BUPATI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BUPATI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN"

Transkripsi

1 BUPATI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GORONTALO, Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan dengan Undang- Undang ini;

2 2 d. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 6 Tahun 1996 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang wilayah kabupaten yang disebabkan oleh pemekaran beberapa kabupaten sehingga perlu diganti sesuai ketentuan perundang undangan dan kebutuhan penataan ruang wilayah saat ini dan waktu yang akan datang; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

3 3 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4060); 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 11. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

4 4 Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 14. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 15. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 20. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

5 5 21. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4726); 22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 23. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 24. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 25. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 26. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 27. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 28. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 29. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

6 6 30. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 31. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 32. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 33. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000

7 7 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987);

8 8 46. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154); 52. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010, tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 53. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

9 9 54. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri; 55. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu; 56. Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nomor 2) 57. Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 32 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten (Lembaran Daerah Kabupaten Tahun 2012 Nomor 32); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN GORONTALO Dan BUPATI GORONTALO MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintahan Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Daerah adalah Daerah Kabupaten.

10 10 3. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah. 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 6. Kepala daerah adalah Bupati. 7. Perangkat daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. 8. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. 9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. 10. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 11. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 12. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. 13. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

11 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 15. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. 16. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 19. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 22. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. 23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

12 Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 25. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan disekitarnya yang salingmemiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya (satu juta) jiwa. 26. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 27. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 28. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatu tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 29. Kawasan peruntukkan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan `peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang, baik diwilayah darat maupun perairan,serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung. 30. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

13 Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 32. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL. 33. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 34. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 35. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan km Daerah aliran sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 37. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 38. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. 39. Zonasi adalah blok tertentu yang ditetapkan penataan ruangnya untuk fungsi tertentu. 40. Daerah Irigasi selanjutnya di sebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

14 Daerah Rawa selanjutnya di sebut DR adalah kesatuan lahan genangan air secara alamiah yang menjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yan terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik,kimiawi dan biologis. 42. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 43. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. 44. Jalan Arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. 45. Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan jalan masuk dibatasi. 46. Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 47. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata dekat. 48. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. 49. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 50. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang..

15 Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang di Kabupaten dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 2 Mewujudkan Kabupaten sebagai kabupaten penyangga ketahanan pangan dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam serta menjaga kelestarian lingkungan. Bagian Kedua Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Paragraf 1 Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 3 Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten dilakukan dalam pengembangan struktur ruang, pola ruang dan pengembangan kawasan strategis wilayah agar tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten tercapai. Pasal 4 Kebijakan penataan ruang Kabupaten, terdiri atas: a. peningkatan kegiatan ekonomi wilayah berbasis sektor unggulan melalui intensifikasi lahan dan modernisasi pertanian dengan pengelolaan yang ramah lingkungan; b. peningkatan upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dengan mempertahankan fungsi-fungsi lindung; c. peningkataan akses perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata dan hierarkis;

16 16 d. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Kabupaten ; e. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya; f. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan g. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup; Paragraf 2 Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 5 (1) Strategi peningkatan kegiatan ekonomi wilayah berbasis sektor unggulan melalui intensifikasi lahan dan modernisasi pertanian dengan pengelolaan yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi: a. memantapkan komoditas unggulan wilayah sesuai dengan potensi sumber daya lahan, sosial budaya lokal dan ramah lingkungan; b. mengembangkan prasarana dan sarana wilayah yang mendorong peningkatan produktivitas komoditas unggulan; c. menguatkan sistem pelayanan wilayah sesuai peran dan fungsi yang diemban masing-masing pusat kegiatan; d. meningkatkan produksi hasil hutan kayu dan non kayu yang dikelola secara amanah dan ramah lingkungan; e. mengembangkan sektor pertanian pangan sebagai bagian dari ketahanan pangan daerah; f. meningkatkan dan mengembangkan sektor perkebunan yang ramah lingkungan dengan komoditas unggulan; g. menerapkan pendekatan pengembangan pertanian dan perkebunan dengan pendekatan agropolitan. (2) Strategi Peningkatan upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dengan mempertahankan fungsi-fungsi lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:

17 17 a. mengendalikan kegiatan budidaya agar tidak mengganggu kawasan fungsi lindung; b. merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan lindung yang mengalami penurunan kualitas lingkungan; dan (3) Strategi peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat Pertumbuhan ekonomi wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, meliputi: a. menjaga interkoneksi antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar kawasan perkotaan dengan wilayah sekitarnya; b. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang potensi dan belum terlayani oleh pusat pertumbuhan eksisting; c. mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan d. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya. (4) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, terdiri atas: a. meningkatnya kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat dan udara; b. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan yang sangat terpencil; c. meningkatkan jaringan energi dengan lebih menumbuhkembangkan pemanfaatan sumber daya terbarukan yang ramah lingkungan dalam sistem kemandirian energi area mikro, dibanding pemanfaatan sumber daya yang tak terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; dan d. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air. (5) Strategi perwujudan dan peningkatan serta keterkaitan antar kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf e, meliputi: a. menetapkan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis Kabupaten untuk memanfaatkan sumberdaya alam di ruang

18 18 darat, laut dan udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; b. mengembangkan kegiatan budidaya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan, termasuk laut dan pulau-pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan pengembangan ekonomi setempat; c. mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya pertanian dan perikanan untuk mewujudkan ketahanan pangan kabupaten, sebagai daerah pendukung lahan pertanian pangan berkelanjutan; d. mengembangkan dan melestarikan budidaya perkebunan terutama yang sesuai dengan teknokultur masyarakat lokal; e. mengembangkan kawasan pertambangan yang berwawasan lingkungan dan mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang; dan f. mengembangkan kegiatan budidaya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial, budaya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. (6) Strategi pengendalian perkembangan dan keterpaduan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf f, meliputi: a. membatasi perkembangan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana alam untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; b. memanfaatkan ruang pusat kota, dengan mengoptimalkan pembangunan gedung secara vertikal, dengan mempertimbangkan kerawanan terhadap gempa, agar terwujud kota taman yang kompak, di daerah perkotaan yang aman terhadap resiko bencana alam; c. mengembangkan agropolitan yang memadukan agroindustri, agrobisnis, agrowisata di Kawasan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang tersebar di seluruh Kabupaten ; dan (7) Strategi pencegahan dampak negatif kegiatan manusia sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf g, meliputi:

19 19 a. Menyelenggarakan upaya terpadu pelestarian fungsi sistem ekologi wilayah; b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menetralisir, menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; e. mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijak untuk menjamin kepentingan generasi masa kini maupun generasi masa depan; f. mengelola sumberdaya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, termasuk revitalisasi fungsi sistem ekologi lokal serta pembangunan sumberdaya baru untuk diwariskan kepada generasi penerus, dan menjaga kelestarian lingkungan; g. mengutamakan pengelolaan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan h. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya antisipatif dan adaptasi bencana di kawasan rawan bencana. BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten meliputi: a. sistem pusat kegiatan;

20 20 b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. (2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1: sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.1, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Sistem Pusat Kegiatan Pasal 7 (1) Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) b. PKL (Pusat Kegiatan Lokal) c. PKLp (Pusat Kegiatan Lokal promosi) d. PPK (Pusat Pelayanan Kawasan); dan e. PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan) (2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berada di Isimu (3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada di Limboto. (4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi Telaga dan Limboto Barat (5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. Pilohayanga di Kecamatan Telaga; b. Pulubala di Kecamatan Pulubala; c. Mulyonegoro di Kecamatan Tibawa; d. Payunga di Kecamatan Batudaa; dan e. Parungi di Kecamatan Boliyohuto. (6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi: a. Huidu di Kecamatan Limboto Barat; b. Talumelito di Kecamatan Telaga Biru; c. Biluhu Timur di Kecamatan Batudaa Pantai; d. Molopatodu di Kecamatan Bongomeme: e. Biluhu Tengah di Kecamatan Biluhu; f. Paris di Kecamatan Mootilango; dan g. Lakeya di Kecamatan Tolangohula.

21 21 Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Pasal 8 (1) Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; c. sistem jaringan transportasi udara; dan d. sistem jaringan perkeretaapian. (2) Sistem jaringan transportasi dan sistem pusat kegiatan digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1: sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 1 Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 9 (1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, meliputi: a. jaringan jalan dan jembatan;; b. jaringan prasarana lalu lintas; dan c. jaringan layanan lalu lintas (2) Jaringan jalan dan jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. jaringan jalan bebas hambatan b. jaringan jalan nasional pada wilayah Kabupaten; c. jaringan jalan provinsi pada wilayah Kabupaten; d. jaringan jalan kabupaten; dan e. jembatan (3) Jaringan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa pembangunan jalan bebas hambatan, meliputi; a. ruas jalan bebas hambatan Isimu- berupa Outter of Ring Road;

22 22 b. ruas jalan bebas hambatan Sulawesi Utara-Atinggola-Isimu; dan c. ruas jalan bebas hambatan Isimu Marisa. (4) Jaringan jalan nasional pada wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa peningkatan jalan arteri primer, meliputi : a. ruas jalan -Isimu- Paguyaman; dan b. ruas jalan Isimu-Kwandang. (5) Jaringan jalan provinsi pada wilayah kabupaten pada ayat (2) huruf c meliputi: a. peningkatan jalan kolektor primer meliputi: 1. ruas jalan -Batudaa-Isimu; 2. ruas jalan -Biluhu-Bilato-Tangkobu; 3. ruas jalan Puncak-Sidomukti-Diloniyohu-Lakeya; 4. ruas jalan Parungi-Anggrek; dan 5. ruas jalan Labanu-Anggrek. b. pengembangan jalan kolektor primer meliputi: 1. ruas jalan Tapa-Dulamayo-Atinggola; dan 2. ruas jalan Pontolo-Limboto; (6) Jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi; a. pengembangan jaringan jalan kolektor primer meliputi; 1. ruas jalan Bulila-Tualango; 2. ruas jalan Jembatan Jodoh-Timuato; 3. ruas jalan Tuladenggi-Dumati; 4. ruas jalan Hulawa-Pilohayanga; 5. ruas jalan Iluta-Biluhu Timur; 6. ruas jalan Pilolalenga-Biluhu Tengah; 7. ruas jalan Pulubala-Dulamayo; 8. ruas jalan Pangadaa-Bakti; 9. ruas jalan Mulyonegoro-Lakeya; 10. ruas jalan Lakeya-Pangahu; 11. ruas jalan Bumela-Totopo; 12. ruas jalan Pongongaila-Iloponu; 13. ruas jalan Lamahu-Puncak; 14. ruas jalan Tunggulo-Ilomangga; 15. ruas jalan Yosonegoro-Limehe Barat;

23 ruas jalan Balahu-Kaliyoso; 17. ruas jalan Ambara-Botubulowe dan 18. ruas jalan Parungi-Monggolito; b. pengembangan jaringan jalan lokal. c. pengembangan jaringan jalan lingkungan. (7) Jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi; a. pembangunan jembatan pada ruas jalan eksisting maupun ruas jalan baru; dan b. peningkatan jembatan pada ruas jalan eksisting. (8) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a. terminal penumpang tipe A terdapat di Isimu; b. terminal penumpang tipe B terdapat di Limboto dan Telaga; c. terminal penumpang tipe C terdapat di Dungaliyo dan Boliyohuto; dan d. terminal barang terdapat di Isimu; (9) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. layanan lalu lintas barang, terdiri atas: 1. terminal Isimu - ; 2. terminal Isimu - Batudaa - ; 3. terminal Isimu Paguyaman; dan 4. terminal Isimu - Anggrek. b. layanan lalu lintas penumpang, terdiri atas: 1. terminal Telaga - Paguyaman; 2. terminal Telaga - Kwandang; 3. terminal Telaga Atinggola; 4. terminal Telaga Sumalata; 5. terminal Telaga Tualango ; 6. terminal Limboto Timuato ; 7. terminal Limboto Isimu; 8. terminal Limboto terminal 42; 9. terminal Dungaliyo Biluhu Tengah ; 10. terminal Isimu Iluta Biluhu Timur- : 11. terminal Isimu Paguyaman (Tangkobu); 12. terminal Isimu terminal 42;

24 terminal Isimu Bongo Nol; 14. terminal Isimu Tilamuta; 15. terminal Isimu Bumbulan; 16. terminal Isimu Marisa; 17. terminal Isimu Randangan; 18. terminal Isimu Lemito; 19. terminal Isimu Popayato; 20. terminal Isimu Molosifat; 21. terminal Isimu Kwandang; 22. terminal Isimu Atinggola; 23. terminal Isimu Pelabuhan Anggrek; 24. Ilomata Biluhu terminal 42; 25. Pulubala terminal 42; 26. Bakti terminal 42; 27. Bumela terminal 42; 28. Parungi terminal 42; 29. Bilato terminal 42; 30. Lakeya terminal 42; 31. Bululi terminal 42; dan 32. Mohiyolo terminal 42. Paragraf 2 Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 10 (1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, meliputi: a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah pelabuhan khusus, terdiri atas: a. Pelabuhan Kayubulan di Kecamatan Batudaa Pantai; b. Pelabuhan Luluo di Kecamatan Biluhu; dan c. Pelabuhan Bilato di Kecamatan Bilato (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas alur pelayaran lokal yaitu:

25 25 a. Kayubulan - ; b. Luluo ; dan c. Bilato - Paragraf 3 Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 11 (1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. tatanan kebandarudaraan; dan b. ruang udara untuk penerbangan. (2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah bandar udara pengumpul skala sekunder Djalaluddin di Kecamatan Tibawa. (3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. penentuan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan meliputi: 1. Kecamatan Pulubala; 2. Kecamatan Tibawa; 3. Kecamatan Limboto Barat; 4. Kecamatan Limboto; 5. Kecamatan Batudaa; 6. Kecamatan Batudaa Pantai; 7. Kecamatan Tabongo; 8. Kecamatan Bongomeme; 9. Kecamatan Biluhu; dan 10. Kecamatan Dungaliyo. b. penetapan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan oleh Menteri Perhubungan dan pengaturan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bupati.

26 26 Paragraf 4 Sistem Jaringan Kereta Api Pasal 12 (1) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d adalah jaringan kereta api lintas utama. (2) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas : a. jalur kereta api; dan b. Stasiun kereta api (3) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan jaringan jalur kereta api nasional terdiri atas: a. Isimu - Marisa; b. Isimu - Kwandang; dan c. Isimu - Bone Bolango. (4) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Isimu. Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 13 Sistem Jaringan Prasarana Lainnya sebagiamana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. sistem jaringan listrik; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan. Paragraf 1 Sistem Jaringan listrik Pasal 14 (1) Sistem jaringan listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, terdiri atas: a. pengembangan pembangkit listrik; dan

27 27. b. pengembangan transmisi tenaga listrik. (2) Pengembangan pembangkit listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi a. pembangunan pembangkit listrik tenaga Diesel (PLTD) b. pembangunan pembangkit listrik tenaga surya; c. pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro; dan d. pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi. (3) Pengembangan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi; a. peningkatan kualitas gardu induk listrik; dan b. peningkatan kualitas jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 275 dan 150 KV meliputi jaringan transmisi tenaga listrik Isimu-Limboto--Tangkobu-Kwandang. (4) Rencana pengembangan pelayanan energi listrik meliputi: a. peningkatan daya listrik pada daerah pusat kegiatan dan daerah pusat pelayanan berupa pembangunan dan penambahan gardu listrik; dan b. fasilitasi pemasangan listrik bagi masyarakat Pra Keluarga Sejahtera dengan lokasi meliputi setiap kecamatan. Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 15 (1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. sistem kabel; b. sistem seluler; dan c. sistem satelit. (2) Sistem kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa peningkatan jaringan kabel telekomunikasi hingga pelosok Kabupaten, termasuk optimalisasi dan pengembangan stasiun telepon otomatis (STO) yang meliputi: a. STO Telaga; b. STO Limboto; dan c. STO Isimu.

28 28 (3) Sistem seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa pengelolaan tower/base Transceiver Station (BTS) dan pemancar radio berada di seluruh kecamatan. (4) Sistem satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa peningkatan dan pengembangan layanan internet sebagai fasilitas umum di seluruh kecamatan. (5) Rencana penataan menara telekomunikasi serta pengembangan prasarana telekomunikasi dan informatika untuk penyelenggaraan pemerintahan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Paragraf 3 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 16 (1) Sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. sistem Wilayah Sungai (WS); b. sistem Jaringan Irigasi ; c. sistem pengelolaan air baku; dan d. sistem pengendalian banjir. (2) Sistem Wilayah Sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. WS Paguyaman mencakup DAS Paguyaman dan DAS Telehu;dan b. WS Limboto Bone-Bolango mencakup DAS Limboto, DAS Bolango, DAS Batudaa Pantai, DAS Botulobuato, DAS Kayubulan, DAS Lamu, DAS Luluo, dan Das Batulangea. (3) Sistem jaringan irigasi dalam wilayah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan dan pengelolaan Daerah Irigasi (DI) kewenangan Pemerintah Pusat yang meliputi: 1. DI Alo Pohu; dan 2. DI Paguyaman b. pengembangan dan pengelolaan Daerah Irigasi kewenangan Pemerintah Provinsi yang meliputi: 1. DI Pilohayanga; 2. DI Huludupitango;

29 29 3. DI Bulia;dan 4. DI Bongo; c. pembangunan jaringan irigasi teknis berupa Daerah Irigasi yang meliputi: 1. DI Mohiyolo I berada di Kecamatan Asparaga; 2. DI Pangahu berada di Kecamatan Asparaga; 3. DI Prima berada di Kecamatan Asparaga; dan 4. DI Toyidito berada di Kecamatan Pulubala. d. peningkatan pengelolaan jaringan irigasi dalam DI kewenangan Kabupaten; dan e. rehabilitasi pada bangunan dan saluran irigasi primer, sekunder dan tersier dalam DI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. (4) Daerah Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, meliputi 48 (empat puluh delapan) daerah irigasi tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (5) Sistem pengelolaan air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c: a. pemanfaatan air pemukaan dan air tanah sebagai sumber air baku b. pengoptimalan sumber mata air meliputi; 1. Kecamatan Asparaga; 2. Kecamatan Boliyohuto; 3. Kecamatan Bilato; 4. Kecamatan Mootilango; 5. Kecamatan Pulubala; 6. Kecamatan Tibawa; 7. Kecamatan Bongomeme; dan 8. Kecamatan Batudaa. c. peningkatan dan pemeliharaan kualitas dan kuantitas produksi sumber air baku; dan d. sistem penyediaan air bersih non perpipaan dari pemerintah maupun dengan swadaya murni dari masyarakat. (6) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:

30 30 a. penyediaan embung; b. sumur resapan; c. bio pori; d. pembangunan tanggul; dan e. menerapkan prinsip zero delta q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan diizinnya. Paragraf 4 Rencana Sistem Jaringan Prasarana Persampahan, Limbah Cair dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Wilayah Kabupaten Pasal 17 (1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. sistem pelayanan persampahan; b. sistem pelayanan air minum; c. sistem pelayanan drainase; dan d. jalur evakuasi bencana; (2) Sistem pelayanan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi; a. pengembangan serta kerjasama pemanfaatan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir (TPPAS) meliputi: 1. pengembangan TPPAS Huidu berada di Kecamatan Limboto Barat; dan 2. kerjasama pemanfaatan TPPAS Regional Talumelito berada di Kecamatan Telaga Biru. b. Tempat Penampungan Sementara (TPS) ditempatkan di pusat kegiatan masyarakat di seluruh kecamatan meliputi : 1. pasar; 2. permukiman; 3. perkantoran; dan 4. fasilitas sosial lainnya. (3) Sistem pelayanan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan sistem perpipaan di kawasan perkotaan; b. pengembangan sistem perpipaan dan non perpipaan di Ibu Kota kawasan Kecamatan (IKK);

31 31 c. peningkatan cakupan dan kapasitas pelayanan air minum; d. peningkatan pengelolaan air minum berbasis masyarakat pada kawasan perdesaan; dan e. pengembangan alternatif sumber pembiayaan. (4) Sistem pelayanan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi: a. pengembangan drainase mikro meliputi; 1. pembangunan prasarana drainase permukiman perkotaan dan perdesaan; dan 2. penataan sistem prasarana drainase secara terpadu, meliputi primer, sekunder dan terseier. b. pengembangan drainase makro melalui normalisasi dan rehabilitasi sungai; c. peningkatan pelibatan stakeholder; d. peningkatan kapasitas pengelolaam maupun kelembagaan; dan e. pengembangan alternatif pembiayaan pelayanan drainase. (5) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) huruf d adalah jalur evakuasi bencana tsunami berupa lapangan terbuka dengan ketinggian 30 meter diatas permukaan laut meliputi kecamatan Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato. BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 18 (1) Rencana pola ruang wilayah meliputi : a. rencana kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1: sebagaimana tercantum dalam lampiran I.2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

32 32 Bagian Kedua Rencana Pengembangan Kawasan Lindung di Wilayah Kabupaten Pasal 19 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam dan pelestarian alam; e. kawasan rawan bencana alam; f. kawasan lindung geologi; dan g. kawasan lindung lainnya. Paragraf 1 Kawasan Hutan Lindung Pasal 20 Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan lindung Telaga; b. kawasan hutan lindung Telaga Biru; c. kawasan hutan lindung Limboto; d. kawasan hutan lindung Batudaa; e. kawasan hutan lindung Tabongo; f. kawasan hutan lindung Batuda Pantai; g. kawasan hutan lindung Biluhu; h. kawasan hutan lindung Bongomeme; i. kawasan hutan lindung Pulubala; dan j. kawasan hutan lindung Boliyohuto.

33 33 Paragraf 2 Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya Pasal 21 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, adalah kawasan resapan air. (2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat di Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Tibawa, Batudaa, Batudaa Pantai, Biluhu, Bilato, Tabongo, Bongomeme, Pulabala, Bolyohuto, Mootilango, Tolangohu, dan Asparaga. Paragraf 3 Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 22 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, terdiri atas: a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau/waduk; d. kawasan sekitar mata air; e. kawasan ruang terbuka hijau (RTH); f. kawasan lindung spiritual; dan g. kawasan kearifan lokal lainnya. (2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu dan Bilato, dengan ketentuan: a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. (3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat pada setiap wilayah kecamatan yang dilewati sungai dengan ketentuan:

34 34 a. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar 100 (seratus) meter dari tepi sungai; b. daratan sepanjang tepian sungai kecil tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai; dan c. untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara meter. (4) Kawasan sekitar danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Tilango, Talaga Jaya, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Tabongo, Tabongo dan Batudaa. (5) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di Dulamayo, Biyonga, Alo, Pulubala, Mootilango, Boliyohuto, Tolangohula dan Asparaga. (6) Ruang terbuka hijau (RTH) kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa RTH sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari luasan kawasan perkotaan. (7) Kawasan lindung spritual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu dan Asparaga. (8) Kawasan kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdapat di Limboto. Paragraf 4 Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Pasal 23 (1) Kawasan suaka alam dan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, terdiri atas: a. kawasan margasatwa;dan b. kawasan cagar alam; (2) Kawasan suaka alam dan peleestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. kawasan cagar alam Tangale terdapat di Kecamatan Tibawa; b. kawasan suaka margasatwa Taman Nasional Promosi (TNp) Nantu terdapat di Kecamatan Mootilango, Kecamatan Tolangohula, dan Kecamatan Asparaga.

35 35 (3) Kawasan Cagar Alam Tangale sebagaimana dimaksud pada ayat (2 ) huruf a merupakan kawasan lindung Provinsi yang berada di wilayah Kabupaten; (4) Kawasan suaka margasatwa Taman Nasional Promosi (TNp) Nantu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kawasan Lindung Nasional yang berada di wilayah Kabupaten. Paragraf 5 Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 24 (1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, terdiri atas: a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; dan c. kawasan rawan banjir. (2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di Kecamatan Tibawa, Telaga Biru, Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato. (3) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di Kecamatan Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato. (4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat di Kecamatan Limboto, Limboto Barat, Talaga Jaya, Tilango, Tibawa, Tolangohula, Tabongo, dan Bilato. Paragraf 6 Kawasan Lindung Geologi Pasal 25 (1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f, terdiri atas: a. kawasan cagar alam geologi; b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan c. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah. (2) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:

36 36 a. kawasan keunikan batuan dan fosil, terdapat di Pone, Ombulo dan Tibawa b. kawasan keunikan bentang alam, terdapat di Batudaa Pantai dan Biluhu; dan c. kawasan keunikan proses geologi terdapat di Bongomeme dan Tibawa. (3) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. kawasan rawan gempa bumi, terdapat di Tibawa, Tabongo, dan Batudaa; b. kawasan rawan gerakan tanah, terdapat di Limboto Barat; c. kawasan yang terletak di zona patahan aktif, terdapat di Tibawa, Tabongo, dan Batudaa; d. kawasan rawan tsunami, terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato; e. kawasan rawan abrasi; terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato; dan f. kawasan rawan bahaya gas beracun, terdapat di Telaga Biru dan Boliyohuto. (4) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. kawasan imbuhan air tanah; dan b. sempadan mata air. Paragraf 7 Kawasan Lindung Lainnya Pasal 26 Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g, adalah kawasan lindung terumbu karang yang terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato.

37 37 Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya Yang Memiliki Nilai Strategis Pasal 27 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f. kawasan peruntukan industri; g. kawasan peruntukan pariwisata; h. kawasan peruntukan permukiman; dan i. kawasan peruntukan lainnya. Paragraf 1 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 28 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan produksi terbatas; b. kawasan hutan produksi tetap; dan c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. (2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari; a. kawasan hutan produksi Biluhu; b. kawasan hutan produksi Tibawa; c. kawasan hutan produksi Bongomeme; d. kawasan hutan produksi Pulubala; e. kawasan hutan produksi Mootilango; f. kawasan hutan produksi Tolangohula; dan g. kawasan hutan produksi Asparaga. (3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari; a. kawasan hutan produksi tetap Telaga Biru;

38 38 b. kawasan hutan produksi tetap Limboto; c. kawasan hutan produksi tetap Limboto Barat; d. kawasan hutan produksi tetap Biluhu; e. kawasan hutan produksi tetap Tibawa; f. kawasan hutan produksi tetap Bongomeme; g. kawasan hutan produksi tetap Pulubala; h. kawasan hutan produksi tetap Boliyohuto; i. kawasan hutan produksi tetap Mootilango; dan j. kawasan hutan produksi tetap Asparaga. (4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari; a. kawasan hutan produksi konversi Tibawa; b. kawasan hutan produksi konversi Pulubala; c. kawasan hutan produksi konversi Mootilango; dan d. kawasan hutan produksi konversi Asparaga. Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat Pasal 29 Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b terdapat di Kecamatan Telaga Biru, Limboto, Batudaa Pantai, Bulili, Tabongo, Batudaa, Bongomeme, Tibawa, Mootilango, dan Tolangohula. Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 30 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, terdiri atas: a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan; b. kawasan peruntukan pertanian hortikultura; c. kawasan peruntukan perkebunan; dan d. kawasan peruntukan peternakan. (2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

39 39 a. kawasan peruntukan pertanian lahan basah; dan b. kawasan peruntukan pertanian lahan kering. (3) Kawasan peruntukan pertanian lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi : Kecamatan Asparaga, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango, Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan Batudaa, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa, Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo, Kecamatan Telaga Biru, Kecamatan Telaga, Kecamatan Telaga Jaya, dan Kecamatan Tilango. (4) Kawasan peruntukan pertanian lahan kering sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi : Kecamatan Asparaga, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango, Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan Batudaa, Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Biluhu, Kecamatan Batudaa Pantai, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa, Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo, Kecamatan Telaga Biru, Kecamatan Telaga, Kecamatan Talaga Jaya, dan Kecamatan Tilango. (5) Kawasan peruntukan pertanian hortikultura pada ayat (1) huruf b, berada di seluruh kecamatan. (6) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi : Kecamatan Asparaga, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango, Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan Batudaa, Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Biluhu, Kecamatan Batudaa Pantai, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa, Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo, Kecamatan Telaga Biru, dan Kecamatan Telaga. (7) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Meliputi : Kecamatan Mootilango, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Asparaga, Kecamatan Pulubala, Kecamatan Tibawa, Kecamatan Batudaa Pantai, Kecamatan Biluhu, Kecamatan Bilato, Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tabongo, Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Telaga Biru, dan Kecamatan Telaga.

40 40 Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 31 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d, terdiri atas: a. kawasan peruntukan perikanan tangkap; b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan c. kawasan pengolahan perikanan. (2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi; a. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Batudaa Pantai; b. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Biluhu; dan c. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Bilato. (3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi; a. kawasan peruntukan budidaya perikanan Telaga; b. kawasan peruntukan budidaya perikanan Telaga Biru; c. kawasan peruntukan budidaya perikanan Limboto; d. kawasan peruntukan budidaya perikanan Limboto Barat; e. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tabongo; f. kawasan peruntukan budidaya perikanan Bongomeme; g. kawasan peruntukan budidaya perikanan Dungaliyo; h. kawasan peruntukan budidaya perikanan Batudaa; i. kawasan peruntukan budidaya perikanan Pulubala; j. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tibawa; k. kawasan peruntukan budidaya perikanan Mootillango; l. kawasan peruntukan budidaya perikanan Boliyohuto; m. kawasan peruntukqn budidaya perikanan Bilato; n. kawasan peruntukan budidaya perikanan Batudaa Pantai; o. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tolangohula;dan p. kawasan peruntukan budidaya perikanan Asparaga. (4) Kawasan peruntukan pengolahan perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi: a. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Biluhu; b. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Bilato;

41 41 c. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Telaga; dan d. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Dungaliyo. Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 32 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, meliputi: a. Wilayah peruntukan pertambangan mineral logam; dan b. Wilayah peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan; (2) Wilayah peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Batudaa, Tabongo, Bongomeme, Dungaliyo, Batudaa Pantai, Biluhu, Tibawa, Pulubala, Mootilango, Boliyohuto, Bilato, Tolangohula dan Asparaga. (3) Wilayah peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Tilango Limboto, Limboto Barat, Batudaa, Tabongo, Bongomeme, Dungaliyo, Batudaa Pantai, Biluhu, Tibawa, Pulubala, Mootilango, Boliyohuto, Bilato, Tolangohula dan Asparaga. Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 33 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f, terdiri atas : a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri sedang; dan c. kawasan peruntukan industri rumah tangga. (2) Kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari : a. kawasan peruntukan industri besar Tibawa; dan

42 42 b. kawasan peruntukan industri besar Pulubala; (3) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari : a. kawasan peruntukan industri sedang Boliyohuto; b. kawasan peruntukan industri sedang Mootilango; dan c. kawasan peruntukan industri sedang Tolangohula; (4) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari : a. kawasan peruntukan industri rumah tangga Telaga; b. kawasan peruntukan industri rumah tangga Telaga Biru; c. kawasan peruntukan industri rumah tangga Limboto; d. kawasan peruntukan industri rumah tangga Limboto Barat; e. kawasan peruntukan industri rumah tangga Bongomeme; f. kawasan peruntukan industri rumah tangga Dungaliyo; g. kawasan peruntukan industri rumah tangga Tabongo; h. kawasan peruntukan industri rumah tangga Batudaa; dan i. kawasan peruntukan industri rumah tangga Tibawa; Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 34 (1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g, terdiri atas : a. kawasan peruntukan pariwisata budaya; b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan c. kawasan peruntukan pariwisata buatan. (2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdapat di Desa Bongo Kecamatan Batudaa Pantai. (3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdapat di Desa Pentadio Timur Kecamatan Telaga Biru, Desa Barakati Kecamatan Batudaa, Desa Biluhu Timur Kecamatan Batudaa Pantai, dan Desa Taulaa Kecamatan Bilato.

43 43 (4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Batudaa, Kecamatan Boliyohuto dan Kecamatan Mootilango. Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 35 (1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf h terdiri atas : a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan yang meliputi; 1. kawasan peruntukan permukiman perkotaan merupakan tatanan kawasan permukiman yang terdiri atas sumber daya buatan seperti perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, prasarana dan sarana perkotaan; 2. bangunan permukiman ditengah kota terutama di PKW, PKL, PKLp dan PPK yang padat penduduknya diarahkan pembangunan perumahannya vertikal (rumah susun); 3. pola permukiman perkotaan yang paling rawan terhadap bencana alam seperti banjir, gempa dan tsunami harus menyediakan tempat evakuasi pengungsi bencana alam baik berupa lapangan terbuka di tempat ketinggian paling rendah 30 (tiga puluh) meter di atas permukaan laut atau berupa bukit penyelamatan; b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan yang meliputi: 1. didominasi oleh kegiatan agraris dengan kondisi kepadatan bangunan, penduduk serta prasarana dan sarana perkotaan yang rendah, dan kurang intensif dalam pemanfaatan lahan untuk keperluan non agraris, termasuk permukiman transmigrasi di Kecamatan Asparaga, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango dan Kecamatan Pulubala.; 2. bangunan-bangunan perumahan diarahkan menggunakan nilai kearifan budaya lokal seperti pola rumah kebun dengan bangunan berlantai panggung; (2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari :

44 44 a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Telaga; b. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Telaga Biru; c. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Talaga Jaya; d. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tilango; e. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Limboto Barat; f. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Limboto; g. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tibawa; h. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Batudaa; i. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tabongo; j. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Dungaliyo;dan k. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Boliyohuto. (3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri dari : a. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Telaga; b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Telaga Biru; c. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Limboto; d. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Limboto Barat; e. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tibawa; f. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Pulubala; g. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Dungalio; h. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Bongomeme; i. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tabongo; j. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Batudaa; k. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Batudaa Pantai; l. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Biluhu; m. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Bilato; n. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Boliyohuto; o. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Mootilango; p. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tolangohula; dan q. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Asparaga.

45 45 Paragraf 9 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 36 (1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf i adalah kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) terdiri dari : a. kawasan pertahanan darat Ulapato; b. kawasan pertahanan darat Dumati; c. kawasan pertahanan udara Tolotio; d. kawasan keamanan Pantungo; e. kawasan keamanan Isimu Utara; dan f. kawasan keamanan Tri Darma. Pasal 37 (1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 36 dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan yang bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. (2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapat rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten. BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 38 (1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten adalah Kawasan Strategis Kabupaten. (2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1: sebagaimana tercantum dalam lampiran I.3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

46 46 Pasal 39 (1) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), terdiri atas : a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi; b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan d. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. (2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas; a. kawasan Strategis Telaga, merupakan kawasan strategis pengembangan permukiman, perdagangan dan jasa yang meliputi Kecamatan Telaga, Kecamatan Telaga Biru Kecamatan Tilango, Kecamatan Talaga Jaya, Kecamatan Batudaa; dan b. kawasan Strategis Isimu, merupakan kawasan strategis pengembangan agro industri, perdagangan dan jasa yang meliputi Kecamatan Tibawa, Kecamatan Dungaliyo dan Kecamatan Pulubala (3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas : a. kawasan Strategis Limboto, merupakan kawasan strategis pengembangan pendidikan dan wisata belanja hasil kerajinan tangan yang meliputi Kecamatan Limboto, Telaga dan Kecamatan Telaga Biru; dan b. kawasan Strategis Batudaa, merupakan kawasan strategis pengembangan wisata budaya dan bangunan bersejarah meliputi Kecamatan Batudaa, Batudaa Pantai, Tabongo dan Bongomeme. (4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :

47 47 a. kawasan Strategis Tridharma meliputi Kecamatan Tibawa, Pulubala dan Limboto Barat; dan b. kawasan Strategis Lakeya meliputi Kecamatan Tolangohula, dan Boliyohuto. (5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas : a. kawasan Strategis Danau Limboto meliputi Kecamatan Tilango, Talaga Jaya, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Tabongo dan Batudaa, b. kawasan Strategis Nantu meliputi Kecamatan Mootilango, Boliyohuto, Tolanguhula dan Asparaga. BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Pasal 40 (1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten berpedoman pada rencana struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. (2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya. (3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 41 (1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja sama pendanaan. (3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

48 48 BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 42 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi. Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 43 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan zonasi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang; b. ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan; b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.

49 49 (4) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi; a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis provinsi;dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten. Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Struktur Ruang. Pasal 44 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a, terdiri atas; a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan dilakukan pengembangan secara terbatas pada zona yang tidak termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi dengan syarat maksimum pengembangan 25 (dua puluh lima) persen; b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya; c. diperbolehkan dengan syarat kegiatan bukan perkotaan yang dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan perkotaan; dan d. diperbolehkan untuk kegiatan perkotaan yang didukung fasilitas dan prasarana sesuai skala kegiatan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan; a. diperbolehkan dilakukan pengembangan secara terbatas pada zona yang tidak termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi

50 50 dengan syarat maksimum pengembangan 25 (dua puluh lima) persen; b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya; c. tidak boleh dilakukan penambahan fungsi tertentu yang bertentangan; dan d. diperbolehkan untuk kegiatan perkotaan yang didukung fasilitas dan prasarana sesuai skala kegiatan. Pasal 45 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf b terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi darat; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi laut; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi udara; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan kereta api. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan jalan; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jembatan; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana lalu lintas; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jaringan layanan lalu lintas. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun dengan ketentuan:

51 51 a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan (ruwasja); d. dibolehkan pengembangan prasarana pelengkap jalan dengan syarat sesuai dengan kondisi dan kelas jalan; e. dilarang seluruh pemanfaatan pada zona inti, kecuali untuk pergerakan orang atau barang dan kendaraan; dan f. dilarang aktivitas pemanfaatan budidaya sampai batas ruwasja sesuai dengan kelas dan hirarki jalan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan untuk ditanami tanaman pelindung di sekitar ujung jembatan; b. tidak boleh ada kegiatan budidaya di sekitar jembatan; c. tidak boleh ada kegiatan pertambangan sirtu di sekitar jembatan; d. boleh adanya pagar pelindung pada kedua ujung jembatan;dan e. tidak boleh dijadikan tempat parkir pada sisi mulut jembatan. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana lalu lintas angkutan jalan berupa terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan untuk prasarana terminal bagi pergerakkan orang, barang dan kendaraan; dan b. pelarangan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d disusun dengan ketentuan: a. penetapan trayek dalam kota dan luar kota; b. diperbolehkan melalui trayek sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan;

52 52 c. pembatasan trayek dalam satu ruas jalan untuk mencegah kemacetan dan pemerataan jalur; d. tidak diperbolehkan angkutan kota antar-provinsi melalui jalan kota; dan e. diperbolehkan penyediaan halte untuk penurunan penumpang. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan ruang operasional pelabuhan; b. diperkenankan dengan syarat pemanfaatan ruang kerja pelabuhan; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengganggu kawasan lindung. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional Bandar Udara; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara untuk kebutuhan pengembangan bandar udara; c. penetapan batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas kebisingan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d. tidak diperbolehkan adanya bangunan tinggi melebihi ketentuan KKOP; dan e. tidak diperbolehkan adanya kegiatan budidaya di kawasan sekitar prasarana bandara. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jaringan jalur kereta api; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana stasiun kereta api. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a disusun dengan ketentuan:

53 53 a. pembatasan pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api untuk tingkat jntensitas menengah hingga tinggi; b. pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; c. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api; d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan untuk peningkatan pelayanan sarana dan prasarana stasiun kereta api; dan b. pelarangan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja stasiun kereta api. Pasal 46 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan listrik; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan telekomunikasi; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan sumber daya air; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem prasarana pengelolaan lingkungan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun dengan ketentuan: a. membatasi kegiatan pengembangan di sekitar lokasi SUTT;

54 54 b. penetapan areal konservasi di sekitar lokasi SUTT yaitu sekitar 20 (dua puluh) meter pada setiap sisi tiang listrik; c. tidak boleh ada fungsi bangunan yang langsung digunakan masyarakat di bawah jaringan tegangan tinggi; dan d. dalam kondisi di bawah jaringan tegangan tinggi terdapat bangunan maka harus disediakan jaringan pengamanan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan jaringan melintasi tanah milik atau dikuasai pemerintah; b. dalam kawasan perkotaan pembangunan menara untuk jaringan telekomunikasi dibatasi; dan c. dilarang mendirikan bangunan di sekitar pemancar dan/atau menara dalam radius bahaya keamanan dan keselamatan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup dan fungsi lindung kawasan; b. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksud untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan d. dilarang mendirikan bangunan di dalam sempadan sumber daya air, sempadan sungai, waduk, embung, dan/ atau jaringan irigasi. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan bagi kegiatan-kegiatan tertentu yang karena sifatnya mempunyai kekhususan yang memerlukan penanganan operasional dan spesifikasi khusus; b. diizinkan untuk perkantoran yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian;dan

55 55 c. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi terjadinya perubahan lingkungan fisik alamiah ruang. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pola Ruang Pasal 47 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pelestarian alam; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi; dan g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung lainnya. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah bentang alam; b. dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan syarat tidak mengubah bentang alam; c. kegiatan budidaya kehutanan hasil hutan bukan kayu hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan dalam pengawasan ketat; d. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan; e. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian lingkungan hidup;

56 56 f. dilarang kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya; dan g. dilarang merambah kawasan hutan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kawasan resapan air, disusun dengan ketentuan: b. dibolehkan dilakukan penyedian sumur resapan atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; c. diizinkan untuk kegiatan hutan rakyat; d. diizinkan terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; e. dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah bentang alam; f. dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan syarat tidak mengubah bentang alam; dan g. dilarang untuk seluruh jenis kegiatan yang mengganggu fungsi resapan air. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disusun dengan ketentuan: a. dibolehkan aktivitas wisata alam petualangan dengan syarat tidak mengganggu kualitas air sungai atau air danau; b. dibolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; c. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air atau pemanfaatan air;

57 57 d. pendirian bangunan dibatasi hanya menunjang fungsi taman rekreasi; e. penetapam lebar sempadan sungai dan sempadan danau/waduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan f. dilarang seluruh kegiatan dan bangunan yang mengancam kerusakan dan menurunkan kualitas sungai dan danau. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disusun dengan ketentuan: a. tidak diperkenankan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas sumber air; b. diperkenankan pemanfaatan sempadan mata air untuk air minum atau irigasi; c. diizinkan digunakan untuk pariwisata selama tidak mengurangi kualitas tata air yang ada; d. tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air; e. pengoptimalan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan f. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diizinkan pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai konservasi lingkungan, peningkatan keindahan kota, rekreasi, dan sebagai penyeimbang bagi penggunaan lahan industri dan permukiman; dan b. diperbolehkan pendirian bangunan yang menunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan melakukan pemanfaatan ruang untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, dan wisata alam terbatas pada zona rimba, pariwisata dan rekreasi

58 58 alam pada zona pemanfaatan, serta zona pemanfaatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional Promosi (TNp) Nantu meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti TNp Nantu, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; dan c. dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari TNp Nantu. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan longsor; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan banjir. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a disusun dengan ketentuan: a. pengoptimalan konservasi pada kawasan rawan longsor; b. tidak diizinkan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan rawan bencana longsor; dan c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b disusun dengan ketentuan: a. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; b. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; c. penetapan batas dataran banjir; d. diperkenankan pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan e. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya. (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas:

59 59 a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gerakan tanah. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diwajibkan untuk kegiatan RTH; b. penyediaan jalur evakuasi terhadap permukiman yang sudah ada pada kawasan dengan tingkat kerawanan gempa bumi tinggi; c. pengembangan kegiatan budidaya mempertimbangkan konstruksi yang sesuai; dan d. tidak diperkenankan untuk kegiatan strategis. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diwajibkan untuk kegiatan RTH; b. penyediaan jalur evakuasi terhadap permukiman yang sudah ada pada kawasan gerakan tanah tinggi; dan c. tidak diperkenankan untuk kegiatan strategis. (15) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g berupa kawasan lindung terumbu karang disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan melakukan pemanfaatan ruang untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, wisata alam terbatas pada zona inti, pariwisata dan rekreasi alam pada zona pemanfaatan, serta zona pemanfaatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang Pasal 48 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf b terdiri atas:

60 60 a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan produksi; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan rakyat; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri; g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata; h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan permukiman; dan i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diizinkan aktivitas pengembangan hutan lestari; b. diizinkan aktivitas reboisasi atau penghijauan dan rehabilitasi hutan; c. diizinkan terbatas pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; d. diizinkan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan e. dilarang aktivitas pengambangan budidaya lainnya yang mengurangi luas kawasan hutan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diizinkankan aktivitas pengembangan hutan lestari; b. diizinkan aktivitas reboisasi atau penghijauan dan rehabilitasi hutan;

61 61 c. diizinkan terbatas pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; d. diizinkan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan e. diizinkan aktivitas pengambangan budidaya lainnya yang mengurangi luas kawasan hutan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan tanaman pangan; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perternakan. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), kecuali untuk kepentingan umum atau terjadi akibat bencana alam; b. diizinkan pemanfaatan rumah tinggal dengan syarat tidak mengganggu fungsi pertanian dengan intensitas bangunan kepadatan rendah; c. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman dengan kepadatan rendah, khususnya bagi penduduk yang bekerja di sektor pertanian; d. diizinkan aktivitas pendukung pertanian; e. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi luas kawasan sawah beririgasi; f. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas lahan untuk tanaman pangan; dan g. dilarang mendirikan bangunan pada kawasan sawah irigasi yang terkena saluran irigasi. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan;

62 62 b. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman dengan kepadatan rendah, khususnya bagi penduduk yang bekerja di sektor pertanian; c. boleh adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian; dan d. boleh melakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian, dan pendidikan. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diwajibkan pelaksanaan konservasi lahan; b. diizinkan mendirikan perumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi perkebunan; c. diizinkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya penyelenggaraan aktivitas pembenihan; dan d. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang mendukung kegiatan peternakan; b. diperkenankan pengembangan sarana dan prasarana peternakan; c. pada kawasan peternakan yang dibebani fungsi pariwisata, pengembangannya tidak boleh merusak fungsi pariwisata; dan d. tidak boleh mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan lainnya. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perikanan: b. diperbolehkan pengembangan sarana dan prasarana perikanan; c. pada kawasan perikanan yang juga dibebani fungsi wisata, pengembangannya tidak boleh merusak fungsi pariwisata; dan

63 63 d. tidak boleh mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan lainnya. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. pelarangan kegiatan penambangan di luar kawasan pertambangan; b. pelarangan kegiatan penambahan yang menimbulkan kerusakan lingkungan; c. pelarangan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana dengan tingkat kerentanan tinggi; d. pengharusan penjaminan segi-segi keselamatan pekerja dan keamanan lingkungan dalam penyediaan peralatan dan pelaksanaan kegiatan penambangan; e. pengharusan pemulihan zona bentang alam pasca penambangan, sesuai ketentuan yang berlaku bagi kawasan pertambangan; f. pengembangan kawasan permukiman pendukung kegiatan pertambangan, harus diintegrasikan dengan pengembangan pusat-pusat kegiatan sesuai rencana pengembangan struktur ruang wilayah kabupaten; dan g. tidak diperkenankan membangun kawasan permukiman eksklusif dalam kawasan pertambangan yang tidak diintegrasikan dengan rencana struktur ruang wilayah kabupaten. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi maupun potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di sekitarnya; b. kegiatan industri yang diizinkan tidak mengakibatkan kerusakan atau alih fungsi kawasan lindung; c. pelarangan bentuk kegiatan yang dapat memberikan dampak merusak dan menurunkan kualitas lingkungan;

64 64 d. dalam kegiatan pengelolaan industri, diwajibkan memiliki sistem pengolahan limbah yang tidak mengganggu kelestarian lingkungan; e. diwajibkan pengaturan pengelolaan limbah B3 bagi industri yang berindikasi menimbulkan B3 atau juga mengelola limbah B3 sebagaimana peraturan pengelolaan limbah B3;dan f. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas. (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan: a. kegiatan wisata, sarana dan prasarana tidak mengganggu fungsi kawasan lindung, bentuk bangunan arsitektur setempat, bentang alam dan pandangan visual dan mengikuti prinsipprinsip pemugaran; b. pemanfaatan kawasan lindung untuk kegiatan wisata dilaksanakan sesuai azas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; c. diwajibkan penyediaan fasilitas parkir; dan d. diperbolehkan dilakukan penelitian dan pendidikan. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. diwajibkan penyediaan kelengkapan, keselamatan bangunan dan lingkungan; b. diwajibkan penetapan jenis dan penerapan syarat-syarat penggunaan bangunan; c. diwajibkan penyediaan drainase yang memadai dan pembuatan sumur resapan yang memadai; d. diwajibkan penyediaan fasilitas parkir bagi bangunan untuk kegiatan usaha; e. kepadatan penghunian satu unit hunian untuk satu rumah tangga dalam kawasan permukiman setinggi-tingginya sama dengan stándar kepadatan layak huni, tidak termasuk

65 65 bangunan hunian yang terletak di dalam kawasan permukiman tradisional; f. peruntukan kawasan permukiman diperbolehkan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; g. diperbolehkan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; h. boleh adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan;dan i. dalam kawasan permukiman tidak diperbolehkan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. penetapan untuk kawasan pertahanan dan keamanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; b. pembatasan kegiatan budidaya di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan; dan c. diperkenankan penyediaan infrastruktur pendukung kawasan pertahanan dan keamanan ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 49 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan dilakukan pengembangan untuk mendukung kegiatan kawasan; b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya; dan c. diperbolehkan untuk penyediaan fasilitas dan prasarana.

66 66 (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5) huruf a disusun dengan ketentuan: a. penetapan kawasan strategis kabupaten; b. diperbolehkan dilakukan pengembangan untuk mendukung kegiatan kawasan; c. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya; dan d. diperbolehkan untuk penyediaan fasilitas dan prasarana. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 50 (1) Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini. (2) Ketentuan perizinan merupakan perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. (3) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. (4) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap pejabat pemerintah yang berwewenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. (6) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar batal demi hukum. Pasal 51 (1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten, terdiri atas: a. izin lingkungan; dan b. izin perencanaan dan pembangunan.

67 67 (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); b. Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL); dan c. Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). (3) Izin perencanaan dan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Izin gangguan atau Hinder Ordonansi (HO); b. Izin peruntukan penggunaan lahan; c. Izin lokasi;dan d. Izin mendirikan bangunan (IMB). (4) Izin peruntukan penggunaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang dengan ketentuan lokasi yang diajukan kurang dari 1 (satu) Ha. (5) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang dengan ketentuan lokasi yang diajukan sama atau lebih dari 1 (satu) Ha. (6) Pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada perseorangan, dan/atau badan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (7) Ketentuan mengenai mekanisme dan persyaratan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 52 (1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. (2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. (3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

68 68 Pasal 53 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. (2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya. Pasal 54 (1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), terdiri atas : a. insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan kawasan strategis ekonomi, yaitu dalam bentuk : 1. kemudahan pengurusan perijinan; 2. urun saham 3. pembangunan serta pengadaan infrastuktur dan; 4. pemberian penghargaan b. insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan kawasan strategis lingkungan hidup, yaitu dalam bentuk : 1. penyediaan sarana 2. penghargaan dan 3. keringanan pajak (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 55 (1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3), yaitu disinsentif yang dikenakan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang menghambat pengembangan kawasan strategis ekonomi, yaitu dalam bentuk : a. pembatasan penyediaan infrastruktur; b. pengenaan kompensasi; dan c. penalti

69 69 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kelima Arahan Sanksi Pasal 56 (1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang. (2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap : a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten ; d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten ; e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten ; f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Pasal 57 (1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum;

70 70 d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. (2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. denda administratif. BAB VIII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT SERTA KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 58 Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak : a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;

71 71 e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 59 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 60 (1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

72 72 Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 61 Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 62 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a pada tahap perencanaan tata ruang dapat berupa : a. memberikan masukan mengenai : 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan; 4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5. penetapan rencana tata ruang. b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 63 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b dalam pemanfaatan ruang dapat berupa : a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

73 73 e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 64 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa: a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi c. pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan e. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 65 (1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada bupati. (3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati. Pasal 66 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

74 74 Pasal 67 Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Bagian Keempat Kelembagaan Pasal 68 (1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. (2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB IX PENYIDIKAN Pasal 69 (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil Tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam penataan ruang; b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang;

75 75 d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataaan ruang; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara RI. (4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan koordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara RI. (6) Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan tata cara proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 70 (1) Setiap orang yang tidak mentaati Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Peraturan Daerah ini yang mengakibatkan: a. tidak mentaati rencana tata ruang yang ditetapkan; b. tidak memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat berweweng; c. tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin dalam pemanfaatan ruang;

76 76 d. tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan milik umum; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan penerimaan negara dan disetorkan ke kas Negara. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 71 Rencana tata ruang wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten. Pasal 72 (1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan

77 77 strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal wilayah. (4) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Perda ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan. (5) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penatan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka : a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan : 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang

78 78 timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini. d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketetentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten dilengkapi dengan Rencana/ Materi teknis RTRW Kabupaten dan album peta dengan skala minimal 1: yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah RTRW Kabupaten. Pasal 75 (1) Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 tahun (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang- Undang, RTRW Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat 2(dua) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten.

79 79 Pasal 76 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 6 tahun 1996 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Tahun 1997 Nomor 03 Seri E) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 77 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Ditetapkan di Limboto pada tanggal 19 BUPATI GORONTALO, DAVID BOBIHOE AKIB Diundangkan di Limboto pada tanggal 27 Desember 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN GORONTALO, HADIJAH U. TAYEB LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN 2013 NOMOR 4

80 80 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten sebagai sub sistem dari Ruang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada masyarakat Kabupaten yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila. Secara geografis, letak Kabupaten sangat strategis dengan batas Kabupaten Utara di sebelah Utara, Kota dan Kabupaten Bone Bolango disebelah Timur, Teluk Tomini di sebelah Selatan dan Kabupeten Boalemo disebelah Barat. Sumber daya alam maupun sumber daya buatan yang terkandung di wilayah Kabupaten, seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, yang semuanya itu bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat Kabupaten. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab, maka penataan ruang Kabupaten menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antar daerah, antara Pusat dan Daerah, antar sektor, dan antar pemangku kepentingan. Dalam Peraturan Daerah ini, penataan ruang didasarkan pada

81 81 pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Dalam rangka pengembangan Kabupaten, khususnya penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan pada masa yang akan datang sesuai dengan potensi daerah, diperlukan adanya kesatuan perencanaan pembangunan wilayah. Untuk itu, Tata Ruang Wilayah Kabupaten harus benar-benar serasi dan terpadu penyusunannya dalam satu kesatuan sistem dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di sekitarnya. Penataan ruang wilayah Kabupaten sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang. Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah : a. Sebagai arahan bagi pembangunan daerah Kabupaten ; b. Sebagai landasan kebijakan tentang arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten sesuai dengan kondisi wilayah dan berasaskan pembangunan yang berkelanjutan dalam 20 (dua puluh tahun) mendatang; c. Sebagai bahan rujukan bagi penyusunan rencana program pembangunan daerah dalam 1 (satu) tahun dan 5 (lima) tahun ; dan d. Sebagai sarana untuk mewujudkan keterkaitan dan kesinambungan perkembangan antara wilayah di dalam wilayah Kabupaten ; Kegunaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah sebagai pedoman dalam penyusunan program pembangunan 20 (dua puluh) tahunan, 5 (lima) tahunan dan program pembangunan tahunan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Pasal 2.

82 82 Pasal 3 Yang dimaksud dengan kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar dalam pemanfaatan ruang darat, laut dan udara termasuk ruang di dalam bumi untuk mencapai tujuan penataan ruang. Yang dimaksud dengan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten adalah langkah-langkah pelaksanaan kebijakan penataan ruang. Pasal 4. Pasal 5 Pasal 6 Yang dimaksud dengan rencana struktur ruang wilayah Kabupaten adalah arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah Kabupaten dan jaringan prasarana wilayah Kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala Kabupaten yang meliputi sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah Kabupaten dan peletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan, pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dengan sepenuhnya memperhatikan struktur ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan RencanaTata Ruang Wilayah Propinsi. Pasal 7 Pasal 8. Pasal 9. Pasal 10. Pasal 11

83 83. Pasal 12. Pasal 13. Pasal 14. Pasal 15 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Yang dimaksud tower/base Transceiver Station (BTS) yang biasa dikenal dengan sebutan menara telekomunikasi adalah menara yang berfungsi menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain Ayat (4) Ayat (5) Pasal 16 Ayat (1). Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5) Cukup Jelas Ayat (6) Huruf a Huruf b

84 84 Huruf c Huruf d Huruf e Yang dimaksud dengan zero delta q policy adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Pasal 17. Pasal 18. Pasal 19 Huruf a Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Huruf b Yang dimaksud dengan Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya berada pada ketinggian lebih dari (dua ribu) meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kemiringan lebih dari 40% (empat puluh) persen, bercurah hujan tinggi atau mampu meresapkan air ke dalam tanah. Huruf c Yang dimaksud dengan kawasan perlindungan setempat adalah kawasan yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai dan saluran irigasi, kawasan sekitar danau/waduk/rawa, kawasan sekitar mata air, kawasan sempadan jalan dan ruang terbuka hijau (RTH) Huruf d. Huruf e Yang dimaksud dengan kawasan rawan bencana alam adalah daerah yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti banjir, gempa bumi, longsor dan lain-lain.

85 85 Huruf f Huruf g Pasal 20. Pasal 21. Pasal 22 Ayat (1). Ayat (2) Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan Sungai Besar adalah sungai yang mempunyai daerah pengaliran seluas 500 km 2 (lima ratus kilometer persegi) atau lebih. Huruf b Yang dimaksud dengan Sungai Kecil adalah sungai yang mempunyai daerah pengaliran seluas kurang dari 500 km 2 (lima ratus kilometer persegi). Huruf c Ayat (4) Yang dimaksud kawasan sekitar danau adalah kawasan tertentu di sekeliling danau yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Kriteria garis sempadan pagar terhadap danau paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat Kriteria garis sempadan bangunan terhadap danau paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Ayat (5) Yang dimaksud dengan kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting mempertahankan kelestarian fungsi mata air.

86 86 Kriteria garis sempadan kawasan sekitar mata air paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air. Ayat (6) Yang termasuk ruang terbuka hijau kota antara lain meliputi hutan kota, taman kota, jalur memanjang sepanjang sempadan sungai dan jalur hijau di sepanjang jaringan jalan yang didominasi komunitas tumbuhan Ayat (7) Ayat (8) Pasal 23. Pasal 24 Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Kawasan lindung geologi adalah kawasan yang memiliki fungsi utama melindungi lingkungan geologi. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan geologi adalah segenap bagian kulit bumi yang mempengaruhi secara langsung terhadap kondisi dan keberadaan masyarakat. Karena itu, batuan (termasuk tanah), bentang alam, dan air merupakan faktor geologi yang mendukung keberlanjutan manusia untuk mempertahankan hidup. Sedangkan faktor pembatas/kendala seperti gempa bumi, letusan gunung api, longsor, dan sebagainya merupakan faktor geologi yang menimbulkan kerentanan bagi keberlangsungan hidup manusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kawasan cagar alam geologi adalah kawasan lindung geologi yang memiliki keunikan lingkungan geologi. Ayat (3) Ayat (4) Pasal 26

87 87 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5) Ayat (6) Ayat (7) Kawasan peruntukan peternakan overlay dengan kawasan peruntukan lainnya. Pasal 31 Ayat (1) Ayat (2) Yang dimaksud dengan kawasan peruntukan perikanan tangkap adalah kawasan yang diperuntukan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kawasan peruntukan budidaya perikanan adalah kawasan yang diperuntukan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, ternasuk kegiatan yang

88 88 menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Ayat (4) Pasal 32 Ayat (1) huruf a Yang termasuk dalam mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, noibium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin. huruf b Yang termasuk dalam mineral bukan logam meliputi: intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen, sedangkan yang termasuk dalam batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agak, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau

89 89 unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Ayat (2) Ayat (3) Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kawasan peruntukan industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4). Pasal 34 Ayat (1) Kawasan peruntukan pariwisata overlay dengan kawasan peruntukan lainnya, baik kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4). Pasal 35. Pasal 36. Pasal 37.

90 90 Pasal 38. Pasal 39. Pasal 40. Pasal 41. Pasal 42 Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Huruf b Huruf c Huruf d. Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46. Pasal 47 Pasal 48

91 91 Pasal 49 Pasal 50. Pasal 51 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Huruf a Huruf b Huruf c Yang dimaksud dengan izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang diperlukan dalam rangka melakukan aktivitasnya. Izin lokasi merupakan dasar untuk melakukan pembebasan lahan dalam rangka pemanfaatan ruang. Izin lokasi diberikan berdasarkan izin prinsip apabila berdasarkan peraturan daerah yang berlaku diperlukan izin prinsip. Izin lokasi diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Huruf d Yang dimaksud dengan izin mendirikan bangunan (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. Ayat (5)

92 92 Ayat (6) Ayat (7) Pasal 52. Pasal 53. Pasal 54. Pasal 55. Pasal 56. Pasal 57. Pasal 58 Pasal 59 Pasal 60 Pasal 61 Pasal 62 Pasal 63 Pasal 64 Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 Pasal 68

93 93 Ayat (1) Kelembagaan Penataan Ruang Daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Bentuk Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah adalah koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, berupa: 1. keterlibatan antar instansi/dinas/sektor terkait dalam Kabupaten melalui forum koordinasi penataan ruang dengan tetap memperhatikan kewenangan masing-masing instansi/dinas/sektor tersebut; 2. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas wilayah, berupa kerjasama antar Pemerintah Kabupaten yang berbatasan guna mensinergikan rencana tata ruang masing-masing daerah; dan 3. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas pemangku kepentingan, berupa pelibatan para pemangku kepentingan lainnya (masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi dan lain-lain) dalam penyelenggaraan penataan ruang yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Ayat (2) Pasal 69. Pasal 70. Pasal 71 Pasal 72. Pasal 73. Pasal 74 Pasal 75.

94 94 Pasal 76 Pasal 77 TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 169

95 Lampiran I.1 : Peta Struktur Ruang 95

96 Lampiran I.2. Peta Pola Ruang 96

97 Lampiran I. 3. Peta Kawasan Strategis 97

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK 2012-2032 BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2010-2030 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WI LAYAH KABUPATEN MAGELANG

RENCANA TATA RUANG WI LAYAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 RENCANA TATA RUANG WI LAYAH KABUPATEN MAGELANG 2010 2030 BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2010-2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN 2011 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

oleh para pelaku pembangunan dalam mengembangkan Kabupaten Pacitan.

oleh para pelaku pembangunan dalam mengembangkan Kabupaten Pacitan. 1.1 LATAR BELAKANG Kabupaten Pacitan merupakan bagian dari Koridor Tengah di Pantai Selatan Jawa yang wilayahnya membentang sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa. Berdasarkan sistem ekonomi, geokultural

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab.

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab. LAMPIRAN IV PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011-2031 I. RENCANA STRUKTUR RUANG No Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEMALANG TAHUN

BUPATI PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEMALANG TAHUN - 0 - BUPATI PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEMALANG TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI GORONTALO TAHUN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI GORONTALO TAHUN GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI GORONTALO TAHUN 2010-2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TUBAN TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TUBAN TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TUBAN TAHUN 2012-2032 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TUBAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 05 TAHUN 2014 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2.1. Tujuan Penataan Ruang Kota Bengkulu Tujuan penataan ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan: 1) visi dan misi pembangunan wilayah kota; 2) karakteristik wilayah kota;

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 9 2011 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PERIZINAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI,

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PENETAPAN GARIS SEMPADAN SUNGAI DAN GARIS SEMPADAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI TAHUN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI TAHUN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI TAHUN 2011 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

Contoh Tabel Pemeriksaan Mandiri Materi Muatan Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Contoh Tabel Pemeriksaan Mandiri Materi Muatan Rancangan Perda Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi LAMPIRAN II A PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM RANGKA PENETAPAN PERATURAN DAERAH TENTANG

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran No.77, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Nasional. Wilayah. Rencana Tata Ruang. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT TAHUN

BUPATI SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT TAHUN BUPATI SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES PEMERINTAH KABUPATEN BREBES LEMBARAN DAERAH NO. 2 TAHUN 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 1 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BREBES TAHUN 0 2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT.

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT. PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES PEMERINTAH KABUPATEN BREBES PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BREBES TAHUN 2010 2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES

PEMERINTAH KABUPATEN BREBES PEMERINTAH KABUPATEN BREBES LEMBARAN DAERAH NO. 2 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BREBES TAHUN 2010 2030 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS TUMPANG PITU KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2015 2035

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURABAYA TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURABAYA TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SURABAYA TAHUN 2010-2030 I. UMUM Kota Surabaya memiliki kedudukan yang sangat strategis baik dalam

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL. PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/96;

Lebih terperinci

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UULH = Undang-Undang Lingkungan Hidup no 23 Tahun 1997, yang paling baru adalah UU no 3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GRESIK TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GRESIK TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GRESIK TAHUN 2010-2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK Menimbang:

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH 1 GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PONOROGO TAHUN 2012-2032 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digunakan sebagai merupakan acuan dalam pelaksanaan pengendalian

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN 2012-2032 1. PENJELASAN UMUM Lahirnya Undang-Undang Penataan Ruang nomor

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci