5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 29 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye), tongkol (frigate dan bullet tuna), tongkol como/kawakawa (eastern little tuna), cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru (southern bluefin tuna), tongkol abu-abu (longtail tuna), tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Selain itu jenis billfish yang terbagi lagi menjadi tujuh spesies yaitu billfish nei, setuhuk hitam/black marlin, setuhuk biru/blue marlin, tenggiri/indo-pacific sailfish, short-billed spearfish, setuhuk loreng/stripped marlin dan swordfish. Jenis ikan lainnya yaitu seerfish yang terbagi menjadi empat spesies yaitu tongkol Indo-Pasifik/Indo-Pacific king mackerel, narrow-barred Spanish mackerel dan wahoo. Berikut adalah penjelasan singkat tentang jumlah produksi Indonesia dari masing masing spesies yang dikelola di perairan IOTC. Ikan jenis tuna merupakan produksi Indonesia paling banyak ditangkap di Samudera Hindia. Jenis tuna yang paling banyak diproduksi adalah kawakawa atau eastern little tuna yang setiap tahunnya menempati posisi teratas (Tabel 4). Sementara itu produksi yang jumlahnya stabil adalah jenis skipjack tuna atau cakalang (Katsuwonus pelamis) yang merupakan jenis tuna spesies kosmopolitan (Tabel 4). Sementara itu, jumlah produksi yang semakin menurun adalah jenis tuna sirip biru (southern bluefin tuna).

2 30 Tabel 4 Jumlah produksi tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia (Area 57), Total Per Grand Total Spesies Tunas Tunas Total Albacore Bigeye Tuna Frigate and bullet tunas Kawakawa / Eastern little tuna Skipjack Tuna Southern bluefin Tuna Longtail tuna Yellowfin Tuna Tunas nei 1 - Billfish Billfish Total Billfish nei Black Marlin Blue Marlin Indo Pacific Sailfish Short-billed spearfish Striped Marlin Swordfish Seerfish Seerfish Total Indo-Pacific king mackerel Narrow-barred Spanish Mackerel Wahoo 5 2 Other Others Total Sharks Various nei Non targeted Sumber: DKP (2008) Satuan:ton

3 31 Jumlah produksi (Ton) tunas Billfish Seerfish other Tahun Gambar 4. Perkembangan produksi tuna dan sejenisnya Indonesia di wilayah IOTC Ikan jenis tuna adalah komoditas utama yang diproduksi Indonesia di Samudera Hindia (Gambar 4). Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar ton mengalami kenaikan sebesar 19,89%. Produksi ikan jenis tuna terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar ton. Ikan jenis tuna terbagi lagi menjadi albacore, bigeye, frigate dan bullet tuna, kawakawa/ eastern little tuna, skipjack tuna, southern bluefin tuna, longtail tuna, yellowfin tuna, tunas nei. Produksi ikan jenis tuna merupakan target utama penangkapan di Samudera Hindia yang dikelola oleh IOTC. Data tertinggi menunjukkan, tuna jenis kawakawa/eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia. Produksi jenis tuna terkecil dari tahun adalah jenis southern bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke sebelah selatan pulau Jawa dan Bali. (BRPT, 2002).

4 32 Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar ton, sedangkan ekspor terbesar juga pada tahun yang sama, yaitu ton (Tabel 5). Produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu ton, dengan nilai ekspor yang juga rendah, yaitu ton. Tabel 5 Produksi dan ekspor tuna yang dilakukan oleh perusahaan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia Tahun Produksi (ton) Ekspor (ton) Sumber: ATLI (2009) Ikan tuna dapat ditangkap dengan berbagai alat penangkap ikan, kecuali dengan alat penangkap ikan dasar. Cara penangkapan yang paling efektif dan efisien adalah dengan menggunakan alat tangkap longline, purse seine dan pole and line. Alat penangkap lainnya ialah dengan tonda (trolling) dan pancing (hand line). Saat ini jumlah kapal penangkap ikan Indonesia yang sudah didaftarkan di IOTC berjumlah 1193 kapal (Lampiran 2). Sebagian besar kapal tersebut (95%) mengoperasikan tuna longline, sisanya mengoperasikan purseine dan gillnet. Kapal-kapal tersebut milik perusahaan yang berdomisili di Jakarta (1136 kapal, 78%), Bali (197 kapal, 14%), Pekalongan (81 kapal, 6%) dan Cilacap (43 kapal, 3%). Sebagian kapal tuna longline bersandar dan membongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (Gambar 5,6, 7 dan 8). Di PPN tersebut terdapat berbagai fasilitas yang diperlukan oleh armada tuna longline.

5 33 Gambar 5. Kapal tuna longline bersandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta Gambar 6 Bongkar muat di atas kapal tuna longline di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta Gambar 7 Penanganan ikan dengan pemberian es curah di atas kapal tuna longline di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta

6 34 Gambar 8 Penyimpanan ikan tuna di ruang pendingin di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta Pasar tuna bersifat monopsoni, yaitu jumlah penjual lebih banyak daripada jumlah pembeli. Penjualan tuna internasional perlu diatur, salah satunya dengan pembentukan organisasi perikanan regional seperti IOTC. Tujuan ekspor tuna Indonesia adalah negara Jepang dan Amerika. Volume ekspor terbesar terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar ton sedangkan nilai ekspor terendah terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar ton (Tabel 5). Kenaikan ekspor pada tahun 2009 disebabkan oleh sistem manajemen perikanan tuna Indonesia yang sudah membaik. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC, sehingga Indonesia dapat melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan tuna.

7 35 Tabel 6 Volume ekspor komoditi perikanan jenis tuna di Indonesia. Tahun Volume Ekspor (ton) Sumber: KKP (2010) Kegiatan yang telah dilakukan Indonesia sebagai anggota IOTC Keikutsertaan Indonesia di IOTC juga merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk berperan secara aktif dalam kerjasama dengan negara-negara lain melaksanakan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya tuna di laut lepas Samudera Hindia. Sebagai salah satu RFMO (Regional Fisheries Management Organization), yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional di bawah FAO, IOTC diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah laut lepas Samudera Hindia. Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak 28 negara full member dan 3 negara cooperating non contracting parties, dimana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Sebagai anggota yang ke-27, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: 1. Program revitalisasi perikanan tuna; 2. Penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan Active Vessel atau kapal yang resmi melakukan penangkapan tuna; 3. Penyusunan Peraturan menteri No PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas; 4. Persiapan penerapan logbook Perikanan; 5. Program outer fishing Port atau pelabuhan perikanan terluar; dan 6. Bersama Australia menyusun Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices (including combating IUU Fishing) in the

8 36 region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab termasuk pemberantasan illegal fishing. ( Ketika masih sebagai contracting parties IOTC, Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high seas). Kewajiban Indonesia adalah melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan yang melakukan kegiatan di laut lepas Strategi Indonesia sebagai Anggota IOTC Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota IOTC memberikan banyak peluang kepada Indonesia untuk memajukan perikanan tuna Indonesia khususnya di Samudera Hindia. IOTC merupakan suatu wadah bagi Indonesia untuk memajukan perikanan tuna Indonesia di Samudera Hindia, yaitu dengan cara berinteraksi langsung dengan negara-negara pelaku penangkapan ikan tuna dan negara-negara lain yang berkepentingan dengan ikan tuna. Indonesia memiliki akses langsung terhadap Samudera Hindia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan tuna di perairan tersebut. Dalam Satria et al. (2009), Kajian Biro Hukum dan organisasi DKP (2008) menerangkan bahwa, keuntungan bagi Indonesia menjadi anggota penuh dalam IOTC antara lain: 1. Ikut serta dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan tuna melalui penetapan peraturan-peraturan; 2. Turut menentukan kuota atas jumlah hasil tangkapan ikan tuna maupun ekspor tuna; 3. Dapat turut aktif melakukan kegiatan penangkapan tuna di wilayah statistik FAO; 4. Merupakan media kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, TAC (total allowable catch), MCS (monitoring, controlling, surveilance) dan penegakan hukum, serta pengelolaan dan konservasi yang sangat menguntungkan Indonesia. Semua kegiatan ini membutuhkan tenaga ahli, waktu dan biaya yang sangat mahal jika dilakukan sendiri tanpa menjadi anggota;

9 37 5. Pengumpulan data perikanan di samudera Hindia dan laut lepas lebih mudah dan murah dilakukan, karena dilakukan secara bersama-sama dengan negara lain melalui organisasi IOTC; 6. Terhindar dari embargo atas ekspor tuna dari Indonesia; 7. Dapat ikut serta mengatur pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan samudera Hindia.; 8. Menanggulangi IUU Fishing; dan 9. Pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di laut lepas samudera Hindia Pendapat ahli perikanan terhadap keanggotaan Indonesia di IOTC Para ahli perikanan berpendapat ada sejumlah manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Pernyataan mereka tersebut disajikan pada Tabel 7. Paling sedikit ada 13 jenis manfaat yang diperoleh Indonesia dengan bergabung pada IOTC (Tabel 7). Hal ini dinyatakan oleh setiap narasumber sebagai pernyataan yang saling melengkapi. Narasumber SS (Dr. Suseno) memberikan jawaban terlengkap, yaitu sebanyak 9 manfaat. Manfaat itu antara lain terhidar dari praktek IUU, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di samudera Hindia, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat status posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development, nelayan high sea Indonesia lebih dapat diterima di negara lain, dan pro sustainable development. Prof Dr. Rokhmin Dahuri, MS, selaku mantan Menteri dan Kelautan dan Perikanan, menyatakan ada sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia dengan bergabungnya Indonesia di IOTC, manfaat itu antara lain, kemudahan dalam pemasaran tuna, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat, dan Indonesia mendapatkan white list sebagai negara eksportir tuna.

10 38 Narasumber lainnya, Prof. Dr. Daniel Monintja selaku guru besar FPIK IPB (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) IPB, mengutarakan sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia, antara lain kemudahan pemasaran tuna, terhindar dari praktek IUU, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development, program pelestarian perikanan tuna di Samudera Hindia dan Indonesia masuk dalam white list sebagai negara eksportir tuna. Manfaat Indonesia dalam memasuki organisasi internasional dapat dilihat dari empat segi (politik, ekonomi, sosial budaya dan kemanusiaan) (Deplu, 2009). Begitu juga dengan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Indonesia memperoleh manfaat dari segi politik, ekonomi sosial budaya dan kemanusiaan. Manfaat tersebut dijabarkan pada sub Bab Tabel 7 Pernyataan ahli perikanan manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC Manfaat yang diperoleh Indonesia RD SS AB DM AH ST LA 1. Kemudahan pemasaran tuna 5. Terhindar dari praktek IUU 3. Ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia 5. Memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC 6. Melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia 7. Indonesia memiliki bargaining position yang kuat. 8. Banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia 9. Memperkuat posisi Indonesia sebagai major fishing player berbasis sustainable fisheries development 10. NNelayan high sea Indonesia lebih dapat diterima di negara lain 11. Membangun budaya outward looking di high sea 12. Pro sustainable development 13. Program pelestarian perikanan tuna di Samudera Hindia 14. Indonesia mendapatkan white list sebagai negara eksportir tuna

11 39 Keterangan: RD: Prof. Dr Rokhmin Dahuri, MS (Mantan Mentri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong) SS: Dr. Suseno (Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya) AB: Ir. Agus Budiman MAq (Direktur Sumberdaya Ikan KKP) DM: Prof Daniel Monintja (Guru Besar FPIK IPB) AH: Abdullah Habibi (Capture Fisheries WWF) ST: Drs. Soetomo, HP.BSc (Direktur Eksekutif ATLI/ Asosiasi Tuna Longline Indonesia) LA: Dr. Luky Adrianto (Anggota Komisi Tuna Indonesia) 5.2 Pembahasan Manfaat ekonomi dari keanggotaan Indonesia dapat dilihat dari produksi dan ekspor tuna Indonesia. Manfaat keanggotaan dapat dilihat dari jumlah ekspor tuna Indonesia sejak Indonesia bergabung di IOTC. Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukan selama tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor terbesar yakni sebesar ton pada tahun 2008 dan ton pada tahun Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga upaya penangkapan optimal. Selain itu pada tahun 2007 Indonesia bergabung menjadi anggota tetap IOTC otomatis Indonesia memiliki akses pasar yang resmi dalam pemasaran tuna yang bersifat monopsoni (jumlah pembeli lebih sedikit daripada jumlah penjual). Volume produksi perikanan merupakan salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan perikanan yang diterapkan. Bergabungnya Indonesia di dalam IOTC merupakan sebuah keputusan politik perikanan dimana jumlah produksi merupakan salah satu yang perlu diperhatikan. Penyebaran tuna terbesar di laut Indonesia terdapat di Samudera Hindia, hal ini jugalah yang menjadi faktor bergabungnya Indonesia di IOTC, suatu organisasi perikanan regional. Produksi tuna secara keseluruhan terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar ton mengalami kenaikan sebesar hampir 20% (Tabel 3). Indonesia baru bergabung di IOTC pada tahun 2007, selama satu tahun bergabungnya Indonesia di IOTC terlihat peningkatan produksi tuna di kawasan Samudera Hindia. Hal ini membuktikan adanya pengaruh terhadap produksi perikanan tuna Indonesia dengan bergabungnya Indonesia di IOTC. Selain itu, pada tahun 2008 kegiatan utama IOTC terfokus kepada pengelolaan hasil tangkapan jenis utama, yakni tuna. Hal ini terbukti dengan beberapa pertemuan

12 40 IOTC yang membahas mengenai tagging tuna, membahas mengenai data statistic temperature tuna dan hal-hal lainnya yang memang difokuskan terhadap peningkatan produksi tuna ( Hal ini memberikan kontribusi pada peningkatan produksi. Kenaikan produksi tuna di Indonesia khususnya di Samudera Hindia disebabkan oleh banyak faktor antara lain bargaining position yang lebih kuat pada tahun 2007 di IOTC. Selain itu, musim penangkapan tuna yang lebih baik pada tahun Semenjak Indonesia bergabung dengan IOTC, manajeman penangkapan ikan tuna di Indonesia lebih terkoordinir seperti pengisian logbook perikanan. Salah satu kewajiban setiap anggota IOTC adalah membayar iuran wajib sebesar 2 milyar/ tahun. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor atau penjualan tuna Indonesia, angka ini menguntungkan. Berikut contoh perhitungannya: Besar iuran (US$ ) : Rp / tahun Volume ekspor tuna/ tahun di Samudera Hindia : ton= kg Harga 1 kg tuna segar : 1000 yen=rp ,- Devisa = kg X Rp ,-/kg = RP ,- Perhitungan di atas menunjukkan bahwa dengan iuran hanya sebesar 0,02% dari pendapatan total ekspor, diperoleh devisa yang sangat signifikan. Selain itu, manfaat ekonomi dapat dilihat dari akses pasar. Sifat pasar dari perikanan tuna merupakan pasar monopsoni, yaitu jumlah pembeli lebih banyak dari jumlah penjual. Untuk itu pemasarannya diatur oleh IOTC, hanya negara yang menjadi anggota IOTC saja yang dapat mengekspor tuna. jika negara tersebut tidak terdaftar, maka produknya akan di black list di pasar Internasional. Sebagai anggota resmi IOTC, maka produk tuna Indonesia legal di pasar internasional. Sebagai anggota penuh IOTC Indonesia dapat menjual tuna di pasar Internasional. Produksi ikan jenis tuna merupakan target utama penangkapan di Samudera Hindia yang dikelola oleh IOTC. jenis tuna ini terbagi lagi menjadi albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye), frigate dan bullet tuna, kawakawa/ eastern little tuna, cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru (southern bluefin tuna), tuna abu-abu (longtail tuna), tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Data tertinggi

13 41 menunjukkan, tuna jenis kawakawa/eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia. Ikan jenis ini merupakan tuna kecil yang hidup bergerombolan. Tuna jenis kawakawa/eastern little tuna memiliki jumlah yang cukup banyak tersebar di Samudera Hindia. Penangkapannya juga tidak sesulit tuna jenis lainnya. Alat tangkap yang digunakan dapat beragam antara lain jaring insang hanyut dan purse seine. Sehingga jumlah produksi ikan jenis ini cukup besar di Samudera Hindia. Cakupan jenis tuna yang dikelola IOTC cukup banyak, hampir seluruh jenis yang ada di samudera Hindia. Namun ada satu jenis yang mendapat perhatian khusus walaupun volume produksinya kecil, yaitu southern bluefin tuna. Produksi jenis tuna terkecil dari tahun adalah jenis Southern bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah Selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke perairan Selatan Jawa dan Bali. (BRPT, 2002). Kecilnya produksi tuna sirip biru (Thunnus thynnus) disebabkan oleh jumlah tuna spesies ini yang sangat terbatas di samudera Hindia, sedangkan banyak pengusaha perikanan tuna yang menjadikan tuna sirip biru sebagai target utama penangkapan, karena harganya yang sangat tinggi, terutama oleh pengusaha tuna yang berasal dari Taiwan, Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Australia. Oleh sebab itu, dibentuklah suatu komisi yang disebut Convention of Southern Bluefin Tuna untuk mengelola secara bersama-sama sumberdaya yang sangat penting dan populasinya sudah sangat menurun (BRPT, 2002) Sejak Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh (full member) IOTC ke 27 pada tanggal 9 Juli 2007, maka keanggotaan tesebut memberikan manfaat politik. Terdaftarnya Indonesia sebagai full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 tahun 2004 yang dirubah menjadi UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk ikut secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan. Manfaat itu sekaligus memperkokoh posisi Indonesia sebagai pelaku utama perikanan (major

14 42 fishing player) berbasis pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fishing development). Hal ini disebabkan oleh bargaining position Indonesia yang kuat setelah resmi menjadi anggota IOTC. selain itu penegakan hukum terhadap pelaku IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) fishing khususnya tuna dapat dilaksanakan. Pada umumnya kebijakan atau program yang dibentuk oleh IOTC bertujuan untuk kelestarian sumberdaya ikan tuna yang berada di Samudera Hindia. Indonesia masih terhitung baru bergabung di organisasi ini. Untuk itu keanggotaan Indonesia harus dioptimalkan, karena program kerja IOTC bertujuan untuk kelestarian sumberdaya perikanan tuna di Samudera Hindia. Saat ini kebijakan IOTC yang diadopsi oleh Indonesia yakni mekanisme hasil tangkapan dengan logbook. Implementasi ini dilaksanakan dengan baik untuk ukuran kapal besar >30 GT, untuk dibawah itu implementasi masih belum bisa dilaksanakan karena masih kewenangan propinsi dan kabupaten. Langkah ini merupakan pelaksanaan kelestarian sumberdaya ikan tuna Indonesia yang ada di Samudera Hindia. Karena dengan adanya log book pemerintah memiliki acuan untuk membuat kebijakan dan pengelolaan yang bertujuan untuk kelestarian sumberdaya ikan tuna. Sehingga Indonesia dapat membangun perikanan yang pro sustainable development yaitu pembangunan yang berbasis lingkungan. Bergabungnya Indonesia di IOTC, juga berpengaruh terhadap sosial dan budaya Indonesia, khususnya di bidang perikanan tuna. walaupun pengaruhnya belum begitu besar, mengingat Indonesia baru bergabung di organisasi tersebut. Pengaruh itu dapat berupa bantuan teknis perikanan tuna yang diberikan oleh IOTC, seperti bantuan pelaksanaan pencatatan logbook. Secara budaya, dengan bergabungnya di IOTC, Indonesia dapat membangun budaya outward looking di high sea. Dengan banyaknya keuntungan yang diperoleh Indonesia sebagai anggota penuh IOTC maka Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Indonesia harus melakukan strategi sebagai anggota penuh IOTC antara lain; 1. Menghadiri pertemuan IOTC dengan mengirimkan perwakilan yang berkompeten. Karena di pertemuan IOTC, Indonesia dapat menyumbangkan

15 43 pemikiran dan memperjuangkan eksistensi perikanan tuna Indonesia khususnya di samudera Hindia. 2. Selalu memperbaharui data perikanan tuna Indonesia, khususnya di samudera Hindia yang mencakup jumlah produksi tuna, produktivitas ikan tuna, jumlah alat tangkap, jumlah kapal dan potensi penangkapan ikan. 3. Serius dalam memerangi IUU (Illegal, Unregulated, Unreported) Fishing dengan melaksanakan aturan dengan tegas. 4. Penguatan armada penangkapan tuna Indonesia. 5. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pelaku perikanan tuna (pengusaha, pemerintah dan nelayan penangkap tuna)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna mendapatkan perhatian internasional. Hal ini terkait dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan tuna

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 36 BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 5.1 Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun

Lebih terperinci

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 30 5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 5.1 Kapal-kapal Yang Memanfaatkan PPS Cilacap Kapal-kapal penangkapan ikan yang melakukan pendaratan seperti membongkar muatan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 BAB V PENUTUP Kesimpulan Indonesia merupakan negara maritim yang didalamnya menyimpan kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 juta km² yang terdiri dari 1,8 juta km²

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 009. Tempat pelaksanaan kegiatan penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dengan judul Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures

Lebih terperinci

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6.1 Tujuan Pembangunan Pelabuhan Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan tercantum dalam pengertian pelabuhan perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 33-37, Desember 2012 Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Fishing ground of tuna hand

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

Identifikasi Ikan Berparuh (Billfish) di Samudera Hindia Perikanan Pelagis. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan

Identifikasi Ikan Berparuh (Billfish) di Samudera Hindia Perikanan Pelagis. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Identifikasi Ikan Berparuh (Billfish) di Samudera Hindia Perikanan Pelagis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Kartu identifikasi ini diproduksi oleh Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Tuna

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Tuna II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Tuna Tuna adalah ikan laut yang terdiri atas beberapa spesies dari famili Scombridae, terutama genus Thunnus. Ikan tuna mempunyai beberapa jenis dan spesies dengan

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

Pengenalan Data Collection. Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting?

Pengenalan Data Collection. Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting? Pengenalan Data Collection Apa itu data collection dan mengapa pengumpulan data perikanan tuna sangat penting? Apa Itu Data Collection? Seperti yang disebutkan di presentasi sebelumnya tentang keberlanjutan

Lebih terperinci

MENGIDENTIFIKASI JENIS-JENIS IKAN TUNA DI LAPANGAN. Jenis-jenis ikan tuna. dan. Jenis-jenis yang serupa tuna ( tuna-like species )

MENGIDENTIFIKASI JENIS-JENIS IKAN TUNA DI LAPANGAN. Jenis-jenis ikan tuna. dan. Jenis-jenis yang serupa tuna ( tuna-like species ) MENGIDENTIFIKASI JENIS-JENIS IKAN TUNA DI LAPANGAN Jenis-jenis ikan tuna dan Jenis-jenis yang serupa tuna ( tuna-like species ) Presentasi oleh Prof. Dr Gede Sedana Merta, Balai Riset Perikanan Laut, Muara

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS

IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.669,2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Jakarta, 29 Agustus 2017 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Status Indonesia di RFMOs Status : Member (PerPres No. 9/2007) Status : Member (PerPres N0.61/2013) IOTC

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan Deputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini, kegiatan pengawasan kapal perikanan dilakukan di darat dan di laut. Pengawasan langsung di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO V - 954 POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO Akhmad Solihin 1), Eko Sri Wiyono 2) 1) a.solihin1979@gmail.com, 08156217120, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK

Lebih terperinci

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) viii MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) MARDIA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pengelolaan sumber daya perikanan dan antisipasi krisis perikanan global, menuntut pemerintah Indonesia menjadi bagian dari organisasi pengelolaan perikanan regional

Lebih terperinci

KONDISI DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP

KONDISI DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP KONDISI DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP PENGANTAR Materi ini berisikan materi tentang Teknologi Penangkapan Ikan ditinjau dari industri penangkapan komersial. Tujuan yang hendak dicapai adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang sangat tinggi sesungguhnya merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi modal utama bangsa untuk

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terletak di Kecamatan Palabuhanratu yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

ESTIMASI KEGIATAN ALIH MUAT PADA KAPAL RAWAI TUNA BERDASARKAN DATA VMS DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN

ESTIMASI KEGIATAN ALIH MUAT PADA KAPAL RAWAI TUNA BERDASARKAN DATA VMS DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 7, No. 2, November 2016 Hal: 179-189 ESTIMASI KEGIATAN ALIH MUAT PADA KAPAL RAWAI TUNA BERDASARKAN DATA VMS DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN Transshipment Activites Estimation

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(6): , Desember 2014 ISSN

Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(6): , Desember 2014 ISSN Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(6): 204-208, Desember 2014 ISSN 2337-4306 Analisis tren hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan alat tangkap purse seine dan pole and line

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN 3.1 Gambaran Ilustrasi Organisasi 3.1.1 Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia,

Lebih terperinci

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al) ABSTRAK SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN Andi

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari beberapa pulau besar antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Lebih terperinci

HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA

HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA *) Budi Nugraha *) dan Karsono Wagiyo *) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta ABSTRAK Tuna long line merupakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA

WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA WORKSHOP GUIDELINES PENGELOLAAN UPAYA PENANGKAPAN DALAM RANGKA PENGELOLAAN PERIKANAN PUKAT HELA DI ARAFURA LATAR BELAKANG 1. Merujuk program kerja Direktorat Kapal Perikanan & Alat Penangkapan Ikan tahun

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Jakarta Utara 4.1.1 Letak geografi dan keadaan topografi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta terletak di Muara Baru. Kawasan

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.322/DJ-PSDKP/2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT

KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT 0 KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT Oleh MULYONO S. BASKOROdan RONNY I WAHJU 1) Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 22 Januari 2015; disetujui: 23 Januari 2015 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH Erika Lukman Staf Pengajar Faperta FPIK UNIDAR-Ambon, e-mail: - ABSTRAK Ikan tuna (Thunnus

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract

KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Abstract 1 KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) (Indonesian s Participation in Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)) Angga Ulung Tranggana Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP,

Lebih terperinci

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU (2013-2016) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom 20151060029 PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS PASCA SARJANA

Lebih terperinci

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Studi Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Pancing Ulur dengan Fishing Based di Pelabuhan Perikanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

Rekomendasi Kebijakan 2013

Rekomendasi Kebijakan 2013 DIPLOMASI INDONESIA - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DALAM FORUM REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONS (RFMOs) Sasaran Rekomendasi: Kebijakan yang terkait dengan prioritas nasional. Ringkasan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA 75 5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2 nd Regular Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly Migratory Fish

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR ABSTRAK PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR Erfind Nurdin Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristrasi I tanggal: 18 September 2007;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

BAB II PERMASALAH PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA. Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai permasalahan dan isu

BAB II PERMASALAH PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA. Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai permasalahan dan isu 35 BAB II PERMASALAH PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai permasalahan dan isu yang pernah dan sedang dihadapi oleh Indonesia dalam perikanan

Lebih terperinci

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 R.Diyan Krisdiana*, Dulmi ad Iriana**, Otong Suhara Djunaedi**,

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Oleh: Akhmad Solihin Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor Selatan Jawa yang menghadap Samudera Hindia adalah

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 HASIL 5.1.1 Unit penangkapan Pancing rumpon merupakan unit penangkapan yang terdiri dari beberapa alat tangkap pancing yang melakukan pengoperasian dengan alat bantu rumpon.

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di :

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-a DATA SATELIT

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Internasional Kebijakan umum Pemerintah Republik Indonesia pada organisasiorganisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya mengalami peningkatan, baik

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii) PADA MUSIM PEMIJAHAN DI SAMUDERA HINDIA

DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii) PADA MUSIM PEMIJAHAN DI SAMUDERA HINDIA Distribusi Panjang dan Eatimasi Total Tangkapan Tuna Sirip..di Samudera Hindia (Sulistyaningsih, R.K., et al) DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii)

Lebih terperinci

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 R.Diyan Krisdiana*, Dulmi ad Iriana**, Otong Suhara Djunaedi**,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan

Lebih terperinci