BAB IV KESIMPULAN. praktik-praktik anihilasi simbolis dalam proses produksi berita. Perempuan yang

Transkripsi

1 131 BAB IV KESIMPULAN Anihilasi simbolis terhadap perempuan terjadi dalam Program Berita Kanal 22 yang ditayangkan oleh Lembaga Penyiaran Publik TVRI D.I Yogyakarta. Anihilasi simbolis terhadap perempuan dalam pemberitaan merupakan hasil dari praktik-praktik anihilasi simbolis dalam proses produksi berita. Perempuan yang ditampilkan dalam berita Kanal 22 adalah pertama, perempuan yang terlibat kasus yaitu ratu heroin dua koma enam kilogram, perempuan pelaku penghinaan nama D.I Yogyakarta dan warganya, perempuan yang terlibat kasus kriminal penyekapan dan penganiayaan. Perempuan ditampilkan sebagai sosok yang buruk karena terlibat suatu kasus. Kedua, perempuan ditampilkan sebagai pendamping suami (laki-laki). Ketiga, perempuan ditampilkan sebagai pihak yang lemah yaitu sebagai korban nikah siri on line dan pernikahan dini. Keempat, perempuan ditampilkan sebagai sosok yang berani menyuarakan pendapat melalui aksi demonstrasi, meskipun masih lekat dengan hal-hal domestik yaitu dapur dan anak. Dari jumlah berita sebanyak 582 selama Bulan Maret 2015, hanya 5 berita yang menyuarakan permasalahan perempuan yaitu pernikahan dini, pernikahan siri on line dan aksi demonstrasi Ibu-Ibu rumah tangga, sehingga jumlah ini sangat tidak signifikan. Anihilasi simbolis terhadap perempuan, terjadi pada perempuan dengan berbagai prestasi yang tidak ditampilkan dalam berita, dan perempuan yang menjadi korban misalnya buruh gendong dan pelaku pernikahan dini tidak disuarakan, meskipun mereka adalah perempuan yang dibicarakan dalam berita.

2 132 Perempuan yang ditampilkan cenderung pemangku kekuasaan terutama dalam pemerintah, dan perwakilan perempuan yaitu pemerhati perempuan. Representasi perempuan yang ditampilkan dalam berita merupakan hasil konstruksi proses produksi berita, mulai tahap rapat redaksi, pemilihan topik dan sudut pandang (angle) berita, pemilihan nara sumber berita, penulisan dan penyuntingan naskah berita, pengambilan gambar dan editing visual. Pertama, anihilasi simbolis terhadap perempuan dalam pemilihan topik berita dan nara sumber berita pada tahap rapat redaksi, peliputan, penulisan dan penyuntingan naskah berita. Pada tahap rapat redaksi anihilasi simbolis terhadap perempuan terjadi karena topik-topik perempuan jarang diusulkan maupun dibahas dalam rapat redaksi. Anihilasi simbolis terhadap perempuan juga terjadi pada tahap peliputan dimana tim peliputan jarang memiliki inisiatif untuk mengangkat topik perempuan. Tim produksi berita berpandangan bahwa topik yang lebih bermanfaat bagi kepentingan publik adalah topik yang menyangkut semua lapisan masyarakat, sehingga topik-topik perempuan kalah dengan topik lain yang manfaatnya jauh lebih luas. Pemilihan topik-topik perempuan dilakukan jika ada kasus yang melibatkan perempuan atau jika bertepatan dengan momentum yang berkaitan dengan perempuan seperti Hari Ibu, Hari Kartini, dan Hari Perempuan Internasioanl. Jika tidak bertepatan dengan momentum tersebut maka dianggap topik tidak aktual. Sementara topik-topik tentang keberhasilan perempuan tidak dihadirkan selama bulan Maret Anihilasi simbolis terhadap perempuan terjadi pada saat pemilihan nara sumber berita. Nara sumber yang dipilih cenderung pemangku kekuasaan,

3 133 terutama pemerintah atau pemerhati perempuan karena dianggap mewakili perempuan. Namun demikian disisi lain anihilasi simbolis terjadi kepada perempuan yang menjadi korban atau pelaku langsung dari topik yang diangkat dalam berita karena narasi mereka tidak disuarakan, tidak diberi ruang untuk berbicara menyampaikan permasalahannya. Pada tahap penulisan naskah, perempuan yang ditampilkan cenderung sebagai pendamping (suami) laki-laki dan perempuan sebagai objek bagi laki-laki seperti dalam pernikahan siri online dan perempuan yang terlibat suatu kasus. Kedua, anihilasi simbolis terhadap perempuan pada tahap pengambilan gambar dan editing visual. Pengambilan gambar pada saat peliputan masih menempatkan perempuan sebagi objek pandangan (male gaze) bagi camera person. Teknik sinematik yang diguankan adalah close up dan medium shot untuk melihat wajah perempuan, dan tilt up dan zoom in untuk melihat bagian tubuh perempuan. Begitu pula pada tahap editing visual berita gambar perempuan semacam ini dengan mudah lolos dan dipakai sebagai visual berita. Ketiga, anihilasi simbolis terhadap perempuan pada momentum perempuan. Ketika media mengatakan bahwa momentum perempuan merupakan waktu yang tepat untuk mengangkat topik-topik perempuan dalam berita, namun anihilasi simbolis terhadap perempuan justru terjadi ketika momentum Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret Pada momentum tersebut media justru sama sekali tidak menghadirkan topik-topik perempuan. Media tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara. Sementara pada momentum Hari Kartini, topik yang diangkat lebih pada berita berita peringatan Hari Kartini dengan

4 134 berbagai cara misalnya dengan penggunaan pakaian adat dan berbagai lomba. Seolah-olah perempuan dihadirkan pada momentum Hari Kartini namun tidak ada berita yang menyuarakan permasalahan perempuan, ataupun berita yang menggambarkan keberhasilan dan emansipasi perempuan saat ini. Hari Kartini justru menjadi objek bagi media untuk membuka peliputan-peliputan kerjasama marketing dengan membayar sejumlah biaya administrasi. Dari Pemberitaan tentang perempuan dalam Program Berita Kanal 22 di LPP TVRI pada era pasca reformasi masih terdapat sisa-sisa model pemberitaan era Orde Baru. Seperti Berita Kunjungan Pejabat dan Istri Pejabat, misalnya Istri Presiden dan Istri Wakil Presiden Republik Indonesia yang mampu masuk menjadi headline berita yang ditayangkan di awal berita. Kemudian berita kunjungan tersebut dipilih angle dengan model berita seremonial. Selain itu sisasisa gambaran perempuan era orde baru juga ditampilkan dalam model perempuan yang mendukung suami dalam hal ini kesuksesan pemerintah. Jika pada Era Orde Baru berita-berita tentang istri pejabat seperti kegiatan darma wanita, darma pertiwi atau PKK merupakan upaya untuk membentuk sosok ideal perempuan jaman orde baru yang ibuisme yaitu sosok istri yang patuh dengan suami, selalu mendukung suami, menjaga dan memperhatikan anak, keluarga dan rumah tangga. Di Era Pasca reformasi, sosok perempuan juga masih dihadirkan sebagai pendukung suami, termasuk istri pejabat yang berperan dalam mensukseskan tugas suami. Pola pikir (mindset) bahwa berita perempuan salah satunya berupa kegiatan PKK misalnya PKK menyalurkan bantuan atau budidaya toga yang

5 135 dilakukan PKK juga masih dimiliki oleh tim produksi berita di LPP TVRI D.I Yogyakarta. Namun demikian ada pergerakan pemberitaan di LPP TVRI D.I Yogyakarta pada era pasca reformasi yaitu pada kabinet kerja, dimana media menampilkan model perempuan yang berani berbicara. Perempuan yang turun ke jalan dalam sebuah demonstrasi untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu permasalahan politik yaitu kriminalisasi KPK, meskipun perempuan yang ditampilkan masih lekat dengan hal-hal domestik. Pemberitaan tentang perempuan yang ditampilkan dalam berita mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa pada Era Pasca Reformasi dalam hal ini era Kabinet Kerja lebih terbuka. Lebih memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan pandangan mereka di ruang publik. Namun demikian berita demontrasi ini masih ditayangkan oleh LPP TVRI D.I Yogyakarta karena bukan mengkritisi pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dikarenakan TVRI menganggap bahwa televisi tersebut dibiayai pemerintah, sehingga untuk pemilihan topik juga tetap diseleksi agar tidak terlalu mengkritisi pemerintah. Cara pandang atau mind set seperti ini masih dimiliki oleh tim produksi berita, sehingga ketika memproduksi berita tidak mengkritik pemerintah terlalu tajam. Selain itu pemberitaan yang menunjukkan adanya perubahan perhatian pemerintah terhadap perempuan melalui kegiatan yang dilaksanakan pejabat. Contohnya pilihan topik berita yang ditayangkan tentang pencanangan program deteksi dini kanker. Berita tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah melalui OASE (Kabinet Kerja) yang dipimpin Iriana Jokowi mengalami

6 136 perubahan dari era Orde baru. Di era Pasca Reformasi dalam hal ini Kabinet Kerja, program pemerintah terkait perhatian terhadap perempuan semakin meningkat. Dari pergerakan berita yang ditayangkan oleh media inilah kita dapat memahami pergerakan atau perubahan situasi politik di Indonesia yang lebih memberikan perhatian kepada perempuan. Anihilasi simbolis terhadap perempuan yang dikemukakan Gaye Tuchman pada era 70-an di masyarakat Amerika, menunjukkan bahwa perempuan selalu ditampilkan sebagai pihak yang lemah. Perempuan selalu diposisikan sebagai objek bagi laki-laki, baik objek seksual atau dalam konteks keluarga yaitu sebagai istri dan ibu. Perempuan yang berprestasi tidak dihadirkan oleh media. Di era pasca reformasi melalui tayangan berita Kanal 22 di LPP TVRI D.I Yogyakarta, masih ada perempuan yang ditampilkan sebagai perempuan yang terlibat kasus, perempuan yang menjadi pendamping suami (laki-laki), dan perempuan sebagai korban laki-laki di masyarakat. Perempuan yang berhasil menjadi pemangku kekuasaan terutama pemerintah dan pemerhati perempuan sudah dihadirkan dalam berita Kanal 22. Akan tetapi dengan kecenderungan perempuan yang ditampilkan dalam berita adalah pemanku kekuasaan terutama pemerintah dan pemerhati perempuan inilah maka anihilasi simbolis terhadap perempuan terjadi pada kategori perempuan sukses lain dan perempuan yang menjadi korban untuk bersuara, seperti buruh perempuan, dan pelaku pernikahan dini, karena mereka tidak dihadirkan dan tidak diberi ruang untuk bersuara oleh media dalam berita. Ada perbedaan atau pergeseran perempuan yang ditampilkan di era pasca reformasi di LPP TVRI D.I Yogyakarta yaitu perempuan atau ibu-ibu yang berani

7 137 melakukan aksi ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya meskipun perempuan yang dihadirkan tetap lekat dengan urusan domestik, dapur dan anak. Artinya media LPP TVRI D.I Yogyakarta sebagai televisi publik telah memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara. Namun demikian perempuan yang ditampilkan era yang dijelaskan Gaye Tuchman dengan era pasca reformasi di Indonesia memiliki kesamaan bahwa media mengabadikan beban ganda terhadap perempuan. Selain itu perempuan masih dianggap sebagai pendamping suami, lemah dan menjadi objek seksual, dan objek pandangan bagi laki-laki, perempuan masih dianggap lekat dengan hal-hal domestic, dan perempuan yang terlibat suatu kasus kejahatan. Anihilasi simbolis terhadap perempuan dalam proses produksi berita terjadi karena kontribusi beberapa faktor diantaranya: pertama, persepsi tim produksi terhadap konsep publik sebagai penonton adalah mancakup semua lapisan. Dari persepsi ini maka berita yang manfaatnya mencakup semua lapisan masyarakat lebih diutamakan. Oleh karena itu topik perempuan menjadi jarang diangkat dalam berita karena dianggap tidak mencakup semua lapisan masyarakat. Kontribusi kedua yaitu terbatasnya jaringan sumber berita yang dimiliki pimpinan dan tim peliputan sehingga topik perempuan jarang diangkat dalam berita. Kontribusi ketiga adalah tidak ada kebijakan khusus dari menejemen untuk memberikan perhatian terhadap pengangkatan topik-topik perempuan dalam program berita Kanal 22. Selain itu adanya kebijakan manajemen LPP TVRI D.I Yogyakarta bahwa setiap undangan peliputan yang masuk ke LPP TVRI D.I Yogyakarta harus melalui seleksi marketing, sehingga seringkali menghambat tim

8 138 peliputan untuk mengangkat topik perempuan. Selain itu adanya rasa sungkan yang dimiliki tim produksi berita terhadap pemimpin bidang berita, ketika ingin meminta ijin untuk peliputan topik perempuan. Kontribusi keempat, sistem organisasi LPP TVRI D.I Yogyakarta adalah sistem organisasi pegawai negeri sipil dimana keputusan atau kebijakan ditentukan bedasar hierarki yaitu kepala seksi, kepala bidang dan diatasnya adalah Kepala Stasiun. Ketika para pemimpin tidak memiliki perhatian serius dan tidak memberikan kebijakan perhatian terhadap topik-topik perempuan untuk ditayangkan dalam berita, maka tim produksi yang cenderung mengikuti perintah pimpinan juga akan kurang memiliki perhatian serius terhadap topik-topik perempuan untuk ditayangkan dalam berita. Selanjutnya kontribusi kelima adalah kinerja tim produksi yang santai karena tidak ada penghargaan dan teguran yang diterapkan bagi pegawai LPP TVRI D.I Yogyakarta. Hal ini mempengaruhi budaya kerja tim produksi berita, sehingga ide atau keinginan untuk mengangkat topik perempuan semakin jarang. Kontribusi keenam, jumlah tim produksi perempuan yang terlibat dalam proses produksi berita yang sangat sedikit. Dari jumlah yang sedikit itu hanya seorang tim produksi berita yang memiliki perhatian terhadap perempuan, sehingga mempengaruhi jarangnya topik perempuan diangkat dalam berita. Kontribusi ke tujuh, pola pikir (mindset) sebagain besar camera person dan editor visual yang masih memposisikan perempuan sebagai objek pandangan bagi lakilaki.