Mengembalikan Marwah BPDP-KS : Koreksi atas 2 Tahun Kinerja BPDP-KS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Mengembalikan Marwah BPDP-KS : Koreksi atas 2 Tahun Kinerja BPDP-KS"

Transkripsi

1 Mengembalikan Marwah BPDP-KS : Koreksi atas 2 Tahun Kinerja BPDP-KS Jakarta, 15 Juni 2017 Petani kelapa sawit, Masyarakat Sipil dan akademisi mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membentuk BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan) Kelapa Sawit. Ini merupakan sebuah gong untuk membangkitkan kelapa sawit Indonesia secara khusus perkebunan Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui, luas perkebunan rakyat saat ini kurang lebih 42 % dari total luasan 11,3 Juta Ha perkebunan sawit Indonesia. BPDP tentunya menjadi pusat harapan petani kelapa sawit untuk memajukan perkebunan rakyat, menjadi petani sebagai subyek menuju kemandirian dan kesejahteraan petani sawit Indonesia. Harapan kita semua, komitment pemerintah untuk menghadirkan BPDP mampu menjembatani agar masa depan perkebunan sawit Indonesia adalah perkebunan rakyat. Petani juga mengapresiasi bahwa kerja-kerja BPDP telah sukses dan mampu memungut biaya dari pelaku usaha perkebunan sebesar Rp. 11, 7 Triliun selama kurang lebih hingga saat ini. Petani perkebunan rakyat hanya berharap agar dana ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan sumber daya manusia, Penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, Peremajaan tanaman perkebunan, dan atau sarana dan prasana perkebunan sebagaimana yang di amanatkan oleh UU perkebunan No 39 tahun 2014 pasal 93 ayat 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan selanjutnya ditulis UU 39/2014 mengamanatkan skema pembiayaan usaha perkebunan melalui tiga bentuk. Pertama, pembiayaan oleh pemerintah pusat bersumber dari APBN. Kedua, pembiayaan oleh pemerintah daerah bersumber dari APBD. Ketiga, pembiayaan dari pelaku usaha perkebunan bersumber dari dana yang tiga sumber, yakni, (i) dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan; (ii) dana dari masyarakat; dan (iii) dana dari sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan. 1 Dana usaha perkebunan yang dihimpun dari selain APBN dan APBD digunakan secara limitatif untuk tujuan sebagai berikut: 1. Pengembangan sumber daya manusia; 2. Penelitian dan pengembangan; 3. Promosi perkebunan; 1 Lihat Pasal 93 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 39/2014.

2 4. Peremajaan tanaman perkebunan; dan/atau 5. Sarana dan prasarana perkebunan. 2 Secara lebih spesifik pengaturan tentang penghimpunan dana perkebunan oleh pelaku usaha diperintahkan UU 39/2014 agar diatur dengan peraturan pemerintah. 3 Sehingga terbit Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan selanjutnya ditulis PP 24/2015. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan diperintahkan oleh PP 24/2015 diatur dengan peraturan presiden. 4 Sehingga terbit Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit selanjutnya ditulis Perpres 61/2015 yang mengalami sekali perubahan dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 selanjutnya ditulis Perpres 24/2016. Dalam Pasal 20 ayat (1) Perpres 61/2015 diamanatkan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) untuk membentuk sebuah Badan Pengelola Dana usaha perkebunan yang bersumber dari selain APBN dan APBD. Di sektor perkebunan kelapa sawit, Menkeu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) selanjutnya ditulis PMK 113/PMK.01/2015. Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan, sejak tahun 2015, BPDPKS menghimpun dana dari ekspor CPO sebesar 50 dolar Amerika Serikat per ton atau setara 750 dolar Amerika Serikat per metrik ton sawit. Dana yang berhasil dikumpulkan sampai 2016 adalah Rp 11,7 triliun. BPDPKS mencanangkan dukungan untuk B20 pada 2017 sebesar Rp 9,6 triliun. Angka tersebut lebih dari setengah target pungutan dana pada 2017 yang sebesar Rp 10,3 triliun. 2 Pasal 93 ayat (4) UU 39/ Pasal 93 ayat (5) UU 39/ Lihat Pasal 5 ayat (4), Pasal 15 ayat (2), Pasal 24, dan Pasal 25 ayat (3) PP 24/2015.

3 (Sumber, Warta Beacukai, Volume 47, Nomor 9, September 2015, hlm 7). Padahal disinyalir, pengelolaan pungutan dana oleh BPDPKS diduga hanya akan menguntungkan oknum tertentu belaka dalam industri kelapa sawit. Sebuah kemungkinan yang sungguh keluar dari tujuan pembentukan BPDPKS. Kasak kusuk eksistensi BPDPKS yang keluar dari pakem tujuan pembentukannya, ternyata juga didukung oleh kurang diterapkannya prinsip transparansi dan akuntabilitas, baik secara kelembagaan maupun kaitannya dengan masyarakat, dalam pengelolaan BPDPKS. Hari ini tepatnya tanggal 15 Juni 2017 dimana BPDP tepat berusia 2 tahun, merupakan waktu yang tepat bagi petani dan masyarakat sipil Indonesia untuk memberikan catatan-catatan atas dasar apa yang dialami oleh petani kelapa sawit Indonesia. Catatan khusus ini bertujuan untuk;

4 1. Memberikan peringatan dini secara khusus bagi BPDPKS untuk merubah arah, strategi, perencanaan, dan peraturan serta lebih peka pada situasi-situasi di perkebunan sawit khususnya perkebunan rakyat. Jika tidak, BPDPKS ini akan gagal. 2. Memberikan peringatan bagi pemerintah khususnya kementerian-kementerian terkait yang tergabung dalam dewan pengawas dan komite pengarah sebagai pemandu BPDP, untuk memperkuat petani perkebunan rakyat dan tidak berpihak pada perkebunan besar dan industri biodiesel. 3. Memberitahukan kepada Bapak Presiden Jokowi, bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan yang telah dibentuk oleh Presiden melalui peraturan presiden telah salah jalan dan tidak tepat sasaran bagi rakyat Indonesia di perkebunan yang berjumlah kurang lebih 5 juta kepala keluarga. 4. Memberikan dukungan bagi dinas-dinas perkebunan dan kabupaten-kabupaten penghasil kelapa sawit untuk memperjuangkan keadilan dalam system bagi hasil kelapa sawit yang belum memberikan keuntungan bagi daerah kabupaten kota. 5. Memberitahukan lembaga perwakilan daerah khususnya DPRD, DPR-RI, DPD untuk melakukan evaluasi kebijakan dan penerapan Badan Pengelola Dana Perkebunan. 6. Meminta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk bekerja sama dengan BPDP untuk mencegah terjadinya korupsi. Beberapa situasi dan kondisi selama kurang lebih 2 tahun terakhir, tanpa segan-segan kami nyatakan bahwa BPDP hanya mau mengurusi industri biodiesel. Untuk petani sawit? Dipersulit. Pertama : Terkait dengan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit. BPDP dalam beberapa kali ajang pertemuan di beberapa tempat menyampaikan jika kehadiran BPDP dapat mengintervensi Harga pembelian TBS (Tandan Buah Segar) petani kelapa sawit. Hingga saat ini, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pembelian TBS yang dilakukan oleh perusahaan dan pabrik selalu tinggi sebelum kehadiran BPDP dan harga-nya selalu stabil. Harga TBS di seluruh provinsi selalu fluktuatif atau kadang naik dan kadang turun. Hal ini mencemaskan petani sawit, dimana janji BPDP itu untuk stabilkan harga? Harga pembelian TBS sebagai pusat perhatian petani, karena tingginya harga pembelian TBS oleh pabrik dan perusahaan akan membawa harapan kehidupan bagi keberlanjutan kehidupan keluarga petani untuk membeli makan, rumah, pakayan dan pendidikan anak-anak petani. BPDP beranggapan dengan subsidi biodiesel bagi industri biodiesel akan mencegah over supply karena ketersediaan pasar baru dalam negri. Menurut kami, untuk mencegah over supply tidak dengan cara membuat pasar baru namun harus mengintervensi sektor hulu dengan cara menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang mana tradisi ekspansi oleh perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit masih dilakukan saat ini. Kedua; Untuk memajukan perkebunan rakyat Indonesia, hal-hal yang paling penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menurut kami, kualitas sumber daya manusia petani akan membantu menjembatani petani sawit sebagai pelaku utama dalam perkebunan sawit Indonesia. BPDP harus menjadi solusi untuk mengatasi ketidak-tahuan

5 petani kelapa sawit akan standar teknis budidaya perkebunan yang tepat dan sesuai dengan standar teknis perkebunan, ketidak-tahuan petani akan informasi perkebunan lestari, dan minimnya informasi-informasi yang membangkitkan kreativitas petani kelapa sawit. Sehingga produktivitas sawit rakyat lebih tinggi dari saat ini yang hanya mencapai 12 ton/ha/ tahun. Dengan perhatian pada peningkatan kualitas SDM petani diharapkan kesejahteraan petani lebih baik dan pengelolaan sawit berkelanjutan itu menjadi nyata dan dijalankan oleh perkebun rakyat. Ketiga; Peremajaan kelapa sawit sebagaimana yang menjadi salah satu tujuan hadir BPDP belum memberikan gambaran bahwa program ini akan memberikan manfaat bagi petani kelapa sawit. Sangat disayangkan, program peremajaan ini dengan model bantuan permodalan sebesar 25 juta/ ha akan gagal dan tidak menarik petani sawit untuk terlibat dalam program ini. Sebagaimana program peremajaan sawit dalam program revitalisasi perkebunan yang dimulai sejak tahun 2007 hingga 2014 hanya mewarisi kegagalan dan masalah. Harus di antisipasi, BPDP akan mengalami nasib serupa dengan program-program sebelumnya yang tidak memberikan manfaat bagi petani kelapa sawit namun hanya memberi rasa untung bagi pelaku usaha perkebunan besar. Sebagaimana yang di atur oleh BPDP, bahwa bantuan permodalan untuk peremajaan petani kelapa sawit sebesar 25 juta/ ha akan diberikan kepada petani melalui kelompok/ kelembagaan petani jika petani memiliki dana sendiri atau petani mampu meminjam dari lembaga perbank-kan dengan cara kredit sebesar 35 juta/ha. Di samping itu, skema yang ditawarkan dengan pola management satu atap dimana seluruh kebun-kebun rakyat dikelola oleh perusahaan hanya akan menciptakan konflik di perkebunan dimasa yang akan datang. Kedua hal penting ini, menjadi tantangan besar bagi petani kelapa sawit. Bagi petani yang tidak memiliki uang sebanyak 35 juta/ha untuk peremajaan, hanya dapat pasrah atau mau tidak mau mereka harus terlibat dalam program ini dengan terpaksa. Keempat; legalitas petani kelapa sawit seperti STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) dan sertifikat kebun harus menjadi prioritas untuk diselesaikan oleh BPDP juga. Dua hal ini sangat mendasar atas hak kepemilikan atas kebun yang dikelola oleh petani. STDB sebagai surat registrasi kebun yang di keluarkan oleh kepala daerah, dan Sertifikat kebun sebagai alas hak atas tanah. Jika petani sudah memiliki alas hak, maka keamanan usaha jangka panjang mendapatkan perlindungan yang lebih baik. Saat ini, belum ada petani pekebun mandiri (petani swadaya) yang mendapatkan STDB atau Sertifikat Tanah yang didukung oleh BPDP-KS. Kelima; Kelembagaan BPDP khususnya Dewan Pengawas dan juga Komite pengarah yang terdiri dari kementerian-kementerian terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Posisi kementerian-kementerian ini akan mempersulit konsolidasi dan tata laksana internal untuk mempercepat fungsi-fungsi yang di jalankan. Selain itu, posisi dewan pengawas dan juga komite pengarah, hanya membuat BPDP ini menjadi sebuah lembaga

6 yang lemah akan akuntabilitas, transparansi, partisipasi dan pengawasan. Keterlibatan mereka dalam posisi-posisi itu hanya akan membuat lembaga ini akan terus di recoki oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Siapa yang mengawasi BPDP? Keenam: Pembangunan best practise pada level perkebunan tidak memadai. Sampai saat ini, kita sangat sulit menemukan contoh-contoh terbaik yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit dan petani pekebun mandiri dan bagaimana menihilkan pembakaran lahan skala luas. Praktek-praktek terbaik dari kelapa sawit dan pendekatan keberlanjutan, perkebunan sawit skala besar dengan masyarakat dan food security hingga bagaimana contoh-contoh terbaik relasi antara perusahaan, masyarakat dan perempuan dalam konteks HAM. Jika terdapat contoh-contoh tersebut, dapat ditiru dan dikembangkan secara luas. Terkait dengan hal tersebut di atas, khususnya terkait dengan promosi perkebunan dan sisi lain sawit Indonesia belum memiliki contoh terbaiknya, apa yang Indonesia akan promosikan? BPDP harus membangun jejaring yang kuat untuk memperbanyak contoh-contoh terbaiknya dan kementerian-kementerian terkait dapat mendukung dengan peraturan-peraturan yang lebih baik. Penyelundupan Hukum? Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014 mengamanatkan secara limitatif penggunaan dana dari pelaku usaha perkebunan yang tidak berasal dari APBN dan APBD dalam lima hal. Akan tetapi, dalam aturan pelaksananya ketentuan ini disimpangi dengan menambahkan tujuan tambahan dari perintah Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014 tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015, tambahan atas tujuan penggunaan dana dari usaha perkebunan yang tidak berasal dari APBN dan APBD diatur sedemikian: Pasal 9 (2) Penggunaan dana untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam rangka: a. perkembangan perkebunan; dan b. pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri perkebunan. Apabila bunyi Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 disandingkan dengan bunyi Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014, maka ada penambahan ketentuan baru. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selanjutnya ditulis UU 12/2011 pada Pasal 12 menyatakan, Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Kalimat ini memiliki arti bahwa materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.

7 Demikian, tidak bertentangannya materi muatan Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang dapat dimaknai dalam tiga lingkup: 1. Tidak menambah materi muatan Undang-Undang; 2. Tidak mengurangi materi muatan Undang-Undang; dan/atau 3. Tidak menghapus materi muatan Undang-Undang. Jelaslah bahwa materi muatan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2), khususnya pada huruf b PP 24/2015 yang berbunyi, pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri perkebunan menambah materi yang diatur sebelumnya dalam Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014. Bukankah yang demikian ini patutlah dianggap sebagai penyelundupan hukum? Bahwa PP 24/2015 menambah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh UU 39/2014. Tak berhenti hanya di Peraturan Pemerintah, penyelundupan hukum ini ternyata juga diikuti oleh PP 61/2015. Dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan: Pasal 11 (2) Penggunaan dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabatijenis biodesel. Bagaimana mungkin bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres 61/2015 yang menyebut bahan bakar nabati jenis biodesel berbeda dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 yang menyebutkan bahan bakar nabati (biofuel). Bukankah hal ini adalah penyelundupan hukum yang super ngawur? Nirtransparansi Dan Monopoli Pengelolaan Dana Kurangnya transparansi pengelolaan dana dari pungutan ekspor kelapa sawit, misalnya, ditunjukkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kajian Sistem Pengelolaan Kelapa Sawit. 5 Sampai 2016, setidaknya terjadi selisih kurang bayar dan selisih lebih bayar terhadap pungutan dana ekspor kelapa sawit. Jumlah selisih kurang bayar sampai Agustus 2016 mencapai lebih dari Rp 2 miliar dan selisih lebih bayar mencapai lebih dari Rp 10 miliar. Adanya selisih pembayaran tersebut disebabkan oleh surveyor dalam hal ini yang ditunjuk adalah PT Sucofindo (Persero) tidak menerbitkan notifikasi yang memuat nominal nilai pungutan. 6 Kondisi selisih bayar itu diperparah dengan BPDPKS tidak 5 Lihat KPK, 2016, Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit, Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan KPK RI, Jakarta. 6 Ibid., hlm 36.

8 melakukan rekonsiliasi data pembayaran pungutan ekspor dengan Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu. 7 Penyaluran dana pungutan dari ekspor kelapa sawit pada faktanya banyak mengalir ke perusahaan besar perkelapa-sawitan, bukan ke industri rakyat atau pekebun rakyat. Kajian KPK mencatat, per 2016, kurang lebih 81,8 persen biaya subsidi mandatori penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodesel dinikmati oleh empat perusahaan besar saja. Terdiri dari PT Damex Biofuel (sebanyak Rp 330 miliar), PT Musim Mas (Rp 543 miliar), PT Wilmar Bionergi (Rp 779 miliar) dan PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp 1,02 triliun). Bahkan tampak sekali bahwa satu grup perusahan (PT Wilmar) mendapatkan kucuran dana yang sangat besar (sampai Rp 1,8 triliun). 8 Mengalirnya dana pungutan kelapa sawit ke korporasi besar untuk subsidi biodesel ini dapat dianggap sebagai sebuah monopoli. 9 Praktik demikian di sisi yang lain semakin menjepit posisi rakyat pekebun dan petani kelapa sawit. Misalnya, keterangan pers yang disampaikan Ketua Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, mendesak supaya Menkeu mencabut PMK 114/PMK.05/2015 yang sudah diubah dengan PMK 30/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum 7 Ibid., hlm Ibid., hlm Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada Pasal 1 angka 1 mencatat definisi monopoli dengan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usahan. Sedangan Pasal 1 angka 2 menjelaskan arti praktik monopoli dengan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

9 BPDPKS. Pasalnya, dua PMK itu menjadikan petani plasma kelapa sawit semakin tidak memiliki posisi tawar di rantai proses industri kelapa sawit. 10 Pungutan ekspor Crude Palm Oil Supporting Fund yang dibebankan ke korporasi, dibebankan kembali ke petani yang mengakibatkan turunnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Selain itu juga ditambahkan bahwa BPDPKS yang mengurus hal tersebut dianggap gagal menjalankan perannya, khususnya dalam promosi dan advokasi perkebunan sawit Indonesia. 11 Belum lagi, kesepakatan lain seperti Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang sempat diinisiasi memicu terjadinya praktik kartel dan monopoli dalam industri sawit nasional serta bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 12 Penutup Menkeu Sri Mulyani menekankan bahwa keadilan yang diciptakan dari industri kelapa sawit Indonesia harus dapat dinikmati oleh rakyat. Keadilan tidak boleh membuat perusahaan kelapa sawit semakin kaya. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan rakyat pekebun dan petani kelapa sawit tidak mendapatkan akses atau keuntungan yang cukup dari perkebunan kelapa sawit. 13 Pesannya sangat jelas, keadilan kelapa sawit harus diarahkan dan didapatkan oleh rakyat. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengkoreksi adanya penyelundupan hukum yang ada di dalam Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 jo Pasal 11 ayat (2) Perpres 61/2015. Pemerintah harus mengembalikan marwah penggunaan dana usaha perkebunan yang tidak berasal dari APBN dan APBD ke dalam Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014. BPDPKS harus mengoreksi kembali kebijakannya, khususnya dalam penentuan dan penyaluran dana yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit agar tidak terjadi monopoli maupun praktik monopoli. Selain itu, BPDPKS Meninjau dan merancang kembali subsidi mandatori biodesel, mengawasi pelaksanaan surveyor, dan lebih aktif dalam mendampingi rakyat pekebun dan petani kelapa sawit.[] 10 Inilah.com, Petani Sawit: Bubarkan BPDP, Hapus Pungutan CPO, diunggah pada 5 Mei 2017, pukul 06:09 WIB. 11 Ibid. 12 Metrotvnews.com, KPPU: IPOP Perkuat Praktik Monopoli Pelaku Kelapa Sawit, diunggah pada 14 April 2016, pukul 16:44 WIB. 13 Lihat, Detikfinance.com, Sri Mulyani: Jangan Ada Perusahaan Sawit Kaya, Tapi Petani Tak Menikmati, diunggah pada 2 Mei 2017, pukul 19:31 WIB.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2015 SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1.tE,"P...F.3...1!..7. INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.51, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan.Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO

Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO Medan 28 September 2017 1 ABSTRAK Luas Kelapa Sawit Nasional 11,9 juta ha 4,8 juta ha diantaranya adalah

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN I. Pendahuluan Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan diajukan oleh Anggota lintas

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TERKINI PROGRAM PEREMAJAAN KELAPA SAWIT NASIONAL

PERKEMBANGAN TERKINI PROGRAM PEREMAJAAN KELAPA SAWIT NASIONAL PERKEMBANGAN TERKINI PROGRAM PEREMAJAAN KELAPA SAWIT NASIONAL Oleh Bambang Sad Juga TENAGA AHLI BIDANG INVESTASI DAN REKOMTEK/ KETUA TIM FASILITASI PEREMAJAAN TANAMAN KELAPA SAWIT DITJEN PERKEBUNAN Disampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RAPAT KERJA DENGAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN, MENTERI PERTANIAN, MENTERI PERINDUSTRIAN, MENTERI PERDAGANGAN,

Lebih terperinci

2 d. bahwa berkenaan dengan huruf b dan huruf c, perlu dilakukan pengaturan kembali tarif layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan K

2 d. bahwa berkenaan dengan huruf b dan huruf c, perlu dilakukan pengaturan kembali tarif layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan K No.1053, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Tarif Layanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.886, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Pengelola Dana. Kelapa Sawit. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.01/2015 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

2015, No Biodiesel Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 200

2015, No Biodiesel Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 200 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1217, 2015 KEMEN ESDM. Bahan Bakar Nabati Pembiayaan Badan Pengelola. Kelapa Sawit. Pemanfaatan. Penyediaan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia melalui peningkatan nilai tambah, ekspor, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, MENTERi ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN BAHAN BAKAR NABATI JENIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 No.262, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Tarif Bea Keluar. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2017

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri. PENDAHULUAN Latar Belakang Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional Indonesia dalam jangka panjang, tentunya harus mengoptimalkan semua sektor ekonomi yang dapat memberikan kontribusinya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG 1 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2017, No Dana Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan oleh Menteri Keuangan; c. bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaan d

2017, No Dana Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan oleh Menteri Keuangan; c. bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaan d No.910, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Dana PPKS. BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84/PMK.05/2017 TENTANG PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pembangunan dibidang pertanian menjadi prioritas utama karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan komitmen

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015 Bismillahirrohmanirrahim Yth.Pimpinan dan Karyawan PT. Wilmar Nabati Indonesia Yth. Pejabat Pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF. Tim Peneliti: Almasdi Syahza; Suwondo; Djaimi Bakce; Ferry HC Ernaputra; RM Riadi

RINGKASAN EKSEKUTIF. Tim Peneliti: Almasdi Syahza; Suwondo; Djaimi Bakce; Ferry HC Ernaputra; RM Riadi KEGIATAN TINDAK LANJUT PENGHIMPUNAN DATA, INFORMASI DANA BAGI HASIL (DBH) SEKTOR PERKEBUNAN (DBH CPO) Kerjasama Dinas Pendapatan Propinsi Riau dengan Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru 2013

Lebih terperinci

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI OLEH DIREKTUR TANAMAN TAHUNAN HOTEL SANTIKA, JAKARTA 29 JULI 2011 1 KRONOLOGIS FAKTA HISTORIS Sejak 1960-an dikalangan masyarakat internasional mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017 TENTANG PROSEDUR PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM RANGKA MENGANALISIS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan Keputusan

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PASAR LELANG KOMODITAS

PASAR LELANG KOMODITAS PASAR LELANG KOMODITAS Memperpendek Mata Rantai Perdagangan trade with remarkable % 100 INDONESIA Daftar Isi 2 Kata Pengantar Pasar Lelang Komoditas 3 4 Payung Hukum Pelaksanaan Pasar Lelang Komoditas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

TENTANG KREDIT PENGEMBANGAN ENERGI NABATI DAN REVITALISASI PERKEBUNAN MENTERI KEUANGAN

TENTANG KREDIT PENGEMBANGAN ENERGI NABATI DAN REVITALISASI PERKEBUNAN MENTERI KEUANGAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 117 / PMK 06 / 2006 TENTANG KREDIT PENGEMBANGAN ENERGI NABATI DAN REVITALISASI PERKEBUNAN MENTERI KEUANGAN Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah

Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah Februari 2017 Tentang CPI Climate Policy Initiative (CPI) merupakan lembaga independen dan nirlaba yang mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tidak terlepas dari perekenomian yang berbasis dari sektor pertanian. Hal ini karena sektor pertanian, masih tetap memegang peranan penting yakni sebagai

Lebih terperinci

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengembangan perusahaan. Perusahaan harus mampu membangun dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengembangan perusahaan. Perusahaan harus mampu membangun dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia bisnis saat ini dituntut menciptakan kinerja karyawan yang tinggi untuk pengembangan perusahaan. Perusahaan harus mampu membangun dan meningkatkan kinerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera No.166, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUMBER DAYA ALAM. Pembudidaya. Ikan Kecil. Nelayan Kecil. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5719) PERATURAN

Lebih terperinci

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT merambah Sulawesi sejak tahun 1980 an dan ekspansinya tetap

Lebih terperinci

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018?

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018? PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei 2018 1. Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018? Target produksi Perseroan untuk tahun 2018 adalah 219.000

Lebih terperinci

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Unit : Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Indikator Target Terwujudnya koordinasi dan Presentase hasil

Lebih terperinci

Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Statistik Ditjenbun 2015)

Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Statistik Ditjenbun 2015) Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Statistik Ditjenbun 2015) Rakyat: 4,54 Jt Ha 40% Negara: 0,74 Jt Ha 7% Swasta : 5,98 Jt Ha 53% Luas lahan sawit ± 11,26 Juta ha. (Statistik Ditjen Perkebunan 2015)

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 http://kesbangpol.kemendagri.go.id I. PENDAHULUAN Dana kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah April 2015 Supported by: Dalam Konteks Indonesia dan Kalimantan Tengah Indonesia memiliki 10% dari

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 30 /KPPU Pat /X/2017 TENTANG PENILAIAN

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. NOMOR 30 /KPPU Pat /X/2017 TENTANG PENILAIAN PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 30 /KPPU Pat /X/2017 TENTANG PENILAIAN PEMBERITAHUAN ATAS PENGAMBILALIHAN (AKUISISI) SAHAM PERUSAHAAN PT ANUGERAH PALM INDONESIA OLEH PT USAHA AGRO INDONESIA

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa (UU No. 06 Tahun 2014) pada tanggal 15 Januari tahun 2014, pengaturan tentang Desa mengalami perubahan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

SKEmA BARU PENDANAAN BIoDIESEL BERBASIS SAWIT,

SKEmA BARU PENDANAAN BIoDIESEL BERBASIS SAWIT, SKEmA BARU PENDANAAN BIoDIESEL BERBASIS SAWIT, menuju KEmANDIRIAN ENERgI DI TENgAh melemahnya harga minyak DUNIA yunita Ariyani, muhammad Ferian, Dadan Kusdiana, Bayu Krisnamurthi Badan Pengelola Dana

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5835 EKONOMI. Penjaminan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN I. PEMOHON Mohamad Sabar Musman II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 47

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik Pengantar Sejak 2015, pemerintah melalui amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa mengalokasikan anggaran nasional untuk desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal mengenai penelitian yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (elaeis guineensis) menurut para ahli secara umum berasal dari Afrika. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Nasional Bruto (PDNB) sektor Pertanian, salah satunya adalah kelapa sawit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENETAPAN PRODUK UNGGULAN HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung?

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung? Hal. 2 Hal. 7 Daftar Isi Dari Redaksi Potensi Kehilangan USD 6,1 Juta Akibat Delisting Produk Karaginan Indonesia di Pasar Amerika Serikat Ekspor rumput laut dan produk olahan rumput laut terus menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik pada masyarakat di masa mendatang. Pembangunan ekonomi

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik pada masyarakat di masa mendatang. Pembangunan ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pada masyarakat di masa mendatang. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN SISTEM RESI GUDANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN SISTEM RESI GUDANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA PRESS CONFERENCE TENTANG KEBIJAKAN TAX HOLIDAY PMK 159/PMK.010/2015 JAKARTA, 27 AGUSTUS 2015

BAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA PRESS CONFERENCE TENTANG KEBIJAKAN TAX HOLIDAY PMK 159/PMK.010/2015 JAKARTA, 27 AGUSTUS 2015 BAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA PRESS CONFERENCE TENTANG KEBIJAKAN TAX HOLIDAY PMK 159/PMK.010/2015 JAKARTA, 27 AGUSTUS 2015 1. Fasilitas Tax Holiday adalah fasilitas pembebasan dan pengurangan Pajak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BEUTUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI DEPARTEMEN PERDAGANGAN NOMOR 02/DAGLU/PER/3/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI DEPARTEMEN PERDAGANGAN NOMOR 02/DAGLU/PER/3/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI DEPARTEMEN PERDAGANGAN NOMOR 02/DAGLU/PER/3/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 10/M-DAG/PER/3/2009 TENTANG

Lebih terperinci

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten No.1419, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Keluar. Barang Ekspor. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140/PMK.010/2016 TENTANG PENETAPAN BARANG

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.1070, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Kelapa Sawit. Crude Palm Oil. Produk Turunannya. Ekspor. Verifikasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54/M-DAG/PER/7/2015

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR 1 页共 5 页 2012-5-29 15:15 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF

Lebih terperinci

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Minyak Nabati Dunia Minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (oil and fats) merupakan bagian dari minyak

Lebih terperinci

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.501, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. Penetapan Barang Ekspor. Bea Keluar. Tarif Bea Keluar. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/PMK.011/2011 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 6) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan melonjaknya harga bahan pangan pokok, banyak pihak yang mulai meninjau kembali peran dan fungsi BULOG. Sebagian pihak menginginkan agar status BULOG dikembalikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan pembangunan yang berbasis desa dengan mengedepankan seluruh aspek yang terdapat di desa termasuk juga pola kegiatan pertanian yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.893, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. Pengelola Dana Kelapa Sawit. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114/PMK.05/2015 TENTANG TARIF LAYANAN

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Selain sebagai sumber utama minyak nabati, kelapa sawit

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci