commit to user BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "commit to user BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum TPA Klotok Kota Kediri 1. Kota Kediri Kota Kediri terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Mojoroto, Kota, Pesantren dan terdiri dari 46 kelurahan. Secara astronomis Kota Kediri terletak di antara 111º,05 112º,03 Bujur Timur dan 7º,45 7º55 Lintang Selatan. Secara geografis wilayah Kota Kediri mempunyai luas wilayah 63,40 km 2 dengan batas-batas administrasinya adalah sebagai berikut : a. Batas wilayah utara : Kecamatan Gampengrejo dan Grogol b. Batas wilayah timur : Kecamatan Gurah dan Wates c. Batas wilayah selatan : Kecamatan Ngadiluwih dan Kandat d. Batas wilayah barat : Kecamatan Semen dan Grogol Wilayah Kota Kediri berada pada ketinggian antara m di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan 0 40 %. Kota ini dibelah oleh sungai Brantas yang membujur dari selatan ke utara sepanjang 7 km, dengan lebar sungai m. Sungai ini membagi Kota Kediri menjadi 2 wilayah, bagian barat sungai (Kecamatan Mojoroto) dan bagian timur sungai (Kecamatan Kota dan Pesantren). Curah hujan tertiggi 572 mm dengan hari hujan sebanyak 79 hari. Di sebelah barat (Kecamatan Mojoroto) terdapat Gunung Klotok (472 m) yang sekaligus merupakan batas administrasi. Sedangkan pusat kota berada di daerah Timur. Di Gunung Klotok tersebut terdapat tempat pembungan akhir sampah Kota Kediri, tepatnya di Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto. Keadaan geologi Kota Kediri yaitu : a. Alluvium : Kelompok batuan ini terdapat di bagian tengah dan kiri kanan kali Brantas dan merupakan batuan endapan yang berasal dari gunung berapi (Gunung Kelud). 55

2 56 b. Young Quartenary Volcanic Product : Kelompok batuan ini terdapat di bagian timur Kota Kediri, wilayah ini merupakan tanah pertanian yang subur karena berasal dari batuan Vulkanik muda (Gunung Kelud). c. Undifferent Vulcanic Product : Kelompok batuan ini terdapat di sebelah barat Kota Kediri yang terletak di daerah berbukit. Jenis tanah di wilayah Kota Kediri adalah alluvial coklat kelabu dan mediteran. Sesuai dengan karakteristik jenis tanah tersebut, yaitu tanah alluvial, memiliki sifat fisik diantaranya memiliki daya adsorpsi tinggi, permeabilitas rendah dan kepekaan erosinya besar. Jenis tanah mediteran juga dijumpai di wilayah perencanaan yang memiliki sifat yaitu daya adsorpsi sedang, permeabilitas tinggi dan kepekaan erosinya besar. Tanah mediteran sesuai untuk kawasan terbangun dengan erodibilitasnya yang besar. Perkiraan jumlah penduduk Kota Kediri berdasarkan penelitian Nugroho (2012) menggunakan Metode Geometrik yaitu : Tabel 8. Perkiraan Jumlah Penduduk No. Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Sumber: Nugroho, TPA Klotok TPA Klotok dibangun pada tahun 1992, terletak di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri tepatnya di daerah Gunung Klotok. Pengolahan sampah di Kota Kediri dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Kediri dengan sistem control landfill, dimana secara periodik sampah yang tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Namun, dalam perkembangannya TPA Klotok menjadi tempat pembuangan sampah dengan metode open dumping, dimana sampah hanya ditumpuk tanpa ada

3 57 pengolahan. Hal ini karena keterbatasan anggaran operasional, sistem pengelolaan yang kurang baik, tenaga pengolah sampah yang kurang kompeten dan sarana prasarana pengelolaan kurang memadai. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis sampah di TPA Klotok Kota Kediri sebagian besar berupa sampah domestik yang berasal dari pemukiman penduduk, pasar, tempat umum, dan pertanian. Persentase sampah organik (basah) di Kota Kediri yaitu sampah domestik (organik) mencapai 87,5 % dan non organik mencapai 12,5 %. Di beberapa zona, ketinggian timbunan sampah sudah cukup tinggi sekitar 20 meter dan juga rawan longsor. Pagar pembatas TPA sudah tidak mampu menampung timbunan sampah tersebut. Air lindi atau air rembesan sampah langsung dialirkan ke sungai yang ada di sebelah barat daya TPA menggunakan pipa berukuran besar tanpa melalui proses pengolahan. Luas TPA Klotok yaitu 2,5 ha dengan kapasitas untuk menampung sampah sebesar 576,35 m 3. TPA Klotok sekarang berusia 22 tahun dan telah menampung 1,38 juta m 3 sampah (melebihi kapasitas daya tampung) sehingga kondisinya sudah overload. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Kota Kediri membangun TPA II dengan sistem sanitary landfill yaitu sistem pembuangan sampah dengan cara menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan selapis demi selapis. TPA II tersebut sedang dalam proses pembangunan yang diperkirakan akan selesai pada akhir tahun Luas TPA II yaitu 2,1 ha, namun diperkirakan kapasitas daya tampungnya hanya sampai 7 tahun. Hal ini dihitung berdasarkan jumlah sampah yang masuk setiap harinya dibanding dengan kapasitas daya tampung TPA Klotok. Setelah itu, TPA II tersebut akan kembali overload. Hukum operasional persampahan di Kota Kediri mengacu pada : a. Peraturan Walikota Kediri No. 63 tahun 2008 tentang tupoksi dinas kebersihan dan pertamanan. b. Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

4 58 c. Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. d. Peraturan Daerah Kota Kediri No. 11 tahun 2000 tentang struktur organisasi dinas sebagai unsur pelaksana daerah. e. Peraturan Daerah Kota Kediri No. 14 tahun 2003 tentang retribusi pelayanan / kebersihan kota kediri. Sampah domestik (khususnya rumah tangga) merupakan penyumbang terbesar sampah di TPA Klotok. Menurut penelitian Nugroho (2012), 80 % sampah di Kota Kediri berasal dari sampah domestik. Berdasarkan SK SNI T tentang persyaratan umum tempat pembuangan sampah yaitu : a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan TPA Klotok memang termasuk ekonomis karena bermanfaat bagi pemulung, namun TPA Klotok tidak dapat menampung sampah yang ditargetkan sehingga memerlukan tempat baru agar sampah di Kota Kediri dapat tertampung keseluruhan. b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah Jalan menuju TPA Klotok dapat dicapai oleh kendaraan pengangkut sampah dengan mudah karena walaupun jalan tidak terlalu lebar namun sudah beraspal dan tidak banyak belokan. c. Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah TPA Klotok sudah tercakup dalam rencana tata ruang wilayah kota Kediri yaitu pada peraturan daerah Kota Kediri No. 1 Tahun d. Aman terhadap lingkungan sekitarnya Lingkungan sekitar TPA Klotok yaitu krematorium dan pemukiman penduduk. Walaupun jarak antara TPA Klotok dengan pemukiman penduduk agak jauh sekitar 100 m lebih, namun banyak dampak yang diakibatkan oleh TPA Klotok yang dapat mengganggu kesehatan penduduk sekitar.

5 59 e. Lokasi/jenis tanah kedap air TPA Klotok mempunyai jenis tanah alluvial cokelat kelabu yang mempunyai sifat adsorbsi tinggi sehingga tidak kedap air. Jika hujan, air akan merembes dan mengalir ke sungai di sebelah barat daya TPA. f. Daerah yang tidak produktif untuk pertanian Wilayah di sekitar TPA Klotok adalah daerah krematorium sehingga tidak produktif sebagai lahan pertanian. g. Dapat dipakai minimal 5 10 tahun. Usia TPA Klotok sampai tahun 2014 yaitu 22 tahun. h. Tidak membahayakan atau mencemarkan sumber air Air lindi atau air rembesan sampah langsung dialirkan ke sungai yang ada di sebelah barat daya TPA menggunakan pipa berukuran besar tanpa melalui proses pengolahan. Hal ini menimbulkan pencemaran air sungai dan berpotensi mencemari air sumur warga karena TPA Klotok terletak dekat dengan pemukiman. i. Jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km Jarak TPA Klotok dan DKP Kota Kediri sekitar 8 km sehingga masih memenuhi syarat. j. Daerah bebas banjir TPA Klotok terletak di daerah Gunung Klotok yang merupakan perbukitan sehingga bebas dari banjir.

6 60 Gambar 3. Peta Lokasi TPA Klotok Kediri Berdasarkan gambar 3 di atas, TPA Klotok terletak dekat dengan pemukiman penduduk di Kelurahan Pojok dan sungai di sebelah barat daya TPA. TPA Klotok mempunyai satu zona aktif (ZA), tiga zona pasif (ZP), rumah kompos, pipa gas metana, dan saluran lindi serta drainase. Luas zona pasif dan zona aktif yaitu 1,536 ha, sedangkan luas keseluruhan TPA Klotok yaitu 2,5 ha. Berikut adalah kondisi eksisting TPA Klotok Kota Kediri :

7 61 Gambar 4. Layout Eksisting TPA Klotok Kota Kediri Berdasarkan gambar 4, di wilayah TPA Klotok terdapat bangunan IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja) dan IPL (Instalasi Pengolah Limbah) yang tidak berfungsi dengan optimal, pos kontrol untuk mengontrol segala aktivitas di TPA, garasi tempat penyimpanan alat, dan kantor. Pada zona aktif terdapat kegiatan operasional alat berat untuk meratakan sampah yang menumpuk. Kejadian yang pernah terjadi di TPA Klotok yaitu tembok jebol karena tumpukan sampah yang meluber dan melebihi daya tampungnya, luberan sampah sampai masuk ke sungai di dekat TPA, dan kebocoran air lindi yang masuk sungai.

8 62 Gambar 5. Model Pengelolaan Sampah Eksisting Kota Kediri Sampai saat ini, pengelolaan sampah di TPA Klotok Kota Kediri masih menggunakan paradigma lama yaitu kumpul angkut buang. Sampah dari sumbernya dikumpulkan baik oleh warga maupun pemerintah melalui alat angkut (gerobak, truk) dan kemudian dibuang di TPA. Pemerintah kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA Klotok, terbukti dengan minimnya pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Klotok. Berdasarkan SNI , Kota Kediri masuk dalam kota sedang dengan rata-rata timbulan sampah adalah 0,75 kg/orang/hari. Apabila dilakukan proyeksi timbulan sampah pada tahun 2014 adalah sebagai berikut : = Jumlah penduduk x timbulan sampah = jiwa x 0,75 kg/orang/hari = ,75 kg/hari = 242,4 ton/hari

9 63 Berdasarkan perhitungan di atas, perkiraan timbulan sampah di TPA Klotok Kota Kediri tahun yaitu : Tabel 9. Perkiraan Timbulan Sampah No. Tahun Timbulan sampah kg/hari ton/hari ,75 234, ,75 238, ,75 242, ,50 246, ,50 250,4 Kegiatan pengolahan sampah yang sudah dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Kediri yaitu pengomposan dan bank sampah. Berikut penjelasan masing-masing kegiatan : a. Pengomposan DKP Kota Kediri melakukan pengomposan sederhana dengan komposter melalui beberapa tahapan yaitu : 1) Bahan-bahan : a) Sampah basah/organik yang terdiri dari sampah daun-daun dari pekarangan dan dapur. b) Starter yang berasal dari kompos yang sudah jadi atau setengah jadi berfungsi sebagai pemicu proses pengomposan karena di dalamnya terdapat mikroorganisme yang masih aktif yang akan mempercepat proses pengomposan. c) Bekatul/dedak/serbuk gergaji yang berfungsi sebagai makanan atau nutrisi bagi mikroorganisme. d) Mol (mikroorganisme lokal) / Em 4 yaitu zat pengurai atau mikroorganisme yang perlu ditambahkan untuk menambah jumlah mikroba, sehingga mempercepat proses pengomposan. Selain itu, digunakan juga tetes/air gula sebagai pembangkit mikroorganisme supaya menjadi aktif kembali dalam proses pengomposan. 2) Alat yang dibutuhkan yaitu komposter/timba bekas, pisau dan tatakan, timba untuk mencampur mol dan air, serta sarung tangan.

10 64 3) Cara membuat kompos yaitu : a) Mencacah sampah basah/organik menjadi lebih kecil supaya cepat terurai. b) Mencampur semua bahan dengan sampah basah secara merata. c) Menyiram bahan yang sudah tercampur dengan larutan mol yang tercampur air dengan perbandingan 1:10 lt air. d) Mengecek kelembaban (tidak boleh terlalu basah/terlalu kering) dengan menggenggam campuran, bila digenggam tetap menggumpal berarti kelembaban sudah cukup, bila tangan dibuka campuran pecah berarti campuran terlalu kering sehingga perlu ditambahkan air campuran mol dan tetes. e) Memasukkan campuran bahan kompos ke dalam komposter yang telah disipakan. f) Menutup dan meletakkan di tempat teduh yang terhindar dari hujan dan panas secara langsung. b. Bank Sampah 1) Maksud dan tujuan bank sampah yaitu : a) Aspek Lingkungan dan Ekonomi Membantu pemerintah dalam mengurangi volume sampah dari sumbernya, mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Sampah mempunyai nilai manfaat dan ekonomi sehingga mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. b) Aspek Sosial Agar muncul kepedulian dan kegotongroyongan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. 2) Sasaran a) Warga yang mau melakukan pemilahan sampah secara terus menerus di seluruh perkampungan di wilayah RT / RW dan masyarakat kelurahan pada umumnya.

11 65 b) Masyarakat yang memiliki sikap kepedulian dan tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sampah pada masing-masing rumah. 3) Target a) Membantu mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA. b) Memanfaatkan sampah sebagai upaya untuk sumber penghasilan ekonomi. c) Membuka peluang lapangan usaha. d) Meningkatnya sikap kegotong-royongan yang kuat sebagai nasabah bank sampah. 4) Standarisasi bank sampah a) Memiliki tempat untuk penampungan sampah kering. b) Memiliki sistem pengolahan sampah kering. B. Faktor Lingkungan Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan pada saat pengambilan sampel gas CH 4 dan CO 2, diperoleh data faktor lingkungan sebagai berikut : Tabel 10. Faktor Lingkungan saat Pengambilan Sampel CH 4 dan CO 2 Zona Parameter A B C D (aktif) (pasif) (istirahat (kontrol) pemulung) P A G I S O R E Satuan Suhu udara C Kelembaban % Kecepatan angin 0 1,87 0 1,43 0 1,49 0 1,86 m/dt Arah angin ke Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah Suhu udara C Kelembaban % Kecepatan angin 0 2,87 0 2,41 0 2,45 0 2,35 m/dt Arah angin ke Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah Sumber: Data Primer, 2014

12 66 Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan pada saat pengambilan sampel gas H 2 S, diperoleh data faktor lingkungan sebagai berikut : Tabel 11. Faktor Lingkungan saat Pengambilan Sampel H 2 S Zona Parameter A (aktif) B (pasif) C (istirahat pemulung) D (kontrol) Satuan 1 Suhu udara 37,3 36,3 34,3 32,5 C 2 Kelembaban % 3 Kecepatan angin 0 2,35 0 2,85 0 2,41 0 1,86 m/dt 4 Arah angin ke Utara Utara Utara Utara 5 Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah Sumber: Data Primer, 2014 Tabel 10 dan 11 yang merupakan hasil pengukuran faktor lingkungan (meteorologi) menjelaskan bahwa suhu, kecepatan angin, dan kelembaban di setiap zona bervariasi. Hal ini disebabkan pengukuran faktor lingkungan di setiap zona dilakukan tidak dalam waktu yang sama, sehingga akan mempengaruhi konsentrasi gas yang teremisikan dari permukaan timbunan sampah (landfill) ke atmosfer. Suhu udara sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, lama penyinaran matahari, ketinggian dan sudut datang matahari (Lakitan, 2002). Sedangkan suhu udara mempengaruhi kelembaban dari timbunan sampah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi gas. Arah dan kecepatan angin akan menentukan terjadinya distribusi polutan (gas CH 4, CO 2, H 2 S) serta arah penyebarannya (Wibisono, 2005). Pengaruh suhu udara terhadap konsentrasi gas di udara adalah semakin tinggi suhu maka konsentrasi gas di udara akan semakin menurun karena saat suhu meningkat akan terjadi pemuaian udara dan mengakibatkan pengenceran konsentrasi gas sehingga konsentrasi gas yang terukur lebih kecil (Lakitan, 2002). Kecepatan angin mempengaruhi konsentrasi gas yang terukur, semakin tinggi kecepatan angin maka konsentrasi gas yang terukur semakin rendah karena angin mampu mendistribusikan polutan dari satu tempat ke tempat lain tergantung besarnya kecepatan angin.

13 67 Berdasarkan tabel 10, diketahui suhu udara ambien di pagi hari lebih besar daripada sore hari, hal ini dikarenakan pagi hari radiasi matahari akan diserap oleh gas dan partikel yang melayang di atmosfer sehingga akan meningkatkan suhu udara (Lakitan, 2002). Kecepatan angin rata-rata di pagi hari lebih kencang daripada sore hari. Menurut skala Beaufort, kecepatan angin sebesar 0 2,5 m/dt dikategorikan sebagai angin ringan yang berarti kecepatan angin dengan kategori tersebut tidak dapat mendispersikan polutan (gas CH 4, CO 2, H 2 S) dari satu zona ke zona yang lain (Wibisono, 2005) yang berarti gas CH 4, CO 2, H 2 S yang terukur cukup akurat, yaitu berasal dari timbunan sampah setempat. Arah angin pada saat pengukuran gas CH 4 dan CO 2 menuju ke tenggara, sehingga titik kontrol yang digunakan yaitu pemukiman penduduk yang berada di sebelah barat laut TPA Klotok karena letaknya berlawanan dengan arah angin. C. Pengaruh Paparan Gas terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan 1. Analisis Univariat Analisis univariat adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik responden (pemulung) seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, lama paparan, status gizi, riwayat penyakit, kebiasaan merokok, dan kebiasaan memakai APD, paparan gas CH 4, CO 2 dan H 2 S, serta keluhan gangguan pernapasan. Jumlah total sampel di TPA Klotok Kota Kediri adalah 32 responden. Berikut adalah analisis univariat masing-masing variabel :

14 68 a. Karakteristik Pemulung Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri diperoleh distribusi karakteristik pemulung sebagai berikut : Tabel 12. Distribusi Karakteristik Pemulung Variabel Jumlah (n) Persentase (%) Umur (tahun) < > TOTAL Jenis Kelamin Laki-laki 23 71,9 Perempuan 9 28,1 TOTAL Masa kerja (tahun) ,8 > ,2 TOTAL Lama paparan (jam) , ,2 TOTAL Status gizi Kurus 0 0 Normal 25 78,1 Gemuk 7 21,9 TOTAL Riwayat penyakit - - Kebiasaan merokok Tidak merokok 13 40,6 Merokok 19 59,4 TOTAL Kebiasaan memakai APD Memakai 19 59,4 Tidak memakai 13 40,6 TOTAL Sumber : Data Primer, 2014

15 69 1) Distribusi Umur Tabel 12 menunjukkan bahwa umur pemulung < 45 tahun sebanyak 24 orang (75 %) dan umur > 45 tahun sebanyak 8 orang (25 %). Rata-rata umur pemulung yaitu 41 tahun dengan umur minimum 25 tahun dan umur maksimum 55 tahun. Umur pemulung yang paling banyak yaitu < 45 tahun (75 %). Hal ini karena umur tersebut merupakan umur yang paling produktif, pada umur tersebut seseorang masih kuat dan mampu melakukan pekerjaan dengan optimal. Selain itu, ada pemulung umur tahun, pada umur ini seseorang baru berumah tangga, mereka bersedia bekerja apa saja asalkan penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Jumlah pemulung semakin sedikit pada umur tua (> 45 tahun) karena semakin tua umur seseorang maka kemampuan mengangkat beban dan kesehatan semakin menurun. 2) Distribusi Jenis Kelamin Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah pemulung laki-laki 23 orang (71,9 %) dan pemulung perempuan 9 orang (28,1 %). Jenis kelamin pemulung yang paling banyak yaitu laki-laki (71,9 %). Hal ini karena laki-laki adalah pencari nafkah utama, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Namun ada juga perempuan yang bekerja sebagai pemulung dengan alasan membantu suami dan menambah penghasilan. Pemulung perempuan biasanya mengurusi pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga terlebih dahulu baru mereka bisa berangkat kerja memulung. 3) Distribusi Masa Kerja Tabel 12 menunjukkan bahwa masa kerja pemulung 1 10 tahun sebanyak 22 orang (68,8 %) dan > 10 tahun sebanyak 10 orang (31,2 %). Rata-rata masa kerja pemulung yaitu 10 tahun dengan masa kerja minimum 3 tahun dan masa kerja maksimum 20 tahun. Masa kerja pemulung yang paling banyak yaitu 1 10 tahun (68,8 %). Hal ini karena pekerjaan menjadi pemulung relatif masih baru bagi sebagian

16 70 orang namun cukup menghasilkan sehingga banyak diminati dan berkembang di daerah sekitar TPA Klotok Kota Kediri. Selain itu, karena sulitnya mencari pekerjaan, tidak adanya keterampilan, dan tidak adanya modal usaha juga menjadi alasan mereka bekerja sebagai pemulung. Untuk pemulung yang bekerja lebih dari 10 tahun, ada yang dari awal menjadi pemulung sudah bekerja di TPA Klotok, ada juga yang sebelumnya telah menjadi pemulung di tempat lain. 4) Distribusi Lama Paparan Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung terpapar gas di TPA untuk waktu 8 jam/hari sebanyak 22 orang (68,8 %) dan 9 jam/hari sebanyak 10 orang (31,2 %). Lama paparan gas yang paling banyak diterima pemulung yaitu 8 jam/hari (68,8 %). Hal ini karena sebagian besar pemulung bekerja mulai dari jam dilanjutkan jam kemudian Pemulung yang bekerja 9 jam/hari atau lebih, sebagian besar adalah laki-laki karena mereka ingin mencari penghasilan lebih dan kekuatan mereka untuk bekerja lebih dari 8 jam/hari pun mendukung. 5) Distribusi Status Gizi Status gizi pemulung diukur menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan rumus : BB IMT = 2 TB Keterangan: BB = Berat badan (kg) TB = Tinggi badan (m) Berdasarkan tabel 12, sebagian besar pemulung mempunyai status gizi dengan kategori normal sebanyak 25 orang (78,1 %). Sedangkan untuk kategori kurus tidak ada dan kategori gemuk sebanyak 7 orang (21,9 %). Status gizi pemulung yang paling banyak yaitu status gizi normal (78,1 %).

17 71 6) Distribusi Riwayat Penyakit Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri menunjukkan bahwa semua pemulung tidak mempunyai riwayat penyakit pernapasan. Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap sebagai pencetus timbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit yang diderita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah menderita penyakit sistem pernapasan, maka akan meningkatkan risiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar gas. Menurut Budiono (2007), seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah sehingga risiko gangguan pernapasan akan meningkat. 7) Distribusi Kebiasaan Merokok Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung yang terbiasa tidak merokok sebanyak 13 orang (40,6 %) sedangkan pemulung yang terbiasa merokok sebanyak 19 orang (59,4 %). Sebagian besar pemulung merokok sekitar 12 batang per hari dan pada umumnya laki-laki, pemulung wanita tidak ada yang mempunyai kebiasaan merokok. Semakin banyak rokok yang dihisap tiap hari, makin tinggi risiko terkena kanker. Peneliti di Italia menjelaskan bahwa perokok dengan 15 batang atau lebih tiap harinya memiliki risiko relatif 2,6 kali menderita bronkhitis kronis dan 1,7 kali emfisema dibandingkan dengan bukan perokok (Fontham et al., 1994 dalam Yulaekah, 2007).

18 72 8) Distribusi Kebiasaan Memakai APD Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung yang terbiasa memakai APD yaitu 19 orang (59,4 %) dan pemulung yang terbiasa tidak memakai APD yaitu 13 orang (40,6 %). APD yang selalu digunakan pemulung di TPA Klotok yaitu sarung tangan, sepatu boots, dan topi. Sedangkan untuk masker hanya beberapa orang pemulung yang menggunakannya. Hal ini karena pemulung tidak nyaman menggunakan masker dan juga panas saat digunakan. Selain itu, banyak dari pemulung mengatakan bahwa mereka sudah beradaptasi (terbiasa) dengan bau di TPA Klotok sehingga tidak perlu menggunakan masker. b. Paparan Gas CH 4, CO 2 dan H 2 S Tabel 13. Hasil Pengukuran Gas CH 4, CO 2 dan H 2 S ZONA Baku Variabel A B C D (aktif) (pasif) (istirahat (kontrol) Mutu pemulung) CH 4 Pagi 0,11 0,11 0,09 0,05 (%) Sore 0,11 0,11 0,09 0,06 0,1 CO 2 Pagi 0,05 0,05 0,05 0,05 (%) Sore 0,05 0,05 0,05 0,04 0,5 H 2 S (ppm) Siang 0,024 0,022 0,019 0,013 0,02 Sumber : Data Primer, ) Gas metana (CH 4 ) Pengukuran gas CH 4 dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan dua kali di setiap zona yaitu pagi ( ) dan sore hari (16.00 gas metana selama 1 hari ) untuk mengetahui fluktuasi konsentrasi Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CH 4 terukur bervariasi di setiap zona dan tiap waktu pengukurannya. Konsentrasi terendah di pagi hari yaitu di zona kontrol (0,04 %) dan konsentrasi tertinggi di zona aktif dan pasif (0,12 %). Konsentrasi terendah yang

19 73 terjadi di sore hari yaitu di zona kontrol (0,05 %) dan konsentrasi tertinggi yaitu di zona aktif dan zona pasif (0,12 %). Konsentrasi gas CH 4 pada sore hari lebih besar di semua zona. Di Indonesia belum ada peraturan tentang baku mutu konsentrasi gas CH 4 di TPA. Namun, jika dibandingkan dengan baku mutu konsentrasi gas CH 4 di udara ambien (0,1 %) menurut NIOSH, maka konsentrasi gas CH 4 yang melebihi baku mutu yaitu pada zona aktif dan pasif sebesar 0,11 % (pagi dan sore hari). Zona aktif, pasif, dan istirahat pemulung terletak di TPA dan mempunyai konsentrasi gas CH 4 lebih besar daripada zona kontrol yang terletak jauh dari TPA (± 300 m dari TPA). Zona kontrol merupakan daerah pemukiman penduduk yang dekat dengan TPA (± 300 m dari TPA). Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa konsentrasi gas CH 4 di zona kontrol tidak melebihi baku mutu. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa potensi gas CH 4 yang teremisikan dari TPA Klotok ke atmosfer dapat berkontribusi dalam meningkatkan efek rumah kaca di bumi sehingga dapat meningkatkan suhu di bumi. Oleh karena itu, di TPA Klotok harus dilakukan pengelolaan gas dengan memanfaatkan gas CH 4 tersebut dengan lebih optimal. 2) Gas karbon dioksida (CO 2 ) Pengukuran gas CO 2 sama dengan pengukuran gas CH 4 yang dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan dua kali di setiap zona yaitu pagi ( ) dan sore hari ( ) untuk mengetahui fluktuasi konsentrasi gas CO 2 selama 1 hari. Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO 2 hampir sama di setiap zona dan waktu pengukuran yaitu sekitar 0,05 %. Namun untuk konsentrasi gas CO 2 di sore hari pada zona kontrol merupakan konsentrasi paling rendah yaitu 0,04 %.

20 74 Di Indonesia belum ada peraturan tentang baku mutu konsentrasi gas CO 2 di TPA. Namun, jika dibandingkan dengan baku mutu konsentrasi gas CO 2 (0,5 %) menurut OSHA, maka konsentrasi gas CO 2 pada semua zona dan waktu pengukuran tidak melebihi baku mutu. 3) Gas hidrogen sulfida (H 2 S) Pengukuran gas H 2 S dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan pada siang hari ( jam untuk masing-masing zona ) dan dalam waktu Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas H 2 S terukur bervariasi disetiap zona. Konsentrasi terendah yaitu di zona kontrol sebesar 0,013 ppm dan konsentrasi tertinggi di zona aktif sebesar 0,024 ppm. Baku mutu gas H 2 S menurut KepMenLH No. 50 Tahun 1996 tentang baku tingkat kebauan yaitu 0,02 ppm. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa konsentrasi gas H 2 S di zona aktif (0,024 ppm) dan pasif (0,022 ppm) melebihi baku mutu yang telah ditentukan. c. Keluhan Gangguan Pernapasan Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri diperoleh distribusi keluhan gangguan pernapasan yang dirasakan pemulung yaitu sebagai berikut : Tabel 14. Distribusi Keluhan Gangguan Pernapasan Keluhan gangguan pernapasan Jumlah (n) Persentase (%) Ya 19 59,4 Tidak 13 40,6 Total Sumber : Data Primer, 2014 Dari tabel 14 dapat diketahui bahwa pemulung yang mengalami keluhan gangguan pernapasan (59,4%) lebih banyak daripada pemulung yang tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan (40,6%).

21 75 Pemulung di TPA Klotok ternyata ada yang tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan sama sekali (13 orang). Hal ini dimungkinkan karena mereka sudah mengalami adaptasi (penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan). Adaptasi dapat terjadi dengan beberapa cara, salah satunya yaitu melalui proses fisiologis (Soemarwoto, 2004). Sebagai contoh, orang yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah domestik, dalam tubuhnya berkembang kekebalan terhadap infeksi muntah berak. Begitu pula dengan pemulung yang bekerja setiap hari di TPA Klotok, kekebalan terhadap infeksi saluran pernapasan atas (keluhan gangguan pernapasan) akan berkembang dengan sendirinya dalam tubuh pemulung, sehingga mereka tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan seperti batuk, nyeri dada, dan sesak napas. Namun beberapa pemulung yang tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan sama sekali tersebut menyatakan bahwa pada awal bekerja sebagai pemulung, mereka memang mengalami keluhan gangguan pernapasan (batuk, nyeri dada, sesak napas) dengan keluhan paling sering yaitu batuk dengan rasa mual yang sangat. Bau yang berasal dari proses dekomposisi sampah di TPA Klotok merupakan penyebab rasa mual yang dialami pemulung.

22 76 2. Analisis Bivariat a. Hubungan Karakteristik Pemulung dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Tabel 15. Hasil Uji Fisher Karakteristik Pemulung dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Keluhan gangguan Variabel pernapasan Ada % Tidak % Total p ada Umur < , ,5 24 0,101 (th) > ,9 1 3,1 8 TOTAL 19 59, ,6 32 Jenis Laki-laki 10 31, ,6 23 0,004 kelamin Perempuan 9 28, TOTAL 19 59, ,6 32 Masa kerja , ,5 22 0,024 (th) > ,1 1 3,1 10 TOTAL 19 59, ,6 32 Lama , ,699 paparan (jam/hr) ,6 5 15,6 10 TOTAL 19 59, ,6 32 Status Gizi Normal 13 40, ,5 25 0,195 Gemuk 6 18,8 1 3,1 7 TOTAL 19 59, ,6 32 Tidak Kebiasaan ,6 12 1,000 merokok merokok Merokok 11 34, TOTAL 19 59, ,6 32 Kebiasaan Memakai 14 43,8 5 15,6 19 0,071 memakai Tidak APD memakai 5 15,6 8 25,0 13 TOTAL 19 59, ,6 32 Sumber : Hasil Uji SPSS, 2014

23 77 1) Hubungan umur dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa keluhan gangguan pernapasan lebih banyak dialami pemulung dengan umur < 45 tahun. Hasil analisis uji Fisher antara data umur dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,101 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara umur dan keluhan gangguan pernapasan. 2) Hubungan jenis kelamin dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa semua pemulung wanita mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 9 orang (28,1 %). Hasil analisis uji Fisher antara data jenis kelamin dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,004 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan antara jenis kelamin dan keluhan gangguan pernapasan. Jenis kelamin akan mempengaruhi kapasitas parunya, karena secara anatomi sudah berbeda. Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dibandingkan pria (Guyton dan Hall, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa semua pemulung wanita mengalami keluhan gangguan pernapasan, berbeda dengan laki-laki, hanya beberapa di antara mereka yang mengalami keluhan gangguan pernapasan. 3) Hubungan masa kerja dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa pada masa kerja 1 10 tahun, sebanyak 10 orang (31,3 %) mengalami keluhan gangguan pernapasan dan 12 orang (37,5 %) tidak mengalami keluhan, sedangkan pada masa kerja > 10 tahun sebagian besar pemulung mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu sebanyak 9 orang (28,1 %). Hasil analisis uji Fisher antara data masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,024 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan antara masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan.

24 78 Rosbinawati (2002) dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan gangguan pernapasan, semakin lama masa kerja seseorang maka semakin lama terpapar kontaminan pencemar udara sehingga semakin mengganggu kesehatan paru. Menurut Morgan dan Parkes dalam Budiono (2007), waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar kontaminan pencemar udara untuk terjadinya gangguan fungsi paru yaitu kurang lebih 10 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh yang menyebutkan bahwa pemulung dengan masa kerja > 10 tahun sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan. 4) Hubungan lama paparan dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa keluhan gangguan pernapasan yang paling banyak dialami pemulung dengan lama paparan 8 jam/hari yaitu sebanyak 14 orang pemulung (43,8 %). Hasil analisis uji Fisher antara data lama paparan dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,699 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara lama paparan dan keluhan gangguan pernapasan. Menurut Horrington dan Gill (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam. Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 8 jam. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terjadi penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu berkepanjangan akan menimbulkan terjadinya kelelahan, gangguan 2009). Bekerja yang melebihi 8 jam sehari mengakibatkan penurunan dalam total prestasi dan penurunan kecepatan kerja yang disebabkan kelelahan dan gangguan kesehatan (seperti gangguan pernapasan). Bekerja selama 8 jam per

25 79 hari dapat diambil sebagai suatu kondisi yang optimal. Meskipun demikian waktu istirahat harus tetap diadakan (Sedarmayanti, 2009). 5) Hubungan status gizi dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa pada status gizi normal sebanyak 13 orang (40,6 %) mengalami keluhan gangguan pernapasan dan 12 orang (37,5 %) tidak mengalami keluhan, sedangkan pada status gizi gemuk sebanyak 6 orang (18,8 %) dari 7 orang pemulung mengalami keluhan gangguan pernapasan. Hasil analisis uji Fisher antara data status gizi dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,195 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara status gizi dan keluhan gangguan pernapasan. Status gizi mempengaruhi kapasitas paru, orang kurus tinggi biasanya kapasitas vital paksanya lebih besar dari orang gemuk pendek. Salah satu akibat kekurangan zat gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibodi sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, diare dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu organik ataupun gas yang masuk dalam tubuh (Almaitser, 2002). 6) Hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa ada 8 orang (25 %) pemulung yang tidak merokok namun mengalami keluhan gangguan pernapasan dan ada 11 orang (34,4 %) pemulung yang merokok dan mengalami keluhan gangguan pernapasan. Hasil analisis uji Fisher antara data kebiasaan merokok dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 1,000 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dan keluhan gangguan pernapasan. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran napas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru dengan

26 80 segala macam gejala klinisnya (Fontham et al., 1994 dalam Yulaekah, 2007). 7) Hubungan kebiasaan memakai APD dengan keluhan gangguan pernapasan Tabel 15 menunjukkan bahwa untuk pemulung yang memakai APD ada 14 orang (43,8 %) yang mengalami keluhan gangguan pernapasan, sedangkan untuk pemulung yang tidak memakai APD hanya ada 5 orang (15,6 %) yang mengalami keluhan gangguan pernapasan. Hasil analisis uji Fisher antara data kebiasaan memakai APD dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,071 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan memakai APD dan keluhan gangguan pernapasan. APD dalam hal ini adalah masker sebagai pelindung saluran pernapasan, selain itu APD yang biasa digunakan pemulung saat bekerja adalah sepatu boot, sarung tangan, dan topi. Namun, ada juga beberapa pemulung yang tidak menggunakan APD secara lengkap dengan alasan APD tersebut tidak nyaman saat dipakai. Organ tubuh yang rentan mendapat serangan dari sumber luar adalah mata, kulit, dan pernapasan. Untuk melindungi organ tersebut, diperlukan alat pelindung diri yang harus dipakai pada organ yang akan dilindungi. Perlindungan tubuh atau permukaan kulit berupa baju kerja dapat digunakan sarung tangan kerja dan sepatu kerja untuk mencegah kerusakan kulit akibat reaksi alergi atau zat kimia yang korosif, mencegah penyebaran zat kimia melalui kulit dan penyebaran panas atau dingin atau sinar radiasi. Sedangkan untuk perlindungan terhadap sistem pernapasan dapat digunakan masker untuk mencegah kerusakan sistem pernapasan akibat debu atau bau busuk yang timbul dari sampah (Horrington dan Gill, 2005).

27 81 b. Pengaruh Paparan Gas CH 4, CO 2, dan H 2 S terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan Tabel 16. Hasil Uji Fisher Paparan Gas CH 4, CO 2, dan H 2 S terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan Keluhan gangguan pernapasan Ada % Tidak % Total p ada CH 4 2 6,3 7 21,9 9 0,015 > NAB 17 53,1 6 18,8 23 TOTAL 19 59, ,6 32 CO , , > NAB TOTAL 19 59, ,6 32 H 2 S 2 6,3 6 18,8 8 0,038 > NAB 17 53,1 7 21,9 24 TOTAL 19 59, ,6 32 Sumber : Hasil Uji SPSS, ) Pengaruh paparan gas CH 4 terhadap keluhan gangguan pernapasan Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas CH 4 yang melebihi NAB sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 17 orang (53,1 %) dan untuk konsentrasi CH 4 yang tidak melebihi NAB sebagian besar tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 7 orang (21,9 %). Hasil analisis uji Fisher antara data paparan gas CH 4 dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,015 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh paparan gas CH 4 terhadap keluhan gangguan pernapasan. Gas metana bersifat eksplosif yaitu mudah terbakar dengan sendirinya dan akan menghasilkan asap yang mengganggu pernapasan (sesak napas) serta hasil pembakaran plastik sangat berbahaya karena termasuk zat karsinogen (penyebab kanker) (Suyono dan Budiman, 2010 dalam Listautin, 2012). Konsentrasi gas metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer sehingga menyebabkan gejala kekurangan oksigen (PADEP, 2011). Jika kandungan oksigen

28 82 di udara hingga di bawah 19,5 % akan mengakibatkan asfiksia atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. 2) Pengaruh paparan gas CO 2 terhadap keluhan gangguan pernapasan Berdasarkan tabel 13, konsentrasi gas CO 2 pada semua zona dan waktu pengukuran tidak melebihi nilai ambang batas. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran gas CO 2 adalah sama (homogen). Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas CO 2 semuanya tidak melebihi NAB dengan konsentrasi rata-rata yaitu 0,05 %. Hal ini berarti tidak ada pengaruh paparan gas CO 2 terhadap keluhan gangguan pernapasan. Konsentrasi gas CO 2 di TPA Klotok sangat rendah dan jauh dari baku mutu yang ditentukan. Orang yang menghirup karbon dioksida dengan konsentrasi tinggi baru bisa merasakan adanya keluhan gangguan pernapasan seperti sesak napas hingga akhirnya jatuh tak sadarkan diri karena tingkat oksigen yang menurun. Pada konsentrasi 3 % terjadi sesak napas dan sakit kepala atau mulai mengantuk. Konsentrasi di atas 5 % dapat membahayakan kehidupan (Fischer, 1999). 3) Pengaruh paparan gas H 2 S terhadap keluhan gangguan pernapasan Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas H 2 S yang melebihi NAB sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 17 orang (53,1 %) dan untuk konsentrasi H 2 S yang tidak melebihi NAB sebagian besar tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 6 orang (18,8 %). Hasil analisis uji Fisher antara data paparan gas H 2 S dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,038 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh paparan gas H 2 S terhadap keluhan gangguan pernapasan. Hal ini karena pemulung bekerja di lingkungan tempat pembuangan sampah yang terdapat sumber gas yang melebihi nilai ambang batas. Pemulung terpapar gas hidrogen sulfida yang ada di

29 83 TPA Klotok dalam waktu yang cukup lama dan didukung dengan tidak terbiasanya memakai masker. Zat kimia yang dihasilkan dari sampah berupa gas hidrogen sulfida yang terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri. Menurut Soemirat (2009), hidrogen sulfida lebih berat daripada udara sehingga H 2 S sering terkumpul di udara pada lapisan bagian bawah. Hidrogen sulfida bersifat iritan bagi paru-paru dan digolongkan ke dalam asphyixiant. Asfiksia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepas karbon dioksida. Asfiksia terjadi apabila konsentrasi gas pencemar tinggi sehingga bersifat akut. Efek utama H 2 S adalah melumpuhkan pusat pernapasan sehingga pada konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan terhentinya pernapasan. 3. Ukuran Kekuatan Hubungan Rasio Odds (RO) Dalam penelitian ini digunakan analisis komparatif kategorik sehingga ukuran kekuatan hubungan dapat diketahui dengan menggunakan Rasio Odds (RO). Untuk paparan gas CO 2 tidak memiliki nilai RO karena rata-rata gas CO 2 di bawah NAB, jadi tidak menimbulkan gangguan pernapasan pada pemulung. Hasil uji SPSS untuk mengetahui nilai RO masing-masing variabel yaitu : Tabel 17. Hasil Uji Parameter Kekuatan Hubungan (RO) Keluhan gangguan pernapasan Ada Tidak ada p RO IK 95 % keluhan keluhan N % n % min max CH 4 > NAB 17 89,5 6 46,2 0,015 0,101 0,016 0, ,5 7 53,8 Ref H 2 S > NAB 17 89,5 7 53,8 0,038 0,137 0,022 0, ,5 6 46,2 Ref Sumber: Hasil Uji SPSS, 2014

30 84 Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai RO untuk CH 4 yaitu 0,101 dengan IK 95 % 0,016 0,626. Hal ini berarti pemulung pada paparan gas CH 4 yang melebihi NAB mempunyai kemungkinan 0,101 kali untuk mengalami keluhan gangguan pernapasan dibandingkan pada paparan gas CH 4 yang tidak melebihi NAB. Probabilitas dapat dihitung dengan rumus : p = RO / (1+RO) p = 0,101 / (1+ 0,101) p = 0,092 p = 9,2 % Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa probabilitas pemulung pada paparan gas CH 4 yang melebihi NAB untuk menderita keluhan gangguan pernapasan adalah sebesar 9,2 %. Nilai RO untuk H 2 S berdasarkan tabel 33 yaitu 0,137 dengan IK 95 % 0,022 0,853. Hal ini berarti pemulung pada paparan gas H 2 S yang melebihi NAB mempunyai kemungkinan 0,137 kali untuk mengalami keluhan gangguan pernapasan dibandingkan pada paparan gas H 2 S yang tidak melebihi NAB. Probabilitas dapat dihitung dengan rumus : p = RO / (1+RO) p = 0,137 / (1+ 0,137) p = 0,1205 p = 12 % Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa probabilitas pemulung pada paparan gas H 2 S yang melebihi NAB untuk menderita keluhan gangguan pernapasan adalah sebesar 12 %.

31 85 D. Pembahasan Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau sengaja dibuang dari hasil aktivitas manusia, industrialisasi maupun dari proses alam yang belum mempunyai nilai ekonomis. Saat ini sampah menjadi permasalahan baru karena memang semakin sedikit lahan pembuangan akhir (TPA) dan berbanding terbalik dengan produksi sampah yang semakin banyak, terutama di kota-kota besar dengan penduduk yang padat. Peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat sangat berpengaruh terhadap peningkatan volume sampah. Selain itu, penyebab meningkatnya permasalahan sampah juga dikarenakan : 1. Volume sampah yang sangat besar sehingga melebihi kapasitas daya tampung tempat pembuangan akhir sampah (TPA). 2. Lahan TPA semakin sempit karena tergeser penggunaan lain. 3. Teknologi pengelolaan sampah tidak optimal sehingga sampah lambat membusuknya, hal ini menyebabkan percepatan peningkatan volume sampah lebih besar dari pembusukannya, oleh karena itu selalu diperlukan perluasan area TPA baru. 4. Sampah yang sudah layak menjadi kompos tidak dikeluarkan dari TPA karena beberapa pertimbangan seperti dibutuhkan biaya tambahan untuk proses pengeluaran kompos tersebut dan secara teknis sulit dilakukan karena tidak semua sampah menjadi kompos dalam waktu yang sama. 5. Managemen pengelolaan sampah tidak efektif sehingga seringkali menjadi penyebab konflik dengan masyarakat setempat. 6. Kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah dalam memanfatkan produk sampingan sehingga tertumpuknya produk tersebut di lahan TPA. Di Indonesia volume sampah mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Kepedulian yang kurang dari masyarakat juga memperparah permasalahan sampah, karena makin banyak ditemukan sampah yang berserakan tidak pada tempatnya. Perilaku sosial tersebut diprediksi berasal dari persepsi masyarakat yang menganggap sampah sebagai barang kotor, menimbulkan bau yang menyengat, tidak berharga, tidak bermanfaat,

32 86 dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Persepsi tersebut mendorong masyarakat untuk mencari cara yang paling mudah dan murah dalam menangani sampah rumah tangganya yaitu dengan membuang atau membakarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembakaran sampah di tempat terbuka akan menghasilkan gas beracun serta dioxin yang berasal dari proses pembakaran plastik dan bahan beracun lain yang ada di dalam sampah. Keberadaan gas beracun tersebut akan menambah polusi udara (Damanhuri dan Padmi, 2010). Terkait hal ini, Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah membuat larangan bagi setiap orang untuk membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Namun nampaknya masyarakat belum mendapat sosialisasi yang baik tentang pelarangan tersebut, sehingga perilaku membakar sampah di tempat terbuka masih terus dilakukan masyarakat. Selama ini ada anggapan bahwa sampah hanya menimbulkan dampak pemanasan global jika dibakar. Berdasarkan hasil penelitian, anggapan tersebut tidak 100 % benar. Sampah yang dibuang begitu saja ternyata juga berkontribusi dalam mempercepat pemanasan global karena sampah menghasilkan gas metana (CH 4 ). Rata-rata tiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Berdasarkan SNI , timbulan sampah di TPA Klotok Kota Kediri pada tahun 2014 yaitu 242,4 ton/hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2014 gas metana yang dihasilkan dari TPA Klotok yaitu sebesar kg. Gas metana itu sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga kali lebih besar daripada CO 2. Gas metana berada di atmosfer dalam jangka waktu sekitar 7 10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3 Celsius per tahun (Norma, 2012). Keberadaan dan pergerakan gas metana sangat berbahaya pada TPA yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan gas. Hal ini disebabkan konsentrasi minimal gas metana sebesar 5 15 % dapat mengakibatkan bahaya ledakan dan kebakaran bila bercampur dengan udara atau peledakan saat terkena sambaran petir (US-EPA, 2010a). Menurut Firman L. S., seorang pakar

33 87 persampahan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan bahwa ledakan di TPA terjadi karena gas metana yang dihasilkan sampah bereaksi dengan udara. Tumpukan berton-ton sampah tersebut tidak memiliki saluran ventilasi sehingga terjebak dan volumenya terus meningkat seiring dengan bertambahnya sampah. Ketika timbunan gas dalam volume besar ini bersentuhan dengan udara, terjadilah pijar api yang disertai ledakan (Salman, 2010). Selain itu, kemungkinan terjadinya longsor sangat besar karena timbunan sampah yang tinggi. Kejadian longsornya sampah di TPA pernah terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari Sebanyak 143 orang tewas seketika, 137 rumah serta 8,4 hektar kebun dan lahan pertanian warga tertimbun longsoran sampah. TPA Leuwigajah berada di perbukitan dengan kemiringan tebing derajat. Ketinggian timbunan sampah di TPA Leuwigajah tersebut mencapai 30 meter. Kejadian ini terjadi pada waktu hujan di musim penghujan. Hujan yang terus-menerus membuat gas metana (CH 4 ) yang tertimbun sampah menjadi terdesak. Ketika hujan mengguyur tumpukan sampah, gas metana akan keluar naik sesuai dengan hukum alam karena memiliki berat jenis yang lebih ringan daripada air. Jika gas metana sudah mencapai 12 persen terhadap total udara, terjadilah ledakan. Survei yang dilakukan sebelum terjadi longsor oleh Enri Damanhuri, pakar lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan konsentrasi gas metana di TPA Leuwigajah sangat kritis yaitu mencapai 10 hingga 12 persen. Terjadinya ledakan yang sangat keras tersebut yang membuat tumpukan sampah longsor (Salman, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi gas CH 4 di TPA Klotok Kota Kediri pada zona aktif dan pasif (pagi dan sore hari) melebihi baku mutu yang telah ditentukan, sebagian besar pemulung bekerja di lingkungan dengan konsentrasi gas CH 4 yang melebihi baku mutu mempunyai keluhan gangguan pernapasan. Hal ini terbukti dengan hasil analisis uji fisher yaitu terdapat pengaruh paparan gas CH 4 terhadap keluhan gangguan pernapasan.

34 88 Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Lestari (2013) yang menyebutkan konsentrasi rata-rata gas CH 4 di zona 4 TPA Sumur Batu Kota Bekasi sebesar , 235 g/m 3 lebih besar dari baku mutu yang telah ditentukan. Zona 4 TPA Sumur Batu Kota Bekasi berpotensi sebagai salah satu sumber penghasil gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Akibat lain dari tumpukan sampah di TPA yaitu menimbulkan bau yang sangat menyengat (bau telur busuk). Gas yang menghasilkan bau telur busuk sangat kuat bahkan pada konsentrasi sangat rendah yaitu sulfida yang terdiri dari hidrogen sulfida, dimetil sulfida, dan merkaptan. Dari ketiga sulfida, hidrogen sulfida adalah gas dengan konsentrasi tertinggi yang dihasilkan di TPA. Manusia sangat sensitif terhadap bau hidrogen sulfida dan bisa mencium bau tersebut pada konsentrasi serendah 0,5 sampai 1 ppm. Menurut informasi yang dikumpulkan oleh Connecticut Departement of Public Health, konsentrasi hidrogen sulfida di udara ambien sekitar TPA ± 15 ppm (CTDPH, 1997). Hidrogen sulfida juga bersifat korosif terhadap metal dan menghitamkan berbagai material. Karena H 2 S lebih berat daripada udara, maka H 2 S ini sering terkumpul di udara pada lapisan bagian bawah dan sering diperoleh di sumursumur, saluran air buangan, dan biasanya ditemukan bersama gas beracun lainnya seperti metana dan karbon dioksida (Soemirat, 2009). Gas ini merupakan gas tidak berwarna, beracun, sangat mudah terbakar, karakteristik bau telur busuk (sudah tercium pada konsentrasi 0,5 ppm) dengan berat molekul 34,1 dan titik didih - sedikit larut dalam air. Bila terbakar menghasilkan SO 2 (US-EPA, 2010c). Pada umumnya manusia dapat mengenali bau H 2 S ini dengan konsentrasi 0,0005 ppm sampai dengan 0,3 ppm. Bila konsentrasi tinggi menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan penciuman. Hidrogen sulfida dilepaskan dari sumbernya terutama sebagai gas dan menyebar di udara pada lapisan bawah, dekat dengan manusia. Gas ini dapat bertahan di udara rata-rata 18 jam sampai 3 hari. Selama waktu itu hidrogen sulfida dapat berubah menjadi sulfur dioksida (SO 2 ).

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

PENGARUH PAPARAN GAS METANA (CH 4 ), KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN HIDROGEN SULFIDA (H 2

PENGARUH PAPARAN GAS METANA (CH 4 ), KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN HIDROGEN SULFIDA (H 2 PENGARUH PAPARAN GAS METANA (CH 4 KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN HIDROGEN SULFIDA (H 2 S) TERHADAP KELUHAN GANGGUAN PERNAPASAN PEMULUNG DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH KLOTOK KOTA KEDIRI Magister

Lebih terperinci

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR OLEH ELGA MARDIA BP. 07174025 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula

BAB 1 PENDAHULUAN. berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks, yang berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN Lampiran 5 KUESIONER PENELITIAN PENGARUH LINGKUNGAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH, PERSONAL HYGIENE DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) TERHADAP KELUHAN KESEHATAN PADA PEMULUNG DI KELURAHAN TERJUN KECAMATAN

Lebih terperinci

ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR 346/S1-TL/1011-P ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR Oleh: DHONA MARLINDRA 07 174 024 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama rumah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih banyak menghabiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas perkotaan di beberapa kota besar di Indonesia timbul berbagai masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas perkotaan di beberapa kota besar di Indonesia timbul berbagai masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai akibat dari perkembangan penduduk, wilayah pemukiman, dan fasilitas perkotaan di beberapa kota besar di Indonesia timbul berbagai masalah yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

PENGARUH PAPARAN CH4 DAN H2S TERHADAP KELUHAN GANGGUAN PERNAPASAN PEMULUNG DI TPA MRICAN KABUPATEN PONOROGO

PENGARUH PAPARAN CH4 DAN H2S TERHADAP KELUHAN GANGGUAN PERNAPASAN PEMULUNG DI TPA MRICAN KABUPATEN PONOROGO PENGARUH PAPARAN CH4 DAN H2S TERHADAP KELUHAN GANGGUAN PERNAPASAN PEMULUNG DI TPA MRICAN KABUPATEN PONOROGO Ratih Andhika A.R 1, Tofan Agung E.P 2 1 Universitas Darussalam Gontor; 2 Universitas Airlangga

Lebih terperinci

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat dijelaskan di dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat dijelaskan di dalam Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat dijelaskan di dalam Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 yaitu melalui upaya kesehatan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sekarang ini sudah menjadi penarik tersendiri bagi penduduk luar Kota Yogyakarta dengan adanya segala perkembangan di dalamnya. Keadaan tersebut memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu unsur atau zat yang sangat penting setelah air. Seluruh makhluk hidup membutuhkan udara sebagai oksigen demi kelangsungan hidupnya di muka

Lebih terperinci

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS Puji Setiyowati* dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan yang kotor merupakan akibat perbuatan negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden 6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga Lingkungan

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagi kelangsung hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling banyak terjadi di Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan TPST Piyungan Bantul I. Pendahuluan A. Latar belakang Perkembangan teknologi yang semakin maju dan kemegahan zaman mempengaruhi gaya hidup manusia ke dalam gaya hidup yang konsumtif dan serba instan. Sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan usaha tani yang intensif telah mendorong pemakaian pupuk anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan adalah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. 1. Sejarah Perkembangan Timbulnya Pencemaran Kemajuan industri dan teknologi dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sudah terbukti bahwa industri dan teknologi yang maju identik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB. Kesehatan Lingkungan

BAB. Kesehatan Lingkungan BAB 4 Kesehatan Lingkungan Pada Minggu pagi yang cerah, Siti beserta seluruh anggota keluarganya bekerja bakti membersihkan rumah dan lingkungan sekitar. Ibu bertugas menyapu rumah, ayah memotong rumput,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan atas atau yang selanjutnya disingkat dengan ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR 6.1. Pengelolaan Sampah Pasar Aktivitas ekonomi pasar secara umum merupakan bertemunya penjual dan pembeli yang terlibat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi kesehatan pekerja.

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi kesehatan pekerja. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi kesehatan pekerja. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja antara lain faktor fisik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 111 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis DKI Jakarta terletak di 6 0 12 lintang selatan dan 106 0 48 bujur timur dengan luas wilayah 661,26 km2, berupa daratan 661.52 km2 dan lautan 6,977,5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM. Putri Rahayu H. Umar. Nim ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM. Putri Rahayu H. Umar. Nim ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM (Studi Pada Peternakan Ayam CV. Malu o Jaya dan Peternakan Ayam Risky Layer Kabupaten Bone Bolango) Putri Rahayu H. Umar Nim. 811409003 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Berbagai aktifitas manusia secara langsung maupun tidak langsung menghasilkan sampah. Semakin canggih teknologi di dunia, semakin beragam kegiatan manusia di bumi, maka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh

Lebih terperinci

berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara ambien di

berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara ambien di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU Alfi Rahmi, Arie Syahruddin S ABSTRAK Masalah persampahan merupakan

Lebih terperinci

PERILAKU DAN APLIKASI PENGGUNAAN PESTISIDA SERTA KELUHAN KESEHATAN PETANI DI DESA URAT KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR

PERILAKU DAN APLIKASI PENGGUNAAN PESTISIDA SERTA KELUHAN KESEHATAN PETANI DI DESA URAT KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR 62 PERILAKU DAN APLIKASI PENGGUNAAN PESTISIDA SERTA KELUHAN KESEHATAN PETANI DI DESA URAT KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR A. Data Umum 1. Nomor Responden : 2. Nama : 3. Umur : 4. Jenis Kelamin : a.

Lebih terperinci

KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok )

KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok ) KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok ) LUCIA DESTI KRISNAWATI, ST *) Pertumbuhan penduduk di kota Kediri, akan memberikan dampak pada permasalahan jumlah timbulan sampah. Sampah merupakan

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pasir Sembung Cianjur merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Kabupaten Cianjur.

Lebih terperinci

Kuesioner Penelitian

Kuesioner Penelitian Lampiran 1. Kuesioner Penelitian PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN ANGGOTA KOMUNITAS PEMUDA PEDULI LINGKUNGAN TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KELURAHAN SEI KERA HILIR I KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad

BAB 1 PENDAHULUAN. Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebiasaan merokok merupakan masalah penting dewasa ini. Rokok oleh sebagian orang sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kota-kota seluruh dunia.

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kota-kota seluruh dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak kota di dunia dilanda oleh permasalahan lingkungan, paling tidak adalah semakin memburuknya kualitas udara. Terpapar oleh polusi udara saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruangan yang bersih adalah ruangan yang sehat. Dari kalimat tersebut dapat dijelaskan bahwa sebuah ruangan perlu dijaga kebersihannya dari debu, sampah, dan bahkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

Ana Wahyuningtyas. Untuk SD Kelas iii semester 1. Universitas Sanata Dharma

Ana Wahyuningtyas. Untuk SD Kelas iii semester 1. Universitas Sanata Dharma Ana Wahyuningtyas Untuk SD Kelas iii semester 1 Universitas Sanata Dharma Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena saya bisa menyelesaikan buku IPA ini. Buku IPA ini diharapkan

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dan memberikan pengaruh satu sama lain, mulai dari keturunan,

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dan memberikan pengaruh satu sama lain, mulai dari keturunan, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dan memberikan pengaruh satu sama lain, mulai dari keturunan, lingkungan, perilaku

Lebih terperinci

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit)

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) A. Pilihlah satu jawaban yang paling benar dengan memberi silang pada salah satu huruf di lembar jawab! 1. Di Indonesia, pengaturan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada kedudukan 5 0 20 sampai dengan 5 0 30 lintang Selatan dan 105 0 28 sampai dengan 105 0 37 bujur Timur.

Lebih terperinci

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kontaminan Adalah semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang bersih. 2. Cemaran (Pollutant) Adalah kontaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012). 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Air adalah salah satu kekayaan alam yang ada di bumi. Air merupakan salah satu material pembentuk kehidupan di bumi. Tidak ada satu pun planet di jagad raya ini yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktivitas manusia dalam memanfaatkan alam selalu meninggalkan sisa yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai barang buangan, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Di Indonesia karet merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan. 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan. 4.1. ANALISA UNIVARIAT Penelitian dilakukan di Rumah

Lebih terperinci

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 1. Latar Belakang Sampah yang menjadi masalah memaksa kita untuk berpikir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya

Lebih terperinci

Repository.Unimus.ac.id

Repository.Unimus.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya air merupakan kemampuan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan semua makhluk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk manusia dalam menunjang berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semburan lumpur panas yang terletak di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur adalah salah satu dari akibat ekplorasi di bidang perminyakan

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Manusia membutuhkan kondisi lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja.

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen hidup yang sangat penting untuk manusia maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tanpa minum manusia

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci