BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan mengakibatkan perkembangan pada sektor pertambangan seperti minyak dan gas bumi, mineral keras (logam, non-logam / industri mineral, batubara, dan batu). Sektor pertambangan di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis sub-sektor, yaitu sektor minyak dan gas, dan sektor non-minyak dan gas yang terdiri dari pertambangan umum sub-sektor (logam dan Industri non-logam yang meliputi emas, perak, nikel dan sebagainya, dan pertambangan batubara). Sektor ini dianggap sebagai salah satu keharusan pilar dalam pembangunan ekonomi karena perannya dalam menyediakan sumber energi yang sangat diperlukan bagi negara (Soelistijo et al., 2015). Mineral dan energi (minyak, gas dan batu bara) merupakan komoditas yang selalu berkontribusi pada Gross Domestic Product (GDP) dari Indonesia karena sumber daya yang potensial. Sektor ini adalah sumber utama dari GDP yang merupakan keuntungan untuk pendapatan Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam (Soelistijo et al., 2015). Sektor pertambangan juga merupakan sumber penghasilan utama bagi Indonesia melalui ekspor. Ini akan tetap menjadi kontributor besar terhadap pendapatan devisa negara di tahun-tahun mendatang (Herliansyah, 2012). Menurut catatan Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu dari eksportir 1

2 2 logam timah dan batubara termal terbesar di dunia, tuan rumah untuk perusahaan tambang emas terbesar di dunia, serta salah satu tambang tembaga terbesar lima di dunia. Indonesia juga memegang cadangan minyak sebesar 3,6 miliar barel dan peringkat ke-20 di antara produsen minyak dunia,terhitung sekitar 1,1 % dari produksi minyak dunia (Soelistijo et al., 2015). Dalam empat tahun terakhir, pada umumnya kemajuan komoditas tambang Indonesia menjadi perhatian. Pada tahun 2011, Eropa mengalami krisis keuangan global dari Yunani karena kebijakan ketat mereka untuk memaksakan anggaran. Krisis keuangan global yang melanda Eropa pada 2011 memicu penurunan sektor pertambangan ekspor Indonesia antara tahun 2011 dan perlambatan ekonomi China juga mempengaruhi penurunan ekspor Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi hanya 7,7% pada tahun 2012 dibandingkan dengan 9,3% dari pertumbuhan ekonomi pada tahun Menurut data yang diperoleh dari kementerian industri, sejak krisis Eropa statistik menunjukkan bahwa angka ekspor, khususnya sektor pertambangan non migas pertambangan logam mineral dan batubara telah menurun untuk 4 tahun Situasi di 2014 tidak begitu banyak membaik dalam industri pertambangan non-migas. Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan baru yang mewajibkan semua perusahaan tambang nonmigas berhenti mengekspor semua bijih logam mentah dalam pertukaran dari produksi bahan olahan menggunakan smelter. Kebijakan baru itu diharapkan dapat meningkatkan pendapatan Indonesia

3 3 yaitu memaksa penambang untuk memproses bijih mereka sebelum mengekspor. Namun, menurut data statistik dari kementerian industri pertambangan, kebijakan ini tampaknya tidak menghasilkan tren positif karena jumlah ekspor terus menurun hingga 9,2 persen dari total ekspor barang dari gas non-minyak sektor pertambangan, yang cukup memberikan kerugian yang signifikan terhadap penerimaan negara. Para pejabat khawatir dengan kondisi krisis keuangan global dan terakhir ditambahkan dengan adanya masalah peraturan pemerintah yang baru yang menyebabkan meningkatnya defisit saat ini, dapat merusak kepercayaan investor, dan mungkin mempengaruhi nilai rupiah. Selanjutnya, lebih dari 100 perusahaan pertambangan non migas dalam kondisi kesulitan keuangan atau dipaksa untuk menutup operasi mereka di tahun Tahun 2015 telah menjadi tahun buruk. Demikian kesimpulan dari haris Laporan tahunan PricewaterhouseCoopers (PwC) di sektor pertambangan. Ini terlihat dari beberapa rekor baru yang dibukukan oleh 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia. Dalam Laporan ke-13 dari rangkaian laporan Industri PwC seperti yang diterima oleh Majalah Tambang 40 perusahaan pertambangan global terbesar mencatat kerugian bersih kolektif (US$27 miliar). Ini merupakan yang pertama dalam sejarah di mana kapitalisasi pasar turun sebesar 37%. Dan lebih dari itu penurunan ini bahkan telah secara efektif menghapus keuntungan yang diperoleh selama siklus super komoditas. Jock O Callaghan, Global Mining leader di PwC mengatakan tak diragukan lagi, tahun lalu (2015) merupakan tahun penuh tantangan bagi sektor pertambangan. Penurunan harga komoditas sebesar 25% dibandingkan tahun

4 4 sebelumnya. Ini yang mendorong perusahaan pertambangan harus berupaya keras meningkatkan produktivitas, beberapa di antaranya berjuang untuk bertahan, diikuti dengan pelepasan aset atau penutupan usaha. Meski demikian menurut Jock industri ini adalah industri yang tangguh, meskipun perusahaan pertambangan kini sedang mengalami penurunan namun jelas mereka masih bertahan. Kondisi yang demikian kemudian berimbas pada perusahaan tambang Indonesia. Di tahun 2015 tidak ada perusahaan pertambangan di Indonesia dengan kapitalisasi pasar melebihi US$4 miliar. Angka tersebut merupakan batas terendah agar dapat masuk dalam jajaran 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar. Perusahaan tambang Indonesia dalam masamasa ini selain berjuang mengatasi masalah lemahnya harga komoditi juga menurunnya permintaan dari Tiongkok dan negara berkembang lainnya. Hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan atas kinerja keuangan perusahaan pertambangan di Indonesia. Sacha Winzenried, Lead Adviser for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia menjelaskan kapitalisasi pasar keseluruhan perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia turun dari Rp 255 triliun pada tanggal 31 Desember 2014 menjadi Rp 161 triliun pada tanggal 31 Desember Penurunan sebesar 37% ini terutama dipicu oleh jatuhnya harga komoditas. Namun, pada tanggal 30 April 2016, kapitalisasi pasar perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia meningkat sebesar 23% menjadi Rp.198 triliun yang sejalan dengan kenaikan harga sejumlah komoditas selama empat

5 5 bulan pertama tahun 2016, dan perbaikan keyakinan investor terhadap sector pertambangan Indonesia mengingat tindakan yang telah dilakukan untuk mengantisipasi dampak penurunan harga komoditas. Winzenried selanjutnya mengatakan serupa dengan perusahaan pertambangan global, perusahaan pertambangan di Indonesia akan terus berfokus pada produktivitas, pengurangan biaya dan disiplin modal selama masa sulit industri ini. PwC juga menemukan beberapa hal yang disampaikannya dalam laporannya dimana para investor 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia karena keputusan investasi dan pengelolaan modal mereka yang buruk dan, dalam beberapa hal, karena menyia-nyiakan manfaat yang didapatkan dari periode mining boom. Di tempat lain perusahaan tambang mulai fokus untuk memaksimalkan nilai dengan melepas aset serta menunda proyek marginal atau mengurangi kapasitas oleh 40 perusahaan pertambangan terbesar. Sebagai buktinya, terjadi penurunan signifikan pada belanja modal yang mengisyaratkan iklim investasi yang hamper stagnan. Perusahaan tambang juga menaruh perhatian lebih besar pada pengurangan biaya mengakibatkan penurunan biaya operasi sebesar 17% di tengah peningkatan volume produksi dan rendahnya biaya masukan, sebuah prestasi yang luar biasa mengingat peningkatan produksi yang terlihat pada tahun Seperti berbagai kondisi yang dinyatakan di atas, untuk menentukan apakah perusahaan berada dalam kesulitan keuangan atau pada keadaan baik-baik

6 6 saja akan sangat penting. Karena pentingnya mengidentifikasi suatu perusahaan tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai pihak seperti pemberi pinjaman, investor, pemerintah, akuntansi, dan manajemen. Tim manajemen dapat memanfaatkan nilai Z-score sebagai indikator dalam membuat keputusan strategis penting bagi kelangsungan hidup perusahaan pertambangan di masa krisis keuangan. Investor dapat membacanya sebagai informasi yang berguna dalam menafsirkan berbagai hubungan dan tren yang dapat memberikan dasar pertimbangan prediksi masa depan apakah sektor pertambangan bisa bertahan atau tidak (Khaliq et al., 2014). Laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja serta perubahan posisi keuangan perusahaan, yang sangat berguna untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Agar informasi yang tersaji menjadi lebih bermanfaat dalam pengambilan keputusan, data keuangan harus dikonversi menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan analisis kinerja keuangan. Model yang sering digunakan dalam melakukan analisis tersebut adalah dalam bentuk rasio-rasio keuangan. Penelitian dapat menggunakan rasio-rasio keuangan yaitu penelitian penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk tujuan memprediksikan kinerja perusahaan seperti kebangkrutan dan financial distress. Financial distress merupakan kondisi keuangan yang terjadi sebelum kebangkrutan ataupun likuidasi. Menurut Atmini dan Wuryana (2005), financial

7 7 distress adalah konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Istilah umum untuk menggambarkan situasi tersebut adalah kebangkrutan, kegagalan, ketidakmampuan melunasi hutang dan default. Ketidakmampuan melunasi hutang menunjukkan kinerja negatif dan menunjukkan adanya masalah likuiditas. Default berarti suatu perusahaan melanggar perjanjian dengan kreditur dan dapat menyebabkan tindakan hukum. Adapun dampak dari financial distress itu sendiri antara lain yaitu : risiko yang terkandung dalam biaya dari financial distress berdampak negatif bagi perusahan sebagai pengganti kerugian pajak seiring dengan kenaikan hutang perusahaan, hubungan terhadap konsumen, pemasok, karyawan dan kreditor menjadi rusak karena mereka ragu akan eksistensi perusahaan, manajemen akan lebih fokus pada aliran kas jangka pendek dibandingkan kesehatan perusahaan jangka panjang, biaya tidak langsung yang terkandung pada financial distress akan lebih signifikan dibandingkan biaya langsung yang nyata seperti pembayaran untuk pengacara, dan program untuk pemulihan kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko dari financial distress antara lain: sensivitas pendapatan perusahaan terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya variabel nya, likuiditas dan kondisi pasar dari asset perusahaan, kemampuan kas terhadap bisnis perusahaan. Dengan diadakannya penelitian tentang financial distress dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasikan bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan.

8 8 Berbagai analisis dikembangkan untuk memprediksi awal kebangkrutan perusahaan. Analisis yang banyak digunakan saat ini adalah analisis diskriminan Altman, dimana analisis ini mengacu pada rasio-rasio keuangan perusahaan. Rasio menggambarkan suatu hubungan atau pertimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisa berupa ratio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan terutama apabila angka ratio pembanding yang digunakan sebagai standar (Munawir, 2007). Model Altman Z-score merupakan salah satu model analisis multivariate yang berfungsi untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan tingkat ketepatan dan keakuratan yang relatif dapat dipercaya. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan serta prediksi kebangkrutan berdasarkan hasil analisis diskriminan dengan menggunakan model Altman. Analisis diskriminan ini dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan dengan menganalisa laporan keuangan suatu perusahaan dua sampai lima tahun sebelum perusahaan tersebut diprediksi bangkrut Penelitian ini dirancang untuk menganalisis tentang kemungkinan sinyal bahaya keuangan di 28 perusahaan tambang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang terdiri dari tiga sub sektor pertambangan logam mineral, batubara, serta sektor pertambangan minyak dan gas di Indonesia. Hal ini juga rmenganalisis dari tiga sub sektor pertambangan di Indonesia tersebut mana yang

9 9 memiliki hasil Z-score yang lebih baik yang juga menunjukkan bahwa perusahaan berada dalam kondisi sehat dan tidak mengalami keuangan distress. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini berfokus pada tiga subsektor dari 28 sektor pertambangan perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia Tahun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan salah satu subsektor mineral logam pertambangan, pertambangan batu bara, dan minyak dan gas bumi yang memiliki rasio Z-score yang lebih baik. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan apakah perusahaan pertambangan yang terdaftar di saham Indonesia berada dalam situasi kesulitan keuangan atau di ambang kebangkrutan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka judul penelitian adalah Analisis Kinerja Keuangan Dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress Dengan Menggunakan Model Altman Z-Score (Studi Kasus Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun )

10 10 B. Rumusan Masalah Penelitian Dari latar belakang di atas maka masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja keuangan pada subsektor perusahan pertambangan yang diukur dengan model Altman Z-Score apakah dalam kondisi sehat, grey area atau mempunyai kecenderungan bangkrut? 2. Manakah subsektor yang mempunyai nilai Z-Score paling baik dan nilai Z- Score paling rendah? 3. Apakah nilai Z-Score berpengaruh terhadap Return on Asset (ROA)? C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis bagaimana kinerja keuangan pada subsektor perusahan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia diukur dengan model Altman Z-Score 2 Menganalisis subsektor pertambangan manakah yang mempunyai nilai Z- Score paling baik dan juga subsektor pertambangan manakah yang mempunyai nilai Z-Score paling rendah. 3. Pengaruh nilai Z-Score terhadap Return on Asset (ROA).

11 11 2. Kontribusi Penelitian Dari tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini dapat bermanfaat: 1. Bagi Perusahaan Pertambangan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan dijadikan pertimbangan oleh manajemen perusahaan pertambangan dalam menjaga kondisi keuangan perusahaan. 2. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai analilis Altman Z-Score dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan dan dapat digunakan sebagai acuan pada penelitian berikutnya dengan tema yang relevan. 3. Bagi Peneliti Sebagai sarana pengaplikasian ilmu akutansi khususnya manajemen keuangan selama perkuliahan dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Mercu Buana Jakarta.