PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH"

Transkripsi

1 PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH Agustin Teras Narang, SH : Saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal, ayat-ayat dalam Undang-Undang Penataan Ruang... Sekilas Riwayat Hidup Agustin Teras Narang, SH Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, SH sebelum menduduki kursi Gubernur di Provinsi Kalimantan Tengah, telah melalui perjalanan dan perjuangan yang teramat panjang. Diawali dari keteguhan tekadnya untuk meninggalkan tanah kelahiran, Banjarmasin, setamat SMA Negeri 1 Banjarmasin, tahun Jakarta dipilih menjadi kota tempat melanjutkan belajarnya. Universitas Kristen Indonesia menjadi kota tempat penggodokan ilmu hukum bagi Teras Narang muda. Tahun 1979 dinyatakan lulus dari Fakultas Hukum-UKI, segera kiprah sesungguhnya dimulai. Mengawali pengabdiannya sebagai pengacara sejak tahun 1981, diteruskan melanglang di berbagai kantor pengacara di Jakarta sebelum akhirnya tahun mendirikan dan berkarier di Kantor Pengacara A. Teras Narang, SH and Associates. Tidak cukup puas sampai disitu, semangat perjuangan dan pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara membawa A. Teras Narang, SH ke Senayan. Tahun duduk sebagai anggota DPR-RI menjabat Ketua Komisi II. Bakat sebagai pimpinan terus terasah dan mendapat penyaluran yang pas. Periode berikutnya, tahun kembali terpilih menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Lagi-lagi beliau menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, kali ini di Komisi III DPR-RI. Kariernya terus melesat, kali ini tantangan lain disambutnya, tampil sebagai Gubernur Kalimantan Tengah periode pengabdian , hasil pilihan rakyat Kalimantan Tengah. Amanah dari rakyat beliau tempatkan pada tempat yang paling tinggi di jiwa perjuangannya. Kemajuan Kalimantan Tengah dan kesejahteraan masyarakatnya serta penguatan hukum di semua aspek kehidupan terpateri kuat dalam hatinya, menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar. Itulah amanah yang melekat pada jabatan yang beliau emban saat ini. Pada hari Sabtu, 19 April 2008, Redaksi Buletin Tata Ruang telah melakukan kunjungan ke Provinsi Kalimantan Tengah untuk melaksanakan 2 (dua) tugas jurnalistik, yaitu : wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH. (Gubernur Kalimantan Tengah), untuk ditampilkan dalam rubrik Profil Tokoh, tugas kedua adalah mengumpulkan data/informasi berkaitan dengan Heart of Borneo untuk bahan penulisan rubrik Profil Wilayah. Berikut hasil wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH (Gubernur Kalimantan Tengah) : Butaru : Secara garis besar Pak, kami ingin menanyakan tiga hal utama, yaitu : pertama adalah kebijakan dan strategi pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua adalah bagaimana penerapan Undang-undang Penataan Ruang di Propinsi Kalimantan Tengah. Dan yang ketiga adalah bagaimana penerepan action plan Heart of Borneo, saya kira ini ini adalah isu yang sangat menarik pada saat ini. Saya langsung saja, pada pertanyaan pertama mengenai kebijakan. Dengan kondisi dan potensinya Kalimantan Tengah, kebijakan apa sebetulnya yang ingin Bapak kembangkan di propinsi ini, dan harapan-harapan apa yang ingin Bapak wujudkan untuk Kalimantan Tengah untuk menuju masa depan Teras Narang : Jadi propinsi Kalimantan Tengah ini seperti diketahui luasnya km 2, jadi luas kita adalah satu setengah kali Pulau Jawa. Nah sedangkan penduduknya pada tahun 2007 berjumlah jiwa, per kilometer persegi hanya dihuni 13 orang. Saya mau cerita dulu, kita

2 mempunyai sumber daya alam macam-macam, apakah itu kayu, apakah itu pertambangan, apakah itu menyangkut masalah perkebunan dan lain sebagainya. Dan kita juga mempunyai lahan gambut yang cukup luas, sekitar 3,6 juta hektar. Jadi sekitar kilometer persegi. Nah tentu penataan ruang menurut hemat saya menjadi bagian penting, dalam rangka untuk membuat kebijakankebijakan yang terkait dengan pengembangan wilayah, dan pembangunan yang berbasis pada pembangunan yang berkelanjutan. Saya memandang bahwa yang paling penting bagi provinsi ini adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, RTRWP. Mengingat RTRWP selama ini berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2003, ternyata ini masih menimbulkan masalah, nanti bisa dibaca di situ, karena masih belum ada kesesuaian dengan departemen Kehutanan, khususnya terkait dengan masalah Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang disingkat TGHK. Tentu perda ini secara hukum di daerah sudah delesai, tetapi masih belum ada kesepakatan, belum ada persetujuan dari Departemen Kehutanan. Akibatnya ini belum terlaksana dengan baik. Nah di periode saya, Perda nomor 8 tahun 2003 ini kita buka revisi. Nah revisi di samping karena masih belum ada kesepakatan dengan Departemen Kehutanan, juga menyesuaikan dengan Undang-undang Tata Ruang, nomor 26 itu. Inilah spiritnya kenapa saya merasa bahwa masalah tata ruang ini menjadi penting bagi saya di dalam membuat kebijakan-kebijakan pembangunan, pengembangan wilayah di Propinsi Kalimantan Tengah. Butaru : Jadi, saya menangkap bahwa apa yang dikerjakan sekarang tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan. Selanjutnya Pak... Teras Narang : Betul. Karena kalau kita bicara mengenai masalah tata ruang, kita itu tidak boleh berpikir untuk satu dua tahun, kita harus melihat pembangunan wilayah itu, 10 tahun, 15 tahun, dan mungkin sampai 50 tahun ke depan. Proses pembangunan yang dilakukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah selama kami menjabat Gubernur telah semakin memberdayakan dunia usaha dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kualitas hidup penduduk Kalimantan Tengah juga menunjukkan adanya peningkatan dari kondisi sebelumnya. Walaupun kualitas manusia telah meningkat, tetapi masih banyak masalah-masalah pembangunan yang masih harus direspon secara cepat dan tepat, seperti pembukaan keterisolasian wilayah, pemanfaatan lahan gambut, peningkatan kualitas program-program pengentasan kemiskinan, serta masalah-masalah pembangunan lainnya. Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan dan pembangunan Provinsi Kalimantan Tengah sesuai dengan Visi Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Membuka Isolasi Menuju Kalimantan Tengah Yang Sejahtera dan Bermartabat. Sedangkan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan harapan atau keinginan dimaksud sesuai dengan Misi Provinsi Kalimantan Tengah disusun dan difokuskan pada bidang : Infrastruktur, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, Pemerintahan, Hukum-Keamanan dan Hak azasi Manusia, Politik, Sosial Budaya, Kepemudaan-Kepramukaan dan Olah Raga, Kepariwisataan, Sumberdaya Alam-Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Perhubungan dan Telekomunikasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan.

3 Butaru : Terkait ditetapkannya Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi ujicoba konsep Kota Terpadu Mandiri kawasan hutan, bagaimana tanggapan Bapak mengenai konsep ini serta penetapan Kalimantan Tengah sebagai lokasi ujicoba? Apa harapan Bapak untuk pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah di masa mendatang terkait dengan konsep ini? Teras Narang : Saya pada prinsipnya setuju terhadap Kota Mandiri Terpadu. Apalagi ini dikaitkan dengan masalah keberadaan transmigrasi. Tetapi yang saya tidak inginkan adalah Kota Mandiri Terpadu hanya di daerah transmigrasi, tetapi juga di simpul-simpul produksi, karena saya tidak ingin adanya kecemburuan dari masyarakat asli yang ada di daerah itu. Butaru : Untuk menghindari kecemburuan, saya kira memang perlu keterpaduan antara pendatang dengan penduduk setempat. Pa Gubernur, sepertinya konsep KTM ini sejalan dengan program Bapak Mamangun Tuntang Mahaga Lewu..., Betul Pak? Teras Narang : Betul, di desa dan kelurahan. Konsep ini yang saya kembangkan, Kenapa? Karena konsep ini saya pandang betul-betul fokus. Jangan sampai daerah kita itu menggarami laut, jangan sampai kita kayak mengecat langit, langit kan gak bisa dicat. Saya menghindari terjadinya itu. Jangan sampai terjadi bahwa anggaran-anggaran ini keluar banyak, tetapi percuma, tidak ada fokus, dan tidak ada suatu hasil yang konkrit. Sehingga timbul pemikiran saya untuk program Mamangun Tuntang Mahaga Lewu Nah program ini adalah program sinergi, tidak akan mungkin propinsi punya program kalau tidak memperoleh sambutan dari kabupaten kota. Kota Terpadu Mandiri (KTM), adalah kawasan transmigrasi dan simpul-simpul produksi lainnya yang pembangunannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Yang dimaksud fungsi-fungsi perkotaan adalah dibangunnnya berbagai fasilitas-fasilitas sebagaimana di kota-kota, antara lain : a. Dibangun pusat kegiatan agribisnis yang mencakup pengolahan hasil pertanian menjadi barang produksi dan/atau barang konsumsi; pusat pelayanan agroindustri khusus (pecial agroindustry service) dan pemuliaan tanaman unggul; tempat pendidikan dan pelatihan di sektor pertanian, industri dan jasa. b. Tempat pusat perdagangan wilayah yang dilengkapi dengan lembaga keuangan, pasar grosir dan pergudangan. Untuk menumbuhkembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) ini perlu didukung dengan adanya kegiatan usaha transmigrasi sebagai hinterlandnya. Oleh karena itu perlu perencanaan pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) yang terintegrasi dengan perencanaan tata ruang. Hal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi yang berbasis perdesaan dan berwawasan perkotaan. Saya selaku Gubernur mendukung sepenuhnya kebijakan Menakertrans untuk membangun KTM ujicoba yang berlokasi di Lamunti, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas dengan harapan mempercepat tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan perekonomian perdesaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, program transmigrasi ke depan diharapkan berdampak positif dan menarik minat generasi muda untuk berpartisipasi dalam program transmigrasi serta mengurangi terjadinya urbanisasi yang tidak terarah dari desa ke kotakota.

4 Butaru : Saya kira itu sangat bagus. Pemerataan pertumbuhan, Pak. Saya Lanjutkan, Bapak saat ini masih menjadi Koordinator Forum Kerjasama Regional Kalimantan dan masa tugas Bapak ini akan berakhir tahun ini. Menurut Bapak apakah forum ini memberikan dampak yang cukup positif bagi pengembangan provinsi-provinsi di Kalimantan, dan khususnya untuk Provinsi Kalimantan Tengah? Apa hal-hal yang telah dihasilkan dari forum ini serta pekerjaan rumah apa saja yang masih harus diteruskan oleh calon Koordinator Forum ini di masa mendatang? Teras Narang : Forum Kerjasama Regional Kalimantan masih diperlukan dan akan terus ditingkatkan karena dengan forum ini pemerintah daerah se Kalimantan dapat secara bersama-sama dan terkoordinasi melaksanakan perencanaan pembangunan terpadu lintas provinsi. Bidang pembangunan yang menjadi prioritas dalam forum kerjasama ini adalah bidang infrastruktur, bidang perekonomian, bidang sumberdaya manusia, serta bidang tata ruang dan lingkungan hidup. Hasil kerjasama yang telah dicapai antara lain di bidang infrastruktur misalnya percepatan pembangunan jalan lintas Kalimantan poros selatan, poros tengah dan poros utara, rencana mengintegrasikan pelayanan transportasi udara antar kota di Kalimantan; Bidang perekonomian seperti pembangunan peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis pertanian, pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan; Bidang sumber daya manusia seperti pembangunan bidang kesehatan dengan upaya-upaya peningkatan pelayanan, peningkatan kualitas Fakultas kedokteran Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, pemberantasan penyakit menular, penanganan penyakit AID dan korban Narkoba, peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, peningkatan kualitas anak dan perempuan, rencana pendirian STPDN Regional Kalimantan; Bidang tata ruang dan lingkungan hidup seperti sinkronisasi rencana tata ruang provinsi se Kalimantan, penyusunan rencana tata ruang pulau Kalimantan, penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, penanggulangan pencemaran air dan udara, dan lain sebagainya. Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, harapan apa yang ingin Bapak capai dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah, serta upaya-upaya apa yang telah Bapak lakukan untuk memenuhi harapan Bapak tersebut? Hambatan apa yang Bapak alami dalam upaya pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah? Teras Narang : Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah adalah terwujudnya visi dan misi Provinsi Kalimantan Tengah sesuai yang tertuang dalam RPJM dan Rencana Tahunan Daerah. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut antara lain pengembangan keberdayaan masyarakat untuk pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) sebagai salah datu bagian dari strategi baru dalam percepatan pembangunan, peningkatan daya saing dunia usaha, ancaman kerusakan lingkungan, kerawanan pangan, pembangunan modal sosial (social capital) paska kerusuhan dan optimalisasi modal sosial (social capital) sebagai sumber daya pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan dasar yang disediakan oleh satuan kerja perangkat daerah seluruh Kabupaten Kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, pembangunan kesadaran hukum, peningkatan kualitas sumber daya manusia, perubahan pola penularan penyakit, dan tantangan-tantangan pembangunan lainnya. Selain itu juga dilakukan upaya peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.

5 Butaru : Hambatan-hambatannya, Pak? Teras Narang : Hambatan itu pasti ada, dan saya sulit untuk menguraikan hambatan itu. Tetapii kalau saya berpandangan bahwa hambatan itu justru menjadi tantangan buat saya, dan saya tidak pernah berpandangan bahwa hambatan itu menjadi kendala. Justru hambatan itu yang menjadi tantangan dan mendorong saya umtuk lebih bekerja keras lagi. Kalau dibilang kerja keras ya harus, karena saya ini dengan Pak Diran, ini kan dipilih oleh rakyat. Saya selalu bilang kepada wakil Gubernur, pak Ir. H. Ahmad Diran, saya bilang Pak kita berdosa ini kalau kita tidak berbuat sesuatu. Kita berdosa kepada rakyat kalau kita tidak berbuat sebagaiman yang mereka harapkan Nah masalah hasilnya, saya bilang, jangan kita yang menilai, masyarakat dan orang luar yang menilai Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, cukup banyak kerjasama serta penandatanganan kesepakatan yang Bapak lakukan, baik dengan perusahaan swasta dalam negeri maupun luar negeri. Manfaat apa yang Bapak rasakan dari penandatangan kesepakatan ini bagi pengembangan Kalimantan Tengah serta adakah tentangan dari anak buah Bapak terkait penandatangan ini? Teras Narang : Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan kerjasama baik dengan swasta dalam negeri maupun luar negeri manfaat yang dicapai antara lain meningkatnya minat investasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam penadatanganan kesepakatan kerjasama tersebut semua jajaran pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan masyarakat mendukung dan siap untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai tugas dan fungsinya. Butaru : Artinya Pak... Teras Narang : Inilah tuntutan inovatif dari seorang pemimpin. Artinya dia tidak hanya berpikir atau melaksanakan program yang berdasar pada APBN atau APBD. Karena kalau kayak gitu semua orang bisa jadi pemimpin. Nggak usah dipilih oleh rakyat, ditunjuk saja, eh (jadi) pemimpin ya, sudah. Semua orang bisa melakukan itu. Nah saya melihat, saya harus mencari siapa yang bisa bantu. Satusatunya yang bisa bantu adalah para pengusaha. Satu-satunya yang bisa bantu adalah negara-negara lain yang memang mempunyai keinginan yang sama, mempunyai visi yang sama. Nah ini yang saya lakukan. Saya kerjasama dengan Cina, saya kerjasama dengan India, saya kerjasama dengan New Zealand, saya kerjasama dengan Australy, saya memperoleh bantuan dari Negeri belanda, dengan Jerman, dengan Inggris, karena apa? kita punya satu visi. Saya bilang, saya mau membangun, tetapi pembangunannya didasarkan pada keberlanjutan, yang didasarkan pada memperhatikan kaidahkaidah lingkungan hidup. Makanya saya program yang namanya Green Government Policy, kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada lingkungan. Sehingga saya waktu itu diminta sebagai pembicara pada saaat di Bali, forum WWF, khususnya terkait dengan preparatio, persiapan dari Kalimantan Tengah menghadapi Climate Change. Nah dengan para pengusaha itu juga saya lakukan, yaitu di dalam kita sharing dalam membangun. Contoh kecil saja, kita punya kesepakatan antara Pemerintah Provinsi dengan para pengusaha pertambangan, untuk kita membangun rel kereta api. Kita punya kesepakatan dengan pengusaha kebun, sawit, dan kemudian perusahaan perkebunan karet dan tambang. Untuk kita membiayai dengan sharing, untuk perbaikan jalan. Nah apa yang saya lakukan

6 ini adalah suatu kebersamaan. Artinya kita win-win solution. Kita harus cari solusi untuk bisa mutual benefit Butaru : Tentang rencana jalan kereta api, Pak. Rencana pembangunan jalan kereta api, meskipun masih dalam kajian, tetapi kami membaca pernyataan Bapak di situs Kalimantan Tengah terkait dengan rencana pembangunan jalur kereta api di Kalimantan, dimana banyak orang berpendapat bahwa Kalimantan belum layak mendapatkan transportasi kereta api, kereta api adalah pelayanan terhadap high density population, namun Bapak mempunyai pendapat lain, yaitu kereta api adalah lokomotif transportasi sumber daya alam dalam skala ekonomi yang besar untuk memasok kebutuhan daerah lain dan mata rantai ekonomi yang akan timbul apabila tersedianya kereta api Kalimantan tidaklah susah untuk ditebak. Apa maksud dari pernyataan Bapak ini? Apakah untuk saat ini moda transportasi ini memang sudah diperlukan untuk dikembangkan di provinsi-provinsi di Kalimantan dan khususnya di Kalimantan Tengah? Teras Narang : Mengapa dikembangkan Transportasi Kereta Api di Kalimantan Tengah. Tadi saya sudah sampaikan bahwa Kalimantan Tengah ini luasnya satu setengah kali Pulau jawa dan kemudian sumber daya alamnya itu tersebar dii mana-mana. Sebaran sumber daya alam ini tidak akan memberikan keuntungan yang maksimal bagi daerah kalau kita tidak memanfaatkan ini dengan baik. Nah satu-satunya (cara) pemanfaatan dengan baik, adalah dengan kita membangun infrastruktur. Kenapa saya membangun infrastruktur? Dengan terbangunnya infrastruktur kereta api, ini akan mempunyai multiplier effect yang luar biasa. Rakyat ikut memanfaatkan itu, dan otomatis kiri kanan rel itu, taruhlah sekarang kita 560 km, itu 560 km kiri kanannya itu akan hidup. Ke depan di Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan sarana transportasi yang diprioritaskan untuk melayani angkutan barang dengan volume yang besar, terutama untuk mengangkut barang hasil pemanfaatan sumber daya alam dari daerah hulu ke outlet-outlet yang berupa pelabuhan laut yang berada di daerah hilir atau pantai. Hasil sumber daya alam tersebut antara lain berupa hasil perkebunan kelapa sawit dan karet, hasil tambang batubara, hasil hutan ikutan misalnya rotan, dan hasil pertanian dan tambang lainnya. Untuk itu diperlukan sistem transportasi yang efektif dan efisien untuk mengangkut barang dalam volume yang besar. Sistem transportasi tersebut adalah jaringan rel kereta api yang dikombinasikan antar moda transportasi darat (jalan dan sungai) serta transportasi laut yang saling mendukung. Butaru :Kenapa harus kereta api, Pak? Teras Narang : Mengapa dipilih transportasi kereta api, karena memiliki keunggulan kapasitas angkut yang besar sehingga lebih efisien dan efektif, biaya pemeliharaan relatif lebih murah, ramah lingkungan, tingkat kemanan dan keselamatan tinggi selain pertimbangan tersebut mengingat adanya kendala bila hanya menggunakan transportasi sungai dimana pada saat musim kemarau umumnya sungai-sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat dilayari sampai ke daerah hulu, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sarana angkutan sepanjang tahun. Sedangkan apabila menggunakan atau mengembangkan transportasi jalan darat mengingat keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah sangat terbatas sehingga baik kekuatan atau struktur jalan maupun lebar jalan terbatas, umumnya MST 8 ton dengan lebar jalan 4,5 meter, padahal MST pengguna jalan atau kendaraan pengangkut hasil perkebunan dan pertambangan jauh di atas 8 ton.

7 Perkembangan perencanaan pembangunan jalur kereta api untuk Wilayah Utara Timur Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut : Telah ditandatangani MoU dengan Stasiun Kota pada tanggal 22 Juni 2006 untuk dilaksanakan riset dan pengembangan sarana transportasi kereta api termasuk pembangunan infrastruktur jalur kereta api sepanjang lebih kurang 600 kilometer dan rencana investasi oleh pihak PT. Stasiun Kota bai pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Ditandatanganinya MoU dengan Itochu Corporation pada tanggal 16 April 2007 yang bertujuan untuk melakukan studi kelayakan pengembangan jalur kereta api. - Berdasarkan hasil pra studi kelayakan dari Itochu (perusahaan Jepang) bahwa rute jalan rel yang diusulkan adalah berada dalam kawasan Kabupaten Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur, (Palaci Puruk Cahu Muara Teweh Ampah Buntok Bangkuang/Mangkatip) sepanjang 185 km. - Selanjutnya dari Bangkuang akan digunakan moda transportasi sungai menuju outlet di Muara Sungai Kapuas Murung di Lupak Dalam atau di Muara Sungai Kahayan di Bahaur, dengan rinsian rute alternatif sebagai berikut : Alternatif rencana pengembangan/pembangunan jalur kereta api di Kalimantan Tengah sebagai prioritas I adalah : 1. Alternatif 1 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Lupak Dalam, dengan ruas mulai dari Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas Murung Kuala Kapuas sungai Kapuas Lupak Dalam laut Jawa, sepanjang 175 km. 2. Alternatif 2 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Bahaur, dengan ruas dari Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas Murung Kuala Kapuas sungai Kapuas Terusan Raya sungai Kahayan Bahaur laut Jawa, sepanjang 250 km. Pemilihan ruas jalur kereta api tersebut didasarkan atas pertimbangan : - Disesuaikan dengan lokasi atau kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam yang lebih besar, - Outlet : Kumai/Bumiharjo, Sampit/Bagendang, Teluk Segintong. Butaru : Kalimantan Tengah dikenal sebagai provinsi yang miskin ketersediaan infrastrukturnya. Apakah Bapak setuju dengan anggapan ini? Apa upaya yang Bapak lakukan untuk menghilangkan image ini? Teras Narang : Melihat kondisi eksisting saat sekarang, kita semua mengetahuinya. Saya tidak menentang siapapun yang mempunyai anggapan seperti tersebut. Upaya-upaya yang kami lakukan seperti tertuang dala Visi dan Misi RPJM Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu untuk membuka keterisolasian dan menempatkan pembangunan bidang infrastruktur pada prioritas pertama. Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan upaya-upaya antara lain telah dibuat suatu rencana pengembangan sistem transportasi antar moda di Provinsi Kalimantan Tengah, melakukan koordinasi/konsultasi dengan Pemerintah agar lebih dapat berperan baik dalam aspek perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya untuk percepatan pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana transportasi di Provinsi Kalimantan Tengah sehingga memberikan dampak positif terhadap meingkatnya kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pembangunan di Kalimantan Tengah untuk mengejar ketertinggalan

8 Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya dan provinsi di Kalimantan pada umumnya terhadapa provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Barat. Butaru : Saat ini telah berlaku UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Bapak, apakah UU ini telah memenuhi harapan Bapak terkait penyelenggaraan penataan ruang? Bagaimana penerapan Undang-undang ini di Provinsi Kalimantan Tengah? Pernah adakah upaya penerapan ketetapan sanksi sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut? Teras Narang : Secara umum saya katakan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara komprehensif telah mengatur penyelenggaraan penataan ruang baik dari tingkat nasional, regional maupun provinsi dan kabupaten/kota, bahkan telah mengatur matra ruang mulai dari perencaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang serta ketentuan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang. Namun demikian ketentuan secara teknis bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang masih perlu dan segera ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut, hal ini termasuk dengan penerapan sanksi. Setiap sanksi yang ada di dalam undang-undang itu kata-katanya hanya ada satu yaitu : Harus (ditegakkan). Jadi tidak ada kata maaf, tidak ada kata pembenar, karena sudah menjadi undangundang. Nah, saya sebagai orang yang berlatar-belakang hukum, saya harus katakan, dan karena itu juga sumpah saya, saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal,ayat-ayat yang terkait dengan masalah larangan. Permasalahannya sekarang adalah, sejauh mana upaya dari semua pihak, termasuk saya, untuk menyosialisasikan butir-butir yang ada di dalam undang-undang (Penataan Ruang) ini. Terkait dengan penerapan undang-undang dimaksud di Provinsi Kalimantan Tengah adalah dengan dilakukannya penyelarasan (revisi) RTRWP Kalimantan Tengah terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang sampai saat ini masih dalam proses paduserasi antara RTRWP dengan TGHK (Departemen Kehutanan). Butaru : Terkait kasus kebakaran hutan, bagaimana pandangan Bapak mengani cap bahwa Indonesia mengeksport asap ke negara tetangga? Upaya-upaya apa yang akan Bapak lakukan untuk melindungi kawasan hutan lindung agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya? Teras Narang : Pandangan terhadap pernyataan bahwa Indonesia mengekspor asap ke negara tetangga, saya sangat tidak setuju. Sebab dilihat dari kata mengekspor mengandung arti adanya unsur kesengajaan, padahal kita semua mengetahui bahwa asap yang timbul karena terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut sampai di negara tetangga dibawa oleh angin yang bertiup melewati Indonesia menuju ke negara tetangga. Juga kita ketahui bahwa terjadinya kebkaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia tidak hanya semata-mata disebabkan oleh faktor manusia tetapi juga karena disebabkan oleh faktor alam. Kawasan hutan di Indonesia yang masih sangat luas dibandingkan negara-negara tetangga, keberadaannya menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dan luasan terbesar berada di Pulau Kalimantan dan Sumatera, sehingga hal ini cukup sulit untuk melakukan upaya-upaya pengendalian atau pencegahan dan penanganan terjadinya kebakaran hutan. Apalagi dengan keterbatasan kemampuan tenaga penanggulangan kebakaran hutan, ketersediaan sarana dan prasarana pemadam kebakaran, serta kondisi medan menuju kawasan kebakaran yang berat. Pada kondisi

9 yang demikian diharapkan adanya peran negara tetangga dalam rangka pengendalian dan penanganan masalah kebakaran hutan di Indonesia melalui kerjasama baik dalam bidang peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, teknis pencegahan dan/atau penanggulangan serta bantuan dana. Butaru : Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang terkait dengan program Heart of Borneo. Apa harapan Bapak berkaitan dengan program-program yang telah diterapkan dalam HoB ini? Hambatan-hambatan apa yang Bapak temui dalam melaksanakan program HoB ini? Manfaat apa yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah terkait dengan penetapan ini? Teras Narang : Harapan saya terkait dengan program-program yang diterapkan HoB adalah program-program yang telah dibuat dapat diimplementasikan sesuai dengan rencana dan tujuan yang hendak dicapai yaitu menyangkut konservasi dan pembangunan berkelanjutan serta dilaksanakan secara selaras, seimbang dan berkesinambungan serta dikelola secara arif dan bertanggungjawab tetap berpegang pada ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku an menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan HoB. Dalam melaksanakan program HoB selama ini belum/tidak dijumpai kendala atau hambatan yang berarti. Kalaupun ada hambatan dapat diselesaikan bersama. Manfaat yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah utamanya kelestarian hutan, spesies yang ada, dan sumber daya alam serta kelestarian kondisi fisik hilirnya seperti iklim, topografi/geologi, hidrologi dan lain sebagainya serta manfaat dapat mengakomodir kepentingan ekonomi, sosial dan budaya baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun global dan tidak kalah pentingnya adalah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar HoB. Butaru : Inisiatif HoB ini juga sangat relevan dan terkait dengan Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim, terutama dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation/REDD) yang dibahas di Bali pada Konferensi Para Pihak ke 13 di Bali, Desember dengan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di wilayah HoB dimana deforestasi akan ditekan sekecil-kecilnya, wilayah yang tercakup dalam HoB akan diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup dalam mekanisme REDD. Apa pendapat Bapak terkait dengan hal ini? Teras Narang : Terkait dengan pernyataan bahwa daerah yang wilayahnya tercakup dalam HoB akan diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup dalam mekanisme REDD, bahwa pernyataan yang sama pernah saya dengar dari LSM asing yang telah melaksanakan konservasi di Kalimantan Tengah dan sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Seperti pernah saya katakan menjelang dilaksanakan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali bahwa hal tersebut sebelumnya perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat di Kalimantan Tengah agar kita semua ada kesepahaman terkait hal dimaksud. Butaru : Sesuai hasil pertemuan pertama HoB antar ketiga negara (1st HoB Trilateral Meeting) yang diselenggarakan di Brunei Darussalam, tanggal Juli 2007, masing-masing negara diminta untuk menusun Program Aksi HoB Nasional dan mekanisme kerjasama antar ketiga negara. Bisa Bapak gambarkan secara singkat Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah?

10 Teras Narang : Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Kerjasama antar wilayah/kewenangan Lingkup rencana aksi dan strategi untuk mewujudkan kerjasama antar wilayah/kewenangan adalah 1) Penggunaan lahan berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi : - Kegiatan penentuan batas dan identifikasi kawasan yang masuk dalam wilayah HoB, - Kegiatan survey dan kajian sinkronisasi tata ruang lintas kabupaten dalam wilayah pegunungan Schwanner, - Kegiatan analisi land suitability System dan analisis perubahan penggunaan lahan, - Kegiatan Survey atau kajian ancaman tegakan hutan tropis di kawasan Pegunungan Muller Schwanner dan Gunung Lumut, 2) Pengembangan Kapasitas Lembaga (Institutional Capacity Building), meliputi : - Penguatan peran Kelompok Kerja Daerah untuk penguatan kelembagaan daerah sesuai dengan PP 38/2007 dan PP 41/2007, - Melakukan kajian-kajian yang bersifat holistik. b. Pengelolaan kawasan lindung 1) Advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), meliputi : - Mendorong pengelolaan kawasan konservasi dan/atau hutan bernilai konservasi tinggi, - Pengamanan kawasan konservasi, khususnya di daerah perbatasan, - Program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber daya alam lainnya, - Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam. 2) Informasi dan Manajemen Pengelolaan Kawasan Lindung (Information and Management), meliputi : - Sosialisasi HoB di segala level, - Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam, - Program pengawasan dan penertiban kegiatan yang merusak lingkungan, - Program pengelolaan kawasan pelestarian alam dan suaka alam, - Pengembangan program pariwisata alam di kawasan Taman Nasional Bukit-Bukit Raya (Kabupaten Katingan). 3) Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), meliputi : - Menyusun program pendidikan lingkungan, 4) Pelibatan peran swasta/bumn (Corporate Engagement), meliputi : - Mediator penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan HoB. c. Pengelolaan Sumber Daya Alam di luar Kawasan Lindung 1) Penyempurnaan Kebijakan Sektor (Sector Reform), meliputi : - Kegiatan analisis kebijakan dalam permasalahan sosial, budaya dan ekonomi, - Kegiatan survey atau kajian sosial budaya dan ekonomi masyarakat di dalam dan di luar kawasan Pegunungan Muller Schwanner serta menemu kenali potensi pengembangan ekonomi masyarakat, 2) Penggunaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi :

11 - Identifikasi produk unggulan lokal di masing-masing wilayah dan kajian dan survey terhadap pengalaman serta model kelola SDA yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan HoB. 3) Information and Management, meliputi : - Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi konflik permasalahan sosial. Butaru : Saya kira sudah sangat banyak hal yang Bapak jelaskan, terima kasih atas kesediaan Bapak menyisihkan waktu untuk wawancara ini. Kami mohon pamit, terima kasih, Pak... Teras Narang : Sami-sami... Profil Wilayah Heart Of Borneo Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala perubahan alam. Semangat peduli lingkungan ini telah menjadi kepedulian bersama di berbagai negara, antara lain menjadi tema utama dalam pertemuan United Nation For Climate Change (UNFCC) yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 2007 di Bali, yang dihadiri oleh delegasi negara maju maupun sedang berkembang. Pertemuan ini menunjukkan kampanye cinta lingkungan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia. Salah satu contoh kepedulian terhadap lingkungan di Indonesia yang dijadikan bahan pembahasan adalah keberadaan Heart of Borneo (HoB). Heart of Borneo merupakan sebuah perwujudan konsep konservasi dan pembangunan berkelanjutan ke dalam program manajemen kawasan di Pulau Borneo. Inisiatif HoB dilatarbelakangi kepedulian terhadap penurunan kualitas lingkungan terutama kualitas hutan di Pulau Borneo, yang ditunjukkan dengan makin rendahnya produktivitas hutan, hilangnya potensi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi hutan dari satu kesatuan yang utuh dan saling terhubung. Penurunan kualitas lingkungan tersebut antara lain disebabkan oleh pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana, pengambilan kayu secara ilegal dan pengalihan fungsi hutan. Degradasi tutupan hutan di Pulau Borneo dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

12 Gambar 1: Peta Tutupan Hutan tahun 1990, 1950, 1965, 2000, dan 2005, serta Peta Proyeksi Tutupan Hutan tahun 2010 dan 2020 berdasarkan kecendrungan tahun (Sumber : WWF) Dengan latarbelakang permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas, inisiatif HoB secara resmi muncul pertama kali pada tanggal 5 April 2005 dalam pertemuan yang bertema Three Countries One Conservation Vision yang menjadi pertemuan cikal bakal HoB. Launching inisiatif HoB sendiri dilakukan pada side event Convention On Biological Diversity (COB 8 CBD) di Curitiba Brazil, berupa pernyataan kesediaan dari tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kesediaan ini kemudian ditindaklajuti dengan penandatanganan deklarasi HoB yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari tahun Naskah Deklarasi HoB ditandatangani oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji Jumat, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (Gambar 2).

13 Gambar 2: Penandatanganan Naskah Deklarasi Heart of Borneo oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji Jumat; Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah) Naskah deklarasi HoB secara garis besar berisi tiga butir kesepakatan. Pertama kerjasama manajemen sumber daya hutan yang efektif dan konservasi terhadap area yang dilindungi, hutan produktif, dan penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan. Kedua inisiatif HoB merupakan kerjasama lintas batas yang sukarela dari tiga negara. Ketiga, kesepakatan untuk bekerjasama berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Naskah deklarasi HoB secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.

14 Gambar 3: Naskah Deklarasi HoB (Sumber: BKTRN) Adapun luas cakupan wilayah HoB yang menjadi acuan sementara sampai saat ini yaitu meliputi areal seluas kurang lebih 22 juta hektar, yang secara ekologis saling terhubung. Areal tersebut secara administratif terbentang di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Deliniasi wilayah HoB yang lebih rinci, masih dalam tahap pembahasan antarnegara untuk mencapai kesepakatan, dibandingkan

15 dengan usulan awal wilayah HoB pada bulan April tahun 2005 dan perkembangan usulan baru dari masingmasing negara tahun 2008 ini. Peta usulan deliniasi wilayah HoB pada awal tahun 2005 serta perkembangan pada pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB pada bulan Januari 2008, dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4: Peta Usulan Awal Batas HoB Bulan April Tahun 2005 dan Peta Usulan Batas HoB Hasil Pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB Bulan Januari Tahun 2008 (Sumber: BKTRN) Pertemuan Tiga Negara yang Kedua (Second Trilateral Meeting), yang diadakan di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 2-4 April 2008 yang lalu, menghasilkan usulan batas baru wilayah HoB. Usulan dari masing-masing negara tersebut diharmonisasikan dalam suatu peta harmonisasi batas HoB yang dapat dilihat pada Gambar 5. Batas yang diajukan dalam pertemuan ini masih dalam tahap pembahasan, yang diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan batas yang tidak saja sesuai dengan kepentingan masingmasing negara, namun lebih utama adalah kepentingan perwujudan kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang menjadi tujuan utama inisiatif HoB.

16 Gambar 5: Peta Harmonisasi Batas HOB Sesuai dengan Usulan Masing-Masing Negara pada 2 nd Trilateral Meeting Sumber : 2 nd Trilateral Meeting Sejalan dengan deliniasi batas HoB yang sedang dalam proses pembahasan, sampai saat ini juga belum terdapat angka resmi yang telah disepakati oleh tiga negara mengenai luasan definitif wilayah cakupan kerja HoB. Sebagai acuan dalam mendiskusikan program HoB, digunakan cakupan luas sementara wilayah HoB di tiga negara. Berdasarkan data sementara dari Kelompok Kerja HoB Provinsi Kalimantan Tengah, persentase wilayah kerja HoB yaitu 57% berada di Indonesia, 42% di malaysia, dan 1% di Brunei Darussalam, yang perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.

17 Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Heart of Borneo Propinsi/Negara Bagian Negara Total Area HoB (Ha) Persentase Area HoB Kalimantan Tengah Indonesia 2,466,000 11,2 Kalimantan Barat Indonesia 4,010,000 18,2 Kalimantan Timur Indonesia 6,137,000 27,8 Brunei Brunei 131,570 0,6 Serawak Malaysia 5,373,000 24,3 Sabah Malaysia 3,968,000 17,9 Total 22,085, Sumber : Kelompok Kerja HoB Kalimantan Tengah Wilayah cakupan HoB terdiri dari kawasan lindung (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung), kawasan budidaya kehutanan (HPH dan HTI) serta kawasan budidaya non kehutanan (perkebunan, pertambangan, dll). Wilayah HoB Indonesia diperkirakan seluas 12,6 juta hektar yang terdiri dari 2,7 juta hektar hutan konservasi (21,46%), 1,1 juta hektar hutan lindung (9,5%), 4,9 juta hektar hutan produksi (38,9%), serta 3,8 juta hektar (30,17%) areal penggunaan lainnya (Gambar 6).

18 Bapak Moses, Pokja HoB (BPLHD) Kalimantan Tengah Salah satu konsep kegiatan HoB, termasuk di dalamnya adalah tata ruang. Konsep tersebut harus memperhatikan RTRWP dan RTRWK, karena apabila tidak memperhatikan hal itu maka tidak jelas akan dibawa kemana pembangunan ini. Ada satu hal yang saya sarankan yaitu kita menyiapkan tata ruang dikaitkan dengan persoalan global yaitu perubahan iklim. Karena kita melihat kebakaran hutan dan deforestasi salah satu penyebabnya adalah pemanasan global. Ini menjadi visi kita ke depan untuk menyelematkan lingkungan dan mensejahterakan masyarakat. Kesepakatan 3 negara terhadap HoB merupakan langkah awal untuk kita, bagaimana melindungi dan mengelola hutan di kawasan Indonesia, dan Kalimantan pada khususnya. Cara menyelamatkan masalah lingkungan dan bagaimana pengelolaan lingkungan ke depan, merupakan hal yang harus masuk dalam rencana tata ruang. Artinya kalau kita tidak masukan ke dalam rencana tata ruang, maka grand design penyelamatan HoB ini tidak tahu mau dibawa kemana lingkungan kita ini. Untuk Kalimantan Tengah, Bapak Gubernur saat ini sedang mempersiapkan satu kegiatan yaitu bagaimana membawa semua sektor melahirkan satu kebijakan-kebijakan yang berwawasan lingkungan, kebijakan yang berkelanjutan, dan pembangunan yang berkelanjutan. Sedang dipersiapkan oleh satu pokja untuk menyusun naskah akademis Dari Gambar 6 dapat dilihat adanya keberagaman pemanfaatan lahan pada usulan wilayah HoB di Indonesia. Pemanfaatan luas cakupan wilayah HoB tersebut terdiri dari 31% kawasan lindung, sementara sebagian besar justru merupakan kawasan budidaya. Hal ini menunjukkan bahwa inisiatif HoB bukan semata-mata merubah keseluruhan kawasan menjadi kawasan lindung, tetapi juga melaksanakan manajemen pengelolaan kawasan budidaya berbasis keberlanjutan lingkungan. Manajemen wilayah HoB perlu dilakukan secara terpadu mengingat pentingnya fungsi HoB sendiri dan terhadap lingkungan sekitarnya. HoB memiliki fungsi penting sebagai sumber keanekaragaman hayati seperti sebagai rumah bagi spesies penting dan langka seperti orang utan dan badak, serta memiliki berbagai jenis serangga yang bahkan belum pernah ditemukan di bagian dunia lainnya. Selain sebagai sumber keanekaragamn hayati, HoB juga berperan sebagai menara air bagi seluruh wilayah Pulau Borneo, yaitu setidaknya merupakan sumber air bagian hulu bagi 14 dari 20 sungai utama di Pulau Borneo antara lain Sungai Kapuas, Katingan, Barito dan Mahakam. Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan wilayah HoB dalam perlindungan hulu sungai, yang menjadi sumber air bagi anak-anak sungai di hampir seluruh wilayah Pulau kalimantan. Lebih lanjut disadari bahwa keberadaan HoB yang juga sebagai daerah resapan air yang akan menjamin ketersediaan cadangan air, dan peningktan kualitas air di Pulau Borneo. Dengan demikian pemanfaatan wilayah HoB harus dikelola sebagai satu kesatuan ekosistem, mulai dari hulu, tengah hingga hilir. Berdasarkan pendekatan ekosistem ini, program-program berkelanjutan dan konservasi yang dilaksanakan dalam kerangka kerjasama tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam, perlu terus dikembangkan. Ruang lingkup kegiatan HoB di tiga negara tersebut antara lain: Melakukan inventarisasi, analisis kesenjangan, merumuskan dan melaksanakan program aksi (action plan) Melanjutkan aktivitas program yang sedang berjalan; Melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan di tiga negara untuk mengidentifikasi prioritas kerja dan kesempatan investasi;

19 Membangun kelembagaan HoB di tiga negara; dan Menentukan prioritas pembangunan lintas batas. Berdasarkan ruang lingkup kegiatan tersebut, disusun program-program kegiatan HoB antara lain: a. Pengelolaan Kawasan Perbatasan, yang meliputi: Penyusunan rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan HoB melalui proses-proses yang partisipatif, mengakomodasi praktek dan prakarsa lokal, transparan, dan bertanggung jawab; Pelaksanakan kerjasama pengamanan dan penegakan hukum lebih erat di antara tiga negara; Penyelenggaraan mekanisme komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif untuk keselarasan rencana tata ruang perbatasan, kebijakan atau aktivitas yang berdampak penting pada HoB; Pelaksanaan penelitian bersama melalui mekanisme yang berlaku di masing-masing negara. b. Pengelolaan Kawasan Lindung, yang meliputi: Rekomendasi kawasan lindung dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi, dan keanekaragaman hayati serta membangun sistem pengelolaan kawasan lindung lintas batas; Pelaksanaan kelanjutan inisiatif pengembangan kawasan konservasi lintas batas dalam kerangka kerjasama bilateral dan multilateral; Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya air lintas batas; Pelaksanaan evaluasi ekonomi untuk skema ekonomi jasa lingkungan; Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan lindung yang rusak. c. Pengelolaan Kawasan Budidaya Penerapan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan dalam pelaksanaan pembangunan di kawasan budidaya oleh pihak terkait; Pelaksanaan sertifikasi terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kaidahkaidah kelestarian; Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan budidaya yang rusak. Sebagai kelanjutan dari penandatanganan Deklarasi HoB oleh 3 (tiga) negara, seperti disebutkan sebelumnya, telah dilaksanakan Second Trilateral Meeting HoB pada tanggal 4-5 April 2008 di Pontianak. Pertemuan ini dihadiri oleh delegasi dari masing-masing negara yaitu Delegasi dari Malaysia dipimpin oleh Direktur Kehutanan Sarawak, Delegasi dari Brunei Darussalam dipimpin oleh Direktur Kehutanan Brunei Darussalam, dan Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Direktur Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, serta para peserta dari Menko Perekonomian, Bappenas, dan Pemerintah Daerah terkait (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur) dan perwakilan WWF. Sebagai perwujudan deklarasi HoB dan tindak lanjut dari cakupan kegiatan di tiga negara yang telah disebutkan di atas, pada Second Trilateral Meeting HoB tersebut masing-masing negara telah menyusun dan mengajukan program rencana aksi. Dengan menyusun rencana aksi ini, setiap negara khususnya Indonesia

20 mengharapkan agar tercipta prinsip, definisi dan langkah implementasi yang menjadi dasar bagi kebijakan HoB di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu, diharapkan terdapat dasar yang terpadu dalam implementasi manajemen sumber daya, pembangunan masyarakat, dan pembangunan ekonomi bagi seluruh pemerintahan di dalam wilayah HoB. Rencana aksi dan strategi juga diharapkan menjadi suatu referensi dalam implementasi program prioritas dan mobilisasi sumberdaya di dalam manajemen HoB oleh seluruh elemen pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adapun program rencana aksi yang disusun oleh setiap negara tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 2. Tabel 2. Program Rencana Aksi Heart of Borneo, Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam Program Rencana Indonesia Malaysia Brunei Darussalam

21 Aksi Membangun manajemen sumber daya kehutanan dan konservasi alam di kawasan yang dilindungi Meningkatkan kebijakan lokal Mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan melalui kegiatan penelitian Menyusun dokumen proyek nasional; Menyusun anggaran pembiayaan di tingkat Pusat; dan Merinci alokasi anggaran yang akan disusun oleh pemerintah daerah Melestarikan kawasan hutan, sumber daya air, dan berbagai jenis ekosistem di dalamnya; Memberikan kontribusi melalui diversifikasi ekonomi dengan cara pemanfaatan produksi non kayu dalam rangka meningkatkan kelestarian hutan; Melakukan penghijauan kembali kawasan hutan yang telah mengalami degradasi; dan Melibatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan Sumber: Bappenas, 2008 Berbagai program dan rencana aksi yang dirumuskan di atas merupakan suatu wujud upaya untuk mencapai tujuan keberlanjutan lingkungan Borneo, melalui manajemen kawasan Heart of Borneo. Instrumen yang sangat penting dalam manajemen kawasan HoB adalah rencana tata ruang di kawasan tersebut. Konsep pengelolaan HoB sebagai suatu ekosistem terpadu turut terakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Dalam PP nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN disebutkan penetapan HoB sebagai salah satu kawasan Strategis Nasional (KSN), dengan kriteria sebagai KSN dalam tahapan pengembangan I dengan titik berat pada rehabilitasi/revitalisasi kawasan. Lebih lanjut, secara umum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi terkait, dan khususnya Rencana Induk (master plan) Heart of Borneo menjadi suatu elemen penting dan dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan HoB ke depan. Seperti dikutip dari kalimat pembuka kegiatan sosialisasi ekowisata HoB di Palangkaraya Apabila kita salah dalam perencanaan, berarti kita merencanakan suatu kegagalan, dan sebaliknya, perencanaan yang matang adalah langkah awal keberhasilan.

22 Heart of Borneo (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah) KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc.

23 Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas I. Pendahuluan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan merupakan payung hukum bagi pelaksanaan perencanaan pmbangunan dalam rangka menjamin tercapainya tujuan negara, yang digunakan sebagai arahan di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan secara nasional. Menurut undang-undang tersebut, rencana pembangunan terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga. Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan top-down dan partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada dalam UU No. 25/2004 terwujud dalam bentuk rangkaian musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan Nasional. Rangkaian forum ini menjadi bagian dalam menyusun sistem perencanaan dan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap tahun. Secara top down, Pemerintah telah menetapkan rencana kerja pemerintah berikut alokasi anggaran yang ditetapkan dan akan digunakan didalam membiayai kegiatan pembangunan secara nasional. Secara partisipatif, proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah. Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan, sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di masa depan. Segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus diatur di dalam rencana tata ruang seperti yang tercantum di dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang terbagi atas kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian keterkaitan antara perencanaan pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka optimalisasi sumberdaya alam dan buatan yang terbatas dan mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia. Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang dapat dilihat pada skema berikut. Gambar 1. Skema Keterkaitan Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata Ruang mengamanatkan mengacu mengamanatkan

24 UU No. 25/2004 RPJPN RTRWN UU No. 26/2007 mengisi RPJMN mengacu mengisi RKP Penjelasan Skema: 1) RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004, sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No. 26/ ) Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan kegiatan yang bersifat keruangan. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun. Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK). 3) RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5 tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas. II. Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan Nasional Peranan penataan ruang didalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terjabarkan pada rencana pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai wadah pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana tata ruang. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Perencanaan Tata Ruang Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu pada umumnya sudah baik namun dalam beberapa hal produk rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum diacu dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya adalah: data dan informasi yang digunakan kurang akurat dan belum meliputi analisis pemanfaatan sumberdaya kedepan, penyusunan rencana tata ruang sering dilaksanakan hanya untuk memenuhi

25 kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai Undang-undang dan Peraturan Daerah, rencana tata ruang uang disusun, terutama di tingkat daerah, seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak. Permasalahan lain yang terjadi terkait dengan perencanaan tata ruang adalah seringkali perencanaan suatu kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak tergambar secara detail di dalam suatu peta rencana yang dapat menyebabkan pada pelanggaran didalam pemanfaatan ruang. 2. Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang suatu wilayah atau daerah seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak akan ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini terkait erat dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah yang baru dibentuk sebagai akibat pemekaran daerah. Dalam mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan pemerintah, perubahan rencana tata ruang serta suatu peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan segera dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Misalnya dalam proses alih fungsi kawasan hutan (produksi maupun lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus mengikuti ketentuan yang ada sesuai Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan proses ini akan memakan waktu yang cukup lama (hampir satu tahun bahkan lebih). 3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penataan ruang digunakan sebagai alat untuk menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata ruang pada jalur yang sesuai dengan muatan yang terdapat pada produk rencana tata ruang. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus urbanisasi mengakibatkan pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan penduduk. Masalah perekonomian yang menjadi pemicu didalam pembangunan nasional, menjadikan berbagai kegiatan pendukung ekonomi menjadi faktor utama di dalam kegiatan pembangunan. Hal tersebut berdampak pada maraknya alih fungsi lahan yang dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan ekonomi. Kewenangan yang sudah banyak didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mencari berbagai sumber pendapatan baru untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan ekonomi, termasuk alih fungsi lahan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Salah satu upaya tersebut antara lain melalui pemberian perizinan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam rencana tata ruang. Sebagai dampaknya, bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi yang dapat mengganggu lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat. 4. Kelembagaan Penataan Ruang Kelembagaan penataan ruang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mensinkronisasikan kegiatan pembangunan dengan rencana tata ruang. Namun, permasalahan yang terjadi seringkali sulit untuk menciptakan sinkronisasi kelembagaan dan hal ini terwujud dalam bentuk konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah. Ego sektoral dan daerah masih menjadi masalah utama dalam hal ini. Selain itu, konflik kewenangan pun terjadi secara hirarki antar instansi pemerintahan. Sebagai contoh, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini berdampak pada sulitnya pemerintah daerah dalam melaksanakan penyusunan rencana tata ruang wilayahnya. Oleh karena itu peranan kelembagaan penataan ruang dalam menjembatani hal tersebut sangatlah penting.

26 III. Beberapa Solusi dalam Menghadapi Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pembangunan Nasional Berdasarkan uraian tantangan yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa solusi yang dianggap perlu sebagai bahan pertimbangan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah: 1. Penyelarasan implementasi terhadap rencana pembangunan dengan rencana tata ruang melalui mekanisme yang diatur didalam suatu kebijakan/peraturan. 2. Perlunya sinkronisasi kebijakan antar sektor dan instansi pemerintahan secara hirarki untuk mewujudkan keselarasan program pembangunan. 3. Mewujudkan keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang. 4. Perlunya penyusunan rencana tata ruang yang berkualitas dan menyeluruh. 5. Produk rencana tata ruang daerah harus dibuat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah yang selaras dengan visi dan misi daerah. 6. Ketegasan sanksi dan ketetapan hukum sebagai alat yang digunakan untuk mengendalikan segala bentuk pemanfaatan ruang. 7. Penyelenggaraan sosialisasi dalam rangka memberikan informasi pentingnya peranan penataan ruang didalam pelaksanaan program pembangunan kepada masyarakat. 8. Peningkatan manajemen kelembagaan penataan ruang baik di Pusat maupun di daerah. 9. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi (co-production). 10. Mewujudkan konsistensi dalam penyerasian rencana tata ruang dengan rencana pembangunan antar pemangku pemerintahan, baik pada tingkat legislatif maupun eksekutif. Implikasi Ketentuan Sanksi Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Oleh Indra Perwira 1 1 Indra Perwira adalah Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

27 Akibat Tidak ada Sanksi Pidana Sebagai salah seorang yang diminta BKTRN untuk menyusun Naskah Akademik yang kemudian melahirkan UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, ada baiknya bila penulis terlebih dahulu menyampaikan latar belakang kenapa dalam UU ini terdapat ketentuan sanksi, sementara dalam undang-undang sebelumnya (UU 24 tahun 1992) tidak ada. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) ditetapkan berdasarkan pemikiran bahwa ruang wilayah NKRI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak dan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Ruang baik sebagai wadah maupun sebagai sumberdaya alam di wilayah daratan, lautan dan udara harus dilola secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan, sehingga tercipta tatanan lingkungan yang dinamis, serasi dan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian kemampuan lingkungan dan ketahanan nasional. Sejalan dengan pendekatan di atas, UUPR terdahulu lebih banyak mengatur keterpaduan proses dan institusi, sehingga kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang memang sengaja tidak banyak diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral, seperti Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perindustrian, Undangundang Pengairan dan sebagainya. Dengan semikian, jika seseorang melanggar tata ruang maka penerapan sanksi pidana tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Mungkin sanksi pidana dari Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Konservasi, atau Undang-undang yang lainnya. Pendekatan yang komprehensif tersebut ternyata dalam prakteknya tidak dapat berjalan efektif, antara lain disebabkan karena Undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi pendekatan ruang. Contohnya Undangundang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terkait langsung dengan penataan ruang, hanya dapat diterapkan sanksinya sepanjang pada perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dengan demikian, terdapat beberapa kaidah perilaku yang luput dari pengaturan UUPR. Kewajiban setiap orang untuk menaati Rencana Tata Ruang adalah kaidah perilaku yang sangat mendasar dalam UUPR. Sebab upaya apapun yang dilakukan dalam Penataan Ruang tidak berguna apabila tidak disertai dengan kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan. Ketika kepatuhan terhadap hukum mengendor karena pudarnya kesadaran hukum maka ancaman sanksi pidana memang diperlukan. Sayangnya UUPR tidak mengatur sanksi pidana, sehingga pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang diserahkan sepenuhnya pada instrumen penegakan hukum administrasi. Sebenarnya terdapat berbagai macam instrumen hukum administrasi yang dapat dijalankan oleh administrasi negara di tingkat pusat dan daerah, seperti pengawasan, pelaporan, teguran, penertiban dan pencabutan izin. Akan tetapi, instrumen penegakan hukum administrasi ini dalam praktek belum banyak digunakan. Hal itu disebabkan antara lain: 1. Belum ada Undang-undang khusus (Hukum Administrasi) yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi administrasi negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggar aturan dan kebijakan, termasuk Rencana Tata Ruang. 2. Beberapa Undang-undang, seperti Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan lain-lain sebenarnya telah cukup mengatur instrumen hukum administrasi tersebut, tetapi aparatur pemerintah kurang kreatif dan hanya menggunakannya terhadap isu yang spesifik diatur dalam undang-undang tersebut. 3. Penegakan hukum administrasi dianggap high cost, baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Belum terdapat mekanisme penyesesaian konflik penataan ruang Dalam Undang-undang terdahulu mengenai penataan ruang (UU No. 24/1992) pada pasal 26 menyatakan: (1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala daerah bersangkutan. (2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikat baik, terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak.

28 Berdasarkan pasal di atas, memberikan makna bahwa ketentuan ayat (1) berada dalam wilayah hukum admisistrasi, sementara ayat (2) berada dalam wilayah hukum perdata. Dengan demikian UUPR yang lama, di satu sisi telah memberikan wewenang yang kuat kepada Bupati/Walikota untuk membatalkan izin, di sisi lain menjamin perlindungan hukum atas kerugian yang diderita oleh pihak yang beritikad baik. Namun sayangnya kewenangan itu belum disertai dengan prosedur penegakannya yang akan dapat membuat persoalan-persoalan hukum yang terkait menjadi jelas. Persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul antara lain: a. Apakah pembatalan satu izin akan membatalkan izin-izin lain yang terkait? Contohnya, apakah pembatalan izin lokasi akan berpengaruh pada izin mendirikan bangunan (IMB)? Sebab jika hal tersebut tidak berkaitan, maka pembatalan itu tidak akan berpengaruh apapun. Seseorang dapat terus mendirikan bangunan atas dasar IMB yang diperolehnya. b. Apakah Bupati/Walikota dapat membatalkan izin-izin yang diterbitkan oleh instansi/pejabat lain, seperti Gubernur atau Menteri? Prinsip umum hukum administrasi menyatakan bahwa izin hanya dapat dicabut atau dibatalkan oleh pejabat yang menerbitkannya, atau apabila terjadi sengketa dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan (PTUN). Jadi Bupati/Walikota tidak dapat membatalkan izin yang diterbitkan oleh Gubernur atau Menteri. Lalu apa yang dapat dilakukan Bupati/walikota terhadap izin tersebut padahal izin tersebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota?. Pengawasan adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran. Pengawasan mempunyai dua dimensi, yaitu internal dan ekternal. Pengawasan ekternal ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat, sedangkan pengawasan internal ditujukan terhadap instansi/pejabat pemerintah. UUPR menetapkan hirarki Rencana Tata Ruang sedemikian rupa guna menjamin keterpaduan, sehingga Rencana Tata Ruang wilayah Kabupeten/Kota tidak boleh saling bertentangan dengan Rencana Tata Ruang daerah tetangganya serta dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan yang terakhir tidak boleh bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun demikian, UUPR tidak mengatur mekanisme untuk mengatasi kenyataan empirik bahwa banyak Rencana Tata Ruang Kabupaten/kota bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi. Kaidah-kaidah Multi Tafsir Dalam UUPR terdahulu, kaidah-kaidah perilaku hanya diatur dalam Bab III mengenai Hak dan Kewajiban yang terdiri dari Pasal 4, 5 dan 6. Pasal 4 ayat (1) menyatakan : Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Ketentuan dalam ayat ini dalam prakteknya melahirkan berbagai interpretasi. Selain pertanyaan apakah ruang yang dimaksud berkaitan dengan hak atas tanah yang bersangkutan, terhadap ruang publik, atau termasuk pada ruang yang secara hukum terkait dengan hak orang lain? Ada yang berpendapat ketentuan itu sesungguhnya mengatur dua kaidah (norma) berjenjang, yaitu : a. Hak menikmati pemanfaatan ruang; b. Hak menikmati pertambahan nilai ruang. Untuk dua kaidah berjenjang seperti itu lazimnya di antara keduanya diletakkan tanda, (koma). Penafsiran lain menyatakan bahwa kaidah yang kedua merupakan salah satu bentuk konkritisasi hak menikmati manfaat ruang. Pertanyaannya, selain hak menikmati pertambahan nilai ruang, hak apa lagi yang termasuk dalam hak menikmati manfaat ruang? Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan anak kalimat akibat penataan ruang. Apakah mengacu kepada kedua kaidah tersebut atau pada yang terakhir saja? Jika mengacu pada keduanya maka timbul pertanyaan, bagaimana sekiranya penataan ruang itu mengurangi hak seseorang untuk menikmati ruang? Perancang UUPR menunjuk pada ayat berikutnya, sebagai berikut: Setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang Dalam Penjelasan disebutkan bahwa: Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang yang dapat

29 membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang Persoalan hukum yang terdapat pada ayat (1) di atas, ternyata dijawab tidak dalam Batang Tubuh, melainkan dalam Penjelasan Ayat (2) huruf c, dan sebagaimana layaknya Penjelasan, maka hal ini berarti tidak mempunyai kekuatan mengikat yang kuat. Ayat (2) huruf c itu sendiri mengandung beberapa persoalan hukum, yaitu: a. Dimanakah perlindungan bagi hak rakyat untuk memperoleh ganti rugi akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang? b. Apakah rencana tata ruang cukup dijadikan bukti dan dasar bagi tuntutan ganti rugi atas perubahan nilai ruang? Pertanyaan ini muncul sebab ditegaskan bahwa perubahan nilai ruang itu akibat penataan ruang, sementara Pasal 1 telah menetapkan definisi penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kewajiban-kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 5, sebagai berikut: (1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. (2) Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan Perumusan norma pada Ayat (1) sangat kabur (vague norm). Perumusan sebuah norma yang tegas akan berbunyi, setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang. Istilah peran serta (participation) dari perspektif hukum menunjukkan bahwa subjek hukum bersangkutan bukan pihak yang berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab utama memelihara kualitas ruang. Dalam Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa, Negara menyelenggarakan penataaan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan pasal tersebut, maka pelaku utama penataan ruang adalah Pemerintah. Oleh karena itu terhadap subjek hukum selain Pemerintah, lazimnya tidak diletakkan kewajiban, melainkan hak, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan bahwa kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan penceminan rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang. Penjelasan ini memuat kaidah yang jauh lebih tegas, dan mengandung satu makna bahwa setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang. Kapasitas Kelembagaan yang Dibentuk Kurang Kuat Aspek kelembagaan yang dimaksud tidak sebatas struktur organisasi, wewenang, tugas, dan fungsinya, tetapi lebih dari itu yaitu bagaimana menguji dan menilai apakah lembaga tersebut sudah efektif dan responsif dengan tuntutan untuk memecahkan berbagai masalah dalam penataan ruang. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang komprehensif mengenai keberadaan kelembagaan beserta aspek-aspek yang melingkupinya. Untuk kelembagaan di daerah, UUPR mengadopsi kelembagaan yang ada berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti PP No.6 tahun 1988 tentang Kordinasi Instansi Vertikal di Daerah. Penyelenggaan penataan ruang wilayah Provinsi dilakukan oleh Gubernur dengan kewenangan yang lebih bersifat kordinatif. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dengan kewenangan-kewenangan nyata (action), sesuai dengan prinsip Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah berada di Tingkat II (Kabupen/Kota). Di tingkat Nasional, Pasal 29 UUPR menyatakan kewenangan penataan ruang berada pada Presiden, dan menugaskan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Dengan demikian UUPR mengatur bahwa kelembagaan dalam penyelenggaraan penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat Daerah dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pengertian menyelengarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik. Adapun tugas dan kewajiban Menteri dalam penataan ruang wilayah negara antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dengan masyarakat. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di antara instansi sektoral, maka UUPR telah menyatakan dengan tegas perlunya koordinasi. Dalam hal ini kemudian menugaskan kepada Presiden untuk menunjuk seorang menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas koordinasi tersebut meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Adapun sektor yang berada di bawah koordinasi menteri tersebut antara lain kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, permukiman, perindustrian dan perdagangan.

30 Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang, tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik secara struktural, substansial, maupun fungsional. Namun demikian apabila kita tilik lebih jauh apa yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan sektoral yang berkaitan erat dengan penataan ruang, maka tugas menteri yang mengkoordinasikan tidak ringan, sebab masing-masing instansi sektor tersebut didukung (di-backup) oleh dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan wewenang, tugas, dan kewajibannya masing-masing. Tentu saja masing-masing peraturan perundang-undangan sektor tersebut tidak ada sama sekali, baik eksplisit maupun implisit, suatu klausul yang menyatakan misalnya bahwa dalam hal terkait dengan wewenang penataan ruang (di sektornya), maka perlu berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penataan ruang. Hal ini dapat dilihat, misalnya di sektor pertambangan, pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan disebutkan bahwa: tata usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri Pertambangan. Demikian juga di sektor pengairan disebutkan bahwa Menteri Pertanian diserahi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan segala pengaturan usaha-usaha perencanaan, teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air. Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa: penetapan wilayah-wilayah hutan dilakukan oleh Menteri yang mengurusi urusan kehutanan. Namun tidak disebutkan bahwa dalam hal penetapan wilayah-wilayah hutan tersebut, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkordinasikan penataan ruang. Contoh lainnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dikatakan bahwa Pemerintah berwenang untuk menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, namun tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan tersebut, apakah Presiden, setingkat Menteri? lalu Menteri apa yang diserahi wewenang menetapkan wilayahwilayah tersebut? Semua hal tersebut masih tidak jelas. Demikian pula dalam PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, menyebutkan bahwa dalam penataan batas dilakukan oleh Panitia Batas yang keanggotaan dan taat kerjanya ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka dalam proses penyusunan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dirumuskan untuk menjawab beberapa persoalan yang tidak terjawab dalam UU Nomor 24 tahun 1992 melalui 3 isu pokok, yaitu: 1. Penguatan instrumen pengendalian tata ruang; 2. Penguatan aspek kelembagaan penatataan ruang 3. Penguatan hak-hak masyarakat Implikasi Pengaturan Sanksi UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga bentuk sanksi, yaitu sanksi administrasi (Pasal 62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66,67, dan 75), dan sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74). Sepintas sederetan pasal-pasal tersebut akan mampu menutupi celah yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya dalam hal pengendalian tata ruang. Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang adalah keseimbangan, keselarasan antara kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas oleh penguasa negara (legal awareness) dengan perasaan hukum masyarakat yang bersifat spontan dari rakyat (legal feeling). Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal culture) dapat tumbuh lebih baik. Penegakan hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya. Lebih ideal lagi apabila para penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan salah satu refleksi dan bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang demokratis dan berwibawa. (Muladi, 1997). Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari anggapan sementara kalangan bahwa rusaknya struktur dan merosotnya kualitas tata ruang disebabkan karena UUPR tidak mengatur sanksi pidana. Kasus tata ruang Cekungan Bandung adalah salah satu contoh dimana Rencana Tata Ruang hanyalah kebijakan di atas kertas. Bagian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apakah pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang Penataan Ruang akan membuat pengendalian pemanfaatan ruang berjalan lebih efektif? Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab. Pertama, rasa takut terhadap ancaman sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin, hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement).

31 Kepatuhan hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan hukum. Sekali konsistensi itu dilanggar atau intensitas pengawasan menurun, maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini kepatuhan hukum masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum. Kedua, kepatuhan yang dilakukan atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran masyarakat, yang dikenal sebagai kesadaran hukum. Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif. Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana yang berat sekalipun tidak akan bermanfaat apabila pengawasan atau penegakan hukum tidak berjalan. Akan tetapi, situasi ini akan jauh lebih baik daripada tidak terdapat sanksi apapun yang dapat diterapkan bagi pelanggar hukum. Sejalan dengan asas pencegahan (the precautionary principle) dan asas pengendalian (principle of restraint) yang juga merupakan syarat kriminalisasi, menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif, yang dalam hukum pidana dikenal sebagai asas subsidaritas atau ultima ratio principle atau ultimum remedium. Pertanyaan selanjutnya, siapa dan perilaku seperti apa yang layak diganjar oleh sanksi pidana? Terhadap siapa atau pelaku yang dikenakan sanksi pidana, UU 26 tahun 2007 telah menjawab secara lugas, yaitu orang perseorangan atau badan hukum (korporasi). Sementara terhadap perilaku yang dikategorikan sebagai tindak pidana (kriminalisasi), masih menjadi persoalan. Apakah perilaku itu layak diketagorikan sebagai sebuah kejahatan dan pelanggaran berat sehingga patut diganjar dengan sanksi yang berat? Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 69 sampai pasal 71 UU Nomor 26 tahun 2007 ternyata ditujukan pada perilaku yang melanggar kewajiban yang diatur dalam Pasal 61, yaitu: a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfatan ruang; dan d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Anehnya, pasal 62 dan 63 memberikan sanksi administratif terhadap perilaku serupa, sehingga dalam penerapannya akan menimbulkan kerancuan. Sesungguhnya pelanggaran terhadap ketentuan pasal 61 itu merupakan pelanggaran administrasi atau pidana? Penulis kira disini ada kekeliruan pemahaman terhadap asas ultimum remedium. Sebab secara prinsip pelanggaran atau kesahahan pada tataran hukum administrasi harus diselesaikan oleh instrumen hukum administrasi, kecuali dalam pelangaran hukum administrasi itu memang ditemukan unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sayangnya tidak dirumuskan dengan jelas dalam UU 26 tahun 2007, sehingga sulit untuk ditegakkan. Ketentuan pidana yang agak unik karena belum lazim dalam sistem hukum kita, terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) menyatakan: Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan dengan paling banyak Rp Unsur tindak pidana muncul berdasarkan asumsi bahwa selayaknya pejabat pemberi izin pasti mengetahui rencana tata ruang, dan logika hukum (rasio legis) tidak mungkin pejabat memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang karena izin itu sendiri merupakan instrumen pengendalian, dan pengendalian itu sendiri merupakan tugas dan wewenangnya. Apabila pejabat memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, patut diduga terdapat unsur kolusi, korupsi dan nepotisme. Jadi dilihat dari tujuan hukumnya, ketentuan Pasal 73 itu merupakan sumbangan berharga bagi dunia hukum pidana. Persoalannya, jika benar Pasal 37 itu didasarkan pada asumsi di atas, dalam pembuktiannya masih menjadi persoalan. Sekiranya unsur korupsi yang menjadi sasaran kriminalisasi, bukankah itu sudah diatur dalam KUHP dan UU Tindak Pidana Korupsi, yang sanksinya jauh lebih berat? Mengenai sanksi perdata yang terdapat dalam Pasal 66, juga dirumuskan secara kabur. Tidak jelas siapa yang digugat dan tidak jelas pula objek yang digugat atau objek yang menjadi sengketa. Dengan demikian, adanya ketentuan sanksi pidana dalam UU 26 tahun 2007 tersebut menurut penilaian penulis tidak akan banyak mengubah karakter penataan ruang sebelumnya dan masih hanya sebatasi macan kertas. Jika hal itu terjadi, secara moral penulis ikut bertanggung jawab karena sebagai anggota tim ahli tidak cukup intensif mengawal proses perancangannya. Untuk itu saya mohon maaf!

32 IMPLIKASI UU NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERHADAP PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI PROVINSI DKI JAKARTA Oleh: Ir. Sarwo Handayani, M.Si Kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta

33 1. Pendahuluan Terbitnya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan berkelanjutan yang harus menjadi salah satu concern utama dalam pembangunan baik di negara maju maupun negara berkembang. Di dalam negeri sendiri, Undang-undang tersebut juga sejalan dengan semakin kritisnya kondisi lingkungan di Indonesia yang ditandai dengan fenomena semakin sering dan besarnya banjir, serta tanah longsor yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa. Dalam rangka merespon hal-hal tersebut, berbeda dengan Undang-undang terdahulu, pada Undang-undang Nomor 26/2007, muatan terkait dengan isu lingkungan hidup semakin ditekankan. Salah satunya adalah dalam kaitan dengan Perencanaan Ruang Wilayah Kota yang diharuskan memuat rencana penyediaan dan pemanfatan ruang terbuka hijau (RTH). Undang-undang tersebut mencantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk RTH, dimana 20% diperuntukan bagi RTH publik yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10% diperuntukan bagi RTH private pada lahanlahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat. Dilihat dari kondisi lingkungan perkotaan yang semakin menurun, ketentuan dalam Undang-undang Penataan Ruang tersebut sangat tepat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa secara umum kondisi lingkungan perkotaan di Indonesia sudah semakin menurun, dimana luasan ruang terbuka hijau semakin lama semakin berkurang dan berubah fungsi menjadi areal-areal komersial yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding dengan RTH. Sudah sepantasnya aturan tersebut, yang mencoba menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi kotakota di Indonesia, harus didukung oleh semua pihak, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku ekonomi serta masyarakat (community) secara keseluruhan. Tetapi akan lebih baik lagi, jika aturan tersebut selain mencoba menjawab dan merespon kondisi dan permasalahan saat ini juga memperhitungkan kapasitas atau kelayakan dari implementasinya. Aturan yang baik tetapi sulit untuk diimplementasikan atau dioperasionalkan akan sama nilainya dengan aturan yang sama sekali tidak menjawab permasalahan yang ada. Idealnya suatu kebijakan atau aturan harus mampu menjawab permasalahan yang ada dan sekaligus juga dapat diimplementasikan. Oleh karena itu dalam tulisan kecil ini, kemungkinan dan implikasi aturan mengenai target luasan RTH untuk Kota Jakarta akan coba diuraikan. Tulisan ini pertama-tama akan menguraikan mengenai muatan RTH pada RTRW DKI Jakarta yang ada saat ini, dilanjutkan dengan uraian mengenai kondisi RTH serta pengalaman penyediaan dan pemanfaatannya di DKI Jakarta, implikasi Undang-undang Nomor 26/2007 terkait dengan potensi RTH yang ada dan kapasitas penyediaan RTH oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta alternatif yang tersedia bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengakomodir UU nomor 26/2007 dalam RTRW DKI Jakarta yang akan datang. Walaupun tulisan ini memfokuskan pembahasan pada ruang terbuka hijau, akan tetapi walaupun hanya sedikit akan disinggung pula mengenai pemanfaatan ruang terbuka non hijau terutama terkait dengan kegiatan sektor informal. 2. RTH dalam RTRW 2010 Dengan jumlah penduduk 8,9 juta jiwa pada malam hari dan penduduk siang berkisar 10,2 juta pada siang hari dengan kepadatan jiwa / km 2 serta pertumbuhan penduduk sekitar 1.11% per tahun, Jakarta membutuhkan RTH yang tidak saja berfungsi estetika dan edukatif tetapi juga sebagai sarana yang mempunyai fungsi sosial. Penting bagi Jakarta memiliki taman dan hutan kota yang dapat dijadikan tempat interaksi sosial dan tempat wisata murah bagi warganya, selain berfungsi estetika dan edukatif. Bagi Jakarta, fungsi RTH juga sangat penting dilihat dari aspek perlindungannya. Jakarta dilalui oleh 13 sungai dan terdapat kurang lebih 44 waduk dan situ yang memerlukan perlindungan dari penyempitan akibat penggunaan tepiannya. Dalam kaitannya dengan ini, RTH dapat berfungsi untuk melindungi badan-badan air tersebut. Fungsi perlindungan ini juga diperlukan mengingat semakin berkurangnya cadangan air tanah di DKI Jakarta, dimana RTH dapat berfungsi sebagai kawasan resapan untuk air tanah tersebut. Terakhir, dengan semakin tingginya pemanfaatan bahan bakar fosil, RTH dapat berfungsi sebagai penetralisir pencemaran udara di Jakarta. Pentingnya fungsi RTH untuk paru-paru kota dimaksudkan untuk mengantisipasi makin tingginya jumlah kendaraan bermotor saat ini yang telah berjumlah 5,7 juta unit dengan laju pertumbuhan 9.5% per tahun.

34 Kesadaran akan pentingnya fungsi RTH bagi Kota Jakarta tersebut dijabarkan dalam aturan daerah mengenai tata ruang yaitu Perda nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta atau dikenal dengan RTRW Dalam perda tersebut, RTH diistilahkan sebagai kawasan hijau yang dibagi ke dalam kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan dengan prosentase keseluruhan kedua kawasan tersebut hingga tahun 2010 ditetapkan sebanyak 13.94% dari luas keseluruhan DKI Jakarta (lihat gambar 1). Gambar 1. Peta Struktur Tata Ruang Wilayah Arahan pengembangan kawasan hijau di Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut (Lihat Gambar 2): - Hutan Lindung dan Hutan Kota diarahkan pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu terutama pada zona inti dan pelindung, serta Hutan Angke Kapuk, Hutan Kamal Muara, dan Hutan Muara Angke. - Hijau pengaman air diarahkan pada sempadan sungai dan sempadan situ atau danau - Hijau rekreasi/taman kota diarahkan pada beberapa spot di setiap wilayah Kota - Kawasan pertanian diarahkan pada beberapa kawasan yang saat ini masih merupakan kawasan atau areal pertanian. - Kawasan daerah resapan air diarahkan pada Kawasan Bagian Selatan Kota Jakarta yang dilakukan melalui pembatasan intensitas pembangunan fisik.

35 Gambar 2. Peta Arahan Pengembangan Kawasan Hijau Jika klasifikasi tersebut disesuaikan dengan UU nomor 26/2007, maka terlihat bahwa sebagian besar arahan RTH di DKI Jakarta adalah RTH private (lihat gambar 1). Bagian terbesar kawasan hijau sebagaimana tercantum dalam RTRW 2010 adalah pada Bagian Selatan, yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, dimana dalam pemanfaatannya masih dimungkinkan untuk kegiatan lain tetapi dengan intensitas rendah (KDB bekisar 20%-40%). Hal ini yang sering menimbulkan kesalahpahaman yang berbutut pada tuduhan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengizinkan pembangunan pada kawasan RTH. Pembahasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih dalam pada bagian selanjutnya dari tulisan ini. Pada RTRW 2010 tersebut juga telah mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan tidak dapat dirubah fungsi dan peruntukannya terutama untuk Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi UU nomor 26/2007 adalah RTH publik). Dengan demikian, walaupun secara prosentase target RTH pada RTRW 2010 lebih rendah dari target RTH sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun 2007, tetapi dapat dikatakan bahwa telah ada komitmen untuk menjaga ketersedian RTH di Provinsi DKI Jakarta. Pada saat ini RTRW 2010 sedang dalam proses evaluasi secara komprehensif dan diharapkan pada tahun 2010 nanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Perda baru mengenai RTRW yang antara lain akan mengadopsi aturan-aturan baru sebagai mana tercantum dalam Undang-undang Nomor 26/2007. Akan tetapi sambil menunggu RTRW baru tersebut, RTRW 2010 masih digunakan sebagai acuan sementara, walaupun dalam pelaksanaannya di lapangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah dan akan mencoba mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang yang baru. 3. Kondisi, Pengalaman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Provinsi DKI Jakarta Pada saat ini luas RTH publik di Provinsi DKI Jakarta kurang lebih telah mencapai 10% dari luas DKI Jakarta atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha. Selama lima tahun terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan RTH. Program penghijauan selama lima tahun ini dilakukan dengan cukup intensif dan diberi nama gerakan Jakarta yang Hijau Royo-royo dan Berkicau. Salah satu komponen dari gerakan Jakarta Hijau Royo-royo dan Berkicau adalah melakukan pemeliharaan dan penataan taman yang memiliki fungsi multi-dimensi, yaitu dimensi ekologis, edukatif dan sosial. Contoh dari taman-taman semacam ini adalah Taman Monas, Taman Menteng, Taman Suropati dan Taman Lapangan Banteng. Penataan taman tersebut juga dibarengi dengan penataan jalur-jalur hijau baik jalur hijau jalan maupun jalur hijau tepian air.

36 Gambar 2. Taman Kota: Taman Menteng, Taman Monas, Lapangan Banten, dan Taman Suropati Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membangun taman-taman interaktif di kawasan permukiman terutama di permukiman padat penduduk. Taman semacam ini selain berfungsi sebagai katup sosial melaui interaksi di dalamnya seperti melalui kegiatan olah raga dan bermain yang dapat mencegah anak-anak untuk bermain di jalan. Tujuan pembangunan taman interaktif ini adalah mendekatkan lokasi taman ke warga yang sulit menjangkau taman-taman kota skala besar. Umumnya taman interaktif ini memiliki luas kurang lebih m 2. Program taman interaktif ini juga diiringi dengan program potinisasi dimana pot-pot tanaman digantung dan diletakan di sepanjang gang-gang yang tidak bisa ditanami pohon.

37 Gambar 3. Jalur Hijau Upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat di kawasan RTH antara lain dilakukan melalui pembangunan RTH sebagai bagian dari kewajiban fasos fasum pengembang, pembangunan dan pemeliharaan RTH oleh swasta atau masyarakat yang mampu dengan sistem adopsi dimana mereka bertindak menjadi semacam Bapak Angkat yang akan memelihara dan menata taman. Sistem adopsi ini telah berjalan di beberapa lokasi RTH seperti di taman/jalur hijau Gunung Agung dan Kepala Gading. Untuk masyarakat menengah ke bawah, diharapkan adanya partisipasi masyarakat melalui penataan lingkungan dan halaman rumahnya. Untuk kelompok masyarakat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membagikan pohonpohon produktif kepada mereka.

38 Gambar 4. Taman Interaktif, Taman Partisipasi Masyarakat, dan Penghijauan Terkait dengan pengembangan hutan kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam lima tahun terakhir ini telah berhasil menambah jumlah lokasi hutan kota sebanyak 20 lokasi. Selain itu pada hutan alami di Bagian Utara Jakarta, upaya penanaman pohon mangrove giat dilaksanakan. Hampir kurang lebih pohon mangrove telah ditanam dalam 5 tahun terakhir ini. Adapun untuk kawasan pertanian, walaupun kontribusi terhadap perekonomian Jakarta tidak terlalu signifikan tetapi upaya untuk mempertahankan kawasan-kawasan pertanian yang masih tersisa terus dilakukan. Dari pengalaman peyedian dan pemanfaatan RTH sampai saat ini terdapat berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi. Permasalahan dan kendala tersebut antara lain adalah: - Masih adanya peruntukan RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal - Ketersediaan lahan yang semakin menipis ditambah peningkatan aktivitas ekonomi Jakarta menyebabkan harga tanah semakin tinggi dan diatas NJOP. - Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan taman, jalur-jalur hijau dan tanaman tanaman penghijauan yang ada; misalnya dalam Pengembangan Taman Monas dan Taman Stadion Menteng; - Terbatasnya Sumber Daya Pemerintah dan masih belum terselesaikannya permasalahan transportasi dan banjir di Jakarta yang membutuhkan anggaran biaya yang sangat besar - Belum optimalnya sistem pendataan dan informasi mengenai RTH - Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam penataan RTH - Masih terdapatnya mis-persepsi dan mis-informasi mengenai RTH yang mengakibatkan partisipasi masyarakat tidak optimal - Kurang efektifnya penegakan hukum. - Rendahnya pengendalian kewajiban penyediaan fasos fasum untuk RTH - Distribusi RTH yang kurang merata di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Khusus mengenai adanya RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal, dapat disampaikan bahwa anggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembedaan perlakukan terhadap pengusaha besar dan masyarakat kecil yang menempati RTH adalah tidak berdasar dan merupakan kesalahpahaman. Walaupun masih diperlukan upaya penyempurnaan, akan tetapi kebijakan yang ada adalah tegas yaitu tidak mengijinkan perorangan ataupun kelompok untuk memanfaatkan peruntukan kawasan hijau lindung dan hijau binaan untuk kegiatan lain ataupun mengalihfungsikan RTH, baik untuk kegiatan komersial seperti perumahan mewah, apartement, mall, SPBU, ataupun kegiatan informal dan ilegal lainnya. Untuk beberapa kasus yang dituduhkan dapat disampaikan bahwa pembangunan pada kawasan yang sepertinya adalah merupakan kawasan RTH pada dasarnya adalah bukan merupakan kawasan RTH sepenuhnya, tetapi merupakan kawasan yang didominasi oleh RTH tetapi masih diberbolehkan dengan intensitas ruang yang kecil digunakan untuk kegiatan non RTH, seperti yang terjadi di Kawasan Senayan. Kawasan Senayan merupakan kawasan dengan intensitas ruang yang rendah, sehingga jika intensitas tersebut belum terlampaui masih dimungkinkan untuk pembangunan. Untuk peruntukan RTH yang telah terlanjur beralih fungsi ataupun untuk sementara digunakan untuk kegiatan lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan upaya refungsionalisasi taman dengan memprioritaskan pembebasan dan pengembalian fungsi peruntukannya dari non RTH menjadi RTH. Salah satu bentuk program ini adalah melakukan refungsi SPBU yang beroperasi di jalur hijau/ruang terbuka hijau. Target untuk refungsi SBPU ini sebanyak 32 SPBU, dimana 4 SPBU telah direfungsikan sedangkan sisanya sedang dalam proses

39 refungsionalisasi. Sementara itu, RTH yang digunakan untuk permukiman illegal, seperti disepanjang tepian air, jalur kereta api, dan kolong tol, pada saat ini terdapat kurang lebih keluarga yang menempati kawasan tersebut. Upaya menguranginya antara lain dengan melakukan relokasi ke rumah susun sewa sederhana yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi penduduk ber-ktp DKI dan memulangkan ke kampung halamannya bagi yang bukan penduduk DKI Jakarta. Untuk pedagang kaki lima yang menempati RTH maupun ruang terbuka non RTH di Provinsi DKI Jakarta jumlahnya cenderung menurun dimana pada tahun 2005 terdapat sebanyak kurang lebih usaha kaki lima dengan tenaga kerja kurang lebih sebanyak jiwa. Pedagang kaki lima yang menempati lokasi tidak resmi (illegal) telah berkurang dari 83.8% menjadi 78.4% dalam lima tahun ini. Pengurangan ini juga tampak dari berkurangnya usaha kaki lima yang menempati trotoar dan badan jalan yang berkurang dari 66.85% menjadi 59.7 % dalam lima tahun ini. Pengurangan tersebut antara lain diakibatkan adanya upaya untuk menyediakan lokasi resmi untuk usaha kaki lima yang dapat dibedakan menjadi lokasi penampunan/pembinaan (lokasi pedagang kaki lima di lahan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 20 lokasi dan 4 lokasi diantaranya sedang ditingkatkan menjadi pasar), lokasi sementara (lokasi pada prasarana kota, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 266 lokasi), lokasi terkendali (lokasi pada areal milik perorangan atau badan), dan lokasi terjadwal (lokasi pada kegiatan atau event tertentu seperti PRJ). 4. Implikasi Target RTH: antara Potensi dan Keterbatasn Kapasitas Salah satu implikasi terpenting dari UU nomor 26 tahun 2007 adalah kewajiban untuk menyediakan dan memanfaatkan 30% ruang sebagai RTH dengan 20% untuk RTH publik dan 10% RTH private. Untuk mencapai target RTH tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan menempuh langkahlangkah sebagai berikut: - Pembelian lahan - Peremajaan Kawasan - Penetapan Kewajiban Pengembang - Mempertahankan RTH yang sudah ada melalui refungsionalisasi, pengamanan dan sosialisasi - Mendorong pemanfaatan RTH private secara lebih optimal dan inovatif seperti penggunaan roof garden, wall garden, peningkatan konsistensi perijinan, dst. Untuk meningkatkan luasan RTH publik dari seluas ha atau 10% dari luas DKI Jakarta menjadi seluas seluas ha atau 20%, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan pembelian lahan seluas kurang lebih Ha. Bagi kota seperti Jakarta dimana tingkat supply tanah semakin tipis dan demand yang begitu tinggi, biaya yang dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak sedikit bahkan sangat besar. Jika dilihat dari sisi potensi ketersediaan RTH publik di DKI Jakarta yang ada saat ini, antara lain pada luasan jalur kereta api, penyangga situ/waduk, sempadan sungai dan pantai, termasuk lahan hasil reklamasi dan pulaupulau di Kepulauan Seribu, serta tidak kalah pentingnya potensi tambahan lahan dari kewajiban pengembang, maka potensi maksimal RTH publik yang dapat dapat diperloleh adalah berkisar 13%-15%. Dengan demikian lahan yang masih perlu diakusisi untuk mencapai 20% RTH publik, kurang lebih cukup 6% saja dari luas yang dibutuhkan yaitu Ha. Dengan asumsi bahwa harga tanah rata-rata di Jakarta berkisar antara Rp. 1,75 jt/m2, maka kebutuhan dana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya untuk mengakusisi target tersebut diperkirakan adalah sekitar Rp.71 triliun. Angka tersebut belum memperhitungkan tingkat inflasi jika pembebasannya disebar untuk beberapa tahun dan belum pula memperhitungkan biaya-biaya lainya terkait dengan pemanfaatan RTH seperti pembangunan dan penataan potensi RTH yang ada, pemeliharaan, pengamanan, sosialisasi, dll. Dengan angka tersebut yang nilainya sekitar 300% APBD Provinsi DKI Jakarta tahun 2008 dan kemampuan menyediakan dana untuk akuisisi lahan untuk RTH saat ini yang hanya sebesar kurang lebih Rp. 500 milyar per tahunnya, maka pencapaian target RTH publik sebesar 20% akan dicapai minimal selama 140 tahun. Terdapat beberapa skenario lain untuk mempercepat pencapaian target tersebut. Skenario yang paling optimis adalah pertambahan RTH publik maksimal hanya sebesar 0,2% per tahun. Dengan demikian, berdasar skenario optimis ini, paling tidak menambah target RTH publik baru sebesar 10% dari luas DKI Jakarta akan tercapai selama 50 tahun. Permasalahan lainnya terkait kapasitas pembesan lahan ini adalah adanya batasan bahwa dalam pembebasan lahan harga yang dibayarkan tidak dapat melebihi NJOP. Sementara itu, harga lahan di Provinsi DKI Jakarta semakin lama semakin meningkat jauh diatas NJOP apalagi untuk daerah-daerah strategis di pusat kota. Hal ini semakin menurunkan kapasitas pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membebaskan lahan bagi RTH.

40 Terkait dengan upaya untuk peremajaan kawasan permukiman kumuh dengan merelokasinya ke Rusun, dengan jumlah keluarga pada permukiman tersebut sebanyak keluarga dan dengan asumsi bahwa 1 KK menempati rata-rata seluas 20 m 2, maka potensi lahan untuk RTH publik di kawasan ini jika diasumsikan 50%- nya akan dijadikan sebagai RTH dan sisanya tetap digunakan untuk kawasan permukiman atau kegiatan lain, akan berkisar sebesar 74 ha. Akan tetapi kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan peremajaan dan merelokasi ke rusun masih sangat terbatas. Pada saat ini, kemampuan maksimal penyediaan rusunawa maksimal oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar unit rumah per tahun. Masalah lain dari peremajaan ini adalah tingginya resistensi dari penghuni permukiman tersebut dan masyarakat lainnya yang menyalahartikan kegiatan relokasi tersebut sebagai kegiatan penggusuran yang bertentangan dengan Hak Azasi Manusia. Potensi lainnya untuk menambah RTH di Propinsi DKI Jakarta adalah dengan melakukan refungsionalisasi lahan RTH yang merupakan asset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi digunakan untuk kegiatan non RTH seperti SPBU atau digunakan secara illegal untuk kegiatan kaki lima. Kegiatan illegal ini umumnya dilakukan oleh masyarakat tanpa izin resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Seperti pada relokasi permukiman illegal, walaupun secara aturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai hak untuk memanfaatkan asset yang dimilikinya dan juga peruntukannya memang untuk RTH, tetapi masih banyak pihak beranggapan bahwa refungsionalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia untuk kasus refungsionalisasi pedagang kaki lima, dan menurunkan pendapatan daerah dan perekonomian kota dalam kaitan dengan refungsionalisasi SPBU. Memperhatikan aspirasi agar refungsionalisasi kawasan pedagang kaki lima tersebut dilakukan dengan memperhatikan hak azasi manusia, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta umumnya mencoba memberikan waktu bagi mereka untuk mencari lokasi-lokasi resmi untuk berdagang dan membongkar sendiri bangunannya. Akan tetapi dalam beberapa kasus, yang terjadi adalah bahwa para pedagang tidak bersedia untuk pindah dan membongkar sendiri sehingga dilakukan dengan cara penertiban. Dalam skala yang luas, kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan refungsionalisasi ini juga terbatas mengingat besarnya jumlah pedagang kaki lima yang ada. Selain itu, dalam beberapa kasus walaupun pedagang kaki lima itu menempati dan melakukan kegiatan ekonomi yang illegal dan tidak resmi, akan tetapi mereka dan masyarakat merasa mereka melakukan kegiatan ekonomi yang legal karena tetap mendapatkan pelayanan dari penyediaan layanan umum terutama listrik dan telepon. Hal ini juga terjadi untuk beberapa kasus permukiman illegal, dimana disatu sisi mereka mendiami kawasan permukiman secara illegal tetapi kawasan tetap mendapatkan layanan listrik. Masalah permukiman dan pedagang kaki lima illegal ini juga terkait dengan masalah kependudukan, dimana banyak dari mereka merupakan migran. Dengan demikian seharusnya tanggungjawabnya bukan hanya ada pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah asal para migran. Pemerintah Daerah asal para migran dapat ikut bertanggung jawab misalnya dengan memberikan semacam surat jaminan kepada para migran sehingga akan memudahkan DKI Jakarta dalam menanganinya. Bagi Provinsi DKI Jakarta, potensi terbesar untuk meningkatkan luasan RTH publik adalah melalui penetapan kewajiban pengembang (pengembang diwajibkan menyediakan lahan RTH dengan luas tertentu), partisipasi masyarakat dan swasta (melalui Comercial Social Resposibility), serta secara konsisten mengamankan lahanlahan yang dimiliki. Walaupun di sana sini masih terdapat kelemahan, akan tetapi dalam upaya-upaya ini kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dioptimalkan tanpa banyak kendala yang berarti. Adapun mengenai pencapaian RTH private, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terus membenahi mekanisme insentif dan disinsentif dalam penyediaan RTH, meningkatkan konsistensi perizinan, serta memperbaiki metode sosialisasi agar partisipasi, kesadaran, serta kepatuhan masyakat untuk menyediakan RTH pada lahan miliknya semakin meningkat. Dengan semakin baiknya tata pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta, nampaknya masalah pencapaian RTH private ini tidak akan menjadi masalah yang berarti dan bahkan mungkin merupakan salah satu jalan keluar untuk mencapai 30% RTH melalui berbagai upaya yang lebih inovatif dan intensif dalam mendorong penyediaan RTH private menjadi lebih dari 10%. Salah satu aspek lain terkait penyediaan RTH adalah penyediaan RTH di Jakarta seharusnya tidak dilepaskan dari penyediaan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur. Kawasan ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan ekologis dan penyediaan RTH harus mempertimbangkan hal ini. Akan tetapi, kapasitas untuk menempatkan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur ini belum optimal dan masih memerlukan beberapa terobosan baik dari segi aturan maupun dari segi kelembagaannya. Dari uraian pada bagian ini, dapat disimpulkan bahwa potensi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan luasan RTH publik sebesar 20% dan 10% RTH private cukup besar akan tetapi kapasitas untuk

41 penyediaan RTH publik masih terbatas, antara lain dalam hal pembiayaan, aturan pembebasan lahan, perbedaan persepsi tentang permukiman dan kegiatan illegal di RTH, dan menempatkan penyediaan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur. Di lain sisi, dibandingkan dengan penyediaan RTH publik, penyediaan RTH private nampaknya merupakan salah satu alternatif yang perlu didorong untuk minimal dapat mengurangi ketimpangan ketersediaan RTH Publik yang ada. 5. Pilihan Kebijakan RTH: Sebuah Dilema Dalam rangka menyusun RTRW DKI Jakarta , Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib mengadopsi aturan pencapaian penyedian dan pemanfatan RTH seluas 30% dari luas DKI Jakarta. Melihat kapasitas yang ada saat ini, maka terdapat beberapa pilihan alternatif dalam menentukan kebijakan mengenai target RTH. Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, memasukan aspek penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW tersebut tidak menjadi masalah dan Provinsi DKI Jakarta sangat membutuhkan hal itu. Permasalahannya adalah dalam menentukan target besaran luasan RTH. Sampai saat ini terdapat beberapa pilihan kebijakan terkait dengan penyediaan RTH, yaitu: 1. Mengadopsi secara total target pencapaian RTH dengan menetapkan RTH publik sebesar 20% dan RTH private 10%. Dengan kebijakan ini, maka hampir dipastikan target itu tidak akan tercapai, tetapi di lain pihak RTRW DKI Jakarta tidak akan melanggar ketetapan UU nomor 26 tahun Dengan alternatif ini resiko penolakan Perda RTRW oleh Pemerintah Pusat (pengesahan oleh Departemen Dalam Negeri) dapat diminimalisir dan juga resiko aturan pemerintah daerah yang menyalahi aturan yang lebih tinggi tidak terjadi. Akan tetapi dalam alaternatif ini, penetapan target yang hampir pasti tidak akan dapat tercapai seperti menyimpan bom waktu yang pada suatu saat nanti dapat menjadi masalah. 2. Menyesuaikan target RTH yang lebih realistis, yaitu RTH publik sekitar 13% -15% dan RTH private 10%. Dalam alaternatif ini, implementasi kebijakan penetapan ini hampir pasti dapat dilaksanakan dan tercapai serta kebijakan yang ada akan lebih realistis. Akan tetapi sampai saat ini, tidak begitu jelas dan tegas apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap RTRW DKI Jakarta itu karena aturan yang lebih tinggi telah dilanggar oleh aturan daerah. 3. Mengadopsi total target RTH tetap 30% tetapi menyesuaikan proposinya dengan target RTH publik sebesar 14% dan RTH private sebesar 16%. Dalam alternatif ini jalan tengah tercapai dalam arti secara total penetapan RTH tidak melanggar UU yang ada, dan juga target yang ditetapkan dapat lebih realistis karena Provinsi DKI Jakarta akan lebih fokus pada potensi RTH yang sudah ada. Selain itu, dalam alternatif ini beban penyediaan RTH di DKI Jakarta dibagi antara Pemerintah Daerah dan aktor lainnya. Permasalahannya adalah hal ini dapat memerlukan partisipasi masyarakat yang tinggi dan dapat mengundang resistensi dari masyarakat serta resiko penolakan Perda oleh Pemerintah Pusat tidak dapat terminimalisir sepenuhnya. Masih banyak alternatif lainnya, akan tetapi yang harus dicatat di sini adalah bahwa kewajiban 30% RTH telah menjadikan dilema yang cukup pelik dan membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi yang serba sulit antara memiliki kebijakan yang realistis atau kebijakan yang sesuai dengan aturan yang ada. Untuk memecahkan dilema ini diperlukan adanya semacam dialog antara berbagai pihak baik itu Pemerintah Pusat, civil society, Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri. Dengan itu, diharapkan akan tercapai kesamaan persepsi dan adanya saling memahami posisi dan kesulitan masingmasing sekaligus merumuskan solusi bersama dimana tercapai Win-win Solution. 6. Referensi - UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dept. Pekerjaan Umum. Jakarta, Peraturan Daerah nomor 26 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, Kinerja Pembangunan DKI Jakarta tahun Bapeda Provnisi DKI Jakarta. Jakarta, Masukan untuk Evaluasi RTRW Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, RPJMD PRovinsi DKI Jakarta Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, Renstra Dinas Pertamanan DInas Pertamanan. Jakarta, Buku Saku Informasi/Data SPKLH Prov. DKI Jakarta Biro ASP Prov. DKI Jakarta. Jakarta, 2007

42 Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Oleh : Hadi Prasetyo (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur) I. Pendahuluan Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan : a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; b. tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan c. tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan telah memiliki landasan hukum sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sejalan dengan permasalahan tata ruang yang semakin berkembang, telah disusun Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang Undang No 24 Tahun UU ini diharapkan dapat berfungsi sebagai payung hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga dapat terwujud penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif. Perbedaan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang baru dengan yang lama antara lain : 1. Ruang lingkup penataan ruang wilayah ditambahkankan ruang di dalam bumi 2. Pengaturan jangka waktu berlaku rencana tata ruang dalam setiap tingkatan menjadi 20 tahun. 3. Tidak lagi dikenal istilah kawasan tertentu namun diganti oleh Kawasan Strategis. 4. Penekanan terhadap hal-hal yang bersifat strategis terutama hal-hal yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan seperti proporsi kawasan hutan dalam suatu DAS minimal 30 persen, serta proporsi ruang terbuka hijau (RTH) di kota/perkotaan minimal 30 persen dengan proporsi ruang terbuka hijau publik minimal 20 persen. 5. Dalam penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang tata ruang harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan penataan ruang dalam hal ini adalah Menteri yang Pekerjaan Umum sebelum dievaluasi oleh Departemen Dalam Negeri. 6. Adanya penambahan muatan dalam rencana tata ruang baik untuk skala Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota yaitu penetapan kawasan strategis dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. 7. Penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana, seperti

43 kawasan rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, longsor, gelombang pasang dan banjir, dan dampak dari keberadaan jaringan SUTET; 8. Terbentuknya lahan abadi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan; 9. Pengaturan sanksi yang lebih tegas, dalam hal ini selain diatur sanksi administratif, juga diatur sanksi pidana, baik kepada pelanggar maupun pemberi izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. II. Penataan ruang di Jawa Timur Dengan diterbitkannya Undang Undang Penataan Ruang yang baru memiliki implikasi terhadap berbagai aspek penyelenggaraan penataan ruang, baik aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek teknis, serta aspek sosiologis. Implikasi terhadap aspek teknis terkait dengan adanya beberapa perubahan materi, secara substansi perlu disikapi untuk dilakukan penyesuaian. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah melakukan beberapa penyesuaian antara lain : a. Zoning Regulation Tingginya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang selama ini menyebabkan pada UU Penataan Ruang yang baru dilakukan penekanan pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Bentuk-bentuk pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat ini sedang menyusun Konsep Zoning Regulation untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Peraturan zonasi ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, pengawasan, maupun penertiban, serta memberikan panduan teknis pengembangan/pemanfaatan lahan untuk mengoptimalkan nilai pemanfataan. Peraturan zonasi yang akan disusun ini dibentuk pada level provinsi sebagai bahan verifikasi bagi aturan zoning pada kawasan-kawasan strategis di lingkup provinsi, pada akhirnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan zoning regulation untuk tingkat Kabupaten/Kota. Zoning regulation ini mengatur struktur dan pola ruang, ketentuan teknis terkait dengan pemanfaatan ruang, serta mekanisme insentif dan disinsentif. Konsep zoning regulation dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Konsep Zoning Regulation POTENSI LOKASI ARAHAN LOKASI LAND USE LAND KLASIFIKASI ZONASI DAFTAR KEGIATAN MATRIK KONSEP ZONING KETENTUAN TEKNIS INSENTIF DAN DISINSENTIF b. Izin Pemanfaatan Ruang Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur No 61 Tahun 2006 tentang Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional Provinsi Jawa Timur. Dalam rangka

44 perlunya pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota agar sesuai dengan RTRW Provinsi Jawa Timur maka dalam Perda No 2 Tahun 2006 tercakup mengenai Kawasan Pengendalian Ketat yaitu kawasan yang memerlukan pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung lingkungan, mencegah dampak negatif, serta menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan. Adapun pemanfaatan ruang di Kawasan Pengendalian Ketat tersebut memerlukan izin dari Gubernur sebagai upaya pengendalian agar pemanfaatan ruang di Kawasan Pengendalian Ketat tetap dapat sesuai dengan peruntukan ruangnya. Kawasan-kawasan ini perlu dikendalikan sebab memiliki kecenderungan perkembangan kegiatan budidaya yang sangat tinggi sehingga bila tidak dikendalikan dapat memberikan dampak negatif yang besar dan mempengaruhi kelangsungan lingkungan hidup di sekitarnya maupun pada skala yang lebih luas. Adapun kawasan yang dikendalikan dan memiliki kecenderungan sebagai kawasan yang cepat tumbuh dan dimungkinkan dapat menggangu fungsi utama adalah : a. kawasan perdagangan regional. b. kawasan kaki jembatan Suramadu di Kota Surabaya dan Kabupaten Bangkalan yang meliputi kawasan tertentu/fair ground, interchange jalan akses dan/atau rencana reklamasi pantai. c. wilayah aliran sungai, sumber air, dan stren kali dengan sempadannya. d. kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian lingkungan hidup meliputi kawasan resapan air atau sumber daya air, kawasan konservasi, hutan bakau/mangrove. e. transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian, area/lingkup kepentingan pelabuhan, kawasan sekitar bandara, kawasan di sekitar jalan arteri/tol. f. prasarana wilayah dalam skala regional lainnya seperti area di sekitar jaringan pipa gas, jaringan SUTET, dan TPA terpadu. g. kawasan rawan bencana. h. kawasan lindung prioritas dan pertambangan skala regional. i. kawasan konservasi alami, budaya, dan yang bersifat unik dan khas Izin pemanfaatan ruang ini merupakan tools untuk pengendalian pemanfaatan ruang di Provinsi Jawa Timur, di mana sebelum dilakukan pembangunan fisik (bila wilayah berada di kewenangan Provinsi) atau sebelum mengajukan izin lokasi ke Kabupaten/Kota (bila wilayah berada di kewenangan Kabupaten/Kota) harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang dari Gubernur Jawa Timur. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang ini meliputi aspek teknis dan yuridis, antara lain : a. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Provinsi. b. Kesesuaian dengan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation). c. Kesesuaian dengan peraturan perundangan bidang teknis lainnya. d. Kesesuaian rencana penggunaan tanah dengan jenis hak atas tanah. e. Kelayakan desain dan lokasi lahan. c. Disaster Recovery Planning Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Upaya penanganan bencana meliputi kegiatan-kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggap darurat, dan pemulihan yang dilakukan sebelum, pada saat atau setelah bencana. Untuk penanganan bencana diperlukan disaster recovery plan. Disaster recovery plan merupakan program/kebijakan yang tertulis, diimplementasikan, serta dievaluasi secara periodik, yang menfokuskan pada semua tindakan yang perlu

45 dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana. Rencana ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program/kebijakan pembangunan perkotaan yang berwawasan keamanan dan keselamatan dari bencana yang mungkin terjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Rencana ini disusun berdasarkan review secara menyeluruh terhadap bencana-bencana yang potensial, yang mencakup aspek infrastruktur, lokasi geografis, sosial, maupun ekonomi. Adanya bencana lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo mengakibatkan dampak bencana ikutan (collateral hazard) lebih besar dibandingkan bencana bahaya utama (main hazard). Dampak luapan lumpur Lapindo tersebut antara lain : infrastruktur yang terganggu seperti jalan tol ruas Porong-Gempol ditutup, jalan nasional, provinsi, kabupaten, maupun rel kereta api terganggu, pipa gas Pertamina terputus, pipa air PDAM Surabaya terganggu, serta jaringan listrik di daerah Porong terendam; banyak bangunan yang terendam seperti pabrik, sekolah, masjid dan mushola, kantor, serta rumah yang memiliki proporsi paling tinggi yaitu lebih dari rumah; lahan pertanian yang terendam, dampak ekonomi terhadap perdagangan lokal, regional, maupun nasional akibat terganggunya jalur transportasi menuju Surabaya sebagai pusat perdagangan di Provinsi Jawa Timur; dampak sosial yaitu pengungsi yang semakin lama semakin banyak, PHK dari pabrik-pabrik yang terendam, serta penduduk yang meninggal dunia; pampak psikologis dimana adanya kekhawatiran terhadap jebolnya tanggul, turunnya tanah, munculnya sumber-sumber luapan lumpur baru, ketidakpastian ganti rugi, dan hilangnya mata pencaharian serta ketidakpastian masa depan yang akan dihadapi. Untuk permasalahan dampak bencana ikutan (collateral hazard) Lapindo, Pemerintah Provinsi Jawa Timur merencanakan untuk merelokasi dan melakukan ressetlement masyarakat dari wilayah yang terkena dampak Lapindo di Barat Laut Kabupaten Sidoarjo. Relokasi dan ressetlement melalui Perencanaan Kota Baru di Kabupaten Sidoarjo ini memiliki konsep pengembangan yang meliputi 3 (tiga) tahapan : a. Pengembangan Cluster Mengembangkan cluster perumahan yang ditunjang oleh berbagai fasilitas sosial-ekonomi dan infrastruktur yang memadai. Lokasi pengembangan kawasan permukiman baru ini secara keseluruhan tidak menyatu secara kompak dalam unit tersendiri, tetapi pengembangannya akan terintegrasi dengan permukiman lama. b. Pengembangan Akses Kawasan Permukiman Baru Arahan pengembangan akses memperhatikan pola pergerakan utama kawasan. Pengembangannya diarahkan untuk dapat melayani tiap kluster perumahan yang terbentuk, baik pergerakan internal kawasan, maupun pergerakan internal-eksternal kawasan. Akses utama kawasan harus melayani tiap kluster kawasan dengan pusat kawasan sebagai pusat kegiatan kawasan yang telah direncanakan. Berdasarkan akses utama yang ada, selanjutnya dikembangkan akses internal yang lebih rinci. Akses internal ini akan menghubungkan setiap kluster dan setiap kluster akan memiliki desain jaringan jalan yang berbeda. c. Pengembangan Pemusatan Kegiatan Permukiman baru terletak di antara permukiman lama, sehingga diperlukan adanya konsep penyatuan antar kawasan. Arahan umumnya adalah dengan membuat kesamaan pola pengembangan antara permukiman lama dengan permukiman baru yakni melalui kesamaan karakter fungsionalnya. Sebagai pengikat kawasan dapat disediakan fasilitas umum yang dapat digunakan bersama, seperti balai pertemuan, taman, lapangan olahraga, atau masjid/musholla. Untuk menunjang pengembangan fasilitas yang mampu melayani berbagai kebutuhan akan dikembangkan di bagian sentral kawasan dengan didukung oleh pengembangan satu pusat pelayanan yang setara pelayanan lingkungan di setiap kluster. Pada pusat permukiman akan dikembangkan satu ruang terbuka hijau yang sekaligus berfungsi sebagai taman kota dengan kegiatan ekonomi skala tinggi seperti mal dan pertokoan, serta pusat pelayanan sosial seperti masjid dan/atau gereja.

46 Pada kawasan-kawasan yang memiliki akses tinggi akan dikembangkan fasilitas umum skala kota, sedangkan pada tiap pusat kluster akan dikembangkan taman lingkungan, serta kegiatan komersial dan pelayanan sosial skala lingkungan. Rencana pengembangan kota baru ini dalam pelaksanaannya memerlukan peran berbagai pihak/stakeholder yang meliputi swasta (developer dan perbankan), pemerintahan, serta masyarakat. Oleh karenanya diperlukan kerjasama yang matang untuk menghasilkan konsensus antar stakeholder terkait. Kerjasama ini mencakup : Aspek manajemen lahan Aspek ini meliputi permasalahan pemilihan lokasi yang sesuai untuk pengembangan kawasan kota baru ditinjau dari tata guna lahan secara makro, prosedur, proses, dan strategi pengadaan dan pembebasan lahan Aspek pembangunan prasarana dan sarana Aspek ini meliputi pengadaan, kewenangan pembangunan, dan pengelolaan perumahan beserta prasarana dan sarananya. Aspek penciptaan tata ruang yang manusiawi Dalam aspek ini mencakup persoalan urban desain yang harus dapat mengakomodasi keseimbangan dan keserasian kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya dengan lingkungan fisiknya. Aspek ini juga akan berhubungan dengan pembentukan identitas dan citra kota yang akan dibangun, serta estetika lingkungan yang akan diangkat. Aspek pengelolaan lingkungan hidup Aspek ini mencakup persoalan daya dukung lingkungan, kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang meliputi pengendalian dan pemeliharaan sumber-sumber air, lahan produktif, dan juga perubahan iklim yang diakibatkan oleh kegiatan yang akan muncul dalam perencanaan nantinya, serta pertimbanganpertimbangan bencana alam yang akan mempengaruhi kawasan perencanaan kota baru. Aspek penciptaan lapangan kerja Aspek ini mencakup persoalan yang berbasis ekonomi perkotaan untuk membuat kota yang akan direncanakan menjadi lebih mandiri dengan tidak lagi bergantung pada kota induknya. Pengembangan Kota Baru di Kabupaten Sidoarjo New Town

47 Perlunya kerjasama antar stakeholder ini karena dalam tahapan perencanaannya melibatkan berbagai kepentingan yang membutuhkan suatu konsensus untuk menghasilkan kota baru yang optimal. Selain itu dalam pembangunannya membutuhkan semua sumberdaya, baik lahan, dana, maupun manajemen, dimana semua sumberdaya tersebut terbagi-bagi secara tidak merata antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kerjasama ini bertujuan untuk menghindari maupun meminimalisir munculnya konflik yang negatif sehingga dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam perencanaan kota baru ke depan. III. Kesimpulan 1. PENATAAN RUANG dibutuhkan untuk mewujudkan ruang Nusantara yang AMAN, NYAMAN, PRODUKTIF dan BERKELANJUTAN. 2. Perwujudan tujuan penataan ruang dilakukan dengan STRATEGI UMUM seperti Penyiapan Kerangka Strategis Pengembangan Penataan Ruang Nasional dan STRATEGI KHUSUS berupa Penyiapan Peraturan Zonasi, Pemberian Insentif dan Disinsentif, Pengenaan Sanksi, dan lain-lain. 3. Penyusunan Zoning Regulation sebagai acuan teknis untuk penerbitan izin dalam pemanfaatan ruang Provinsi serta diharapkan dapat menjadi acuan zoning pada skala Kabupaten/Kota. 4. Untuk penanggulangan dampak lumpur Lapindo sedang disusun disaster recovery plan melalui pengembangan kota baru di Barat Laut Kabupaten Sidoarjo. Diharapkan dengan pembangunan kota baru ini mampu memecahkan masalah akibat dampak bencana ikutan (collateral hazard) pada aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. 5. Dengan telah diakomodasikannya berbagai issue strategis penataan ruang di dalam UU Penataan Ruang, diharapkan nantinya penyelenggaraan penataan ruang dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna.

48 APA KATA MEREKA Bapak Dirgahayu, Kabid Tata Ruang, Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah Pasca UU No. 26 Tahun 2007, Kalimantan Tengah adalah provinsi yang pertama yang melakukan revisi Raperda sehingga agak bingung juga waktu itu mencari bentuk. Setelah UU tersebut keluar memang ditekankan untuk secara rinci arah insentif disinsentif, arah peraturan zonasi itu harus bagaimana. Daerah masih meraba-raba bagaimana menyesuaikannya dan hal tersebut memerlukan waktu untuk merevisi Perda tersebut. Ditambah dengan adanya draft edaran dari Dirjen tata ruang, sehingga daerah harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian sehingga amanat dari UU No. 26 Tahun 2007 dapat diwujudkan. Bapak Sumaryanto, PPK Tata Ruang, Dinas PU Provinsi Kalimantan Tengah : Dalam kenyataannya Implementasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus melibatkan semua sektor sehingga dapat terwujud apa yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Di Kalimantan Tengah, di dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Penataan Ruang yang baru masih mengalami beberapa hambatan diantaranya adalah kesulitan untuk dapat menyatukan semua sektor (masih ada ego dan kepentingan masing-masing sektor), pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum memahami tentang tata ruang, serta kurang maksimalnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Vincent, Mahasiswa Planologi, Univ. Taruma Negara, Jakarta, Angkatan 2004 UUPR menjadi subjek dalam pembelajaran kami sebagai mahasiswa, dengan substansi dan materi yang detail serta dengan penjelasan yang lebih banyak dari UU nomor 24/1992. Menjadikan UUPR lebih bermakna. Selain itu yang terpenting sebagai bagian masyarakat, kuota min. 30% RTH di perkotaan menjadikan rencana perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman. Bapak Danang, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat Banyak kabupaten/kota yang menanyakan tentang kriteria kawasan strategis, sedangkan di dalam UU no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang belum dijelaskan secara detail apa saja kriteriakriteria untuk sebuah kawasan strategis, sehingga perlu ada sebuah PP yang mengatur tentang kriteria kawasan strategis supaya ada keseragaman. Tetapi PP memiliki kelemahan yaitu tidak sampai ke teknisnya sehingga tidak ada petunjuknya. Saat ini yang dibutuhkan oleh daerah adalah petunjuk teknis untuk kriteria kawasan strategis untuk provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka menyusun Raperda RTRW Provinsi Sumatera Barat, sehingga implementasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di daerah dapat dimaksimalkan.

49 Peraturan Pelaksanaan UUPR : Catatan Singkat Tentang Progres Penyusunan RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UUPR Oleh : DR. Dadang Rukmana Kepala Bagian Hukum, Ditjen Penataan Ruang

50 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang berlaku sebagai landasan hukum penataan ruang sejak diundangkan melalui penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, merupakan hukum positif yang wajib dijadikan acuan oleh seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. UUPR merupakan peraturan yang mengimplementasikan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3). Sebagaimana sebuah Undang-Undang, UUPR belum sepenuhnya dapat diimplementasikan karena norma-norma yang dimuat masih bersifat umum sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Menurut stuffenbau theory (teori hirarki peraturan perundang-undangan), secara umum kita dapat mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalan empat tingkat yaitu : Pertama adalah ketentuan yang memuat norma dasar (grundnorm) yaitu Undang Undang Dasar, kedua adalah ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar yaitu Undang Undang, ketiga adalah ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari Undang Undang yaitu Peraturan Pemerintah (implementing legislation), dan keempat adalah ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci Peraturan Pemerintah yaitu antara lain: Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Dalam praktek, banyak dijumpai bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan tidak selalu dilakukan seraca runtut, dapat saja misalnya suatu Undang Undang memerintahkan penetapan peraturan pelaksanaan dari salah satu norma yang dimuatnya untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah. Dalam UUPR, secara tersurat mengamanatkan secara tersurat 3 pokok aturan yang harus diatur lebih lanjut dengan Undang Undang, 18 substansi aturan yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, 2 pokok materi yang harus diatur dengan Peraturan Presiden, 8 materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, dan 4 pokok materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Secara tersirat (tidak langsung diamanatkan UUPR), cukup banyak peraturan pelaksanaan setingkat Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang perlu ditetapkan, antara lain Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (menurut PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN ada 76 Kawasan Strategis Nasional), Peraturan Menteri yang jumlahnya bisa sangat banyak karena mengatur hal-hal teknis yang berbentuk Pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang di daerah. Seluruh peraturan perundangundangan tersebut, kalau sudah ditetapkan akan membentuk suatu sistem peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

51 Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan UUPR (UUPA, UU Pertambangan, UU LH, dll.) Perda Provinsi Perda Kab/Kota Pergub Perbup / Perwali Sejauh ini telah diinventarisasi, termasuk progres penyusunannya terutama sepanjang yang sedang disiapkan di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, berbagai peraturan perundangan-undangan yang diperlukan sebagai peraturan pelaksanaan UUPR, termasuk penanggungjawab substansinya. Hasil inventarisasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 1. Peraturan Pemerintah

52 No. J U D U L 1. PPTENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Penanggungjawab Substansi DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Status Telah ditetapkan. PP No. 26 Tahun RPP TENTA NG PERATURAN PELAKSANAAN UNDA NG- UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Dalam proses penyusunan 3. RPP TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERTAHANAN DEPARTEMEN PERTAHANAN Dalam proses pembahasan 4. RPP TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BAKORSURTANAL Dalam proses penyusunan SUBSTANSI TENTANG TANAH PENGATURAN PENATAGUNAAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL Dalam proses pembahasan awal 5. PENATA- GUNAAN RUANG SUBSTANSI TENTANG AIR. SUBSTANSI TENTANG UDARA. PENGATURAN PENATAGUNAAN PENGATURAN PENATAGUNAAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM LAPAN SUBSTANSI PENGATURAN TENTANG PENATAGUNAAN SUMBER DAYA ALAM LAINNYA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 6. RPP TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DEPARTEMEN DALAM NEGERI Dalam proses penyusunan 2. Peraturan Presiden/Keputusan Presiden. NO. JUDUL PENANGGUNGJAWAB SUBSTANSI STATUS 1. Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekjur DJPR, Dep Dalam proses legalisasi di Setkab 2. Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) BKTRN Dalam proses pembahasan akhir (revisikeppres 62/2000) 3. RTRPulau Sumatera DJPR, Dep. PU Telah dibahas dalam forum BKTRN dan 4. RTR Pulau Jawa - Bali untuk beberapa draft sudah ada 5. RTR Pulau Kalimantan kesepakatan antarparagubernur. 6. RTRPulau Sulawesi Sedang dilakukan penyesuaian substansi 7. RTRKepulauan NusaTenggara dengan ketentuan UUPR 8. RTRKepulauan Maluku 9. RTR Pulau Papua 10. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Nangroe Aceh Darusalam- DJPR, Dep. PU Dalam proses penyiapan penyusunan Sumatera Utara 11. RTRKawasan Perbatasan Laut Provinsi Kepulauan Riau Riau 12. RTRKawasan Perbatasan Laut Provinsi SulawesiUtara 13. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua 14. RTRKawasan Perbatasan Laut Provinsi NusaTenggaraTimur 15. RTRKawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku 16. RTRKawasan Perbatasan Darat ProvinsiNusaTenggara Timur 17. RTRKawasan Perbatasan Darat ProvinsiPapua. 18. Penataan Ruang Kawasan Cekungan Bandung Dalam proses pembahasan 19. Penataan Ruang Kawasan Gerbangkertasusilo Dalam proses penyiapan penyusunan 20. Penataan Ruang Kawasan Kendal-Ungaran-Semarang-Purwodadi (Kedungsepur) 21. Penataan Ruang Kawasan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) 22. RTR Makassar- Maros- Sungguminasa- Talakar (Mamminasata) Dalam proses pembahasan, dan penyesuaian dengan UUPR 23. RTR Kawasan Perbatasan Darat Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Timur Dalam proses pembahasan, dan penyesuaian dengan UUPR 3. Peraturan Menteri/Keputusan Menteri

53 No. Judul 1. Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik Dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang 2. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Letusan GunungBerapidan Kawasan Rawan GempaBumi Penanggungjawab substansi DJPR, Dep. PU Status Telah ditetapkan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 Telah ditetapkan Permen PU No. 21/PRT/M/ Pedoman Penataan RuangKawasan Rawan BencanaLongsor Telah ditetapkan Permen PU No. 22/PRT/M/ Pedoman Perencanaan TataRuangKawasan ReklamasiPantai Telah ditetapkan Permen PU No. 40/PRT/M/ Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Telah ditetapkan Permen PU No. 41/PRT/M/ Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan 7. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 8. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota 9. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang untuk RencanaTataRuang Wilayah Provinsi Dalam proses legalisasi Dalam proses penyusunan 10. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota 11. StandarPelayanan MinimalBidang Penataan Ruang 12. Tata Cara Pengawasan Terhadap Pengaturan, Pambinaan, dan Pelaksanaan Penataan Ruang Progres Penyiapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai Peraturan Pelaksanaan UUPR Meskipun UUPR mengamanatkan pengaturan lebih lanjut 18 substansi yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun hal ini tidak berarti bahwa harus ditetapkan dalam bentuk 18 PP. Untuk mengurangi resiko tumpang tindih (overlap), memudahkan harmonisasi, dan menghindari aturan yang tercecer, kebijakan yang akhir-akhir ini dijalankan oleh Departemen Hukum dan HAM serta Sekretariat Negara adalah menggabungkan substansi-substansi Undang Undang yang diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ke dalam satu atau beberapa PP. Pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada penggabungan beberapa substansi PP ke dalam satu atau beberapa PP, seperti yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Undang-Undang Jumlah PP yang diamanatkan PP Yang Ditetapkan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 8 (delapan) 1) PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf UU No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan 6 (enam) 1) PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan 2) PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan 26 (dua puluh enam) 1) PP No. 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung 12 (dua belas) 1 PP UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen 20 (dua puluh) 2 PP

54 Rapat BKTRN pada tanggal 3 Oktober 2007, menyepakati akan menerapkan pula kebijakan penggabungan substansi PP yang diamanatkan dalam UUPR. Namun mengingat beragamnya materi muatan serta instansi yang terkait, maka akan disusun 6 PP, yaitu : No Nama PP Diamanatkan pada Pasal Keterangan 1. PP tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 20 ayat (4) Telah ditetapkan, PP No. 26 tahun 2008 ttg RTRWN 2. PP tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Merupakan gabungan 10 substansi Pasal 13 ayat 4 Pembinaan Penataan Ruang Pasal 16 ayat 4 Kriteria dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Pasal 40 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 41 ayat 3 Kriteria Kawasan Perkotaan Pasal 47 ayat 2 Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pasal 48 ayat 5 Penataan Ruang Kawasan Agropolitan Pasal 48 ayat 6 Penataan Ruang Kawasan Perdesaan 3. PP tentang Kriteria dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Pertahanan Pasal 17 ayat 7 4. PP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Pasal 14 ayat 7 5. PP tentang Penatagunaan Ruang (terdiri dari substansi Penatagunaan Tanah, Penatagunaan Air, Penatagunaan Udara, dan Penatagunaan Sumber Daya Alam laiinya) Pasal 33 ayat 5 6. PP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Pasal 65 ayat 3 Konsep Sistematika RPP Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.

55 Penyusunan RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UUPR direncanakan akan mengikuti alur pikir penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Meskipun ada materi-materi aturan yang akan disusun dalam Peraturan Pemerintah tersendiri seperti Peran Masyarakat dalam Penyelengaraan Penataan Ruang, namun materi-materi tersebut akan tetap muncul secara informatif untuk menjaga konsistensi sesuai alur pikir. Secara skematis konsep sistematika RPP dapat digambarkan sebagai berikut : Penyusunan RPP dimaksud dilakukan melalui berbagai tahap pembahasan meliputi pembahasan oleh Tim Substansi (Internal DJPR), pembahasan oleh Tim Penyiapan Materi RPP (Melibatkan BKTRN), pembahasan Interdep, dan harmonisasi RPP dengan peraturan perundang-undangan lain. Dalam rangka penyusunan RPP ini juga akan diadakan beberapa lokarya untuk menghimpun pemikiran dari kalangan akademisi, praktisi, dan lembaga swadaya masyarakat, serta akan diadakan konsultasi publik untuk menampung aspirasi masyarakat yang lebih luas. Penyelesaian seluruh peraturan pelaksanaan UUPR ini patut menjadi perhatian dan prioritas kita bersama karena tujuan mulia dari ditetapkannya UUPR yaitu memberikan landasan hukum yang kuat dalam rangka Mewujudkan Ruang Nusantara yang Aman, Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan akan sulit dicapai kalau peraturan pelaksaan UUPR belum tersedia. Selain itu, mengingat amanat UUPR dalam Pasal 78 yang menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang diamanatkan harus diselesaikan paling lambat 2 tahun, Perpres harus diselesaikan dalam 5 tahun, Peraturan Menteri harus diselesaikan dalam 3 tahun, Perda tentang RTRW Propinsi harus diselesaikan dalam 2 tahun, dan Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota harus diselesaikan dalam 3 tahun sejak UUPR diberlakukan, maka Penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut mesti sungguh-sunguh kita laksanakan agar amanat UUPR dapat tercapai, terutama dalam penyusunan PP-PP nya mengingat PP-PP dimaksud akan menjadi landasan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hirarkinya.

56 W A C A N A PROFIL TOKOH Nama: Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd. Tempat Tanggal Lahir: Malang, 19 Juni 1942 Pendidikan: Highland Park High School, N.J, USA (1960), IKIP Jakarta Sarjana (19700, Victoria University, N.Z. (1965), Tavistock House, London (1975), R.E.L.C, Singapore (1982), Pasca Sarjana IKIP Jakarta (S2) sejak (1984), Doktor Pendidikan IKIP Jakarta (1997) Sekilas Karir: Dosen Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Jakarta (1964 sekarang), Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (sejak 2001 sekarang), Kepala Pengembang Pendidikan Labschool ( ), Board Executive UNESCO Paris ( ), Kepala SMAN 81 (Sekolah Laboratorium Kependidikan) IKIP Jakarta (sekarang UNJ) ( ), Kepala SMA Labschool Universitas Negeri Jakarta ( ) Sekilas Partisipasi Seminar: APEID Strategic Development Group Meeting, Tokyo, February (2004), 169th UNESCO Executive Board Meeting, UNESCO Paris (14-29 April 2004), Asia-Pacific Regional Consultation on the Draft Programme and Budget UNESCO , Wellington, New Zealand (22-27 May, 2004), 147th International Conference on Education, ICE (8-11 September 2004), 170th UNESCO Executive Board Meeting, Paris (28 September-14 October, 2004), International Conference on Education for Shared Values for Intercultural and Interfaith Understanding, Adelaide(28 November-3 December, 2004), Asia-Pacific Conference on Dialogue among Cultures and Civilization for Pemikiran bahwa perlunya pemahaman penataan ruang sejak dini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penataan ruang. Tentu saja peningkatan kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penataan ruang ini dimulai dengan pendidikan, yakni dengan membentuk karakter manusia yang disiplin dan tertib tata ruang. Disadari bahwa untuk membentuk karakter tersebut, maka pendidikan menjadi faktor terpenting. Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk memuat aspek penataan ruang dalam kurikulum pendidikan. Berikut hasil wawancara kami dengan Arief Rachman, salah seorang pengamat pendidikan. Penataan Ruang dan Kurikulum Pendidikan Pendidikan bersumber dari agama, keluarga, sekolah formal, dan lingkungan masyarakat sendiri. Hampir semua ilmu yang ada harus dikembangkan secara formal di dalam kurikulum, yang bisa dikembangkan dalam intra maupun ekstra. Jika semua ilmu kehidupan dimuat di dalam kurikulum, saya pikir tidak efisien, sebab untuk dapat menjadi sebuah kurikulum pendidikan, maka harus memenuhi empat persyaratan, kata Arief Rachman. Pertama, kurikulum harus dapat mendekatkan diri setiap anak didik dengan Tuhan. Kedua, kurikulum harus relevan dengan cita-cita anak didik. Ketiga, kurikulum harus sesuai dengan perkembangan usia biologis anak itu sendiri, dan keempat, kurikulum harus bisa menjadi suatu ilmu yang menjamin kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang. Lalu kesadaran bertata ruang diperoleh seorang anak dari hubungannya dengan alam. Alam merupakan suatu ruang yang terdiri dari gunung, laut, darat, yang di dalamnya hidup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, yang perlu diatur. Dalam pengaturannya, manusia tidak boleh

57 bertentangan dengan tata ruang yang sudah ada yang telah diberikan oleh Tuhan. Jika hal-hal tersebut dilanggar, maka kehidupan manusia akan terancam. Kesadaran anak-anak akan tata ruangnya dipelajari mulai dari tingkat keluarga, yakni dari rumah masing-masing. Anak-anak belajar mengetahui lokasi dan fungsi dari masing-masing ruang yang ada di rumah. Misalnya, ruang tamu dan ruang kamar tidur tidak boleh menjadi satu ruangan dan ruang tamu biasanya terletak di depan bagian rumah karena fungsinya untuk menerima tamu. Dari fungsi ruang di rumah ini, akan anak-anak belajar untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi hal ini akan sangat berbeda dengan masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat marjinal) yang tidak mempunyai fungsi ruang yang berbeda-beda. Fungsi kamar tidur, ruang tamu, dapur bisa saja menjadi satu ruangan, walaupun demikian fungsinya tidak campur aduk, masih terdapat pembagian fungsi dalam satu ruangan tersebut, katanya. Dari sini, anak-anak belajar untuk mengenal tata ruangnya. Kemudian di tingkat sekolah, anak-anak mengenali tata ruangnya dengan adanya pembagian ruang-ruang yang lebih jelas sesuai dengan fungsinya untuk menanamkan kurikulum-kurikulum tertentu. Pada beberapa sekolah, terdapat gereja, mesjid, atau musholla. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai spritual anak didik. Sementara itu, keberadaan ruangan yang lain seperti lapangan olahraga, laboratorium fisika, kimia, dan biologi, komputer, perpustakaan, ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), ruang gamelan, ruang kantin, dan ruang-ruang lainnya digunakan sesuai fungsinya. Keberadaan ruang-ruang tersebut dimaksudkan selain untuk pengembangan intrakurikuler juga ekstrakurikuler yang bertujuan untuk kepentingan pembelajaran. Keberadaan ruang-ruang di sekolah mempunyai makna dan tujuan, sehingga tepatlah istilah put the right thing in the right place. Istilah ini hendaknya menjadi landasan pemikiran anak-anak dalam menata ruangnya, demikian Arief Rachman menambahkan. Penataan Kota dan Proses Pembelajaran Melihat penataan kota di negara-negara maju, seperti Kota London dan Paris, kota diatur menurut kaidah-kaidah yang mengutamakan ruang publik melalui penyediaan ruang terbuka hijau dan taman kota. Hal ini berbeda dengan kota-kota besar umumnya di Indonesia, khususnya Kota Jakarta yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, dengan pembangunan mall dan pusat-pusat perbelanjaan. Keberadaan taman kota selain dapat menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat, juga dapat berfungsi sebagai tempat belajar bersosialisasi bagi anak-anak. Anak-anak dapat belajar mengenai interaksi dengan masyarakat dan lingkungannya ketika mereka berada di taman. Taman yang bersih dan teratur menjadi suatu ruang pembelajaran bagi anak-anak untuk membentuk perkembangan dan kepribadian anak. Adanya taman-taman kota dalam suatu kota mengindikasikan bahwa penataan ruang dari kota tersebut telah memperhatikan tidak hanya kepentingan ekonomi, tetapi juga sosial budaya dan lingkungan. Anak-anak belajar mengenai tata ruang ketika mereka berada di lingkungan kotanya. Mereka melihat fungsi-fungsi ruang yang ada di suatu kota, yakni fungsi untuk tempat tinggal, tempat untuk berusaha, tempat untuk bermain, dan sebagainya. Penataan kota tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran khusus dalam kurikulum pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMU. Ilmu tentang penataan ruang secara khusus hendaknya dikembangkan pada level perguruan tinggi, sementara itu, di level SD, SMP, dan SMU hanya dikembangkan ilmu-ilmu dasar, demikian kata Arief Rachman. Kesadaran bertata ruang sendiri dapat dikembangkan melalui kegiatan kurikuler di sekolah, yakni dengan mengembangkan lingkungan

58 ruang sekolah yang bersih, rapi, dan sehat. Dengan ilmu-ilmu dasar yang diterima di level SD hingga SMU, anak dapat belajar menghadapi lingkungannya dan mempunyai pengalaman dalam menghadapi lingkungannya. Dengan demikian, faktor yang menentukan suatu kurikulum pendidikan bukanlah masalah-masalah yang ada di luar, akan tetapi kurikulum diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang ada di luar. Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum sebagai pembina penataan ruang di tingkat nasional hendaknya dapat memetakan kota-kota di Indonesia yang telah melakukan penataan ruang dengan baik. Hal ini diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah dapat menyelenggarakan penataan ruang dengan baik, demikian disampaikan Arief Rachman mengakhiri pembicaraan. *** Sekilas Tentang Perguruan Diponegoro Lingkungan sekolah yang baik tidak mesti identik dengan sekolah unggulan atau sekolah mahal. Meskipun suatu sekolah mempunyai keterbatasan keuangan, tetapi tata lingkungan harus rapi, bersih dan indah sehingga dapat menunjang proses pendidikan dan pembelajaran. Salah satu contoh adalah Sekolah Perguruan Diponegoro di Rawamangun Jakarta Timur. Perguruan ini hanya dibatasi dengan tanaman hidup yang berfungsi sebagai pagar. Jelas terlihat bahwa lingkungan sekolah ini sangat asri dan bersih. Keberadaan tanaman hidup yang berfungsi sebagai pagar mencerminkan bahwa sekolah ini terbuka untuk umum, tanpa membedakan latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda. Dari penataan ruang sekolah yang teratur, asri, dan bersih diharapkan anak didik dapat mengembangkan diri menata ruang di keluarga masing-masing dengan hal yang sama. Kebiasaan ini diharapkan dapat membentuk perkembangan dan karakter anak yang memiliki kesadaran pada tata ruangnya. PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

59 Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, sehingga hubungan bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi dan azazi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik dan seksama, akan lahir kemiskinan bagi sebagian besar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan, serta sengketa dan konflik yang berkepanjangan dan bersifat struktural. Tanah merupakan matrik dasar sistim ruang. Tanah adalah ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan, dikuasai dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Dalam kenyataannya, di atas tanah telah ada berbagai bentuk penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh rakyat. Dalam kenyataannya pula bahwa yang dimaksudkan ruang dalam penyelenggaraan penataan ruang dewasa ini hampir dipastikan adalah daratan atau tanah. Oleh karena itu, setiap penataan ruang akan bermakna penataan atau pengaturan kembali penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh rakyat. PERMASALAHAN PENATAAN RUANG Permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana mengimplementasikan berbagai kepentingan pembangunan yang bersifat publik di atas bidang-bidang tanah yang telah dilekati dengan berbagai hak-hak atas tanah yang lebih bersifat privat. Penataan penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang telah berlangsung ditengah masyarakat agar menjadi selaras dengan tujuan kepentingan umum, yang direpresentasikan dalam rencana tata ruang, akan senantiasa memberikan implikasi yang mendalam, terutama bagi rakyat yang tanahnya terkena secara langsung. Di masa lampau proses penyelarasan ini lebih banyak diselesaikan dengan penggusuran. Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA menyatakan bahwa kewenangan negara untuk mengatur/menata penggunaan dan pemanfaatan tanah, dibatasi pada tujuannya yakni untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA huruf b dan c mengandung suatu misi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkeadilan kepada rakyat dalam mengusahakan tanahnya. Ketentuan UUPA di atas, termasuk pasal 14, kemudian menjadi landasan filosofis bagi penyusunan Undangundang Penataan Ruang, yakni bahwa penataan ruang tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pencapaian kehidupan berbangsa dan bernegara, menjamin perwujudan nyata dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak diundangkan tahun 1992, Penataan ruang belum dapat berfungsi dengan baik karena ketiadaan peraturan pelaksanaannnya. Baru 12 tahun kemudian, Undang-undang mengenai Penataan Ruang (24/1992) ini akhirnya memiliki peraturan pelaksanaan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Mengingat urgensinya, maka sejumlah ketentuan dalam PP 16 / 2004 kemudian diangkat menjadi pasal-pasal dalam Undang-undang Penataan Ruang yang baru (UU 26/2007). Perlindungan hukum dan penguatan hak hak rakyat atas tanah terakomodasi dengan baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah yakni bahwa penetapan rencana tata ruang tidak mempengaruhi status hubungan hukum orang dengan tanah. Di sisi lain, ditetapkan pula bahwa setelah penetapan rencana tata ruang, pelayanan adminstrasi pertanahan diselenggarakan apabila memenuhi syarat dan

60 ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang. Ketentuan ini memiliki fungsi yang sangat efektif untuk mewujudkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rancana tata ruang. Dari berbagai pengamatan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang, dirasakan bahwa kebijakan rencana tata ruang belum sepenuhnya berfungsi efektif. Sejumlah persoalan penting yang perlu diselesaikan melalui penyelenggaraan penataan ruang antara lain adalah : 1. Ketimpangan Wilayah Intensitas pemanfaatan ruang antar wilayah sangat bervariasi. Berdasarkan kelompok pulau, intensitas penggunaan tanah di Pulau Jawa dan Bali terlihat sudah sangat tinggi. Dalam hal ini tanah-tanah yang telah dibudidayakan di kedua wilayah tersebut yaitu sawah, pertanian tanah kering, perkebunan, penggunaan lainnya dan budidaya nonpertanian mencapai 88,65% atau seluas 11,82 juta hektar. Demikian pula penggunaan tanah untuk budidaya non-pertanian (perumahan, industri dan tambang) mencapai luasan 1,3 juta hektar atau 40,26% dari luas budidaya non-pertanian secara nasional. Padahal luas kedua pulau tersebut hanya 6,97% dari luas wilayah Indonesia. Di Pulau Sumatera, intensitas penggunaan tanah agak tinggi. Luasan tanah yang sudah dibudidayakan adalah 23,18 juta hektar (48,61%). Sedangkan intensitas penggunaan tanah paling rendah adalah di Papua. Luas tanah yang telah dibudidayakan baru mencapai 4,76 juta hektar atau 11,49% dari luas wilayah Papua. 2. Konversi Tanah Sawah Sebagai bangsa agraris yang sangat besar, Indonesia memiliki tanah sawah yang sangat kecil yakni hanya 4,5% dari luas wilayah daratan Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonsia beras merupakan bahan pangan pokok yang relatif kurang memiliki substitusi sehingga beras akan tetap dikonsumsi meskipun harganya mahal. Oleh karenanya, kelangkaan beras akan secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan, terutama bagi rakyat kecil. Ke depan, berbagai prediksi menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat relatif tidak banyak mengalami diversifikasi, yakni masih tergantung pada nasi. Oleh karenanya peningkatan permintaan terhadap beras akan sejalan dengan pertambahan penduduk. Persoalan makanan adalah persoalan hakiki, sehingga impor beras - bahan pangan pokok- mudah untuk dipolitisir bagi berbagai kepentingan. Fluktuasi di pasar beras internasional dapat setiap saat memunculkan berbagai masalah serius 2. Lagipula, bagi suatu bangsa yang berdaulat, ketergantungan terhadap suplai makanan dari negara lain akan tetap sulit dibenarkan. Oleh karena itu kedaulatan pangan dalam negeri tidak dapat ditawar, dan hal ini sangat ditentukan oleh ketersedian tanah sawah. 2 Indonesia yang pada tahun 1990 tidak masuk dalam daftar 10 negara importir terbesar beras, pada tahun 2000 menjadi importir terbesar walaupun tetap dapat mempertahankan urutan produsen terbesar ke tiga di dunia (FAO 2001). Laporan (OECD) dan (FAO), Juli 2007, menyebutkan, stok akhir beras dunia terus menurun. Tahun 2007, stok akhir beras 87 juta ton, tahun 2008 diperkirakan 85 juta ton, dan pada juta ton.

61 Luas sawah Indonesia adalah lebih kurang 8,6 juta ha dan terus menyusut dari waktu ke waktu. Sawah terdiri dari sawah Irigasi seluas Ha dan sawah Non Irigasi seluas Ha. Pulau Jawa masih menjadi sentra sawah nasional, yakni seluas lebih kurang 4,2 juta ha. Kemudian disusul Pulau Sumatera seluas 2,3 juta ha. Pada tahun luas sawah mengalami peningkatan seluas 602 ribu ha yang terjadi di luar Pulau Jawa. Sebagian besar pertumbuhan luas sawah tersebut terdapat di Pulau Sumatera, yaitu seluas 460 ribu ha atau lebih kurang 76,42% dari keseluruhan pertumbuhan luas sawah. Namun dalam kurun yang sama terjadi penyusutan luas sawah kelas satu di wilayah Pulau Jawa dan Bali seluas ha atau sekitar ha/tahun Tabel 1. Sawah dalam Perspektif Tata Ruang Pulau Luas Sawah Peruntukan dalam RTRW Non lahan Basah Lahan Basah Sumatera Jawa Bali Kalimantan Sulawesi NT & Maluku Penyusutan luas sawah terutama di pulau Jawa, disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu diantaranya adalah faktor perencanaan. Berdasarkan analisa superimpose antara lokasi sawah dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi diketahui bahwa seluas 5,5 juta Ha atau sekitar 64 % dari total luas sawah nasional berada dalam fungsi kawasan lahan basah atau direncanakan akan tetap dipertahankan sebagai sawah. Sementara sisanya, sekitar 3,1 juta ha sawah, berada dalam fungsi kawasan bukan lahan basah. Dengan kata lain, lebih kurang 36 % dari keberadaan tanah sawah nasional berpotensi dialihfungsikan untuk kegiatan bukan sawah. Papua Ketidaksamaan Fungsi Kawasan Berdasarkan fungsi kawasan dalam RTRW seluruh Provinsi, seluas 138,44 juta hektar atau 72,37%, wilayah daratan diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya, sisanya seluas 52,84 juta hektar atau sekitar 27,63% diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung. Apabila Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung tersebut dikelompokkan atas dasar kenyataan penggunaan tanah dalam fungsi kawasan dimaksud, maka dapat diketahui bahwa dalam Kawasan Budidaya masih didominasi oleh hutan (hutan lebat, hutan sejenis, dan hutan belukar) yaitu seluas 80,13 juta hektar atau sekitar 57,88%. Dengan kata lain, Kawasan Budidaya yang telah dimanfaatkan adalah seluas 42,12%. Sebaliknya, dalam Kawasan Lindung telah terdapat banyak penggunaan tanah oleh rakyat seperti permukiman, perkebunan, tegalan dan penggunaan tanah lainnya, yakni seluas 8,75 juta hektar. Selanjutnya, kalau luasan - luasan di atas dipilah lagi berdasarkan Penetapan Kawasan Hutan, didapatkan gambaran bahwa dalam Kawasan Budidaya yang kenyataan penggunaan tanahnya masih

62 berupa hutan, yaitu seluas 80,13 juta hektar, maka sekitar 78,81% memang ditetapkan sebagai kawasan hutan, dan sisanya 21,19 % penetapannya adalah sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Ratio ketepatan penetapan fungsi kawasan yang relatif tinggi adalah pada kawasan lindung. Dari 82,84 juta ha Kawasan Lindung yang ditetapkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah, 83,4% kenyataan penggunaan tanahnya masih berupa hutan, dan 92,02% dari hutan itu penetapannya memang sebagai Kawasan hutan. 4. Kesesuaian Penggunaan Tanah Secara nasional penggunaan tanah yang sesuai dengan RTRW Provinsi adalah seluas 130,66 juta hektar atau 68,31%. Kategori sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Contoh: penggunaan tanahnya adalah sawah dan rencana fungsi kawasannya adalah pengembangan lahan basah Seluas 59,03 juta hektar (31,30%) penggunaan tanah saat ini tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan rencana tata ruang provinsi. Kategori tidak sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya memang tidak sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW. Contoh: penggunaan tanah sebagai perkampungan sementara fungsi kawasan dan RTR adalah hutan lindung. Pulau Jawa dan Bali memiliki tingkat ketidaksesuaian penggunaan tanah terhadap rencana tata ruang yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok pulau lainnya, yakni 48%. Kemudian di susul oleh pulau Nusa Tenggara dan Maluku, yakni 47%, dan Pulau Sumatera sebesar 38%. Tingkat kesesuaian tertinggi adalah pulau Papua yakni 87%. Apabila dikaitkan dengan tingkat intensitas penggunaan tanah, terdapat kecenderungan bahwa ketidaksesuaian penggunaan tanah terhadap fungsi kawasan rencana tata ruang akan lebih tinggi pada wilayah-wilayah yang intensitas penggunaan tanahnya sudah tinggi. LANGKAH KEDEPAN Banyak pandangan menyatakan bahwa rencana tata ruang telah menjadi landasan legal dalam mengkonversi tanah-tanah pertanian subur dan hutan. Inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi 3. Di pulau Jawa misalnya, luasan kawasan hutan lindung telah terkonversi dengan laju sebesar ha/tahun (BPS, 2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan (2001) menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai ha sehingga luas hutan saat ini lebih kecil dari 23% dari luas daratan Pulau Jawa. Dibidang pertanahan, permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana menyelaraskan berbagai kepentingan pertumbuhan ekonomi dan investasi pembangunan dengan penguatan hak-hak rakyat atas tanah dan lingkungan hidup. Berbagai permasalahan tersebut semakin kompleks, sehingga meningkatkan kesulitan pengaturan dan pengelolaan sumberdaya terutama tanah. Permasalahan alokasi sumberdaya tanah baik dalam alokasi penguasaan maupun alokasi penggunaan sumberdaya tanah akan senantiasa menjadi hal yang strategis untuk diselesaikan secara adil. Dari berbagai pengalaman terhadap implementasi rencana tata ruang, penyelenggaraan penataan ruang memerlukan langkah-langkah korektif penyempurnaannya di bidang pertanahan yaitu: 1. Kurang terkoordinasinya penggunaan dan pemanfaatan ruang menyebabkan konflik penggunaan dan pemanfaatan tanah baik antar sektor, antar wilayah, maupun antar pulau. Saat ini, konflik antar sektor 3 Soenarno Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam rengka Pengembangan Wilayah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah, Jakarta Februari 2003

63 yang sering terjadi antara lain antara sektor kehutanan dan pertambangan, pertanian dengan perkotaan, perekonomian dengan lingkungan hidup, dan lain-lain. Sementara itu, tindakan penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran tata ruang masih belum efektif. Pelanggaran-pelanggaran penggunaan dan pemanfaatan ruang belum dikenakan sanksi. Kalaupun ada hanya sekedar konsumsi berita. Pada akhirnya, kesemuanya berdampak pada inefisiensi sosial dan ekonomi dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah serta degradasi kualitas lingkungan hidup. 2. Penyusunan dan implementasi RTRW di masa lalu belum cukup memberikan porsi yang seharusnya terhadap aspek pertanahan, sehingga sulit mengimplementasikan RTRW. Pada dasarnya implementasi penataan ruang merupakan penerapan kepentingan publik terhadap tanah yang telah dilekati hak, sehingga diperlukan penyelenggaraan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Demikian pula, upaya mewujudkan rencana tata ruang akan lebih efektif apabila ditempuh dengan memberikan atau tidak memberikan suatu hak atas tanah. 3. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang perlu mendapat porsi yang besar. Hal ini merupakan juga salah satu esensi kebijakan pertanahan yakni perlindungan hak atas tanah, fungsi sosial tanah, keadilan, serta partisipasi masyarakat, sehingga dapat tercipta penggunaan dan penguasaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4. Dalam implementasi rencana tata ruang sering terjadi benturan peraturan perundangan yang menyangkut bidang atau sektor tertentu, misalnya pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Rencana Tata Ruang Wilayah yang ketetapannya dituangkan dalam Peraturan Daerah dalam kenyataannya sulit diimplementasikan apabila berada dalam suatu kawasan yang pengelolaannya memiliki berbagai peraturan tersendiri. PENUTUP Penatagunaan Tanah merupakan sub sistem dari sistem Penataan Ruang. Namun didalam prakteknya, alokasi penggunaan tanah dan alokasi penguasan tanah tetap saja menjadi unsur-unsur utama yang di atur oleh penataan ruang. Implikasinya adalah bahwa dalam rangka implementasi RTRW, pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterpaduan pembangunan melalui pendekatan penataan ruang perlu diselenggarakan berdasarkan prinsip penghormatan kepada hak keperdataan rakyat atas ruang / tanah, serta prinsip-prinsip sinergi dan kemanfaatan bersama (complementary benefit) dengan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas melebihi batas-batas administrasi. Oleh karena itu pendekatan penataan ruang perlu dilaksanakan secara koordinatif dalam rangka mewujudkan tujuan pengembangan wilayah sebagai kesatuan ekosistem dapat dimaksimalkan, sekaligus meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang yang mungkin terjadi di masyarakat. Pengembangan Untuk Profesi Perencanaan Kota dan Wilayah Oleh :

64 Irwan Prasetyo IAP Tulisan ini dibuat untuk mengulas tentang Profesi Perencanaan Wilayah dan Kota, kaitannya dengan upaya yang diperlukan oleh Asosiasi atau Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) untuk meningkatkan kiprahnya dalam pembangunan di Indonesia. Pertama, marilah kita meninjau terlebih dahulu definisi-definisi dan situasi yang ada sebagai berikut: Apa yang dimaksud Profesi di bidang perencanaan? Profesi perencanaan wilayah dan kota atau urban/city and regional planning adalah profesi yang dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat/komunitas dalam mewujudkan suatu wilayah yang berazaskan kenyamanan, keadilan, sehat lingkungan dan atraktif untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Perencanaan dapat memperkuat para pemimpin-pemimpin masyarakat dan bisnis untuk menjalankan peran yang baik dalam mewujudkan komunitas yang sejahtera. Perencanaan yang baik, membantu mewujudkan komunitas untuk memiliki pilihan tentang dimana dan bagaimana mereka akan menjalani kehidupan. Juga membantu komunitas memiliki visi tentang arah perkembangan dan menemukan keseimbangan antara perkembangan pembangunan, inovasi yang kreatif dengan pelayanan utama, dan perlindungan lingkungan. Apa yang dilakukan seorang perencana? Perencana professional akan membantu membentuk visi yang menyeluruh bagi suatu komunitas. Mereka melakukan riset, disain dan mengembangkan program-program, memimpin proses publik, merencanakan perubahan sosial, melakukan analisa teknis, mengelola dan melakukan edukasi. Spesialisasi apa saja dalam Profesi Perencanaan? Pada umum perencana melakukan pekerjaan pada satu atau lebih lingkup spesialisasi. Beberapa perencana menjalani seluruh karirnya dalam salah satu aspek, ada juga yang bergerak di antara aspek-aspek spesialisasi, juga mengkombinasi aspek spesialisasi seperti tersebut di bawah ini: Community Development, Tata Guna Lahan, Perencanaan Transportasi, Lingkungan Hidup, Ekonomi Pembangunan, Urban Design, Manajemen Publik, Permukiman, Pariwisata, dan Pemberdayaan Masyarakat. Dimana para perencana bekerja? Perencana ada di setiap negara di dunia, mereka bekerja di wilayah pedesaan, di pinggiran kota, maupun di kota-kota besar. Di Indonesia, dengan berbekal dasar-dasar pengetahuan perencanaan suatu daerah dari skala mikro sampai makro (site planning, urban planning, regional planning) ataupun dari interest-nya (transportation, land use, economics, sociology, tourism dll), mereka bekerja dan berfungsi dalam pemerintah daerah, provinsi dan nasional. Mereka juga bekerja dalam lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, pada developer real estate, dan konsultan perencanaan/multi disiplin. Skill/Kemampuan apa yang perlu dimiliki Perencana? Melihat luasnya spektrum kerja dari profesi perencana, perlu dilihat kemampuan apa saja yang diperlukan oleh perencana agar dapat mempertajam keandalan dan dapat menunjukkan kiprah di antara profesi-profesi lain. American Planning Association, APA menyimpulkan sebagai berikut: Selain pendidikan formal, seorang perencana perlu memiliki kombinasi skill yang menunjang sukses mereka secara professional. Karena perencanaan adalah profesi yang dinamik dan diversed, kemampuan individu

65 bervariasi bergantung pada peran dan area spesialisasi. Perencana diharapkan memiliki kombinasi dari skill antara lain berikut: 1. Pengetahuan tentang struktur spasial kota/tata ruang atau desain fisik dan bagaimana system perkotaan bekerja; 2. Kemampuan untuk menganalisa informasi demografik dan melihat kecenderungan yang terjadi pada populasi, tenaga kerja, tingkat kesehatan; 3. Pengetahuan tentang penyusunan rencana dan evaluasi proyek; 4. Menguasai teknik melibatkan masyarakat luas dalam pengambilan keputusan; 5. Mengetahui proses dan program pemerintah kota, kabupaten, propinsi dan nasional; 6. Mengetahui dampak lingkungan dan sosial terhadap komunitas dari suatu keputusan perencanaan; 7. Kemampuan untuk bekerja dengan publik dan mengartikulasikan issue perencanaan dengan berbagai lapisan masyarakat; 8. Kemampuan untuk berfungsi sebagai mediator atau fasilitator pada saat terjadi konflik dalam masyarakat; 9. Mengerti tentang dasar hukum tata ruang dan tata guna lahan; 10. Mengerti tentang interaksi antara ekonomi, transportasi, pelayanan masyarakat dan peraturan guna lahan; 11. Kemampuan untuk mengatasi masalah dengan keseimbangan antara kompentensi teknis, kreatifitas dan pragmatism; 12. Kemampuan untuk melihat alternatif pada lingkungan sosial dan fisik; 13. Menguasai teknologi dan perangkat lunak yang berkaitan dengan perencanaan a.l geographic information system. Pengembangan Untuk Profesi dalam Perencanaan Kota dan Wilayah Melihat aspek-aspek skill /kemampuan yang dibutuhkan di atas, merupakan fokus dan perhatian dari IAP untuk turut aktif meningkatkan dan mempertajam kemampuan para anggota agar para perencana dapat mengkontribusikan energi dan kemampuan dalam pembangunan masyarakat dan negara ini, secara lebih meningkat dan profesional. Program-program seminar, pertemuan ilmiah dan penerbitan jurnal profesional perlu dilakukan secara terus menerus, agar para anggota selalu dapat bertukar pengalaman dan ilmu. Merupakan hal yang patut disayangkan bila ilmu dan pengalaman-pengalaman tidak dibagikan kepada satu sama lain, karena bila demikian, para perencana di Indonesia hanya meningkatkan kemampuannya berdasarkan perkembangan ilmu dan pengalaman diri sendiri saja and they do this the hard way. Semoga para perencana di Indonesia semakin dapat bersinergi di masa yang akan datang. (sebagian besar disadur dari American Planning Association, APA) Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas di Perkotaan Oleh:

66 Panjang Jalan/ Luas Wilayah, km/km2 Kend/Panjang Jalan Dr. Ir. Doni J. Widiantono, M.Eng.Sc. Kasi Kebijakan PR Nasional, Ditjen Penataan Ruang A. Latar Belakang Jaringan jalan di perkotaan meliputi sekitar km (5.2%) dari total panjang jalan, namun dilalui oleh hampir 80% volume lalulintas yang ada. Rasio panjang jalan per luas wilayah di kawasan perkotaan umumnya sudah cukup memadai (> 5 km/km 2 ), namun demikian jumlah kendaraan per panjang jalan umumnya mengindikasikan angka yang terlalu tinggi (>100 kendaraan/km) Kendaraan di DKI 2007 Mobil Pribadi, , 27% SURABAYA BANDUNG MEDAN PALEMBANG MAKASSAR Sepeda Motor, , 61% Kend. Barang, , 7% Bus, , 5% Dari segi komposisi kendaraan, saat ini lalulintas di perkotaan didominasi oleh kendaraan roda dua (61%), sedangkan kendaraan roda empat atau lebih berkisar 39%. Pertumbuhan kendaraan roda dua ini di beberapa kota mencapai hampir 20% per tahun, sementara kendaraan lainnya umumnya hanya tumbuh sekitar 5-10%. Secara tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu: o o o Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan Bottle-neck akibat adanya penyempitan ruas jalan. Konflik yang terjadi di persimpangan maupun di titik-titik tertentu pada ruas jalan. Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas umumnya tidak terjadi secara permanen, melainkan hanya terjadi pada jam-jam tertentu (peak hours) di pagi hari maupun di sore hari atau pada hari-hari tertentu. Sedangkan kemacetan akibat bottle-neck lebih bersifat permanen, karena adanya perubahan kapasitas ruas jalan sehingga kendaraan harus melakukan merging dan ini menimbulkan friksi yang dapat memperlambat kecepatan arus kendaraan. Sementara konflik lalulintas kendaraan di persimpangan terjadi karena lalulintas melakukan perubahan arah pergerakan, di mana salah satu harus diprioritaskan. Kondisi ini berarti akan mengurangi jumlah kendaraan yang dapat melewati suatu persimpangan dalam suatu waktu tertentu. Konflik juga dapat terjadi antara lalulintas kendaraan dengan penyeberang jalan, kendaraan tidak bermotor maupun PKL pada titik-titik tertentu pada ruas jalan yang terdapat aktivitas tinggi seperti pasar tradisional, terminal maupun sekolah-sekolah.

67 Selain 3 hal tersebut, kemacetan juga dapat dipicu oleh perilaku dan disiplin pengemudi yang kurang baik. Angkutan umum yang menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat, parkir on-street kendaraan di lokasi yang tidak semestinya, penggunaan badan jalan oleh PKL adalah beberapa contoh aktivitas yang dapat menimbulkan hambatan samping yang tinggi sehingga menurunkan tingkat pelayanan ruas jalan yang ada. Gambar 1. PKL di Badan Jalan dan Aktivitas Terminal B. Kerugian Akibat Kemacetan Berdasarkan hasil studi yang ada, mengindikasikan kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan seperti DKI Jakarta rata-rata mencapai Rp. 1,25 juta/kapita/tahun, atau mencapai lebih dari Rp triliun/tahun. Sedangkan angka kerugian total di kota besar di Indonesia diperkirakan sebesar Rp triliun rupiah per tahun. Angka ini sangat fantastis, paling tidak jika kita bandingkan dengan pengeluaran yang kita anggarkan untuk perbaikan sektor transportasi. Angka yang sama untuk kota-kota di Amerika mencapai US$ 1000/kapita/tahun. Kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan terutama terkait dengan: 1. Meningkatnya Biaya Operasi Kendaraan (BOK) akibat menurunnya kecepatan perjalanan rata-rata. 2. Kerugian nilai waktu akibat hilangnya kesempatan berproduksi akibat tundaan waktu perjalanan.

Profil Wilayah Heart Of Borneo

Profil Wilayah Heart Of Borneo Profil Wilayah Heart Of Borneo Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala perubahan

Lebih terperinci

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas I. Pendahuluan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAPPEDA Planning for a better Babel

BAPPEDA Planning for a better Babel DISAMPAIKAN PADA RAPAT PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL RKPD PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2018 PANGKALPINANG, 19 JANUARI 2017 BAPPEDA RKPD 2008 RKPD 2009 RKPD 2010 RKPD 2011 RKPD 2012 RKPD 2013 RKPD

Lebih terperinci

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PEMDA RIAU HARUS MELIBATKAN PUBLIK DALAM GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (GNPSDA) KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PENGANTAR Hasil kajian Jikalahari menunjukkan

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Pembangunan di Kabupaten Murung Raya pada tahap ketiga RPJP Daerah atau RPJM Daerah tahun 2013-2018 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain:

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program dan Kegiatan dalam dokumen Memorandum Program Sanitasi ini merupakan hasil konsolidasi dan integrasi dari berbagai dokumen perencanaan terkait pengembangan

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Pendahuluan

Bab I Pendahuluan. Pendahuluan Bab I Pendahuluan LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR TAHUN 2012 TANGGAL JUNI 2012 Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, Kota Medan tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kota metropolitan baru di Indonesia, serta menjadi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 7 2012, No.54 LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2012 NOMOR : 2 TAHUN 2012 TANGGAL : 6 JANUARI 2012 RENCANA

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DARI PURUK CAHU BANGKUANG BATANJUNG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DARI PURUK CAHU BANGKUANG BATANJUNG SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DARI PURUK CAHU BANGKUANG BATANJUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH Disampaikan pada FIELD TRIP THE FOREST DIALOGUE KE PT. WINDU NABATINDO LESTARI PUNDU, 17 MARET 2014 PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DINAS

Lebih terperinci

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL Ir. Iman Soedradjat, MPM DIREKTUR PENATAAN RUANG NASIONAL disampaikan pada acara: SEMINAR NASIONAL PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DALAM PENATAAN

Lebih terperinci

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 6 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan terus-menerus untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Proses tersebut dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi sanitasi di Indonesia dengan mengarusutamakan

Lebih terperinci

PAPARAN FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017

PAPARAN FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 PAPARAN Palangka Raya, 20 Maret 2017 FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 KEPALA BAPPEDALITBANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (RPJP) DAERAH KABUPATEN PACITAN TAHUN 2005 2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang berlandaskan UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan yang sangat

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 188.44 / 62 / 2012 TENTANG KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. SUMUR PANDANWANGI LUAS AREAL

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS PROVINSI KAWASAN PERKOTAAN BREBES-TEGAL-SLAWI-PEMALANG TAHUN 2016-2036 I

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) PEMERINTAH KOTA PADANGSIDIMPUAN

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) PEMERINTAH KOTA PADANGSIDIMPUAN Bab 1 ENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memorandum Program Sanitasi (MPS) merupakan tahap ke 4 dari 6 (enam) tahapan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Setelah penyelesaian dokumen

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1 1.1. Latar Belakang RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Bupati Mandailing Natal yang akan dilaksanakan dan diwujudkan dalam suatu periode masa jabatan. RPJMD Kabupaten Mandailing Natal

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa ketimpangan persebaran

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, pencemaran, dan pemulihan kualitas lingkungan. Hal tersebut telah menuntut dikembangkannya berbagai

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

Provinsi Kalimantan Timur. Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim

Provinsi Kalimantan Timur. Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim Provinsi Kalimantan Timur Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim Profil Provinsi Kalimantan Timur HARI JADI: 9 Januari IBUKOTA: Samarinda DASAR

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DASAR HUKUM DAN ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI PROV. NTT UUD 1945; Pasal 33 BUMI, AIR DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PERESMIAN PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN DAN PENCANANGAN KOTA TERPADU MANDIRI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PERESMIAN PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN DAN PENCANANGAN KOTA TERPADU MANDIRI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PERESMIAN PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN DAN PENCANANGAN KOTA TERPADU MANDIRI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Hari Tanggal : Sabtu /17 Mei 2008 Pukul : 10.50 WIB

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

KAWASAN PESISIR KAWASAN DARATAN. KAB. ROKAN HILIR 30 Pulau, 16 KEC, 183 KEL, Pddk, ,93 Ha

KAWASAN PESISIR KAWASAN DARATAN. KAB. ROKAN HILIR 30 Pulau, 16 KEC, 183 KEL, Pddk, ,93 Ha LUAS WILAYAH : 107.932,71 Km2 LUAS DARATAN 86.411,90 Km2 LAUTAN 21.478,81 Km2 GARIS PANTAI 2.078,15 Km2 KAWASAN DARATAN KAB. ROKAN HULU 16 KEC,153 KEL, 543.857 Pddk, 722.977,68 Ha KAB. KAMPAR 21 KEC,245

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Penataan Ruang Komisi Pemberantasan Korupsi - Jakarta, 13 Desember 2012 Outline I. Isu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK)

PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK) PROSES REGULASI PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA (PERDA RTRWK) Disampaikan oleh : Dr. H. Sjofjan Bakar, MSc Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Pada Acara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI Program PPSP 2015

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI Program PPSP 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan Memorandum Program Sanitasi (MPS) Kabupaten Tolitoli merupakan suatu tahapan antara, yaitu setelah penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten Tolitoli (SSK)

Lebih terperinci

INDONESIA NEW URBAN ACTION

INDONESIA NEW URBAN ACTION KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH KEMITRAAN HABITAT Partnership for Sustainable Urban Development Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

VISI KALTIM BANGKIT 2013

VISI KALTIM BANGKIT 2013 VISI KALTIM BANGKIT 2013 Mewujudkan Kaltim Sebagai Pusat Agroindustri Dan EnergiTerkemuka Menuju Masyarakat Adil Dan Sejahtera MENCIPTAKAN KALTIM YANG AMAN, DEMOKRATIS, DAN DAMAI DIDUKUNG PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN Bab I Pendahuluan 1.1. LatarBelakang Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses yang berkesinambungan antara berbagai dimensi, baik dimensi sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN - 3 - LAMPIRAN: NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 910/3839-910/6439 TENTANG : PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA APBD KOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci