MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS"

Transkripsi

1 MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS ELSAM, 2010 Betty Yolanda Indriaswati Dyah Saptaningrum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) JULI 2010 i

2 ELSAM, 2010 MENDUDUKKAN LAPORAN KKP DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI INDONESIA: SEBUAH EVALUASI KRITIS Penulis: Betty Yolanda Indriaswati Dyah Saptaningrum Tata letak dan cover: Kotot Priyadi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Juli 2010 Perpustakaan Nasional KDT Cetakan I Halaman 14,5 x 21 ISBN ii

3 KATA PENGANTAR Sejak awal berdirinya, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) telah menuai kritik dan pesimisme dari masyarakat, terutama karena didirikan berdasar Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Kekurangan yang substansial dalam Kerangka Acuan (ToR), juga menjadi sasaran kritik yang ELSAM, 2010 tajam, khususnya berkenaan dengan klausul bahwa proses KKP ini tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan dimungkinkan adanya pemberian rekomendasi amnesti atau rehabilitasi bagi pelaku. Di tengah kritik dan pesimisme yang berkepanjangan ini, KKP, bagaimanapun, berhasil menyelesaikan mandat utamanya untuk menetapkan kebenaran konklusif mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur pada tahun Juga, untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi atas temuan tersebut. Pada 15 Juli 2008, KKP telah menyerahkan laporan setebal 380 halaman kepada kedua Pemerintah. Laporan tersebut menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun 1999 yang mengarah pada tanggung jawab institusional institusi-institusi Indonesia dan milisi-milisi pro-kemerdekaan yang pada akhirnya dibebankan sebagai tanggung jawab kedua Negara. iii

4 Melalui tinjauannya atas sejumlah temuan dan kesimpulan dari laporan tersebut, buku ini bermaksud memberikan evaluasi kritis terhadap Laporan Akhir KKP. Juga mendudukkan agar laporan tersebut dapat memberi makna bagi proses penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang terjadi di masa lalu. Setelah memaparkan temuan dan rekomendasi dari Laporan Akhir KKP, buku ini kemudian melangkah kepada pertanyaan mengenai sejauh mana KKP bisa dikatakan sebagai pilihan yang paling tepat bagi mekanisme keadilan transisional, dengan tetap mempertimbangkan sejumlah kelemahan yang ada selama proses. Dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek, cukup untuk mengatakan bahwa meski ada sejumlah kekurangan, sebagai sebuah mekanisme keadilan transisional, KKP telah memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi usaha penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran ELSAM, hak asasi 2010manusia di Indonesia yang terjadi di masa lalu. Penerbitan buku ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat Laporan Akhir KKP, sebuah laporan hasil suatu mekanisme yang dinilai cacat. Selain juga untuk mendorong Pemerintah Indonesia agar lebih proaktif dalam mengusahakan penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, seperti ketika menghadapi persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun Selamat membaca! Jakarta, Juli 2010 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) iv

5 DAFTAR ISI Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Bab I : Mendudukkan Inisiatif KKP dalam Konteks Keadilan Transisional di Indonesia... 1 Bab II : Penyelesaian Kasus Kejahatan Hak Asasi Manusia Masa Lalu di Timor-Leste melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Proses pembentukan Komisi Mandat (Terms of Reference) Metode dan ELSAM, mekanisme 2010 kerja...12 Bab III : Temuan-temuan Komisi: pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tanggung jawab institusional Temuan-temuan KKP: membongkar sejarah masa lalu Pelanggaran hak asasi manusia yang berat: kejahatan terhadap kemanusiaan Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis Tanggung jawab institusional Bab IV: Rekomendasi-rekomendasi Komisi: Rekonsiliatif dan Kolektif Jangka pendek dan urgen Akuntabilitas dan reformasi kelembagaan v

6 Patroli perbatasan dan kebijakan keamanan bersama Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik Persoalan ekonomi dan aset Komisi untuk Orang-orang Hilang Jangka panjang dan aspiratif Bab V : Analisis atas Temuan-temuan dan Rekomendasirekomendasi Komisi Elaborasi lebih jauh atas temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi Komisi Terbatasnya akses atas dokumendokumen terkait Penegasian terhadap pemenuhan hak korban Inkonsistensi antara temuan-temuan dan kesimpulan Pertanggungjawaban institusional yang masih ELSAM, menggantung Kebenaran konklusif: sebuah kebenaran yag tidak berpihak pada korban? Komisi Kebenaran dan Persahabatan: pilihan mekanisme keadilan transisi yang tepat? Pelajaran berharga bagi proses penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang masih tertunda di Indonesia vi

7 BAB I MENDUDUKKAN INISIATIF KKP DALAM KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI INDONESIA Tahun 2010 menandai hampir dua belas tahun sesudah titik awal perubahan melalui jargon reformasi didengungkan, mengiringi lengsernya pemerintahan Orde ELSAM, Baru 2010 di bawah Soeharto. Proses ini menandai suatu periode transisi di mana proses dan upaya penataan ulang struktur ketatanegaraan menuju suatu tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis dilakukan. Setidaknya, terdapat dua tuntutan besar yang mengemuka di masyarakat pada saat itu, yakni tuntutan keadilan atas praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, dan tuntutan penghentian praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi pengalaman keseharian di masa Orde Baru. Pengalaman di bawah pemerintahan yang otoriter mengajarkan masyarakat betapa pentingnya menetapkan jaminan yang kuat agar kecenderungan kesewenang-wenangan dapat dicegah. Besarnya tuntutan ini dapat dilihat dari respon politik pemerintahan di masa transisi yang muncul dalam beberapa keputusan politik penting, seperti keputusan melakukan ratifikasi atas instrumen internasional mengenai penghapusan penyiksaan dan TAP MPR No. V/MPR/ 1

8 BAB I 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang merupakan dokumen resmi Negara pertama yang menegaskan perlunya Negara menghadapi dan mempertanggungjawabkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sesuai dengan sifat komplementarisnya, berbagai organisasi masyarakat sipil dan kelompok korban pada saat itu mengadvokasi pembentukan dua mekanisme keadilan yang dikenal di masa transisi secara paralel: mekanisme yudisial dan non-yudisial melalui pertanggungjawaban individual (yudisial) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (non-yudisial). Tak dapat dipungkiri, realisasi dari upaya mendesak dibentuknya mekanisme keadilan dalam masa transisi di Indonesia tak dapat dilepaskan dari dukungan masyarakat hak asasi manusia di tingkat internasional. Lahirnya mekanisme pengadilan hak asasi tak ELSAM, dapat dilepaskan 2010 dari kemungkinan besarnya tuntutan pendirian tribunal internasional. 1 Kegagalan pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menangani pengadilan hak asasi manusia, khususnya terkait dengan proses dan hasil Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) atas kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur 2 1 Keberadaan beberapa pertimbangan yang bersifat eksternal ini dapat dilihat dalam konsideran Perpu No. 1/1999 yang mendasari lahirnya Pengadilan HAM. Diakui bahwa kegentingan yang memaksa lahirnya Perpu tersebut antara lain adalah tanggung jawab Negara untuk memelihara perdamaian dunia sehingga pelanggaran hak asasi manusia perlu segera dipertanggungjawabkan melalui pengadilan HAM. Lebih lanjut, pada bagian lain dari konsideran juga diakui bahwa fakta terjadinya pelanggaran HAM yang masif telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah RI. 2

9 MENDUDUKKAN INSIATIF KKP DALAM KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI INDONESIA kemudian mendorong lahirnya Komisi Ahli PBB melalui resolusi Dewan Keamanan. Konteks inilah yang kemudian melahirkan MoU yang mendasari pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan ( KKP atau Komisi ). Konteks pembentukan ini tak dapat dipungkiri mengundang pesimisme dan kritik yang substansial dari kelompok masyarakat sipil, termasuk ELSAM sendiri. Terlebih, pembentukan Komisi dilakukan hanya dengan mendasarkan pada suatu MoU, sebuah preseden yang tidak biasa dalam inisiatif keadilan transisional. Secara khusus, keberatan yang substansial tertuju pada ketentuan yang memberikan kewenangan pemberian amnesti pada pelaku yang membuka kemungkinan dipergunakannya Komisi sebagai sarana lain untuk menghindarkan tanggung jawab atas kejahatan yang serius di masa lalu. Persoalannya kemudian, ELSAM, meskipun 2010 menuai berbagai kritik dan kecaman, dokumen laporan yang dihasilkan oleh Komisi merupakan suatu dokumen resmi yang tak dapat begitu saja dinegasikan. Pelbagai masukan kritis dan kecaman telah dikemukakan atas hasil maupun proses yang dilalui oleh Komisi. 3 2 Enam dari duabelas terdakwa yang didakwa dalam sembilan berkas perkara yang berbeda dijatuhi hukuman pidana. Namun di tingkat banding dan kasasi hanya Eurico Gutteres yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana. Sementara itu, terhadap Pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok dan Abepura, tidak ada satu terdakwapun yang berhasil dijerat dengan sanksi pidana, bahkan peristiwanya tidak berhasil dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia kendati diakui adanya korban dari peristiwa tersebut. Lihat, ELSAM, dkk, Laporan Pemantauan Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM: Pengadilan yang melupakan Korban, Lihat juga, S. Linton, Accounting for Atrocities in Indonesia, dalam Singapore Yearbook of International Law, Vol. 11, 2007, hal

10 BAB I Namun hampir tidak ditemukan suatu usulan dengan sudut pandang yang berbeda yang mencoba mendudukkan hal tersebut secara kritis dalam konteks inisiatif keadilan transisional di Indonesia yang lebih besar. Proses ini tentu mensyaratkan pembacaan kritis atas laporan KKP tanpa kehilangan dasar orientasi dan keterarahan pada urgensi untuk menemukan jalan keluar dari realisasi agenda inisiatif keadilan transisional di Indonesia secara lebih luas yang masih terabaikan hingga saat ini. Proses dan hasil akhir laporan KKP juga dapat merefleksikan dinamika perwujudan keadilan transisional di Indonesia. Insiatif pencapaian keadilan transisional secara nyata menghadapi hambatan yang muncul akibat realitas transisi dimana elit politik dari rejim yang lama dapat menegosiasikan arah dan proses transisi. Konteks ini pula yang menyumbang pada gagalnya berbagai inisiatif penghukuman atas kejahatan di masa lalu. Oleh karenanya, perwujudan mekanisme keadilan ELSAM, transisional 2010 yang adil masih terus menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Atas dasar pertimbangan itulah catatan atas laporan Komisi ini disusun. Catatan ini diawali dengan melihat kembali proses pembentukan Komisi dan memberikan catatan kritis atas proses 3 Beberapa kritik mendasar terkait realitas bahwa pembentukan Komisi lebih tampak sebagai suatu upaya mempertahankan hubungan kedua negara ketimbang mencari kebenaran yang substantif. Kelemahan substantif ini juga dapat ditemukan dalam Kerangka Acuan (ToR) Komisi, khususnya terkait dengan isi dan cakupan ToR pembentukan dan cara implementasi kerja Komisi. Proses public hearing, sebagai salah satu metode yang dipakai, dianggap memberi ruang yang lebih bagi pelaku untuk berbicara. Meskipun demikian, penilaian akhir tetap perlu mempertimbangkan hasil akhir laporan Komisi karena berdasarkan laporan itulah kredibilitas Komisi akan ditentukan. Lihat, M. Hirst, Too Much Friendship Too Little Truth: Monitoring Report on the Commission of Truth and Friendship in Indonesia and Timor Leste, ICTJ,

11 MENDUDUKKAN INSIATIF KKP DALAM KONTEKS KEADILAN TRANSISIONAL DI INDONESIA tersebut. Uraian kemudian dilanjutkan dengan pembahasan secara lebih mendetail mengenai rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh Komisi dan lebih lanjut memberikan catatan kriti, baik terkait dengan beberapa aspek yang patut diapresiasi maupun atas rekomendasi Komisi. Melalui catatan ini diharapkan agenda penyelesaian masa lalu di Indonesia dapat didiskusikan kembali dan inisiatif menuju terbentuknya mekanisme pertanggungjawaban yang adil dapat didiskusikan. ELSAM,

12 6 ELSAM, 2010

13 BAB II PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) 2.1. Proses pembentukan ELSAM, Komisi 2010 Berdasarkan apa yang terjadi menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat tahun 1999 di Timor-Timur, di Indonesia, Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP- HAM) dan Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk pada September Di sisi lain, di Timor-Leste sendiri, Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação, CAVR) dan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat (Special Panels for Serious Crimes, SPSC) pada Pengadilan Distrik Dili juga dibentuk. Di penghujung tahun 2004, seketika setelah proses tingkat pertama Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Leste yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selesai, berbagai nada kekecewaan dari komunitas hak asasi manusia internasional mengudara. Pada saat 7

14 BAB II yang sama, masyarakat internasional kembali mengadvokasi pembentukan Pengadilan Internasional untuk Timor-Leste. Sebagai respon atas kekecewaan-kekecewaan tersebut, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1573 disahkan pada tanggal 12 November 2004 yang kemudian diikuti oleh pembentukan Komisi Ahli PBB (Commission of Expert, CoE) yang memiliki mandat untuk menilai progres dari proses peradilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Leste, untuk memastikan apakah akuntabilitas secara penuh telah tercapai dan untuk merekomendasikan tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dan tercapainya rekonsiliasi. Tiga orang yang ditunjuk oleh Sekjen PBB sebagai anggota CoE: Justice Prafullachandra Bhagwati dari India, Professor Yozo Yokota dari Jepang dan Ms. Shaista Shameem dari Fiji. Pembentukan CoE ELSAM, ini mengangkat 2010 kembali wacana sebuah pengadilan internasional untuk Timor-Leste. Keseriusan PBB justru mendapat respon negatif dari Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Pemerintah Indonesia menolak untuk bekerja sama dengan CoE dan berdalih bahwa pembentukan CoE oleh Sekjen PBB Kofi Annan tidak diperlukan mengingat kedua negara, Indonesia dan Timor-Leste, telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah kejahatan serius hak asasi manusia di Timor-Leste melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Lebih jauh lagi, Pemerintah Indonesia berargumen bahwa CoE tidak memiliki landasan hukum karena tidak dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Terakhir, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa proses hukum di tingkat nasional belum selesai sepenuhnya. Mengingat 8

15 PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste telah menandatangani sebuah deklarasi bersama yang menyepakati mekanisme KKP, intervensi apapun dari masyarakat internasional tidak diperlukan dan ditolak. Pada tanggal 09 Maret 2005, bertempat di Istana Merdeka, Kepala Negara/ Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste menandatangani sebuah Deklarasi Bersama mengenai Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang memuat Kerangka Acuan Komisi. Penandatanganan ini menandai pembentukan Komisi yang telah dibahas oleh pimpinan kedua negara pada pertemuan mereka di Denpasar, Bali pada 14 Desember 2004 lalu. Pembahasan pembentukan Komisi ini merupakan reaksi pemerintah Indonesia dan Timor Leste atas menguatnya tuntutan pembentukan pengadilan internasional. 4 Keesokan harinya, 10 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste secara ELSAM, resmi 2010 mengumumkan nama para anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Lima anggota Komisi yang mewakili Indonesia adalah Prof. Dr. Ahmad Ali, Wisber Loeis, Benjamin Mangkudilaga, Mgr. Petrus Turang dan Letjend (Purn.) Agus Widjojo. Sedangkan lima anggota yang bertindak atas nama Timor-Leste adalah Jacinto Alves, Dionicio da Costa Babo-Soares, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres dan Cirilio Cristovao Varadales. 4 Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengatakan, Daripada mutermuter tetapi ujungnya adalah truth and reconciliation, mengapa tidak memakai pendekatan ini sejak awal dari pendekatan pengadilan yang katanya tidak realistik, lama, biaya tinggi dan belum tentu selesai, Kompas, 02/2/

16 BAB II Komisi Kebenaran dan Persahabatan dimandatkan untuk mengungkap kebenaran konklusif mengenai pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun Kebenaran konklusif tersebut menjelaskan hal-hal yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan terjadi menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat di Timor-Timur pada tahun Berdasarkan kebenaran konklusif dan pelajaran yang didapat, Komisi membuat rekomendasi-rekomendasi kepada kedua Kepala Negara dengan maksud untuk menyembuhkan luka lama dan memulihkan martabat manusia. Inisiatif untuk membentuk Komisi harus dihargai sebagai upaya Pemerintah Republik Indonesia menjawab tuduhan crimes against humanity yang secara formal diarahkan kepadanya oleh masyarakat internasional, sekalipun suara miring yang melihat gagasan ini sebagai upaya pemutihan kasus ELSAM, dan menghindari 2010 tanggung jawab internasional tak dapat diabaikan Mandat (Terms of Reference) Komisi bekerja berdasarkan sebuah Kerangka Acuan (Terms of Refence, ToR) yang dibuat dan disepakati oleh kedua Pemerintah. Sesungguhnya, kerja sama antar dua negara dalam suatu hubungan bilateral yang hanya didasarkan pada sebuah Kerangka Acuan adalah tindakan di luar kelaziman dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasonal. Sebagaimana lazimnya, hubungan bilateral antar negara disepakati berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian tertentu. MoU biasanya dipilih ketika perjanjian dilakukan bukan oleh Kepala Negara dan substansinya dianggap tidak teramat penting. Sebaliknya, agree- 10

17 PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) ment dipilih ketika substansi yang diatur dianggap sangat penting dan ditandatangani oleh Kepala Negara secara langsung. Dalam Kerangka Acuan dijelaskan bahwa proses Komisi Kebenaran dan Persahabatan tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan tanggung jawab kelembagaan. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Komisi tidak apriori terhadap proses peradilan yang sedang berlangsung mengenai kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 maupun merekomendasikan pembentukan badan peradilan apapun. 5 Oleh karena itu, dari awal sudah ditegaskan dalam Kerangka Acuan Komisi itu sendiri bahwa proses ini tidak akan mengarah pada proses yudisial. Berdasarkan mandatnya, Komisi akan merumuskan cara-cara dan merekomendasikan ELSAM, langkah-langkah 2010 yang tepat untuk menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia, yaitu dengan: 6 Merekomendasikan amnesti bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang bekerja sama secara penuh dalam mengungkapkan kebenaran; Merekomendasikan langkah-langkah rehabilitasi bagi mereka yang dituduh melanggar hak asasi manusia, namun tuduhan tersebut tidak benar; Merekomendasikan cara-cara untuk mempromosikan 5 Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang dibentuk oleh Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste (selanjutnya disingkat Kerangka Acuan ), butir 13(c) & (e). 6 Ibid., butir 14(c). 11

18 BAB II persahabatan antara rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan agama; Merekomendasikan kontak antara orang dan orang yang inovatif dan kerja sama untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas. Tidak heran apabila muncul pendapat bahwa Komisi merupakan sarana cuci tangan bagi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pendapat tersebut diperkuat lagi dengan adanya penegasan dalam Kerangka Acuan Komisi bahwa Indonesia dan Timor-Leste lebih memilih untuk mencari kebenaran dan membangun persahabatan sebagai suatu pendekatan yang baru dan unik daripada menjalankan proses peradilan Metode dan mekanisme ELSAM, kerja 2010 Salah satu mandat Komisi adalah untuk meninjau kembali (review) bahan-bahan yang didokumentasikan oleh KPP HAM, Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor-Timur di Indonesia, Panel Khusus untuk Kejahatan Berat dan CAVR. Memeriksa dan menetapkan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan, termasuk pola-pola perilaku yang didokumentasikan oleh lembagalembaga Indonesia terkait dan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat. Untuk memenuhi mandatnya, Komisi menerapkan dua metodologi, yaitu metodologi untuk mencari kebenaran konklusif dan metodologi untuk menghasilkan rekomendasi. Metode-metode tersebut digunakan untuk mencapai temuan faktual yang menjadi dasar kesimpulan-kesimpulan Komisi mengenai kebenaran konklusif dan tanggung jawab institusional. Untuk menghasilkan rekomendasi, 12

19 PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA MASA LALU DI TIMOR-LESTE MELALUI MEKANISME KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) metode-metode yang digunakan mencakup lokakarya dan konsultasi dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemimpin kedua negara. Namun, karena Komisi bukan merupakan lembaga yudisial, maka dalam dengar pendapat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari metodologi untuk mencari kebenaran konklusif, Komisi tidak memiliki wewenang memaksa kehadiran seseorang untuk bersaksi maupun mengajukan bukti. Padahal dari para saksi dalam proses dengar pendapat dapat diperoleh keteranganketerangan yang signifikan mengenai pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur. Di atas kertas amat nyata bahwa kepada Komisi diberikan mandat yang amat terbatas. Dengan keterbatasan tersebut maka apa yang dapat dicapai oleh Komisi menjadi sangat bergantung kemampuan para Komisioner untuk menggunakan, menafsirkan dan mengembangkan mandat ELSAM, tersebut Selain itu, mau tidak mau, Komisioner bergantung pada dukungan elit politik kedua negara maupun publik serta kemampuan memelihara dan memanfaatkan kepercayaan masyarakat yang menanti untuk melihat lahirnya kebenaran dari kerja Komisi ini. 13

20 14 ELSAM, 2010

21 BAB III TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL Berdasarkan Kerangka Acuan butir 14(b), Komisi memiliki mandat untuk mengeluarkan laporan, yang terbuka untuk umum, dalam Bahasa Indonesia, Tetum dan ELSAM, Inggris, 2010 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, yang membentuk catatan sejarah bersama dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan yang terjadi pada periode menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus Laporan akhir sebagaimana dimaksud merupakan jawaban Komisi atas mandatnya untuk mengungkap kebenaran konklusif di balik peristiwa masa lalu yang kelam. Di dalam menetapkan kebenaran konklusif, Komisi memadukan dua analisis penting, yakni analisis Telaah Ulang Dokumen dan analisis Proses Pencarian Fakta. Empat kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi meliputi dokumen dari Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur (KKP-HAM Timor-Timur), Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste 7 Kerangka Acuan, supra, n. 5, butir 14(b). 15

22 BAB III (CAVR), Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta (dokumen-dokumen persidangan, putusan akhir 12 kasus Timor-Timur dan BAP Kejaksaan Agung terkait dengan 12 kasus tersebut), Panel Khusus untuk Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC) serta Unit Kejahatan Berat (SCU) di Dili (dakwaan SCU dan putusan SPSC dan berkas perkara SCU termasuk Wiranto Case File ). Sedangkan proses pencarian fakta dilakukan melalui empat cara, yakni dengar pendapat terbuka, dengar pendapat tertutup, pengambilan pernyataan, wawancara dan submisi tertulis. Laporan setebal 380 halaman 8 yang disampaikan oleh Komisi kepada Presiden Indonesia dan Timor-Leste pada tanggal 15 Juli 2008, yang kemudian terbuka untuk umum pada pertengahan Agustus 2008, terdiri dari tiga bagian: Bagian I : Tujuan, Mandat ELSAM, dan 2010 Proses Bagian II : Temuan dan Analisis Bagian III : Kesimpulan, Rekomendasi dan Langkah ke Depan Di dalam mencapai kebenaran konklusif tentang pelanggaran hak asasi manusia berat yang diduga terjadi menjelang dan setelah konsultasi popular di Timor-Leste pada bulan Agustus 1999, Komisi dipandu oleh dua pertanyaan penting, yakni apakah pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 dan apakah terdapat institusi-institusi yang harus dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran- 8 Per Memoriam Ad Spem: Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste. 16

23 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL pelanggaran tersebut? 3.1. Temuan-temuan KKP: membongkar sejarah masa lalu Apabila kita telisik lebih jauh proses pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh Komisi, terdapat temuan-temuan faktual yang secara detil menjawab dua persoalan utama yang dihadapkan kepada Komisi sebagaimana dijelaskan di atas: 9 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah terjadi di Timor- Timur pada tahun Kampanye kekerasan dan intimidasi secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil tidak bersifat acak, spontan dan bukan sekedar hasil dari dinamikadinamika balas dendam. Penghilangan kemerdekaan secara ilegal, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pemindahan paksa dan deportasi sebagai bagian dari kampanye kekerasan dan intimidasi ELSAM, tersebut 2010 dimaksudkan untuk melemahkan dukungan penduduk sipil terhadap gerakan prokemerdekaan. Para anggota milisi, kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dan unsur-unsur TNI terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelaku utama kekerasan adalah milisi pro-otonomi yang mendapat dukungan, bantuan dan terkadang arahan serta perbuatan bersama oleh anggota kepolisian, militer dan pemerintah sipil Indonesia. Tersedianya sumber daya keuangan dan materi bagi milisi-milisi pro-otonomi; terbukanya akses terhadap senjata yang 9 Ibid., hal

24 BAB III pendanaan, pasokan, distribusi dan penggunaannya dikendalikan oleh satuan-satuan TNI secara terorganisasi dan sistematis serta pengetahuan bahwa senjata-senjata tersebut akan digunakan untuk mendukung kampanye intimidasi dan kekerasan prootonomi menunjukkan hubungan kerja sama yang sangat terorganisasi dan berkesinambungan antara milisi pro-otonomi dengan lembaga-lembaga Indonesia. Struktur kepemimpinan serta keanggotaan militer, sipil bersenjata dan milisi yang tumpang tindih memperkuat hubungan yang terbina tersebut. Dukungan TNI, pemerintah sipil dan militer melalui kepemimpinan, pemberian senjata dan pengetahuan mengenai tujuan penggunaan senjata, pendanaan dan pemberian sumber daya materiil lainnya secara sistematis memberi indikasi nyata mengenai tanggung jawab institusional TNI, pemerintah sipil dan militer atas pelanggaran hak asasi manusia ELSAM, yang 2010berat tahun Partisipasi langsung anggota TNI dalam berbagai penyerangan terhadap penduduk sipil kerap dilakukan melalui keterlibatan anggota di dalam penyerangan bersama dengan anggota kelompok milisi atau sipil bersenjata dan melalui perencanaan aktif atau arahan operasi oleh perwira-perwira TNI pada tingkat komando lokal. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara ilegal terhadap penduduk sipil yang tidak pro-kemerdekaan juga dilakukan secara sistematis dan meluas oleh unsur-unsur Falintil dan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan lain. Namun demikian, luas cakupan pelanggaran tidak dapat diukur mengingat ketiadaan penyelidikan terhadap peran kelompok-kelompok prokemerdekaan dalam peristiwa kekerasan tahun Sehingga 18

25 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL muncul kesulitan di dalam menetapkan tanggung jawab institusional atas pelanggaran semacam itu. Jika dikerucutkan lagi, temuan-temuan faktual tersebut sebenarnya bermuara pada dua kesimpulan besar, yakni bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999 dan bahwa ada keterlibatan kelembagaan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut. Oleh karena itu, adalah penting untuk memaparkan bagaimana Komisi dapat sampai pada dua kesimpulan tersebut, mengingat bahwa Komisi harus memadukan dua analisis yang berbeda, yakni analisis temuan dan kesimpulan dari Proses Telaah Ulang Dokumen dan Proses Pencarian Fakta. ELSAM, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat: kejahatan terhadap kemanusiaan Pada hakikatnya, kesimpulan Komisi bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil telah terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 bukan sesuatu hal yang baru. Dokumen-dokumen yang ditelaah oleh Komisi telah secara tegas mengungkap hal ini. Sebagaimana halnya lembaga-lembaga yudisial dan non-yudisial yang mendahului Komisi, di dalam mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan, Komisi bercermin pada instrumen dan yurisprudensi internasional yang menetapkan unsur-unsur turunan dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang meliputi: 19

26 BAB III (1) Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil; (2) Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis; (3) Adanya pengetahuan bahwa tindakan pelaku merupakan bagian dari serangan tersebut Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil 11 Komisi menetapkan bahwa suatu serangan baru dapat dikatakan telah terjadi apabila terdapat sejumlah substansial warga sipil yang menjadi korban pemaksaan, kekerasan atau tindak pidana. Penganiayaan terhadap penduduk sipil merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan yang dapat dikaitkan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ditambahkan, serangan semacam itu ELSAM, tidak harus 2010 senantiasa melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata. Pertanyaannya kemudian: apakah serangan tersebut memang benar-benar ditujukan terhadap penduduk sipil dan bukan semata-mata serangan yang hanya diarahkan terhadap beberapa individu yang dipilih secara acak. Atas pertanyaan ini, Komisi menegaskan bahwa karakter kuantitatif yang mensyaratkan jumlah minimal bukan merupakan batu uji bagi terpenuhinya unsur diarahkan terhadap penduduk sipil melainkan 4 (empat) indikator utama yang meliputi: identitas korban, kondisi mereka 10 Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 7(1). 11 Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 70, 167, 206 dan

27 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL diserang, lokasi dimana mereka diserang serta jenis-jenis kekerasan yang dilakukan. Berangkat dari analisis singkat tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa terdapat serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Tidak mendalamnya pembahasan mengenai hal ini disebabkan oleh bukti yang dikumpulkan dari berbagai dokumen yang ditelaah oleh Komisi maupun dari proses pencarian fakta yang telah secara konsisten menemukan bahwa serangan memang ditujukan terhadap penduduk sipil Serangan dilakukan secara meluas atau sistematis Unsur meluas 12 Unsur serangan dilakukan secara meluas atau sistematis bersifat ELSAM, alternatif, 2010 dalam pengertian bahwa di dalam pembuktiannya, jika salah satu syarat terpenuhi meluas atau sistematis maka sudah cukup untuk menetapkan telah dilakukannya kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun demikian, Komisi tidak menutup kemungkinan bagi kedua syarat untuk dapat terpenuhi. Dalam menetapkan sifat meluas suatu serangan, Komisi mempertimbangkan beberapa faktor, yakni luasnya serangan, jumlah korban, cakupan geografis, banyaknya jumlah serangan dan lamanya serangan. Singkat kata, istilah meluas merujuk pada dimensi, cakupan dan karakter kuantitatif serangan. Unsur 12 Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. 25, 71, 84, 110, 129,243, 165, 166 dan

28 BAB III meluas baru akan terpenuhi jika terjadi banyak tindak kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil atau jika skalanya signifikan (banyaknya jumlah pelaku dan korban). Empat kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas. Komisi mencatat bahwa Laporan KPP HAM, Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta menggunakan pendekatan cakupan geografis dan jumlah korban. Serupa, Laporan Akhir CAVR dan Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) menitikberatkan pada dimensi kuantitatif, khususnya banyaknya jumlah perempuan korban kekerasan berbasis jender. ELSAM, 2010 Lebih lanjut, rekonstruksi ke-14 kasus prioritas, yang merupakan bagian dari proses pencarian fakta, juga telah berhasil menetapkan sifat meluasnya serangan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun Mengingat waktu, sebaran geografis dan skala kejadian yang melingkupi ke-14 kasus tersebut, Komisi berkesimpulan bahwa ke-14 kasus prioritas dengan sendirinya telah memenuhi syarat sebagai suatu pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang meluas karena terjadi secara tidak acak, dalam urut-urutan yang berdekatan, selama rentang waktu yang terbatas dan di berbagai lokasi geografis. Dalam hal rentang waktu terjadinya kekerasan, 22

29 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL Komisi menegaskan bahwa konsentrasi kekerasan pada bulan April-Mei (4 kasus) dan September 1999 (10 kasus) berkaitan erat dengan situasi politik saat itu, termasuk pengukuhan milis-milisi (April-Mei) dan penyelenggaraan jajak pendapat (September). Bervariasinya wilayah tempat terjadinya pelanggaran Wilayah Timur (Lautém, Baucau, Viqueque, Manatuto), Wilayah Tengah (Dili, Aileu, Ainaro, Manufahi) dan Wilayah Barat (Liquiça, Ermera, Covalima, Bobonaro, Oecussi) menjadi petunjuk utama adanya penyerangan yang meluas secara geografis. Unsur sistematis 13 Guna menentukan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk ELSAM, sipil 2010 dilakukan secara sistematis, Komisi mendasarkan analisisnya pada tiga faktor, yakni: (1) apakah serangan dimaksud dilakukan secara terorganisasi atau acak (random) atau bersifat kaos (chaotic), (2) apakah terdapat pola mendasar atau perencanaan sebelumnya dan (3) apakah terdapat suatu kebijakan eksplisit atau implisit atau artikulasi tujuan politis atau ideologis yang terkait dengan serangan. Berdasarkan proses telaah ulang dokumen, Komisi menemukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xvii, 86, 95, dan

30 BAB III bersifat sistematis, baik berdasarkan pada pola atau modus operandi yang digunakan (perencanaan operasi) maupun pola-pola kejahatan (misalnya, pemindahan paksa). Terkait dengan pemindahan paksa, Komisi mencatat temuan di dalam Arsip Unit Kejahatan Berat (SCU) yang menegaskan bahwa konsistensi pola perilaku dan mobilisasi sumber daya yang sangat besar untuk dapat memindahkan begitu banyak orang dalam rentang waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa hal ini terjadi secara sistematis dan terencana baik, ketimbang acak, spontan, atau sebagai hasil tindakan individual terpisah. Adanya suatu kebijakan baik eksplisit atu implisit pada hakekatnya bukan merupakan suatu syarat yang diperlukan untuk ELSAM, menetapkan 2010 sifat sistematis suatu serangan. Yurisprudensi internasional memandang adanya kebijakan hanya sebagai suatu syarat tambahan dan kebijakan tersebut tidak harus senantiasa berupa kebijakan resmi. Komisi menemukan perbedaan yang sangat signifikan antara temuan KPP HAM dan BAP berkenaan dengan hal ini. KPP HAM berkesimpulan bahwa sistematisnya kekerasan yang dilakukan mengindikasikan adanya suatu kebijakan implisit. Di sisi lain, lemahnya penuntutan atas kasus-kasus di pengadilan HAM Ad Hoc disebabkan oleh asumsi yang menyimpang bahwa syarat adanya kebijakan resmi adalah syarat utama untuk membuktikan sifat sistematis suatu serangan. 24

31 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL Dokumen-dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi menyimpulkan bahwa serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil di Timor-Timur pada tahun 1999 bersifat sistematis. Kesimpulan ini didukung oleh berbagai kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta, khususnya yang terkait dengan ke-14 kasus prioritas. Di tengah keterbatasan jumlah saksi dan waktu, bukti-bukti substansial yang terkumpul berhasil mengkonfirmasi atau mengkoroborasi temuan-temuan dalam proses telaah ulang dokumen: (1) Korban ditargetkan berdasarkan ciri-ciri khusus, dalam hal ini berdasarkan afiliasi politik mereka; (2) Kelompok-kelompok milisi dibentuk secara sistematis, memiliki struktur operasional yang terkoordinasi ELSAM, dan mendapat 2010 dukungan dana, senjata dan amunisi di dalam menjalankan operasi-operasi mereka dari institusi militer dan pemerintah sipil. (3) Operasi-operasi bersama milisi dan TNI, dengan pengarahan dan perencanaan pada tingkat yang signifikan, dilakukan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu Tanggung jawab institusional 14 Kesimpulan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah dilakukan secara meluas dan sistematis, sebagaimana dijelaskan di 14 Pembahasan secara mendalam, lihat Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal. xv, 74-79, 87-88, 93-94, 98, , 117, , , , 200, 205, dan

32 BAB III atas, menjadi titik tolak bagi temuan mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran tersebut. Namun demikian, Komisi menyadari bahwa konsep tanggung jawab institusional didasarkan pada faktor-faktor moral dan etis ketimbang unsur-unsur legal formal. Tanpa bermaksud untuk mengurangi esensi dari tanggung jawab individu, Komisi menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau perorangan yang terjadi pada tahun 1999 merupakan bagian dari kekerasan yang terorganisasi dan sarat muatan politik sehingga perlu dilihat dalam konteks institusional yang lebih luas. Komisi cukup mengalami kesulitan di dalam menentukan tanggung jawab institusional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor-Timur pada tahun Hal ini dikarenakan sebagian dari kumpulan dokumen yang ditelaah ulang oleh Komisi berfokus pada penentuan tanggung jawab individu yang berada di luar ELSAM, mandat 2010 Komisi. Kesimpulan eksplisit mengenai dimensi tanggung jawab institusional, khususnya yang melekat pada milisi sebagai pelaku utama kekerasan, termuat dalam beberapa dokumen, termasuk Laporan KPP HAM, Laporan Akhir CAVR, Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC dan beberapa Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc. Komisi mencatat bahwa selain Laporan Akhir CAVR, tidak satupun dokumen tersebut di atas di dalam temuannya menetapkan mengenai tanggung jawab institusional institusi Indonesia maupun Timor-Leste. Dokumen-dokumen tersebut, kendati secara lugas mengungkap tanggung jawab bersama milisi Timor pro-otonomi dan institusi-institusi Indonesia, cenderung kabur di dalam menetapkan institusi mana yang terlibat, sejauh mana dan bagaimana dan pada tingkat mana. 26

33 TEMUAN-TEMUAN KOMISI: PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DAN TANGGUNG JAWAB INSTITUSIONAL Di satu sisi, Laporan Akhir CAVR secara eksklusif menunjuk TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Di sisi lain, beberapa dokumen termasuk Berkas Perkara SCU serta Putusan-putusan SPSC memperluas pertanggungjawaban institusional pada pihak prootonomi sebagai pelaku utama kekerasan, TNI dan pejabat sipil Indonesia. Terbatasnya penyidikan dan bukti yang ada menyebabkan sulitnya membuktikan keterlibatan institusi kepolisian. Namun demikian, di dalam putusan Adam Damiri, pertanggungjawaban institusional kepolisian berhasil terungkap. Menarik untuk ditelusuri bagaimana BAP ke-12 kasus dan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc, khususnya putusan kasus Adam Damiri, mencoba untuk memahami konsep tanggung jawab institusional secara lebih luas. Komisi menilai bahwa meskipun dokumen-dokumen tersebut ELSAM, tidak secara 2010 langsung menyentuh akar permasalahan mengenai tanggung jawab institusional, upaya untuk menetapkan tanggung jawab komando seperti halnya kasus Adam Damiri, memiliki implikasi terhadap tanggung jawab institusional. Relevansi antara tanggung jawab komando dan tanggung jawab institusional tercermin dari adanya kesadaran institusional mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999 dan kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Seluruh kesaksian yang diterima oleh Komisi dalam proses pencarian fakta dengan tegas menunjukkan adanya tanggung jawab institusional kelompok-kelompok milisi. Beberapa di antaranya juga mengungkap keterlibatan langsung dari institusi- 27

34 BAB III institusi militer dan kepolisian. Juga terdapat kesaksian yang mengaitkan tanggung jawab institusional dengan kegagalan militer dan kepolisian untuk mengambil tindakan secara memadai guna mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi. Pendanaan dan penyediaan dukungan materiil dari pemerintah sipil Indonesia kepada kelompok-kelompok milisi pro-otonomi; pemberian senjata secara sistematis dengan pengetahuan mengenai tujuan penggunaan senjata; adanya arahan di dalam tindakan bersama penyerangan terhadap penduduk sipil dan tumpang tindih struktur kepemimpinan dan keanggotaan antara militer, sipil bersenjata dan milisi menjadi dasar bagi analisis mengenai tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor- Timur pada tahun ELSAM, 2010 Berkenaan dengan tanggung jawab institusional, Komisi menyimpulkan bahwa: 15 (1) Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat serta mengikuti suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi. (2) Anggota TNI, Polri dan pejabat sipil telah bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan, yakni 15 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal

35 pembunuhan, pemerkosaan sistematis, penyiksaan, penghilangan kemerdekaan fisik berat serta deportasi dan pemindahan paksa. (3) Terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT (penahanan ilegal tersebut dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada komandan dan lain-lain). ELSAM,

36 30 ELSAM, 2010

37 BAB IV REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF Di dalam merumuskan rekomendasi-rekomendasinya yang bersifat rekonsiliatif dan berbentuk reparasi kolektif, Komisi bersandar pada prinsip-prinsip keadilan restoratif ELSAM, yang 2010 berorientasi pada kebutuhan korban, khususnya kebutuhan agar martabat mereka dipulihkan. Komisi berpandangan bahwa kebenaran konklusif yang dicapai adalah langkah awal bagi pemulihan dimaksud. Rekomendasirekomendasi tersebut dibagi dalam 2 (dua) kategori, yakni Jangka Pendek dan Urgen, dan Jangka Panjang dan Aspiratif: 4.1. Jangka pendek dan urgen Untuk jangka pendek, Komisi menetapkan 5 (lima) buah rekomendasi yang dinilai memiliki tingkat urgensitas yang tinggi, yakni: akuntabilitas dan reformasi kelembagaan, patroli perbatasan dan kebijakan keamanan bersama, pusat dokumentasi dan resolusi konflik, persoalan ekonomi dan aset dan Komisi untuk Orang-orang Hilang. 31

38 BAB IV Akuntabilitas dan reformasi kelembagaan 16 Sebagai reaksi atas temuan dan kesimpulan bahwa terdapat tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999, Komisi merekomendasikan agar promosi budaya akuntabilitas di dalam institusi-institusi yang terlibat harus mencakup upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan serta mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia. Namun demikian, perlu dicatat bahwa peningkatan akuntabilitas tanpa dibarengi oleh reformasi kelembagaan tidak akan efektif. Reformasi kelembagaan dalam setiap aspek diharapkan dapat mencegah perulangan kekerasan di masa mendatang. ELSAM, 2010 Mandat Komisi untuk merekomendasikan pemberian pengampunan (amnesti) dan langkah-langkah rehabilitasi, sebagaimana ditetapkan dalam Kerangka Acuan butir 14 (c) (i) dan (ii), berkaitan erat dengan akuntabilitas kelembagaan. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, Komisi memutuskan untuk tidak memberikan rekomendasi amnesti atau rehabilitasi kepada terduga pelaku. Selain oleh karena klausul untuk merekomendasikan pemberian amnesti dan rehabilitasi bukan merupakan suatu klausul yang wajib atau mutlak, keputusan Komisi untuk tidak merekomendasikan kedua 16 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal

39 REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF hal tersebut juga dilandasi oleh bukti-bukti yang terkumpul melalui proses pencarian fakta bahwa, pertama, pihak terduga pelaku yang hadir dalam proses pencarian fakta tidak bekerja sama penuh dalam mengungkapkan kebenaran, sehingga bagi mereka tidak direkomendasikan amnesti. Komisi juga menegaskan bahwa rekomendasi amnesti akan menegasikan kriteria pokok keadilan prosedural, yakni terbuka bagi semua pihak dan mengabaikan tujuan utama Komisi, yakni untuk mencapai rekonsiliasi. Kedua, keterbatasan Komisi untuk melakukan penelitian atas kasus-kasus perorangan menyebabkan dirinya tidak dapat menetapkan bahwa terduga pelaku telah dituduh secara tidak adil dan oleh karenanya bagi mereka tidak direkomendasikan ELSAM, 2010 rehabilitasi. Identifikasi atas lemahnya lembaga-lembaga peradilan, tidak adanya komitmen yang efektif terhadap supremasi hukum serta tidak adanya akuntabilitas militer dan pasukan keamanan sebagai faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya kekerasan pada tahun 1999 merupakan dasar utama bagi Komisi untuk merekomendasikan langkah-langkah pokok untuk melakukan reformasi kelembagaan: (1) Mengembangkan suatu program pelatihan hak asasi manusia yang dirancang untuk institusi-institusi keamanan, militer dan intelijen yang memberikan titik tekan pada kewajiban mereka untuk menghormati hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan 33

40 BAB IV politik dalam situasi konflik sipil dan politik, termasuk dengan bersikap netral, taat pada batasan-batasan hukum dan patuh pada arahan kepemimpinan sipil. (2) Mengembangkan suatu program pelatihan hak asasi manusia yang dirancang untuk institusi-institusi sipil, seperti Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan yang berfokus pada upaya-upaya damai untuk mengatasi situasi konflik sipil dan politik. Terwujudnya budaya penghormatan terhadap keberagaman dan perbedaan politik menjadi harapan jangka panjang. (3) Mereformasi lembaga-lembaga yang berwenang untuk menyelidik, menyidik dan menuntut pelanggaran ELSAM, hak asasi 2010 manusia. Kedua Negara, Indonesia dan Timor-Leste harus mengambil langkahlangkah konkrit untuk melaksanakan rekomendasi ini, termasuk dengan memperkuat kewenangan dan efektifitas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia melalui amendemen undang-undang hak asasi manusia dan mengembangkan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional Timor-Leste yang di dalamnya mencakup mekanisme investigasi pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat proaktif secara berturut-turut. Penting pula untuk mengembangkan pelatihan dan penguatan mekanisme akuntabilitas dalam lembaga militer dan kepolisian di kedua negara. 34

41 REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMISI: REKONSILIATIF DAN KOLEKTIF (4) Mengembangkan program-program pelatihan bagi institusi-institusi militer, kepolisian dan pemerintah sipil yang berkenaan dengan perlindungan bagi perempuan, anak-anak dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Selain itu, juga direkomendasikan untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme penegakan hukum khusus bagi kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk menangani kasus-kasus kejahatan berbasis jender yang dilakukan dalam situasi konflik sipil atau politik. (5) Mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah program reformasi sektor keamanan yang dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aktor-aktor keamanan, menetapkan batasanbatasan hukum ELSAM, antara 2010 pejabat sipil dengan pasukan militer dan kepolisian serta memisahkan wewenang dan tanggung jawab dalam persoalan penegakan hukum dan ketertiban dan pertahanan antara kepolisian dan militer. 35

42 BAB IV Patroli perbatasan dan kebijakan keamanan bersama 17 Mengingat pentingnya penyelesaian persoalan-persoalan residual yang terkait dengan keamanan perbatasan antara Indonesia dan Timor-Leste dalam rangka mencegah kekerasan di masa depan dan meningkatkan persahabatan antar kedua negara, Komisi merekomendasikan, antara lain, pembentukan zonazona damai, kerja sama patroli perbatasan, penyelesaian kesepakatan mengenai masalah-masalah demarkasi dan delimitasi perbatasan darat, laut dan udara serta pengembangan kebijakan keamanan perbatasan bersama Pusat Dokumentasi ELSAM, dan 2010 Resolusi Konflik 18 Selain diproyeksikan sebagai sebuah langkah untuk mendorong persahabatan antara kedua bangsa dan mencegah kekerasan di masa mendatang melalui pengumpulan dan pemeliharaan semua dokumentasi yang berkenaan dengan kekerasan yang terjadi pada tahun 1999 dan penelitian sejarah bersama, Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik ini juga dirancang untuk mengembangkan program-program yang mendorong resolusi konflik dan penyembuhan korban. 17 Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal Per Memoriam Ad Spem, supra, n. 8, hal

Judul Laporan Akhir Komisi Per Memoriam ad Spem berasal dari bahasa latin yang berarti melalui kenangan menuju harapan. Gambar tangkai padi

Judul Laporan Akhir Komisi Per Memoriam ad Spem berasal dari bahasa latin yang berarti melalui kenangan menuju harapan. Gambar tangkai padi Judul Laporan Akhir Komisi Per Memoriam ad Spem berasal dari bahasa latin yang berarti melalui kenangan menuju harapan. Gambar tangkai padi melambangkan kemakmuran dan perdamaian. Warna dasar coklat mewakili

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN INDONESIA - TIMOR-LESTE

LAPORAN AKHIR KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN INDONESIA - TIMOR-LESTE Judul Laporan Akhir Komisi Per Memoriam ad Spem berasal dari bahasa latin yang berarti melalui kenangan menuju harapan. Gambar tangkai padi melambangkan kemakmuran dan perdamaian. Warna dasar coklat mewakili

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) INDONESIA - TIMOR-LESTE

LAPORAN AKHIR KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) INDONESIA - TIMOR-LESTE LAPORAN AKHIR KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN (KKP) INDONESIA - TIMOR-LESTE i ii DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF Kata Pengantar I. Mandat dan Implementasi II. Kebenaran Konklusif III. Rekomendasi Komisi

Lebih terperinci

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS Tanggal Embargo: 13 April 2004 20:01 GMT Indonesia/Timor-Leste: Keadilan untuk Timor-Leste: PBB Berlambat-lambat sementara para pelaku kejahatan bebas berkeliaran Pernyataan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA

ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kasus Posisi Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Wacana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Bagian 2: Mandat Komisi

Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi...1 Bagian 2: Mandat Komisi...2 Pendahuluan...2 Batasan waktu...3 Persoalan-persoalan dengan relevansi khusus...3 Makna berkaitan dengan konflik politik...3

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 Oleh Drs. Sidarto Danusubroto, SH (Ketua MPR RI) Pengantar Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/14

REGULASI NO. 2000/14 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa- Bangsa di Timor Lorosae NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/14 10

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

pembentukan komisi kepresidenan

pembentukan komisi kepresidenan Keluarga korban pelanggaran HAM usul pembentukan komisi kepresidenan Setara dan keluarga korban mengatakan tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran Published 3:47 PM, March 29, 2016 TUNTUT KEADILAN.

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

UU AMNESTI MELINDUNGI PARA PELAKU KEJAHATAN SELAMA MASA KRISIS

UU AMNESTI MELINDUNGI PARA PELAKU KEJAHATAN SELAMA MASA KRISIS JUDICIAL SYSTEM MONITORING PROGRAMME PROGRAMA DE MONITORIZAÇÃO DO SISTEMA JUDICIAL UU AMNESTI MELINDUNGI PARA PELAKU KEJAHATAN SELAMA MASA KRISIS 2006-2007 Pendahuluan Parlemen Nasional (PN) sebagai badan

Lebih terperinci

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Poin pembelajaran Konteks kelahiran Komnas HAM Dasar pembentukan

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/11

REGULASI NO. 2000/11 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA Administrasi Transisi Perserikatan Bangsabangsa di Timor Lorosae NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/11 6 Maret

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI Supriyadi Widodo Eddyono 1 1 Tulisan ini digunakan untuk bahan pengantar diskusi FGD III perlindungan saksi dan Korban yang diinisiasi oleh ICW-KOMMNAS PEREMPUAN-ELSAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999 KLP: RUU KKR-1999 KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 1 Penulis: FER/AS Ukuran: 5544 RUU HAM dan Komnas HAM: Jangan Hapuskan Pelanggaran HAM Orba Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN PENGAKUAN DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAM

BAB 11 PENGHORMATAN PENGAKUAN DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAM BAB 11 PENGHORMATAN PENGAKUAN DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAM I. Permasalahan yang Dihadapi Sebagaimana periode sebelumnya, Rencana Kerja Pemerintah tahun 2008 menetapkan bahwa salah satu prioritas pembangunan

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Seri Advokasi kebijakan # Perlindungan Saksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

Kertas Posisi atas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Kertas Posisi atas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kertas Posisi atas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi www.elsam.or.id Kertas Posisi atas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 1. PENDAHULUAN Gagasan mengenai komisi kebenaran yang diajukan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

Usulan Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu: Pelembagaan Kebijakan dan Rencana Aksi

Usulan Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu: Pelembagaan Kebijakan dan Rencana Aksi Usulan Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu: Pelembagaan Kebijakan dan Rencana Aksi Disampaikan dalam Diskusi dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 29 Januari 2015 Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejatinya dibentuk untuk memenuhi

BAB V PENUTUP. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejatinya dibentuk untuk memenuhi ! 140 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Et erit opus justitiae pax et cultus justitiae silentum et securitas usque in sempiternu (Setiap karya keadilan dan kebenaran pada akhirnya melahirkan perdamaian, kedamaian,

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH I. UMUM Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci