BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptie atau cooruptus. Kata corruptie berasal dari kata Latin yang tua yaitu corrumpore. 82 Kata-kata tersebut kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti bahasa Inggris yaitu cooruption, corrupt, bahasa Perancis yaitu corruption, bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie). 83 Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio artinya penyuapan, corrumpore artinya merusak yang secara luas diartikan yaitu gejala para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan kewenangan sehingga terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. 84 Pengertian korupsi secara harfiah adalah: Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak normal, kebejatan, dan ketidakjujuran; 2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya; 3. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk misalnya: perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral; penyuapan dan bentuk ketidakjujuran; sesuatu yang dikorup seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat; pengaruh-pengaruh yang korup. 82 Lilik Mulyadi., Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal Andi Hamzah., Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal Ensiklopedia Indonesia., Jilid 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing Project, 1983), hal Lilik Mulyadi., Op. cit., hal

2 Istilah korupsi sering kali diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). KKN menjadi masalah dunia yang harus dicegah dan diberantas. Transparancy International mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi. 86 Definisi korupsi yang dinyatakan oleh Transparancy International tersebut, mengandung tiga unsur yaitu: Menyalahgunakan kekuasaan; 2. Kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3. Keuntungan pribadi yang tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga untuk anggota keluarganya dan teman-temannya. Istilah corruptio atau corruptus berarti kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan kamus yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruptio berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental, dan hukum. 88 Pengertian korupsi tersebut di atas, merupakan pengertian yang sangat sederhana dan tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar terhadap perbuatan korupsi. Pendangan dari sudut yuridis, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku 86 P. Pope., Op. cit., hal IGM. Nurdjana., Op. cit., hal Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7.

3 tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai dengan wewenang. 89 Pandangan lain mengartikan korupsi itu mengandung pengertian kecurangan, penyelewenangan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemalsuan. 90 Pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum atau tidak dan sebagai perbuatan tercela. A. Gardiner dan David J. Olson, memberikan beberapa pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu: Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi menganggap kantornya/instansinya sebagai perusahaan dagang sehingga dalam pekerjaannya diusahakan sedapat mungkin pendapatannya bertambah; 2. Rumusan yang menekankan pada titik berat jabatan pemerintah, yaitu suatu perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, dan teman); 3. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum, yaitu suatu perbuatan yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup jabatan kepentingan umum (publik); dan 4. Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya sebagai gejala sosial yang rumit. Alatas, menyoroti pendapat yang dikemukakan oleh Brooks tentang rumusan korupsi bahwa, dengan sengaja melakukan kesalahan atau kelalaian tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan M Lubis., dan Scott, J.C., Korupsi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 90 Partanto., P.A., dan Al Barry., M.D., Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 91 IGM. Nurdjana., Op. cit., hal

4 untuk memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Menurut Alatas, definisi tersebut sangat luas sehingga perlu dimodifikasi agar dapat juga mencakup nepotisme, sebab korupsi pada umumnya melibatkan orang-orang terdekat, temanteman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan keluarga. 92 Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan. Menurutnya, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu: Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh anggota organisasi; 2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan tertentu; 3. Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; 4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas, maka dapat dipahami bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Pengertian korupsi ini sering kali diartikan atau dipersamakan dengan kolusi dan nepotisme, namun, ketiga kata tersebut memiliki batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering kali menjalin satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi. 92 Sayed Hussein Alatas., Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo., H., Op. cit., hal Suyatno., Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 17.

5 B. Tindak Pidana Korupsi Dalam UUPTPK Unsur-unsur hukum dalam setiap undang-undang mengandung unsur hukum pidana materil dan formil, demikian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Unsur materil dalam UUPTPK yang mengandung tindak pidana korupsi murni merugikan keuangan negara, terdiri dari: Pasal 2 ayat (1); Pasal 3. Kedua pasal ini berkaitan dengan pasal-pasal berikut: Pasal 7 ayat (1) huruf a; Pasal 7 ayat (1) huruf c; Pasal 7 ayat (2); Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 huruf a; Pasal 12 huruf i; Pasal 12a; dan Pasal Murni Merugikan Keuangan Negara Dalam UU No.31 Tahun 1999 Tindak pidana korupsi murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, Pengawai Negeri Sipil (PNS), dan penyelenggara negara dengan secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan korupsi. 94 a. Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 94 Ermansyah Djaja., Op. cit., hal. 63.

6 Tipe tindak pidana korupsi di atas, dititikberatkan pada secara melawan hukum (wederrechtelijk), memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam ketentuan ini, kata dapat sebelum frase merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. 95 Penerapan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) secara materil dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999, bermakna diabaikannya asas legalitas atau kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yaitu, Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu terjadi. 96 Analisis unsur-unsur kepastian hukum tergambar dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana terhadap perbuatan melawan hukum secara materil yakni: harus ada suatu norma pidana tertentu yang mengandung ancaman (sanksi) dan norma hukum pidana itu harus berdasarkan undang-undang. 97 Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana ditujukan untuk melindungi manusia dari tindakan kesewenang-wenangan dari pihak tertentu. 95 Ibid., hal R. Sugandhi., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1980), hal Leden Marpaung., Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 2.

7 Sanksi terberat dalam tipe ini dapat dijatuhkan kepada pelaku yaitu pidana mati, apabila dilakukan dalam keadaan tertentu misalnya pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadinya bencana alam nasional, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan ketika negara dalam menghadapi bencana nasional. b. Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). Rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 ini apabila dikaji secara yuridis, mengandung unsur-unsur pidana sebagai berikut: 1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yanga da karena jabatan atau kedudukan; dan 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Maksud dari kata menguntungkan secara etimologi memiliki arti mendapatkan keuntungan yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran. Berarti yang dimaksudkan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sama artinya mendapatkan keuntungan untuk

8 diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Hal inilah yang menjadi tujuan dilakukannya korupsi menurut substansi Pasal 3 UU No.31 Tahun Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang sedang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan selain dari maksud diberikannya kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan, atau sarana tersebut. 99 Maksud kata merugikan adalah berarti menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot, dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan umum UU No.31 Tahun 1999 yang terdapat pada alinea ke-4 disebutkan yaitu: 100 Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. 98 Ermansjah Djaja., Op. cit., hal Ibid. 100 Ibid., hal

9 Adam Chazawi, mengatakan bahwa maksud kalimat perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 101 Tindak pidana yang diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Hal ini dimaksud agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Perumusan tersebut, melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 102 Tindak pidana korupsi dalam UU No.31 Tahun 1999 dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam UU No.31 Tahun 1999, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. 101 Adam Chazawi., Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal Ibid., hal

10 c. Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 Tipe tindak pidana korupsi yang ditentukan dalam Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999, berbunyi: Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Berdasarkan perubahan UU No.31 Tahun 1999 dengan UU No.20 Tahun 2001, maka maksud dari rumusan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 menghendaki terhadap Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditafsirkan termasuk ke dalam Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C UU No.20 Tahun Makna dari ketentuan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999, dapat dipidana dengan pidana sebagai berikut: 103 1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999; dan 2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU No.31 Tahun Kalimat dapat dijatuhi pidana tambahan dalam rumusan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999, mengandung makna bahwa penjatuhan hukuman pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya Hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, cit., hal Ermansyah Djaja., Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Op.

11 melainkan bergantung kepada pertimbangan apakah di samping menjatuhkan pidana pokok, Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan ataukah tidak menjatuhkan pidana tambahan Tindak Pidana Korupsi Dalam UU No.20 Tahun 2001 a. Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c, dan Pasal 7 ayat (2) Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2001, ditentukan sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), terhadap pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No.20 Tahun 2001, ditentukan sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), terhadap setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Pasal 7 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 ditentukan sebagai berikut: Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 104 Ibid., hal

12 Dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c, dan Pasal 7 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001, terdapat 3 (tiga) jenis tindak pidana korupsi, yaitu: 1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemborong, ahli pembuat bangunan, penjual bahan bangunan pada saat menyerahkan bahan-bahan bangunan dengan melakukan kecurangan yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara ketika dalam keadaan perang; 2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengawas bangunan dan pengawas penyerahan bahan bangunan yang membiarkan perbuatan curang pada saat pelaksanaan pembangunan dan penyerahan bahan bangunan; dan 3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penerima penyerahan bahan bangunan dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, penerima penyerahan barang keperluan TNI dan atau Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c. Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c, dan Pasal 7 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 adalah murni merugikan keuangan negara, merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 387 dan Pasal 388 KUH Pidana, yang telah diadopsi dan diharmonisasi sejak berlakunya UU No.24/Prp/1960, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam UU No.3 Tahun 1971 pada Pasal 1 angka (1) huruf c, untuk ketiga kalinya diadopsi dan diharmonisasi dalam UU No.31 Tahun 1999 pada Pasal 7, kemudian diubah dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c, dan Pasal 7 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001.

13 b. Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 Bunyi ketentuan Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukanperbuatan tersebut. Rumusan Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 mengadnung 3 (tiga) jenis tindak pidana korupsi, yaitu: 105 1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatan; 2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau sementara waktu dengan membiarkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, diambil atau digelapkan orang lain; dan 3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau sementara waktu dengan membantu orang lain mengambil atau menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya. Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 415 KUH Pidana yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan, yang telah diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi oleh UU No.3 Tahun 1971 pada Pasal 1 angka (1) huruf c, juga telah diadopsi 105 Ibid., hal. 171.

14 dan diharmonisasi oleh UU No.31 Tahun 1999, dan terakhir UU No.20 Tahun 2001 terdapat daalam Pasal 8 seperti di atas. c. Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001 Bunyi ketentuan Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Analisis rumusan tindak pidana korupsi dala Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 416 KUH Pidana yang merupakan salah satu jenis kejahatan dalam jabatan diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan. Rumusan ini pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidanakorupsi oleh UU No.24/Prp/1960 pada Pasal 1 angka (1) huruf c, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 9 UU No.31 Tahun 1999, dan Pasal 9 UU No.20 Tahun Perbandingan antara rumusan Pasal 416 KUH Pidana dengan Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001, ternyata Pasal 416 KUH Pidana memuat unsur tindak pidana korupsi membuat palsu (valselijk opmaken) dan memalsu (vervalsen), sedangkan Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001 hanya memuat unsur tindak pidana memalsu, tetapi sebenarnya pada hakikatnya dalam Pasal 9 UU No.20 Tahun 2001 tersebut juga tetap memuat unsur tindak pidana korupsi membuat palsu secara tidak tersirat.

15 Menurut P.A.F. Lamintang, yang dimaksud dengan membuat palsu dalam Pasal 416 KUH Pidana adalah: 106 Membuat palsu tersebut meliputi baik keseluruhan isi dari register-register maupun tanda tangan yang tertera pada buku-buku atau register-register tersebut, untuk dapat disebut sebagai telah membuat secara palsu suatu tanda tangan itu, pelaku tidak perlu harus mencontoh tanda tangan dari seseorang yang benar-benar ada. Dalam putusan Hoge Raad tanggal 15 Juni 1931 dinyatakan bahwa suatu tulisan itu telah dibuat secara palsu, jika menimbulkan kesan seolah-olah telah dibuat oleh orang yang tanda tangannya terdapat di bawahnya, yang dalam kasus ini tulisan tersebut telah ditandatangani dengan sebuah nama rekaan dari seseorang yang sebenarnya tidak ada. Maksud memalsu dalam Pasal 416 KUH Pidana, menurut P.A.F. Lamintang, yakni suatu perbuatan yang membuat suatu bagian yang integral dari suatu tulisan menjadi tidak sesuai dengan maksudnya semula, misalnya dengan menghapus suatu kata atau suatu angka yang telah ada dan jika hanya dilakukan terhadap sebahagian dari buku-buku atau register-register yang bersangkutan dan kemudian menggantikannya dengan suatu kata atau suatu angka lain, Hoge Raad dalam putusannya tanggal 18 Maret 1940 telah memandang suatu tulisan itu sebagai palsu, jika suatu bagian yang integral dari tulisan tersebut adalah palsu. 107 d. Pasal 10 huruf a UU No.20 Tahun Tipe tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 10 huruf a UU No.20 Tahun 2001, berbunyi sebagai berikut: 106 P.A.F. Lamintang., Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pionir Jaya, 1991), hal Ibid., hal. 82.

16 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. Analisis rumusan tindak pidana korupsi murni merugikan keuangan negara dalam Pasal 10 huruf a UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 417 KUH Pidana yang merupakan salah satu kejahatan jabatan diatur dalam bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan. Pertama kali ketentuan ini diadopsi dan diharmonisasi dalam oleh UU No.24/Prp/1960, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 10 UU No.31 Tahun 1999, dan terakhir tetap dalam Pasal 10 UU No.20 Tahun Rumusan Pasal 10 huruf a UU No.20 Tahun 2001 terdapat jenis atau tipe tindak pidana korupsi yang murni merugikan keuangan negara yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai suatu barang, akta, surat atau daftar yang dikuasai karena jabatannya, digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang.

17 e. Pasal 12 huruf i UU No.20 Tahun 2001 Tipe tindak pidana korupsi yang tersirat dalam Pasal 12 huruf i UU No.20 Tahun 2001, berbunyi sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah) yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 12 huruf i UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUH Pidana yang merupakan beberapa kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan. Pertama kali ketentuan ini diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi oleh UU No.24/Prp/1960 kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian oleh Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999, kemudian yang terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 12 huruf i UU No.20 Tahun Rumusan dalam Pasal 12 huruf i UU No.20 Tahun 2001 terdapat jenis tindak pidana korupsi murni merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, dan persewaan, yang

18 pada saat dilakukan perbuatan itu untuk seluruh atau sebahagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. f. Pasal 12A UU No.20 Tahun 2001 Tipe tindak pidana korupsi yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 12A UU No.20 Tahun 2001, berbunyi sebagai berikut: (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp ,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp ,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). Ketentuan Pasal 12A ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 di atas sebagai ketentuan penambahan terhadap Pasal 12 UU No.31 Tahun Maksud diadakanya penambahan ketentuan Pasal 12A tersebut dapat dilihat dari penjelasan umum alinea ke-8 UU No.20 Tahun 2001 yaitu sebagai berikut: Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp ,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 12A ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 beserta penjelasan umum tersebut, memiliki makna karena sebelum diadakan perubahan UU No.31 Tahun 1999, ketentuan yang terdapat dalam masing-maisng Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999 mencantumkan ancaman pidana minimal yang harus

19 dijatuhkan sehingga dirasakan kurang ada tercermin rasa keadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilai korupsinya lebih kecil dibandingkan dengan pelaku tindak pidana korupsi yang nilai korupsinya lebih besar bila sanksi hukum pidanya samasama berpijak kepada ancaman pidana minimal. C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi 1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 diatur unsur materil yang mengandung tindak pidana korupsi karena penyuapan terdiri dari: Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 13. a. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 bunyi: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

20 Analisis rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 jika dikaji secara yuridis, mengandung unsur-unsur pidana sebagai berikut: a. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a yaitu: 1) Setiap orang; 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; 4) Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya; dan 5) Bertentangan dengan kewajibannya. b. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yaitu: 1) Setiap orang; 2) Memberi sesuatu; 3) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; 4) Karena atau berhubungan dengan sesuatu dan bertentangan dengan kewajibannya; dan 5) Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan. c. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) yaitu: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima pemberian atau janji sesuatu; 3) Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;

21 4) Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; dan 5) Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan. Tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 dapat juga dikualifikasi sebagai suap aktif atau ectieve omkooping. Ketentuan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 209 KUH Pidana, pertama kali diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian oleh Pasal 5 UU No.31 Tahun 1999, terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun Penafsiran dan penerapannya tidak terlepas dari penafsiran dan penerapan Pasal 209 KUH Pidana karena Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 209 KUH Pidana pada masa berlakunya jurisprudence. Rumusan Pasal 5 ayat (2) tidak sama persis dengan Pasal 209 KUH Pidana walaupun Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 diadopsi dari Pasal 209 KUH Pidana, akan tetapi hal ini disebabkan karena adanya harmonisasi untuk penyesuaian dengan perkembangan situasi dan kondisi pada masa berlakunya jurisprudence UU No.20 Tahun Perbedaannya menurut pandangan Adami Chazawi, adalah: 108 hal Adami Chazawi., Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2008),

22 Dalam Pasal 209 KUH Pidana unsur maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk menggerakkan (bewegen) yakni mendorong atau mempengaruhi batin orang lain in casu pegwai negeri tidak dimuat, akan tetapi dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maksud ( bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai negeri) tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Oleh karena itu, rumusan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini lebih sederhana tidak perlu repot-repot membuktikan adanya maksud menggerakkan, tetapi cukup membuktikan adanya perbuatan memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu dengan maksud bahwa pemberian tersebut yakni supaya pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Pegawai negeri yang dimaksud dalam dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka (2) UU No.31 Tahun 1999 yaitu: a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Penyelenggara negara yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 yaitu: Yang dimaksud dengan penyelenggara negara dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian penyelenggara negara tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang ini.

23 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian, yang dimaksud dengan pejabat negara adalah: a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan; d) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; e) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; f) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; g) Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri; h) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; i) Gubernur dan Wakil Gubernur; j) Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan k) Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang. Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dibatasi yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis yaitu pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap pratik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

24 b. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, dan Pasal 6 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 bunyi: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: 1) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Analisis tipe tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, dan Pasal 6 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001, dapat dikualifikasikan sebagai suap Pasif (pacieve omkooping). Rumusan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 210 KUH Pidana, pertama kali diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian Pasal 6 UU No.31 Tahun 1999, terakhir dalam Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, dan Pasal 6 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001, sehingga penafsiran dan penerapan pun tidak terlepas dari penafsiran dan penerapan Pasal 210 KUH Pidana pada masa berlakunya atau jurisprudence. Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, dan Pasal 6 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 merumuskan tindak pidana korupsi suap olej Hakim dan Advokat, tetapi

25 ketentuan tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 huruf a dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 merupakan korupsi suap yang bersifat khusus, walaupun misalnya Hakim adalah pegawai negeri yang juga telah dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 tetapi tidak diberlakukan kepada Hakim, karena Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 diberlakukan secara khusus atas tindak pidana korupsi suap oleh Hakim, maka ketentuan yang bersifat khusus yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUH Pidana yaitu, jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umu, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Ketentuan ini juga sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali. 109 Hal yang terpenting rumusan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 terdapat 3 (tiga) jenis tindak pidana suap, yaitu, unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, dan unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat (2). Ketentuanketentuan ini dikategorikan dalam tipe tindak pidana korupsi penyuapan. c. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 bunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 109 R. Sugandhi., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Op. cit., hal. 78.

26 Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 di atas, terdapat dua macam jenis tindak pidana korupsi, yaitu: 1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya; dan 2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dnegan jabatannya. Rumusan tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 418 KUH Pidana merupakan salah satu kejahatan dalam jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan. Ketentuan ini pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999, terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun d. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001 bunyi: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah): 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

27 diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 3) Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 4) Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Analisis rumusan tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001, mengandung 4 (empat) jenis tindak pidana korupsi yaitu: 1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidakmelakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

28 3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 4) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Rumusan tindak pidana korupsi yang dianalisis dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001 termasuk jenis tindak pidana penyuapan atau suap yang merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUH Pidana yang merupakan merupakan beberapa kejahatan dalam jabatan diatur dalam Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan. Pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian pada Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999, kemudian dalam Pasal 12 UU No.20 Tahun e. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan dalam ketentuan Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999, bunyi: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama

29 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Analisis rumusan tindak pidana korupsi suap yang terdapat dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999, mengandung 2 (dua) unsur, yaitu: 1) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan dan kedudukannya. 2) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jaabatan atau kedudukan dari pegawai negeri tersebut. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan kedua unsur tindak pidana korupsi suap atau penyuapan. Pertama, tindak pidana korupsi suap pada rumusan pertama, pelaku tindak pidana korupsi suap sebelum memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri sudah mengetahui dan memahami dengan jelas mengenai kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pegawai negeri tersebut dan dikarenakan adanya kekuasaan serta wewenang itulah makanya pelaku tindak pidana korupsi suap tersebut memberikan hadiah atau janji. Kedua, tindak pidana korupsi suap pada rumusan kedua, pelaku tindak pidana korupsi suap sebelum memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri tidak mengetahui dan tidak memahami dengan jelas mengenai apa yang menjadi kekuasaan dan wewenangnya, tetapi pelaku tindak pidana korupsi suap sudah cukup dengan

30 menganggap bahwa jabatan atau kedudukan dari pegawai negeri yang diberi hadiah atau janji, melekat kekuasaan dan wewenang padanya. 2. Tindak Pidana Korupsi Pemerasan, Penyerobotan, Turut Serta, dan Gratifikasi a. Pemerasan Ketentuan dalam UUPTPK yang mengandung unsur pemerasan terdapat dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, UU No.20 Tahun 2001 berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah) terhadap: 1) Huruf e: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; 2) Huruf f: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 3) Huruf g: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Analisis terhadap ketentuan dalam rumusan Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, UU No.20 Tahun 2001, mengandung unsur pemerasan terdiri dari 3 (tiga) jenis tindak pidana yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 2001/134, TLN 4150] Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

Modul ke: Etik UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya - 1. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU.

Modul ke: Etik UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya - 1. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU. Modul ke: Etik UMB Tindakan Korupsi dan Penyebabnya - 1 Fakultas MKCU Finy F. Basarah, M.Si Program Studi MKCU www.mercubuana.ac.id Tindakan Korupsi dan Penyebabnya -1 Etik UMB Abstract:Korupsi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Korupsi Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI Bab 01 PENGERTIAN To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. KORUPSI 2 Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mampu menjelaskan arti kata dan definisi korupsi secara tepat

Lebih terperinci

ETIK UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya. Pendahuluan. Modul ke: Daftar Pustaka. 12Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

ETIK UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya. Pendahuluan. Modul ke: Daftar Pustaka. 12Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Modul ke: 12Fakultas ISLAHULBEN, Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen ETIK UMB Tindakan Korupsi dan Penyebabnya SE., MM Pendahuluan Bentuk Korupsi Akhiri Presentasi Gratifikasi Daftar Pustaka Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dihimpun oleh : JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015 PERBUATAN SUAP TERHADAP PEJABAT PUBLIK DAN TANGGUNG JAWAB MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 1 Oleh: Krisdianto Pranoto 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen Modul ke: 09Fakultas Gunawan EKONOMI ETIK UMB Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen Mengenali Tindakan Korupsi Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mampu menjelaskan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015 SUATU KAJIAN TENTANG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI (PASAL 2 DAN 3 UU NO. 31 TAHUN 1999) 1 Oleh : Rixy Fredo Soselisa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG Delik Korupsi Dalam Rumusan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PUNGLI KEJAKSAAN NEGERI LAMONGAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PUNGLI KEJAKSAAN NEGERI LAMONGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PUNGLI KEJAKSAAN NEGERI LAMONGAN PENGANTAR Korupsi di Indonesia sudah merasuk hampir di seluruh sendi kehidupan bangsa, modus operandi dan luasan cakupan Tindak

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus

BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalya di salin ke dalam bahasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang eksistensi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Eksistensi berarti hal berada atau dapat pula diartikan sebagai keberadaan. Eksistensi merupakan istilah

Lebih terperinci

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Pasal 413 Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: 11 Udjiani Fakultas PSIKOLOGI 1. Pengertian Korupsi 2. Bentuk-bentuk Korupsi 3. Jenis Tindak Pidana Korupsi 4. Grafitikasi 5. Penyebab Korupsi Hatiningrum,SH.,M

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Ismail, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra - Langsa Aceh ABSTRACT

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Ismail, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra - Langsa Aceh ABSTRACT 1 KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Ismail, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra - Langsa Aceh ABSTRACT Corruption in Indonesia is so severe as social diseases, reinforced by corrupt

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA Oleh: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) Materi disampaikan dalam acara pelatihan hakim dalam perkara korupsi Senin,

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II. A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa

BAB II. A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Bentuk-Bentuk Perbuatan

Lebih terperinci

ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Fakultas Desain dan Seni Kreatif Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, SHI., M.Si A. Pengertian Korupsi Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Modul ke: STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Disampaikan pada perkuliahan ETIK UMB kelas PKK Fakultas TEKNIK MUHAMMAD ALVI FIRDAUSI, S.Si, MA Program Studi TEKNIK INDUSTRI www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN

Lebih terperinci

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN GOL. III. Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia 2009

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN GOL. III. Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia 2009 MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN GOL. III Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia 2009 DAFTAR ISI Hak Cipta Pada: Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2009 Lembaga Administrasi Negara

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

TINJAUAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEMPERKAYA DIRI DAN ORANG LAIN. Oleh. Perbuatan korupsi sangat identik dengan tujuan memperkaya diri atau

TINJAUAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEMPERKAYA DIRI DAN ORANG LAIN. Oleh. Perbuatan korupsi sangat identik dengan tujuan memperkaya diri atau TINJAUAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEMPERKAYA DIRI DAN ORANG LAIN Oleh Ir. H. Hirwan Jack, MBA, MM Widyaiswara Madya BKPP Aceh A. Pendahuluan Perbuatan korupsi sangat identik dengan tujuan memperkaya diri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai: 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Korupsi 1. Pengertian korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai dimana-mana, fakta menunjukkan bahwa korupsi tersebut ada disetiap negara negara berkembang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015 PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI DELIK SELESAI 1 Oleh: Zaid Samatea 2 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana di Indonesia, suatu percobaan (Poging) merupakan delik yang belum selesai atau belum sempurna

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PEMERASAN OLEH PEGAWAI NEGERI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Ahmad Rukbil D. Sowikromo 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA 1. Landasan Teori Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu hal yang bisa dikatakan mendesak saat ini. Dikatakan begitu

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI M. Afif Hasbullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Metode pendekatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio =

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio = 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

BAB II PENGADAAN DANA PENGHARGAAN DITINJAU DARI UU NO. 31. TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS

BAB II PENGADAAN DANA PENGHARGAAN DITINJAU DARI UU NO. 31. TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS BAB II PENGADAAN DANA PENGHARGAAN DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tinjauan Umum Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

SECARA HARFIAH BERARTI KEBUSUKAN, KEBURUKAN, KEBEJATAN, KETIDAK JUJURAN, DAPAT DISUAP, TIDAK BERMORAL, PENYIMPANGAN DARI KESUCIAN.

SECARA HARFIAH BERARTI KEBUSUKAN, KEBURUKAN, KEBEJATAN, KETIDAK JUJURAN, DAPAT DISUAP, TIDAK BERMORAL, PENYIMPANGAN DARI KESUCIAN. Program Binmatkum merupakan implementasi dari tugas dan wewenang kegiatan Intelijen Yustisial dibidang ideologi, politik, keuangan, sosial budaya dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijakan hukum

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 B. DESKRIPSI MATA KULIAH Hukum Pidana Khusus merupakan mata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Menimbang : Mengingat : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG. sinarmedia-news.com

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG. sinarmedia-news.com TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN KENDARAAN PERORANGAN DINAS TANPA MELALUI LELANG sinarmedia-news.com I. PENDAHULUAN Pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah tidak terlepas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini membuktikan bahwa

Lebih terperinci

BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: 11 Mengapa dipelajari? Agar kita tidak ikut melakukan korupsi yang saat ini sudah menyebar ke segala lapisan masyarakat Fakultas Program Studi Rina Kurniawati,

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

Etik UMB. Tindakan Korupsi Dan Penyebabnya. Ari Sulistyanto, S. Sos., M.I.Kom. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen

Etik UMB. Tindakan Korupsi Dan Penyebabnya. Ari Sulistyanto, S. Sos., M.I.Kom. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Manajemen Etik UMB Modul ke: Tindakan Korupsi Dan Penyebabnya Fakultas FEB Ari Sulistyanto, S. Sos., M.I.Kom Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Bagian Isi A. Pengertian Korupsi B. Bentuk-bentuk Korupsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemain sandiwara atau pemain utama; dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemain sandiwara atau pemain utama; dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu : BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peranan Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Kata "peran" dikaitkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Hari Raya. Tunjangan. Tahun Anggaran 2017. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6064). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan

Lebih terperinci

KORUPSI OLEH PENYELENGGARA NEGARA

KORUPSI OLEH PENYELENGGARA NEGARA KORUPSI OLEH PENYELENGGARA NEGARA (Analisis Isi Kuantitatif Tajuk Rencana Pada Surat Kabar Koran Tempo dan Media Indonesia) Edisi Tanggal 1 Januari -31 Desember 2012) Darwis Sagita Dosen Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Maksud dari upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN 1. Tindak Pidana Jasa Konstruksi Tindak Pidana Jasa konstruksi merupakan salah satu problematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan korupsi merupakan masalah yang sangat sentral dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah penyakit yang tidak mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci