BAB I PENDAHULUAN. umum, dan dianggap memiliki tingkat keparahan paling tinggi. Berdasarkan data

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Gangguan psikotik merupakan gangguan atau penyakit mental yang cukup umum, dan dianggap memiliki tingkat keparahan paling tinggi. Berdasarkan data dari MentalHealth pada tahun 2009, sekitar 1,5 juta orang di dunia didiagnosa mengalami skizofrenia, yaitu sekitar 1% dari total populasi di seluruh dunia (Nemade & Dombeck, 2009). Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2014, sekitar 1,7 per 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, yaitu sekitar orang. Secara umum, pasien skizofrenia dianggap memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum (Akvardar dkk., 2006; Law dkk., 2005; Ritsner dkk., 2000). Kualitas hidup merupakan sebuah konsep penting dalam menilai kepuasan seseorang dalam berbagai aspek kehidupannya (Brenner, dkk., 2011). Jadi, dengan rendahnya tingkat kualitas hidup, maka bisa dikatakan bahwa orang dengan gangguan psikotik tidak merasa puas dengan berbagai aspek kehidupannya. Awad, Voruganti, dan Heslegrave (1997) mengatakan bahwa kualitas hidup pada orang dengan gangguan psikotik merupakan persepsi subjek mengenai hasil interaksi antara tiga faktor penentu utama, yaitu tingkat keparahan dari simtom psikotik, efek samping obat-obatan psikotik, dan tingkat performa psikososial. Sejalan dengan teori ini, Wilkinson dan rekan-rekannya (2000) 1

2 menentukan tiga domain atau penentu utama dari kualitas hidup pada orang dengan skizofrenia, yaitu psikososial, yang berhubungan dengan masalah emosional dan situasi sosial; motivasi dan energi, seperti rendahnya keinginan untuk melakukan sesuatu; dan simtom dan efek samping. Ritsner dan rekan-rekannya (2000) juga mengemukakan bahwa kualitas hidup merupakan hasil interaksi dari faktor distress (distress emosional, buruknya penyesuaian premorbid, defisit kognitif, expressive emotion, dsb.) dan faktor proteksi (dukungan sosial, strategi coping, karakteristik kepribadian, dsb.), di mana tingkat kepuasan terhadap kualitas hidup akan melemah jika faktor distress lebih berat dibandingkan dengan faktor proteksi, dan sebaliknya. Phillips dan rekan-rekannya (2009) menambahkan bahwa sumber distress bagi pasien dengan gangguan psikotik jauh melebihi simtom sampai pada aspek fungsi personal dan interpersonal; ditambah mereka juga harus menghadapi implikasi penyakit mereka terhadap pekerjaan dan peristiwa kehidupan sehari-hari yang penuh dengan tekanan. Berbagai distress yang dialami oleh orang dengan gangguan psikotik merupakan penyebab dari rendahnya kualitas hidup mereka. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Galuppi, dan rekan-rekannya (2010) menunjukkan bahwa kualitas hidup orang dengan skizofrenia tidak terlalu negatif. Seiring berjalannya waktu, kualitas hidup mereka tidak bertambah buruk, melainkan semakin membaik. Menurut Galuppi, hal tersebut bisa disebabkan karena bertambahnya pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatan. Kualitas hidup orang dengan gangguan psikotik yang baik bisa juga disebabkan oleh strategi coping yang digunakan. Coping didefinisikan oleh 2

3 Lazarus & Folkman (1984) sebagai sebuah upaya perilaku dan kognitif untuk mengatasi situasi penuh tekanan. Sejalan dengan definisi ini, Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) mendefinisikan coping sebagai sebuah proses untuk mengeksekusi atau menghilangkan respons terhadap ancaman atau tekanan yang dipersepsikan individu. Dengan kata lain, coping bisa jadi merupakan suatu cara bagi individu untuk mengatasi dan beradaptasi dengan situasi yang penuh tekanan. Ada dua jenis strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yaitu strategi coping yang berfokus pada masalah (problemfocused coping) dan strategi coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Strategi coping yang pertama sering dianggap sebagai strategi coping yang adaptif karena fokus pada upaya untuk memecahkan masalah atau sumber tekanan, sedangkan strategi coping yang kedua dianggap sebagai strategi coping maladaptif karena emosi negatif dapat mengganggu proses pemecahan masalah secara rasional (Austenfeld & Stanton, 2004). Berbagai penelitian memang telah membuktikan bahwa pasien skizofrenia cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi atau yang disebut dengan coping maladaptif (Aghevli, Blanchard, & Horan, 2003; Wilder- Willis, Shear, Steffen, & Borkin, 2002). Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian-penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu dengan gangguan psikotik cenderung menggunakan strategi coping yang maladaptif, seperti avoidance dibandingkan dengan orang sehat (Horan & Blanchard, 2003; Horan, Brown, & Blanchard, 2007). Hal demikian bisa jadi dikarenakan oleh fungsi kognitifnya, di mana defisit pada fungsi kognitif merupakan ciri khas utama pada gangguan skizofrenia (Bowie & Harvey, 2006). Sedangkan untuk menggunakan 3

4 strategi coping yang berfokus pada masalah membutuhkan fungsi kognitif yang lebih (Wilder-Willis dkk., 2002). Namun, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa pasien skizofrenia juga bisa menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah atau coping aktif (Berry, Barrowclough, Byrne, & Purandare, 2006; Cohen, Hassamal, & Begum, 2011). Strategi coping bisa menjadi sebuah upaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas hidup orang dengan gangguan psikotik. Coping dianggap sebagai faktor penentu yang penting terhadap kualitas hidup individu dengan skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya (Yanos dan Moos, 2007; dalam Phillips dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Ritsner dan rekanrekannya (2003) menunjukkan bahwa kemampuan individu untuk melakukan coping terhadap simtom dan distress berkontribusi terhadap penilaian kualitas hidup pada pasien skizofrenia. Proses coping bisa mengurangi efek negatif stres dan membantu individu untuk beradaptasi dalam situasi yang sulit (Ritsner, dkk., 2003). Penelitian yang dilakukan Ritsner dan rekan-rekannya (2003) juga menunjukkan korelasi negatif di antara emotion-focused coping dan kualitas hidup, di mana pasien skizofrenia yang menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah. Hubungan positif di antara strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan kualitas hidup juga ditemukan oleh penelitian (Brenner dkk., 2011) Orang dengan gangguan psikotik juga bisa memiliki lebih dari satu macam strategi coping. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Strous, dan rekanrekannya (2005) menemukan bahwa pasien dengan skizofrenia cenderung lebih 4

5 banyak menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi ketika mereka pertama kali dirawat di rumah sakit, yaitu ketika intensitas dan frekuensi simtom masih tinggi, dibandingkan ketika simtom mereka sudah stabil. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti memiliki ketertarikan untuk melakukan penelitian ini karena beberapa alasan. Pertama, penelitian yang telah disebutkan di atas, lebih banyak membahas hubungan strategi coping dan kualitas hidup pada pasien skizofrenia. Masih jarang penelitian yang membahas mengenai peran strategi coping dan kualitas hidup pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia, secara khusus di Indonesia. Kedua, peneliti tidak melakukan penelitian terhadap orang dengan gangguan spektrum skizofrenia yang berada di rumah sakit (inpatient), tetapi peneliti mengambil orang dengan gangguan spektrum skizofrenia yang sudah keluar dari rumah sakit (outpatient) sebagai partisipan penelitian Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah Bagaimana peran strategi coping terhadap kualitas hidup orang dengan gangguan spektrum skizofrenia? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yaitu untuk mengetahui bagaimana peran strategi coping terhadap kualitas hidup orang dengan gangguan spektrum skizofrenia. 5

6 1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, khusunya Psikologi Klinis. Selain itu juga untuk memberikan sumbangan terhadap sumber literatur di Indonesia yang masih sedikit mengenai gangguan spektrum skizofrenia Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat mengenai bagaimana peran strategi coping terhadap kualitas hidup pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia. Selain itu juga dapat memberikan masukan kepada terapis-terapis dan psikiatri untuk pembuatan intervensi atau program untuk meningkatkan penggunaan strategi coping yang tepat pada pasien dengan gangguan spektrum skizofrenia agar dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. 6