BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Robert Sharer dan Wendy Ashmore mengartikan arkeologi sebagai ilmu

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Robert Sharer dan Wendy Ashmore mengartikan arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dan budaya masa lampau melalui tinggalan materialnya. Arkeologi adalah sebuah proses pembelajaran yang mencari, mengorganisir, dan mendiskripsikan kejadian-kejadian di masa lampau serta menjelaskan arti kejadian-kejadian itu (Sharer & Ashmore, 1979:11). Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan utama yang mendukung keberlangsungan hidupnya. Tiga kebutuhan utama itu adalah pakaian, makanan, serta tempat tinggal. Rumah, sebagai tempat tinggal yang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi manusia, diciptakan dalam berbagai bentuk dengan fungsi utama yang sama. Rumah memiliki arti sebagai bangunan yang dipergunakan untuk tempat tinggal (Poerwadarminta, 1976). Itulah alasan mengapa manusia membangun rumah disesuaikan dengan kebutuhan dan jati dirinya. Jadi pada dasarnya rumah merupakan salah satu hasil adaptasi manusia dengan lingkungannya. Perbedaan lingkungan hidup membuat manusia mendirikan berbagai bentuk rumah yang berbeda. Selain itu, perbedaan bentuk rumah juga dapat disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemilik rumah. Pada dasarnya, sebuah rumah dibangun berdasarkan pada kearifan lokal masyarakat setempat. Sebagai contoh, rumah bentuk igloo yang dibangun oleh orang Eskimo, dipergunakan sebagai tempat berlindung dari cuaca dingin Alaska. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal atau tempat beraktivitas domestik semata, melainkan juga mampu merefleksikan perbedaan 1

2 2 budaya dan tingkat peradaban masyarakat. Sebagai contoh, rumah Gadang di Sumatera Barat dianggap sebagai cerminan kebudayaan Minang, rumah Honai di Papua dianggap sebagai cerminan budaya Papua yang sesuai dengan kontur wilayah dan iklim di sana, serta rumah-rumah tradisional di Yogyakarta yang mencerminkan falsafah dan kebudayaan Jawa. Salah satu rumah tradisional Jawa berbentuk Joglo. Rumah bentuk Joglo memiliki tata ruang yang disesuaikan dengan aktivitas kebudayaan Jawa, misalnya dengan adanya sênthong tengah sebagai ruangan bagi Dewi Sri (dewi Kesuburan). Sênthong tengah adalah salah satu bagian rumah yang dipergunakan sebagai tempat untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah, kadang dipergunakan juga sebagai tempat untuk mengheningkan cipta serta berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemanfaatannya juga kadang sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Hal itulah yang membuat tempat ini sering disebut juga sebagai pasren atau petanen (Wibowo, :63). Pada dasarnya, tidak semua rumah tradisional Jawa memiliki sênthong tengah. Rumah dengan bentuk panggangpe hanya terdiri dari satu ruangan yang fungsinya serbaguna. Pada rumah bentuk kampung yang ukurannya lebih besar dari rumah bentuk panggangpe, selain adanya teras depan yang dipergunakan sebagai tempat menjamu tamu laki-laki serta ruangan dalam yang dipergunakan sebagai tempat menjamu tamu perempuan, perbedaan juga terlihat pada adanya pembagian ruangan dalam menjadi tiga bagian, ruangan depan, tengah, dan belakang. Ruangan belakang dibagi menjadi beberapa kamar yaitu, kamar kiri (sênthong kiwa), kamar tengah (sênthong tengah), dan kamar kanan (sênthong tengen). Kamar tambahan biasanya diletakkan di sebelah kiri ruangan tengah.

3 3 Pada rumah bentuk limasan, susunannya tidak berbeda jauh dari rumah bentuk kampung. Perbedaannya terletak pada ukuran ruangan tengah yang lebih luas daripada ruangan depan dan ruangan belakang serta penempatan kamar tambahan yang ada di sebelah kanan sênthong tengen dan sebelah kiri sênthong kiwa. Rumah bentuk Joglo yang susunannya lebih jelas dari ketiga rumah lain, sehingga dapat dikatakan sebagai tipe ideal rumah tradisional Jawa, ruangannya juga dibagi menjadi tiga bagian. Bagian-bagiannya dari depan ke belakang adalah ruangan pertemuan atau pendhapa, ruangan tengah atau ruangan duduk pentas wayang atau ringgit yang juga disebut pringgitan, serta ruangan belakang yang disebut dalêm ageng atau omah jero yang digunakan sebagai ruangan keluarga. Ruang dalêm ageng inilah yang dibagi menjadi tiga kamar atau sênthong. Rumah bentuk kampung dan limasan tidak memiliki ruangan dalêm ageng, tetapi bagian belakang rumah dibagi menjadi tiga ruangan, sênthong kanan, sênthong tengah, dan sênthong kiri. Pada rumah bentuk panggangpe yang berukuran sempit tidak ada ruangan dalêm ageng dan juga ketiga sênthongnya (Wibowo, :59-61). Memperbincangkan rumah adat di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari aspek historisnya. Aspek historis ini tidak dapat dilepaskan karena hingga saat ini rumah adat, khususnya rumah adat milik bangsawan (dalêm) banyak yang masih berdiri, dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk mulai mengerjakan bangunan Ibukota, dimulai dari kraton sebagai pusatnya. Sementara itu, beliau dan para pengikutnya bertempat di Pesanggrahan Ambarketawang. Seiring berjalannya pembangunan kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga menitahkan pembangunan kampung-kampung di sekeliling baluwarti kraton

4 4 (benteng kraton). Dimulai dari kampung-kampung yang akan dipergunakan sebagai perumahan atau asrama bagi prajurit. Karena jumlahnya yang sangat banyak, hanya yang terpilih dan pentinglah yang dapat bertempat tinggal di dalam benteng kraton (Darmosugito, 1956:17-22). Diduga kampung-kampung di Yogyakarta memiliki hubungan langsung dengan prajurit-prajurit kraton misalnya, kampung Bintaran yang awalnya ditempati oleh Pangeran Bintara, kampung Notoprajan yang semula ditempati oleh Pangeran Notoprojo, kampung Surakarsan yang semula menjadi tempat prajurit Surakarsa, kampung Kumendaman karena ditempati oleh Komando angkatan perang, kampung Wirogunan yang semula ditempati oleh Bupati Wiroguno, dan kampung Wirobrajan yang awalnya ditempati oleh golongan Prajurit Wirobrojo (Darmosugito, 1956:22). Jêron Beteng merupakan wilayah yang melingkupi kraton sebagai pusat pemerintahan Kota Yogyakarta. Kraton dan lingkupnya juga merupakan pusat kebudayaan serta simbol dari budaya Jawa. Berdasarkan pengertian tersebut, Kraton Yogyakarta menjadi identitas budaya yang menjaga kelestarian serta keaslian budaya Jawa. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, kraton dan lingkupnya mulai berubah. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada dalêm. Dalêm dalam bahasa Jawa berarti rumah atau kediaman bangsawan, tetapi dapat juga digunakan sebagai penyebutan salah satu bagian rumah, yaitu ruang dalêm ageng (Poerwadarminta,1939:64). Dalêm dalam judul penelitian ini mengacu pada pengertiannya sebagai rumah bangsawan. Dalêm ageng terdiri dari beberapa ruangan (sênthong), yaitu sênthong tengah, sênthong kiwo (kiri), dan sênthong tengen (kanan). Sênthong tengah

5 5 menggambarkan pusat yang dipakai sebagai sentrum berbagai bentuk kegiatan yang bersifat sakral. Ruangan ini adalah tempat pasren yang menggambarkan sentral kehidupan berfikir orang Jawa berada (Sunyoto, :13). Akan tetapi, ternyata sênthong tengah mengalami perubahan, yang semula sebagai tempat ritual yang sakral menjadi berkurang nilai kesakralannya. Perubahan bentuk juga mungkin terjadi pada sênthong tengah, perubahan ini dapat dilihat secara langsung. Perubahan-perubahan yang terjadi disesuaikan dengan keinginan pemilik rumah. Fungsi dan bentuk sênthong tengah yang telah berubah tersebut tentunya menarik untuk dikaji. B. RUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan uraian di atas, diambil beberapa perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimanakah perubahan fungsi dan bentuk yang terjadi pada sênthong tengah di beberapa dalêm di Jêron Beteng dan klasifikasi perubahan yang terjadi? 2. Apakah faktor-faktor penyebab perubahan yang terjadi pada sênthong tengah di beberapa dalêm di dalam Jêron Beteng? C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu perubahan fungsi dan bentuk yang terjadi pada sênthong tengah di beberapa dalêm di dalam Jêron Beteng serta mengklasifikasikan perubahanperubahan yang terjadi pada sênthong tengah di dalêm - dalêm yang diteliti. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor penyebab perubahan yang terjadi pada sênthong tengah di beberapa dalêm di dalam Jêron Beteng, Yogyakarta.

6 6 D. RUANG LINGKUP WILAYAH PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini adalah wilayah Jêron Beteng (benteng baluwarti). Benteng yang dimaksud adalah tembok setinggi 3.5 meter dan setebal lima meter yang mengelilingi kraton dengan sudut berbentuk koepel penjagaan (Darmosugito, 1956:21). Benteng kraton ini memiliki lima buah gapura yang disebut plengkung karena bagian langit-langitnya melengkung, berbentuk setengah lingkaran, semuanya kokoh dan dijaga ketat siang dan malam. Dua buah plengkung yang menghadap ke utara, yaitu plengkung yang berada di barat, di dalam Kampung Ngasem disebut Plengkung Jagasura dan yang ada di timur, di dalam Kampung Yudonegaran yang disebut Plengkung Tarunasura. Tiga plengkung yang lain menghadap ke barat, yaitu plengkung yang ada di Kampung Tamansari bernama Plengkung Jagabaya, plengkung yang berada di sebelah timur, di dalam Kampung Suryomataraman yang bernama Plengkung Madyasura, dan yang di selatan bernama Plengkung Nirbaya (Darmosugito, 1956:21-22). Saat ini, dari kelima plengkung, hanya ada dua yang masih berdiri, yaitu Plengkung Nirbaya dan Plengkung Tarunasura. Ketiga plengkung yang lain tinggal berupa gapura. Daerah di dalam Jêron Beteng meliputi Kampung Musikanan yang berada di tenggara alun-alun utara, Kampung Bludiran di sebelah selatan plengkung wijilan, Kampung Kemitbumen di selatan Kampung Bludiran, Kampung Mantrigawen di tenggara kraton, Kampung Gamelan di selatan Kampung Mantrigawen, dan lain-lain. Penamaan sebagian besar kampung-kampung di Jêron Beteng ini umumnya didasari oleh jenis pekerjaan warga yang tinggal di kampung tersebut (aanp06, 2013).

7 7 Objek penelitian ini berada di dalam wilayah Jêron Beteng. Dalêm Purbayan berada di Kampung Polowijan, Dalêm Kaneman berada di Kadipaten Kidul, Dalêm Pakuningratan ada di Kampung Sompilan, Dalêm Prabukusuman dan Dalêm Ngabean berada di Kampung Ngadisuryan, Dalêm Benawan dan Dalêm Joyokusuman ada di Kampung Rotowijayan, dan Dalêm Mangkubumen di Kampung Mangkubumen. E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode untuk mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada, untuk kemudian menguraikannya secara lengkap, teratur, teliti terhadap objek penelitian. Sifat deskriptif menggambarkan sifat-sifat suatu keadaan, gejala, individu, atau kelompok tertentu (Tanudirjo, :34). Penelitian ini juga dilakukan dengan penalaran induktif yang berupaya menyikapi dengan akal sehat, suatu situasi tanpa mengedepankan harapan yang sudah diduga sebelumnya (Patton, 2006:15). Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Secara umum, data yang dikumpulkan pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer didapatkan melalui: 1). Survei dan Observasi Lapangan: Perolehan data melalui survei berarti melakukan observasi di tempat temuan atau gejala berada. Survei bersifat pengamatan di permukaan tanpa merubah lahan atau tempat fakta dan gejala berada. Survei dilakukan pada beberapa dalêm yang berada di wilayah Jêron Beteng.

8 8 Objek penelitian ini adalah dalêm yang ada di wilayah Jêron Beteng yang masih memiliki sênthong tengah, sênthong kanan, dan juga sênthong kiri. Sampel yang diambil merupakan dalêm-dalêm pangeran Kraton Yogyakarta. Dalêmdalêm tersebut adalah Dalêm Mangkubumen yang sekarang digunakan sebagai tempat perkuliahan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dalêm Kaneman yang saat ini dihuni oleh dua keluarga yaitu, keluarga R.M. Ir. Aryo Santigi dan keluarga R.M. Bramanto Nurdewana, Dalêm Pakuningratan yang ditinggali oleh tiga keluarga yaitu, keluarga R.Ay. Siti Nikandaru Chairina, keluarga R.M. Noordijattiroe, dan keluarga alm. R.M. Ebenuchaeri, Dalêm Benawan yang dihuni oleh R.M. Kukuh Hertriasning dan keluarga, Dalêm Joyokusuman yang dihuni oleh G.B.P.H. Joyokusumo beserta keluarga, Dalêm Prabukusuman yang didiami oleh G.B.P.H Prabukusumo dan keluarga, serta Dalêm Purbayan yang juga sering disebut Dalêm Polowijan yang dibeli oleh Probosutedjo, dan Dalêm Ngabean yang dikelola oleh Ibu Sri Lestari. Terlepas dari bergantinya kepemilikan, kedelapan dalêm di atas masih memiliki sênthong tengah, sênthong kiri dan sênthong kanan. Selain itu, kedelapan dalêm ini juga memiliki akses data yang lebih mudah dibanding dalêm-dalêm yang lain. Observasi yang dilakukan menghasilkan data arkeologi mengenai dalêmdalêm yang diteliti dan juga sênthong tengahnya serta dokumentasi foto bangunan dalêm yang dijadikan objek penelitian. 2). Wawancara: Wawancara bebas dilakukan untuk mendapatkan keterangan mengenai sejarah dalêm yang diteliti, berkaitan dengan fungsi sênthong tengah di dalêm - dalêm yang diteliti. Selain itu, dilakukan juga wawancara untuk mengetahui ada tidaknya renovasi terhadap bangunan dalêm - dalêm yang diteliti, baik renovasi

9 9 interior maupun eksteriornya. Wawancara dilakukan dengan pemilik rumah, ahli waris, magersari, dan orang-orang lain yang bertempat tinggal di dalêm tersebut yang dirasa memiliki pengetahuan mengenai seluk-beluk dalêm yang diteliti. b. Data Sekunder didapatkan melalui: Studi pustaka: Studi pustaka berupa kegiatan pengumpulan data melalui literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian, sehingga dapat melengkapi hasil penelitian. 2. Analisis dan Interpretasi Data Teknik analisis yang digunakan berupa teknik kualitatif. Teknik kualitatif tidak menerapkan lambang-lambang angka untuk pengukuran fakta atau gejala yang ada. Dalam proses analisis juga dilakukan pengelompokkan untuk mengetahui alasan dan faktor-faktor penyebab perubahan yang terjadi. Selain itu juga dilakukan klasifikasi untuk mengelompokkan jenis-jenis perubahan yang terjadi pada sênthong tengah yang diteliti. Metode Kualitatif menekankan pentingnya pemahaman makna dari perilaku manusia dan konteks sosio-budaya suatu interaksi sosial (Patton, 2006:25). 3. Kesimpulan Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian. Tahap ini bertujuan untuk memperoleh kesimpulan yang mampu menjawab rumusan masalah penelitian ini, yaitu perubahan sênthong tengah di beberapa dalêm di dalam Jêron Beteng, Yogyakarta dan klasifikasi perubahan-perubahan yang terjadi serta faktor-faktor penyebab perubahan tersebut.