II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah"

Transkripsi

1 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009). Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2009).

2 16 Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di suatu wilayah. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam. Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong berkembangnya sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak

3 17 merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran. Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain (complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002). Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu, investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006) Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan

4 18 pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001) Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-

5 19 Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas ekonomi antar wilayah. Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha, sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan; (7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup (Harianto, 2007). Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu : (1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija dan hortikultura. Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik. Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung

6 20 memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing dengan produk-produk pertanian dari luar. Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran, sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian. Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan, ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya pembangunan sektor pertanian. Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu, pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement). Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.

7 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008). Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam

8 22 cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1) kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010). Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008) menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal. Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient (LQ).

9 23 Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang berdekatan dalam sistem wilayah. Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruhpengaruh faktor eksternal. Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : 1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional). Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. 3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.

10 24 Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas aktual dari aktivitas produksi. Data produktivitas digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010). Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Bila produk yang diperdagangkan bersifat komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis dari negara lain (Saragih, 2010). Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.

11 25 Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen. Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para pelaku agribisnis Keterkaitan Sektor Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antara sektor yang sangat dinamis. Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input Output (I-O). Tabel input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu. Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan

12 26 memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya. Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010). Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut : (1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi. (2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. (3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masingmasing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009). Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan komprehensif (BPS, 2000).

13 27 Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain: (1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis I- O antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2) data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis. Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi suatu wilayah secara terintegrasi. Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka, model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.

14 Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional. Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah. Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008). Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan adalah sebagai berikut :

15 29 1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. 2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya. 3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku. 5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi. 6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya. 7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). 8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. 9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif dan lain-lain. 10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana

16 30 segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi faktor kendala pembangunan. Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah lokal tersebut. Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian, perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009). Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan

17 31 ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral. Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnisbisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi. Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program. Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produkproduk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang akan datang (Anugrah, 2003). Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008). Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap

18 32 alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan sektor pertanian. Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan. Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung pengembangan wilayah. Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sektor Unggulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang telah diterapkan sejak tahun 1999, masing-masing daerah harus bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan daerahnya masing-masing.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah membangun perekonomian wilayah tersebut agar memiliki daya saing yang tinggi agar terus

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal ataupun eksternal (Anonim, 2006a). Terkait dengan beragamnya

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 27 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Kebutuhan untuk menggunakan I-O Regional dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat, sehingga negara-negara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 25 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 26 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015 2019

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN ARIS SUBAGIYO Halama n 1 & PUSAT PERTUMBUHAN PELAYANAN Halama n Penentuan Pusat Pertumbuhan & Pusat Pelayanan 4 ciri pusat pertumbuhan : Adanya hubungan internal

Lebih terperinci

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres No.2811992 wilayah Otorita Batam diperluas meliputi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN Upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan memfokuskan peningkatan investasi pemerintah dan swasta pada sektor unggulan (prime sector) yaitu sektor pertanian, selama ini belum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di era global ini masih memainkan peran penting. Sektor pertanian dianggap mampu menghadapi berbagai kondisi instabilitas ekonomi karena sejatinya manusia memang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya melalui pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Produk Unggulan dan Kriteria Produk Unggulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Produk Unggulan dan Kriteria Produk Unggulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Pustaka 2.1.1. Pengertian Produk Unggulan dan Kriteria Produk Unggulan Menurut Cahyana Ahmadjayadi (2001), Produk Unggulan Daerah (PUD) adalah unggulan daerah yang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri suatu daerah diarahkan untuk menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah melalui keterkaitan antara budidaya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Indikator penting untuk mengetahui kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komoditas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komoditas adalah: 1. Barang dagangan utama, benda niaga, hasil bumi dan kerajinan setempat dapat dimanfaatkan sebagai

Lebih terperinci

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Sessi 3 MK PIP Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Agribisnis dalam arti sempit (tradisional) hanya merujuk pada produsen dan pembuat bahan masukan untuk produksi pertanian Agribisnis dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT Pertumbuhan ekonomi NTT yang tercermin dari angka PDRB cenderung menunjukkan tren melambat. Memasuki awal tahun 2008 ekspansi

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 Oleh : Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc Rektor dan Senat Guru Besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) dalam Rustiadi et al (2003) dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI : Identifikasi Dan Pengembangan Komoditi Pangan Unggulan di Humbang Hasundutan Dalam Mendukung Ketersediaan Pangan Berkelanjutan Hotden Leonardo Nainggolan Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. unggulan menurut Sambodo 2002 dalam Usya (2006:18) bahwa sektor unggulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. unggulan menurut Sambodo 2002 dalam Usya (2006:18) bahwa sektor unggulan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Sektor Unggulan Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek. meluasnya kesempatan kerja serta terangsangnya iklim ekonomi di wilayah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek. meluasnya kesempatan kerja serta terangsangnya iklim ekonomi di wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan sub sistem dari pembangunan nasional, sehingga adanya keterikatan antara pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang saat ini lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan-kegiatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berubahnya orientasi usahatani dapat dimaklumi karena tujuan untuk meningkatkan pendapatan merupakan konsekuensi dari semakin meningkatnya kebutuhan usahatani dan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang bekerja di sektor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 18 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan terpadu sebagai cara

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. PENDAHULUAN Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia telah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa peran penting sektor pertanian antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Master Plan Latar belakang Penyusunan Cetak Biru (Master Plan) Pengembangan Penanaman Modal Kabupaten Banyuasin secara garis besar adalah Dalam rangka mewujudkan Visi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI 3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir Arahan Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Komoditas Unggulan yang Berdaya saing di Kabupaten Indramayu sebagai kawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional berupa perencanaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Ciwidey yang meliputi Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam perannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan masyarakat diwujudkan dalam bentuk kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama dari pembangunan ekonomi Indonesia adalah terciptanya masyarakat adil dan sejahtera. Pembangunan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang S alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena itu semua wilayah mencanangkan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci