LAMPIRAN A OSILATOR HARMONIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAMPIRAN A OSILATOR HARMONIK"

Transkripsi

1 46 LAMPIRAN A OSILATOR HARMONIK Persamaan Schrodinger untuk Osilator Harmonik dapat dinyatakan sebagai berikut: dd 2 ΨΨ dddd 2 + (α y2 )Ψ = 0 (A.1) Dengan y = ( 1 ħ kkkk)1/2 dimana v = 1 2ππ kk mm α = 2EE ħ mm kk = 2EE hvv Merupakan frekuensi Osilator harmonik. Bentuk Asimtotik ΨΨ dari fungsi gelombang. Kita mulai dengan mencari bentuk asimtotik yang harus dimiliki Ψ ketika y ±. Jika fungsi Ψ menyatakan partikel sebenarnya yang terlokalisasi dalam ruang, harganya harus mendekati nol ketika y mendekati tak terhingga agar I ΨI2 dy menjadi terhingga, bukan nol. Kita tuliskan kembali persamaan (A.1) sebagai berikut: dd 2 ΨΨ dddd 2 - (y2 - α) Ψ = 0 dd 2 ΨΨ dddd 2 = (y2 - α) Ψ dd 2 ΨΨ/dddd 2 (y2 α) Ψ = 1 Ketika y, y 2 αα, sehingga: dd lim 2 ΨΨ/dddd 2 y yy 2 ΨΨ = 1(A.2)

2 47 Fungsi Ψ yang memenuhi persamaan (A.2) adalah: Ψ = ee yy 2 /2 Karena: lim y dd 2 ΨΨ dddd 2 = lim y (y2-1)ee yy 2 /2 = y 2 ee yy 2 /2 (A.3) Persamaan (A.3) merupakan bentuk Asimtotik Ψ yang diperlukan. Persamaan Diferensial untuk fungsi f(y) Kita dapat menuliskan fungsi gelombang osilator harmonik sebagai berikut: Ψ = f(y) ΨΨ = f(y)ee yy 2 /2 (A.4) Dengan f(y) fungsi dari y yang harus dicari. Dengan memasukkan persamaan (A.4) dan (A.1) maka kita peroleh: dd 2 ff dddd 2 2yddff dddd +(α-1) f = 0 (A.5) Ini merupakan persamaan diferensial yang harus di penuhi oleh f. Pengembangan deret pangkat f(y) Prosedur yang di gunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial (A.5) ialah menganggap bahwa f(y) dapat diuraikan dalam deret pangkat y, yaitu: f(y) = A 0 + A 1 y + A 2 y 2 + AA 3 yy 3 + = nn=1 (A.6) AA nn yy nn kemudian menentukan harga koefisien A n. Diferensial f menghasilkan: dddd dddd = A 1+ 2A 2 y + 3A 3 y 2 + = nn=1 nnnn nn yy nn 1 Persamaan diatas di kalikan dengan y, maka kita peroleh:

3 48 y dddd dddd = A 1y+ 2A 2 y 2 + 3A 3 y 3 + = nn=1 nnnn nn yy nn (A.7) Turunan kedua dari f terhadap y adalah: dd 2 ff ddyy 2= 1.2 A A 3 y + 3.4A 4 y 2 + = n(n 1)AA nn yy nn 2 nn=2 Yang sama dengan: dd 2 ff = (n + 2)(n + 1)AA ddyy nn+2yy nn 2 nn=0 (A.8) Rumus rekursi untuk koefisien A n Dengan mensubstitusikan persamaan (A.6) dan persamaan (A.8) kedalam persamaan (A.5), maka kita peroleh: [(n + 2)(n + 1)AA nn+2 (2nn + 1 αα) nn=0 A n ]y n = 0 (A.9) Supaya persamaan ini berlaku untuk setiap y, kuantitas dalam tanda kurung harus 0 untuk setiap harga n, sehingga kita dapatkan persyaratan: (n+2)(n+1)a n+2 = (2n+1-α)A n Rumus rekursi: A n+2 = 2nn+1 (nn+2)(nn+1) A n(a.10) Rumus rekursi ini memungkinkan kita untuk mencari koefisien A 2, A 3, A 4,... dinyatakan dalam A 0 dan A 1. Karena persamaan (1.5) merupakan persamaan diferensial orde kedua, maka penyelesaiannya memiliki dua konstanta sembarang, disini konstanta itu adalah A 0 dan A 1. Mulai dari A 0 kita dapatkan deret koefisien A 2,A 4,A 6,..dan mulai dari A 1 kita dapatkan deret lain A 3,A 5,A 7,..

4 49 Persyaratan yang harus dipenuhi f(y) Ketika y ; hanya jika Ψ 0 ketika y, Ψ merupakan fungsi gelombang yang dapat diterima secara fisis. Karena f(y) dikalikan dengan ee yy 2 /2, Ψ memenuhi persyaratan diatas jika: lim y f(y)<ee yy 2 /2 Pengembangan deret pangkat fungsi gelombang asimtotik ΨΨ Cara yang memadai untuk membandingkan perilaku asimtotik dari f(y) dan ee yy 2 /2 ialah menyatakannya dalam deret pangkat (f sudah dalam bentuk deret pangkat) dan memeriksa rasio antara koefisien deret yang berurutan ketika n. Dari rumus rekursi persamaan (A.10) kita dapat menyatakan bahwa: AA lim nn +2 y = 2 AA nn nn (A.11) Karenaee zz = 1 + z + zz 2 + zz ! 3! Kita dapat menyatakan ee yy 2 /2 dalam deret pangkat sebagai berikut: ee yy 2 /2 = 1 + yy 2 + yy 4 + yy ! 2 3.3! = nn=0,2,4, 1 y n 2 nn /2. nn 2! = nn=0,2,4, BB nn yy nn (A.12) Rasio antara koefisien yang berurutan dari y n dalam persamaan (A.11) adalah: BB nn +2 = 2nn /2 nn. 2! nn +2 BB nn nn ! = = 2 nn /2. nn 2! 2. 2 nn /2. nn (nn 2 )! 1 2 ( nn 2 +1)

5 50 = 1 nn+2 Dalam limit n, rasio ini menjadi: lim n BB nn +2 BB nn = 1 nn (A.13) Jadi koefisien yang berurutan A n dalam deret untuk f berkurang lebih lambat dari deret pangkat ee yy 2 /2 alih alih lebih cepat, ini berarti f(y) ee yy 2 /2 tidak menuju nol ketika y. Jika deret f berakhir pada harga n tertentu, sehingga koefisien A n menjadi nol untuk harga n yang lebih tinggi dari harga tertentu itu, maka ΨΨ akan menuju nol ketika y karena faktor ee yy 2 /2. Dengan kata lain, jika f suatu polynomial dengan suku terhingga alih alih deret tak-terhingga, maka f dapat diterima. Dari rumus rekursi: 2nn+1 A n+2 = A n (nn+2)(nn+1) Jelaslah bahwa jika: = 2n+1(A.14) Untuk setiap harga n, maka A n+2 =A n+4 = A n+6 = = 0. Persamaan (A.14) menentukan suatu deretan koefisien saja, yaitu deretan n genap mulai dengan A 0 atau deretan n ganjil mulai dengan A 1. Jika n genap, maka A 1 = 0 dan hanya pangkat y genap muncul dalam polynomial, jika n ganjil, maka A 0 = 0 dan hanya pangkat y ganjil muncul. Rumus tingkat energy yang dihasilkan Persyaratan = 2n+1merupakan syarat perlu dan cukup supaya fungsi gelombang persamaan (A.1) memiliki solusi yang memenuhi berbagai persyaratan.

6 51 Dari persamaan α = 2EE ħ mm kk = 2EE hvv, kita peroleh nilai α sebagai berikut: α = 2EE hvv = 2n+1 E n = (n + 1 ) hv dimana n = 0,1,2,3,4,5, (A.15) 2 Jadi energy sebuah osilator harmonik terkuantisasi dengan langkah hv. Kita lihat untuk n= 0 Maka: E 0 = 1 2 hv (A.16) Yang menyatakan energy terendah yang dapat dimiliki oleh osilator tersebut. Harga ini disebut energy titik nol karena sebuah osilator harmonik dalam keadaan setimbang dengan sekelilingnya akan mendekati E=E 0 dan bukan E=0. Untuk setiap pilihan parameter α n terdapat fungsi gelombang yang berbeda ΨΨ nn. Setiap fungsi terdiri dari suatu polinom HH nn (y) disebut sebagai Polinom hermite, yang y-nya berpangkat genap atau ganjil, faktor eksponensial ee yy 2 /2, dan sebuah koefisien numerik diperlukan untuk memenuhi syarat normalisasi: ΨΨ nn 2 dx = 1 dimana n = 0,1,2,3,4,5, (A.17) Rumus umum fungsi gelombang Osilator Harmonik ke n adalah sebagai berikut: ΨΨ nn = ( 2mmmm ħ )1/4. (2 n. n!) -1/2.HH nn (y) ee yy 2 /2 (A.18)

7 52 Enam polinom hermite HH nn (y) yang pertama di daftarkan dalam table berikut: n HH nn (y) nn Tingkat Energi ke-n (E n ) hv 1 2y hv 2 4y hv 3 8y 3 12y hv 4 16y 4 48y hv 5 32y 5 160y y hv

8 53 LAMPIRAN B POLINOMIAL HERMITE Dalam bahasan ini akan dibahas bagaimana mencari solusi umum polynomial Hermite yang diberikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: y px M y + prx M-1 y = 0, (B.1) Dimana nilai p 0, dan r adalah bilangan bulat positif. Untuk M = 1, p = 2, dan r adalah sebuah bilangan bulat positif sehingga persamaan (B.1) menjadi persamaan Hermite dan memiliki solusi yang sering dikenal dengan nama Polinomial Hermite. Bagaimana jika p 0, apakah persamaan (B.1) memiliki solusi polynomial, M adalah bilangan bulat positif yang lebih besar dari satu dan r adalah bilangan bulat positif. Terdapat sebuah solusi polynomial untuk persamaan (B.1) berderajat r jika dan hanya jika: r = k(m+1) (B.2) Atau r = k(m+1) +1 (B.3) untuk suatu k = 0,1,2,3,4,5, selanjutnya, ada beberapa kasus terdapat satu (hingga untuk konstanta perkalian) solusi polynomial yang selalu berderajat r yang memiliki (k+1) suku dengan selisih derajat (M+1),yakni jika satu suku berderajat b, maka satu suku tertinggi berikutnya menjadi berderajat b+m+1. Pembuktian: Kita substitusikan bentuk persamaan:.y = nn=0 aa nn xx nn (B.4)

9 54 kepada persamaan (B.1) yang didefenisikan dengan manipulasi rumus: a 2 = a 3 = = a m = 0 (B.5) sehingga diperoleh: a n+m+1 = pp(nn rr)aa nn (nn+mm+1)(nn+mm) n = 1,2,3,4,5, (B.6) kita turunkan persamaan (B.4) sebanyak dua kali: y = nn=1 aa nn xx nn 1 (B.7) y = nn=2 nn(nn 1)aa nn xx nn 2 (B.8) substitusikan persamaan (B.7) dan persamaan (B.8) kepada persamaan (B.1) sehingga kita peroleh: nn=2 nn(nn 1)aa nn xx nn 2 - p x M nn=1 nnnn nn xx nn 1 + pr x M-1 aa nn xx nn = 0 Atau, nn=0 nn=2 nn(nn 1)aa nn xx nn 2 - p nn=1 nnnn nn xx nn+mm 1 + pr nn=0 aa nn xx nn+mm 1 = 0 (B.9) Kita substitusikan nilai n = 0,1,2,3,, n, n+m+1 ke persamaan (B.9) menjadi: 2.1a a 3 x + 4.3a 4 x (n+m+1)(n+m)a n+m+1 x n+m pa 1 x M 2pa 2 x M+1 3pa 3 x M pna n x n+m pra 0 x M-1 + pra 1 x M + pra 2 x M+1 + +pra n x n+m-1 + = 0 Kita pisahkan persamaan berdasarkan koefisien yang sama, sehingga diperoleh: 2a 2 - px M a 1 + pra 0 x M-1 = 0 Untuk koefisien x 6a 3 x - 2 px M a 2 + pr x M-1 a 1 x = 0 Untuk koefisien x (B.10) Melalui manipulasi rumus, a 2 = a 3 = = a M = 0 dengan n = 2, 3, maka akan diperoleh rumus rekursi dalam bentuk umum sebagai berikut:

10 55 (n+m+1)(n+m) a n+m+1 pna n + pra n = 0 (n+m+1)(n+m) a n+m+1 = pna n - pra n (n+m+1)(n+m) a n+m+1 = (pn pr) a n a n+m+1 = p(n r)a (nn+mm+1)(nn+mm) sehingga diperoleh rumus rekursi untuk mencari solusi persamaan Polinomial Hermite sebagai berikut: a n+m+1 = p(n r)a (nn+mm+1)(nn+mm) dengan n = 0,1,2,3,4, (B.11) kita misalkan terdapat solusi Polinomial berderajat r. jika r = 1, maka r = 0(M+1)+1. Jika r 2, maka r M+1 dengan persamaan (B.4) ketika a r = 0 maka a r-(m+1) = 0 juga. Jika r-(m+1) MM, maka persamaan (B.4) memaksa r-(m+1) setara dengan 0 ataupun 1. Sebaliknya dapat dilanjutkan dengan mengurangkan r dengan kelipatan (M+1) hingga bilangan bulat k diperoleh sedemikian sehingga: r k(m+1) = 0,1 (B.12) untuk r (M+1) = 0, r dikurangi dengan kelipatan (M+1), (2M+2,, (km+2) sehingga diperoleh: r (M+1) = 0 r (2M+2) = 0 r (3M+3) = 0... r (km+k) = 0 r k(m+1) = 0 r = k(m+1). Untuk r (M+1) = 1, r dikurangi dengan kelipatan (M+1), (2M+2),, (km+k) sehingga diperoleh:

11 56 r (M+1) = 1 r (2M+2) = 1 r (3M+3) = 1... r (km+k) = 1 r k(m+1) = 1 r = k(m+1)+1 maka persamaan (B.4) memiliki r (M+1) sama untuk 0 atau 1 r k(m+1) = 0 atau 1 (B.13) dengan demikian ditentukan persamaan (B.2) dan persamaan (B.3), sebaliknya, jika r = k(m+1) untuk semua k, maka dapat dinyatakan dari persamaan (B.5) bahwa ketika n = r = k(m+1), diperoleh a n+m+1 = 0. Oleh sebab itu a l(m+1) = 0 untuk semua l kk + 1. selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (B.4) disertai dengan persamaan (B.5) diperoleh a i+l(m+1) = 0, untuk semua 2 ii MM dan ll kk. Kemudian dapat disimpulkan bahwa jika a i+l(m+1) = 0, untuk semua l kk, harus ditetapkan nilai a = 0 dan kita gunakan persamaan (B.5). Jika a 0, persamaan (B.5) kembali mengimplikasikan bahwa a r = a k(m+1) dan karena itu y(x) merupakan sebuah polynomial berderajat r. Kemudian dapat disimpulkan bahwa jika a 0, maka y(x) bukan sebuah polynomial. Dengan demikian didapat a 0 sedemikian sehingga a r = 1, dan disini dapat dilihat bahwa solusi polynomial adalah tunggal hingga konstanta perkalian a 0. Pertimbangan yang sama dapat diterapkan pada kasus r = k(m+1)+1. Solusi polinomialnya tunggal hingga konstanta perkaliannya a 1. Untuk solusi polynomial dari persamaan y - px M y + prx M-1 y = 0, jika

12 57 r = k(m+1) maka derajat terendah dari solusinya adalah a 0, jika r = k(m+1)+1 maka derajat terendah dari solusinya adalah: a 1 x. catatan jika r = k(m+1), maka pilihannya adalah a 1 = 0. Jika r = k(m+1)+1, maka pilihannya adalah a 0 = 0. Pembuktiannya: Analisa dari r = k(m+1) dalam rumus rekursi persamaan (B.6) diikuti pengurangan rumus (k-1). k dikurangi dengan kelipatan (k-1), (k-2),, (k-k) sehingga diperoleh: a x r x r = a k(m+1) x k(m+1) (k-1) (M+1) a (k-1) (M+1) x... a (M+1) x (M+1) a 0. Jika r = k(m+1) maka derajat terendah dari solusi polynomial adalah a 0 sama, jika r = k(m+1)+1 maka derajat terendahnya adalah a 1 x. Catatan: jika r = k(m+1), maka pilihannya adalah a 1 = 0. Jika r = k(m+1)+1, maka pilihannya adalah a 0 = 0.

13 58 LAMPIRAN C DERET PANGKAT Bentuk umum deret pangkat. Deret pangkat merupakan perkembangan dari deret kompleks biasa. Secara prinsip, deret pangkat adalah deret kompleks yang memiliki bentuk pangkat dari (z z 0 ). Suatu deret takhingga dengan bentuk: aa nn zz nn = nn=0 aa nn zz nn = aa 0 + aa 1 zz + aa 2 zz 2 + aa 3 zz aa nn zz nn + (C.1) Dimana cc nn konstan disebut deret pangkat dalam x. sesuai itu, maka diperoleh deret takhingga dengan bentuk: aa nn (zz zz 0 ) nn = aa 0 + aa 1 (zz zz 0 ) + aa 2 (zz zz 0 ) 2 + aa 3 (zz zz 0 ) aa nn (zz zz 0 ) nn + (C.2) Bentuk umum deret pangkat adalah sebagai berikut: nn=0 aa nn. (z-z 0 ) n (C.3) Dengan z adalah peubah kompleks (complex variable) dan koefisien a n. deret ini memiliki titik pusat z 0 dan jari jari konvergensi dengan symbol ρρ. kedua hal ini adalah parameter dalam deret pangkat. Ada 2 cara untuk mencari ρρ adalah sebagai berikut: 1. Formula Cauchy-Hadamard, yaitu: lim nn aa nn aa nn +1 = ρρ 2. lim nn aa nn 1 aa nn nn = ρρ

14 59 Setelah kita memperoleh nilai ρρ, maka ada 3 sifat dari deret pangkat tersebut berdasarkan nilai ρρ yang dimiliki, yaitu: 1. Jika ρρ = 0, maka deret diatas konvergen hanya pada titik z 0, dan divergen pada titik yang lain. 2. Jika 0 < ρρ <, maka deret diatas pasti konvergen mutlak untuk semua nilai z dengan zz zz 0 < ρρ dan divergen untuk semua nilai z dengan zz zz 0 > ρρ. Lalu bagaimana dengan zz zz 0 = ρρ? itu bisa konvergen, bisa juga divergen. 3. Jika ρρ=, maka deret diatas konvergen mutlak untuk semua nilai z. artinya deret tersebut tidak pernah divergen. Latihan soal. Soal 1.Jika diketahui deret pangkat sebagai berikut: 1 nn=0 (zz + 2 ii) nn, tentukanlah pusat dan jari jari konvergensi.dan (1+ii) nn periksa juga apakah deretnya merupakan konvergen atau divergen pada jari- jari konvergensinya. Penyelesaian: 1 (1+ii) nn nn=0 (zz + 2 ii) nn ; dari bentuk deret disamping kita bisa melihat bahwa: z 0 = -2 + i. dengan demikian maka a n = 1 (1+ii) lim nn nn 1 (1+ii) nn +1 = lim nn 1 (1+ii) (1+ii) nn +1 (1+ii) nn nn maka jari jari konvergensinya: = lim nn (1+i) = 1 + i Jari jari konvergensi ρρ = 1+i = (1) 2 + (1) 2 = 2 Kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah: 1 Deret nn=0 (zz + 2 ii) nn, pasti konvergen pada semua z dengan (1+ii) nn z i < 2, atau dapat dinyatakan bahwa deret diatas pasti konvergen pada cakram terbuka dengan pusat z 0 = -2 + I dan jari jari 2.

15 60 Dan deret tersebut pasti juga divergen pada semua z di z i > 2. Lalu bagaimana dengan lingkaran tepat pada jari jari 2?? Kita harus melakukan test lagi dengan cara melakukan substitusi (z i) = 2 ke dalam deret diatas. Sehingga deret diatas menjadi: 1 nn=0 (1+ii) nn 2 2. (1+ii) nn nn ( 2)nnatau dapat dituliskan: Sekarang kita anggap deret diatas menjadi sebuah deret baru. Lalu kita periksa apakah deret itu konvergen atau tidak. Jika konvergen, maka deret semula dalam soal 1 ini konvergen pada lingkaran (z i) = 2. Untuk memeriksa deret nn 2 2 (1+ii) nn 2 2 (1+ii) nn apakah konvergen atau tidak; 2 nndapat ditulis menjadi ( 1+ii )nn tampak, jika n maka deret ini makin besar: berarti deret ini Divergen. Dengan demikian, kesimpulannya ialah deret dalam soal 1 ini, 1 (1+ii) nn nn=0 (zz + 2 ii) nn konvergen pada cakram terbuka z i < 2. Soal 2.Jika diketahui deret pangkat sebagai berikut: 2nn. (zz+1) nn nn=1 (2nn 1), tentukanlah pusat dan jari jari konvergensi.dan periksa juga apakah deretnya merupakan konvergen atau divergen pada jari- jari konvergensinya. Penyelesaian: nn=1 2nn. (zz + 1)nn (2nn 1) Dari bentuk diatas, maka pusatnya z 0 = -1. Dan a n = Maka jari jari konvergensi: lim nn 2nn 2(nn+1) (2(nn+1) 1) (2nn 1) 2nn (2nn 1). = lim nn 2nn (2nn+2) (2nn+1) (2nn 1) = 4 4 = 1

16 61 Maka deret diatas pasti konvergen untuk semua z pada cakram terbuka z+1 < 1. Untuk mengetahui sifat deret tersebut, pada lingkaran z+1 = 1, kita substitusi nilai ini ke dalam deret diatas, sehingga terbentuk sebuah deret baru: 2nn.(1)nn (2nn 1) = 2nn 2nn 1 TIPS: Kita perhatikan pangkat tertinggi dari n untuk pembilang dan penyebut. Ternyata sama, yaitu 1. Maka, bila kita memakai uji rasio untuk deret ini, kita akan mendapat bahwa harga limitnya sama dengan 1. Itu artinya, kita tetap tidak dapat menentukan apakah konvergen atau divergen.maka kita jangan memakai uji rasio. Kita periksa deret tersebut dengan cara sebagai berikut: 2nn lim nn = 2 (2nn 1) 2 = 1 0. Maka deret 2nn bersifat divergen. 2nn 1 Dengan demikian deret semula dalam soal ini hanya konvergen pada cakram terbuka z+1 < 1.

17 62 LAMPIRAN D OSILATOR ANHARMONIK Persamaan Schrodinger digunakan untuk menggambarkan berbagai macam sistem mekanika kuantum, walaupun sebenarnya tidak dapat diselesaikan kecuali untuk beberapa model sederhana. Persamaan Schrodinger ini biasanya menggunakan persamaan linear dua variable yang diselesaikan dengan menggunakan metode ekspansi deret pangkat persamaan diferensial, atau menggunakan operator tangga dalam mekanika kuantum. Pada osilator anharmonik, persamaan fungsi gelombang schrodinger yang digunakan adalah sebagai berikut: ħ Ψ (x) + Ax4 Ψ(x) = E Ψ(x) (D.1) Untuk memecahkan persamaan ini dalam satu dimensi, pertama kita menggunakan persamaan diferensial orde dua, kemuadian dilanjutkan dengan metode deret pangkat Persamaan Awal Pertama kita perkenalkan persamaan linear dua variable sebagai berikut: y 2xy + (2n +x 2 x 4 )y = 0 (D.2) ini bukan merupakan adjoint nya, melainkan untuk mempermudah memperkenalkan serangkaian fungsi abnormal (φφ nn ) sebagai berikut: φφ nn = ee xx 2 /2. y(x) (D.3) Dengan mensubstitusikan persamaan (D.3) ke dalam persamaan (D.2), maka akan diperoleh persamaan diferensial untuk φφ nn sebagai berikut: φφ nn + (2n+1-x 4 ) φφ nn = 0 (D.4)

18 63 Persamaan (D.4) ini merupakan persamaan diferensial untuk osilator anharmonik mekanika kuantum dengan energy potensial V(x) = Ax Solusi Analitik Dengan menggunakan metode deret pangkat, kita memperoleh solusi dari persamaan (D.2) sebagai berikut: y(x) = x k (aa 0 + aa 1 xx + aa 2 x 2 + aa 3 x 3 + ) y(x) = mm=0 aa mm xx kk+mm, a 0 0 (D.5) dimana eksponen k dan koefisien koefisien a m sudah ditentukan. Dengan menurunkan persamaan (D.5) sebanyak dua kali, maka kita peroleh: dddd = aa dddd mm =0 mm (kk + mm)xx kk+mm 1, dd 2 yy = aa dddd 2 mm=0 mm (kk + mm)(kk + mm 1)xx kk+mm 2 (D.6) Dengan mensubstitusikan persamaan (D.6) kedalam persamaan (D.2) maka kita peroleh: mm=0 aa mm (kk + mm)(kk + mm 1)xx kk+mm 2 2 aa mm (kk + mm)xx kk+mm mm =0 + 2n mm=0 aa mm xx kk+mm + mm=0 aa mm xx kk+mm+2 - mm=0 aa mm xx kk+mm+4 = 0 (D.7) Pangkat x terendah pada persamaan (D.7) adalah: x k-2, untuk m=0 pada penjumlahan pertama. Keunikan dari deret pangkat memerlukan penghilangan koefisien yang menghasilkan: aa 0 k(k-1) = 0 Dimana aa 0 0. Jika aa 0 = 1, maka kita peroleh: k(k-1) = 0 (D.8)

19 64 persamaan (D.8) ini merupakan persamaan indisial yang menghasilkan nilai k-0 atau k-1. Jika kita tinjau kembali persamaan (D.7) dan menetapkan m = j+2 pada penjumlaham yang pertama, kemudian m = j,m = j, m = j-2, m = j-4 berturut turut pada penjumlahan kedua, ketiga, keempat dan kelima maka kita peroleh: a j+2 (k+j+2)(k+j+1) 2a j (k+j-n)+a j-2 a j-4 = 0 a j+2 = aa jj 4 aa jj 2 + 2aa jj (kk+jj nn) (D.9) (kk+jj +2)(kk+jj +1) dengan menggunakan cara yang sama pada persamaan (D.8) untuk k = 0 dan j = bilangan genap, kita peroleh: a 2 = aa 0 2(-n) 2! a 4 = aa 0 [-2! + 4! 22 (-n)(2-n)] a 6 = aa 0 4! [4! 2(-n) 6! 2! 22 (4-n) (-n)(2-n)(4-n)] dan untuk k = 1 dan j = bilangan genap, kita peroleh: a 2 = aa 0 3! 2(1-n) a 4 = aa 0 5! [-3! + 22 (1-n)(3-n)] Pada kasus k = 0, semua nilai koefisiennya kita masukkan kedalam persamaan (D.5), maka kita peroleh: y genap = a 0 [1+ 1 2! (2(-n))x2 + 1 (-2! + 4! 22 (-n)(2-n))x ! (4! 2(-n) 6! 2! 22 (4-n) (-n)(2-n)(4-n))x 6 + ] (D.10) melalui persamaan (D.10), kita tentukan Polynomial Hermite untuk n = genap dan menghasilkan beragam parameter sebagai berikut: y genap = a 0 [1+ 1 2! (2(-n))x ! (22 (-n)(2-n))x ! (23 (-n)(2-n)(4-n))x 6 + ] + a 0 [ 2! 4! x ! (4! 2(-n) 6! 2! 22 (4-n))x 6 + ] (D.11)

20 65 dengan cara yang sama kita juga dapat menetukan Polinomial Hermite untuk n = ganjil dan k = 1 sebagai berikut: y ganjil = a 0 [x + 1 3! (2(1-n))x ! ( 22 (1-n)(3-n))x ! (23 (1-n)(3-n)(5-n))x 7 + ] + a 0 [- 3! 5! x ! (5! 2(1-n) 7! 3! 3!2(5-n))x7 + ] (D.12) Tanda kurung siku pertama dari ruas kanan y genap dan y ganjil hanya menunjukkan bentuk dari polynomial hermite yang kemudian kita masukkan nilainya kedalam persamaan (D.3). Maka untuk n = genap kita peroleh: φφ nn (x) = ee xx 2 /2 {H n (x) + aa 0 xx 4 [- 2! 4! + 1 6! (4! 4! 2! 2(-n) 22 (4-n)) x 2 + ]} (D.13) Untuk n = ganjil kita peroleh: φφ nn (x) = ee xx 2 /2 {H n (x) + aa 0 xx 5 [- 3! 5! + 1 7! (5! 5! 3! 2(1-n) 3!2 (5-n)) x2 + ]}(D.14) 4.3. Fungsi fungsi gelombang dan tingkat tingkat energi Persamaan fungsi gelombang Schrodinger dengan energy potensial V(x) = Ax 4, Dituliskan sebagai berikut: ħ22 Ψ (x) Ax4 Ψ(x) = E Ψ(x), dimana m = massa partikel dan E = energy total. Dengan mengggunakan kuantitas tidak berdimensi sebagai berikut: x = αz dimana 6 = 2mmmm ħ 2 (D.15) λ = 2mmmm ħ 2 αα 2 = E(2mm ħ 2 )2/3 (A) 1/3 (D.16) nilai λ diatas merupakan periode gerak untuk partikel klasik yang sesuai dengan V(x) = Ax 4, diberikan melalui persamaan (D.4) dan persamaan (D.5).

21 66 τ = 1 2 2ππππ EE ( EE AA )1/4 г(1/4) г(3/4) (D.17) Dengan [Ψ(z) = Ψ(x/α) = ѱ(x)], maka persamaan (D.1) menjadi: dd 2 ѱ dddd 2 + (λ x4 ) ѱ(x) = 0 (D.18) Persamaan (D.18) ini merupakan persamaan (D.4) dengan λ = 2n+1. Maka untuk n = genap kita peroleh: Ѱ n (x) = Kee xx 2 /2 {H n (x) + a 0 x 4 [- 2! + 1 4! (4! 2(-n) 4! 6! 2! 22 (4-n))x 2 + ]} (D.19) Untuk n = ganjil kita peroleh: Ѱ n (x) = Kee xx 2 /2 {H n (x) + a 0 x 5 [- 3! + 1 5! (5! 2(1-n) 5! 7! 3! 3!2(5-n))x2 + ]} (D.20) Persamaan (D.19) dan persamaan (D.20) merupakan fungsi fungsi gelombang Osilator Anharmonik mekanika kuantum untuk genap Ѱ 0, Ѱ 2, dan ganjil Ѱ 1, Ѱ 3, Dengan menggunakan persamaan (D.16) dan persamaan (D.17) dan diketahui nilai г(1/4) = 4.( 1 2 )! = 4 dan г(3/4) = ππ 4 4 E n = ( λλ 4 )3/4. г(1/4) 2ππ г(3/4) ħωω maka kita peroleh Energi: E n = (2n+1) 3/4. 4 ħωω ππ 2ππ (D.21) Untuk Energy tingkat dasar dengan n = 0 adalah: E0 = 4 ππ 2ππ ħωω = 0,5079ħωω 1 2 ħωω (D.22) E1 = 2,28 E0, E2 = 3,343 E0, E3 = 4,3 E0

22 67 LAMPIRAN E FUNGSI GAMMA (г) DEFENISI: 1. Merupakan salah satu fungsi khusus yang biasanya disajikan dalam pembahasan kalkulus tingkat lanjut 2. Dalam aplikasinya fungsi Gamma ini digunakan untuk membantu menyelesaikan integral-integral khusus yangsulit dalam pemecahannya dan banyak digunakan dalammenyelesaikan permasalahan di bidang fisika maupunteknik. 3. Pada dasarnya dapat didefinisikan pada bidang real dankompleks dengan beberapa syarat tertentu. Fungsi gamma dinyatakan oleh г (x)yang didefenisikan sebagai berikut ini: Г(x) = 0 rr xx 1 ee rr dddd (E.1) x dan r adalah bilangan real. Rumus ini merupakan integral yang konvergen untuk x > 0. Rumus rekursif untuk fungsi gamma adalah: г(x+1) = xг(x) (E.2) melalui persamaan (E.2) dapat ditentukan harga г(x) untuk semua x>0 bila nilai nilai untuk 1 xx 2. Jika x adalah bilangan bulat maka: г(x+1) = x! jika di kombinasikan persamaan (E.1) dan persamaan (E.2) maka diperoleh bentuk:

23 68 Г(x) = г(x+1) xx (E.3) Sifat dasar fungsi gamma real a. Г(x) tidak terdefenisi untuk setiap x = 0 atau bilangan bulat negatif Pembuktian: Dari persamaan (E.1) dengan x = 0, diperoleh: Г(0) = 0 rr 1 ee rr dddd Bukti tersebut merupakan integral divergen sehingga Г(0) tidak terdefinisi. Untuk x = n bilangan bulat negatif dan dengan mensubstitusikan x kedalam persamaan (E.3), maka diperoleh: Г(n) = Г(0) nn(nn+1)(nn+2) ( 2)( 1) (E.4) Karena Г(0) tidak terdefinisi, maka Г(n) tidak terdefenisi pula untuk n bilangan bulat negatif. Jika n besar dan merupakan bilangan bulat maka ditulis:

24 69 n! ~ 2ππnn nn. ee nn (E.5) bentuk ini dinamakan aproksimasi faktorial Stirling.

25 70 LAMPIRAN F PERIODE OSILATOR NONLINEAR Sebuah partikel dengan massa m yang pada hakekatnya berosilasi secara nonlinear dibawah pengaruh fungsi energi potensial memberikan: V(x) = Ax n (F.1) (Dimana A adalah konstanta positif dan n adalah sebuah bilangan bulat genap yang lebih besar atau sama dengan 4). Sistem ini, tentu saja konservatif, sehingga diperoleh: 1 2 mmẋ2 + VV(xx) = EE (F.2) Dimana total Energi selalu konstan positif sehingga persamaan (K.2) dapat dituliskan sebagai berikut: dddd = ±( mm 2EE )1 2. dddd 1 VV (xx) EE (F.3) Untuk memperoleh nilai periode osilasi maka persamaan (K.3) kita integrasikan sehingga diperoleh: T = 4( mm 2EE )1/2 AA dddd 0 1 bbbb nn /EE (F.4) Dimana A adalah Amplitudo osilasi yang berhubungan dengan nilai Energi total E= ba n lalu substitusikan nilai x = ( EE bb )1 nn. SSSSSS 2 nn θθ (F.5)

26 71 Sehingga persamaan (F.4) menjadi: T = 8 nn. ( mm 2EE )1 2. ( EE bb )1 nn ππ/2 0 SSSSSS 2llll 1 θθ dddd (F.6) Setelah mengintegrasikan persamaan (K.6), maka diperoleh T dalam bentuk yang lebih ssederhana sebagai berikut ini: T = 4( ππππ 2 )1/2. ( EE1 nn /2 AA ) 1/nn. г( 1 nn +1) г( 1 nn +1 2 )(F.7) Dimana pada persamaan (K.7) ini kita menggunakan bentuk identitas dari fungsi gamma (г) sebagai berikut ini: Г(z+1) = z г(z) (F.8) Jika kita substitusi syarat syarat dari amplitude untuk total energi, maka diperoleh bentuk periode sebagai berikut ini: TT = 2 2ππ. г( 1 nn +1) г( 1 nn +1 2 ). AA1 nn/2 mm bb (F.9) Dengan n > 0 Persamaan (F.9) ini merupakan periode osilasi dari osilator yang terdapat dalam energy potensial pada persamaan (F.1).dalam persamaan ini, n tidak perlu harus merupakan bilangan bulat. Persamaan (F.9) menunjukkan bahwa periode dan frekuensi osilasi tidak bergantung pada amplitude dan energi total nya hanya jika n = 2 (merupakan osilator harmonik sederhana). Dalam hal ini, dengan b = k/2 maka persamaan (F.9) mengurangi nilai periode osilasi sistem massa pegas, T = 2л mm kk. meskipun setiap osilator linear memiliki sebuah periode yang tidak bergantung amplitude, namun itu tidak benar. Karena hal itu akan mengakibatkan osilator nonlinear.

27 72 LAMPIRAN G LISTING PROGRAM MATLAB FUNGSI GELOMBANG OSILATOR ANHARMONIK clear; clc; disp('plot Grafik'); disp(' '); xmin=input('masukkan x minimum = '); xmax=input('masukkan x maksimum = '); x=xmin:0.1:xmax; y1=zeros(1, length(x)); y2=zeros(1, length(x)); y3=zeros(1, length(x)); y4=zeros(1, length(x)); y5=zeros(1, length(x)); y6=zeros(1, length(x)); for i=1:length(y1) y1(i)=2.7^- (x(i)^2/2)*(1+(x(i)^4)*(faktorial(2)/faktorial(4)+(1/faktorial(6))*(faktorial(4)(fakt orial(4)/faktorial(2))*2*0-2^2*(4-2))*x(i)^2)); end for i=1:length(y2)

28 73 y2(i)=2.7^- (x(i)^2/2)*(2*x(i)+(x(i)^5)*(faktorial(3)/faktorial(5)+(1/faktorial(1))*(faktorial(5) (faktorial(5)/faktorial(3))*2*(1-1)-faktorial(3)*2*(5-1))*x(i)^2)); end for i=1:length(y3) y3(i)=2.7^- (x(i)^2/2)*(((4*x(i)^2)2)+(x(i)^4)*(faktorial(2)/faktorial(4)+(1/faktorial(6))*(fakt orial(4)(faktorial(4)/faktorial(2))*2*(-2)-2^2*(4-2))*x(i)^2)); end for i=1:length(y4) y4(i)=2.7^-(x(i)^2/2)*((8*x(i)^3-12*x(i))+(x(i)^5)*(- faktorial(3)/faktorial(5)+(1/faktorial(1))*(faktorial(5)- (faktorial(5)/faktorial(3))*2*(1-3) faktorial(3)*2*(5-3))*x(i)^2)); end for i=1:length(y5) y5(i)=2.7^-(x(i)^2/2)*((16*x(i)^4-48*x(i)^2+12)+(x(i)^4)*(- faktorial(2)/faktorial(4)+(1/faktorial(6))*(faktorial(4)- (faktorial(4)/faktorial(2))*2*(-4)-2^2*(4-4))*x(i)^2)); end for i=1:length(y6) y6(i)=2.7^-(x(i)^2/2)*((32*x(i)^5-160*x(i)^3+120*x(i))+(x(i)^5)*(- faktorial(3)/faktorial(5)+(1/faktorial(1))*(faktorial(5)- (faktorial(5)/faktorial(3))*2*(1-5)-faktorial(3)*2*(5-5))*x(i)^2)); end subplot(3,2,1) plot(x,y1)

29 74 title('grafik n=0') subplot(3,2,2) plot(x,y2) title('grafik n=1') subplot(3,2,3) plot(x,y3) title('grafik n=2') subplot(3,2,4) plot(x,y4) title('grafik n=3') subplot(3,2,5) plot(x,y5) title('grafik n=4') subplot(3,2,6) plot(x,y6) title('grafik n=5')

30 75 LAMPIRAN H GAMBAR OSILATOR ANHARMONIK

31 76 LAMPIRAN I GAMBAR OSILATOR HARMONIK

32 77 LAMPIRAN J GAMBAR OSILATOR ANHARMONIK VS OSILATOR HARMONIK

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga MATERI PERKULIAHAN 3. Potensial Tangga Tinjau suatu partikel bermassa m, bergerak dari kiri ke kanan pada suatu daerah dengan potensial berbentuk tangga, seperti pada Gambar 1. Pada daerah < potensialnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dikemukakan teori-teori yang mendukung pembahasan penyelesaian persamaan diferensial linier tak homogen dengan menggunakan metode fungsi green antara lain: persamaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini, akan diuraikan definisi-definisi dan teorema-teorema yang

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini, akan diuraikan definisi-definisi dan teorema-teorema yang BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini, akan diuraikan definisi-definisi dan teorema-teorema yang akan digunakan sebagi landasan pembahasan untuk bab III. Materi yang akan diuraikan antara lain persamaan diferensial,

Lebih terperinci

= (2) Persamaan (2) adalah persamaan diferensial orde dua dengan akar-akar bilangan kompleks yang berlainan, solusinya adalah () =sin+cos (3)

= (2) Persamaan (2) adalah persamaan diferensial orde dua dengan akar-akar bilangan kompleks yang berlainan, solusinya adalah () =sin+cos (3) 2. Osilator Harmonik Pada mekanika klasik, salah satu bentuk osilator harmonik adalah sistem pegas massa, yaitu suatu beban bermassa m yang terikat pada salah satu ujung pegas dengan konstanta pegas k.

Lebih terperinci

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB IV OSILATOR HARMONIS Tinjauan Secara Mekanika Klasik BAB IV OSILATOR HARMONIS Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. F () =

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II.A.1 Matriks didefinisikan sebagai susunan persegi panjang dari bilangan-bilangan yang diatur dalam baris dan kolom. Contoh II.A.1: 9 5

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi kebergantungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi kebergantungan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Differential Equation Fungsi mendeskripsikan bahwa nilai variabel y ditentukan oleh nilai variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aljabar dapat didefinisikan sebagai manipulasi dari simbol-simbol. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aljabar dapat didefinisikan sebagai manipulasi dari simbol-simbol. Secara 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aljabar Definisi II.A.: Aljabar (Wahyudin, 989:) Aljabar dapat didefinisikan sebagai manipulasi dari simbol-simbol. Secara historis aljabar dibagi menjadi dua periode waktu,

Lebih terperinci

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK UJI KONVERGENSI Januari 208 Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK Uji Integral Teorema 3 Jika + k= u k adalah deret dengan suku-suku tak negatif, dan jika ada suatu konstanta M sedemikian hingga s n = u + u 2 +

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Turunan Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada sebarang bilangan c adalah asalkan limit ini ada. Jika limit ini memang ada, maka dikatakan

Lebih terperinci

Daftar Isi 5. DERET ANALISIS REAL. (Semester I Tahun ) Hendra Gunawan. Dosen FMIPA - ITB September 26, 2011

Daftar Isi 5. DERET ANALISIS REAL. (Semester I Tahun ) Hendra Gunawan. Dosen FMIPA - ITB   September 26, 2011 (Semester I Tahun 2011-2012) Dosen FMIPA - ITB E-mail: hgunawan@math.itb.ac.id. September 26, 2011 Diberikan sejumlah terhingga bilangan a 1,..., a N, kita dapat menghitung jumlah a 1 + + a N. Namun,

Lebih terperinci

MEKANIKA KUANTUM DALAM TIGA DIMENSI

MEKANIKA KUANTUM DALAM TIGA DIMENSI MEKANIKA KUANTUM DALAM TIGA DIMENSI Sebelumnya telah dibahas mengenai penerapan Persamaan Schrödinger dalam meninjau sistem kuantum satu dimensi untuk memperoleh fungsi gelombang serta energi dari sistem.

Lebih terperinci

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1 Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB Deret Tak Hingga Pada bagian ini akan dibicarakan penjumlahan berbentuk a +a 2 + +a n + dengan a n R Sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu pengertian barisan

Lebih terperinci

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D Keadaan Stasioner Pada pembahasan sebelumnya mengenai fungsi gelombang, telah dijelaskan bahwa potensial dalam persamaan

Lebih terperinci

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga Kesumawati Prodi Statistika FMIPA-UII April 29, 2015 Akar Barisan a 1, a 2, a 3, a 4,... adalah susunan bilangan-bilangan real yang teratur, satu untuk setiap bilangan bulat positif. adalah fungsi yang

Lebih terperinci

SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL FRAKSIONAL LINIER HOMOGEN DENGAN METODE MITTAG-LEFFLER. Helfa Oktafia Afisha, Yuni Yulida *, Nurul Huda

SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL FRAKSIONAL LINIER HOMOGEN DENGAN METODE MITTAG-LEFFLER. Helfa Oktafia Afisha, Yuni Yulida *, Nurul Huda SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL FRAKSIONAL LINIER HOMOGEN DENGAN METODE MITTAG-LEFFLER Helfa Oktafia Afisha, Yuni Yulida *, Nurul Huda Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan. Definisi. Barisan tak hingga adalah suatu fungsi dengan daerah asalnya himpunan bilangan bulat positif dan daerah kawannya himpunan bilangan real. Notasi untuk

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya 1 BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya Perhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu yaitu: d + V (x) ( x) E( x) m dx d ( x) m + (E V(x) ) ( x) 0 dx (3-1) (-4) Suku-suku

Lebih terperinci

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L) DERET FOURIER Bila f adalah fungsi periodic yang berperioda p, maka f adalah fungsi periodic. Berperiode n, dimana n adalah bilangan asli positif (+). Untuk setiap bilangan asli positif fungsi yang didefinisikan

Lebih terperinci

CURVE FITTING. Risanuri Hidayat, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM,

CURVE FITTING. Risanuri Hidayat, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM, CURVE FITTING Risanuri Hidayat, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT UGM, 1.1 INTERPOLASI LINEAR Fungsi linear dinyatakan persamaan sebagai berikut, ff(xx) = AAAA + BB (1) Ketika data-data

Lebih terperinci

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan.

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. Kriteria apa saa yang dapat digunakan untuk menentukan properti

Lebih terperinci

METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR ABSTRACT

METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR ABSTRACT METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR Birmansyah 1, Khozin Mu tamar 2, M. Natsir 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika

Lebih terperinci

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Pada bab ini akan dibahas pengaruh dasar laut tak rata terhadap perambatan gelombang permukaan secara analitik. Pengaruh dasar tak rata ini akan ditinjau melalui simpangan

Lebih terperinci

Definisi 1 Deret Tak Hingga adalah suatu ekspresi yang dapat dinyatakan dalam bentuk:

Definisi 1 Deret Tak Hingga adalah suatu ekspresi yang dapat dinyatakan dalam bentuk: DERET TAK HINGGA Definisi 1 Deret Tak Hingga adalah suatu ekspresi yang dapat dinyatakan dalam bentuk: u k = u 1 + u 2 + u 3 + + u k + Bilangan-bilangan u 1, u 2, u 3, disebut suku-suku dalam deret tersebut.

Lebih terperinci

PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA Persamaan Diferensial Biasa 1. PDB Tingkat Satu (PDB) 1.1. Persamaan diferensial 1.2. Metode pemisahan peubah dan PD koefisien fungsi homogen 1.3. Persamaan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI ABSTRACT

PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI ABSTRACT PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI Febrian Lisnan, Asmara Karma 2 Mahasiswa Program Studi S Matematika 2 Dosen Jurusan Matematika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Deret Binomial. Ayundyah Kesumawati. June 25, Prodi Statistika FMIPA-UII. Ayundyah (UII) Deret Binomial June 25, / 14

Deret Binomial. Ayundyah Kesumawati. June 25, Prodi Statistika FMIPA-UII. Ayundyah (UII) Deret Binomial June 25, / 14 Deret Binomial Ayundyah Kesumawati Prodi Statistika FMIPA-UII June 25, 2015 Ayundyah (UII) Deret Binomial June 25, 2015 1 / 14 Pendahuluan Deret Binomial Kita telah mengenal Rumus Binomial. Untuk bilangan

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

MODUL RESPONSI MAM 4222 KALKULUS IV

MODUL RESPONSI MAM 4222 KALKULUS IV MODUL RESPONSI MAM 4222 KALKULUS IV Mata Kuliah Wajib 2 sks untuk mahasiswa Program Studi Matematika Oleh Dr. WURYANSARI MUHARINI KUSUMAWINAHYU, M.Si. PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world Catatan Kuliah MA20 KALKULUS 2A Do maths and you see the world disusun oleh Khreshna I.A. Syuhada, MSc. PhD. Kelompok Keilmuan STATISTIKA - FMIPA Institut Teknologi Bandung 203 Catatan kuliah ini ditulis

Lebih terperinci

Pertemuan ke-10: UJI PERBANDINGAN, DERET BERGANTI TANDA, KEKONVERGENAN MUTLAK, UJI RASIO, DAN UJI AKAR

Pertemuan ke-10: UJI PERBANDINGAN, DERET BERGANTI TANDA, KEKONVERGENAN MUTLAK, UJI RASIO, DAN UJI AKAR Pertemuan ke-0: UJI PERBANDINGAN, DERET BERGANTI TANDA, KEKONVERGENAN MUTLAK, UJI RASIO, DAN UJI AKAR Departemen Matematika FMIPA IPB Bogor, 205 (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus II Bogor, 205

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON Rif ati Dina Handayani 1 ) Abstract: Suatu partikel yang bergerak dengan momentum p, menurut hipotesa

Lebih terperinci

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Pendahuluan Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat diferensial Kita akan membahas tentang Persamaan Diferensial Biasa yaitu

Lebih terperinci

Teknik pengintegralan: Integral fungsi pecah rasional (bagian 1)

Teknik pengintegralan: Integral fungsi pecah rasional (bagian 1) Teknik pengintegralan: Integral fungsi pecah rasional (bagian 1) Kalkulus 2 Nanang Susyanto Departemen Matematika FMIPA UGM 07 Februari 2017 NS (FMIPA UGM) Teknik pengintegralan 07/02/2017 1 / 8 Pemeran-pemeran

Lebih terperinci

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas PAM 454 KAPITA SELEKTA MATEMATIKA TERAPAN II Semester Ganjil 2016/2017 Review Teori Dasar Terkait

Lebih terperinci

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1 By : Suthami A MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK Matematika sebagai ilmu dasar yang digunakan sebagai alat pemecahan masalah di bidang keteknikan

Lebih terperinci

Fungsi Gamma. Pengantar Matematika Teknik Kimia. Muthia Elma

Fungsi Gamma. Pengantar Matematika Teknik Kimia. Muthia Elma Fungsi Gamma Pengantar Matematika Teknik Kimia Muthia Elma Fungsi Gamma Defenisi Merupakan salah satu fungsi khusus yang biasanya disajikan dalam pembahasan kalkulus tingkat lanjut Dalam aplikasinya fungsi

Lebih terperinci

FUNGSI BESSEL. 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial.

FUNGSI BESSEL. 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial. FUNGSI BESSEL 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial. x 2 y ''+xy'+(x 2 - n 2 )y = 0, n ³ 0 (1) yang dinamakan persamaan diferensial Bessel. Penyelesaian

Lebih terperinci

BARISAN BILANGAN REAL

BARISAN BILANGAN REAL BAB 2 BARISAN BILANGAN REAL Di sekolah menengah barisan diperkenalkan sebagai kumpulan bilangan yang disusun menurut pola tertentu, misalnya barisan aritmatika dan barisan geometri. Biasanya barisan dan

Lebih terperinci

BAB IV DERET FOURIER

BAB IV DERET FOURIER BAB IV DERET FOURIER 4.1 Fungsi Periodik Fungsi f(x) dikatakan periodik dengan perioda P, jika untuk semua harga x berlaku: f (x + P) = f (x) ; P adalah konstanta positif. Harga terkecil dari P > 0 disebut

Lebih terperinci

DERET TAK HINGGA. Contoh deret tak hingga :,,, atau. Barisan jumlah parsial, dengan. Definisi Deret tak hingga,

DERET TAK HINGGA. Contoh deret tak hingga :,,, atau. Barisan jumlah parsial, dengan. Definisi Deret tak hingga, DERET TAK HINGGA Contoh deret tak hingga :,,, atau. Barisan jumlah parsial, dengan Definisi Deret tak hingga,, konvergen dan mempunyai jumlah S, apabila barisan jumlah jumlah parsial konvergen menuju S.

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

Rangkuman Suku Banyak

Rangkuman Suku Banyak Rangkuman Suku Banyak Oleh: Novi Hartini Pengertian Suku banyak Perhatikan bentuk aljabar dibawah ini i. Suku banyak xx 2 + 4xx + 9 berderajat 2, sebab pangkat tertinggi peubah x adalah 2 ii. Suku banyak

Lebih terperinci

INTISARI KALKULUS 2. Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Open Source. Not For Commercial Use

INTISARI KALKULUS 2. Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Open Source. Not For Commercial Use INTISARI KALKULUS 2 Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Program Studi Matematika - FMIPA Institut Teknologi Bandung Januari 200 Pengantar Kalkulus & 2 merupakan matakuliah wajib tingkat pertama bagi semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Persamaan Schrödinger Persamaan Schrödinger merupakan fungsi gelombang yang digunakan untuk memberikan informasi tentang perilaku gelombang dari partikel. Suatu persamaan differensial

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RUNGE-KUTTA ORDE-4 KUTTA BERDASARKAN RATA-RATA HARMONIK TUGAS AKHIR. Oleh : EKA PUTRI ARDIANTI

MODIFIKASI METODE RUNGE-KUTTA ORDE-4 KUTTA BERDASARKAN RATA-RATA HARMONIK TUGAS AKHIR. Oleh : EKA PUTRI ARDIANTI MODIFIKASI METODE RUNGE-KUTTA ORDE-4 KUTTA BERDASARKAN RATA-RATA HARMONIK TUGAS AKHIR Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Jurusan Matematika Oleh : EKA PUTRI ARDIANTI

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG. Persamaan Schrödinger

FUNGSI GELOMBANG. Persamaan Schrödinger Persamaan Schrödinger FUNGSI GELOMBANG Kuantitas yang diperlukan dalam mekanika kuantum adalah fungsi gelombang partikel Ψ. Jika Ψ diketahui maka informasi mengenai kedudukan, momentum, momentum sudut,

Lebih terperinci

Mekanika Kuantum dalam Koordinat Bola dan Atom Hidrogen

Mekanika Kuantum dalam Koordinat Bola dan Atom Hidrogen Mekanika Kuantum dalam Koordinat Bola dan Atom Hidrogen David J. Griffiths diterjemahkan dari Introduction to Quantum Mechanics Edisi 2) physics.translation@gmail.com Persamaan Schrödinger dalam Koordinat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II. A. 1 Matriks didefinisikan sebagai susunan segi empat siku- siku dari bilangan- bilangan yang diatur dalam baris dan kolom (Anton, 1987:22).

Lebih terperinci

Dwi Lestari, M.Sc: Konvergensi Deret 1. KONVERGENSI DERET

Dwi Lestari, M.Sc: Konvergensi Deret   1. KONVERGENSI DERET 1. KONVERGENSI DERET Suatu barisan disebut konvergen jika terdapat bilangan Z yang setiap lingkungannya memuat semua. Jika bilangan Z itu ada maka dapat ditulis: lim sehingga dapat dikatakan bahwa barisan

Lebih terperinci

Dari contoh di atas fungsi yang tak diketahui dinyatakan dengan y dan dianggap

Dari contoh di atas fungsi yang tak diketahui dinyatakan dengan y dan dianggap BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persamaan Diferensial Definisi 2.1 Persamaan diferensial Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang memuat variabel bebas, variabel tak bebas, dan derivatif-derivatif

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SOLUSI NUMERIK INTEGRAL LIPAT DUA PADA FUNGSI FUZZY DENGAN METODE ROMBERG DAN SIMULASI MONTE CARLO

PERBANDINGAN SOLUSI NUMERIK INTEGRAL LIPAT DUA PADA FUNGSI FUZZY DENGAN METODE ROMBERG DAN SIMULASI MONTE CARLO PERBANDINGAN SOLUSI NUMERIK INTEGRAL LIPAT DUA PADA FUNGSI FUZZY DENGAN METODE ROMBERG DAN SIMULASI MONTE CARLO Ermawati i, Puji Rahayu ii,, Faihatus Zuhairoh iii i Dosen Jurusan Matematika FST UIN Alauddin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Beda Hingga Metode perbedaan beda hingga adalah metode yang sangat popular. Pada intinya metode ini mengubah masalah Persamaan Differensial Biasa (PDB) nilai batas dari

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. genetik (genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam

BAB III PEMBAHASAN. genetik (genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam BAB III PEMBAHASAN A. Formulasi Model Matematika Secara umum virus merupakan partikel yang tersusun atas elemen genetik (genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA)

Lebih terperinci

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Matakuliah: Fisika Matematika DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Di S U S U N Oleh : Kelompok VI DEWI RATNA PERTIWI SITEPU (8176175004) RIFKA ANNISA GIRSANG (8176175014) PENDIDIKAN FISIKA REGULER

Lebih terperinci

Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan

Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan 4 BARISAN TAK HINGGA DAN DERET TAK HINGGA JUMLAH PERTEMUAN : 5 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS : Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan kekonvergenan

Lebih terperinci

2 BARISAN BILANGAN REAL

2 BARISAN BILANGAN REAL 2 BARISAN BILANGAN REAL Di sekolah menengah barisan diperkenalkan sebagai kumpulan bilangan yang disusun menurut "pola" tertentu, misalnya barisan aritmatika dan barisan geometri. Biasanya barisan dan

Lebih terperinci

KALKULUS BAB II FUNGSI, LIMIT, DAN KEKONTINUAN. DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA Universitas Indonesia

KALKULUS BAB II FUNGSI, LIMIT, DAN KEKONTINUAN. DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA Universitas Indonesia KALKULUS BAB II FUNGSI, LIMIT, DAN KEKONTINUAN DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA Universitas Indonesia BAB II. FUNGSI, LIMIT, DAN KEKONTINUAN Fungsi dan Operasi pada Fungsi Beberapa Fungsi Khusus Limit dan Limit

Lebih terperinci

Husna Arifah,M.Sc : Persamaan Bessel: Fungsi-fungsi Besel jenis Pertama

Husna Arifah,M.Sc : Persamaan Bessel: Fungsi-fungsi Besel jenis Pertama Bentuk umum PD Bessel : x 2 y"+xy' +(x 2 υ 2 )y =...() Kita asumsikan bahwa parameter υ dalam () adalah bilangan riil dan tak negatif. Penyelesaian PD mempunyai bentuk : y(x) = x r m = a m x m = a m xm

Lebih terperinci

Modul KALKULUS MULTIVARIABEL II

Modul KALKULUS MULTIVARIABEL II Modul KALKULUS MULTIVARIABEL II Oleh Ayundyah Kesumawati, S.Si., M.Si. (Program Studi Statistika) FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 26 Daftar Isi Daftar Isi iv Daftar

Lebih terperinci

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Oleh Hendra Gunawan, Ph.D. Departemen Matematika ITB Sasaran Belajar Setelah mempelajari materi Kalkulus Elementer I, mahasiswa diharapkan memiliki (terutama):

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 21 Pengertian Regresi Linier Pengertian Regresi secara umum adalah sebuah alat statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (model) antara dua variabel atau lebih Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persamaan Diferensial Parsial (PDP) digunakan oleh Newton dan para ilmuwan pada abad ketujuhbelas untuk mendeskripsikan tentang hukum-hukum dasar pada fisika.

Lebih terperinci

Bab 16. LIMIT dan TURUNAN. Motivasi. Limit Fungsi. Fungsi Turunan. Matematika SMK, Bab 16: Limit dan Turunan 1/35

Bab 16. LIMIT dan TURUNAN. Motivasi. Limit Fungsi. Fungsi Turunan. Matematika SMK, Bab 16: Limit dan Turunan 1/35 Bab 16 Grafik LIMIT dan TURUNAN Matematika SMK, Bab 16: Limit dan 1/35 Grafik Pada dasarnya, konsep limit dikembangkan untuk mengerjakan perhitungan matematis yang melibatkan: nilai sangat kecil; Matematika

Lebih terperinci

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Uji Deret Positif. Ayundyah. Uji Integral. Uji Komparasi. Uji Rasio.

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Uji Deret Positif. Ayundyah. Uji Integral. Uji Komparasi. Uji Rasio. Uji Uji Deret Kesumawati Prodi Statistika FMIPA-UII April 29, 2015 Uji Deret Uji Deret yang mempunyai suku-suku positif menjadi bahasan pada uji integral ini. Uji integral ini menggunakan ide dimana suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa teori dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab III. Beberapa teori dasar yang dibahas, diantaranya teori umum tentang persamaan

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 BAB II LANDASAN TEORI

Gambar 1.1 BAB II LANDASAN TEORI 9 Gambar 1.1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Probabilitas Dasar Andrei Kolgomorov (193-1987) meletaan landasan matematis teori peobabilitas dan teori acak. Dalam tulisaya, Kolgomorov menggunakan teori probabilitas

Lebih terperinci

PENGANTAR ANALISIS REAL

PENGANTAR ANALISIS REAL Seri Analisis dan Geometri No. 1 (2009), -15 158 (173 hlm.) PENGANTAR ANALISIS REAL Oleh Hendra Gunawan Edisi Pertama Bandung, Januari 2009 2000 Dewey Classification: 515-xx. Kata Kunci: Analisis matematika,

Lebih terperinci

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI MODUL MATEMATIKA II Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI DEPARTEMEN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL KATA PENGANTAR Puji sukur kehadirat Allah SWT

Lebih terperinci

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA Tujuan Pembelajaran Umum: 1 Mahasiswa mampu memahami konsep dasar persamaan diferensial 2 Mahasiswa mampu menggunakan konsep dasar persamaan diferensial untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

APLIKASI METODE STATE FEEDBACK LINEARIZATION PADA SISTEM KENDALI GERAK KAPAL

APLIKASI METODE STATE FEEDBACK LINEARIZATION PADA SISTEM KENDALI GERAK KAPAL JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (13) 1-6 1 APLIKASI METODE STATE FEEDBACK LINEARIZATION PADA SISTEM KENDALI GERAK KAPAL Dwi Ariyani Khalimah, DR. Erna Apriliani, M.Si Jurusan Matematika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

HAND OUT FISIKA KUANTUM MEKANISME TRANSISI DAN KAIDAH SELEKSI

HAND OUT FISIKA KUANTUM MEKANISME TRANSISI DAN KAIDAH SELEKSI HAND OUT FISIKA KUANTUM MEKANISME TRANSISI DAN KAIDAH SELEKSI Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fisika Kuantum Dosen Pengampu: Drs. Ngurah Made Darma Putra, M.Si., PhD Disusun oleh kelompok 8:.

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD-045315 Mingg u Ke Pokok Bahasan dan TIU Sub-pokok Bahasan dan Sasaran Belajar Cara Pengajaran Media Tugas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. Besaran merupakan frekuensi sudut, merupakan amplitudo, merupakan konstanta fase, dan, merupakan konstanta sembarang.

II LANDASAN TEORI. Besaran merupakan frekuensi sudut, merupakan amplitudo, merupakan konstanta fase, dan, merupakan konstanta sembarang. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teori-teori yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Teori-teori tersebut meliputi osilasi harmonik sederhana yang disarikan dari [Halliday,1987],

Lebih terperinci

Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 2014 Vol. 8 No. 1 METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR

Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 2014 Vol. 8 No. 1 METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 204 Vol. 8 No. METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR Bayu Prihandono, Meilyna Habibullah, Evi Noviani Program Studi

Lebih terperinci

BAB 3 REVIEW SIFAT-SIFAT STATISTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK

BAB 3 REVIEW SIFAT-SIFAT STATISTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK BAB 3 REVIEW SIFAT-SIFAT STATISTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK 3. Perumusan Penduga Misalkan N adalah proses Poisson non-homogen pada interval 0, dengan fungsi intensitas yang tidak diketahui. Fungsi intensitas

Lebih terperinci

Chap 7. Gas Fermi Ideal

Chap 7. Gas Fermi Ideal Chap 7. Gas Fermi Ideal Gas Fermi pada Ground State Distribusi Fermi Dirac pada kondisi Ground State (T 0) memiliki perilaku: n p = e β ε p μ +1 1 ε p < μ 1 0 jika ε p > μ Hasil ini berarti: Seluruh level

Lebih terperinci

Bab 2 Fungsi Analitik

Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 ini direncanakan akan disampaikan dalam 4 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: () Pertemuan I: Fungsi Kompleks dan Pemetaan. (2) Pertemuan II: Limit Fungsi, Kekontiuan,

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. VI, No. 2 (2016), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. VI, No. 2 (2016), Hal ISSN : Penentuan Energi Keadaan Dasar Osilator Kuantum Anharmonik Menggunakan Metode Kuantum Difusi Monte Carlo Nurul Wahdah a, Yudha Arman a *,Boni Pahlanop Lapanporo a a JurusanFisika FMIPA Universitas Tanjungpura,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN TES KEMAMPUAN DASAR SAINS DAN TEKNOLOGI SBMPTN 2013 KODE 431

PEMBAHASAN TES KEMAMPUAN DASAR SAINS DAN TEKNOLOGI SBMPTN 2013 KODE 431 PEMBAHASAN TES KEMAMPUAN DASAR SAINS DAN TEKNOLOGI SBMPTN 203 KODE 43. Persamaan lingkaran dengan pusat (,) dan menyinggung garis 3xx 4yy + 2 0 adalah Sebelum menentukan persamaan lingkarannya, kita tentukan

Lebih terperinci

PERKIRAAN SELANG KEPERCAYAAN UNTUK PARAMETER PROPORSI PADA DISTRIBUSI BINOMIAL

PERKIRAAN SELANG KEPERCAYAAN UNTUK PARAMETER PROPORSI PADA DISTRIBUSI BINOMIAL PERKIRAAN SELANG KEPERCAYAAN UNTUK PARAMETER PROPORSI PADA DISTRIBUSI BINOMIAL Jainal, Nur Salam, Dewi Sri Susanti Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Persamaan linear tingkat tinggi menarik untuk dibahas dengan 2 alasan :

BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Persamaan linear tingkat tinggi menarik untuk dibahas dengan 2 alasan : BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Bentuk Persamaan Linear Tingkat Tinggi : ( ) Diasumsikan adalah kontinu (menerus) pada interval I. Persamaan linear tingkat tinggi

Lebih terperinci

METODA NUMERIK (3 SKS)

METODA NUMERIK (3 SKS) METODA NUMERIK (3 SKS) Dosen Dr. Julan HERNADI Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo Masa Perkuliahan Semester Ganjil 2013/2014 Deskripsi dan Tujuan Perkuliahan Mata kuliah ini berisi

Lebih terperinci

matematika PEMINATAN Kelas X PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN K13 A. PERSAMAAN EKSPONEN BERBASIS KONSTANTA

matematika PEMINATAN Kelas X PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN K13 A. PERSAMAAN EKSPONEN BERBASIS KONSTANTA K1 Kelas X matematika PEMINATAN PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami bentuk-bentuk persamaan

Lebih terperinci

Soal 1: Alinemen Horisontal Tikungan Tipe S-C-S

Soal 1: Alinemen Horisontal Tikungan Tipe S-C-S (Oct 4, 01) Soal 1: Alinemen Horisontal Tikungan Tipe S-C-S Suatu tikungan mempunyai data dasar sbb: Kecepatan Rencana (V R ) : 40 km/jam Kemiringan melintang maksimum (e max ) : 10 % Kemiringan melintang

Lebih terperinci

LIMIT DAN KEKONTINUAN

LIMIT DAN KEKONTINUAN LIMIT DAN KEKONTINUAN Departemen Matematika FMIPA IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus I Bogor, 2012 1 / 37 Topik Bahasan 1 Limit Fungsi 2 Hukum Limit 3 Kekontinuan Fungsi (Departemen

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN STRUKTUR RANGKA KENDARAAN HYBRID RODA TIGA

RANCANG BANGUN STRUKTUR RANGKA KENDARAAN HYBRID RODA TIGA 1 RANCANG BANGUN STRUKTUR RANGKA KENDARAAN HYBRID RODA TIGA Agil Erbiansyah dan Prof. Ir. I Nyoman Sutantra M.Sc.,Ph.D. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk tesis ini, yang selanjutnya akan di perlukan pada Bab 3. Tinjauan pustaka yang dibahas adalah mengenai yang mendukung

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

Berapakah nilai a? a. 25. d. 25 b. 15. e. 15 c. 10. Penyelesaian: Berarti bahwa 1, 3, 5, 7 dan 9 adalah akar-akar persamaan polinomial g(x) = 0.

Berapakah nilai a? a. 25. d. 25 b. 15. e. 15 c. 10. Penyelesaian: Berarti bahwa 1, 3, 5, 7 dan 9 adalah akar-akar persamaan polinomial g(x) = 0. KOMPETISI MATEMATIKA 07 TINGKAT SMA SE-SULUT SOLUSI BABAK SEMI FINAL Rabu, Februari 07 . Misalkan f(x) = x 5 + ax 4 + bx 3 + cx + dx + c dan f() = f(3) = f(5) = f(7) = f(9). Berapakah nilai a? a. 5 d.

Lebih terperinci

KEKONVERGENAN SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE SATU MENGGUNAKAN METODE ITERASI VARIASIONAL

KEKONVERGENAN SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE SATU MENGGUNAKAN METODE ITERASI VARIASIONAL KEKONVERGENAN SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE SATU MENGGUNAKAN METODE ITERASI VARIASIONAL Dita Apriliani, Akhmad Yusuf, M. Mahfuzh Shiddiq Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (1-1)

BAB I PENDAHULUAN (1-1) BAB I PENDAHULUAN Penelitian tentang analisis system fisis vibrasi molekuler yang berada dalam pengaruh medan potensial Lenard-Jones atau dikenal pula dengan potensial 6-2 sudah dilakukan. Kajian tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Laplace Salah satu cara untuk menganalisis gejala peralihan (transien) adalah menggunakan transformasi Laplace, yaitu pengubahan suatu fungsi waktu f(t) menjadi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab II ini dibahas teori-teori pendukung yang digunakan untuk pembahasan selanjutnya yaitu tentang Persamaan Nonlinier, Metode Newton, Aturan Trapesium, Rata-rata Aritmatik dan

Lebih terperinci

Pengantar Gelombang Nonlinier 1. Ekspansi Asimtotik. Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas

Pengantar Gelombang Nonlinier 1. Ekspansi Asimtotik. Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Pengantar Gelombang Nonlinier 1. Ekspansi Asimtotik Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas PAM 672 Topik dalam Matematika Terapan Semester Ganjil 2016/2017 Pendahuluan Metode perturbasi

Lebih terperinci

Herlyn Basrina, Yuni Yulida, Thresye Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat

Herlyn Basrina, Yuni Yulida, Thresye Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jurnal Matematika Murni dan Terapan εpsilon SOLUSI DARI PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA LINIER ORDE 2 DALAM BENTUK POLINOMIAL TAYLOR Herlyn Basrina, Yuni Yulida, Thresye Program Studi Matematika Fakultas MIPA

Lebih terperinci

FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL

FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL FUNGSI FAKTORIAL Definisi n e d n! Buktikan bahwa :!! e d e d e ( ) Terbukti FUNGSI Gamma Definisi ( ) p p e d ; p > Hubungan fungsi Gamma dengan fungsi Faktorial (

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci