala yang telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA BANGKA BELITUNG KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Kondisi tanah dan keterbatasan lahan Kota Pangkal Pinang kurang memungkinkan daerah ini mengembangkan kegiatan pertanian. Dari

Lebih terperinci

ARAHAN PENGENDALIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KEMAMPUAN PENAMPUNGAN AIR DI KAWASAN KONSERVASI (STUDI KASUS : KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA)

ARAHAN PENGENDALIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KEMAMPUAN PENAMPUNGAN AIR DI KAWASAN KONSERVASI (STUDI KASUS : KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA) SIDANG TUGAS AKHIR (PW09-1333) ARAHAN PENGENDALIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KEMAMPUAN PENAMPUNGAN AIR DI KAWASAN KONSERVASI (STUDI KASUS : KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA) Oleh : PUTRA JAYA PRADANA 3607

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI

PENENTUAN WILAYAH POTENSIAL KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN KEDIRI JURNAL TEKNIK POMITS 2014 1 Abstrak Tingginya produksi jagung di Kabupaten Kediri seharusnya bisa memaksimalkan kegiatan pengolahan jagung. Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan Kabupaten Kediri menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang unik dan layak untuk dipertahankan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI RUMAH SAKIT KELAS D DI KABUPATEN PASURUAN

PENENTUAN LOKASI RUMAH SAKIT KELAS D DI KABUPATEN PASURUAN TUGAS AKHIR S i d a n g T u g a s A k h i r PENENTUAN LOKASI RUMAH SAKIT KELAS D DI KABUPATEN PASURUAN Oleh: Ayu Yulinar K 3607.100.030 OUTLINE Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metode Penelitian Hasil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian 3.1.1. Pendekatan Penelitian Substansi yang diteliti dari penelitian ini ialah pola persebaran permukiman yang terdapat di Kawasan Rawan III dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan mahkluk hidup. Kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan mahkluk hidup. Kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan mahkluk hidup. Kebutuhan air semakin meningkat namun daya dukung alam ada batasnya dalam memenuhi kebutuhan air.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013 NILUH RITA AYU ROSNITA A 351 09 044 JURNAL PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat, setidaknya mampu mendorong perekonomian Indonesia secara cepat, ditambah lagi dengan sumber daya

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses berkembangnya suatu kota baik dalam aspek keruangan, manusia dan aktifitasnya, tidak terlepas dari fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Fenomena seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci