STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI SISTEM ALOKASI KUOTA TUNA YANG AKAN DIBERLAKUKAN OLEH IOTC DI SAMUDERA HINDIA ADITYA SETIANINGTYAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI SISTEM ALOKASI KUOTA TUNA YANG AKAN DIBERLAKUKAN OLEH IOTC DI SAMUDERA HINDIA ADITYA SETIANINGTYAS"

Transkripsi

1 STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI SISTEM ALOKASI KUOTA TUNA YANG AKAN DIBERLAKUKAN OLEH IOTC DI SAMUDERA HINDIA ADITYA SETIANINGTYAS DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Strategi Indonesia dalam Menghadapi Sistem Alokasi Kuota Tuna yang Akan Diberlakukan oleh IOTC di Samudera Hindia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2016 Aditya Setianingtyas NIM C

4 ABSTRAK ADITYA SETIANINGTYAS. Strategi Indonesia dalam Menghadapi Sistem Alokasi Kuota Tuna yang Akan Diberlakukan oleh IOTC di Samudera Hindia. Dibimbing oleh DARMAWAN dan M. FEDI A. SONDITA. Penangkapan tuna khususnya yellowfin tuna dan bigeye tuna telah melebihi MSY sedangkan IOTC tidak mengatur kuota penangkapan ikan. Oleh karena itu, IOTC berencana memberlakukan alokasi kuota tuna. Negara anggota diberikan kesempatan mengajukan usulan kriteria alokasi kuota. Indonesia dan Jepang merupakan negara anggota IOTC yang mengusulkan kriteria alokasi kuota tuna. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan usulan kriteria alokasi kuota tuna yang telah diajukan oleh Indonesia dan Jepang, mengomparasi usulan kriteria alokasi kuota dan pengelolaan perikanan tuna Indonesia dengan Jepang di Samudera Hindia, serta menyusun strategi penguatan argumen untuk Indonesia dalam penentuan kriteria alokasi kuota tuna menggunakan metode deskriptif. Indonesia mengajukan kriteria sejarah penangkapan, ketergantungan ekonomi negara terhadap sumber daya ikan, IPM, negara pantai, perairan bio-ekologi, keanggotaan IOTC dan kepatuhan. Kriteria yang diajukan Jepang, yaitu sejarah penangkapan, rencana perikanan berkelanjutan, status keanggotaan, tingkat kepatuhan dengan konservasi dan pengelolaan perikanan, tingkat kepatuhan dan kontribusi keuangan, tingkat kontribusi pada riset dan pendataan serta tingkat kontribusi pemanfaatan alokasi kuota. Usulan kriteria serta pengelolaan perikanan Indonesia dan Jepang dibandingkan menggunakan dasar pertimbangan CCSBT dalam menentukan alokasi kuota tuna untuk negara anggota. Indonesia telah memenuhi seluruh dasar pembanding sedangkan Jepang tidak memenuhi dasar pembanding negara anggota yang ZEE-nya menjadi wilayah migrasi ikan. Hasil dari perbandingan dijadikan bahan pertimbangan pengambilan strategi Indonesia. Strategi yang akan dilakukan, yaitu mengkaji hak coastal state yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional menggunakan hak kepemilikan versi Ostrom dan Schlager serta menganalogikan hak pengelolaan wilayah yang diberikan kepada masyarakat pesisir. Selanjutnya, Indonesia dapat menggunakan sebagian usulan kriteria Jepang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi alokasi kuota tuna. Kata kunci: alokasi kuota, komparasi, strategi, usulan kriteria. ABSTRACT ADITYA SETIANINGTYAS. Indonesian Strategies in Dealing with Tuna Allocation which will be Enforced by IOTC in Indian Ocean. Supervised by DARMAWAN and M. FEDI A. SONDITA. Tuna fisheries especially yellowfin tuna and bigeye tuna have exceeded MSY while IOTC have not regulate tuna allocation. Therefore, IOTC made a decision to regulate tuna allocation. Any contracting party has an opportunity to propose criteria for quota allocation. Indonesia and Japan were two contracting

5 parties that propose criteria allocation. The purpose of this research was to describe the proposal criteria for quota allocation that have been made by Indonesia and Japan, to compare the criteria for quota allocation and management of tuna fisheries in Indonesia and Japan in the Indian Ocean, and to develop strategies to strengthen the argument for Indonesia in determining the criteria. The criteria proposed by Indonesia were: historical catch, dependence of fisheries sector to the national economy, HDI, coastal state of Indian Ocean, bio-ecological significance of the waters, IOTC membership and compliance. The criteria proposed by Japan were: historical catches, fishery development plans, legal status, degree of compliance with conservation and management measures, degree of compliance with financial contribution, degree of contribution to research and data collection, and degree of allocation utilization. The criteria proposed by Indonesia and Japan were compared using CCSBT basic consideration in determining the quota allocation of tuna for members. Indonesia has satisfied all basic consideration meanwhile Japan does not included the criteria on tuna migration though ZEE water. The result of the comparison will be used to develop strategies for Indonesia. Strategies will include compliance Law of the Sea Convention used Ostrom and Schlager property-rights and an analogize territory management rights granted to coastal communities. Moreover, Indonesia could use Japan s criteria proposal that could strengthen Indonesia position. Keyword: quota allocation, compare, strategy, proposal criteria

6 STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI SISTEM ALOKASI KUOTA TUNA YANG AKAN DIBERLAKUKAN OLEH IOTC DI SAMUDERA HINDIA ADITYA SETIANINGTYAS Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumbedaya Perikanan DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian dilaksanakan sejak bulan April 2014 dengan judul Strategi Indonesia dalam Menghadapi Sistem Alokasi Kuota Tuna yang Akan Diberlakukan oleh IOTC di Samudera Hindia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Darmawan, MAMA dan Dr Ir M.Fedi A.Sondita, M Sc yang telah membimbing penulis hingga tulisan ini dapat diselesaikan. Penulis pun turut mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pendidikan Departemen Dr Ir Iin Solihin, M Si dan penguji tamu sidang skripsi Dr Ir Wazir Mawardi, M Si. Disamping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada para narasumber yang telah membantu selama pengumpulan data diantaranya, Prof Dr Ir Indra Jaya, M Sc selaku Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai penulis usulan alokasi kuota tuna kedua dan ketiga serta sebagai Delegasi Indonesia dalam pertemuan TCAC II dan III, Bapak Agus Budhiman mantan Direktur Sumber Daya Ikan sebagai Delegasi Indonesia TCAC I dan II, Bapak Toni Ruchimat Direktur Sumber Daya Ikan, Bapak Wudianto Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI) sebagai Delegasi Indonesia TCAC II dan III, Bapak Saut Tampubolon Kepala Sub-Direktorat Sumber Daya Ikan ZEEI dan Laut Lepas sebagai penulis usulan alokasi kuota tuna pertama dan Delegasi Indonesia pertemuan TCAC III. Alm. Bapak Purnomo dan Bapak Moch.Billamar dari Asosiasi Tuna Indonesia serta pengusaha perikanan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf Sub-Direktorat Sumber Daya Ikan serta para dosen dan staf Departemen PSP. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, teman-teman PSP, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Aditya Setianingtyas

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 2 METODE... 2 Waktu dan Lokasi Penelitian... 2 Metode Penelitian... 3 Analisis Data... 3 HASIL DAN PEMBAHASAN... 5 Usulan kriteria alokasi kuota... 5 Usulan kriteria alokasi kuota tuna Indonesia... 5 Usulan kriteria alokasi kuota tuna Jepang Komparasi antara Indonesia dengan Jepang mengenai usulan alokasi kuota tuna serta pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia Strategi memperkuat posisi Indonesia Kajian hak kepemilikan coastal state Analogi hak masyarakat pesisir Indonesia Usulan Jepang yang dapat menguntungkan posisi Indonesia SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 47

10 DAFTAR TABEL 1 Dasar pemikiran pembagian alokasi kuota tuna usulan Indonesia 9 2 Pembobotan dari tiap kriteria alokasi kuota tuna usulan Indonesia 10 3 Dasar pemikiran pembagian alokasi kuota tuna usulan Jepang 11 4 Indikator kriteria penilaian yang diusulkan Jepang 12 5 Komparasi usulan dan pengelolaan antara Indonesia dengan Jepang 14 6 Hasil perhitungan alokasi kuota tuna yang diusulkan Indonesia 22 7 Hasil perhitungan alokasi kuota tuna yang diusulkan Jepang 22 8 Status kepemilikan sumber daya alam Ostrom dan Schlager (1992) 26 9 Data hasil tangkapan tuna Indonesia selama 5 tahun Data hasil tangkapan tuna Indonesia selama 10 tahun 39 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alir penggunaan TAC global usulan Jepang 13 2 Bagan komparasi usulan dan pengelolaan perikanan tuna Indonesia dengan Jepang 19 3 Gambar ikan tuna mata besar/bigeye tuna 40 4 Gambar ikan tuna sirip kuning/ yellowfin tuna 40 5 Peta area kompetensi IOTC 41 DAFTAR LAMPIRAN 1 Usulan kriteria alokasi kuota Indonesia 34 2 Usulan kriteria alokasi kuota Jepang 36 3 Perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia 38 4 Perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Jepang 39 5 Gambar yellowfin tuna dan bigeye tuna 40 6 Gambar peta area kompetensi IOTC 41 7 Penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC 42

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya ikan tuna di kawasan Samudera Hindia telah diambang batas penangkapan. Laporan Scientific Committee dari Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) pada tahun 2009 memperkirakan rata-rata penangkapan tahun 2004 sampai 2008 untuk bigeye tuna sebesar ton dan yellowfin tuna sebesar ton. Jumlah tersebut telah melebihi Maximum Sustainable Yield (MSY) yang diestimasi sekitar untuk bigeye tuna dan ton untuk yellowfin tuna (gambar tuna terdapat pada Lampiran 5). Selama ini IOTC tidak mengatur kuota penangkapan ikan. Negara anggota memiliki kebebasan untuk memanfaatkan sumber daya ikan yang berada di area IOTC dengan tetap menerapkan resolusi dan/atau Consevation and Management Measures (CMMs). Melihat kondisi tersebut, kemungkinan sumber daya ikan di area IOTC akan terus tertekan bahkan over fishing dapat terjadi pada yellowfin tuna dan bigeye tuna. Sumber daya ikan memiliki keterbatasaan dalam beregenerasi sehingga perlu adanya pengendalian atau pengaturan penangkapan ikan (Worm 2009 dalam Jaya 2015). Sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 (CCRF) pada artikel 7 poin yang diterbitkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), berdasarkan data ilmiah yang tersedia, negara dan organisasi pengelolaan perikanan sub-regional/regional wajib mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan dan dibentuk untuk menjaga serta memulihkan stok ikan agar mencapai MSY, sesuai dengan faktor lingkungan dan faktor ekonomi, termasuk perlakuan khusus untuk negara berkembang (FAO 1995). Oleh karena itu, IOTC harus mengambil suatu kebijakan dalam mengelola yellowfin tuna dan bigeye tuna berbasis output control dengan melakukan pembatasan penangkapan. Pembagian alokasi kuota penangkapan diantara anggota IOTC dianggap menjadi salah satu bentuk kebijakan untuk mengendalikan penangkapan ikan. Pertemuan ke-14 IOTC yang dilaksanakan pada bulan Maret 2010 di Busan- Korea, IOTC menerbitkan Resolusi 10/01 mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna di area IOTC. Resolusi 10/01 telah diubah menjadi resolusi 14/02 tahun 2014 saat pertemuan tahunan ke-18 bulan Juni 2014 di Colombo, Sri Lanka. Resolusi ini mengenai rencana penyusunan kriteria alokasi kuota dan anjuran sistem pelaporan data yang sesuai. Komisi IOTC merekomendasikan adanya pertemuan teknis yang membahas kriteria alokasi kuota (IOTC 2015). Pertemuan teknis kriteria alokasi kuota (Technical Committee on Allocation Criteria/TCAC) telah dilaksanakan pada tahun 2011, 2013 dan 2016 namun hingga saat ini IOTC belum menetapkan kapan alokasi kuota tersebut berlaku dan cara membagi kuota tuna untuk negara anggota. Indonesia sebagai negara anggota IOTC, memiliki akses langsung dalam memanfaatkan sumber daya ikan di Samudera Hindia (gambar area kompetensi IOTC terdapat pada Lampiran 6). Tercatat hasil tangkapan tertinggi yellowfin tuna sebesar ton pada tahun 2014 dan hasil tangkapan tertinggi bigeye tuna sebesar ton di tahun Hasil tangkapan ini sekitar 15,26% dari seluruh tangkapan yellowfin tuna dan 31,33% dari seluruh tangkapan bigeye tuna (IOTC 2015). Hal tersebut membuktikan Indonesia mempunyai kepentingan untuk

12 2 mempertahankan jumlah hasil tangkapannya agar tidak menurun jauh dari ratarata penangkapan sebelumnya. Anggota IOTC tidak hanya terdiri dari negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Banyak negara yang mengembangkan armada jarak jauh (distant fishing water nation) menjadi anggota IOTC, salah satunya adalah Jepang. Tercatat dalam laporan tahunan Jepang kepada IOTC, sejak tahun 1950 telah memanfaatkan sumber daya ikan di area kompetensi IOTC. Selain itu, Jepang menjadi salah satu negara yang mengusulkan kriteria alokasi kuota tuna dan dikenal sebagai sentral pasar tuna dunia. Hal tersebut perlu menjadi perhatian mengingat Indonesia memiliki kepentingan dalam penentuan alokasi kuota penangkapan tuna di Samudera Hindia. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah dan menjadi anggota penuh IOTC akan berhadapan dengan negara-negara yang tidak memiliki wilayah namun telah lama memanfaatkan sumber daya ikan di Samudera Hindia seperti Jepang. Oleh karena itu, perlu diketahui kriteria alokasi kuota yang diajukan oleh Jepang dan strategi yang perlu diambil untuk memperkuat posisi Indonesia. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan usulan kriteria alokasi kuota tuna yang telah diajukan oleh Indonesia dan Jepang. 2. Membandingkan usulan kriteria alokasi kuota serta pengelolaan perikanan tuna Indonesia dengan Jepang di Samudera Hindia. 3. Menyusun strategi penguatan argumen untuk Indonesia dalam penentuan kriteria alokasi kuota tuna. Manfaat Manfaat yang dapat diambil dari penelitiaan ini adalah: 1. Mengidentifikasi usulan kriteria alokasi kuota tuna yang telah diajukan Indonesia dan Jepang. 2. Menyampaikan rekomendasi dalam penyusunan strategi pengelolaan alokasi kuota tuna bagi Indonesia. METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 bertempat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Direktorat Sumber Daya Ikan (Sub-Direktorat Data dan Statistik Perikanan Tangkap dan Sub-Direktorat Sumber Daya Ikan ZEEI dan Laut Lepas), Jakarta Pusat. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), Badan Penelitian dan Pengelolaan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Jakarta Utara. Penelitian juga dilakukan di Sekertariat Asosiasi Tuna

13 Indonesia (ASTUIN), Jakarta Utara. Pengambilan data kemudian dilanjutkan di Instansi Pendidikan (Institut Pertanian Bogor) pada bulan Juni Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang dapat menggambarkan suatu kejadian dan menerangkan suatu hubungan dari data yang dikumpulkan, dianalisis dan ditarik suatu kesimpulan sehingga masalah yang diinginkan dapat terpecahkan (Nazir 1988). Metode dalam penentuan narasumber diambil secara purposive sampling. Sampel dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari penelitian. Narasumber ditentukan sendiri dan dinilai dapat mewakili populasi (Ashshofa 2013). Penelitian dilakukan dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan menguasai kriteria alokasi kuota tuna yang akan diberlakukan IOTC sesuai dengan profesinya, antara lain tim penyusun proposal kriteria alokasi, Delegasi RI yang menghadiri pertemuan teknis serta peneliti dari Balitbang KP. Tim Penyusun yang telah diwawancarai sebanyak dua narasumber, narasumber berasal dari i) Direktorat Sumberdaya Ikan, DJPT, KKP, yaitu Sub-Direktorat Data dan Statistik Perikanan Tangkap serta Sub-Direktorat Sumber Daya Ikan ZEEI dan Laut Lepas serta ii) instansi pendidikan yaitu Dosen dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selain itu, Delegasi RI yang telah diwawancarai yaitu Direktur Sumber Daya Ikan, KKP (Ketua Delegasi RI) yang menghadiri pertemuan TCAC pada tahun 2011 dan 2013, peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), Balitbang KP dan tim penyusun usulan alokasi kuota tuna. Sebagai tambahan informasi dari sisi pelaku usaha penangkapan ikan, wawancara juga dilakukan di sekertariat ASTUIN (Asosiasi Tuna Indonesia), yaitu ketua asosiasi dan anggotanya. Analisis Data Terdapat dua data yang digunakan, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara tidak berencana dan literature. Wawancara tidak berencana tetap membawa pedoman yang akan ditanyakan sehingga menghindari kehabisan pertanyaan dan bersifat tidak terikat (Ashshofa 2013). Hasil wawancara yang telah didapatkan akan dijabarkan secara menyeluruh dan dievaluasi. Data literature yang akan digunakan, diperoleh dari instansi dan website resmi IOTC. Data tersebut diantaranya adalah kriteria alokasi kuota tuna usulan Indonesia dan Jepang, laporan nasional Indonesia dan Jepang yang telah disampaikan ke IOTC, data statistik perikanan, resolusi IOTC, laporan TCAC I, TCAC II dan TCAC III IOTC, laporan pertemuan tahunan IOTC, serta laporan tahunan ilmiah IOTC. Selain itu, jurnal dan buku yang menunjang serta melengkapi penelitian dapat dijadikan referensi dalam penulisan. Seluruh data yang telah didapatkan, kemudian akan dijabarkan dan dianalisis secara kualitatif. Kedua data tersebut dideskriptifkan dan dilihat kesesuaiannya. Data pertama yang diolah menggunakan metode deskriptif, yaitu usulan kriteria alokasi kuota tuna. Usulan dideskripsikan untuk mengetahui apa saja yang diajukan oleh Indonesia dan Jepang. Data yang dideskripsikan dilihat kecocokan dengan hasil wawancara delegasi Indonesia sehingga dapat diketahui 3

14 4 apakah terdapat perubahan dari usulan Indonesia yang dipublikasikan IOTC dengan yang dipaparkan oleh delegasi Indonesia dalam pertemuan TCAC. Seluruh kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia dan Jepang akan dibandingkan. Komparasi ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan Indonesia dengan Jepang dalam usulan dan pengelolaan perikanan tuna antara negara pantai (coastal state) dan negara dengan armada perikanan jarak jauh (distant water fishing nation). Metode komparasi dilakukan dengan cara membandingkan dua atau lebih kumpulan data atau informasi (Sugiyono 2012). Bagian tersulit dalam metode komparasi adalah menentukan yang akan dijadikan rujukan dalam perbandingan (Nazir 1988). Oleh karena itu, peneliti menggunakan yurisprudensi dalam menentukan dasar pembanding. Yurisprudensi merupakan suatu keputusan terdahulu yang tidak diatur dan dapat dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan dengan kasus yang sama (Purwaka 2006). Langkah ini dilakukan dengan mengambil dasar pertimbangan yang digunakan oleh Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dalam menentukan alokasi kuota southern bluefin tuna (SBT) untuk Negara Anggota. Dasar pertimbangan yang digunakan CCSBT, yaitu bukti ilmiah, perikanan berkelanjutan, ZEE negara anggota yang merupakan daerah migrasi ikan, sejarah penangkapan serta kapal penangkap, kontribusi negara anggota dan faktor lain yang disesuaikan oleh komisi. Selain pertimbangan tersebut, Indonesia dan Jepang pun merupakan anggota penuh dari CCSBT. Data yang dibutuhkan untuk mengisi setiap tabel pembanding, yaitu usulan kriteria alokasi kuota tuna Indonesia dan Jepang, laporan nasional masing-masing negara terhadap IOTC dan studi pustaka lainnya. Hasil dari komparasi dapat menentukan yang lebih baik atau sebaiknya dipilih (Nazir 1988). Oleh karena itu, informasi yang didapat dari hasil komparasi menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan strategi. Adanya strategi perlu dilakukan sehingga alokasi kuota tuna yang didapat tidak menurun jauh dari hasil tangkapan ikan tuna yang biasa didapatkan Indonesia. Mengkaji secara ilmiah sesuatu yang dimiliki atau menjadi kelebihan, melakukan suatu analogi dengan kasus yang sama dan menambahkan yang dianggap baik untuk diterapkan dapat dijadikan sebagai strategi. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan Indonesia diantaranya; pertama, mengkaji hukum laut internasional dengan teori ilmiah, khususnya mengenai hak negara pantai (coastal state) yang tercantum dalam draft Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 menggunakan teori hak kepemilikan versi Ostrom dan Schlager Kedua, menganalogikan masyarakat pesisir yang diberikan hak untuk mengelola suatu wilayah perairan disekitarnya. Analogi dilakukan dengan melihat hak yang didapat negara pantai (coastal state) yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional. Analisis ini akan dijadikan strategi Indonesia sehingga seluruh komisi IOTC khususnya negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dapat menerima dan mendukung usulan yang diajukan Indonesia. Ketiga, menambahkan kriteria alokasi kuota tuna usulan Jepang yang dapat menguntungkan posisi Indonesia sehingga usulan yang diajukan Indoneisa pun mendapat dukungan dari negara yang tidak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Data yang dibutuhkan, yaitu draft Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, laporan hasil pertemuan TCAC, studi pustaka mengenai pengelolaan wilayah pesisir, dan studi pustakan lainnya yang menunjang seperti Undang-Undang dan Peraturan Menteri

15 KP (Permen KP). Strategi ini dideskripsikan dan diperkuat dengan data-data penunjangnya. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Usulan Kriteria Alokasi Kuota Pengendalian atau pengaturan penangkapan akan efektif bila adanya pemantauan tentang perkembangan kondisi sumber daya ikan. Salah satu langkah penting dalam rangka memantau perkembangan pemanfaatan sumber daya ikan adalah melalui alokasi kuota penangkapan (Costello 2008 dalam Jaya 2015). Penentuan alokasi kuota penangkapan serta jumlah penangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) menjadi salah satu aspek penting RFMO (Regional Fisheries Management Organization) (Mc Dorman 2005 dalam Nikijuluw 2008). Pertemuan TCAC IOTC telah dilakukan tiga kali pada tahun 2011, 2013 dan Negara Anggota dan Negara Bekerja Sama Namun Bukan Anggota (yang selanjutnya disebut Contracting Party and non-contracting Party atau disingkat dengan CPCs) IOTC diberikan kesempatan untuk mengajukan usulan kriteria alokasi kuota tuna yang dibahas pada pertemuan tersebut. Waktu yang diberikan dalam pengajuan usulan, yaitu 45 hari sebelum diadakannya TCAC. Setiap negara yang mengajukan usulan pastinya tetap melihat dari sisi kepentingan untuk negaranya. Menurut Satria (2009), dalam memutuskan seberapa besar negara mendapatkan kuota penangkapan membutuhkan negosiasi antar negara anggota. Negara yang sering berkontribusi dan mempunyai kapasitas penangkapan yang besar, memungkinkan negara tersebut memiliki alokasi kuota penangkapan yang besar. Pada pertemuan TCAC, Indonesia dan Jepang telah mengajukan usulan kriteria alokasi kuota penangkapan. Berikut penjelasan dari usulan kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan oleh masing-masing negara tersebut. Usulan kriteria alokasi kuota tuna Indonesia Indonesia telah mengajukan dua usulan kriteria sistem alokasi kuota tuna. Usulan pertama Indonesia dibahas pada TCAC I tahun 2011 yang mengajukan poin-poin kriteria alokasi kuota tuna. Usulan kedua dibahas pada TCAC II tahun Usulan tersebut merupakan penyempurnaan dari usulan sebelumnya dan telah memuat formula perhitungan besarnya alokasi kuota tuna untuk setiap negara. Usulan kedua Indonesia masuk dalam dokumen informasi karena usulan diajukan melewati 45 hari sebelum pertemuan TCAC dilaksanakan, namun Delegasi Indonesia tetap diberikan kesempatan untuk mempresentasikan dan mendiskusikannya dengan seluruh anggota. Hal ini dikarenakan usulan Indonesia dianggap cukup lengkap, masuk akal dan sederhana dengan memperhitungkan semua kriteria didalam formula perhitungannya. Pada pertemuan TCAC III tahun 2016 usulan yang diajukan Indonesia tetap sama seperti saat TCAC II (usulan kriteria alokasi kuota Indonesia terdapat pada Lampiran 1).

16 6 Indonesia mengajukan tiga prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan alokasi kuota tuna. Pertama, perikanan berkelanjutan untuk menjamin keberlanjutan stok ikan. Pengumpulan dan perhitungan data khususnya spesies yellowfin tuna dan bigeye tuna perlu dilakukan dengan metode analisis yang tepat untuk menentukan MSY dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC). MSY dan TAC akan menjadi dasar dalam menentukan seberapa besar kuota tangkapan yang dibagikan dan seberapa besar stok ikan cadangan untuk memperbarui keberlanjutan hidupnya. Hal tersebut dilakukan agar total kuota tangkapan dari semua negara anggota tidak melebihi dari TAC. Dasar prinsip yang kedua, yaitu pemanfaatan yang berkeadilan. Sumber daya ikan yang dibagikan antar anggota dapat dipertimbangkan dari segi tingkat sosial ekonomi negara, letak geografis, jumlah nelayan dan sejarah penangkapan. Tingkat sosial ekonomi pembangunan negara dapat dijadikan prioritas utama dalam penentuan kriteria alokasi kuota tuna karena dapat berhubungan dengan letak geografis, jumlah nelayan dan sejarah penangkapan. Bila dilihat kaitannya dari segi letak geografis, negara yang memiliki wilayah perairan yang lebih banyak dibandingkan daratan pastinya akan tergantung pada sumber hayati di perairan atau samudera yang berdekatan dengan negara tersebut sehingga masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan akan lebih banyak dibandingkan negara yang wilayah perairannya lebih sedikit. Kegiatan perikanan yang dilakukan oleh nelayan dapat menghasilkan data sejarah penangkapan. Data dari sejarah penangkapan dapat menunjukan seberapa besar negara tergantung pada sektor perikanan. Sejarah penangkapan dapat dilihat dari rata-rata penangkapan ikan pertahun. Semakin tinggi rata-rata penangkapan ikan dapat mengindikasi bahwa semakin tinggi pula tingkat konsumsi perikanan suatu negara. Oleh karena itu, kegiatan perikanan erat kaitannya dengan sosial ekonomi negara karena dapat membuka lapangan pekerjaan warga negara khususnya masyarakat pesisir dan menghasilkan nilai ekonomi dari kegiatan jual beli hasil tangkapan. Ketiga, kuota tuna yang dialokasikan untuk masing-masing negara harus diberikan kepada negara anggota berdasarkan ketentuan Komisi IOTC. Negara anggota dan bukan negara anggota pastinya memiliki porsi pembagian kuota tuna yang berbeda. Selain itu, tingkat kepatuhan negara anggota terhadap resolusi IOTC perlu dipertimbangkan. Hal ini untuk memberikan penghargaan bagi negara yang patuh terhadap resolusi IOTC. Prinsip dasar yang telah dijelaskan, terbentuk tujuh kriteria alokasi kuota yang diajukan Indonesia, diantaranya: 1. Sejarah Penangkapan. Berdasarkan laporan tahunan pertemuan Komite Ilmiah IOTC, Komisi Ilmiah IOTC menggunakan rentang data sejarah penangkapan selama lima tahun untuk menghitung rata-rata penangkapan tuna. Oleh karena itu, Indonesia mengusulkan sejarah penangkapan ikan selama lima tahun terakhir pada perhitungan alokasi kuota tuna khususnya yellowfin tuna dan bigeye tuna. 2. Ketergantungan ekonomi negara terhadap sumber daya ikan. Kriteria ini perlu dimasukkan dalam perhitungan alokasi kuota tuna karena menjadi alasan utama dilakukannya eksploitasi sumber daya ikan. Hal ini dikarenakan hasil dari kegiatan perikanan dapat dijual sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Negara yang ekonominya tergantung pada sumber daya ikan perlu mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang ekonominya tidak bergantung pada sumber daya ikan. Bila negara tersebut

17 memperoleh kuota yang kecil maka akan mempengaruhi perekonomian negara tersebut. Selain itu, kegiatan perikanan banyak menyerap tenaga kerja terutama bagi perikanan tradisional yang banyak mengandalkan tenaga manusia. Oleh karena itu, kriteria ini dapat direncanakan untuk membangun perekonomian negara kedepannya khususnya bagi nelayan. Kriteria ketergantungan ekonomi menjadi prioritas utama bagi Indonesia sehingga memiliki nilai pembobot terbesar. Bobot yang diberikan sebesar 0,30 untuk negara dengan ketergantungan tinggi; 0,25 ketergantungan menengah; 0,20 ketergantungan rendah. CPCs dapat digolongkan tinggi, sedang dan rendah dari pendapatan per kapita negara dan pendapatan per kapita nelayan. Data pendapatan per kapita Indonesia terdapat pada data BPS sedangkan data pendapatan per kapita nelayan terdapat pada data statistik KKP. 3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM digunakan untuk mengategorikan negara sebagai negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang. Selain itu, IPM dapat digunakan untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup (BPS 2014). Pemberlakuan alokasi kuota penangkapan tiap negara pastinya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara, terutama dari sektor perikanan. Oleh karena itu, dalam menentukan besaran kuota yang didapatkan negara perlu mempertimbangkan IPM sebagai salah satu kriterianya. Kriteria IPM diberi pembobotan yang cukup besar, yaitu negara terbelakang dengan nilai pembobot 0,20; negara berkembang 0,15; negara maju 0,10. Negara dengan IPM rendah akan mendapatkan pembobotan lebih tinggi. Hal ini agar dapat membantu meningkatkan perekonomian negara tersebut. Bila dilihat kondisi IPM negara, Indonesia memiliki wilayah yang luas namun IPM di Indonesia tergolong rendah, yaitu 0,684/68,9 sehingga tergolong dalam negara berkembang. Banyak masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat pendidikan dan angka melek huruf tergolong rendah, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir karena kurang meratanya pembangunan daerah di Indonesia (BPS 2014). Begitu pula banyak negara di pesisir Samudera Hindia tergolong negara berkembang seperti Iran, India, Srilanka, Seychelles, Afrika Selatan, Mozambik dan negara lainnya. 4. Negara Pantai di Samudera Hindia. Letak geografis negara sangat mempengaruhi orientasi pembangunan suatu bangsa. Negara pantai pastinya akan berorientasi pada lautan. Pada artikel 56 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 menetapkan pengakuan dunia interansional terhadap hak berdaulat Negara Pantai (coastal state) pada ZEE untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya. Pengakuan internasional tersebut menjadi tumpuan pembangunan ekonomi coastal state seperti Indonesia untuk menyejahterakan masyarakat terutama nelayan dan keluarganya. Sebelum berdirinya IOTC, pembangunan usaha penangkapan ikan tuna telah memanfaatkan wilayah penangkapan di perairan teritorial, ZEE hingga laut lepas. Usaha ini telah memberikan kontribusi cukup signifikan terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan. Terdapat tiga WPPNRI yang termasuk dalam area kompetensi IOTC, yaitu WPPNRI 571, 572 dan 573. Oleh karena itu, Indonesia memberikan nilai pembobotan yang besar untuk kriteria ini. 7

18 8 Negara pantai mendapatkan bobot sebesar 0,25 sedangkan bukan negara pantai sebesar 0,15. Negara yang posisinya tidak berdekatan dengan Samudera Hindia tetap mendapatkan nilai pembobot sehingga kriteria ini dianggap tidak merugikan negara tersebut. 5. Perairan bio-ekologi yang berada di yuridiksi nasional negara (tempat pemijahan, pembibitan dan jalur migrasi yang strategis). Negara yang berpotensi memiliki perairan bio-ekologi seperti tempat pemijahan dan jalur migrasi ikan yang strategis perlu dipertimbangkan dalam menentukan pembagian alokasi kuota tangkapan. Hal ini dikarenakan, negara yang memiliki perairan bio-ekologi berkewajiban melakukan langkah-langkah ekstra dalam mengelola perairan bio-ekologi agar tetap terjaga dan menghasilkan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Indonesia memasuki bio-ekologi dalam kriteria dan memberikan pembobotan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,25 sedangkan yang tidak memiliki sebesar 0,15. Pertimbangan dalam menentukan nilai pembobot ini sama seperti pembobotan coastal state. Negara yang tidak memiliki perairan bio-ekologi tetap diberikan nilai pembobot. Kriteria ini diajukan Indonesia karena Indonesia diperkirakan menjadi tempat pemijahan ikan tuna. ZEE Indonesia telah dinyatakan sebagai tempat pemijahan dari tuna sirip biru (southern bluefin tuna/sbt). Oleh karena itu, Indonesia pun diisukan menjadi tempat pemijahan dari yellowfin tuna dan bigeye tuna yang saat ini menjadi perhatian IOTC. Namun sangat disayangkan, Indonesia belum memiliki bukti ilmiah yang pasti sehingga tidak dapat memperkuat posisi Indonesia. 6. Keanggotaan IOTC. IOTC mempunyai dua status keanggotaan, yaitu Negara Anggota dan Negara Bekerja Sama Namun Bukan Anggota. Dua keanggotaan IOTC disebut dengan Contracting Party and non-contracting Party (yang biasa disebut CPCs). Tiap anggota IOTC memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya ikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setiap keanggotaan negara baiknya memiliki porsi yang berbeda sesuai dengan status keanggotaan negara tersebut. Negara anggota IOTC pastinya mempunyai hak lebih dibandingkan dengan negara bekerja sama namun bukan anggota. Selain itu, akan berbeda pula dengan negara yang tidak menjadi anggota IOTC atau yang akan menjadi anggota. Negara tersebut tidak bisa memanfaatkan dengan bebas sumber daya ikan di area IOTC. Pastinya negara yang tidak menjadi anggota IOTC harus menunggu hasil keputusan dari negara anggota IOTC. Oleh karena itu, negara anggota mendapat nilai pembobotan sebesar 0,90 sedangkan negara bukan anggota sebesar 0, Kepatuhan terhadap peraturan dan regulasi. Kriteria ini dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya sehingga menjadi kriteria yang cukup penting dalam menetapkan alokasi. Memberikan kuota tangkapan yang lebih besar kepada negara yang mematuhi aturan dapat menjadi penghargaan bagi negara yang mematuhinya. Negara yang patuh diberi nilai pembobot sebesar 0,1; parsial 0,05 dan tidak patuh 0. Status keanggotaan dan kepatuhan negara merupakan faktor keanggotaan IOTC yang dijadikan sebagai faktor koreksi. Kriteria status keanggotaan negara mendapatkan bobot lebih besar dibandingkan tingkat kepatuhan negara. Hal

19 ini karena melihat banyaknya negara khususnya coastal state yang masih kesulitan untuk meningkatkan nilai kepatuhannya termasuk Indonesia. Tabel 1 Dasar pemikiran pembagian alokasi kuota tuna usulan Indoensia No Prinsip Faktor Kriteria Evaluasi Indonesia 1. Perikanan MSY Sejarah 5 tahun terakhir berkelanjutan TAC penangkapan TAC cadangan 2,5%- 10% 2. Pemanfaatan Letak Negara pantai di Berbatasan langsung yang berkeadilan geografis Samudera Hindia Bio-ekologi Wilayah bio-ekologi SBT Tingkat sosial ekonomi negara dan mata pencarian Ketergantungan ekonomi negara terhadap sumber daya ikan Tinggi dari segi ekspor sehingga sebagai pemasukan devisa negara nelayan Indeks Pembangunan Negara berkembang 3. Prioritas pemberian kuota Keanggotaan IOTC (Faktor koreksi) Masyarakat (IPM) Status anggota Kepatuhan anggota terhadap resolusi dan peraturan lainnya Anggota penuh IOTC (CP) Parsial Langkah awal dalam perhitungan alokasi kuota tuna membutuhkan data TAC yang akurat. Menentukan TAC didapat dari data terbaik yang disediakan komite ilmiah IOTC. TAC yang digunakan tidak semuanya akan dialokasikan kepada CPCs seperti yang disebutkan dalam resolusi 14/02. Indonesia mengajukan sebesar 2,5% yang dimaksudkan untuk reservasi stok ikan. Besaran tiap persentase TAC yang akan dicadangkan ditentukan oleh negara yang mengajukan usulan dan tidak ada dasar acuannya. Presentasi untuk reservasi stok ikan nantinya diharapkan dapat mencapai 10% sehingga lebih leluasa untuk mengambil opsi-opsi pengelolaan selanjutnya. Pengurangan TAC ini yang akan dijadikan alokasi dasar pembagian tiap negara. Setiap kriteria akan ditentukan besaran bobotnya kemudian dilanjutkan dengan perhitungan alokasi kuota tuna untuk tiap CPCs. Perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan, yaitu ketiga dasar prinsip dikalikan yang hasilnya merupakan alokasi kuota tuna untuk masing-masing negara. Formula penghitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Delegasi Indonesia secara sederhana yang tercantum dalam Proposal A Quota Allocation System for IOTC dirumuskan sebagai berikut: = _ h ( )( ) Keterangan: : alokasi kuota untuk masing-masing negara _ h : rata-rata penangkapan (5 tahun terakhir) 1 : ketergantungan ekonomi terhadap sektor perikanan 2 : indeks pembangunan manusia 3 : negara pantai di Samudera Hindia 9

20 10 4 : bio-ekologi (tempat pemijahan, jalur migrasi strategis) yang terdapat di ZEE negara CF 1 : keanggotaan negara CF 2 : tingkat kepatuhan Tabel 2 Pembobotan dari tiap kriteria alokasi kuota tuna Prinsip Kriteria Pembobotan Pemanfaatan yang berkeadilan Ketergantungan terhadap perikanan IPM Tinggi 0,30 Negara Menengah: 0,25 Negara Terbelakang: Berkembang: 0,20 0,15 Negara pantai Ya: 0,25 Bio-ekologi Ya: 0,25 Total pembobotan kriteria dari prinsip 1 pemanfaatan yang berkeadilan Prioritas Keanggotaan pemberian kuota Kepatuhan Total pembobotan kriteria dari prinsip prioritas pemberian kuota Ya: 0,90 Patuh: 0,10 1 Persial: 0,05 Rendah: 0,2 Negara Maju: 0,10 Tidak: 0,15 Tidak: 0,15 Tidak: 0,85 Tidak Patuh: 0 Total pembobotan kriteria dari prinsip pemanfaatan yang berkeadilan dan prinsip pemberian kuota tangkapan harus bernilai satu saat dijumlahkan atau 100% (dihitung dalam persen). Setelah melakukan perhitungan untuk setiap negara, perlu ada perhitungan untuk memastikan seluruh total alokasi kuota tangkapan yang didapatkan negara tidak melebihi TAC yang telah ditetapkan. Formula untuk mengoreksi keseluruhan alokasi kuota tuna yang diajukan Delegasi Indonesia, tercantum dokumen Proposal A Quota Allocation System for IOTC dirumuskan sebagai berikut: QAi QAi QA1 QA2 QA3 QAn TAC97,5 Perhitungan ini dilakukan agar kuota tangkapan yang dibagikan untuk masing-masing negara tidak melebihi TAC yang telah ditentukan. Cara memastikan seluruh total alokasi kuota tuna dilakukan dengan cara alokasi kuota yang didapatkan suatu negara dibagi dengan total seluruh kuota tangkapan yang didapatkan masing-masing negara anggota kemudian dikali dengan 97,5% dari TAC keseluruhan yang telah dikurangi 2,5% untuk stok cadangan. Usulan kriteria alokasi kuota tuna Jepang Pada pertemuan TCAC tahun 2011 dan 2013, Jepang mengajukan usulan kriteria alokasi kuota yang sama namun untuk pertemuan tahun 2016 Jepang tidak mengajukan usulannya (usulan kriteria alokasi kuota Jepang terdapat pada Lampiran 2). Terdapat empat prinsip dasar yang diajukan dalam mempertimbangkan kriteria alokasi kuota tuna, yaitu adanya transparansi, dapat

21 diprediksi, keprogresifan dan perikanan berkelanjutan. Pertama, transparasi dimaksudkan untuk data yang digunakan dalam perhitungan kuota tangkapan harus sebanyak mungkin agar mendapatkan perhitungan yang akurat. Semakin lama rentang data yang digunakan dalam menghitung rata-rata penangkapan yang akan digunakan dalam perhitungan kuota, maka keakuratannya semakin tinggi sehingga jumlah tangkapan dapat semaksimal mungkin dimanfaatkan. Kedua, adanya prediksi yang akan terjadi dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang ketika kriteria alokasi telah berlaku. Ketiga, menghindari perubahan yang begitu cepat sehingga dalam menentukan alokasi kuota dapat dilakukan dengan bertahap. Keempat, pengembangan perikanan berkelanjutan dari negara berkembang. Jepang mengajukan tujuh kriteria alokasi kuota tuna dari empat prinsip dasar, diantaranya: 1. Sejarah penangkapan dari anggota dan cooperating non-member (CPCs) 2. Rencana perikanan berkelanjutan dari negara berkembang CPCs 3. Status keanggotaan (anggota dan cooperating non-member) 4. Tingkat kepatuhan dengan konservasi dan pengelolaan perikanan 5. Tingkat kepatuhan dalam kontribusi keuangan 6. Tingkat kontribusi pada riset dan pendataan 7. Tingkat pemanfaatan alokasi kuota tuna Tabel 3 Dasar pemikiran pembagian alokasi kuota tuna usulan Jepang No Prinsip Kriteria 1 Transparasi Sejarah penangkapan Tingkat kontribusi pada riset dan pendataan Status keanggotaan Kepatuhan dalam kontribusi keungan 2 Prediksi Rencana perikanan berkelanjutan 3 Keprogresifan Tingkat pemanfaatan alokasi kuota tuna 4 Perikanan berkelanjutan Tingkat kepatuhan dengan konservasi dan pengelolaan perikanan Data yang digunakan sebagai dasar perhitungan yang diajukan oleh Jepang sama seperti Indonesia, yaitu TAC dari komite ilmiah IOTC. Tidak semua TAC akan dibagian kepada CPCs. TAC akan dikurangi 3% kemudian pengurangan tersebut menjadi alokasi dasar yang akan dibagikan. Selanjutnya, sejarah penangkapan ikan yang digunakan untuk perhitungan rata-rata penangkapan, yaitu data 10 tahun kebelakang penangkapan. Rentang data yang diajukan Jepang dalam perhitungan rata-rata penangkapan lebih lama dibandingkan data yang diajukan Indonesia. Bila dilihat dari laporan tahunan, Jepang dapat menyajikan data hasil tangkapan sejak tahun 1950 meskipun tidak terperinci jumlah tangkapannya. Oleh karena itu, Jepang dapat mengajukan rentang waktu yang lama untuk menghitung rata-rata penangkapan. Alokasi dasar yang akan didapatkan masing-masing CPCs akan disesuaikan dengan perkalian dari persentasi keanggotaan, kepatuhan, kontribusi dan pemanfaatan alokasi. Rata-rata penangkapan akan dikalikan dengan tiap persentasi dari kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan oleh Jepang. Dinilai dari keanggotaan, contracting party (CP) akan mendapatkan 100% sedangkan contracting non-party (CNP) akan mendapatkan 95%. Negara yang patuh terhadap langkah-langkah konservasi dan pengelolaan akan diberikan 105% 11

22 12 sedangkan yang tidak patuh 1 akan diberikan 95% dan 90% akan diberikan untuk setiap kelebihan tangkapan alokasi ditambah dengan pengembalian kelebihan tangkapan tersebut. Selanjutnya, kontribusi keuangan pun akan mempengaruhi persentasi yang akan diberikan. Alokasi kuota tuna akan dikurangi setengah jika CPCs memiliki tunggakan 2 tahun terakhir kontribusi keuangan. Persentasi sebesar 105% akan diberikan jika kontribusi finansial USD, sedangkan 100% akan diberikan jika < USD. Pemanfaatan alokasi kuota tuna yang telah diberikan pada tahun sebelumnya kurang dari 50% maka selanjutnya kuota yang akan diberikan menjadi 90%. Jika pengurangan alokasi kuota tuna mencapai 50% dari persentasi perhitungan seluruh kriteria yang diusulkan Jepang untuk CPCs maka hasil dari pengurangan akan digunakan sebagai pengembangan alokasi cadangan. Penggunaan 50% tersebut akan ditentukan oleh komisi berdasarkan rekomendasi ilmiah. Selanjutnya, Komisi IOTC akan menentukan alokasi tiap tahun pada pertemuan tahunan sesuai dengan proses yang telah dijelaskan. Selain itu, bila terjadi perpidahan alokasi dari satu CPCs ke CPCs lainnya akan menjadi subjek untuk disetujui oleh komisi. Hanya contracting party yang dapat melakukan perpindahan alokasi. Perpindahan alokasi kuota tuna sementara tidak akan mempengaruhi pembagian kuota. Tabel 4 Indikator kriteria penilaian yang diusulkan Jepang. No Indikator kriteria Kriteria Penilaian 1. Keanggotaan IOTC CP = 100% CNP = 95% 2. Kepatuhan terhadap resolusi dan peraturan yang berlaku Patuh = 105% Tidak patuh = 95% Penangkapan melebihi kuota = 90% serta pengembalian kelebihan tangkap Tunggakan 2 = dikurangi ½ (50%) Tunggakan < 2 = tidak dikurangi (100%) 3. Tunggakan kontribusi keanggotaan (2 tahun) 4. Kontribusi finansial 100,000 US$ = 105% < 100,000 US$ = 100% 5. Pemanfaatan alokasi 50% = 90% > 50% = 100% Jepang juga memiliki TAC yang akan dicadangkan untuk pengembangan negara berkembang CPCs dan negara peserta bukan CPCs sebesar 3%. Hal ini dimaksudkan untuk pengembangan alokasi cadangan. 3% TAC yang dicadangkan untuk pengembangan perikanan akan ditingkatkan 1% setiap tahunnya hingga mencapai 12% selama 9 tahun. TAC keseluruhan (TAC global) yang meningkat 30% akan digunakan untuk pengembagan alokasi cadangan. Alokasi cadangan sebesar 30% dan 70% akan dibagikan kepada CPCs. Negara peserta bukan CPCs yang memanfaatkan pengembangan alokasi cadangan akan dibatasi untuk negara berkembang (negara pantai) di Samudera Hindia. Negara peserta tersebut diharapkan menjadi anggota menjadi CPCs dan menyampaikan rencana pengembangan perikanan. Jika negara bukan peserta tidak menjadi anggota resmi CPCs IOTC setelah memanfaatkan pengembangan alokasi cadangan selama 5 tahun, pemanfaatan tersebut akan diberikan hingga negara peserta menjadi anggota resmi CPCs. Alokasi dari pengembangan alokasi cadangan diantara

23 negara berkembang CPCs akan ditentukan oleh mereka sendiri dengan mempertimbangkan rencana pengembangan perikanan 13 TAC Peningkatan 30% TAC Global Meningkat 30% Dikurangi 3% Alokasi Kuota Dasar 70% dibagikan kepada CP 30% untuk pengembangan alokasi cadangan Dimaanfatkan Negara Bukan Peserta coastal state selama 5 tahun hingga menjadi CPCs Gambar 1 Bagan alir penggunaan TAC global usulan Jepang Komparasi Antara Indonesia dengan Jepang Mengenai Usulan Alokasi Kuota serta Pengelolaan Perikanan Tuna di Samudera Hindia Pengelolaan perikanan telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional Negara didorong untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas yang tercantum dalam artikel 118. Selain Konvensi Hukum Laut Internasional, terdapat kesepakatan lain seperti United Nation Implementing Agreement 1995 (UNIA). Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2009, salah satu kewajiban negara yang telah mengesahkan, yaitu negara melakukan tindak konservasi dan pengelolaan. Negara pantai (coastal state) dan negara dengan armada perikanan jarak jauh (distant water fishing nation) wajib bekerja sama untuk mencapai tindakan yang sebanding antara perairan yang berada di bawah yuridiksi nasional dengan di laut lepas. Menurut Satria (2009), tetap saja terjadi konflik atau perbedaan pendapat antara coastal state dengan distant water fishing nation yang disertai dengan penurunan sumber daya ikan. Sampai saat ini, terdapat delapan usulan kriteria alokasi kuota yang telah diajukan. Negara yang telah mengusulkan, yaitu Indonesia, Jepang, Iran, Skrilanka, Mozambik, Uni Eropa (UE), Korea Selatan dan Seychelles. Tercatat dalam laporan TCAC III bahwa belum adanya titik temu antara coastal state dengan negara distant water fishing nation menjadikan sulitnya penetapan alokasi kuota tuna (IOTC 2016). Oleh karena itu, akan dilakukan komparasi antara usulan kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan dan pengelolaan perikanan negara anggota di Samudera Hindia. Negara anggota yang dipilih, yaitu negara anggota yang memiliki wilayah di Samudera Hindia dengan negara anggota yang kondisi negaranya berjauhan dengan Samudera Hindia. Indonesia menjadi salah satu perwakilan dari negara pantai (coastal state) yang berada di area kompetensi IOTC sedangkan Jepang menjadi perwakilan dari negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant water fishing nation). Selain itu, usulan kriteria alokasi kuota tuna Indonesia dan Jepang dipilih karena kedua negara tersebut mengajukan usulan hingga perhitungan yang didapatkan tiap negara anggota. Komparasi antara Indonesia dan Jepang menggunakan dasar pertimbangan yang digunakan CCSBT dalam mempertimbangkan besaran kuota tuna yang didapat oleh komisi. Dasar pertimbangan CCSBT dipilih sebagai dasar pembanding karena telah memberlakukan alokasi kuota tuna terlebih dahulu.

24 14 Selain itu, Indonesia dan Jepang pun merupakan anggota penuh dari CCSBT. Pada artikel 8 tertulis sesuai dengan tujuan CCSBT (tertulis dalam paragraf 3 konvensi CCSBT) dalam memutuskan alokasi kuota tuna untuk satu negara anggota komisi diantaranya harus mempertimbangkan: 1. Bukti ilmiah yang relevan. 2. Kebutuhan pengembangan perikanan SBT dan berkelanjutan. 3. Kepentingan negara anggota yang ZEE nya merupakan daerah migrasi dari SBT. 4. Kepentingan negara anggota yang kapalnya menangkap ikan SBT serta memiliki sejarah penangkapan SBT dan mengelola perikaann SBT. 5. Kontribusi negara anggota dalam melakukan konservasi dan perbaikan serta penelitian ilmiah mengenai SBT. 6. Dan faktor lainnya sesuai dengan komisi. Tabel 5 Komparasi usulan dan pengelolaan antara Indonesia dengan Jepang Dasar No Perbandingan 1 Bukti ilmiah yang relevan 2 Kebutuhan pengembangan perikanan yang berkelanjutan Indonesia Jepang Hasil Komparasi Tidak diajukan sebagai kriteria alokasi kuota tuna. Penelitian mengenai distribusi atau penyebaran yellowfin tuna dan bigeye tuna di WPPNRI 571, WPPNRI 572, dan WPPNRI 573 yang dilaksanakan dari (RPP Tuna 2015). Monitoring penangkapan dan pengamatan biologis untuk spesies tuna ditangkap oleh perikanan skala kecil di Sumatera Barat, (National Repost Indonesia 2015). Program observer yang dilakukan sejak 2009 (laporan Nasional Indonesia 2015). Menjadi dasar prisnsip pembagian alokasi kuota dan mengusulkan TAC cadangan sebesar 2,5%-10% (Porposal Indonesia 2016). Pencatatan hasil tangkapan menggunakan logbook yang terbagi tiga jenis alat tangkap. Pengadaan VMS pada kapal yang telah terimplementasi sejak 2003 (National Report Indonesia 2015). Tidak diajukan sebagai kriteria alokasi kutoa tuna. Melakukan percobaan penangkapan munggunakan purse seine selama 5 tahun dengan objek mengurangi bycatch dari yellowfin tuna dan bigeye tuna dengan FAD (National Report Jepang 2015). Program observer yang dilakukan sejak 2010 (National Report 2015). Lokasi pemijahan spesies SBT di Selatan Jawa Samudera Hindia. Menjadi usulan kriteria, yaitu pengadaan TAC cadangan sebesar 3%-12% (Proposal Jepang 2013). Pencatatan hasil tangkapan menggunakan logbook yang terbagi tiga jenis alat tangkap (National Report 2015). Pengadaan vessel monitoring system Bukti ilmiah yang dilakukan Indonesia lebih mengarah pada keberadaan sumber daya ikan terutama di perairan Samudera Hindia yang termasuk dalam wilayah Indonesia, sedangkan penelitian yang dilakukan Jepang lebih mengarah pada tindakan konservasi terhadap sumber daya ikan. Indonesia sebagai wilayah yang terbukti memiliki SDI, perlu melakukan penelitian dari segi konservasi sehingga yang diajukan Indonesia dapat didukung negara anggota karena mempertimbangkan dari seluruh aspek. Langkah yang dilakukan Indonesia dan Jepang mengenai pengelolaan perikanan perkelanjutan secara keseluruhan sama karena diatur dalam resolusi IOTC kecuali program sampling pelabuhan tidak lagi dilakukan Jepang karena hasil tangkapan di daratkan di luar negeri. Mengenai TAC cadangan yang

25 Tabel 5 Komparasi antara Indonesia dengan Jepang (Lanjutan) No Dasar Perbandingan 3 Kepentingan negara anggota yang ZEE-nya merupakan daerah migrasi ikan 4 Kepentingan negara anggota yang kapalnya menangkap ikan serta memiliki sejarah penangkapan dan mengelola perikanan 5 Kontribusi negara anggota dalam melakukan konservasi dan perbaikan serta penelitian ilmiah Indonesia Jepang Hasil Komparasi Program sampling pelabuhan yang dilakukan ditiga pelabuhan, yaitu pelabuhan Nizam Zackman, Benoa dan Cilacap (National Report Indonesia 2015) Mengajukan usulan kriteria negara pantai dan bio-ekologi (Proposal Indonesia 2016). Posisi negara berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Menjadi wilayah pemijahan SBT dan diperkirakan pula spesies yellowfin tuna dan bigeye tuna Mengusulkan sejarah penangkapan selama 5 tahun (Proposal Indonesia 2016). Tahun 2015 jumlah kapal aktif sebanyak 584 dengan total penangkapan yellowfin tuna dan bigeye tuna (National Report Indonesia 2015) Tidak menjadi usulan kriteria alokasi kuota tuna. Rencana Aksi Nasional dari hiu (IPOA-Shark) pada 10 Oktober 2010 adalah penerbitan Keputusan Menteri nomor 12 tahun 2012 pada kapal yang telah terimplementasi sejak 2007 (National Report 2015). Program pengambilan sampel pelabuhan hanya dilakukan sekali pada tahun 2008 (National Report Jepang 2015) Tidak menjadi usulan kriteria. Posisi negara tidak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Mengusulkan sejarah penangkapan selama 10 tahun (Proposal Jepang 2013). Tahun 2015 jumlah kapal aktif sebanyak 56 dengan total penangkapan yellowfin tuna dan bigeye tuna (National Report Jepang 2015). Menjadi usulan kriteria, kontribusi penelitian dan finansial ( Proposal Japan 2013). Melakukan percobaan penangkapan menggunakan purse 15 dilakukan Indonesia tidak termasuk dalam kriteria namun djadikan dasar perhitungan karena dalam resolusi 14/02 dikatakan bahwa TAC sebagian akan disimpan untuk pencadangan. Terlihat jelas perbedaan dari coastal state dengan distant water fishing nation. Coastal state pastinya mengajukan letak geografis sebagai salah satu dari kriteria sedangkan distant water fishing nation tidak mengajukan karena dapat merugikan posisinya sebagai negara yang letaknya jauh dari sumberdaya. Dasar pertimbagnan ini perlu dipertahankan dalam kriteria alokasi kuota tuna ditambah coastal state memiliki dasar hukum yang kuat serta diakui dunia yaitu mengenai hak coastal state yang tercantum dalam Konvemsi Hukum Laut Internasional Rentang data yang diajukan Jepang lebih lama dibandingkan dengan Indonesia. Kapal Indonesia lebih banyak sehingga sesuai dengan hasil tangkapan yang didapat lebih besar dibandingkan dengan Jepang. Jepang mengajukan kriteria alokasi kuota tuna mengenai kontribusi dalam melakukan riset dan pendataan, namun dalam perhitungan alokasi kuota tuna tidak terdapat spesifikasi seberapa

26 16 Tabel 5 Komparasi antara Indonesia dengan Jepang (Lanjutan) No Dasar Perbandingan 6 Faktor lain yang disesuaikan oleh komisi Indonesia Jepang Hasil Komparasi pasal X yang mengatur pengelolaan dan konservasi bycatch dan spesies terkait ekologi perikanan tuna (National Report Indoneisa 2015) Kontribusi dalam finansial yang dikeluarkan Indonesia sebesar US$ (Financial Statetment IOTC 2016) Mengusulkan ketergantungan ekonomi negara terhadap sumber daya ikan. Mengusulkan IPM (Proposal Indonesia 2016). Mengusulkan kepatuhan terhadap resolusi dan regulasi yang berlaku Penilaian kepatuhan Indonesia: o Kewajiban implementasi (agreement, peraturan, SC dan komisi) terdapat 4 informasi yang diperlukan. Patuh: 4 o Standar pengelolaan (Resolusi 15/04, 15/01, 12/12, 15/08, 15/07) terdapat 12 informasi diperlukan seine selama 5 tahun dengan objek mengurangi bycatch dari yellowfin tuna dan bigeye tuna dengan FAD (National Report Jepang 2015). Rencana Aksi Nasional hiu dan burung laut pada tahun 2001 yang kemudian direvisi pada tahun 2009 dan Selain itu, Jepang telah mengambil tindakan sesuai dengan Pedoman FAO pada bycatch penyu. Jepang telah mengambil tindakan sesuai dengan tindakan konservasi dan pengelolaan IOTC bycatch seperti hiu, penyu dan burung laut (National Report 2015). Kontribusi dalam finansial yang dikeluarkan Jepang sebesar US$ (Financial Statetment IOTC 2016). Mengusulkan pemanfaatan alokasi kuota tuna (Proposal Jepang 2013). Mengusulkan kepatuhan (Proposal Jepang 2013). Penilaian kepatuhan Jepang: o Kewajiban implementasi (agreement, peraturan, SC dan komisi) terdapat 4 informasi yang diperlukan. Patuh: 4 o Standar pengelolaan (Resolusi 15/04, 15/01, 12/12, 15/08, 15/07) terdapat 12 informasi yang diperlukan Patuh: 12 besar pembobotannya. Mengenai tindak konservasi yang dilakukan, Jepang lebih dahulu melakukannya dari segi peraturan dan penelitian. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih memperhatikan tindakan konservasi karena negara maju atau distant water fishing lebih mementingkan tindakan konservasi. Untuk kontirbusi finansial, yang diberikan Indonesia lebih besar dibandingkan Jepang. Hal ini karena jumlah hasil tangkapan Indonesia lebih tinggi daripada Jepang. Dari segi pembobotan, Jepang memasukan kontribusi finansial dalam perhitungan alokasi kuota dan menjadi kriteria yang dapat meningkatkan alokasi kuota tuna sebesar 5%. Indonesia dan Jepang sama-sama mengajukan kepatuhan dalam kriteria alokasi kuota tuna. Kepatuhan yang diusulkan Jepang lebih terperinci dibandingkan dengan Indonesia. Jepang mengajukan kepatuhan terhadap konservasi, kontribusi keuangan, riset dan pendataan. Namun tingkat kepatuhan yang diajukan Jepang tidak seluruhnya diberikan penilaian. Kriteria kepatuhan yang diberikan penilaian hanya kepatuhan

27 Tabel 5 Komparasi antara Indonesia dengan Jepang (Lanjutan) No Dasar Perbandingan Indonesia Jepang Hasil Komparasi Patuh: 10 Parsial: 1 Tidak patuh:1 o Pelaporan kapal (Resolusi 10/08, 12/11, 15/04, 14/05) terdapat 10 informasi yang diperlukan Patuh: 3 Parsial:2 Tidak dapat diterapkan: 5 o VMS (Resolusi 15/03) terdapat 2 informasi yang diperlukan Patuh: 1 Parsial: 1 o Persyaratan wajib statistik flag state (Resolusi 15/02 dan 15/05) terdapat 15 informasi yang diperlukan Patuh: 1 Parsial: 5 Tidak patuh: 6 Tidak dapat diterapkan: 3 o Persyaratan wajib statistik coastal state (Resolusi 15/01) terdapat 3 informasi yang diperlukan Tidak ada penilaian o Pelaksanaan langkah pengurangan bycatch (Resolusi 05/05, 12/09, 13/06, 12/04, 12/06, 13/04, 13/05) terdapat 14 informasi yang diperlukan Patuh: 12 Parsial: 1 Tidak patuh: 1 o Kapal IUU (Resolusi 11/03 dan 07/01) terdapat 2 informasi yang diperlukan Patuh: 2 o Transhipments (Resolusi 14/06) terdapat 5 informasi yang diperlukan Patuh: 1 Tidak patuh: 2 Tidak dapat diterapkan: 2 o Observers (Resolusi 11/04) terdapat 5 o Pelaporan kapal (Resolusi 10/08, 12/11, 15/04, 14/05) terdapat 10 informasi yang diperlukan Patuh: 3 Tidak dapat diterapkan: 7 o VMS (Resolusi 15/03) terdapat 2 informasi yang diperlukan Patuh: 2 o Persyaratan wajib statistik flag state (Resolusi 15/02 dan 15/05) terdapat 15 informasi yang diperlukan Patuh: 11 Parsial: 1 Tidak dapat diterapkan: 3 o Persyaratan wajib statistik coastal state (Resolusi 15/01) terdapat 3 informasi yang diperlukan Tidak ada penilaian o Pelaksanaan langkah pengurangan bycatch (Resolusi 05/05, 12/09, 13/06, 12/04, 12/06, 13/04, 13/05) terdapat 14 informasi yang diperlukan Patuh: 13 Parsial: 1 o Kapal IUU (Resolusi 11/03 dan 07/01) terdapat 2 informasi yang diperlukan Patuh: 2 o Transhipments (Resolusi 14/06) terdapat 5 informasi yang diperlukan Patuh: 5 o Observers (Resolusi 11/04) terdapat 5 informasi yang diperlukan Patuh: 3 Tidak dapat 17 resolusi secara keseluruhan dan mengenai kontribusi finansial anggota. Kepatuhan yang diajukan Indonesia hanya sebatas patuh, parsial dan tidak patuh. Indonesia dapat menambahkan penilaian kepatuhan terhadap kontribusi karena pada kriteria ini posisi Indonesia pun cukup kuat. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dalam memberikan kontribusi finansial sehingga kriteria ini dapat menguntungkan posisi Indonesia. Penilaian kepatuhan contracting party dinilai dari 84 informasi yang dibutuhkan dari agreement, peraturan, SC, komisi dan 26 resolusi. Penilaian kepatuhan Jepang yang diberikan IOTC terhadap resolusi lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Jepang memiliki nilai patuh sebanyak 60, parsial 19 dan tidak dapat diterapkan sebanyak 2. IOTC tidak memberikan penilaian tidak patuh pada Jepang. Penilaian kepatuhan Indonesia, yaitu patuh sebanyak 39, parsial 15, tidak patuh 11 dan tidak dapat diterapkan sebanyak 16. Ketidakpatuhan Indonesia

28 18 Tabel 5 Komparasi antara Indonesia dengan Jepang (Lanjutan) No Dasar Perbandingan Indonesia Jepang Hasil Komparasi informasi yang diperlukan Parsial: 5 o Program dokumen statistik (Resolusi 01/06) terdapat 4 informasi yang diperlukan Patuh: 1 Tidak patuh: 1 Tidak dapat diterapkan: 2 o Inspeksi pelabuhan (Resolusi 05/03 dan 10/11) terdapat 7 informasi yang diperlukan Patuh: 4 Tidak dapat diterapkan: 3 o Pasar (Resolusi 10/10) terdapat 1 informasi yang diperlukan Tidak dapat diterapkan: 1 (Compliance Report Indonesia 2016) diterapkan: 2 Program dokumen statistik (Resolusi o 01/06) terdapat 4 informasi yang diperlukan Patuh: 4 o Inspeksi pelabuhan (Resolusi 05/03 dan 10/11) terdapat 7 informasi yang diperlukan Tidak dapat diterapkan: 7 o Pasar (Resolusi 10/10) terdapat 1 informasi yang diperlukan Patuh: 1 (Compliance Report Jepang 2016) didominasi pada persyaratan wajib statistik. Kriteria ketergantungan ekonomi negara terhadap sumberdaya ikan diajukan Indonesia namun tidak diajukan oleh Jepang. Kriteria ini memiliki pembobotan terbesar dibandingkan dengan kriteria lain yang diajukan. Kriteria IPM diajukan Indonesia tidak terdapat dalam usulan Jepang.Kriteria ini perlu dipertahan guna meningkatkan perekonomian negara khusunya bagi negara berkembang dan terbelakang. Kriteria pemanfataan alokasi kuota tuna dan prediksi pengelolaan TAC selanjutnya yang diajukan Jepang tidak terdapat dalam usulan Indonesia. Oleh karena itu, kriteria ini dapat ditambahkan dan melengkapi usulan Indonesia dalam penghitungan setelah alokasi kuota tuna telah diberlakukan oleh IOTC sehingga usulan kriteria dan perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia dapat dinilai mempertimbangkan dari seluruhan aspek.

29 19 Bukti Ilmiah Indonesia Keberadaan sumberdaya ikan tuna Jepang Konservasi Perikanan berkelanjutan Indonesia Jepang TAC Cadangan 2,5%-10% Melakukan sesuai resolusi TAC Cadangan 3%-12% Melakukan sesuai resolusi Dasar Pertimbangan CCSBT ZEE daerah migrasi ikan Sejarah Penangkapan dan Kapal Indonesia Jepang Indonesia Coastal State Menjadi usulan kriteria Distant Water Fishing Nation Tidak menjadi usulan kriteria Mengusulkan sejarah tangkapan 5 tahun. Jumlah kapal 584 Jepang Mengusulkan sejarah tangkapan 10 tahun. Jumlah kapal 56 Kontribusi Indonesia Jepang Tidak mengusulkan Kontribusi finansial US$ Mengusulkan Kontribusi finansial US$ Faktor lain Indonesia Jepang Kepatuhan, keanggotaan, ketergantungan ekonomi dan IPM Kepatuhan, keanggotaan, pemanfaatan alokasi dan prediksi pengelolaan TAC. Gambar 2 Bagan komparasi usulan dan pengelolaan perikanan tuna Indonesia dengan Jepang Setiap butir-butir kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia dan Jepang tidak semuanya sama. Terdapat lima kriteria yang berbeda dan empat kriteria yang sama. Kriteria alokasi kuota tuna Indonesia yang berbeda dengan Jepang diantaranya, ketergantungan ekonomi negara terhadap perikanan, negara pantai di Samudera Hindia, bio-ekologi, IPM. Usulan kriteria alokasi kuota tuna Jepang yang berbeda, yaitu pemanfaatan alokasi kuota tuna. Prediksi pengelolaan TAC yang diajukan Jepang tidak termasuk dalam kriteria, melainkan masuk dalam perhitungan kuota untuk selanjutnya. Kriteria yang sama-sama diajukan

30 20 diantaranya, sejarah penangkapan, keanggotaan dalam IOTC, kepatuhan terhadap resolusi yang berlaku dan rencana perikanan berkelanjutan. Dilihat dari tabel komparasi, dasar pembanding mengenai bukti ilmiah yang relevan merupakan bukti ilmiah di Samudera Hindia yang dapat mendukung negara dalam mendapatkan kuota tangkapan. Penelitian Indonesia yang dilakukan di Samudera Hindia diantaranya, distribusi yellowfin tuna dan bigeye tuna di WPPNRI 571, 572 dan 573 yang dilaksanakan dari 2005 hingga 2013 dan monitoring penangkapan ikan tuna yang ditangkap oleh perikanan skala kecil di Sumatera Barat pada tahun 2014 hingga Penelitian tersebut dapat mendukung posisi Indonesia dalam penentuan alokasi kuota tuna karena membuktikan sumberdaya ikan berada pada wilayah Indonesia. Penelitian yang telah dilakukan Jepang, yaitu mengenai migrasi southern bluefin tuna namun untuk spesies tersebut tidak dikelola oleh IOTC. Selain itu, Jepang juga melakukan percobaan mengunakan purse seine ber-fad guna mengurangi bycatch dari penangkapan yellowfin tuna dan bigeye tuna. Terlihat perbedaan bukti ilmiah yang dilakukan Indonesia dan Jepang. Penelitian Indonesia lebih mengarah pada keberadaan sumberdaya ikan sedangkan penelitian yang dilakukan Jepang lebih mengarah pada konservasi. Mengenai kebutuhan pengembangan perikanan yang berkelanjutan, Indonesia dan Jepang sama-sama telah melakukannya seperti penggunaan logbook, pengadaan VMS dan observer karena hal tersebut tercantum dalam resolusi yang telah disesuaikan dan dipatuhi oleh CPCs. Program sampling pelabuhan, Jepang hanya melakukan sekali pada tahun 2008 karena pembongkaran hasil tangkapan dilakukan di luar negeri. Kriteria rencana perikanan berkelanjutan yang diajukan Jepang merupakan TAC yang dicadangkan. Indonesia tidak mengajukan hal tersebut sebagai kriteria namun Indonesia juga melakukan pencadangan TAC. Terdapat perbedaan besarnya pencadangan TAC. Jepang mengajukan 3% yang akan terus meningkat hingga 12% dalam jangka waktu 9 tahun. Indonesia mengajukan 2,5% yang tiap tahunnya akan meningkat hingga 10% namun tidak menetapkan seberapa lama jangka waktu untuk pencapaiannya. Oleh karena itu, Indonesia dan Jepang memiliki posisi yang sama-sama kuat. Selanjutnya, mengenai kontribusi negara anggota dalam melalukan konservasi dan perbaikan serta penelitian ilmiah, Indonesia dan Jepang telah melaksanakan rencana aksi nasional dari hiu. Selain kontribusi mengenai konservasi dan penelitian terdapat kontribusi finansial. Kontribusi dalam hal finansial yang dilakukan Indonesia lebih besar dibandingkan Jepang. Hal ini disebabkan hasil tangkapan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Jepang. Bedasarkan laporan keuangan IOTC, dasar untuk menentukan besarnya kontribusi, yaitu dari besarnya hasil tangkapan. Jepang tidak memenuhi poin negara anggota yang ZEE-nya merupakan daerah migrasi ikan karena lokasi negara yang berjauhan dengan Samudera Hindia. Jepang menjadi negara anggota dua tahun setelah IOTC berdiri pada tahun Oleh karena itu, Jepang dapat memanfaatkan sumber daya di Samudera Hindia sedangkan Indonesia menjadi anggota pada tahun 2007 walau posisi negara berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. CPCs yang tidak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia biasanya didominasi oleh negara maju. Jepang tergolong sebagai negara maju dengan indeks pembangunan manusia sebesar 0,891/89,1 peringkat 20 dunia (UNDP 2015). Oleh karena itu, Jepang dapat mengembangkan distant water fishing fleet. Perkembangan

31 teknologi membuat Jepang dapat melakukan ekspansi khususnya perkembangan teknologi pendingin dengan suhu sangat rendah yang dimulai sejak tahun 1960an (Haward 2000). Teknologi tersebut dapat menghindari kolabsnya industri perikanan dalam rangka pemanfaatan sumber daya ikan yang mulai menurun di wilayah Jepang. Hal tersebut juga dilakukan negara maju yang telah mengembangkan distant water fishing fleet seperti Eropa, Korea Selatan dan Cina (Fauzi 2005). Dasar pertimbangan dari CCSBT tetap perlu diperjuangkan bagi coastal state di Samudera Hindia karena sudah jelas menguntungkan posisi dari coastal state. Selain itu, dasar pertimbangan dari CCSBT memiliki dasar hukum yang diakui oleh dunia. Indonesia dan Jepang sama-sama mengajukan kriteria sejarah penangkapan seperti yang tercantum pada dasar pertimbangan yang digunakan CCSBT namun untuk jumlah kapal tidak diajukan. Terdapat perbedaan rentang waktu yang digunakan dalam menghitung sejarah penangkapan yang diajukan Indonesia dan Jepang. Perbedaan tersebut, yaitu rentang data sejarah penangkapan yang digunakan Indonesia selama 5 tahun terakhir sedangkan Jepang mengajukan selama 10 tahun. Selain itu, sejarah penangkapan dan jumlah kapal yang didaftarkan Indonesia dan Jepang memiliki jumlah yang berbeda. Pada tahun 2015, jumlah kapal aktif Indonesia sebesar 584 dari kapal yang terdaftar di IOTC sedangkan Jepang memiliki 56 kapal terdaftar dan aktif. Kapal aktif Indonesia hampir sepuluh kali lebih banyak dibandingkan dengan Jepang. Begitu pula pada hasil tangkapan Indonesia lebih mendominasi dibandingkan dengan Jepang. Hasil tangkapan Indonesia pada tahun 2015 tercatat ton yellowfin tuna dan ton bigeye tuna. Jepang menangkap sebanyak ton yellowfin tuna dan ton bigeye tuna pada tahun 2015 namun dari segi pendataan, Jepang lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia. Jepang tercatat telah memanfaatkan sumber daya ikan di Samudera Hindia sejak 1950, sedangkan Indonesia menyajikan data tangkapan per-spesies ikan sejak Hal tersebut dapat mempengaruhi sejarah penangkapan dan mengenai kepatuhan Indonesia terhadap resolusi. Dasar pembanding mengenai faktor lain yang disesuaikan oleh komisi muncul ketika dilaksanakannya pertemuan, khususnya dalam pertemuan penentuan kuota tangkapan negara. IOTC saat ini belum melaksanakan alokasi kuota tangkapan sehingga faktor lain diambil dari pengalaman Indonesia dalam penentuan kuota tangkapan SBT di CCSBT serta kriteria alokasi kuota tuna yang tidak temasuk dalam lima dasar pembanding sebelumnya. Dalam laporan annual meeting 2014, Indonesia meminta tambahan kuota tangkapan namun Jepang menolak dan meminta Indonesia meningkatkan kepatuhan terhadap resolusi yang berlaku terlebih dahulu (CCSBT 2014). Oleh karena itu, dalam dasar pembanding faktor lain yang disesuaikan oleh komisi dimisalkan dengan kepatuhan terhadap resolusi dan hal ini termasuk dalam usulan alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia dan Jepang. Selain itu, usulan kriteria alokasi kuota tuna yang tidak termasuk dalam dasar pembanding sebelumnya dimasukan dalam dasar pembanding faktor lain yang disesuaikan oleh komisi. Terdapat 84 informasi yang dibutuhkan dalam menilai kepatuhan CPCs. Penilaian dari 84 informasi terbagi menjadi dua, yaitu ketepatan waktu dalam menyerahkan infomasi yang dibutuhkan dan informasi yang telah dilakukan CPCs. Jumlah kepatuhan CPCs yang dihitung dalam tabel komparasi, yaitu penilaian dari informasi yang telah dilakukan CPCs. Ketepatan waktu dalam menyerahkan 21

32 22 informasi tidak dihitung karena penilaian hanya mencakup patuh atau terlambat dalam menyerahkan informasi (penilaian kepatuhan dari IOTC terdapat pada Lampiran 7). Hasil dari perbandingan dapat dilihat bahwa, kepatuhan Indonesia dalam resolusi yang berlaku tidak sebaik nilai kepatuhan Jepang. Dari 84 informasi yang dibutuhkan, Indonesia dapat mematuhi 39 sedangkan kepatuhan dari Jepang mencapai 60. Negara maju pada umumnya mempunyai teknologi yang lebih canggih sehingga dapat memanfaatkan laut lepas yang berjauhan dari negaranya. Teknologi yang mendukung, pengetahuan pelaku usaha dan nelayan yang luas menjadikan kesadaran akan pentingnya pendataan serta penelitian. Oleh karena itu, tingkat kepatuhan Jepang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Selain kepatuhan, yang termasuk dalam faktor lain, yaitu ketergantugnan ekonomi negara terhadap sumberdaya ikan, IPM, pemanfaatan alokasi kuota tuna dan prediksi pengelolaan TAC selanjutnya. Pemanfaatan alokasi kuota tuna dan prediksi pengelolaan TAC diajukan oleh Jepang, dapat menguntungkan posisi Indonesia. Oleh karena itu, usulan Jepang dapat ditambahkan dalam usulan kriteria alokasi kuota tuna Indonesia selanjutnya. Setiap kriteria alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia dan Jepang, masing-masing memiliki pembobotan atau penilaian yang berbeda. Pembobotan atau penilaian kriteria yang diajukan Indonesia lebih bervariasi dibandingkan yang diajukan Jepang. Setiap pembobotan kritera yang diajukan Jepang langsung diterapkan pada sejarah penangkapan tiap negara. Berbeda dengan pembobotan alokasi kuota yang diajukan Indonesia yang diakumulasikan terlebih dahulu kemudian dihitung pengaruhnya terhadap sejarah penangkapan negara. Hal tersebut dapat terlihat dari perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan oleh Indonesia dan Jepang. Berikut merupakan hasil perhitungan alokasi kuota tuna Indonesia dan Jepang (cara perhitungan terdapat pada Lampiran 3 dan 4). Tabel 6. Hasil perhitungan alokasi kuota tuna yang diusulkan Indonesia Negara Jenis Ikan Rata-rata tangkapan 5 tahun Penilaian kriteria KE IPM CS BioE CPCs Co Kuota yang didapat (ton) Persentase kuota yang didapat YFT Indonesia BET ,25 0,15 0,25 0,25 0,9 0, ALB YFT Jepang BET ,25 0,1 0,15 0,15 0,9 0, ALB Keterangan: YFT = yellowfin tuna, BET = bigeye tuna, ALB = Albacore tuna, KE = Ketergantungan ekonomi, BioE = bio-ekologi, IPM= Indeks Pembangunan Manusia, CS = coastal state, CPCs = Anggota IOTC, Co =Kepatuhan Tabel 7. Hasil perhitungan alokasi kuota tuna yang diusulkan Jepang Negara Jenis Ikan Rata-rata tangkapan 10 tahun Penilaian kriteria CPCs Co T CF PA Kuota yang didapat (ton) ,5% 65% Persentase kuota yang didapat YFT Indonesia BET % 95% 100% 105% 100% % ALB YFT Jepang BET % 105% 100% 105% 100% % ALB Keterangan: YFT = yellowfin tuna, BET = bigeye tuna, ALB = Albacore tuna, T = tunggakan, CF = kontribusi finansial, PA = Pemanfaatan alokasi, CPCs = Anggota IOTC, Co = Kepatuhan

33 Hasil perhitungan alokasi kuota tuna yang telah diajukan, kedua negara mengalami penurunan penangkapan. Hal tersebut karena adanya pencadangan stok ikan. Dilihat dari hasil perhitungan menggunakan usulan Indonesia, persentase alokasi kuota tuna yang didapat Indonesia mencapai 85,5% dari sejarah penangkapan sebelumnya sedangkan Jepang mencapai 65%. Penurunan kuota yang didapat Indonesia karena nilai pembobot ketergantungan ekonomi negara yang tergolong rendah, IPM Indonesia yang tergolong menengah dan kepatuhan Indonesia yang tergolong parsial. Penurunan kuota yang dialami oleh Indonesia tidak sesignifikan Jepang. Penurunan yang dialami Jepang dikarenakan pembobot ketergantungan ekonomi yang tergolong rendah, IPM yang tergolong maju, bukan coastal state dan tidak memiliki wilayah bio-ekologi sehingga Jepang memiliki pembobot yang kecil. Dilihat dari hasil perhitungan menggunakan usulan Jepang, persentase alokasi kuota tuna yang didapat Indonesia sebesar 97% sedangkan Jepang hingga 107%. Persentasi Jepang mengalami kenaikan sebesar 7% dikarenakan terdapat dua kriteria Jepang yang dapat meningkatkan alokasi kuota tuna, yaitu kepatuhan dan kontribusi finanasial. Oleh karena itu, 3% TAC cadangan dapat tertutupi dengan kedua kriteria tersebut. Berbeda dengan penurunan yang dialami Indonesia sebesar 3% untuk TAC cadangan tidak dapat tertutupi. Hal ini disebabkan Indonesia tergolong tidak patuh sehingga pembobotan kontribusi finansial hanya menutupi kriteria kepatuhan dan tidak dapat menutupi TAC cadangan. Hasil pembobotan Indonesia pada kriteria kepatuhan sebesar 95%. Nilai pembobotan ini dapat tertutupi dengan nilai pembobotan kontribusi finansial sebesar 105% karena kontribusi Indonesia tinggi. Persentasi alokasi kuota tuna yang didapatkan Indonesia memang lebih turun menggunakan perhitungan Indonesia jika dibandingkan dengan usulan Jepang. Namun, perhitungan alokasi kuota tuna yang diusulkan Indonesia lebih menguntungkan bila dilihat dari hasil kuota tangkapan yang didapatkan. Hal tersebut karena rata-rata sejarah penangkapan yang digunakan pada usulan Indonesia lebih besar dibandingkan yang digunakan dalam perhitungan Jepang. Rentang sejarah penangkapan yang digunakan dalam perhitungan yang diusulkan Jepang lebih panjang sedangkan data sejarah penangkapan Indonesia semakin mengecil. Oleh karena itu, data tersebut menyebabkan rata-rata penangkapan yang digunakan untuk perhitungan alokasi kuota tuna usulan Jepang lebih kecil bila dibandingkan data yang digunakan dalam perhitungan yang diusulkan Indonesia. Perhitungan alokasi kuota tuna menggunakan usulan Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan Jepang bila dilihat dari hasil perhitungannya. Hal tersebut karena rata-rata sejarah penangkapan yang digunakan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan data yang digunakan untuk perhitungan alokasi kuota yang digunakan Jepang. Bila data yang digunakan Indonesia mengalami perubahan, pembobotan dapat saling menutupi. Misalnya, bila IPM Indonesia tergolong negara maju hal tersebut dapat tertutupi jika Indonesia dapat meningkatkan nilai kepatuhan terhadap resolusi yang berlaku. Dilihat dari jangka panjang, usulan yang diajukan oleh Jepang bisa saja menguntungkan Indonesia bila sejarah penangkapan Indonesia dalam 10 tahun terus meningkat dari sebelumnya dan nilai kepatuhan Indonesia tergolong patuh. Hal tersebut karena pembobotan dari kontirbusi finansial dan kepatuhan negara dapat meningkatkan 23

34 24 alokasi kuota tuna dan Indonesia merupakan negara yang memberikan kontribusi terbesar ketiga pada tahun Hasil keseluruhan komparasi di atas, posisi Indonesia tergolong kuat karena seluruh dasar pembanding telah terpenuhi. Dasar pembanding yang jelas dapat memperkuat posisi Indonesia, yaitu negara anggota yang wilayah ZEE-nya menjadi wilayah migrasi ikan. Dasar pembanding ini pun diperkuat dengan adanya pengakuan dari internasional. Isi dari artikel Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 khususnya mengenai hak coastal state sangat menguntungkan sehingga kriteria tersebut perlu dipertahankan. Hal tersebut merupakan kelebihan bagi coastal state yang jelas memiliki dasar hukum untuk mempertahankan haknya bila dibandingkan dengan distant water fishing nation yang hanya berdasarkan data historical catch. Mengenai penelitian ilmiah, Indonesia perlu melakukan penelitian yang lebih mengarah konservasi. Hal ini karena yang dilakukan Jepang lebih mengarah pada konservasi. Bila Indonesia banyak melakukan penelitian atau pengelolaan yang mengarah pada konservasi dapat mempengaruhi pemikiran Jepang terhadap usulan Indonesia. Dasar pembanding negara anggota yang kapalnya menangkap ikan serta memiliki sejarah penangkapan dan mengelola perikanan serta faktor lain sesuai dengan komisi perlu menjadi perhatian Indonesia. Kedua hal tersebut sebenarnya saling berkaitan. IOTC menilai kepatuhan Jepang patuh (C) karena data kapal dengan hasil tangkapan Jepang selaras, sedangkan Indonesia dinilai tidak patuh (N/C). Data kapal yang disajikan Indonesia merupakan kapal yang terdaftar dan beroperasi di WPP 572, 573 dan laut lepas sedangkan data hasil tangkapan diperoleh dari data statistik yang wilayah penangkapannya di WPP 571, 572 dan 573. Melihat hal tersebut, data yang diberikan oleh Indonesia dapat dikatakan tidak selaras karena data statistik tidak mencakup kapal yang beroperasi di laut lepas sedangkan kapal yang beroperasi di WPP 571 tidak terdaftar di IOTC dan masuk dalam izin pemerintah daerah. Oleh karena itu, penilaian tidak patuh Indonesia didominasi pada resolusi persyaratan wajib statistik CPCs khusunya mengenai kepatuhan Indonesia dalam hal catch and effort yang tergolong tidak patuh (N/C). Namun perlu menjadi perhatian, bila seluruh kapal yang beroperasi di Samudera Hindia didaftarkan dan seluruh hasil tangkapan dilaporkan maka kontribusi Indonesia dapat menjadi yang tertinggi. Hal tersebut dapat berpengaruh pada kontribusi finansial Indonesia yang akan membengkak sehingga perlu menjadi pertimbangan posisi Indonesia. Meskipun jumlah kapal Indonesia tergolong banyak namun dapat mempengaruhi kepatuhan resolusi serta kontribusi finansial. Hal seperti ini khususnya mengenai kepatuhan perlu diwaspadai dan diantsipasi. Indonesia harus mengatur dan mendapat dukungan dari CPCs lainnya mengenai kepatuhan sebelum diatur oleh negara yang posisinya kuat seperti Jepang, UE dan distant water fishing nation lainnya. Besar pembobotan perlu diatur sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan atau meningkatkan nilai pembobot Indonesia. Dengan jumlah kapal dan hasil tangkapan yang besar serta mempersipkan data yang akurat dapat memperkuat posisi Indonesia saat melakukan negosiasi. Bila hal tersebut dapat dipersiapkan, kuota yang didapatkan Indonesia tidak turun jauh dari hasil tangkapan sebelumnya. Terlebih Indonesia sedang melakukan program pembangunan perikanan tuna yang tercantum dalam RPP-TCT. Indonesia harus lebih aktif dalam organisasi agar keberadaannya dapat

35 diakui oleh komisi IOTC sehingga dalam memberikan usulan Indonesia mempunyai dukungan kuat oleh komisi IOTC. Strategi Memperkuat Posisi Indonesia Penentuan kriteria alokasi kuota IOTC sangatlah rumit. Komisi IOTC berencana akan mengadakan pertemuan TCAC keempat di tahun Setiap diadakannya pertemuan untuk menentukan alokasi kuota tuna kerap terjadi perdebatan antara masing-masing anggota. Negara anggota saling memperjuangkan kepentingan ekonomi atas kuota tangkapan yang akan diberikan (Mc Dorman 2005 dalam Satria 2009). Sebagai anggota penuh IOTC, Indonesia perlu menyusun suatu strategi yang dimaksudkan agar usulan kriteria yang diajukan dapat diterima dan didukung komisi IOTC. Hal ini karena perjuangan untuk mendapatkan kuota dalam suatu RFMO merupakan politik tingkat tinggi dan melalui negosiasi yang intens dengan negara-negara anggota (Marjorie 2007 dalam Satria 2009). Hingga saat ini kriteria alokasi kuota belum ditentukan karena sulitnya menemukan kesepakatan antara coastal state dengan distant water fishing nation. Pertemuan TCAC III dilakkan selama tiga hari. Dalam pertemuan tersebut terdapat agenda pertemuan coastal state IOTC yang biasa dikenal dengan G16. G16 telah melakukan pertemuan dan menyepakati prinsip dasar pembagian alokasi kuota tuna, yaitu mengenai perikanan berkelanjutan, ketahanan pangan khususnya bagi negara pesisir berkembang dan pulau-pulau kecil, hak berdaulat coastal state, pemanfaatan laut lepas harus memfasilitasi coastal state berkembang. Namun, ketika dikemukakan dalam pertemuan TCAC III tidak disetujui terutama bagi distant water fishing nation. Selama pertukaran pandangan dalam pertemuan TCAC III, terdapat perbedaan sudut pandang antara coastal state dengan distant water fishing nation (IOTC 2016). Perbedaan tersebut terutama dalam pembobotan kriteria diantaranya, negara distant water fishing fleet memberikan bobot yang sangat signifikan terhadap kepatuhan sedangkan banyak negara yang masih kesulitan untuk meningkatkan kepatuhan terutama bagi negara berkembang sehingga coastal state tidak menerima pembobotan yang terlalu tinggi. Begitu pula mengenai sejarah penangkapan (historical catch) distant water fishing nation yang ditangkap di ZEE coastal state. Coastal state mengatakan bahwa tangkapan di ZEE harus dicatat sebagai hasil tangkapan negara pantai tanpa mempertimbangkan bendera kapal penangkap ikan yang beroperasi di ZEE negara pantai. Namun distant water fishing nation beranggapan ikan di ZEE harus dianggap sebagai hasil tangkapan negara bendera (flag state) karena telah lama memanfaatkan sumberdaya ikan di Samudera Hindia. Selain itu, belum adanya hal yang mendesak untuk memberlakukan alokasi kuota tangkapan di Samudera Hindia (IOTC 2016). Dilihat dari kondisi tersebut, Indonesia memerlukan strategi agar dapat mengelola perairan di Samudera Hindia khususnya pada ZEEI dengan seutuhnya. Strategi yang dapat dilakukan, yaitu pertama mengkaji kembali hak dari coastal state yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 dengan teori ilmiah. Teori ilmiah yang dapat digunakan, yaitu teori hak kepemilikan versi Ostrom dan Schlager Kedua, menganalogikan hak yang diberikan pemerintah Indonesia kepada masyarakat pesisir untuk mengelola perairan 25

36 26 disekitarnya. Ketiga, menggunakan usulan alokasi kuota tuna dari Jepang yang dapat menguntungkan posisi Indonesia dan mendapat dukungan dari distant water fishising nation. Kajian hak kepemilikan coastal state Hak yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 dapat dikaji menggunakan teori hak kepemilikian (property right). Dalam rezim kepemilikan sumber daya alam terdapat hak kepemilikan versi Ostrom dan Schlager 1992 diantaranya sebagai berikut: 1. Hak akses (Access right) merupakan hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat nonekstraktif. 2. Hak pemanfaatan (Withdrawal right) merupakan hak untuk memanfaatkan sumber daya atau hak untuk berproduksi. 3. Hak pengelolaan (Management right) yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya alam. 4. Hak ekslusi (Exclusion right) merupakan hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (Alienation right) yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak kolektif tersebut diatas. Seluruh hak tersebut dapat menetukan kepemilikan sumber daya alam. Pada tabel 8, pihak yang hanya memiliki hak akses maka statusnya hanya sebagai Autohorized entrent (pengunjung) sedangkan pihak yang memiliki hak akses dan pemanfaatan termasuk dalam Autohorized (pengguna). Pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan dan hak pengelolaan disebut sebagai claimant (penuntut). Pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan dan hak ekslusi dikategorikan sebagai proprietor (penguasa). Sedangkan pihak yang memiliki semua hak termasuk hak pengalihan tergolong dalam owner (pemilik). Seluruh status kepemilikan ini bersifat tidak tetap dan dapat berubah-ubah setiap waktunya. Tabel 8. Status kepemilikan sumber daya alam Ostrom dan Schlager (1992) Status Hak Kepemilikan Tipe Hak Owner Proprietor Claimant Autohorized Autohorized entrent Akses X X X X X Pemanfaatan X X X X Pengelolaan X X X Ekslusi X X Pengalihan X Tertulis dalam artikel 56 poin 1 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 menetapkan pengakuan dunia interansional terhadap hak berdaulat coastal state pada ZEE untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan diatas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya. Bila ditinjau menggunakan hak kepemilikan, coastal state telah memiliki hak akses dan hak pemanfaatan. Coastal state telah memiliki

37 akses diwilayah ZEE dan dapat memanfaatkan sumber daya hayati maupun non hayati di ZEE yang diakui internasional. Posisi coastal state tidak hanya sampai dihak akses dan pemanfaatan. Bila dilihat dari artikel 56 poin 2 negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban coastal state serta menaati peraturan undangundang yang ditetapkan oleh coastal state sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional. Ditinjau dari isi artikel tersebut menandakan coastal state mendapat hak untuk mengelola dan menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya alam di ZEE sehingga coastal state pun memiliki hak kepemilikan pengelolaan. Menurut Ostrom dan Schlager 1992, pemegang hak pengelolaan memiliki wewenang untuk menentukan bagaimana, kapan dan dimana pengambilan dari sumber daya dapat terjadi, serta apakah dan bagaimana struktur sumber daya dapat diubah. Misalnya, coastal state dapat menentukan seberapa besar jumlah hasil tangkapan yang dapat diperbolehkan yang merupakan salah satu langkah konservasi yang tertuang dalam artikel 61 poin 1. Coastal state pun memiliki hak ekslusi. Individu yang memegang hak eksklusi memiliki wewenang untuk menentukan kualifikasi individu yang memenuhi untuk mengakses sumber daya. Dengan kata lain, pemegang hak ekslusi dapat menetapkan siapa yang boleh menggunakan sumber daya dan siapa yang dilarang untuk menggunakannya. Pada artikel 62 poin 2 menyatakan coastal state dapat menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber daya hayati di ZEE. Bila coastal state tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah hasil tangkapan, kelebihan tersebut dapat diberikan kepada negara lain dari jumlah hasil tangkapan yang tersisa khususnya pada negara tak berpantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung. Selanjutnya dijelaskan pada artikel 62 poin 3 mengatakan bahwa, coastal state harus memperhitungkan semua faktor termasuk interalia pentingnya sumber kekayaan hayati di daerah itu bagi perekonomian coastal state yang bersangkutan dan kepentingan nasional lainnya. Menurut Satria (2009), mengatakan bahwa pada artikel 62 poin 2 tidak menyebutkan pemberian kesempatan untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) tetapi lebih mencerminkan pemberian dengan suka rela bukan sebuah kewajiban. Dengan demikian, pemberian kelebihan TAC yang diperbolehkan bukanlah hal yang bersifat otomatis melainkan tergantung dari perjanjian coastal state dengan negara yang akan menerima. Pemberian kelebihan TAC pun harus sesuai dengan artikel 62 poin 4, negara lain yang menangkap ikan di ZEE harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan yang telah ditentukan oleh coastal state. Bagi coastal state yang tingkat ketergantungan terhadap perikanan tinggi, seharusnya lebih meninjau ulang TAC negaranya serta memanfaatkan semaksimal mungkin. Hak kepemilikan yang terakhir, yaitu hak pengalihan yang biasa dipahami dengan menjual, menyewakan, mengalihkan sebagian atau seluruh hak kepemilikan yang telah disebutkan. Setelah hak pengalihan diberikan, pemegang hak sebelumnya tidak dapat melakukan kewenangan yang terkait dengan sumber daya. Bila dilihat dari penjelasan mengenai hak kepemilikan, tidak akan ada coastal state yang ingin memberikan salah satu hak kepemilikan mereka karena hak yang telah diberikan tidak dapat diambil kembali. Hal tersebut pastinya akan merugikan negara itu sendiri. Mengacu pada teori kepemilikan dari Ostrom dan Schlager 1992, coastal state memperoleh hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, 27

38 28 dan ekslusi yang berarti coastal state memegang posisi sebagai proprietor atau penguasa sehingga coastal state merupakan pemegang penuh ZEE dari wilayah hingga sumber daya alamnya. Hal tersebut menunjukan bahwa posisi dari coastal state sangatlah kuat bila ditinjau dari artikel Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang diakui internasional dan diperkuat dengan teori ilmiah khususnya pada teori hak kepemilikan dari Ostrom dan Schlager Analogi hak masyarakat pesisir Indonesia Indonesia memberikan hak kepada masyarakat pesisir untuk mengelola perairan di sekitarnya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, praktek awigawig di Lombok Barat yang efektif dalam mengendalikan praktek perikanan yang merusak atau menghancurkan. Tegaknya aturan dalam awig-awig di Lombok Barat serta adanya pengakuan dari pemerintah, membuat praktek kearifan lokal ini dapat berjalan efektif (Satria 2009). Analogi ini dapat diterapkan pada area kompetensi IOTC. Pengelolaan ZEE coastal state yang daerahnya masuk dalam area kompetensi IOTC sepenuhnya dapat dikelola negara anggota tersebut tanpa campur tangan negara lain. Hal ini pun didukung dengan adanya hak coastal state yang tercantum dalam draft Konvensi Hukum Laut Internasional Dalam artikel 56 poin 1 tertulis bahwa dalam ZEE, negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dari atas hingga dasar laut dibawahnya. Yuridiksi ini berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Artikel ini sudah jelas bahwa coastal state mendapat pengakuan dari Internasional dalam pengelolaan ZEE di negaranya sesuai dengan peraturan yang ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional Seperti dalam kegiatan konservasi, coastal state harus menentukan TAC dalam ZEE yang tertuang dalam artikel 61 tentang konservasi sumber kekayaan hayati. Selain itu, apabila seluruh TAC tersebut tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya coastal state dapat memberikan kesempatan negara lain khususnya bagi negara yang tidak memiliki pantai atau posisinya tidak beruntung untuk memanfaatkannya namun tetap dengan peraturan yang diatur oleh coastal state. Hal tersebut tertuang dalam artikel 62 tentang pemanfaatan sumber kekayaan hayati namun tidak dapat langsung diberikan. Coastal state dapat menentukan atau tidaknya negara asing untuk melakukan penangkapan di ZEE coastal state. Peraturan untuk pemanfaatan dari sisa jumlah tangkapan diperbolehkan bagi pihak asing sangat ditentukan dari coastal state. Peraturan dari coastal state tersebut pastinya mempertimbangkan terlebih dahulu dari pentingnya sumber kekayaan hayati bagi kepentingan ekonomi nasional suatu coastal state. Indonesia sebagai coastal state secara penuh telah melakukan pemanfaatan wilayah ZEE dan laut lepas Samudera Hindia dengan tidak melibatkan pihak asing. Hal tersebut dapat dilihat pada peraturan nasional Indonesia. Sejak tahun 2007 Indonesia tidak memberikan ijin penangkapan ikan di ZEEI oleh kapal berbendera asing. Namun, keterlibatan pihak asing masih terlihat pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 111 tahun 2007 perubahan dari Perpres nomor 77 tahun

39 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal. Mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) yang dilakukan, yaitu pengadaan kapal berasal dari luar negeri tetapi kapal tetap berbendera Indonesia. Hasil tangkapan kapal tersebut tetap tercatat sebagai tangkapan Indonesia meskipun dengan mekanisme PMA. Terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pihak PMA pada sektor perikanan diantaranya, pembangunan UPI yang dapat menyerap tenaga kerja Indonesia serta jumlah ABK Indonesia yang bekerja pada kapal tersebut. Hal tersebut tercantum dalam Permen KP nomor 17 tahun 2006 yang kini telah diubah menjadi permen 30 tahun 2012 tentang usaha perikanan tangkap di Wilayah Penglolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 54 tahun 2002 tentang usaha perikanan. Hampir setiap tahun peraturan mengenai usaha penangkapan ikan dievaluasi dan diamandemen sesuai dengan keperluan pengelolaan perikanan. Pada tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Permen KP Nomor 10 tahun 2015 tentang penghentian sementara (moraturium) perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang mengatur mengenai moratorium perpanjangan bagi kapal eksasing. Dalam Permen KP mengatakan bahwa, penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap yaitu tidak dilakukannya penerbitan izin baru bagi SIUP, SIPI dan SIKPI. SIPI dan SIKPI yang telah habis masa berlakukanya tidak dilakukan perpanjangan sedangkan SIPI atau SIKPI yang masih berlaku dilakukan analisis dan evaluasi sampai masa berlakunya berakhir. Setelah dilakukan analisis dan evaluasi selanjutnya ditemukan suatu pelanggaran, dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal-hal tersebut dapat menunjukan bahwa sumberdaya perikanan di Indonesia sepenuhnya telah dimanfaatkan oleh Indonesia sehingga analogi mengenai pemberian hak bagi masyarakat pesisir sebenarnya telah sepenuhnya dilakukan Indonesia. Oleh karena itu, apabila IOTC mendukung setiap pengelolaan perikanan coastal state maka distant fishing water nation hanya dapat memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas. Oleh karena itu, usulan mengenai hasil tangkapan atau historical catch di ZEE coastal state oleh setiap kapal termasuk kapal berbendera asing yang diizinkan coastal state beroperasi dalam ZEE harus terhitung sebagai sejarah penangkapan coastal state yang bersangkutan bukan sebagai sejarah penangkapan dari negara bendera (flag state). Hal ini harus tetap dipertahankan meski mendapat tentangan kuat dari distant water fishing nation seperti Uni Eropa, Jepang, Korea dan China. Mengingat dinamika suatu organisasi semakin besar dan berkembang, adanya persaingan, pemikiran masyarakat yang semakin kritis, serta media masa yang sangat berpengaruh terhadap opini yang dikeluarkan menjadi tantangan yang perlu dihadapi dalam berorganisasi. Analogi ini dapat dijadikan dasar atau kerangka strategi Indonesia yang kemudian bisa dijadikan legal paper saat pertemuan. Strategi perlu disampaikan terutama saat pertemuan coastal state IOTC yang biasa dikenal dengan sebutan G16. Dengan demikian, coastal state lainnya sadar akan hak yang telah tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional. Setidaknya sebelum dilakukan pertemuan dengan seluruh komisi IOTC, Indonesia telah mendapat dukungan negara yang secara geografis sama dari 29 negara Contracting Party dan 4 negara non-contracting Party IOTC. 29

40 30 Setelah Indonesia mendapatkan dukungan dari seluruh coastal state, strategi ini dapat diusung ketika pertemuan TCAC berikutnya untuk memperkuat posisi coastal state dimata distant water fishing nation. Bila antara coastal state dengan distant water fishing nation belum menemukan titik tengah sedangkan sistem alokasi mendesak harus dilaksanakan jalur voting dapat saja dilakukan. Tertulis dalam persetujuan IOTC bahwa pengambilan suara diputuskan bila mencapai 2/3 dari seluruh anggota IOTC yang hadir dan memberikan suara (IOTC 2014). Dilihat dari seluruh negara anggota IOTC, terdapat 20 negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia sedangkan 13 negara tidak berbatasan langsung. Jika Indonesia dapat meyakinkan seluruh coastal state, usulan yang diajukan oleh Indonesia dapat diterima. Dalam hal pembagian kuota Indonesia memiliki posisi yang kuat hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan tuna Indonesia berada pada posisi ketiga. Indonesia memiliki garis pantai cukup panjang yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Usulan Jepang yang dapat menguntungkan posisi Indonesia Usulan kriteria yang diajukan oleh Indonesia telah mencakup seluruh aspek namun masih sulit untuk mendapatkan dukungan dari distant water fishing nastion. Hal ini karena, usulan kriteria yang diajukan Indonesia tergolong kurang dalam memperhitungkan segi kepatuhan dan konservasi. Kedua hal tersebut perlu dipertimbangkan agar usulan Indonesia mendapat dukungan dari distant water fishing nation yang tergolong kuat dalam kepatuhan dan konservasi. Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, terdapat kriteria alokasi kuota tuna Indonesia dan Jepang yang berbeda. Usulan kriteria Jepang yang dilihat dapat menguntungkan Indonesia, yaitu tingkat kepatuhan dalam kontribusi finansial, pemanfaatan aloaksi kuota tuna dan prediksi pengelolaan TAC. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pada tahun 2015 dalam memberikan kontribusi finansial. Bila kriteria kontribusi finansial dapat dimasukan dalam usulan Indonesai tentu dapat menguntungkan posisi Indonesia. Selain itu, negara pengembang distant water fishing pun banyak yang memberikan kontribusi besar, seperti Uni Eropa, China dan Jepang. Negara-negara tersebut pastinya akan menyetujui hal tersebut karena dinilai dapat menguntungkan posisi negaranya. Usulan yang diajukan Jepang bersifat konservastif karena memperhitungkan pemanfaatan alokasi kuota tuna, mengelola pemotongan dari alokasi kuota dasar yang didapat CPCs serta mengelola keberlanjutan dari TAC. Kriteria pemanfaatan alokasi kuota tuna dan pengelolaan dari hasil pemotongan alokasi kuota dasar negara yang diajukan Jepang dapat ditambahkan dalam usulan Indonesia. Hasil dari pemotongan alokasi kuota tuna akan dimasukan dalam alokasi cadangan. Pemanfaatan dari alokasi cadangan ini akan ditentukan oleh komite IOTC sesuai rekomendasi ilmiah. Hal ini menunjukan Jepang cenderung konservatif dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Mengenai TAC, Indonesia hanya mengajukan pencadangan TAC. Hal tersebut karena tercantum dalam resolusi 14/02. Berbeda dengan Jepang yang mengajukan hingga prediksi pengelolaan TAC selanjutnya. Pengelolaan tersebut digunakan bila terjadi peningkatan TAC. Peningkatan tersebut akan dimanfaatkan oleh contracting party (CP) dan sebagian lagi akan dibagikan kepada contracting non-party (CNP) coastal state. Bila diperlukan, Indonesia dapat membuat prediksi pengelolaan TAC yang mengalami penurunan. Apabila TAC global mengalami penurunan Indonesia dapat memperkirakan

41 seberapa besar kuota tuna yang akan didapatkan negara anggota khususnya untuk Indonesia. Selama ini sulit mendapatkan padangan yang sama antara coastal state dan distant water fishing nation sedangkan pertemuan TCAC IV akan dilaksanakan pada tahun Kriteria yang diajukan coastal state lebih mengarah pada letak geografis sedangkan distant water fishing nation lebih mengarah pada konservasi, pendataan dan kepatuhan. Tingkat kepatuhan dalam kontribusi finansial, pemanfaatan alokasi kuota tuna dan prediksi pengelolaan TAC dapat dijadikan celah bagi Indonesia untuk meningkatkan alokasi kuota tuna. Kriteria ini pun bisa meyakinkan negara lain khususnya distant water fishing nation seperti Jepang agar menerima usulan yang diajukan oleh Indonesia. Usulan Jepang yang dapat menguntungkan Indonesia perlu dipertimbangkan untuk usulan kriteria alokasi kuota tuna berikutnya sehingga usulan Indonesia dapat dinilai telah mempertimbangkan seluruh aspek secara utuh, yaitu ekonomi-sosial, keadilan, kepatuhan dan konservasi. 31 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Usulan alokasi kuota Indonesia lebih mengutamakan ketergantungan ekonomi negara terhadap sumber daya ikan sedangkan untuk usulan Jepang lebih mengutamakan pendataan, kepatuhan dan kontribusi negara terhadap IOTC. 2. Hasil dari komparasi kedua negara, yaitu Jepang tidak memenuhi dasar pembanding negara yang ZEE-nya merupakan jalur migrasi ikan (bukan coastal state di Samudera Hindia) sedangkan untuk Indonesia, posisinya lemah dalam hal kepatuhan terhadap resolusi bila dibandingkan dengan Jepang. 3. Strategi yang dapat dilakukan coastal state khususnya Indonesia, diantaranya: a. Mempertahankan hak coastal state yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 dengan cara mengkaji hak coastal state menggunakan teori hak kepemilikan versi Ostrom dan Schlager b. Menganalogikan hak yang diberikan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola perairan yang disekelilingnya. c. Mengajukan kembali usulan kriteria alokasi yang telah ditambahkan usulan alokasi kuota tuna yang diajukan oleh Jepang. Saran Saran yang diusulkan dari hasil penelitian ini, yaitu Indonesia dapat mengusulkan kembali usulan kriteria alokasi kuota tuna dipertemuan TCAC berikutnya dengan menambahkan kriteria alokasi kuota tuna yang di ajukan oleh Jepang serta tetap mempertahankan hak dari coastal state sehingga kriteria mengenai negara pantai di Samudera Hindia tetap diperhitungkan dalam kriteria alokasi kuota tuna.

42 32 DAFTAR PUSTAKA Ashshofa B Metode Penelitian Hukum. Jakarta (ID): Rineka Cipta. [BPS] Badan Pusat Statistik Indeks Pembangunan Manusia [Internet]. [diunduh 2015 Des 28]. Tersedia pada: [CCSBT] Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna Text of the Convention for Conservation of Southern Bluefin Tuna Report of the Twenty First Annual Meeting of the Commission [Internet]. [Adelaide 2013 Okt 14-17]. Adelaide (AU): CCSBT [diunduh April 2016] Tersedia pada: [FAO] Food Agricultural Organization Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome (IT): FAO. Fauzi A Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu. Sintesis dan Gagasan. Jakarta (ID): PT Gramedia. Haward M The Politic Economy of Japanese Distant Water Tuna Fisheries. Australia (AU): Elsevier Science. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission Report of the Twelfth session of the Scientific Committe [Internet]. [Victoria 2009 Nov 30-Des 4]. Victoria (SC): IOTC [diunduh Maret 2013] Tersedia pada: Proposal on IOTC Quota Allocation Criteria Japan [Internet]. [Japan 2012 Jan 30]. Victoria (SC): IOTC [diunduh Mei 2014] Tersedia pada: Indian Ocean Tuna Commission: Rules of Procedure (20140 [Internet]. [diunduh April 2016] Tersedia pada: Compendium of Active Conservation and Management Measures for the Indian Ocean Tuna Commission [Internet]. [Victoria 2015 Sep 10] Victoria (SC): IOTC [diunduh Mei 2016]. Tersedia pada: Indonesia National Report to The Scientific Committe IOTC [Internet]. [Indonesia 2015 Nov 08]. Victoria (SC): IOTC IOTC [diunduh Maret 2016]. Tersedia pada: Japan National Report to The Scientific Committe IOTC [Internet]. [Japan 2015 Nov 10]. Victoria (SC): IOTC [diunduh Maret 2016] Tersedia pada: Report of the 3rd Techical Committee on Allocation Criteria [Internet]. [Kish Is Islamic 2016 Feb 21-23]. Victoria (SC): IOTC [diunduh Maret 2016] Tersedia pada: Quota Allocation System for Indian Ocean Tuna Fisheries Indonesia [Internet]. [Indonesia 2016 Jan 21]. Victoria (SC): IOTC [diunduh Maret 2016] Tersedia pada: Jaya I Prosiding Simposium Pengelolaan Perikanan Tuna Berkelanjutan. Jakarta (ID): WWF-Indonesia. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Rencana Aksi Nasional Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna. Cakalang dan Tongkol. Jakarta (ID): KKP. Nazir M Metodelogi Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.

43 Nikijuluw V Politik ekonomi Perikanan Bagaimana dan Kemana bisnis Perikanan?. Jakarta (ID): Fery Agung Corporation (FERACO). Ostrom. Schlager Property Rights Regimes and Natural Resources: a. Conceptual Analysis. University of Wisconsin Press and Land Economics 68: Madison (US): Wisconsin Press. Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Penglolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Peraturan Menteri Nomor 10 tahun 2015 tentang Penghentian Sementara (Moraturium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang Mengatur Mengenai Moratorium Perpanjangan bagi Kapal Eks-asing. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Dibidang penanaman Modal. Purwaka T Pengaturan Hukum Tentang Pengusahaan Pasir Laut di Kepulauan Riau. Jakarta (ID): Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya. Satria A Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia?. Bogor (ID): IPB Press. Satria A Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Sugiyono Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Sukirno S Teori Mikro Ekonomi. Jakarta (ID): Rajawali Press. Undang-Undang Perikanan Nomor 21 tahun 2009 tentang Pengesahaan Persetujuan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruayah Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruayah Jauh. Undang-Undang Perikanan Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. [UNDP] United Nation Development Program Human Development Report 2015: Work Human Development [Internet]. [Waktu dan tempat tidak diketahui]. New York (US): UNDP [diunduh April 2016] Tersedia pada: United Nation The Law of the Sea. New York (US): United Nation. 33

44 34 LAMPIRAN Lampiran 1. Usulan Kriteria Alokasi Kuota Indonesia QUOTA ALLOCATION SYSTEM FOR INDIAN OCEAN TUNA FISHERIES Proposed by INDONESIA Background The IOTC Resolution 10/01, which was adopted in 2010, requires the development of quota allocation system or any other relevant measure for the sound management of main targeted species falling under the IOTC competence, such as Bigeye, Yellowfin, and Albacore stocks. To meet such requirement. the IOTC Technical Committee has invited proposal and held meeting to discuss the quota allocation system. This proposal is the revised version of the late proposal submitted during the 2nd Session of the Technical Committee on Allocation Criteria (TCACO2) in Muscat Oman on February In this proposal in the development of the quota allocation system. Indonesia maintain the importance of historical engagement of the country in fishing the resources, the legitimate and aspiration of the coastal country and the socio-economic importance of fisheries activity for the country. In this revised version. Indonesia also continues to acknowledge the importance of allocating certain percentage of the resource as a reserve stock or for allocation for the new entrance and for the compliance to the IOTC resolution. The Indian Ocean Tuna Commission Recognizing that based on past experience in the fishery, the potential production from the resource can be negatively impacted by excessive fishing effort; Recognizing that during the 18th IOTC scientific meeting, the committee recommended the Bigeye, Yellowfin, and Albacore catches should not exceed the MSY levels which have been estimated at tones for Bigeye, ton for Yellowfin and for Albacore; Recognizing that IOTC Resolution 10/01 requires the development of quota allocation system for Yellowfin and Bigeye tuna stocks; Taking into account the soverign rights of coastal states for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, within their respective exclusive zones in accordance with Article 56 (1) of the United Nation Convention on the Law of the Sea, Montego Bay of 10 December 1982; Taking into account the available scientific information and advice. in particular the IOTC Scientific Committee conclusions whereby the Yellowfin stocks may have been over exploited (Catch in 2014 has reached ton, whereas MSY is estimated ton); Acknowledging that the implementation of TAC without a quota allocation system would result in an inequitable distribution of the catches and fishing opportunities among the CPSs and non CPCs;

45 Noting the importance of applying the precautionary approach for the management of the tropical tuna and swordfish stocks; Noting the 13th Scientific Committee recommendation to develop a Compliance Monitoring Scheme; Adopts. in accordance with the provision of Article IX, paragraph 1 of the Agreement establishing the IOTC. the proposed quota allocation system is as follows. Basic Principle and Consideration 1. Sustainable Fisheries the development and implementation of quota allocation system should ensure the sustainability of fish stock. For that matter, the best available scientific data and method of analysis should be used to determine the MSY and TAC. A portion of the stock should be allocated to reserve stock or for the new entrance The sum of all countries quota should not exceed the TAC. 2. Distribution of Benefits the utilization of the resources should be distributed among members that consider historical engagement. geographic location/proximity to the resources, the fisherman livelihood and the socioeconomic level of development of the country 3. Membership and Compliance the quota allocated for each country should be given to the member country based on their membership statute and their level of compliance to the IOTC resolutions. Proposed Main Criteria for Allocation There are seven main criteria proposed for quota allocation for each country. namely: (1) Catch history (2) Dependence of fisheries sector to the national economy (3) Human Development Index (4) Coastal state of Indian Ocean (5) Bio-ecological Significance of the waters within the national jurisdiction of the country (spawning area, nursery ground and strategic migration path) (6) IOTC membership (7) Compliance with IOTC rule and regulation Step by Step Allocation 1. Total Allowable Catch (TAC) TAC is determined based on the best available data and method by the scientific panel of IOTC. TAC is allocated for member country as well as for new entrance, 2,5% of the TAC will be allocated to stock reservation or for new entrance as a starting percentage and will be increase gradually up to 10%. 2. Quota Allocation for each country ( ) is allocated based on the following simple formula: = _ ( )( 1+ 2) Where: _ is average catch (in tons) of the country reported to the IOTC for the last five years. 35

46 36 1 is dependence of fisheries sector to the national economy (high = 0,3. medium = 0,25. and low = 0,2). 2 is Human Development Index. HDI (underdeveloped=0,20. developing=0,15. develop=0,10). 3 is Coastal State of the Indian Ocean (yes = 0,25. no=0,15) 4 is Bio-ecological Significances (spawning ground. nursery ground. strategic migration path) within the country s ZEE (available = 0,25. none = 0,15) 1 is IOTC membership (yes = 0,90. no = 0,85) 2 is degree of compliance (full = 0,1. partial = 0,05. no = 0,0). QAi QAi QA1 QA2 QA3 QAn TAC97,5 3. Adjusted Quota to MSY ( _ ) To ensure the total allocation for all the countries do not exceed the TAC, then the must be adjusted, as follows: where 97,5 is the total allowable catch after 2,5% deduction for the new entrance or to stock reservation. Lampiran 2. Usulan Kriteria Alokasi Kuota Jepang. Proposal on IOTC Quota Allocation Criteria Proposed by Japan 1. Basic principles Transparency Objective figures should be used as much as possible in the criteria. Predictability Players need to predict what will happen in the medium to long term under the new criteria. Progressiveness Radical change should be avoided. Sustainable fishery development Due consideration should be given to sustainable fishery development of developing countries. 2. Factors to be considered in allocating quota Historical catches of members and cooperating non-members (CPCs) Fishery development plans of developing CPCs Legal status (member or cooperating non-member) Degree of compliance with conservation and management measures Degree of compliance with financial contribution Degree of contribution to research and data collection Degree of allocation utilization. 3. How to allocate Total Allowable Catch (TAC) will be established based on scientific recommendation of the Scientific Committee. The share of each CPC will be decided based on its historical catches on a flag basis. The past ten years will be used as base years. 3% of TAC will be reserved for fishery development of developing CPCs and new entrants (hereinafter called Development Reserve ). TAC minus Development Reserve will be allocated among CPCs in accordance with shares. This allocation will become a basic allocation. The basic allocation of each CPC will be adjusted by multiplying the following percentages:

47 a. Member or cooperating non-member Member: 100% Cooperating non-member: 95% b. Number of non-compliance with conservation and management measures Zero: 105% One or more: 95% 90% will be applied to any overharvest of allocation in addition to payback. c. Financial contribution Allocation will be cut half if a CPC s arrear is greater than the amount equal to the most recent two years financial contribution unless otherwise decided by the Commission. d. Contribution to research and data collection More than US dollars contribution in money or kind: 105% Less than : 100% e. Utilization of allocation Less than 50% utilization of the previous year s allocation: 90%. 50% of the reduced portion as a result of (a) to (e) above will go to Development Reserve. The remaining 50% will be kept unused. The use of this 50% will be decided by the Commission, taking into account scientific advice. The Commission will decide allocation for each year at annual meetings in accordance with the above process. 4. Fishery Development of Developing CPCs The percentage of Development Reserve (3%) will be increased by 1% every year until it reaches 12% (in 9 years). Further increase will be subject to decision of the Commission. If TAC increases, 30% of the increased portion will go to Development Reserve. 70 % of the increased portion will be allocated on a pro rata basis. New entrants who can utilize Development Reserve will be limited to developing coastal countries in the Indian Ocean. Such new entrants need to become a CPC and submit its fishery development plan. If a new entrant does not become a formal member after utilizing Development Reserve for five years, such utilization will be suspended until it becomes a formal member. Allocation of Development Reserve among developing CPCs will be decided by themselves, taking into account fishery development plans. 5. Temporary transfer of allocation Any transfer of allocation from one CPC to another CPC will be subject to approval of the Commission. Only formal members can transfer its allocation to others. Temporary transfer of allocation will not affect shares. 37

48 38 Lampiran 3. Perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Indonesia Perhitungan alokasi kuota tuna yang didapat Indonesia Tabel 9 Data hasil tangkapan tuna Indonesia selama 5 tahun (dalam ton) Tahun Jenis Ikan Rata-Rata tahun YFT BEY ALB Prinsip Kriteria Pembobotan Pemanfaatan yang berkeadilan Ketergantungan terhadap perikanan IPM Tinggi 0,30 Negara Menengah: 0,25 Negara Terbelakang: Berkembang: 0,20 0,15 Negara pantai Ya: 0,25 Bio-ekologi Ya: 0,25 Total pembobotan kriteria dari prinsip 1 pemanfaatan yang berkeadilan Prioritas Keanggotaan pemberian kuota Kepatuhan Total pembobotan kriteria dari prinsip prioritas pemberian kuota Ya: 0,90 Patuh: 0,10 1 Persial: 0,05 Rendah: 0,2 Negara Maju: 0,10 Tidak: 0,15 Tidak: 0,15 Tidak: 0,85 Tidak Patuh: 0 Alokasi yang didapat untuk yellowfin tuna = _ h ( )( ) = (0,25+0,15+0,25+0,25)(0,9+0,05) = ton Alokasi kuota yang didapat untuk bigeye tuna = _ h ( )( ) = (0,25+0,15+0,25+0,25)(0,9+0,05) = ton Alokasi kuota yang didapat untuk albacore tuna = _ h ( )( ) = (0,25+0,15+0,25+0,25)(0,9+0,05) = ton

49 39 Lampiran 4. Perhitungan alokasi kuota tuna yang diajukan Jepang Perhitungan kuota tuna yang didapatkan Indonesia Tabel 10 Data hasil tangkapan tuna Indonesia selama 10 tahun (dalam ton) Jenis Ikan Tahun Rata- Rata 10 tahun YFT BEY ALB No Indikator kriteria Kriteria Penilaian 1. Keanggotaan IOTC CP = 100% CNP = 95% 2. Kepatuhan terhadap resolusi dan peraturan yang berlaku Patuh = 105% Tidak patuh = 95% Penangkapan melebihi kuota = 90% serta pengembalian kelebihan tangkap Tunggakan 2 = dikurangi ½ (50%) Tunggakan < 2 = tidak dikurangi (100%) 3. Tunggakan kontribusi keanggotaan (2 tahun) 4. Kontribusi finansial US$ = 105% < US$ = 100% 5. Pemanfaatan alokasi 50% = 90% > 50% = 100% Alokasi kuota tuna yang didapat untuk yellowfin tuna Keanggotaan : 100% x = Kepatuhan : 95% x = Tunggakan : 100% x = Kontribusi : 105% x = Pemanfaatan : 100% x = Kuota yang didapat: x 97% = ton Alokasi kuota tuna yang didapat untuk bigeye tuna Keanggotaan : 100% x = Kepatuhan : 95% x = Tunggakan : 100% x = Kontribusi : 105% x = Pemanfaatan : 100% x = Kuota yang didapat: x 97% = ton Alokasi kuota tuna yang didapat untuk albacore tuna Keanggotaan : 100% x = Kepatuhan : 95% x = Tunggakan : 100% x = Kontribusi : 105% x = Pemanfaatan : 100% x = Kuota yang didapat: x 97% = ton

50 40 Lampiran 5. Gambar ikan tuna dan peta area IOTC Sumber: Scientific Committee IOTC Gambar 3 Tuna mata besar/bigeye tuna (Thunnus obesus) Sumber: Scientific Committee IOTC Gambar 4 Tuna sirip kuning/madidihang/yellowfin tuna (Thunnus albacares)

51 41 Lampiran 6. Peta area kompetensi IOTC Sumber: FAO Gambar 5 Peta area kompetensi IOTC

52 42 Lampiran 7. Penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC Sumber: IOTC

53 43 Lanjutan lampiran penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC Sumber: IOTC

54 44 Lanjutan lampiran penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC Sumber: IOTC

55 45 Lanjutan lampiran penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC Sumber: IOTC

56 46 Lanjutan lampiran penilaian kepatuhan Indonesia dari IOTC Sumber: IOTC

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 BAB V PENUTUP Kesimpulan Indonesia merupakan negara maritim yang didalamnya menyimpan kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 juta km² yang terdiri dari 1,8 juta km²

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore),

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Jakarta, 29 Agustus 2017 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Status Indonesia di RFMOs Status : Member (PerPres No. 9/2007) Status : Member (PerPres N0.61/2013) IOTC

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.883, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pengelolaan sumber daya perikanan dan antisipasi krisis perikanan global, menuntut pemerintah Indonesia menjadi bagian dari organisasi pengelolaan perikanan regional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2012 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2012 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2012 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

Rekomendasi Kebijakan 2013

Rekomendasi Kebijakan 2013 DIPLOMASI INDONESIA - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DALAM FORUM REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONS (RFMOs) Sasaran Rekomendasi: Kebijakan yang terkait dengan prioritas nasional. Ringkasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN TEKNIS PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGI PENYELENGGARA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU (2013-2016) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom 20151060029 PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS PASCA SARJANA

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dengan judul Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures

Lebih terperinci

2016, No Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985

2016, No Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 No. 1247, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KP. Komnas KAJISKAN. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PERMEN-KP/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2009 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2009 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2009 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN Pandapotan Sianipar, S.Pi Kasi Pengawasan Usaha Pengolahan, Pengangkutan, dan Pemasaran Wilayah Timur, Direktorat

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PERMEN-KP/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PERMEN-KP/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PERMEN-KP/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN SUMBER DAYA IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

WORKSHOP PENYUSUNAN GUIDELINES PEMETAAN HABITAT DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA

WORKSHOP PENYUSUNAN GUIDELINES PEMETAAN HABITAT DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA WORKSHOP PENYUSUNAN GUIDELINES PEMETAAN HABITAT DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA LATAR BELAKANG 1. Merujuk program kerja Direktorat Kapal Perikanan &

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN TARGET INDIKATOR KETERANGAN 14.1 Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi semua jenis pencemaran laut, khususnya dari kegiatan berbasis lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi.

Lebih terperinci

WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA

WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA LATAR BELAKANG 1. Merujuk program kerja Direktorat Kapal Perikanan & Alat Penangkapan Ikan tahun

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO V - 954 POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO Akhmad Solihin 1), Eko Sri Wiyono 2) 1) a.solihin1979@gmail.com, 08156217120, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.16/MEN/2012 TENTANG KOMISI NASIONAL PENGKAJIAN

Lebih terperinci

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 36 BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 5.1 Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera

Lebih terperinci

2014, No tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Nomor PER.16/MEN/2012 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan; Mengin

2014, No tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Nomor PER.16/MEN/2012 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan; Mengin No.255, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PERMEN-KP/2014 TENTANG

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2010 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN PENERBITAN SURAT IZIN PENANGKAPAN IKAN (SIPI) DAN SURAT IZIN KAPAL PENGANGKUT IKAN (SIKPI)

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Internasional Kebijakan umum Pemerintah Republik Indonesia pada organisasiorganisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT

PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT Oleh: Rony Megawanto Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG KEMENTERIAN DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16 Gedung Mina Bahari III Lantai 15, Jakarta 10110 Telepon (021) 3519070, Facsimile (021) 3520346 Pos Elektronik ditjenpsdkp@kkp.goid

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Oleh: Akhmad Solihin Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor Selatan Jawa yang menghadap Samudera Hindia adalah

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL. Tesis. Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL. Tesis. Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN NELAYAN DI PESISIR PANTAI KECAMATAN SINGKIL UTARA KABUPATEN ACEH SINGKIL Tesis Oleh: NOMI NOVIANI SIREGAR NIM : 107039025 PROGRAM MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan.

BERITA NEGARA. No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP 3333 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang: MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN NATIONAL WORKING GROUP REBYC-II CTI INDONESIA

PENGUATAN KELEMBAGAAN NATIONAL WORKING GROUP REBYC-II CTI INDONESIA PENGUATAN KELEMBAGAAN NATIONAL WORKING GROUP REBYC-II CTI INDONESIA LATAR BELAKANG 1. Merujuk program kerja Direktorat Kapal Perikanan & Alat Penangkapan Ikan tahun anggaran 2015 dalam Surat Pengesahan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan Deputi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 39 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Diajukan oleh : Ignatius Yogi Widianto Setyadi NPM : 10 05 10376 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur saat ini telah menjadi perhatian dunia.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci