Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Pesisir Kota Pekalongan TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Pesisir Kota Pekalongan TESIS"

Transkripsi

1 Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Pesisir Kota Pekalongan TESIS Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Studi Magister Pembangunan Wilayah dan Kota Oleh: TAUFIQURRAHMAN FAKULTAS TEKNIK MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015

2

3 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila dalam Tesis saya ternyata ditemui duplikasi, jiplakan (plagiat) dari Tesis orang lain atau Institusi lain, maka saya bersedia menerima sanksi untuk dibatalkan kelulusan saya dan bersedia melepaskan gelas Magister Teknik dengan penuh rasa tanggung jawab. Semarang, 10 Juli 2015 TAUFIQURRAHMAN

4 ii PERSEMBAHAN Kupersembahkan untuk kedua orang tuaku

5 iii ABSTRAK Kebutuhan lahan permukiman semakin tinggi, namun lahan yang tersedia di perkotaan semakin sempit. Hal ini menjadikan wilayah pinggiran kota sebagai salah satu alternatif lokasi lahan permukiman yang baru dan pada akhirnya memperluas wilayah kota yang telah ada. Dengan ketersediaan lahan yang lebih luas dibanding pusat kota, dan harga yang relatif terjangkau semakin memacu munculnya lahan permukiman baru dan terkadang tidak sesuai dengan peraturan dan peruntukan tata ruang suatu wilayah sehingga menyulitkan pola pembangunan selanjutnya. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dan penyesuaian antara pengembangan lokasi lahan permukiman dengan kesesuaian lahan yang ada. Dengan mengetahui kesesuaian lahannya, maka dapat dilakukan penyusunan rencana dan tindakan yang akan dilakukan terhadap lahan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan. Penelitian ini dilakukan dengan pembuatan data spasial berbasis SIG sebagai konsep pendekatan penelitian, dan menggunakan software ArcGIS. Data spasial ini berperan sebagai representasi atau gambaran dari fakta atau realitas yang ada di lokasi penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan skoring untuk menentukan kesesuaian lahan kawasan permukiman. Penggunaan skor dimaksudkan untuk memudahkan pembagian kelas kesesuaian lahan kawasan permukiman yang berstatus sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai, tidak sesuai sementara, dan tidak sesuai permanen. Analisis dilakukan dengan cara overlay atau menumpang-tindihkan parameter kesesuaian lahan yang telah diberikan skor untuk didapatkan output berupa data spasial kesesuaian lahan permukiman. Hasil penelitian ini adalah data spasial tentang kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan, dengan hasil evaluasi kesesuaian lahan permukiman eksisting sebanyak 4,10% berstatus tidak sesuai permanen karena berada di kawasan sempadan pantai dan sempadan sungai yang seharusnya merupakan kawasan lindung. Sedangkan evaluasi kesesuaian lahan permukiman rencana tidak mendapati lahan yang berstatus tidak sesuai. Selanjutnya, rekomendasi untuk pengembangan lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan: pembangunan kawasan permukiman sebaiknya diarahkan pada lahan yang benar-benar sesuai dengan kriteria kesesuaian; memberikan penjelasan dan arahan kepada masyarakat mengenai peraturan peruntukan lahan; perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap kegiatan pengembangan kawasan pemukiman pada daerah yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kata Kunci: Data Spasial, SIG, Kesesuaian Lahan Permukiman, Evaluasi Lahan, Pesisir

6 iv ABSTRACT Residential land needs are higher, but the lands-availability in urban areas is also narrower. It makes suburb as one of the alternative locations of new land settlement and ultimately expands the existing area of the city. With the availability of lands are much wider than the city centre and a relatively reasonable price, increasingly spurred the emergence of new residential land and sometimes not in accordance with the rules and spatial designation of the area. It will create the difficulties for the future development patterns. Therefore, the evaluation and adjustment of the development of residential land locations with the land suitability are needed. By knowing the suitability of the land, the preparation of plans and actions to be carried out on the land can be done. This study was conducted to evaluate the suitability of land settlements in coastal areas Pekalongan. This study is conducted with GIS-based spatial data generation as a concept of research approaches, and using ArcGIS software. Spatial data serves as a representation or description of the facts or realities that exist at the sites. The method used is quantitative method with scoring to determine the suitability of land settlement area. The use of scores is intended to facilitate the distribution of land suitability class residential area that is very appropriate status, accordingly, less appropriate, not appropriate temporary and not permanent fit. The analysis was performed by means of an overlay or ride overlaid land suitability parameters that have been given a score to obtain the output of spatial data suitability residential land. This research resulted in spatial data on land suitability settlements in coastal areas Pekalongan with the results of the evaluation of the suitability of existing residential land as much as 4,10% permanently not fit because it was in the area coastal border and the area of river border that should be as the protected areas, while the evaluation of the suitability of residential plan area does not have the not appropriate status. Furthermore, recommendations for the development of residential land in the coastal city of Pekalongan: building settlements on land that should be directed completely in accordance with the criteria of suitability; provide explanations and guidance to the public about land use regulations; the need for strict monitoring and controlling the activities of the development of residential areas in the region which are not in accordance with the designation. Keywords: Spatial Data, GIS, Land Suitability Settlement, Land Evaluation, Coastal

7 v

8 vi KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah serta karunia-nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik. Tesis ini merupakan salahsatu tugas penelitian yang merupakan salahsatu syarat dalam memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Pasca Sarjana Teknik Pembangungan Wilayah dan Kota di Universitas Diponegoro. Tesis ini sesungguhnya terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Joesron Alie Syahbana, M.Sc., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. 2. Prof. Dr. rer nat. Imam Buchori, ST., selaku Pembimbing yang senantiasa menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan dalam proses penyusunan tesis ini. 3. Dr. Agr.sc. Iwan Rudiarto, ST, MSc., selaku Penguji yang telah memberikan masukan, saran dan pendapatnya untuk penyempurnaan dalam penyusunan tesis ini. 4. Dr. Mussadun, ST., selaku Penguji yang telah memberikan masukan, saran dan pendapatnya untuk penyempurnaan dalam penyusunan tesis ini. 5. Pemerintah Kota Pekalongan atas bantuan izin penelitian dan data yang diperlukan dalam penyelesaian tesis ini. 6. Segenap warga Kecamatan Pekalongan Utara yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi responden dan memberikan informasi dan masukan data untuk penyelesaian tesis ini. 7. Keluarga tercinta, yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam segala aktivitas. 8. Teman-teman di MPWK yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya, Penulis berharap semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi akademis dan pengembangan wacana pembangunan wilayah dan kota di Indonesia. Semarang, 10 Juli 2015 Penulis

9 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN...i PERSEMBAHAN...ii ABSTRAK...iii ABSTRACT...iv KATA PENGANTAR...v DAFTAR ISI...vii DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...xi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan Penelitian Sasaran Penelitian Batasan Penelitian Batasan Materi Penelitian Batasan Wilayah Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian Metodologi Penelitian Pendekatan Penelitian Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan Data Primer Pengumpulan Data Sekunder Tahapan Pengolahan Analisis Fisik Lahan Analisis Aksesibilitas Analisis Prasarana Lingkungan Analisis Bencana Banjir Rob Analisis Sosial Sistematika Penulisan...20 BAB II KAJIAN KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PESISIR Konsep Lahan Kawasan Lindung Sempadan Pantai Sempadan Sungai Kawasan Budidaya Kawasan Pesisir Kesesuaian Lahan Permukiman Aspek Fisik Lahan...33

10 Aspek Aksesibilitas Aspek Prasarana Lingkungan Aspek Bencana Banjir Rob Aspek Sosial Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Sistem Informasi Geografis Konsep Sistem Informasi Geografis Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman dengan SIG Sintesa Pustaka Matriks Klasifikasi Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman...56 BAB III GAMBARAN KOTA PEKALONGAN DAN PESISIRNYA Gambaran Umum Kota Pekalongan Kondisi Fisik Wilayah Kondisi Kependudukan Gambaran Umum Wilayah Pesisir Pembagian Administrasi dan Kondisi Fisik Jenis Penggunaan Lahan Kondisi Permukiman Kondisi Aksesibilitas Kondisi Prasarana Kondisi Banjir Rob Kondisi Sosial...75 BAB IV ANALISIS EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI PESISIR KOTA PEKALONGAN Identifikasi Fungsi Lahan Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Aspek Fisik Lahan Aspek Aksesibilitas Aspek Prasarana Lingkungan Aspek Bencana Banjir Rob Aspek Sosial Kesesuaian Lahan Permukiman Ditinjau dari Seluruh Aspek Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Tahun Evaluasi Kesesuaian Lahan Perm. Rencana Validasi Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Temuan Studi Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP PENULIS viii

11 ix DAFTAR TABEL TABEL I.1 TABEL I.2 TABEL I.3 TABEL I.4 TABEL I.5 TABEL I.6 TABEL I.7 TABEL I.8 TABEL I.9 TABEL I.10 TABEL I.11 TABEL I.12 TABEL I.13 TABEL II.1 TABEL II.2 TABEL II.3 TABEL II.4 TABEL II.5 TABEL II.6 TABEL II.7 TABEL II.8 TABEL II.9 TABEL II.10 TABEL II.11 TABEL II.12 TABEL II.13 TABEL III.1 TABEL III.2 TABEL III.3 TABEL III.4 TABEL III.5 TABEL IV.1 TABEL IV.2 TABEL IV.3 TABEL IV.4 TABEL IV.5 TABEL IV.6 TABEL IV.7 TABEL IV.8 TABEL IV.9 TABEL IV.10 TABEL IV.11 TABEL IV.12 : Jumlah Sampel Kuesioner : Kebutuhan Data : Kriteria Identifikasi Kawasan : Klasifikasi Lahan terhadap Sempadan : Klasifikasi Jalan Kolektor : Klasifikasi Jaringan Air Bersih : Klasifikasi Jaringan Listrik : Klasifikasi Kedalaman Genangan Rob : Klasifikasi Lama Genangan Rob : Klasifikasi Ikatan Sosial : Klasifikasi Interaksi Sosial : Klasifikasi Lama Tinggal : Klasifikasi Kualitas Air Bersih : Klasifikasi Kawasan Lindung : Kelas Kelerengan Lahan : Klasifikasi Kemiringan Lahan : Padanan Nama Tanah menurut Berbagai Sistem Klasifikasi : Klasifikasi Jenis Tanah menurut Kepekaannya : Klasifikasi Intensitas Curah Hujan : Klasifikasi Periode Genangan Banjir : Klasifikasi Kedalaman Banjir : Klasifikasi Tekstur dan Permeabilitas Tanah : Klasifikasi Drainase Tanah (I) : Klasifikasi Drainase Tanah (II) : Dasar Teori Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir : Matriks Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permukiman : Pembagian Wilayah Administrasi Kecamatan Tahun : Jumlah Penduduk Kota Pekalongan Tahun : Pembagian Wilayah Administrasi Kec. Pekalongan Utara : Penggunaan Lahan di Kec. Pekalongan Utara Tahun : PDRB Kota Pekalongan Tahun : Hasil Identifikasi Fungsi Lahan : Kawasan Lindung dan Budidaya : Klasifikasi dan Skoring Aspek Fisik Lahan : Kesesuaian Aspek Fisik Lahan : Kesesuaian Aspek Fisik Lahan Per Kelurahan : Klasifikasi dan Skoring Aspek Aksesibilitas : Kesesuaian Aspek Aksesibilitas : Kesesuaian Aspek Aksesibilitas Per Kelurahan : Klasifikasi dan Skoring Aspek Prasarana Lingkungan : Kesesuaian Aspek Prasarana Lingkungan : Kesesuaian Aspek Prasarana Lingkungan Per Kelurahan : Klasifikasi dan Skoring Aspek Bencana Banjir Rob... 96

12 x TABEL IV.13 TABEL IV.14 TABEL IV.15 TABEL IV.16 TABEL IV.17 TABEL IV.18 TABEL IV.19 TABEL IV.20 TABEL IV.21 TABEL IV.22 TABEL IV.23 TABEL IV.24 TABEL IV.25 TABEL V.1 : Kesesuaian Aspek Bencana Banjir Rob : Kesesuaian Aspek Bencana Banjir Rob Per Kelurahan : Klasifikasi dan Skoring Aspek Sosial : Kesesuaian Aspek Sosial : Kesesuaian Aspek Sosial Per Kelurahan : Klasifikasi dan Skoring Seluruh Aspek : Kesesuaian Lahan Permukiman dari Seluruh Aspek : Kesesuaian Lahan Perm. dari Seluruh Aspek Per Kelurahan : Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Tahun : Eval. Kesesuaian Lahan Perm. Tahun 2009 Per Kelurahan : Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Rencana : Eval. Kesesuaian Lahan Permukiman Rencana Per Kelurahan 114 : Validasi Hasil Penelitian : Hasil Eval. Kesesuaian Lahan Perm. Pesisir Kota Pekalongan 121

13 xi DAFTAR GAMBAR GAMBAR 1.1 GAMBAR 1.2 GAMBAR 2.1 GAMBAR 3.1 GAMBAR 3.2 GAMBAR 4.1 GAMBAR 4.2 GAMBAR 4.3 GAMBAR 4.4 GAMBAR 4.5 GAMBAR 4.6 GAMBAR 4.7 GAMBAR 4.8 GAMBAR 4.9 GAMBAR 4.10 GAMBAR 4.11 GAMBAR 4.12 GAMBAR 4.13 GAMBAR 4.14 GAMBAR 4.15 GAMBAR 4.16 GAMBAR 4.17 GAMBAR 4.18 GAMBAR 4.19 GAMBAR 4.20 GAMBAR 4.21 GAMBAR 4.22 GAMBAR 4.23 GAMBAR 4.24 GAMBAR 4.25 GAMBAR 4.26 GAMBAR 4.27 GAMBAR 4.28 GAMBAR 4.29 GAMBAR 4.30 GAMBAR 4.31 : Peta Kecamatan Pekalongan Utara... 6 : Diagram Kerangka Pikir... 8 : Diagram Segitiga Tekstur Tanah : Peta Administrasi Kota Pekalongan : Kerusakan Infrastruktur Akibat Rob : Peta Kawasan Lindung dan Budidaya : Diagram Langkah Analisis Aspek Fisik Lahan : Peta Parameter Kemiringan Lahan : Peta Parameter Jenis Tanah : Peta Parameter Curah Hujan : Peta Kesesuaian Lahan Aspek Fisik Lahan : Digram Langkah Analisis Aspek Aksesibilitas : Peta Parameter Jaringan Jalan Kolektor : Peta Kesesuaian Lahan Aspek Aksesibilitas : Diagram Langkah Analisis Aspek Prasarana Lingkungan : Peta Parameter Jaringan Air Bersih : Peta Parameter Jaringan Listrik : Peta Kesesuaian Lahan Aspek Prasarana Lingkungan : Diagram Langkah Analisis Aspek Banjir Rob : Peta Parameter Kedalaman Genangan Rob : Peta Parameter Lama Rob : Peta Parameter Tekstur Tanah : Peta Parameter Drainase Tanah : Peta Parameter Kontur Tanah : Peta Kesesuaian Lahan Aspek Bencana Banjir Rob : Diagram Langkah Analisis Aspek Sosial : Peta Parameter Ikatan Sosial : Peta Parameter Kegiatan Sosial : Peta Parameter Lama Tinggal : Peta Parameter Kualitas Air Bersih : Peta Kesesuaian Lahan Aspek Sosial : Diagram Langkah Analisis Seluruh Aspek : Peta Kesesuaian Lahan Permukiman dari Seluruh Aspek : Peta Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Tahun : Peta Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Rencana : Peta Lokasi Validasi Hasil Penelitian

14 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah pesisir yang sangat luas. Menurut koreksi PBB tahun 2008, Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia dengan panjang garis pantai Indonesia tercatat sepanjang km (Wikipedia). Panjang garis pantai yang luar biasa ini memberikan berbagai manfaat dan kelebihan bagi Indonesia, diantaranya adalah besarnya potensi hasil laut yang bisa ditangani dan dikendalikan. Wilayah pesisir juga merupakan potensi besar industri pariwisata yang bisa mendatangkan banyak masukan finansial bagi pemerintah maupun masyarakat lokal. Wilayah tersebut mempunyai karakteristik tersendiri yang sangat unik, merupakan wilayah peralihan atau transisi antara daratan dan lautan yang membentuk ekosistem beraneka ragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap penduduk di atasnya. Selain itu, Indonesia juga mempunyai lebih dari pulau dan merupakan sebuah negara yang mempunyai wilayah luas dan populasi penduduk yang cukup besar. Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2010 diperoleh jumlah jiwa (BPS, 2010). Sedangkan menurut the CIA World Fact-book (2010), Indonesia memiliki populasi jiwa, 52% diantaranya hidup di wilayah perkotaan dengan tingkat urbanisasi sebesar 3,3%, ditambah dengan angka kelahiran sebesar 18,45/1.000 penduduk. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat padat jumlah penduduknya dengan populasi berkisar antara % dari total penduduk dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir berkisar 60 % (Rais, dalam Tarigan, 2007:49; Dahuri, 2001:81). Jumlah populasi ini menjadikan perkembangan kota-kota besar pesisir di Indonesia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya semakin padat serta memerlukan pembangunan hunian layak yang terencana dengan baik. Demikian pula kota-kota pesisir yang sedang dalam tahap berkembang, mengalami proses seperti halnya yang terjadi pada

15 2 kota-kota besar tersebut, tidak terkecuali dalam hal ini Kota Pekalongan yang menjadi wilayah pembahasan penelitian ini. Menurut Budihardjo (2009: 91-92), salah satu permasalahan pembangunan di Indonesia adalah kependudukan yang pertambahannya cepat, penyebarannya tidak proporsional, sehingga menimbulkan problem sosial ekonomi. Pertambahan penduduk sangat menentukan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan kota, penyediaan sarana prasarana yang harus memadai, dan juga berpengaruh kepada perluasan lapangan kerja. Dengan semakin banyaknya penduduk, maka kegiatan di perkotaanpun menjadi bertambah dan berdampak pada meningkatnya kebutuhan lahan untuk menampung kegiatan tersebut. Salah satu kebutuhan lahan yang diperlukan penduduk adalah untuk perumahan yang tentunya juga diiringi oleh kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan sosial beserta prasarana lainnya, yang semuanya membutuhkan lahan. Kota Pekalongan merupakan salah satu kota pesisir yang menjadi bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah, terletak di wilayah Jawa bagian utara (pantura) dengan panjang pantai ±6,15 km. Apabila dilihat dari potensinya sebagai wilayah pesisir, Kota Pekalongan memiliki potensi pengembangan perikanan laut yang ditandai dengan keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di wilayah Kecamatan Pekalongan Utara, daerah wisata bahari, dan industri batik rumahan. Namun, Kota Pekalongan juga menjadi korban banjir rob yang rutin terjadi. Walikota Pekalongan, Basyir Achmad, mengatakan bahwa banjir rob yang mengakibatkan rusaknya infrastruktur dan telah merendam lebih dari setengah kota terus diupayakan untuk diatasi. Selain melokalisasi banjir yang setiap bulan datang, juga dilakukan peninggian jalan perkampungan serta membangun sedikitnya lima kolam resentasi (folder). Pemerintah Kota Pekalongan telah mengalokasikan dana hingga Rp 25 miliar untuk mengatasi rob pada tahun 2012 (Metrotvnews). Apabila dilihat dari kemampuan dan kesesuaian lahan permukiman, infrastruktur jalan sebagai aksesibilitas merupakan salah satu variabel yang menjadi perhatian. Ditambah lagi, laju pertumbuhan penduduk yang kian pesat menimbulkan berbagai masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan ketersediaan lahan. Permintaan penduduk terhadap lahan yang tidak terkendali

16 3 membuat penduduk cenderung mengabaikan peruntukan dan kemampuan lahan. Oleh karena itu, dalam menentukan lahan permukiman dimasa yang akan datang, pemahaman karakteristik fisik wilayah diperlukan untuk menghindari dampak negatif dari perkembangan wilayah tersebut. Pemanfaatan lahan untuk permukiman harus diatur dengan baik sehingga sesuai dengan rencana tata ruang kota, dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek fisik dan ekologis sehingga tidak sampai terjadi penurunan kualitas lahan (Yunus, 1999). Pemantauan dan evaluasi perkembangan lahan permukiman dengan cara manual akan memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya sehingga pemanfaatan data variabel dan pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) akan digunakan dalam analisis penelitian ini. Penerapan SIG untuk evaluasi kesesuaian lahan permukiman akan mempermudah dan mempercepat proses analisis data, karena SIG mempunyai kemampuan dalam input, editing dan analisis data (data grafis maupun data atribut) secara akurat (ESRI, 2010; Hanna, K.C. & Culpepper, R.B., 1998). Sedangkan Arbeit (dalam Catanese, A.J., 1988) menyatakan bahwa teknologi ini mampu mengolah berbagai data yang diperlukan untuk mendukung para perencana dalam mengambil keputusan di suatu daerah tertentu, seperti alternatif perluasan wilayah, tata guna lahan yang ada, dan usulan pembangunan di wilayah tersebut. Dengan demikian, perencanaan dan pembangunan yang dilaksanakan bisa dinamis untuk mengevaluasi pembangunan permukiman di wilayah yang dikaji dan digunakan untuk wilayah lain yang mempunyai karakteristik serupa. Selain itu, pemanfaatan SIG sangat penting terutama dalam hal efisiensi waktu dan tenaga. Penelitian ini mengevaluasi kesesuaian lahan dan penggunaan lahan untuk permukiman di pesisir Kota Pekalongan, dengan tahapan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan analisis kondisi fisik kawasan, menganalisis kesesuaian lahan permukiman, mengevaluasi penggunaan lahan permukiman eksisting dan lahan permukiman rencana. Dengan melihat data hasil analisis mempergunakan software GIS, dapat dibuat kesimpulan apakah pembangunan permukiman telah memperhatikan dan memperhitungkan kesesuaian lahan atau tidak. Selain itu, hasil analisis ini bisa dijadikan data awal agar pemerintah setempat dan masyarakat yang beraktifitas di wilayah pesisir bisa

17 4 merencanakan pembangunan permukimannya dengan lebih baik. 1.2 Rumusan Masalah Pembangunan permukiman biasanya dilakukan oleh perusahaan pengemban perumahan (developer) dan juga masyarakat umum (personal). Pembangunan permukiman di lahan yang ada di suatu wilayah seringkali tidak disertai dengan arahan dan tidak sesuai dengan penaatan ruang wilayah yang telah ada, seperti area pertanian atau tambak yang secara sepihak dialih-fungsikan oleh pemiliknya menjadi perumahan tanpa ada izin dan tanpa sepengetahuan instansi yang berwenang dalam penataan ruang. Berdasar hal tersebut, maka dibutuhkan suatu penelitian mengenai kesesuaian lahan permukiman dengan menggunakan SIG yang dapat mengevaluasi perkembangan penggunaan lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan apakah sudah sesuai dengan peruntukkannya dengan memperhatikan berbagai aspek yang ada. Identifikasi dan evaluasi kesesuaian lahan permukiman dalam penelitian ini menggunakan SIG, agar prosesnya dapat efektif, cepat, dan menghasilkan hasil analisis yang lebih akurat. Agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas bentuk dan arahnya, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: a. Apakah pemanfaatan lahan untuk permukiman di pesisir Kota Pekalongan telah sesuai dengan faktor kesesuaian lahan?. b. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan?. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan dengan mempergunakan SIG sehingga mendapatkan kesimpulan apakah permukiman eksisting maupun permukiman rencana di pesisir Kota Pekalongan telah sesuai dengan peruntukannya atau tidak, sehingga bisa menjadi pertimbangan dan alternatif arahan dalam pengembangan lokasi permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan.

18 Sasaran Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu: a. Mengidentifikasi faktor-faktor terkait evaluasi kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan. b. Menganalisis kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan. c. Mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman eksisting dan rencana. 1.4 Batasan Penelitian Batasan Materi Penelitian Penelitian ini memiliki pembatasan materi yang dibahas agar lebih fokus dan tidak melebar melebihi rumusan masalah yang telah dibentuk. Batasan materi penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Identifikasi kondisi fisik lahan, aksesibilitas, prasarana lingkungan, bencana banjir rob, dan sosial masyarakat di wilayah pesisir. b. Analisis, penilaian, dan evaluasi kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Batasan Wilayah Penelitian Wilayah Kota Pekalongan sebenarnya terdiri dari beberapa kecamatan, namun dalam penelitian ini hanya membahas wilayah Kota Pekalongan yang berbatasan langsung dengan laut, yaitu wilayah Kecamatan Pekalongan Utara. Wilayah kecamatan ini terdiri dari sepuluh desa/kelurahan yang enam diantara memiliki wilayah pantai. Desa/kelurahan di wilayah Kecamatan Pekalongan Utara ini yang mempunyai daerah pantai adalah Bandengan, Kandang Panjang, Panjang Wetan, Krapyak Lor, Panjang Baru, dan Degayu. Sedangkan desa/kelurahan yang tidak memiliki daerah pantai adalah Pabean, Kraton Lor, Dukuh, dan Krapyak Kidul. Total panjang pantai di wilayah Kota Pekalongan ini adalah 6,15 km (Pemkot Pekalongan).

19 6 Sumber: Bappeda Kota Pekalongan,2009, dan Hasil Analisis, GAMBAR 1.1 PETA KECAMATAN PEKALONGAN UTARA 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kelas kesesuaian lahan permukiman sehingga pembangunan atau penataan permukiman di pesisir Kota Pekalongan dapat diarahkan pada lokasi-lokasi yang sesuai dengan kemampuan lahan dan menghindari daerah yang berpotensi terkena bahaya banjir rob. Selain itu, bisa menjadi wacana dan sumber pengembangan penelitian sejenis di masa mendatang. 1.6 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir penelitian merupakan urutan pembahasan penelitian secara logis dan sistematis untuk memecahkan pertanyaan penelitian. Penelitian ini didasari dengan melihat adanya pertumbuhan permukiman pesisir yang semakin berkembang meskipun ada potensi banjir rob yang melanda. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berusaha mengkaji kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan. Kajian-kajian dilakukan terhadap kondisi fisik wilayah,

20 7 aksesibilitas, prasarana lingkungan, bencana banjir rob, dan faktor sosial. Untuk mendukung kajian tersebut, maka dilakukan studi pustaka dan teori tentang pertumbuhan perkotaan pesisir, tata guna lahan, kesesuaian dan kemampuan lahan, karakteristik fisik dasar alam, aksesibilitas dan prasarana lingkungan, serta potensi banjir rob. Selanjutnya, dari kajian yang dilakukan bisa di identifikasi tata guna lahan, fisik wilayah, kondisi iklim serta potensi banjir rob yang melanda. Untuk memperkuat hasil analisis, maka dibahas juga pengaruh faktor sosial terhadap permukiman di lokasi studi. Dengan demikian akan diperoleh hasil analisis untuk mengetahui dukungan maupun hambatan dalam penggunaan lahan untuk permukiman. Analisis-analisis tersebut akan dilakukan dengan bantuan alat analisis GIS (Geographic Information System) berupa toolbox yang berisi berbagai bentuk analisis seperti buffer, overlay, dan reclass parameter yang dikaji untuk mengetahui kondisi permukiman dan evaluasi kesesuaian lahan permukiman. Diagram kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.2.

21 8 Sumber: Hasil Analisis, 2014 GAMBAR 1.2 DIAGRAM KERANGKA PIKIR

22 9 Akhirnya, dari analisis-analisis tersebut dapat ditentukan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman di wilayah pesisir untuk dijadikan parameter mengevaluasi permukiman eksisting maupun rencana. Sehingga, hasil analisis ini bisa juga menjadi masukan dan arahan dalam menentukan kebijakan, khususnya bidang permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan mendatang. 1.7 Metodologi Penelitian Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan konsep GIS sebagai pendekatan penelitian yang dianggap bisa berfungsi sebagai gambaran atau deskripsi dari situasi nyata di lapangan. Pendekatan dimaksudkan untuk membandingkan kondisi eksisting di lapangan yang ditinjau berdasarkan karakteristik fisik lahannya dengan standar atau ketentuan yang telah ditetapkan yang diperoleh dari kajian teori maupun peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Pendekatan dalam penelitian untuk evaluasi lahan dari tahap konsultasi awal (initial consultation) sampai kepada klasifikasi kesesuaian lahan sesuai dengan FAO 1976, ada 2 macam, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) dan pendekatan paralel (parallel approach). Pendekatan dua tahapan adalah pendekatan yang terdiri dari tahap evaluasi lahan secara fisik dan tahap evaluasi lahan secara ekonomi yang dilaksanakan terpisah dan berurutan. Pendekatan tersebut biasanya digunakan dalam inventarisasi sumber daya lahan untuk tujuan perencanaan makro, maupun untuk studi pengujian potensi produksi (FAO, 1976). Evaluasi secara fisik didasarkan pada kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang telah diseleksi sejak awal kegiatan survei, sedangkan tahap evaluasi selanjutnya, sosial ekonomi, terbatas hanya untuk pengecekan jenis penggunaan lahan yang relevan dan paling tepat. Jadi, hasil dari evaluasi tahap pertama disajikan dalam bentuk laporan dan peta, kemudian menjadi subjek pada tahap kedua yang ditindaklanjuti dengan analisis aspek sosial ekonominya. Sedangkan pendekatan pararel adalah kegiatan evaluasi lahan berdasar

23 10 kriteria fisik, sosial, dan ekonomi yang dilakukan bersamaan. Dalam pendekatan analisis ekonomi dan sosial yang dilakukan secara bersamaan dengan pengujian faktor fisik ini akan memunculkan hasil yang lebih menguntungkan karena bisa lebih spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil. Melalui pendekatan paralel ini diharapkan dapat memberi hasil yang lebih pasti dalam waktu yang singkat (FAO, 1976; Hardjowigeno, 2011: 25). Selanjutnya, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan penggunaan skoring untuk analisis penelitian. Skoring atau nilai tertentu yang ditentukan tersebut merupakan konversi dari setiap parameter dan kondisi eksisting lahan di wilayah penelitian, yang selanjutnya diolah agar dapat menunjukkan kelas kesesuaian lahan permukiman yang bernilai sesuai maupun tidak sesuai. Sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah toolbox yang tersedia di dalam aplikasi ArcGIS (Prahasta, 2011). Toolbox di dalam ArcGIS berisi kumpulan alat analisis yang diantaranya berupa proses analisis buffer dan overlay yang akan dilakukan pada variabel atau parameter yang ditinjau untuk mendapatkan output spasial kesesuaian lahan permukiman pesisir sebagai penyelesaian. Pembangunan permukiman di pesisir memiliki pertimbangan yang berbeda dengan permukiman di daerah non pesisir, terutama berkaitan dengan kondisi fisik lahan, termasuk kelerengan, karakteristik tanah, dan jenis bencana yang terjadi. Dengan beberapa tahapan identifikasi dan analisis dapat disimpulkan kelas kesesuaian lahan permukiman pada lahan yang ditinjau tersebut Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada studi atau penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan sendiri di lapangan melalui wawancara, peninjauan lokasi atau pengamatan,

24 11 dokumentasi, perhitungan, maupun Kuesioner kepada responden. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan kepada responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur (Sugiyono, 2009:142). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009:80). Sedangkan menurut Arikunto (1998:115), populasi merupakan keseluruhan subyek yang ada dalam wilayah penelitian. Jika hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut adalah penelitian sampel. Penelitian sampel bermaksud menggeneralisasikan, yaitu mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampel proporsi wilayah (proportional area sampling), yaitu dengan mengambil persentase penduduk setiap kelurahan terhadap jumlah total penduduk (populasi). Populasi yang akan diteliti secara mendalam adalah masyarakat di Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan. Jumlah penduduk di Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan menurut data BPS 2010 berdasar hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah jiwa dengan pertumbuhan rata-rata dari tahun sebesar 0,693%. Jumlah proyeksi penduduk tahun 2013 dihitung dengan rumus statistik laju pertumbuhan geometrik adalah sebagai berikut: Pt = Po x (1+r) n Keterangan: Pt = jumlah pada tahun ke t. Po = jumlah pada tahun ke 0. r = rata-rata laju pertumbuhan. n = selisih antara tahun Pt-Po. Maka diperoleh proyeksi jumlah penduduk Kecamatan Pekalongan Utara pada tahun 2013 adalah : P 2013 = P 2010 x (1+r) 3 = x (1+0,00693) 3

25 12 = jiwa Sehingga didapatkan hasil proyeksi jumlah penduduk Kecamatan Pekalongan Utara pada tahun 2013 sebanyak jiwa sebagai populasi dalam pengambilan sampel. Penentuan sampel dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin: N n Nd 2 1 Keterangan : n = jumlah sampel N d = jumlah populasi = derajat kecermatan (level of significant) n = N Nd 2 1 = (74.691)(10%) 2 1 = 99, sampel Dengan mempertimbangkan kemungkinan bias, dalam situasi ini derajat kecermatan yang diambil 10%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecermatan studi dikategorikan cermat, untuk tingkat kepercayaan 90%. Sesuai dengan perhitungan, jumlah sampel untuk Kuesioner penduduk Kecamatan Pekalongan Utara adalah 99,87 ~ 100 sampel. Pengambilan sampel untuk Kuesioner penduduk Kecamatan Pekalongan Utara dilakukan secara acak dengan memperhatikan proporsi jumlah penduduk tiap kelurahan dengan perhitungan sebagai berikut: TABEL I.1 JUMLAH SAMPEL KUESIONER No. Kelurahan Jumlah Penduduk (2010) Proyeksi Penduduk (2013) Prosentase (%) Jumlah Sampel 1 Pabean , Kraton Lor , Dukuh , Bandengan , Kandang Panjang ,16 15

26 13 No. Kelurahan Jumlah Penduduk (2010) Proyeksi Penduduk (2013) Prosentase (%) Jumlah Sampel 6 Panjang Wetan , Krapyak Kidul , Krapyak Lor , Degayu , Panjang Baru ,10 12 Jumlah , Sumber: Hasil Analisis, Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data ini dilakukan dengan mencari data yang dimiliki oleh instansi/lembaga terkait (Bappeda, BPS, BMKG, dan lain sebagainya). Kebutuhan data ini diperlukan untuk mendapatkan parameter-parameter utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data fisik di wilayah studi, tata guna lahan eksisting, karakteristik tanah, kelerengan, data banjir rob yang rutin terjadi. Selain itu, ditambahkan pula data garis sempadan pantai dan sungai besar yang ada di wilayah studi. Berikut ini adalah kebutuhan data selengkapnya: TABEL I.2 KEBUTUHAN DATA No. Sasaran Kebutuhan Data Sumber Data Penelitian 1. Tata Guna Lahan Kawasan lindung Kawasan budidaya Sempadan pantai Sempadan sungai Bappeda, BPN 2. Kondisi Lahan Kemiringan lahan Bappeda, BPN, Jenis tanah BPS, PU, BMKG Curah hujan 3. Aksesibilitas Jaringan jalan Bappeda, PU 4. Prasarana Lingk. Jaringan listrik Jaringan air bersih 5. Bencana Kontur tanah Genangan rob Porositas tanah Bappeda, PU PU, Bappeda, BMKG, Kuesioner

27 14 No. Sasaran Penelitian Kebutuhan Data Tekstur tanah Lama genangan rob 6. Sosial Lama tinggal Ikatan sosial Interaksi sosial Kualitas air bersih Sumber: Hasil Analisis, Sumber Data Kuesioner Tahapan Pengolahan Pada tahap ini dijelaskan hubungan atau perbandingan antara konsep maupun teori terkait yang telah ada sebelumnya dengan hasil penelitian. Pada tahap ini dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan berbagai teori dan standar ketentuan yang ada, sampai dengan penentuan kelas kesesuaian lahan untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan layak Analisis Fisik Lahan Analisis ini membahas kondisi fisik lahan di lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penggunaan lahan sebagai lokasi permukiman. Dalam analisis ini, dilakukan terlebih dahulu penentuan kelayakan lahan berdasar pada SK Mentan No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981 yang mensyaratkan nilai skor yang diberikan untuk tiap-tiap fungsi kawasan sebagai berikut ini. TABEL I.3 KRITERIA IDENTIFIKASI KAWASAN No Fungsi Kawasan Skor 1. Kawasan Lindung > Kawasan Penyangga Kawasan Budidaya (Tanaman, Permukiman, dll) <125 Sumber : SK Mentan No.837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981

28 15 Selanjutnya, ditambahkan parameter sempadan pantai dan sempadan sungai untuk melengkapi análisis dalam aspek fisik lahan ini dengan klasifikasi sebagai berikut. TABEL I.4 KLASIFIKASI LAHAN TERHADAP SEMPADAN No Fungsi Lahan Deskripsi 1. Budidaya tidak terkena sempadan pantai dan sungai 2. Lindung terkena sempadan pantai dan sungai Sumber : Hasil Analisis, 2014 Hasil analisis ini adalah kawasan yang diperbolehkan menjadi permukiman semakin terbatas, yaitu diluar sempadan sungai dan sempadan pantai. Batasan sempadan ini diberlakukan pula terhadap análisis aspek lainnya Analisis Aksesibilitas Analisis aksesibilitas berupa jaringan jalan yang menghubungkan wilayah permukiman yang ada dan terkait dengan kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan permukiman dengan parameter jaringan jalan kolektor. Berikut ini klasifikasi jaringan jalan kolektor yang dianggap paling berpengaruh terhadap aksesibilitas utama di lokasi studi. TABEL I.5 KLASIFIKASI JALAN KOLEKTOR No. Jarak Lahan dari Jaringan Jalan Kolektor Deskripsi 1 <500 m Sangat Dekat m Dekat m Sedang m Jauh 5 >2000 m Sangat Jauh Sumber : Hasil Analisis, 2014

29 16 Jaringan jalan kolektor dijadikan sebagai dasar analisis dalam penelitian ini karena memiliki tingkat aksesibilitas yang paling tinggi karena tidak ada jaringan jalan arteri yang melintasi wilayah studi. Sehingga, penelitian ini hanya mempergunakan jaringan jalan kolektor saja sebagai parameter aksesibilitas. Penentuan kelas skoring jarak lahan dari jaringan jalan dibagi dalam 5 kelas yaitu sangat dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh. Lahan permukiman yang mempunyai jarak semakin dekat dengan jalan utama akan memiliki nilai tambah daripada lahan permukiman yang mempunyai jarak yang jauh dari jalan utama Analisis Prasarana Lingkungan Analisis prasarana berupa jaringan listrik dan jaringan air bersih merupakan dua hal utama yang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan permukiman di suatu wilayah. Berikut ini klasifikasi jaringan air bersih dan jaringan listrik. TABEL I.6 KLASIFIKASI JARINGAN AIR BERSIH No. Jarak Lahan dari Jaringan Air Bersih Deskripsi 1 <500 m Sangat Dekat m Dekat m Sedang m Jauh 5 >2000 m Sangat Jauh Sumber : Hasil Analisis, 2014 TABEL I.7 KLASIFIKASI JARINGAN LISTRIK No. Jarak Lahan dari Jaringan Listrik Deskripsi 1 <500 m Sangat Dekat m Dekat m Sedang m Jauh

30 17 No. Jarak Lahan dari Jaringan Listrik Deskripsi 5 >2000 m Sangat Jauh Sumber : Hasil Analisis, Analisis Bencana Banjir Rob Analisis kebencanaan berupa banjir rob untuk lebih memperdalam penentuan kesesuaian lahan untuk permukiman dan memperjelas penentuan kelas kesesuaian lahan permukiman yang diharapkan. Analisis ini terdiri dari beberapa parameter yang dianggap mempengaruhi penilaian dan klasifikasi lahan yang terdampak banjir rob, yaitu kedalaman rob, lama rob, tekstur tanah, dan drainase tanah. Parameter kedalaman rob diklasifikasikan sebagai berikut. TABEL I.8 KLASIFIKASI KEDALAMAN GENANGAN ROB No Lama Genangan Deskripsi 1 0,00 m Tidak Rob 2 0,00 m - 0,76 m Rendah 3 0,76 m - 1,50 m Sedang 4 1,50 m 2,00 m Tinggi 5 > 2,00 m Sangat Tinggi Sumber : Hasil Analisis, Sedangkan parameter lama rob menggunakan data dari hasil kuesioner warga yang terdampak rob dengan klasifikasi sebagai berikut. TABEL I.9 KLASIFIKASI LAMA GENANGAN ROB No Lama Genangan Deskripsi 1 0 jam Sangat Baik jam Baik

31 18 No Lama Genangan Deskripsi jam Kurang Baik 4 >24 jam Tidak Baik 5 Tidak Surut Sangat Tidak Baik Sumber : Hasil Analisis, Analisis Faktor Sosial Analisis faktor sosial dilakukan dengan menggunakan tabeliarisasi dan digitasi data sosial yang diperoleh di lokasi penelitian. Data diperoleh dari hasil Kuesioner warga di lokasi studi dengan cara sampel proporsi wilayah (proportional area sampling). Parameter yang diikutsertakan adalah ikatan sosial, interaksi sosial, lama tinggal, dan kualitas air bersih. TABEL I.10 KLASIFIKASI IKATAN SOSIAL No Ikatan Sosial Kelas Deskripsi 1 Ada keluarga (dekat) Tinggi Baik 2 Ada keluarga (jauh) Sedang Kurang baik 2 Tidak ada keluarga Rendah Tidak baik Sumber : Hasil Analisis, 2014 TABEL I.11 KLASIFIKASI INTERAKSI SOSIAL No Interaksi Sosial Kelas Deskripsi 1 Mingguan Tinggi Baik 2 Dua-mingguan Sedang Kurang baik 3 Bulanan Rendah Tidak baik Sumber : Hasil Analisis, 2014

32 19 TABEL I.12 KLASIFIKASI LAMA TINGGAL No Lama Tinggal Kelas Deskripsi 1 >10 tahun Tinggi Baik tahun Sedang Kurang baik 3 < 5 tahun Rendah Tidak baik Sumber : Hasil Analisis, 2014 TABEL I.13 KLASIFIKASI KUALITAS AIR BERSIH No Kualitas Air Bersih Kelas 1 Baik Tinggi 2 Agak Baik Sedang 3 Buruk Rendah Sumber : Hasil Analisis, 2014 Pengolahan data ini dikerjakan dengan software ArcGIS mulai dari pengolahan masing-masing aspek sampai dengan analisis secara keseluruhan evaluasi kesesuaian lahan permukiman yang diinginkan, sehingga analisis kelas kesesuaian lahan permukiman berdasar segenap aspek atau parameter yang dimasukkan dalam penelitian ini dapat lebih mudah dipahami, diproses, disimpan, dan dimodifikasi. Pengolahan dimulai dari identifikasi kawasan, skoring sampai dengan buffer dan overlay antara hasil analisis berdasar parameter yang ditentukan dengan data spasial eksisting di lapang untuk diperbandingkan dan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman yang ada di lokasi penelitian dan akan menghasilkan output berupa data spasial peta kesesuaian lahan permukiman. Buffering yang dilakukan adalah dengan memberikan nilai pada setiap variabel yang dianalisis untuk mendapatkan hasil jarak lahan untuk parameter sempadan pantai, sempadan sungai, jarak lahan dari jangkauan aksesibilitas, jaringan air bersih, maupun jaringan listrik.. Sedangkan overlay yang dilakukan adalah dengan memberikan nilai pada setiap variabel yang dianalisis dan menumpang-tindihkan

33 20 dengan parameter lainnya yang terkait dan berpengaruh terhadap kesesuaian lahan permukiman untuk mendapatkan hasil evaluasi kesesuaian lahan permukiman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan mengenai pemilihan lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan di masa mendatang. 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penyusunan tesis ini terdiri dari lima Bab yang masing-masing mengandung hal-hal sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Di dalam Bab ini dijelaskan mengenai latar belakang dan perumusan permasalahan penelitian, dilanjutkan dengan menentukan tujuan dan sasaran serta ruang lingkup penelitian. Selain itu, juga berisi kerangka pikir dan metodologi penelitian yang menjelaskan skenario pelaksanaan penelitian. BAB II Kajian Kesesuaian Lahan Permukiman Pada Bab ini berisi pendapat dan teori ilmiah tentang lahan dan permukiman serta kemampuan dan kesesuaian lahan permukiman yang dikemukakan oleh para ahli serta temuan penelitian mengenai penelitian serupa yang telah ada dan dianggap relevan untuk mendukung penelitian. BAB III Gambaran Kota Pekalongan dan Pesisirnya Bab ini merupakan penjelasan kondisi wilayah studi, meliputi keadaan geografis, karakteristik yang ada, serta gambaran permukiman dan penduduk yang ada di wilayah studi. BAB IV Analisis Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Bab ini berisi analisis yang dilakukan dengan SIG untuk mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di pesisir dan penilaian tingkat kesesuaian lahan permukiman di pesisir yang menjadi lokasi studi. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi Bab ini berisi kesimpulan dan hasil dari penelitian serta rekomendasi yang dimunculkan dari laporan tesis ini.

34 BAB II KAJIAN KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PESISIR Konsep Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (FAO, 1976; Hardjowigeno, 2011:15). Dengan demikian, faktor fisik lahan memberikan pengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia dari waktu ke waktu. Oleh karena itu dalam mengefektifkan dan mengoptimalkan penggunaan lahan diperlukan adanya tata guna lahan dan pembagiannya menurut kemampuan lahan yang ada sehingga lahan tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsi yang sesuai dan memperoleh nilai tambah. Di dalam Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota sebagai Lampiran Peraturan Kementrian Pekerjaan Umum no. 20 tahun 2011, menyebutkan bahwa setiap kawasan direncanakan dengan memperhatikan antar kegiatan dalam kawasan fungsional agar tercipta lingkungan yang harmonis antara kegiatan utama dan kegiatan penunjang dalam kawasan fungsional tersebut. Sehingga, didefinisikan lebih lanjut bahwa penggunaan lahan adalah fungsi dominan dengan ketentuan khusus yang ditetapkan pada suatu kawasan, blok peruntukan, dan/atau persil. Di Indonesia, upaya dalam merencanakan penggunaan lahan suatu kawasan yang meliputi pembagian menurut fungsi-fungsi tertentu atau khusus, misalnya untuk fungsi permukiman, fungsi perdagangan, fungsi kawasan industri, dan lain sebagai dijelaskan pula dalam Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota sebagai Lampiran Peraturan Kementrian Pekerjaan Umum no. 20 tahun Hal tersebut dikarenakan perencanaan atau pengaturan tata guna lahan merupakan faktor penting dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan

35 22 antara aktivitas manusia dan kemampuan lingkungan merupakan kunci utama untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan. Pengaturan ini menciptakan dua kawasan utama yang harus seimbang pengelolaannya, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya Kawasan Lindung Di dalam Peraturan Kemen PU no. 20 tahun 2011 maupun di dalam Peraturan Pemerintah no. 15 tahun 2010, mendefinisikan Kawasan Lindung sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan menurut Keppres Nomor 32 Tahun 1990 pasal 1, kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Lebih detail lagi, berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990, kawasan lindung dibagi atas empat bagian yaitu: 1) Kawasan Perlindungan Kawasan di bawahnya Kawasan ini terdiri dari hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air. Perlindungan kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, sedimentasi, banjir, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Perlindungan terhadap kawasan bergambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Perlindungan kawasan resapan air dilakukan untuk memberi ruang yang cukup untuk keperluan ketersediaan kebutuhan air tanah dan pencegahan banjir untuk kawasan yang bersangkutan ataupun kawasan di bawahnya. 2) Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan ini terdiri dari sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar mata air dan sekitar danau atau waduk, yang berfungsi untuk melindungi kawasan tersebut dari kegiatan budidaya oleh manusia yang dapat mengganggu

36 23 kelestarian fungsi dari tiap kawasan sesuai karakteristiknya. Luasan sempadan pantai diukur minimal 100 m sepanjang pantai dari garis pasang tertinggi ke arah darat yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai tersebut, untuk sempadan sungai diukur minimal 100 m kanan kiri untuk sungai besar dan 50 m untuk anak sungai dan untuk sungai yang terletak pada permukiman diukur sejauh 15 m. Sedangkan untuk sempadan mata air berjarak radius 200 meter dari lokasi mata air kecuali untuk kepentingan umum, dan untuk sempadan danau/waduk dengan lebar meter dari garis pasang tertinggi air waduk/danau. 3) Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya Kawasan ini terdiri dari kawasan cagar alam, kawasan pantai hutan, kawasan suaka laut dan perairan lainnya, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Berfungsi untuk melindungi keanekaragaman biota, jenis ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya serta bagi cagar budaya untuk melindungi kekayaan budaya bangsa. 4) Kawasan Rawan Bencana Kawasan ini adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor dan lain-lain. Kawasan ini berfungsi melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun akibat perbuatan manusia secara tidak langsung. Berikut ini tabel klasifikasi kawasan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun 1990: TABEL II.1 KLASIFIKASI KAWASAN LINDUNG Kawasan Lindung Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya Kawasan perlindungan setempat 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan bergambut 3. Kawasan resapan air 1. Sempadan Pantai 2. Sempadan Sungai

37 24 Kawasan suaka alam dan cagar budaya 3. Kawasan sekitar danau / waduk 4. Kawasan sekitar mata air 1. Kawasan suaka alam 2. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya 3. Kawasan pantai berhutan bakau 4. Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam 5. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan Kawasan rawan bencana alam Sumber : Keppres No. 32 Tahun 1990 Perencanaan dan pengaturan tata guna lahan semakin diperlukan agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pertumbuhan kota yang berkaitan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan segenap fasilitas yang diperlukan. Sesuai dengan berbagai teori dan model perkembangan kota, pengaturan tata guna lahan merupakan pengalokasian fungsi-fungsi tertentu atau khusus sehingga dapat memberikan hasil optimal dalam pemanfaatan suatu kawasan tertentu. Apalagi bila dipertimbangkan pula pengaruh kondisi fisik dan topografi wilayah seperti adanya pesisir dan pegunungan, maka hambatan fisik tersebut harus benar-benar diperhatikan karena akan menghambat perkembangan kota ke arah tersebut (Yunus, 1999: 144). Oleh karena itu, meskipun keperluan lahan untuk aktifitas manusia semakin meningkat, namun penggunaan lahan harus sesuai dengan potensi dan kemampuan lahan tersebut agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan Sempadan Pantai Sempadan pantai merupakan aspek yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembangunan. Menurut Keputusan Presiden no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa Sempadan Pantai

38 25 adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Perlindungan terhadap sempadan pantai ini dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Garis sempadan pantai tersebut membatasi lahan yang boleh dikembangkan untuk keperluan bangunan seperti permukiman. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ekosistem pantai agar tidak terganggu aktivitas harian manusia, dan juga menjaga manusia dari bahaya akibat kejadian alam di pinggir laut. Demikian pula dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai dan Perda Kota Pekalongan no. 7 tahun 2012 tentang Garis Sempadan, dinyatakan bahwa sempadan pantai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat Sempadan Sungai Sempadan sungai merupakan daerah pinggir sungai yang ditetapkan sebagai perlindungan sungai dan tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan budidaya dan pendirian bangunan. Luasan area sempadan sungai berbeda-beda, tergantung kedalaman sungai, keberadaan tanggul, maupun lebar sungai. Menurut Keputusan Presiden no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan sungai ini dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Sedangkan kriteria sempadan sungai adalah:

39 26 a. Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman. b. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara meter Kawasan Budidaya Kawasan budidaya berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 41/PRT/2007 adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota harus dikelola dalam rangka optimalisasi implementasi rencana. Di dalam Undang-undang no. 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Penjelasan lebih detail dalam Permen 41/PRT/2007 mendefinisikan beberapa kawasan yang termasuk dalam kawasan budidaya tersebut sebagai berikut: 1. kawasan peruntukan hutan produksi adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 2. kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan pertanian yang meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan pertanian tanaman tahunan/perkebunan, perikanan, peternakan. 3. kawasan peruntukan pertambangan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan bagi wilayah yang sedang maupun yang akan segera dilakukan kegiatan pertambangan, meliputi golongan bahan galian A, B, dan C.

40 27 4. kawasan peruntukan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan untuk tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung bagi peri kehidupan dan penghidupan. 5. kawasan peruntukan industri adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 6. kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata atau segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. 7. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada satu kawasan perkotaan. Kawasan yang diperuntukkan sebagai lokasi permukiman, di dalam Permen PU no. 41/PRT/2007, ditetapkan mengikuti karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan sebagai berikut: 1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0-25%); 2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/orang /hari sampai dengan 100 liter/orang/hari; 3) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); 4) Drainase baik sampai sedang; 5) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai / pantai / waduk / danau /mata air/ saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan; 6) Tidak berada pada kawasan lindung; 7) Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian/penyangga; 8) Menghindari sawah irigasi teknis Kawasan Pesisir Dalam Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PK) pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa

41 28 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Lebih lanjut lagi, pada pasal 2 disebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai. Jadi, ruang lingkup pesisir menurut UU no. 27 tahun 2007 ini meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Demikian pula halnya dengan UNCLOS 1982 yang menetapkan, pada pasal 3 sampai 5, bahwasanya setiap negara memiliki hak untuk mendirikan luasnya wilayah laut sampai dengan batas tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan keputusan konvensi ini, yaitu garis pangkal normal untuk mengukur luasnya laut teritorial adalah garis batas air laut terrendah sepanjang pantai pada wilayah pesisir negara tersebut. Selain itu, UNCLOS 1982 juga menetapkan perlindungan terhadap lingkungan laut yang berisi langkah atau prosedur berupa: (a) pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dan bahaya lain terhadap lingkungan laut, termasuk garis pantai, dan gangguan keseimbangan ekologi lingkungan laut. Perhatian khusus diberikan pada kebutuhan untuk perlindungan dari efek berbahaya akibat kegiatan seperti pengeboran, pengerukan, penggalian, pembuangan limbah, pembangunan, dan operasi atau pemeliharaan instalasi pipa dan perangkat lain yang berkaitan dengan kegiatan tersebut; (b) perlindungan dan konservasi sumber daya alam kawasan dan pencegahan kerusakan pada flora dan fauna laut yang berada di lingkungan tersebut. Peraturan perlindungan lingkungan laut ini sama dengan peraturan kawasan lindung yang ditetapkan oleh pemerintah kita. Begitu pula penentuan batas wilayah pesisir ke arah darat sejauh 12 mil laut telah dipakai pula di dalam peraturan negara kita. Di dalam UU no. 27 tahun 2007 telah ditetapkan pula batas wilayah pesisir ke arah darat yang diberlakukan sama dengan batas wilayah

42 29 administrasi kecamatan, sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir ke arah darat maupun cara pengukurannya. Karakteristik, pengertian, dan batasan wilayah pesisir di setiap negara memang berbeda-beda, tergantung kondisi geografis dan politiknya. Karena itulah ratifikasi UNCLOS hingga tahun 1994 masih tidak didukung oleh beberapa negara yang merasa dirugikan. Lebih lanjut diuraikan dalam penjelasan UU no. 27 tahun 2007 bahwa kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Batas kewenangan provinsi ke arah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya maka dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Dengan demikian, berarti kewenangan daerah kabupaten/kota ke arah laut paling jauh 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan Kesesuaian Lahan Permukiman Jumlah penduduk yang bertambah banyak, membawa konsekuensi pada bertambahnya permasalahan yang akan dihadapi. Pertambahan penduduk khususnya di perkotaan akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk hunian dan berbagai fasilitas penunjang kehidupan dan aktifitas manusia, padahal luasan lahan di perkotaan relatif tetap. Akibatnya, semakin terbatasnya penyediaan lahan baru di perkotaan yang semakin padat menyebabkan meluasnya kawasan atau lahan permukiman yang menggusur kawasan hijau seperti pertanian dan bahkan kawasan lindung. Menurut Halla (2005), ada dua cara perencanaan tata kota yang baik, yaitu cara pertama adalah pengendalian pembangunan perkotaan dengan menegakkan

43 30 peraturan zonasi melalui skema perencanaan yang mendetail, yang dalam prakteknya dapat disiapkan dan dilaksanakan dengan atau tanpa skema perencanaan umum. Cara kedua adalah adalah koordinasi pembangunan perkotaan dengan menegakkan skema perencanaan umum yang memakai proposal rencana jangka panjang pada penggunaan lahan kota dan investasi modal dalam pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, kawasan permukiman atau penggunaan tertentu lainnya bisa dikontrol dan tidak merusak kawasan lain. Churchill (1999), menyatakan bahwa pembangunan kawasan permukiman pada wilayah yang tidak sesuai akan membahayakan lingkungan sekitarnya bahkan juga jiwa manusia sebagai penghuni kawasan permukiman tersebut. Hal ini juga dibahas dalam UNCLOS 1982 yang memperhatikan keselamatan manusia dan juga memperhatikan kelangsungan ekosistem lingkungan jangan sampai terganggu oleh aktifitas manusia di kawasan tersebut. Arah perkembangan kota seperti telah dijelaskan di awal bahwa apabila tidak ada halangan fisik maka kawasan permukiman atau kawasan terbangun untuk aktifitas manusia akan berkembang ke segala arah. Namun, apabila ada halangan fisikal seperti gunung, gurun, atau pesisir lautan, maka akan cenderung melebar ke arah lain dan tanpa memperhitungkan kemampuan lahan serta kerusakan ekosistem yang akan terjadi akibat aktifitas manusia diatasnya. Kekurangan lahan semacam ini akan menimbulkan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan seperti pengurangan kawasan resapan air dan pengurukan areal tambak atau pertanian untuk permukiman. Menurut Notohadiprawiro (dalam Khadiyanto 2005:27), bahwa kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) menentukan kelayakan penggunaan lahan yang menjadi pangkal pertimbangan dalam tata guna lahan. Dengan demikian, tata guna lahan dapat dinyatakan sebagai suatu rancangan peruntukan lahan menurut kelayakannya. Sehingga, apabila penggunaannya tidak sesuai dengan potensi yang tersedia, maka akan menghasilkan pemanfaatan yang tidak efektif. Lebih lanjut, Khadiyanto (2005) menyebutkan bahwa klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen-komponen lahan secara sistematik dan pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan

44 31 penghambat dalam rangka pembangunan lahan secara lestari. Sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian dan pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Sedangkan Baja (2012:63), menjelaskan keterkaitan antara kualitas lahan dengan penggunaan lahan tertentu diperlukan persyaratan penggunaan lahan yang diusahakan, kualitas lahan, karakteristik lahan, dan informasi tentang interaksi antara kualitas lahan dan karakteristik lahan. Mengenai kualitas lahan berkaitan dengan pengelolaan kawasan permukiman, parameter yang digunakan Baja (2012: 65) adalah adanya kemungkinan mekanisasi, faktor aksesibilitas yang mempengaruhi konstruksi dan pemeliharaan jalan, ukuran unit lahan untuk blok permukiman, ketersediaan air bersih, kedekatan dengan kawasan produksi dan pusat pelayanan, serta bahaya banjir. Martopo (dalam Khadiyanto 2005: 28) menyebutkan bahwa dalam menentukan lokasi yang akan menjadi lahan permukiman perlu adanya pengamatan, pengujian, dan pengukuran terhadap beberapa parameter, yaitu: kemiringan lereng, kerentanan terhadap banjir, gerak massa batuan, erosi, daya tumpu tanah, rombakan batuan, dan ketidaktersediaan air bersih. Sedangkan Khadiyanto sendiri (2005: 89) menetapkan parameter yang lebih detail, meskipun tidak semua harus ada karena setiap parameter memiliki kadar pembobotan yang berbeda, sehingga ada yang boleh diabaikan. Parameter-parameter tersebut adalah: sudut lereng, golongan tanah, indeks golongan tanah, daya dukung tanah, daya hantar tanah, angka pori tanah, kadar air tanah, indeks beban titik batuan, indeks keausan batuan, struktur pelapisan batuan, erosi permukaan, erosi lembah, gerakan massa, gerakan air, intensitas hujan, kerapatan aliran, dan ayunan muka air tanah. Hardjowigeno (2011:184) berdasarkan ketentuan USDA 1983 menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk permukiman (gedung tanpa ruang bawah tanah dan maksimal 3 lantai) berupa: 1. penurunan tanah, 2. banjir, 3. kandungan air tanah,

45 32 4. potensi kembang kerut, 5. kelas tanah berdasar Unified, 6. kelerengan, 7. kedalaman hamparan batuan, 8. kedalaman padas keras, 9. prosentase berat batuan, dan 10. bahaya longsor. Sedangkan menurut Kalogirou (2002), evaluasi kesesuaian lahan memperhatikan kepada tiga faktor yang dianalisis bersama dan menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang ditinjau. Tiga faktor utama tersebut adalah: 1. Jenis tanah, kelerengan, erosi, dan kondisi alami lahan 2. Kandungan garam 3. Ketinggian air, bahaya banjir, dan drainase. Dengan adanya beberapa uraian di atas, dan memperhatikan faktor ketiadaan atau kekuranglengkapan data lapangan, maka aspek atau parameter yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Aspek fisik lahan, yang terdiri dari kemiringan lahan, jenis tanah, sempadan pantai, sempadan sungai, dan curah hujan. 2. Aspek aksesibilitas, yang berupa jaringan jalan. 3. Aspek prasarana lingkungan, yaitu jaringan listrik, dan jaringan air bersih. 4. Aspek bencana banjir rob. 5. Aspek sosial. Kelima aspek tersebut dianalisis untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan dalam lima tingkatan mengacu pada system FAO (1976), yaitu: S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai), N1 (tidak sesuai sementara), N2 (tidak sesuai permanen). Baja (2012), mendeskripsikan kelas tersebut sebagai berikut: 1. Kelas S1 atau sangat sesuai adalah lahan dengan tanpa pembatas atau hanya memiliki pembatas sangat ringan dan hal tersebut tidak berpengaruh terhadap produktivitas atau keuntungan yang akan diperoleh, dan tidak memerlukan input di atas level rata-rata.

46 33 2. Kelas S2 atau sesuai adalah lahan dengan beberapa pembatas yang mempengaruhi produktivitas dan mempengaruhi pengusahaan jenis penggunaan lahan tertentu secara lestari, menurunkan keuntungan, dan meningkatkan kebutuhan input untuk peningkatan keuntungan pada penggunaan tertentu. 3. Kels S3 atau kurang sesuai atau sesuai marjinal adalah lahan dengan beberapa pembatas yang cukup berat sehingga mempengaruhi produktivitas. Dibutuhkan input tambahan untuk perolehan keuntungan dari penggunaan tertentu. 4. Kelas N1 atau tidak sesuai sementara atau tidak sesuai sekarang adalah lahan dengan pembatas cukup berat dan belum bisa diatasi sekarang atau sementara. Pembatas cukup berat tersebut mempengaruhi pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan tertentu secara lestari. 5. Kelas N2 atau tidak sesuai permanen adalah lahan dengan pembatas sangat berat sehingga secara permanen tidak dapat diupayakan untuk jenis penggunaan lahan tertentu secara lestari Aspek Fisik Lahan A. Kemiringan Lahan Kemiringan atau kelerengan lahan adalah sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan (relief), yaitu antara bidang datar tanah dengan bidang horizontal dan pada umumnya dihitung dalam persen (%) atau derajat ( 0 ). Menurut Khadiyanto (2005), daerah yang bertopografi datar (0-3%) merupakan daerah yang paling baik nilainya bila dibandingkan daerah lainnya. Dengan demikian, daerah semakin curam merupakan daerah yang semakin rendah nilainya dan semakin tidak cocok atau tidak sesuai untuk permukiman. Khadiyanto (2005: 84) menetapkan kelas lereng lahan sebagai berikut. Lihat Tabel II.2.

47 34 TABEL II.2 KELAS KELERENGAN LAHAN No Kelas Lereng % % % % 5. > 20 % Sumber: Khadiyanto, Sedangkan klasifikasi kemiringan lereng berdasar SK Mentan No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981, adalah sebagai berikut: TABEL II.3 KLASIFIKASI KEMIRINGAN LAHAN No Kelas Lereng Kemiringan (%) Deskripsi 1 I 0 8 Datar 2 II 8 15 Landai 3 III Agak curam 4 IV Curam 5 V > 45 Sangat curam Sumber : SK Mentan No.837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981 B. Jenis Tanah Tanah merupakan bagian yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktivitas manusia, selain itu juga sebagai tempat tumbuhnya tanaman karena di dalam tanah tersedia unsur hara yang digunakan sebagai sumber makanan bagi tumbuhan. Pembagian atau klasifikasi tanah di Indonesia yang dipergunakan pada saat ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor tahun dan merupakan modifikasi atas sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo ( ) yang mengklasifikasi jenis tanah berdasarkan karakteristik unsur-unsur yang mendominasi, bahan induk, warna, kelembaban dan sifat-sifat lainnya. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut (wikipedia.org): 1. Aluvial adalah tanah muda yang berasal dari hasil endapan atau sedimentasi bahan mineral yang terbawa aliran sungai atau air. Tanah jenis ini biasanya

48 35 bewarna kelabu sampai coklat, bertekstur liat sampai pasir, konsistensi keras bila kering dan liat bila lembab sehingga kuat gesernya bertambah bila kedalamannya juga bertambah dan cukup kuat untuk menopang bangunan di atasnya. Penyebarannya di lembah-lembah sungai dan dataran pantai seperti misalnya, di Kerawang, Indramayu, Delta Brantas. 2. Andosol, merupakan tanah yang berkembang dari abu vulkanik yang banyak mengandung bahan hara dan bersifat gembur. Solum 1-2 m, warna tanah hitam, kelabu sampai coklat tua, tekstur tanah lempung berdebu sampai lempung, struktur remah di bagian atas dan gumpal dibagian bawah. 3. Tanah hutan coklat (brown forest soil), merupakan tanah yang berkembang dari batuan yang beraneka, warna coklat kehitaman sampai kuning dengan tekstur lempung sampai lempung berdebu dan stuktur keras. 4. Grumusol atau margalit, terdiri dari beberapa macam, yaitu grumusol pada batu kapur, grumusol pada sedimen tuff, grumusol pada lembah-lembah kaki pegunungan, grumusol endapan aluvial. Diantara cirinya adalah solum 1-2 m, warna kelabu sampai hitam, tekstur lempung berliat sampai liat, dalam keadaan basah tanah ini mengembang dan sangat lekat, sedangkan pada saat kering mengkerut sehingga membentuk rekahan-rekahan yang lebar dan bongkahan yang teguh. Permeabilitas tanah ini sangat rendah, kemampuan menahan air sangat baik, peka terhadap erosi dan kesuburan cukup, dimanfaatkan untuk pertanian padi dan tebu. Penyebarannya di Madura, Gunung Kidul, Jawa Timur dan Nusa Tenggara. 5. Latosol, yaitu tanah yang telah mengalami pelapukan intensif, warna tanah tergantung susunan bahan induknya dan keadaan iklim. Tanah ini berkedalaman solum >2m, berwarna merah kuning, cokelat kemerahan, cokelat, cokelat kekuningan, dan merah kecoklatan. Selain itu, bertekstur liat, berstruktur remah atau gempal, konsistensi gembur di bagian atas dan teguh atau sangat teguh di bagian bawah, serta peka terhadap erosi. Latosol merah berasal dari daerah lapisan vulkan intermedier, tanah ini subur dan dimanfaatkan untuk padi, palawija, kelapa, dan tebu. Penyebarannya terutama di daerah sekitar lereng gunung berapi di seluruh Indonesia, kecuali di Nusa Tenggara dan Maluku Selatan.

49 36 6. Litosol, yaitu tanah yang baru mengalami pelapukan dan sama sekali belum mengalami perkembangan tanah. Jenis ini mempunyai solum kurang dari 30 cm, bertekstur kasar, berpasir dan atau berkerikil yang berasal dari batuan-batuan konglomerat dan granit, kandungan unsur hara tinggi sehingga kesuburannya cukup, serta sangat peka terhadap erosi. Tanaman yang cocok adalah jenis tanaman besar/hutan. Penyebarannya di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Nusa Tenggara, Maluku Selatan dan Sumatera. 7. Mediteran merah kuning, merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk kapur tetapi telah mengalami perkembangan lanjut. Ciri-ciri, solum 1-2 m, warna coklat sampai merah, tekstur lempung sampai berliat, stuktur gumpal, konsistensi gembur pada bagian atas dan teguh pada bagian bawah. Tingkat kepekaan terhadap erosi sedang sampai tinggi. 8. Organosol, atau disebut juga sebagai tanah gambut, mengandung paling banyak bahan organik (>65%), tidak mengalami perkembangan profil, berwarna coklat kelam sampai hitam, kadar air tinggi, PH 3-5, porositas makro sangat tinggi, jumlah hara persatuan volume rendah, dan apabila mengalami kekeringan akan sulit mengikat air. Jenis tanah ini kurang subur namun dapat dimanfaatkan untuk persawahan. Penyebarannya di Sumatera sepanjang pantai utara/timur, pantai selatan dan barat Kalimantan dan di sepanjang pantai selatan Irian Barat/Papua. 9. Podsol, merupakan tanah yang berkembang dari batuan sedimen yang mempunyai butir-butir penyusun kasar, solum 0,4-1m, warna coklat keputih-putihan, tak berstruktur, konsistensi pada bagian bawah teguh dan bagian atas lepas, permeabilitas sedang sampai cepat dan kemampuan menahan air sangat rendah sehingga rawan terhadap erosi. 10.Tanah coklat non klasik atau podsolik, merupakan tanah yang berkembang dari induk batuan kapur. Ciri-ciri, lapisan atas berwarna coklat atau coklat kemerahan, tekstur lempung sampai lempung berdebu, konsistensi agak teguh. Lapisan bawah berwarna lebih merah, konsistensi teguh dan plastis, tekstur lempung sampai lempung berdebu. 11.Regosol terdiri dari regosol abu vulkanik, bukit pasir, dan batuan sedimen. Tanah jenis ini cukup subur dengan ciri berwarna abu-abu, coklat-kekuningan sampai coklat, konsistensi lepas, teguh atau bahkan sangat teguh bila memadat,

50 37 ph 5-7, daya ikat air sangat rendah karena pori makro sangat banyak sehingga mudah tergerus/erosi. 12.Rendzina, merupakan tanah yang berkembang dari batuan kapur yang belum berkembang, warna kelabu sampai hitam, tekstur liat sampai kerikil, konsistensi gembur, dan peka terhadap erosi. Berikut ini adalah klasifikasi tanah Indonesia menurut sistem Dudal-Soepraptohardjo (D-S), diberikan dengan padanannya menurut empat sistem klasifikasi lain. TABEL II.4 PADANAN NAMA TANAH MENURUT BERBAGAI SISTEM KLASIFIKASI Dudal- Soepraptohardjo (D-S) ( ) Tanah aluvial (endapan, alluvial soil) Modifikasi PPT atas D-S (1978/1982) Tanah aluvial FAO/UNES CO (1974) Fluvisol World Reference Base (WRB) (2007) Soil Survey Staff USDA ( ) Entisol, Inceptisol Andosol Andosol Andosol Andosol Andisol Tanah Hutan Kambisol Cambisol Cambisol Inceptisol Coklat (Brown Forest Soil) Grumusol Grumusol Vertisol Vertisol Vertisol Latosol Kambisol, Latosol, Lateritik Cambisol, Litosol, Ferralsol Inceptisol, Ultisol, Oxisol Litosol Litosol Litosol Entisol (subkelompo k lithic) Mediteran Mediteran Luvisol Chromic Luvisols Alfisol, Inceptisol Organosol Organosol Histosol Histosol Histosol Podsol Podsol Podsol Podzols Spodosol Podsolik Merah Podsolik Acrisol Ultisol Kuning Podsolik Coklat Kambisol Cambisol Inceptisol Podsolik Coklat Podsolik Acrisol Ultisol Kelabu

51 Dudal- Soepraptohardjo (D-S) ( ) Modifikasi PPT atas D-S (1978/1982) FAO/UNES CO (1974) World Reference Base (WRB) (2007) Soil Survey Staff USDA ( ) Regosol Regosol Regosol Entisol, Inceptisol Renzina Renzina Rendzina Calcic Rendoll Leptosols - Ranker Ranker Acidic Leptosols - Sumber: 38 Berikut ini adalah klasifikasi faktor jenis tanah untuk membedakan kelas tanah dan kemampuannya menahan erosi atau kemampuan mendukung keberadaan permukiman diatasnya. TABEL II.5 KLASIFIKASI JENIS TANAH MENURUT KEPEKAANNYA TERHADAP EROSI No Kelas Tanah Jenis Tanah Deskripsi Terhadap Erosi 1 I Aluvial, tanah clay, planosol, hidromorf kelabu, laterik air tanah Tidak peka 2 II Latosol Kurang peka 3 Brown forest soil, non calcic brown, III mediteran Agak peka 4 IV Andosol, lateric, grumusol, podsol, podsolic Peka 5 V Regosol, litosol, organosol, renzina Sangat peka Sumber : SK Mentan No.837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981 C. Curah Hujan Curah hujan merupakan air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu dan merupakan faktor yang berpengaruh pada kelayakan suatu wilayah menjadi lokasi hunian. Hujan memainkan peranan penting dalam erosi tanah melaui tenaga pelepasan dari pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah. Curah hujan dapat mempengaruhi potensi suatu lahan terkait dengan

52 39 kepekaannya terhadap erosi. Apabila intensitas hujan tinggi, maka erosi tanah yang terjadi akan cenderung tinggi dan jika intensitas hujan rendah, maka erosi tanah yang terjadi juga cenderung rendah. Oleh karena itu, intensitas curah hujan juga mempengaruhi kapasitas drainase buatan sebagai saluran pembuangan air hujan agar mampu menampung dan mengalirkan limpahan air hujan sesuai dengan intensitas curah hujannya. Pengukuran curah hujan ini dilakukan dalam hitungan harian, bulanan, dan tahunan. Semakin besar jumlah tanah yang tererosi kemungkinan terjadinya bencana longsor juga semakin besar. Intensitas curah hujan terbagi dalam beberapa klasifikasi yaitu: TABEL II.6 KLASIFIKASI INTENSITAS CURAH HUJAN No. Kelas Intensitas (mm/hari) Intensitas (mm/tahun) Deskripsi 1 I 0 13, Sangat rendah 2 II 13,6 20, Rendah 3 III 20,7 27, Sedang 4 IV 27,7 34, Tinggi 5 V > 34,8 >4000 Sangat tinggi Sumber : SK Mentan No.837/KPTS/UM/11/1980, dan Hasil Analisis, Aspek Aksesibilitas Aspek aksesibilitas ini terkait dengan kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan permukiman. Aksesibilitas dalam kenyataannya berwujud dalam bentuk ketersediaan jalan dan transportasi. Apabila semakin baik kualitas jalan dan semakin dekat jarak jalan dengan kawasan permukiman maka akan semakin tinggi kualitas aksesibilitasnya. Catanese, A.J. (1988:120) menyatakan bahwa keberadaan infrastruktur memberi dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, pola pertumbuhan dan prospek perkembangan ekonomi suatu kota. Berdasar Undang-undang no. 38 tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2006 tentang Jalan, dinyatakan bahwa klasifikasi fungsi jalan berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu-lintas dan angkutan jalan, dibedakan menjadi arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan. Selain itu, berdasar UU

53 40 no. 38/2004, PP no. 34/2006, dan SNI disebutkan pembagian fungsi jalan tersebut terbagi pula ke dalam jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder dengan pembagian sebagai berikut: 1. Jalan arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. 2. Jalan kolektor primer, yaitu jalan yang menghubungkan antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. 3. Jalan lokal primer, adalah jalan yang menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan. 4. Jalan lingkungan primer, adalah jalan yang menghubungkan antar pusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. 5. Jalan arteri sekunder, berupa jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 6. Jalan kolektor sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 7. Jalan lokal sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. 8. Jalan lingkungan sekunder, adalah jalan yang menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan. Lahan permukiman yang mempunyai jarak semakin dekat dengan jalan utama akan memiliki nilai tambah daripada lahan permukiman yang mempunyai jarak yang jauh dari jalan utama. Baja (2012:272) menetapkan bahwa jarak jaringan jalan yang masih dianggap sesuai terkait dengan lokasi lahan yang ditinjau adalah kurang dari 2 km.

54 Aspek Prasarana Lingkungan Aspek prasarana lingkungan yang dianggap paling berpengaruh adalah jaringan listrik dan jaringan air bersih. Di dalam Undang-undang no. 4 tahun 1992 disebutkan bahwa prasarana umum merupakan prasarana penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam studi ini ketersediaan prasarana umum yang meliputi prasarana air bersih, dan prasarana listrik dijadikan sebagai bahan pertimbangan penentuan kesesuaian lahan permukiman. Dalam evaluasi kesesuaian lahan permukiman, ketersediaan kedua prasarana di atas akan berpengaruh pada nilai lahan di kawasan bersangkutan. Semakin lengkap ketersediaan prasarananya, maka akan semakin baik dalam menunjang kenyamanan bertempat tinggal. Penentuan kelas jarak lahan dari prasarana lingkungan yang meliputi prasarana air bersih dan prasarana listrik di bagi ke dalam 5 kelas, yaitu sangat dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh. A. Prasarana Air Bersih Jaringan PDAM merupakan sumber air bersih yang utama di permukiman selain berasal dari sumur gali. Semakin dekat permukiman dengan jaringan air bersih maka akan semakin baik, karena kebutuhan air bersih sudah menjadi hal mutlak yang harus tersedia di suatu lahan permukiman. B. Prasarana Listrik Listrik merupakan penyuplai sumber energi bagi aktivitas kehidupan di kawasan permukiman, sehingga jaringan listrik dinyatakan sebagai salah satu syarat utama yang harus dimiliki permukiman saat ini. Dengan demikian, lahan yang terletak semakin dekat dengan jaringan listrik akan semakin cocok sebagai kawasan permukiman.

55 Aspek Bencana Banjir Rob Bencana alam dapat didefinisikan sebagai perubahan kondisi alam yang mengakibatkan bahaya bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Untuk dapat mengantisipasinya, manusia perlu mengenal dan memahami perubahan alam tersebut. Kota Pekalongan sebagai kota pesisir selalu mengalami keadaan pasang air laut yang mencapai daratan atau disebut sebagai banjir rob. Bencana ini sudah menjadi permasalahan setiap wilayah pesisir semenjak dahulu. Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah rendahnya lahan di wilayah yang bersangkutan, adanya penurunan tanah karena abrasi air laut atau berkurangnya air tanah. Selain itu, kemungkinan lainnya adalah adanya pengaruh perubahan iklim dan pemanasan global yang menyebabkan kenaikan muka air laut. Naiknya permukaan air laut disebabkan perluasan panas air laut, serangan badai, dan naik turunnya lahan di kawasan pesisir pantai. Suhu yang lebih tinggi diperkirakan menjadi sebab dari peningkatan muka air laut dan perluasan samudera disebabkan mencairnya es di wilayah kutub bumi. Kenaikan permukaan laut ini mengakibatkan tergenangnya lahan basah dan dataran rendah, menggerus pantai, meningkatkan potensi banjir, meningkatkan salinitas (tingkat keasinan) air sungai, teluk, dan air tanah. Beberapa pengaruh tersebut dapat bercampur lebih jauh dengan pengaruh lain perubahan iklim. Kenaikan tinggi muka air laut dan banjir pesisir (banjir rob) merupakan isu utama dari perubahan iklim dan pemanasan global. Dalam penelitian Nicholls dan Nicholls, R.J. & Mimura, Nobuo (1998) mendapati bahwa peningkatan frekuensi banjir pesisir (rob) menyebabkan kerusakan infrastruktur dan degradasi lingkungan. Selain peningkatan frekuensi banjir rob, kenaikan muka air laut juga meningkatkan jumlah kehilangan lahan dan peningkatan kadar salinitas air tanah di pesisir. Dengan adanya pemanasan global, banjir rob terjadi tidak hanya pada musim penghujan tetapi terjadi pula pada saat air pasang dan semakin sering frekuensinya. Penilaian akibat banjir terdiri dari dua tipe kerusakan yang didasarkan pada ada atau tidaknya nilai moneter yang menjadi konsekuensi kerugian dari kejadian banjir rob: a. Kerusakan tangible (dapat di hitung), yang berkaitan dengan harta benda

56 43 seperti rumah, mobil, alat rumah tangga yang dapat dihitung berdasar nilai jual pasaran sebelum banjir terjadi; maupun berkaitan dengan keadaan seperti kemacetan, hilangnya pekerjaan, kehilangan pendapatan, dan sebagainya. b. Kerusakan intangible (tidak dapat di hitung), berupa gejala stress, depresi, ketidaknyamanan, dan sakit karena terdampak banjir rob. Membahas kerusakan dan kerugian akibat banjir rob, Ward P.J., et al (2011) membedakan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: a. Banjir rob dengan ketinggian dibawah 1 m dpl, berdampak kerusakan dan nilai kerugian rendah. b. Banjir rob dengan ketinggian 1 1,5 m dpl, berdampak kerusakan dan nilai kerugian meningkat signifikan di area bisnis atau lahan komersial. c. Banjir rob dengan ketinggian diatas 1,5 m dpl, berdampak kerusakan dan nilai kerugian meningkat signifikan di lahan komersial dan juga lahan permukiman. Rayes (2007), mengklasifikasikan bahaya banjir dan periode lama genangan menjadi lima tingkatan. Berikut ini klasifikasi bahaya banjir/periode lama genangan: TABEL II.7 KLASIFIKASI PERIODE GENANGAN BANJIR No Kelas Periode Genangan Keterangan 1 O0 Tidak pernah banjir kurang dari 24 jam dalam setahun 2 O1 Kadang-kadang banjir >24 jam tidak teratur dalam satu bulan dalam satu tahun 3 O2 Selama 1 bulan banjir >24 jam teratur dalam satu bulan dalam satu tahun 4 O3 Selama 2-5 bulan banjir >24 jam teratur dalam 2-5 bulan dalam satu tahun 5 O4 Selama >6 bulan banjir >24 jam teratur dalam >6 bulan dalam satu tahun Sumber: Rayes, 2007, dan Hardjowigeno, 2011 Sedangkan Marfai (2013), dalam penilaian banjir pesisir (banjir rob) membedakannya menjadi 3 klasifikasi ketinggian, yaitu :

57 44 a. Ketinggian Rendah: banjir pesisir dengan ketinggian rendah biasanya terjadi di sekitar pantai dan hanya sebagian kecil wilayah yang terpengaruh banjir atau genangan, serta tidak mengakibatkan kerusakan fisik atau struktur meskipun jalan dan kawasan hijau di sekitar pantai terendam; b. Ketinggian Sedang: banjir ketinggian sedang merupakan banjir pesisir yang dapat menimbulkan efek yang lebih, terutama bagi pemukiman dan perabot di dalamnya. Jaringan jalan dan sarana umum tidak dapat berfungsi dengan semestinya karena terendam air. Penggunaan lahan seperti permukiman, tambak, dan lahan pertanian akan terpengaruh tingginya air yang merendam penggunaan lahan tersebut. Erosi pantai juga akan terjadi dan menyebabkan kerusakan pada jaringan infrastruktur maupun bangunan; c. Ketinggian Tinggi: banjir dengan ketinggian tinggi merupakan ancaman yang serius bagi masyarakat pesisir dan juga penggunaan lahan di kawasan pesisir. Banyak jaringan infrastruktur, permukiman, dan area bisnis serta industri sepanjang pesisir akan terancam mengalami kerusakan. Lahan pertanian termasuk tambak akan terganggu, sehingga dalam beberapa hari/ minggu tidak produktif lagi. Pencegahan dan evakuasi harus dilakukan pada tahap ini. Terkait dengan risiko bencana, berdasarkan keputusan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, Peraturan Kepala BNPB No. 2 tahun 2012, parameter atau tolok ukur ancaman/bahaya dapat ditentukan berdasarkan : a. Luas genangan (km 2. ha) b. Ketinggian banjir (m) c. Kecepatan aliran (m/detik, km/jam) d. Material yang dihanyutkan (batu, pohon, benda keras lainnya) e. Endapan lumpur (m, cm) f. Lamanya genangan (jam, hari, minggu) g. Frekuensi kejadian Sedangkan klasifikasi kedalaman banjir berdasar peraturan BNPB (2012), sebagai berikut. Lihat Tabel II.8.

58 45 TABEL II.8 KLASIFIKASI KEDALAMAN BANJIR No Kedalaman (m) Kelas 1 <0.76 Rendah Sedang 3 >1.5 Tinggi Sumber : Perka BNPB No.2/2012. Selanjutnya, perlu dibahas pula parameter tekstur tanah dan porositas tanah dalam mempengaruhi banjir rob di wilayah pesisir. Tekstur tanah berpengaruh kepada kajian banjir rob, karena parameter ini mempengaruhi permeabilitas tanah atau kecepatan tanah dalam meloloskan air yang menggenang (banjir rob). Semakin liat jenis tanah yang menyusunnya, maka semakin lambat permeabilitasnya, dan sebaliknya semakin kasar jenis tanah yang menyusunnya, maka semakin cepat air yang menggenang diloloskan atau diserap ke dalam tanah. Klasifikasi tekstur tanah berdasar ketentuan USDA (The United States Department of Agriculture) dibagi menjadi 12, yaitu: sand, loamy sand, sandy loamy, sandy clay loam, sandy clay, clay, clay loam, loam, silty clay, silty clay loam, silt loam, dan silt. Berikut ini diagram tekstur tanah berdasar ketentuan USDA yang menggambarkan keadaan ke-duabelas klasifikasi tanahnya terkait dengan prosentase partikel pendukungnya. Lihat Gambar 2.1.

59 46 Sumber : GAMBAR 2.1 DIAGRAM SEGITIGA TEKSTUR TANAH Sedangkan klasifikasi yang dipakai di Indonesia merupakan modifikasi dan penyederhanaan agar lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia, yaitu menjadi lima kelas tekstur yang terdiri dari tekstur halus, agak halus, sedang, agak kasar, dan kasar (Hardjowigeno, 2011). TABEL II.9 KLASIFIKASI TEKSTUR DAN PERMEABILITAS TANAH No Tekstur Tanah Deskripsi Permeabilitas 1 Halus Liat berdebu, liat Lambat 2 Agak Halus Liat berpasir, lempung liat berdebu, Agak lambat lempung liat berpasir 3 Sedang Debu, lempung berdebu, lempung Sedang 4 Agak Kasar Lempung berpasir Agak cepat 5 Kasar Pasir berlempung, pasir Cepat Sumber : Hardjowigeno, 2011, dan Hasil Analisis, 2014.

60 47 Selain itu, porositas juga berpengaruh kepada kemampuan tanah dalam mengalirkan air genangan. Tanah-tanah dengan struktur granuler atau remah, mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur massive (pejal). Tanah dengan tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air yang diartikan kemampuan drainase tinggi. Sebaliknya, pada tanah bertekstur halus, memiliki lebih banyak ruang pori yang sebagian besar terdiri pori-pori kecil, sehingga menghasilkan kemampuan tanah dengan kapasitas memegang air yang besar (Hardjowigeno, 2011). Dengan demikian, nilai porositas yang tinggi menunjukkan adanya aerase dan drainase yang tinggi. Tanah dengan tekstur kasar yang di dominasi oleh pori makro menjadi lebih porous (punya aerase yang lebih baik). Tanah bertekstur kasar juga mampu membuang air lebih cepat dari tanah (drainase baik). Berikut ini tabel klasifikasi drainase tanah berdasar profil tanah (Hardjowigeno, 2011), dan klasifikasi drainase tanah berdasar kemampuan membuang air (Hasil Inventarisasi dan Pendataan Wilayah Pesisir Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu BPN-RI, 2012). TABEL II.10 KLASIFIKASI DRAINASE TANAH (I) No Drainase Tanah Deskripsi 1 Baik 2 Agak Baik 3 Agak Buruk 4 Buruk 5 Sangat Buruk Sumber : Hardjowigeno, Seluruh profil tanah dari atas sampai bawah berwarna terang yang seragam tanpa bercak-bercak. Tidak terdapat bercak kuning, coklat, atau kelabu dari lapisan atas sampai di bagian atas lapisan bawah. Tidak terdapat bercak kuning, coklat, atau kelabu di lapisan atas. Bercak terdapat di lapisan bawah. Terdapat bercak kuning, coklat, atau kelabu di lapisan atas. Seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu, dan lapisan bawah berwarna kelabu atau bercak kelabu, coklat, kuning.

61 48 TABEL II.11 KLASIFIKASI DRAINASE TANAH (II) No Drainase Tanah Deskripsi 1 a Porous 2 b Tergenang Periodik 3 c Tergenang sesudah Hujan 4 d Tergenang Periodik 1-3 Bln 5 e Tergenang Periodik 3-6 Bln 6 f Tergenang >6 Bln Sumber : BPN-RI, Selanjutnya, setelah diteliti kondisi fisik lahan, aksesibilitas, prasarana, dan kebencanaan, perlu ditambahkan pula faktor sosial masyarakat. Kondisi aspek sosial pada seseorang akan berpengaruh kepada keputusannya untuk tetap bermukim di kawasan yang tidak semestinya maupun di kawasan yang rawan bencana seperti banjir rob. Hal ini terjadi pula pada masyarakat di pesisir Kota Pekalongan sehingga mereka tetap berkeinginan untuk mendirikan bangunan permukiman dan tinggal di lokasi mereka yang sekarang walaupun rawan banjir rob. Oleh karena itu, perlu ditambahkan faktor sosial dalam penelitian ini untuk semakin memperkuat hasil evaluasi yang dilakukan Aspek Sosial Aspek sosial adalah salah satu faktor yang perlu di identifikasi sebelum dianalisis. Aspek sosial yang di identifikasi berkaitan dengan ikatan sosial, interaksi sosial, lama tinggal, dan kualitas air bersih yang dimiliki setiap rumah. Masing masing variabel sosial tersebut akan di identifikasi melalui kuesioner dalam bentuk sebaran distribusi frekuensi baik berupa tabel maupun diagram yang kemudian dideskripsikan. A. Ikatan Sosial Ikatan sosial yang di identifikasi dalam penelitian ini adalah hal yang berkaitan dengan ada atau tidaknya kerabat atau keluarga yang dimiliki oleh

62 49 seorang warga yang masih berada dalam satu lokasi yang sama. Hal ini biasanya terkait pula dengan lama tinggal seseorang di lokasi tersebut, apakah dia pendatang atau semenjak lahir telah tinggal di lokasi tersebut. Identifikasi ini perlu dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kekerabatan yang dimiliki seseorang dengan keinginan bermukim di lokasi penelitian. Liu (2010), menyebutkan bahwa komunitas desa di area urban tidak sekedar berbeda dalam hal bentuk bangunan dan infrastruktur daripada komunitas desa di area rural, tapi terlihat pula dalam tata guna lahan, nilai norma, dan hubungan sosialnya. Lebih lanjut Liu menyebutkan bahwa ada beberapa norma sosial yang seringkali tetap bertahan di komunitas desa yang bernuansa rural ketika berubah atau berevolusi menjadi komunitas desa yang bernuansa urban seperti mempertahankan ikatan sosial dan hubungan kekeluargaan, strata sosial, dan tradisi lokal. Oleh karena itu, ikatan sosial tradisonal yang berbasis keluarga merupakan hal yang dianggap masih bisa mempengaruhi kenyamanan seseorang bertahan di suatu lokasi permukiman. Hal ini dikarenakan seseorang yang memiliki kerabat dalam satu lokasi atau berdekatan, tidak terlalu rentan dibanding seseorang yang tidak mempunyai kerabat atau keluarga. B. Interaksi sosial Variabel interaksi sosial yang di indentifikasi adalah yang terkait dengan ada atau tidaknya keikutsertaan seorang warga masyarakat dalam suatu perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan di dalam wilayah tempat tinggalnya. Identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel interaksi sosial mempunyai hubungan atau tidak dengan keinginannya menetap di kawasan rawan rob tersebut. Warga masyarakat yang ikut dalam suatu perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan akan merasa lebih nyaman, tenteram, dan merasa kondisinya tidak rentan atau aman. Sedangkan warga masyarakat yang tidak ikut maupun jarang ikut dalam perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya lebih rentan dan kurang nyaman apabila memerlukan bantuan bila terkena bencana. Semakin padatnya penduduk kota juga

63 semakin menurunkan kualitas pola kehidupan bermasyarakat karena lebih mengutamakan efisiensi ekonomi masing-masing individu. 50 C. Lama Tinggal Variabel lama tinggal yang di identifikasi adalah yang terkait dengan masa tinggal seseorang di wilayah studi. Seseorang sebagai warga asli atau pendatang bisa mempengaruhi kenyamanan tinggal di suatu wilayah. Bisa jadi warga pendatang akan tidak sepenuhnya bisa beradaptasi dengan kondisi suatu wilayah baru. Semakin lama seseorang tinggal di suatu lokasi, maka kenyamanannya untuk tetap berada di lokasi tersebut juga semakin tinggi. D. Kualitas Air Bersih Variabel kualitas air bersih ditambahkan sebagai salah satu parameter sosial karena dianggap mempengaruhi kenyamanan dalam aspek sosial seseorang. Selain itu, kualitas air bersih tidak sama dengan jaringan air bersih (PDAM) sebagai salah satu parameter prasarana dikarenakan sumber air bersih yang dikonsumsi tidak selalu dari PDAM, namun bisa dari sumur gali maupun sumur pompa Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Hardjowigeno (2011:2), menyebutkan bahwa evaluasi lahan adalah proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial. Berkaitan dengan data masukan, dikatakan bahwa kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat di evaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan cukup tersedia dan berkualitas baik. Baja (2012:229), menyatakan bahwa dikarenakan tidak adanya kriteria evaluasi yang stándar untuk digunakan di semua tempat, seleksi kriteria untuk aplikasi tertentu tergantung pada tingkat detil studi, persyaratan tanah bagi

64 51 penggunaan tertentu, ketersediaan data, dan isu lingkungan fisik khusus untuk daerah studi. Sedangkan menurut UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, evaluasi merupakan usaha atau kegiatan untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan yang dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam mencapai tujuan rencana tata ruang. Hal ini dilakukan untuk menilai kemajuan seluruh kegiatan pemanfaatan dalam mencapai tujuan rencana tata ruang dan dilakukan secara terus menerus setiap tahunnya. Selanjutnya, untuk mengakomodasi pemuktahiran yang dirasakan perlu akibat perubahan setelah dari kegiatan evaluasi yang menemukan permasalahan mendasar dan perlu perbaikan, maka dilakukan peninjauan kembali atau usaha untuk menilai kembali kesahihan rencana tata ruang dan keseluruhan kinerja penataan ruang secara berkala. Demikian hal dengan Baja (2012), menyebutkan bahwa tingkatan kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu tidak permanen dan dapat berubah setelah dilakukan perbaikan pada faktor pembatasnya. 2.2 Sistem Informasi Geografis Konsep Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan maupun untuk keperluan analisis data secara simultan dan memanipulasi informasi-informasi geografis sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan atau spasial. SIG ini dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk mencari data, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menampilkan data (output) dalam suatu informasi berbasis spasial/geografis (ESRI, 2010; Arronoff dalam Sastrohartono, 2011). Dengan kata lain, Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem informasi pemetaan atau informasi spasial (bereferensi keruangan) yang

65 52 membantu manusia berdasar informasi terbaik (akurat) dan hasil analisis untuk memahami dan mengelola data untuk ditampilkan sebagai bagian dari pengambilan keputusan cepat ( 2013). Baja (2012:147), menyebut SIG sebagai sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data ter-referensi koordinat spasial atau geografis. Sedangkan Barus dan Wiradisastra (dalam Sastrohartono, 2011) mengungkapkan bahwa SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan. Lebih detail lagi, Lukman (dalam Sastrohartono, 2011) menyatakan bahwa sistem informasi geografi menyajikan informasi keruangan beserta atributnya yang terdiri dari beberapa komponen utama yaitu: 1. Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta (peta topografi dan peta tematik), data statistik, data hasil analisis dan pengolahan citra penginderaan jauh, dan lain-lain. Data-data spasial dan atributnya dalam bentuk analog maupun data digital tersebut dikonversikan ke dalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basis data (database). 2. Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor untuk ditampilkan atau dicetak pada kertas). 3. Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan dengan berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Selain itu, manipulasi dan analisis data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi. 4. Pelaporan data ialah kegiatan untuk dapat menyajikan data dasar dan data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Hasil ini dapat dibuat atau dicetak dalam bentuk teks di atas kertas atau media lain (hardcopy), atau dalam bentuk file (softcopy).

66 Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Menggunakan SIG Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjanjikan pengelolaan sumber daya dan pembuatan model terutama model kuantitatif menjadi lebih mudah dan sederhana. SIG merupakan suatu cara yang efisien dan efektif untuk mengetahui karakteristik lahan suatu wilayah dan potensi pengembangannya. Dalam hal ini, mengingat begitu banyaknya data spasial yang tersebar di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, maka pemerintah membentuk Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Badan ini salah satu tugasnya adalah membangun Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) sejak tahun 2001 (Lilywati, 2007). Lebih lanjut, untuk mengatasi berbagai masalah dan kekeliruan pelaksanaan serta pemanfaatan SIG dalam perencanaan pembangunan, diharapkan bahwa data-data SIG yang tersebar itu janganlah disimpan untuk instansi itu sendiri, tapi harus tersebar dan bisa diakses. Penggunaan lahan merupakan aspek penting untuk mengetahui sejauh mana aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan alam. Data penggunaan lahan dan perubahannya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perencana tata ruang dan pengendaliannya, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan penggunaan lahan yang seringkali menyebabkan terjadinya bencana dan korban manusia. Beberapa contoh upaya pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang bisa diolah dan dikembangkan dengan sistem informasi diantaranya dilakukan oleh ahli kehutanan dalam hal pengaturan fungsi kawasan hutan, pemantauan hama, pendataan jenis vegetasi, pendataan lokasi yang memerlukan reboisasi di area yang terdata telah rusak dan gundul, dan rehabilitasi lahan yang kritis dan tidak subur. Ahli perencana perkotaan menggunakan SIG untuk pemetaan rute transportasi, penentuan dan pengaturan tata guna lahan, maupun informasi daerah resapan air dan terlarang untuk hunian. Ahli lingkungan hidup untuk mengolah informasi wilayah yang kadar polusinya terlalu berlebih, memonitor lokasi limbah, dan lain sebagainya (Baja, 2012:151). Dengan demikian, pengambil kebijakan bisa memperkirakan penyelesaian permasalahan lingkungan yang dihadapi penataan ruang wilayah dan kota atau bahkan propinsi. Sebagai contoh, penurunan daya dukung tanah dan lahan, alih fungsi lahan pertanian yang produktif menjadi hunian atau fungsi

67 54 lainnya yang menyalahi peraturan, penurunan luasan hutan sebagai kawasan resapan air, pendataan jumlah DAS yang kritis karena hilangnya catchment area, memetakan berbagai wilayah yang rentan bahaya dan program mitigasi bencananya, dan lain sebagainya. SIG mempersiapkan data spasial terkait lingkungan dan tata ruang wilayah yang akan dimasukkan sistem berupa data spasial administrasi, data penggunaan lahan, data sungai dan pantai, data kejadian kebencanaan gempa dan rob, data fasilitas umum seperti rumah sakit dan sekolah, data luas lahan pertanian dan perikanan, data industri, data sarana dan prasarana transportasi, dan lain sebagainya. Data terkait penggunaan lahan ini, seperti juga data terkait ekonomi dan kependudukan, ditampilkan dalam bentuk tabel, peta, grafik, foto, dan deskripsi mengenai status lingkungan yang diinginkan. Berkaitan dengan evaluasi kesesuaian lahan permukiman, SIG sangat membantu kebutuhan informasi spasial yang cepat, tepat dan layak yang sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan, dimana pengolahan data dengan SIG juga mempertimbangkan faktor ekologis dan ekosistem serta pelestarian alam. Keragaman karakteristik berbagai wilayah yang digunakan sebagai lokasi permukiman perlu ditinjau kesesuaiannya sehingga pemanfaatan lahan tersebut sebagai lokasi permukiman bisa optimal. Pengolahan data untuk evaluasi kesesuaian lahan permukiman di suatu wilayah bisa dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi tata guna lahan eksisting maupun identifikasi faktor daya dukung lahan. Tahapan identifikasi dalam SIG dilakukan dengan bantuan berbagai jenis software seperti produk ESRI mulai dari versi ArcView sampai dengan versi ArcGIS terbaru. Selain itu, bisa juga menggunakan software open source yang dapat diperoleh secara gratis. Dalam prosesnya, pengolahan data untuk evaluasi tersebut bisa dilakukan dengan metode overlay berdasar skoring berbagai kriteria yang terkait dengan penilaian kesesuaian lahan permukiman. Ada berbagai macam jenis analisis yang bisa dipakai mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit. Lebih lanjut, proses analisis menggunakan software ArcGIS dipermudah dengan pembuatan model dengan fasilitas model builder yang merupakan aplikasi atau modul tambahan untuk melakukan otomasi sejumlah urutan proses (dalam

68 55 pembuatan data spasial) yang selanjutnya dapat diulangi secara presisi kapan dan oleh siapa saja tanpa kesalahan yang berarti. Bahkan, rangkaian model builder ini bisa disimpan dalam toolbox tersendiri (user-made) di dalam panel ArcToolbox (Prahasta, 2011:519). 2.3 Sintesa Pustaka Sintesa pustaka atau sintesa literatur dapat memudahkan peneliti dan pembaca untuk mengetahui arah penelitian dari masing-masing teori yang dikaji. TABEL II.12 DASAR TEORI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PESISIR No. Sumber Materi Keterangan 1. Dahuri (1996) - Daerah peralihan antara daratan dan lautan. 2. UNCLOS (1982) - Ketentuan internasional tentang pesisir. Churchill, Robin & 3. Lowe, Vaughan - The Law of the Sea (1999) Pengertian - Daerah peralihan antara ekosistem Wilayah darat dan laut yang dipengaruhi Pesisir oleh perubahan di darat dan laut. - Batas kewenangan daerah 4. UU no.27/2007 kabupaten/kota ke arah laut paling jauh 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas. Sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan. 5. FAO (1976) - A Framework for Land Evaluation. 6. Catanese, A. James (1988) - Urban Planning. 7. USDA ( - Classification of Soil. PerMenPU - Pedoman Kriteria Teknis Kawasan no.41/prt/2007 PerMenPU no.40/prt/2007 KepMentan no. 837/KPT/UM/11/1980 Pedoman Kesesuaian Lahan Budidaya. - Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai. - Pedoman kesesuaian lahan.

69 No. Sumber Materi Keterangan 10. KepMentan no. 583/KPT/UM/8/ Pedoman kesesuaian lahan. 11. Khadiyanto, Parfi - Tata Ruang Berbasis pada (2005) Kesesuaian Lahan - Perencanaan Tata Guna Lahan 12. Baja, Sumbangan dalam Pengembangan Wilayah (2012) Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. 13. Rayes, M. Luthfi - Metode Inventarisasi Sumber (2007) Daya Lahan. 14. Hardjowigeno, - Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Sarwono (2011) Perencanaan Tata Guna Lahan 15. UU no.38/ Peraturan tentang Jalan 16. PP no.34/ Peraturan tentang Jalan 17. Kalogirou, S. (2002) - Expert Systems and GIS - An Application of Land Suitability Evaluation. Sistem 18. ESRI (2010) - ArcGIS 9x Tutorial. Informasi 19. ESRI (2013) - Geografis - Tutorial ArcGIS Desktop untuk 20. Prahasta, Eddy (2011) Bidang Geodesi & Geomatika. - Sumber : Hasil Analisis, Matriks Klasifikasi Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Berdasarkan pembahasan pada Bab I dan Bab II, maka dapat disimpulkan matriks klasifikasi keseluruhan aspek atau parameter yang ditinjau dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: TABEL II.13 MATRIKS KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN No Variabel Kategori Kesesuaian Lahan 1 Identifikasi Kawasan dan Aspek Kondisi Fisik Lahan Klasifikasi Kemiringan Lahan Kelerengan Datar 0 8 % Sangat sesuai Landai 8 15 % Sesuai Agak curam % Kurang sesuai Curam % Tidak sesuai smnt Sangat Curam > 45 % Tidak sesuai prmn

70 No Variabel Kategori Kesesuaian Lahan 57 Klasifikasi Jenis Tanah Kepekaan I (Aluvial, tanah clay, planosol, Tidak peka Sangat sesuai hidromorf kelabu, laterik air tanah) II (Latosol) Kurang peka Sesuai III (Brown forest soil, non calcic Agak peka Kurang sesuai brown, mediteran) IV (Andosol, lateric, grumusol, Peka Tidak sesuai smnt podsol, podsolic) V (Regosol, litosol, organosol, renzina) Sangat peka Tidak sesuai prmn Klasifikasi Intensitas Hujan Kelas Sangat rendah Sangat sesuai Rendah Sesuai Sedang Kurang sesuai Tinggi Tidak sesuai smnt >4000 Sangat tinggi Tidak sesuai prmn Klasifikasi Sempadan Pantai Kelas <100m Tidak sesuai Tidak sesuai >100m Sesuai Sangat Sesuai Klasifikasi Sempadan Sungai Kelas <15m Tidak sesuai Tidak sesuai >15m Sesuai Sangat Sesuai 2 Aspek Aksesibilitas Jalan Kolektor Jarak Lahan Sangat Dekat <500 m Sangat sesuai Dekat m Sesuai Sedang m Kurang sesuai Jauh m Tidak sesuai smnt Sangat Jauh >2000 m Tidak sesuai prmn 3 Aspek Prasarana Lingkungan Prasarana Air Bersih Jarak Lahan Sangat Dekat <500 m Sangat sesuai Dekat m Sesuai Sedang m Kurang sesuai Jauh m Tidak sesuai smnt Sangat Jauh >2000 m Tidak sesuai prmn Prasarana Listrik Jarak Lahan Sangat Dekat <500 m Sangat sesuai Dekat m Sesuai Sedang m Kurang sesuai

71 58 No Variabel Kategori Kesesuaian Lahan Jauh m Tidak sesuai smnt Sangat Jauh >2000 m Tidak sesuai prmn 4 Aspek Banjir Rob Kedalaman Rob Kelas 0,00 m Tidak rob Sangat sesuai 0,00-0,76 m Rendah Sesuai 0,76-1,50 m Sedang Kurang sesuai 1,50-2,00 m Tinggi Tidak sesuai smnt >2,00 m Sangat tinggi Tidak sesuai prmn Lama Genangan Rob Kelas 0 jam Sangat baik Sangat sesuai 1-3 jam Baik Sesuai 4-24 jam Kurang baik Kurang sesuai >24 jam Tidak baik Tidak sesuai smnt Tidak surut Sangat tidak baik Tidak sesuai prmn Tekstur Tanah Permeabilitas Kasar Cepat Sangat sesuai Agak Kasar Agak cepat Sesuai Sedang Sedang Kurang sesuai Agak Halus Agak lambat Tidak sesuai smnt Halus Lambat Tidak sesuai prmn Kontur Tanah Kelas 4,00-4,50m dpl Sangat baik Sangat sesuai 3,00-4,00m dpl Baik Sesuai 2,00-3,00m dpl Kurang baik Kurang sesuai 1,00-2,00m dpl Tidak baik Tidak sesuai smnt 0,00-1,00m dpl Sangat tidak baik Tidak sesuai prmn Drainase Tanah Kelas Porous Sangat baik Sangat sesuai Tergenang periodik Baik Sesuai Tergenang sesudah hujan Sedang Kurang sesuai Tergenang periodik 1-3 bln Kurang baik Tidak sesuai smnt Tergenang periodik 3-6 bln Tidak baik Tidak sesuai prmn 5 Aspek Sosial Masyarakat Ikatan Sosial Kelas Ada keluarga (dekat) Baik Sesuai Ada keluarga (jauh) Kurang baik Kurang sesuai Tidak ada keluarga Tidak baik Tidak sesuai Interaksi Sosial Kelas

72 59 No Variabel Kategori Kesesuaian Lahan Pertemuan mingguan Baik Sesuai Pertemuan 2 mingguan Kurang baik Kurang sesuai Pertemuan bulanan Tidak baik Tidak sesuai Lama Tinggal Kelas >10 tahun Baik Sesuai 5-10 tahun Kurang baik Kurang sesuai < 5 tahun Tidak baik Tidak sesuai Kualitas Air Bersih Kelas A Baik Sesuai B Kurang baik Kurang sesuai C Tidak baik Tidak sesuai Sumber : Hasil Analisis, 2014

73 60

74 61 BAB III GAMBARAN UMUM KOTA PEKALONGAN DAN PESISIRNYA 3.1 Gambaran Umum Kota Pekalongan Kondisi Fisik Wilayah Kota Pekalongan merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah dan merupakan kota pesisir yang terletak di wilayah Jawa bagian utara (pantura) dengan panjang pantai ± 6,15 km. Secara geografis, Kota Pekalongan terletak pada koordinat antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kota Pekalongan terbentang dari Utara ke Selatan ± 9 km dan dari Barat ke Timur ± 7 km dengan luas wilayah 45,25 km 2 atau sekitar 0,14% dari luas Provinsi Jawa Tengah yang memiliki luas km 2 (BPS Kota Pekalongan, 2010; Pemkot Pekalongan). Batas-batas wilayah administratif Kota Pekalongan sebagai berikut: - sebelah utara: Laut Jawa; - sebelah timur: Kabupaten Batang; - sebelah barat: Kabupaten Pekalongan; - sebelah selatan: Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang. Kota Pekalongan secara administratif terbagi menjadi 4 kecamatan dengan jumlah wilayah administratif setingkat desa sebanyak 47 kelurahan. Pembagian secara lebih rinci adalah sebagai berikut: TABEL III.1 PEMBAGIAN WILAYAH ADMINISTRASI KECAMATAN TAHUN 2010 No. Kecamatan Jumlah Kelurahan Luas (Ha) 1. Pekalongan Barat 13 kelurahan Pekalongan Timur 13 kelurahan Pekalongan Selatan 11 kelurahan Pekalongan Utara 10 kelurahan Sumber : BPS Kota Pekalongan, 2010

75 62 Berikut ini adalah peta administrasi kecamatan di Kota Pekalongan: Sumber: Bappeda Kota Pekalongan, 2009, dan Hasil Analisis, 2014 GAMBAR 3.1 PETA ADMINISTRASI KOTA PEKALONGAN Secara umum, wilayah Kota Pekalongan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-6 meter dpl. Jenis tanah Kota Pekalongan berwarna agak kelabu berjenis tanah aluvial kelabu kuning dan aluvial hidromorf. Secara geologis, Kota Pekalongan tersusun atas aluvial kelabu, aluvial kelabu kecoklatan serta aluvial hidromorf yang terbentuk oleh endapan tanah berstruktur halus di bagian selatan (BPS Kota Pekalongan, 2010).

76 Kondisi Kependudukan Jumlah penduduk Kota Pekalongan menurut jenis kelamin pada tahun 2010 sebanyak jiwa terdiri dari laki-laki (48,71%) dan perempuan (51,29%). Jumlah penduduk mengalami kenaikan sebesar jiwa dari tahun 2007 hingga tahun TABEL III.2 JUMLAH PENDUDUK KOTA PEKALONGAN TAHUN 2010 Kecamatan Laki-laki Jenis Kelamin Perempuan Jumlah Pekalongan Barat Pekalongan Timur Pekalongan Selatan Pekalongan Utara Jumlah Sumber : BPS Kota Pekalongan, Gambaran Umum Wilayah Pesisir Pembagian Administrasi dan Kondisi Fisik Kecamatan Pekalongan Utara merupakan satu-satunya Kecamatan Pesisir di Kota Pekalongan. Dasar hukum pembentukan Kecamatan Pekalongan Utara adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1988 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan dan Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan dan Kabupaten Daerah Tingkat II Batang. Kota Pekalongan dari semula hanya 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Pekalongan Barat dan Pekalongan Timur dikembangkan menjadi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Pekalongan Barat, Pekalongan Timur, Pekalongan Utara, dan Pekalongan Selatan. Semula Kecamatan Pekalongan Utara terdiri dari 9 kelurahan yaitu: Kelurahan Pabean, Kraton Lor, Dukuh, Bandengan, Kandang Panjang, Panjang

77 64 Wetan, Krapyak Kidul, Krapyak Lor dan Degayu. Namun semenjak 22 Januari 2008, Kelurahan Panjang Wetan dimekarkan menjadi 2 kelurahan yaitu Kelurahan Panjang Wetan dan Panjang Baru (Pemkot Pekalongan). Secara geografis, Kecamatan Pekalongan Utara terletak pada koordinat LS dan BT. Kecamatan Pekalongan Utara merupakan kecamatan pesisir yang berada di sebelah Utara Kota Pekalongan dengan ibukota kecamatan di Kelurahan Panjang Wetan. Adapun batas-batas Kecamatan Pekalongan Utara sebagai berikut: - Utara : Laut Jawa - Selatan : Kecamatan Pekalongan Barat dan Pekalongan Timur - Timur : Kabupaten Batang - Barat : Kabupaten Pekalongan Berdasarkan data dari BPS tahun 2010, luas wilayah Kecamatan Pekalongan Utara adalah Ha. Jumlah penduduk di Kecamatan Pekalongan Utara berdasar Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2011) sebanyak jiwa. Terdapat 6 kelurahan yang mempunyai wilayah garis pantai yaitu Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang, Panjang Wetan, Krapyak Lor, Degayu dan Panjang Baru dengan total panjang pantai ± 6,00 km. Berikut pembagian administrasi masing-masing wilayah kelurahan di Kecamatan Pekalongan Utara: TABEL III.3 PEMBAGIAN WILAYAH ADMINISTRASI KEC. PEKALONGAN UTARA No. Kelurahan Luas (km 2 ) Pantai (km) Keterangan 1. Pabean 1, Kraton Lor 0, Dukuh 0, Bandengan 2,31 0,87 pesisir 5. Kandang Panjang 1,50 1,28 pesisir 6. Panjang Wetan 1,70 1,75 pesisir 7. Krapyak Kidul 0, Krapyak Lor 3,31 1,35 pesisir 9. Degayu 3,48 0,75 pesisir 10. Panjang Baru 1,14 pesisir Jumlah 16,09 6,00 Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, 2008 dan BPS Kota Pekalongan, 2010

78 65 Dalam UN-HABITAT (2012) disebutkan bahwa ketinggian tanah di wilayah Kecamatan Pekalongan Utara berkisar antara 0 sampai dengan 3 m di atas permukaan air laut. Kecamatan Pekalongan Utara tersusun atas dataran aluvial yang merupakan dataran rendah dengan kelerengan datar antara 0-2%. Jenis tanah di Kecamatan Pekalongan Utara adalah aluvial hidromorf di bagian utara, dan di bagian selatan terdiri dari jenis tanah aluvial kelabu kekuningan, aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan, kompleks mediteranian merah, dan litosol. Adapun kedalaman efektif Kecamatan Pekalongan Utara > 150 cm dengan tekstur tanah bervariasi antara halus sampai dengan sedang. Menurut hasil laporan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPGL) (dalam Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, 2008), Pekalongan merupakan kota yang stabil secara tektonik atau dengan kata lain bukan merupakan kota pesisir yang mengalami penurunan tanah. Secara umum, Kecamatan Pekalongan Utara beriklim tropis dengan dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Berdasarkan data tahun 2010 (BPS Pekalongan, 2011), curah hujan tahun 2010 menunjukkan data jumlah hari hujan sebanyak 153 hari dengan curah hujan mm. Curah hujan tertinggi pada bulan Juni 337 mm dan curah hujan terendah pada Bulan November 54 mm dengan suhu antara 29 C - 32 C. Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan (2008) menyebutkan bahwa secara umum iklim di daerah pesisir Kota Pekalongan beriklim tropis dengan temperatur rata-rata berkisar antara C dan tertinggi 32 0 C serta kelembaban udara berkisar antara 64 86%. Arah angin dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup pada siang hari dari utara ke selatan, dan angin darat bertiup pada malam hari dari selatan ke utara, dan juga dipengaruhi oleh angin yang bertiup malam hari dari arah barat daya ke tenggara dengan kecepatan rata-rata 2 knot/jam. Pada bulan Desember Maret bertiup agak kencang dengan kecepatan 3 4 knot/jam yang mengakibatkan gelombang di pantai menjadi besar. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika Semarang (dalam Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, 2008) dinyatakan bahwa kecepatan angin secara umum di pantai utara Jawa adalah 1 3 mil/jam atau 1,6 4,8 km/jam, atau dalam nomor 2 skala

79 66 Beaufort, yang berarti kecepatan angin dikategorikan tidak menjadi faktor perusak tanaman dan bangunan. Sehingga dengan demikian tidak diperlukan bangunan yang canggih atau khusus untuk menghadapi kecepatan angin tersebut Jenis Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di kawasan pesisir Kota Pekalongan menurut Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan (2008) terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1. Kawasan permukiman, sesuai dengan karakteristiknya arah perkembangannya linier, baik secara kreatif direncanakan melalui pengembangan (swasta) maupun non kreatif (tanpa) direncanakan terlebih dahulu dari suatu kawasan lingkungan pemukiman. Pertumbuhan dan perkembangannya terlihat di Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang, dan Panjang Wetan. 2. Lahan pertanian dan tambak, masih dominan terutama di Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang, Krapyak Lor, dan Degayu. Sesuai dengan karakteristiknya Kelurahan Bandengan dan Degayu dapat dikategorikan daerah penyangga/hijau kota. Sebagian besar sampai tahun 2013 merupakan daerah hijau yaitu selain kawasan konservasi pantai juga lahan persawahan dan lahan tambak. 3. Zona industri, cenderung hanya terdapat di Kelurahan Panjang Wetan sebagai peralihan ke arah yang lebih dominan ke zona industri (berupa industri pengeringan ikan (ikan asin). 4. Lahan campuran, lahan ini sangat kuat pertumbuhannya sesuai dengan pola penyebaran dari pusat kota, berada di Kelurahan Panjang Wetan sepanjang jalur Jl. Tentara Pelajar Jl. Kusuma Bangsa dan jalur Jl. Samudera serta jalur Jl. WR. Supratman. 5. Kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP), merupakan kawasan dari fungsi kota yang telah memiliki berbagai fasilitas penunjang atau pendukung, namun demikian rencana pengembangan untuk masa mendatang dalam meningkatkan kualitas hasil tangkap secara fisik dari lokasi sekarang di sebelah timur dengan penambahan ± 2,5 Ha diperuntukkan sebagai Pelabuhan Ikan Higienis.

80 67 6. Lahan konservasi pantai, lahan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap keberadaan lahan sepanjang pantai. Dengan kondisi dan karakteristik pantai Pekalongan pada khususnya. Umumnya pantai Utara Jawa Tengah mengalami perubahan-perubahan akibat adanya abrasi (mundurnya bibir pantai). Upaya penanganan penanggulangan abrasi secara teknis telah dilakukan pada daerah-daerah tertentu khususnya yang berhubungan dengan pengamanan lingkungan permukiman. Sedangkan untuk daerah-daerah terbuka, khususnya daerah tambak lebih dipertahankan ke arah pengembangan kawasan konservasi mangrove dan tanaman pantai lainnya, terutama di daerah Kelurahan Bandengan dan Kandang Panjang. 7. Kawasan rekreasi pantai, kawasan ini meliputi obyek wisata Pasir Kencana yang terintegrasi dengan pelabuhannya serta obyek wisata Pantai Slamaran yang terletak di Kelurahan Degayu dan Kelurahan Krapyak Lor. 8. Lahan terbuka lapangan olah raga, secara umum tersebar hampir di setiap kelurahan baik yang bersifat permanen merupakan fasilitas lingkungan maupun yang bersifat sementara (sebelum dibangun). Selain dari itu jalur hijau serta jalur-jalur jalan termasuk drainase kota yang masih memerlukan penataan secara baik dan terarah sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan berdasar peta penggunaan lahan dari Bappeda Kota Pekalongan yang terdapat pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan tahun 2009, luas pengggunaan lahan untuk permukiman sebesar 31,403% dari luas wilayah kecamatan Pekalongan Utara, jalan sebesar 3,503 %, pertanian sebesar 14,002 %, sungai sebesar 3,92 %, tambak sebesar 40,27%, masjid sebesar 0,12 %, makam sebesar 0,25 %, perkantoran sebesar 0,389 %, ruang terbuka sebesar 0,95 %, lapangan sebesar 0,26 %, industri sebesar 1,47 %, perdagangan dan jasa sebesar 0,406 %, pantai sebesar 0,58 %, taman kota sebesar 0,039 %, gereja sebesar 0,025 %, pura sebesar 0,018 %, pelabuhan perikanan sebesar 1,45 %, pariwisata sebesar 0,689 %, dan TPA sebesar 0,27 %. Dengan demikian, penggunaan lahan yang terbesar adalah tambak dan permukiman. Berikut ini adalah tabel distribusi dan persentase luas per penggunaan lahan di kecamatan Pekalongan Utara tahun Lihat Tabel III.4.

81 68

82 69 Menurut BPS Kota Pekalongan (2011), penggunaan tanah di Kecamatan Pekalongan Utara menunjukkan adanya aglomerasi kegiatan industri dan perkantoran. Aglomerasi kegiatan industri di Kecamatan Pekalongan Utara didukung oleh kebijakan yang ada. Dalam rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan tahun disebutkan bahwa kawasan peruntukan industri besar seluas ± 20 Ha diperuntukkan bagi industri galangan kapal, industri tekstil, dan untuk industri lainnya yang diarahkan di Kelurahan Krapyak Lor dan Degayu; kawasan peruntukan industri menengah seluas ± 10 Ha diperuntukkan pengolahan produk-produk perikanan diarahkan di Kelurahan Panjang Wetan; industri kecil dan mikro meliputi industri batik dan tekstil diarahkan di seluruh sentra batik dan tekstil kota yaitu Kelurahan Pabean; industri pengeringan ikan diarahkan di Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang, Panjang Baru, Panjang Wetan, Krapyak Lor, dan Degayu. Pengembangan kawasan Minapolitan diarahkan di bagian utara Kota Pekalongan yang merupakan wilayah pesisir dengan dukungan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Kondisi perekonomian secara umum di Kecamatan Pekalongan Utara didukung oleh sektor pertanian, perikanan, industri, dan pariwisata. Sektor pertanian meliputi sawah dan tegalan. Sektor perikanan meliputi perikanan tangkap dan budidaya. Pada penggunaan tanah tambak dimanfaatkan untuk budidaya ikan payau yaitu ikan bandeng. Pada industri aneka pangan, salah satu yang dilakukan adalah pengolahan ikan hasil laut maupun hasil tambak. Sektor industri terdiri dari industri pengolahan perikanan, industri tekstil, industri maritim dan industri kecil. Industri pengolahan perikanan meliputi pengasinan, pemindangan, pengasapan, dan pengalengan. Industri tekstil meliputi industri batik dan garmen. Industri maritim lainnya meliputi industri galangan kapal dan industri pendukung pesisir lainnya. Industri kecil yang berkembang meliputi industri kerajinan batik dalam skala besar maupun skala kecil dan industri pengolahan perikanan dan pertanian. Kegiatan pariwisata di Kecamatan Pekalongan Utara meliputi wisata bahari, wisata kuliner, dan wisata budaya (UN-HABITAT, 2012; BPS Kota Pekalongan, 2011). Beberapa penggunaan taman dan pasir pantai merupakan kelengkapan dalam kawasan wisata dimanfaatkan untuk sarana rekreasi. Beberapa ruas jalan

83 70 juga dimanfaatkan untuk kegiatan berjualan bagi sektor informal, khususnya pada malam hari yaitu di ruas Jl. Imam Bonjol, Jl. Diponegoro dan Jl. WR. Supratman. Adapun aktivitas sektor informal di Lapangan Jetayu hanya pada waktu-waktu tertentu seperti pada event-event sosial budaya (BPS Kota Pekalongan, 2011). TABEL III.5 PDRB KOTA PEKALONGAN TAHUN (JUTA RP) No Sektor Tahun Persentase (%) 1. Pertanian , , ,41 7,70 2. Pertambangan dan Galian - 3. Industri Pengolahan , , ,81 20,37 4. Listrik, Gas dan Air Bersih , , ,01 1,15 5. Bangunan , , ,68 13,35 6. Perdagangan , , ,82 27,29 7. Pengangkutan dan , , ,14 10,06 Komunikasi 8. Lembaga Keuangan, Persewaan dan , , ,05 6,97 Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa , , ,25 13,10 PDRB , , ,17 100,00 Sumber : BPS Kota Pekalongan, Adapun pengembangan pusat kota diarahkan untuk mengembangkan kawasan pusat kota yaitu Kawasan Jetayu dan sekitarnya. Sedangkan pengembangan ekonomi batik diarahkan pada sentra-sentra pembuatan batik dan koridor Jl. Dr. Soetomo. Demikian pula dengan kawasan perkantoran terdapat di kawasan Jl. WR. Supratman, Jl. Kusuma Bangsa, Jetayu, Kelurahan Panjang Wetan, Jl. Imam Bonjol, Kelurahan Kraton Lor, Jl. Diponegoro, Kelurahan Dukuh. Beberapa perkantoran yang terdapat di ruas jalan tersebut antara lain kantor-kantor pemerintah, perbankan, kantor Polwil dan Polresta (BPS Kota

84 71 Pekalongan, 2010). Berdasarkan Keputusan Kementerian Perikanan dan Kelautan Nomor KEP 32/2010 tanggal 14 Mei 2010, Kota Pekalongan telah ditetapkan sebagai kawasan Minapolitan. Penetapan ini dikuatkan dengan Keputusan Walikota Pekalongan nomor 523/138 tahun 2010 tentang penetapan Kawasan Minapolitan Kota Pekalongan. Zona inti pengembangan kawasan minapolitan adalah Pelabuhan Perikanan Nasional Pekalongan, Kecamatan Pekalongan Utara sebagai zona pendukung dan wilayah lain sebagai zona terkait. Selain itu, berdasar Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 30 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun , disebutkan bahwa tujuan penataan ruang wilayah Kota Pekalongan adalah terwujudnya kota jasa, industri dan perdagangan batik, serta minapolitan yang maju, mandiri, dan sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, strategi pembangunan Kota Pekalongan diarahkan untuk pengembangan minapolitan, penataan kawasan pusat kota, dan pengembangan ekonomi batik sehingga dikenal dengan jargon Pekalongan Kota Mina Batik Kondisi Permukiman Di dalam Laporan Akhir tahun 2008 mengenai Penyusunan Rencana Zonasi Pesisir Pekalongan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, disebutkan bahwa keadaan perumahan di kawasan pantai Pekalongan pada tahun 2005 sebanyak rumah, dengan perinciannya sebagai berikut: Rumah bangunan permanen sebanyak rumah (67,77 %). Rumah bangunan semi permanen sebanyak rumah (20,04 %) Rumah bangunan non permanen sebanyak rumah (12,19 %) Keadaan perumahan tersebut, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Penilaian terhadap kualitas bangunan perumahan diantaranya dibedakan atas kualitas dinding rumah, atap rumah dan lantainya. Kawasan permukiman di Kecamatan Pekalongan Utara selain digunakan untuk tempat tinggal juga banyak dimanfaatkan untuk tempat usaha, toko kelontong, warung, dan kerajinan batik rumahan.

85 Kondisi Aksesibilitas Berdasar data dari BPS Kota Pekalongan dalam laporan Kota Pekalongan dalam Angka (2010), panjang jalan di Kota Pekalongan pada tahun 2010 mencapai 146,27 km, yang statusnya dibedakan menjadi jalan negara sepanjang 10,73 km, jalan propinsi 4,22 km, dan jalan kota sepanjang 131,32 km. Jenis jalan negara beraspal dan merupakan jalan kelas I dengan kondisi baik (8,3 km) dan rusak (2,43 km). Jalan propinsi merupakan jalan kelas I dengan jenis jalan beraspal dan sebagian besar kondisinya rusak. Sedangkan jalan kota merupakan jalan kelas I, II, dan III dengan kondisi jalan sebagian besar baik (62,87 km) dan beraspal (121,78 km) Kondisi Prasarana Berdasar dari Laporan Akhir tahun 2008 mengenai Penyusunan Rencana Zonasi Pesisir Pekalongan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, disebutkan bahwa listrik sebagai alat penerangan yang murah, efisien dan modern, bukan merupakan barang yang langka lagi bagi masyarakat di kawasan pesisir Kota Pekalongan, yang dibuktikan dengan telah terpasangnya jaringan listrik yang berfungsi di setiap wilayah kelurahan yang ada dalam kawasan pesisir Kota Pekalongan. Keseluruhan penggunaan tenaga listrik di wilayah ini disediakan oleh PLN. Namun, beberapa industri melengkapi diri dengan generator tambahan untuk keperluan cadangan kebutuhan listrik mereka sendiri sesuai dengan kapasitas yang mereka butuhkan. Lebih lanjut dari Laporan Akhir tahun 2008 mengenai Penyusunan Rencana Zonasi Pesisir Pekalongan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, disebutkan mengenai kebutuhan masyarakat di kawasan pesisir Kota Pekalongan dalam hal pengadaan air bersih, dipenuhi melalui 2 cara, yaitu PDAM dan non PAM. PDAM memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat dengan membuat jaringan air bersih yang meliputi hampir seluruh kelurahan di wilayah pesisir. Bagi masyarakat yang belum teraliri jaringan air bersih PDAM, memperoleh air bersih dengan memanfaatkan air tanah atau sumber air yang ada dengan cara sumur gali dangkal secara individual atau kelompok-kelompok kecil yang keberadaannya merata di seluruh kelurahan.

86 73 Selain itu, pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum membantu pengadaan sumur dalam (sumur bor semi artesis) yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat dalam lingkup RW. Pemerintah memberi bantuan pengadaan/pengerjaan pengeboran sampai kedalaman ± m di bawah permukaan tanah serta penyediaan menara air dengan ketinggian ± m di atas permukaan tanah Kondisi Banjir Rob Wilayah Kecamatan Pekalongan Utara merupakan wilayah di Kota Pekalongan yang rawan banjir. Laporan Akhir tahun 2008 mengenai Penyusunan Rencana Zonasi Pesisir Pekalongan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, disebutkan bahwa dari 10 kelurahan yang berada di Kecamatan Pekalongan Utara, 9 kelurahan merupakan daerah yang sering mengalami banjir antara lain Kelurahan Pabean, Dukuh, Bandengan, Kandang Panjang, Panjang Wetan, Krapyak Kidul, Krapyak Lor, Degayu, dan Panjang Baru. Banjir yang melanda Kecamatan Pekalongan Utara disebabkan oleh lokasinya yang memang berada di dataran rendah ditambah dengan adanya air laut pasang (rob). Kondisi 5 sungai yaitu Sungai Pekalongan, Bremi, Kalibanger, Asem Binatur, dan Meduri yang mengalir di Kota Pekalongan mengalami pendangkalan pada beberapa bagian. Pada saat musim penghujan, kapasitas sungai tidak mampu menampung debit air yang tinggi sehingga meluap dan menggenangi wilayah di sekitarnya. Banjir rob biasanya terjadi antara jam hingga jam siang dan jam dini hari hingga menjelang matahari terbit jam pagi. Ketinggian rob bisa mencapai cm. Pada musim penghujan, rob diperparah dengan curah hujan yang tinggi sehingga banjir dapat mencapai genangan setinggi 1 meter. Seringnya beberapa wilayah permukiman dilanda banjir rob, menyebabkan wilayah permukiman tersebut becek, berlumut dan licin. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan yang berimplikasi pada rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Bahkan, dengan adanya kenaikan muka air laut akibat pemanasan global yang semakin parah, pemerintah telah membuat bangunan tanggul penahan gelombang dan membudidayakan kembali keberadaan hutan mangrove, namun dirasa kurang mampu membendung kerusakan yang disebabkan

87 gelombang pasang air laut karena tetap kalah tinggi dari pasang air laut (Pemkot Pekalongan). 74 Sumber : Dokumentasi Peneliti, GAMBAR 3.2 KERUSAKAN INFRASTRUKTUR AKIBAT ROB Selain itu, banjir rob yang melanda kawasan pesisir Kota Pekalongan tidak hanya menggenangi permukiman, tetapi juga merendam kawasan pertanian, tambak, dan berbagai fasilitas umum. Banjir rob yang melanda kawasan pertanian menyebabkan gagal panen. Lahan pertanian yang terendam air rob menjadi terbengkalai karena kandungan garam yang cukup tinggi sehingga tanah tidak bisa diolah lagi secara optimal. Banjir rob yang melanda tambak menyebabkan ikan yang dibudidayakan terlepas dari areal tambak dan hilang. Demikian pula banjir rob yang melanda permukiman menyebabkan tingginya tingkat kerentanan kesehatan dan sosial ekonomi akibat genangan. Genangan tersebut juga menyebabkan kerusakan infrastruktur yang akan berdampak pada bertambahnya pengeluaran masyarakat untuk memperbaiki rumah dan fasilitas perekonomian

88 mereka untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir (Bappeda Kota Pekalongan, 2009) Kondisi Sosial Menurut Laporan Akhir Penyusunan Rencana Zonasi Pesisir Pekalongan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan (2008), kondisi sosial secara umum di Kecamatan Pekalongan Utara memperlihatkan bahwa masyarakatnya masih memiliki jiwa gotong-royong yang baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk gotong-royong di lingkungan masyarakat seperti pada saat membangun rumah atau acara kerja bakti membersihkan lingkungan. Masyarakat di kawasan pesisir Kota Pekalongan hampir tidak pernah mengalami konflik sosial yang parah atau berkepanjangan karena masyarakatnya masih mempunyai jiwa kebersamaan dan gotong-royong yang kuat. Selain itu, mereka juga masih rutin mengadakan pertemuan antar warga seperti acara kelurahan, kegiatan keagamaan, maupun perkumpulan kepemudaan.

89 76

90 77 BAB IV ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN 4.1 Identifikasi Fungsi Lahan Secara umum, fungsi pemanfaatan lahan diklasifikasikan menjadi tiga kawasan, yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan budidaya. Oleh karena itu, penelitian ini di awali dengan melakukan identifikasi kesesuaian pemanfaatan lahan lokasi studi dengan tiga parameter dasar berupa kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan. Sesuai klasifikasi kemiringan lereng dan skoring berdasar SK Mentan No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981, maka diperoleh hasil bahwa kemiringan lahan di wilayah kecamatan Pekalongan Utara berada pada kelas I dengan kemiringan 0-8%, yang dideskripsikan sebagai wilayah datar. Sedangkan data jenis tanah menunjukkan bahwa kecamatan Pekalongan Utara merupakan wilayah berklasifikasi jenis tanah aluvial kelas I dengan deskripsi tidak peka terhadap erosi, dan jenis tanah mediteran yang merupakan kelas III dengan dskripsi agak peka terhadap erosi. Selanjutnya, dari data intensitas curah hujan diperoleh hasil bahwa kecamatan Pekalongan Utara berklasifikasi intensitas curah hujan klas III sebanyak mm/tahun dengan deskripsi sedang. Hasil pengolahan data dengan mengikuti ketentuan skoring dari SK Mentan No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981, yaitu masing-masing nilai kelas parameter dikalikan dengan bobot 20 untuk parameter lereng, bobot 15 untuk parameter jenis tanah, dan bobot 10 untuk parameter intensitas hujan. Dari pengolahan ketiganya, diperoleh hasil skor lahan yang menunjukkan bahwa lahan di kecamatan Pekalongan Utara merupakan kawasan budidaya dan boleh dimanfaatkan sebagai lahan permukiman. Pengolahan ketiga parameter tersebut dilakukan dengan software ArcGIS menggunakan analysis tool berupa overlay dan skoring sesuai ketentuan SK Mentan No. 837/KPTS/Um/11/1980 dan No. 683/KPTS/UM/8/1981. Berikut ini tabel hasil identifikasi fungsi lahan berdasar parameter kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan. Lihat Tabel IV.1.

91 78 TABEL IV.1 HASIL IDENTIFIKASI FUNGSI LAHAN No. Jenis Tanah Skor Tanah Klas Lereng Skor Lereng Hujan (mm/tahun) Skor Hujan Skor Lahan 1 Aluvial 15 0% 8% Mediteran 45 0% 8% Sumber : Hasil Analisis, Selanjutnya dilakukan pula identifikasi dan analisis terhadap sempadan pantai dan sungai besar yang ada di lokasi studi. Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990, sempadan pantai dan sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan setempat yang berfungsi untuk melindungi kawasan tersebut dari kegiatan budidaya oleh manusia yang dapat mengganggu kelestarian fungsi dari tiap kawasan sesuai karakteristiknya sehingga tidak boleh digunakan sebagai lahan budidaya. Pengolahan parameter ini dengan analysis tool berupa buffering sungai besar sejauh 15m dan buffering garis pantai sejauh 100m, sehingga menghasilkan peta sempadan sungai dan sempadan pantai. Selanjutnya, dilakukan analisis berupa overlay sempadan pantai dan sungai terhadap peta identifikasi fungsi lahan berdasar parameter kelerengan, jenis tanah, dan intensitas hujan. Analisis overlay sempadan sungai dan sempadan pantai ini menemukan hasil sebagai berikut: TABEL IV.2 KAWASAN LINDUNG DAN BUDIDAYA No. Fungsi Kawasan Luas (Ha) Total Luas (Ha) 1. Kawasan Budidaya 1.467, ,84 2. Kawasan Lindung 147,63 Sumber : Hasil Analisis, Dengan demikian, analisis fungsi lahan menunjukkan hasil bahwa di wilayah kecamatan Pekalongan Utara terdapat dua jenis kawasan yaitu kawasan budidaya seluas 1.467,21 ha dan kawasan lindung berupa sempadan pantai dan sempadan sungai seluas 147,63 ha. Sehingga, mayoritas lahan di kecamatan Pekalongan Utara bisa dijadikan lahan permukiman. Lihat Gambar 4.1.

92 79 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.1 PETA KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Selanjutnya, pembatasan kawasan lindung dan budidaya ini akan dipakai dan dikenakan terhadap setiap aspek yang akan dianalisis selanjutnya dalam penelitian evaluasi kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan ini. 4.2 Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Aspek Fisik Lahan Analisis aspek fisik lahan ini dilakukan dengan analysis tool berupa overlay peta kelerengan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan untuk mendapatkan klasifikasi kesesuaian lahan permukiman berdasar aspek fisik lahan. Klasifikasi pada analisis kesesuaian lahan berdasar aspek fisik lahan ini dijadikan lima kelas, yaitu: S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai), N1 (tidak sesuai sementara), dan N2 (tidak sesuai permanen). Sedangkan skoring yang digunakan adalah S1 = 5, S2 = 4, S3 = 3, N1 = 2, dan N2 = 1. Berikut ini

93 tabel klasifikasi dan skoring parameter kelerengan, jenis tanah, dan intensitas hujan untuk analisis kesesuaian aspek fisik lahan. 80 TABEL IV.3 KLASIFIKASI DAN SKORING ASPEK FISIK LAHAN Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 No. Parameter Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen 1. Kelerengan 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 2. Jenis Tanah Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V 3. Int. Curah Hujan >4.000 Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Berikut ini gambaran langkah análisis dalam aspek kondisi fisik lahan: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.2 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS ASPEK FISIK LAHAN Pengolahan data setiap parameter pada aspek kondisi fisik lahan ini memperoleh hasil peta masing-masing parameter sebagai berikut:

94 81 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.3 PETA PARAMETER KEMIRINGAN LAHAN Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.4 PETA PARAMETER JENIS TANAH

95 82 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.5 PETA PARAMETER CURAH HUJAN Dengan demikian, berdasar ketiga parameter tersebut dan melalui langkah análisis berupa overlay dan reclass diperoleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa mayoritas lahan di kecamatan Pekalongan Utara bisa dijadikan lahan permukiman dengan klasifikasi sangat sesuai dan sesuai. Berikut ini hasil análisis kesesuaian lahan aspek fisik lahan. TABEL IV.4 KESESUAIAN ASPEK FISIK LAHAN Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 1.252,67 S2 Sesuai 214,54 S3 Kurang Sesuai - N1 Tidak Sesuai Sementara - N2 Tidak Sesuai Permanen - Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21

96 83 TABEL IV.5 KESESUAIAN ASPEK FISIK LAHAN PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Pabean 109,37 Panjang Wetan 143,24 Krapyak Lor 255,94 Degayu 164,16 Dukuh 43,35 Krapyak Kidul 36,81 Kandang Panjang 141,15 Panjang Baru 102,38 Kraton Lor 33,27 Bandengan 223,02 Krapyak Lor 32,37 Degayu 158,81 Krapyak Kidul 23, ,67 214,54 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Sementara Tidak Sesuai Permanen Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan aspek fisik lahan dapat dilihat pada Gambar 4.6.

97 84 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.6 PETA KESESUAIAN LAHAN ASPEK FISIK LAHAN

98 Aspek Aksesibilitas Analisis aspek aksesibilitas ini dilakukan dengan analysis tool berupa buffering peta jaringan jalan sebagai bentuk aksesibilitas. Jaringan jalan kolektor dan arteri dijadikan sebagai dasar analisis dalam penelitian ini karena memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Namun, dikarenakan tidak adanya jalan arteri yang melintasi wilayah studi, maka jaringan jalan yang dipakai hanya jaringan jalan kolektor saja. Penelitian ini mengklasifikasikan jarak lahan dari jaringan jalan kolektor menjadi lima kelas, yaitu kurang dari 500m sangat dekat dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai, m dekat dengan tingkat kesesuaian sesuai, m sedang dengan tingkat kesesuaian kurang sesuai, m jauh dengan tingkat kesesuaian tidak sesuai sementara, dan lebih 2.000m berdeskripsi sangat jauh dengan tingkat kesesuaian tidak sesuai permanen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin dekat jarak jalan dengan kawasan permukiman maka akan semakin tinggi kualitas aksesibilitasnya. Berikut ini gambaran langkah análisis dalam aspek aksesibilitas lahan: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.7 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS ASPEK AKSESIBILITAS Berikut ini tabel klasifikasi dan skoring jaringan jalan kolektor untuk analisis kesesuaian aspek aksesibilitas lahan. Lihat Tabel IV.6.

99 86 TABEL IV.6 KLASIFIKASI DAN SKORING ASPEK AKSESIBILITAS Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 No. Parameter Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen 1. Jar. Jalan <500 m >2.000 m Kolektor m m m Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Pengolahan data parameter jaringan jalan kolektor pada aspek aksesibilitas ini memperoleh hasil peta sebagai berikut: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.8 PETA PARAMETER JARINGAN JALAN KOLEKTOR

100 87 Dengan demikian, berdasar parameter jaringan jalan kolektor dan melalui langkah análisis berupa buffer, diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan permukiman dalam aspek aksesibilitas lahan sebagai berikut. TABEL IV.7 KESESUAIAN ASPEK AKSESIBILITAS Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 842,68 S2 Sesuai 219,70 S3 Kurang Sesuai 210,98 N1 Tidak Sesuai Sementara 100,30 N2 Tidak Sesuai Permanen 93,60 Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21 TABEL IV.8 KESESUAIAN ASPEK AKSESIBILITAS PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Kurang Sesuai Panjang Wetan 136,75 Krapyak Lor 236,01 Degayu 239,02 Dukuh 32,33 Krapyak Kidul 36,80 Kandang Panjang 47,95 Panjang Baru 79,69 Kraton Lor 22,70 Bandengan 11,44 Krapyak Lor 48,13 Degayu 13,24 Krapyak Kidul 8,97 Pabean 14,67 Panjang Wetan 4,96 Dukuh 10,92 Kandang Panjang 51,09 Panjang Baru 22,69 Kraton Lor 10,64 Bandengan 34,40 Degayu 70,72 Krapyak Lor 4,17 Krapyak Kidul 14,39 842,68 219,70 210,98

101 Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Tidak Sesuai Sementara Tidak Sesuai Permanen Pabean 22,30 Panjang Wetan 1,52 Dukuh 0,09 Kandang Panjang 39,87 Bandengan 57,91 Pabean 12,85 Kandang Panjang 2,24 Bandengan 85,21 Pabean 59,55 Bandengan 34, ,30 93,60 Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan aspek aksesibilits dapat dilihat pada Gambar 4.9.

102 89 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.9 PETA KESESUAIAN LAHAN ASPEK AKSESIBILITAS

103 Aspek Prasarana Lingkungan Dalam evaluasi kesesuaian lahan permukiman, aspek prasarana lingkungan perlu untuk dikaji karena menjadi penunjang keberadaan permukiman di suatu lokasi. Semakin lengkap ketersediaan prasarananya, maka akan semakin baik dalam menunjang kenyamanan bertempat tinggal. Di dalam kajian ini, prasarana yang dijadikan parameter adalah jaringan air bersih dan jaringan listrik. Penentuan kelas jarak lahan dari prasarana lingkungan yang meliputi prasarana air bersih dan prasarana listrik di bagi ke dalam 5 kelas kesesuaian, yaitu sangat dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh. Berikut ini tabel klasifikasi dan skoring jaringan listrik dan air bersih untuk analisis kesesuaian aspek prasarana lingkungan. TABEL IV.9 KLASIFIKASI DAN SKORING ASPEK PRASARANA LINGKUNGAN Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 No. Parameter Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen Jar. Listrik <500 m >2.000 m m m m Jar. Air <500 m >2.000 m Bersih m m m Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Analisis aspek prasarana lingkungan ini dilakukan dengan analysis tool berupa buffering peta jaringan listrik dan jaringan air bersih sesuai dengan kelas kesesuaian yang telah ditentukan. Selanjutnya, di analisis dengan overlay untuk mendapatkan hasil analisis kesesuaian lahan dari aspek prasarana lingkungan. Berikut ini gambaran langkah análisis dalam aspek prasarana lingkungan. Lihat Gambar 4.10.

104 91 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.10 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS ASPEK PRASARANA LINGKUNGAN Pengolahan data setiap parameter pada aspek prasarana lingkungan ini memperoleh hasil peta masing-masing parameter sebagai berikut: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.11 PETA PARAMETER JARINGAN AIR BERSIH

105 92 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.12 PETA PARAMETER JARINGAN LISTRIK Dengan demikian, berdasar parameter jaringan air bersih dan jaringan listrik tersebut dan melalui langkah análisis berupa buffer, overlay, dan dilanjutkan dengan reclass diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan aspek prasarana lingkungan sebagai berikut. TABEL IV.10 KESESUAIAN ASPEK PRASARANA LINGKUNGAN Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 1.047,23 S2 Sesuai 195,98 S3 Kurang Sesuai 129,90 N1 Tidak Sesuai Sementara 4,12 N2 Tidak Sesuai Permanen 89,98 Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21

106 93 TABEL IV.11 KESESUAIAN ASPEK PRASARANA PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Kurang Sesuai Pabean 42,32 Panjang Wetan 143,24 Krapyak Lor 286,35 Degayu 173,03 Dukuh 43,35 Krapyak Kidul 50,17 Kandang Panjang 97,00 Panjang Baru 102,38 Kraton Lor 33,27 Bandengan 76,13 Pabean 7,76 Krapyak Lor 1,96 Degayu 102,00 Krapyak Kidul 10,00 Kandang Panjang 36,39 Bandengan 37,86 Degayu 47,94 Kandang Panjang 7,76 Bandengan 74, ,23 195,98 129,90 Tidak Sesuai Sementara Bandengan 4,12 4,12 Tidak Sesuai Permanen Pabean 59,28 Bandengan 30,70 89,98 Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan aspek prasarana lingkungan dapat dilihat pada Gambar 4.13.

107 94 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.13 PETA KESESUAIAN LAHAN ASPEK PRASARANA LINGKUNGAN

108 Aspek Bencana Banjir Rob Analisis aspek ini dilakukan dengan cara melakukan overlay parameter yang dianggap berpengaruh terhadap banjir rob di wilayah penelitian, yaitu berupa parameter kedalaman banjir rob, lama genangan banjir rob, tekstur tanah, kemampuan drainase tanah, dan kontur. Parameter kedalaman banjir menghasilkan pengaruh bahwa semakin dalam genangan banjir di lokasi, maka semakin tidak sesuai, dan sebaliknya apabila kedalaman banjir semakin dangkal atau bahkan tidak terkena banjir maka semakin sesuai. Parameter lama genangan memperlihatkan bila semakin lama genangan, maka semakin tidak sesuai, dan sebaliknya makin cepat surut semakin sesuai. Sedangkan parameter tekstur tanah dan drainase tanah mempengaruhi kecepatan surut suatu genangan, sehingga kedua parameter tersebut juga dianggap mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan terhadap aspek banjir rob. Begitu pula dengan parameter kontur tanah, semakin tinggi lahan dari titik nol di atas permukaan air laut, maka semakin rendah kemungkinan terkena banjir rob. Analisis aspek banjir rob ini dilakukan dengan analysis tool berupa overlay dan reclass untuk mendapatkan hasil analisis kesesuaian lahan dari aspek banjir rob. Berikut ini gambaran langkah análisis dalam aspek banjir rob: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.14 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS ASPEK BANJIR ROB

109 Sedangkan klasifikasi dan skoring untuk analisis ksesuaian lahan ditinjau dari aspek bencana banjir rob ini dapat dilihat pada Tabel IV.12 berikut ini. 96 TABEL IV.12 KLASIFIKASI DAN SKORING ASPEK BENCANA BANJIR ROB No. Parameter Lama Genangan Dalam Genangan Tekstur Tanah Drainase Tanah Kontur Tanah Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen 0 jam 1-3 jam 4-24 jam >24 jam Tidak Surut 0 m <0.76 m Kasar Porous Agak Kasar Tergenang Periodik m Sedang Tergenang sesudah Hujan m >2 m Agak Halus Tergenang Periodik 1-3 Bln Halus Tergenang Periodik 3-6 Bln 4-5 m 3-4 m 2-3 m 1-2 m 0-1 m Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Pengolahan data setiap parameter pada aspek banjir rob ini memperoleh hasil peta masing-masing parameter sebagai berikut. Peta kedalaman genangan lihat Gambar Peta lama genangan lihat Gambar Peta tekstur tanah lihat Gambar Peta kemampuan drainase tanah lihat Gambar Peta kontur tanah lihat Gambar 4.19.

110 97 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.15 PETA PARAMETER KEDALAMAN GENANGAN ROB Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.16 PETA PARAMETER LAMA ROB

111 98 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.17 PETA PARAMETER TEKSTUR TANAH Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.18 PETA PARAMETER DRAINASE TANAH

112 99 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.19 PETA PARAMETER KONTUR TANAH Dengan demikian, berdasar kelima parameter tersebut dan melalui langkah análisis berupa overlay dan reclass diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan ditinjau dari aspek bencana banjir rob sebagai berikut. TABEL IV.13 KESESUAIAN ASPEK BENCANA BANJIR ROB Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai - S2 Sesuai 1.150,31 S3 Kurang Sesuai 316,80 N1 Tidak Sesuai Sementara 0,18 N2 Tidak Sesuai Permanen - Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21

113 TABEL IV.14 KESESUAIAN ASPEK BENCANA BANJIR ROB PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) 100 Sangat Sesuai Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai Sementara Pabean 101,02 Panjang Wetan 142,58 Krapyak Lor 213,77 Degayu 252,83 Dukuh 43,33 Krapyak Kidul 60,14 Kandang Panjang 122,94 Panjang Baru 95,01 Kraton Lor 33,29 Bandengan 68,45 Krapyak Lor 62,65 Degayu 65,15 Kandang Panjang 18,21 Panjang Baru 7,31 Bandengan 154,47 Pabean 0,10 Krapyak Kidul 0,01 Bandengan 0, ,31 316,80 0,18 Tidak Sesuai Permanen Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan aspek bencana banjir rob dapat dilihat pada Gambar 4.20.

114 101 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.20 PETA KESESUAIAN LAHAN ASPEK BANJIR ROB

115 Aspek Sosial Analisis parameter ini dilakukan dengan cara melakukan overlay parameter sosial yang dianggap berpengaruh terhadap kesesuaian lahan di lokasi penelitian. Parameter yang diikutsertakan adalah ikatan sosial, interaksi sosial, lama tinggal, dan kualitas air bersih. Parameter ikatan sosial memperlihatkan ada atau tidak keluarga responden di lokasi permukimannya, sedangkan parameter interaksi sosial memperlihatkan frekwensi pertemuan masyarakat, parameter lama tinggal menunjukkan masa waktu tinggal responden di lokasi permukimannya, dan parameter kualitas air bersih mendata keadaan air bersih yang dimiliki responden. Keseluruhan parameter ini merupakan data primer dengan cara memberikan kuesioner kepada masyarakat. Nilai yang ada di dalam setiap parameter tersebut menjadi dasar atau input untuk dijabarkan menjadi data spasial yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan ditinjau dari aspek sosial. Berikut ini gambaran langkah análisis dalam aspek sosial: Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.21 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS ASPEK SOSIAL Skoring untuk analisis kesesuaian lahan ditinjau dari aspek sosial ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kesesuaian tinggi (skor 3), kesesuaian sedang (skor 2), dan kesesuaian rendah (skor 1). Selanjutnya, dilakukan reclass menjadi lima kelas atau tingkatan, yaitu sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai, tidak sesuai sementara, dan tidak sesuai permanen. Setelah itu, dilakukan

116 103 analisis overlay untuk menemukan hasil analisis kesesuaian lahan dalam aspek sosial. Berikut ini tabel skoring untuk analisis kesesuaian lahan ditinjau dari aspek sosial. TABEL IV.15 KLASIFIKASI DAN SKORING ASPEK SOSIAL No. Parameter Ikatan Sosial Interaksi Sosial Lama Tinggal Kualitas Air Bersih Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Pengolahan data setiap parameter pada aspek sosial ini memperoleh hasil peta masing-masing parameter sebagai berikut. Peta ikatan sosial lihat Gambar Peta interaksi sosial lihat Gambar Peta lama tinggal lihat Gambar Peta kualitas air bersih lihat Gambar 4.25.

117 104 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.22 PETA PARAMETER IKATAN SOSIAL Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.23 PETA PARAMETER KEGIATAN SOSIAL

118 105 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.24 PETA PARAMETER LAMA TINGGAL Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.25 PETA PARAMETER KUALITAS AIR BERSIH

119 106 Dengan demikian, berdasar empat parameter tersebut dan melalui langkah análisis berupa overlay dan reclass diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan ditinjau dari aspek sosial sebagai berikut. TABEL IV.16 KESESUAIAN ASPEK SOSIAL Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 109,37 S2 Sesuai 511,35 S3 Kurang Sesuai 628,81 N1 Tidak Sesuai Sementara 217,77 N2 Tidak Sesuai Permanen - Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21 TABEL IV.17 KESESUAIAN ASPEK SOSIAL PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Pabean 109, ,23 Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai Sementara Bandengan 223,02 Krapyak Lor 288,30 Panjang Wetan 143,24 Degayu 322,97 Krapyak Kidul 60,17 Panjang Baru 102,38 Kraton Lor 33,27 Kandang Panjang 141,15 Dukuh 43,33 511,35 628,81 217,76 Tidak Sesuai Permanen Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Sedangkan hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan aspek sosial dapat dilihat pada Gambar 4.26.

120 107 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.26 PETA KESESUAIAN LAHAN ASPEK SOSIAL

121 Kesesuaian Lahan Permukiman Ditinjau dari Seluruh Aspek Analisis berikutnya adalah kesesuaian lahan permukiman ditinjau dari keseluruhan aspek yang menjadi pertimbangan. Dengan keseluruhan aspek ini, penelitian akan menemukan pengaruh keseluruhan aspek yang diikutsertakan terhadap kesesuaian lahan sebagai permukiman. Langkah analisisnya adalah dengan melakukan re-scoring terlebih dahulu untuk menyamakan skor masing-masing aspek menjadi lima klas yang bernilai sama, kemudian dilanjutkan dengan analisis overlay trhadap keseluruhan aspek kesesuaian lahan yang ditinjau. Skoring untuk analisis kesesuaian lahan ditinjau dari keseluruhan aspek ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. TABEL IV.18 KLASIFIKASI DAN SKORING SELURUH ASPEK Klasifikasi dan Skoring S1=5 S2=4 S3=3 N1=2 N2=1 No. Parameter Tidak Tidak Sangat Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sementara Permanen 1. Fisik Lahan Aksesibilitas Prasarana Banjir Rob Sosial Interval Skor Sumber : Hasil Analisis, Sedangkan gambaran langkah análisis untuk keseluruhan aspek yang ditinjau dalah sebagai berikut. Lihat Gambar 4.27.

122 109 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.27 DIAGRAM LANGKAH ANALISIS SELURUH ASPEK Pengolahan data setiap aspek yang ditinjau telah dibahas dan menghasilkan peta masing-masing aspek. Peta kesesuaian lahan aspek fisik lahan lihat Gambar 4.6. Peta kesesuaian lahan aspek aksesibilitas lihat Gambar 4.9. Peta kesesuaian lahan aspek prasarana lingkungan lihat Gambar Peta kesesuaian lahan aspek bencana banjir rob lihat Gambar Peta kesesuaian lahan aspek sosial lihat Gambar Setelah dilakukan tindakan analisis dengan cara re-scoring dan overlay terhadap keseluruhan aspek yang ditinjau, penelitian ini memperoleh hasil sebagai berikut. TABEL IV.19 KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DARI SELURUH ASPEK Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 199,73 S2 Sesuai 1.011,78 S3 Kurang Sesuai 238,45 N1 Tidak Sesuai Sementara 17,26 N2 Tidak Sesuai Permanen - Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 1.467,21

123 110 TABEL IV.20 KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DARI SELURUH ASPEK PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Kurang Sesuai Pabean 14,67 Krapyak Lor 173,67 Bandengan 11,39 Pabean 35,35 Panjang Wetan 143,22 Krapyak Lor 114,69 Degayu 284,33 Dukuh 43,33 Krapyak Kidul 60,15 Kandang Panjang 99,10 Panjang Baru 102,38 Kraton Lor 33,29 Bandengan 95,94 Pabean 59,35 Degayu 38,64 Kandang Panjang 42,04 Bandengan 98,42 199, ,78 238,45 Tidak Sesuai Sementara Bandengan 17,26 17,26 Tidak Sesuai Permanen Sumber : Hasil Analisis, , ,21 Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan ditinjau dari seluruh aspek dapat dilihat pada Gambar 4.28.

124 111 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.28 PETA KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DARI SELURUH ASPEK

125 Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Tahun 2009 Analisis ini adalah tahapan untuk melakukan pengecekan kesesuaian lahan permukiman yang telah ada berdasar pada peta tata guna lahan permukiman RTRW Kota Pekalongan tahun 2009, ditinjau atau dicocokkan dengan kesesuaian lahan permukiman berdasar seluruh parameter yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian akan diketemukan apakah tata guna lahan di Kota Pekalongan khususnya di wilayah pesisir (Kecamatan Pekalongan Utara) tahun 2009 telah sesuai dengan keseluruhan aspek yang menjadi pertimbangan. Berikut ini hasil análisis evaluasi kesesuaian lahan permukiman kecamatan Pekalongan Utara ditinjau dari aspek fisik lahan, aksesibilitas, prasarana lingkungan, banjir rob, dan sosial. Lihat Tabel IV.21 dan Tabel IV.22. Sedangkan hasil analisis berupa peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar TABEL IV.21 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN THN 2009 Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 85,64 S2 Sesuai 503,89 S3 Kurang Sesuai - N1 Tidak Sesuai Sementara - N2 Tidak Sesuai Permanen 25,18 Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 614,71 TABEL IV.22 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN THN 2009 PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Pabean 6,32 Krapyak Lor 70,64 Bandengan 8,67 Pabean 25,39 Panjang Wetan 101,35 85,64 503,89

126 Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Krapyak Lor 27,90 Panjang Baru 65,52 Bandengan 35,47 Degayu 56,59 Krapyak Kidul 53,49 Dukuh 39,32 Kandang Panjang 68,24 Kraton Lor 30,62 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Sementara Tidak Sesuai Permanen Degayu 1,54 Dukuh 2,00 Krapyak Kidul 1,51 Krapyak Lor 7,00 Panjang Baru 5,46 Panjang Wetan 7,68 25,18 Sumber : Hasil Analisis, ,71 614, Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Rencana Analisis berikutnya adalah pengecekan kesesuaian lahan permukiman rencana , ditinjau atau dicocokkan dngan kesesuaian lahan permukiman berdasar seluruh parameter yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian akan diketemukan apakah rencana tata guna lahan permukiman Kota Pekalongan khususnya wilayah pesisir (Kecamatan Pekalongan Utara) tahun telah sesuai dengan keseluruhan aspek yang menjadi pertimbangan. Dengan mengetahui hasil analisisnya, maka dapat memberikan penilaian terhadap kesesuaian lahan permukiman di masa yang akan datang. Berikut ini hasil análisis evaluasi kesesuaian lahan permukiman rencana kecamatan Pekalongan Utara ditinjau dari aspek fisik lahan, aksesibilitas, prasarana lingkungan, banjir rob, dan sosial. Lihat Tabel IV.23 dan Tabel IV.24. Sedangkan hasil analisis berupa peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman rencana dapat dilihat pada Gambar 4.30.

127 114 TABEL IV.23 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN RENCANA Klas. Tingkat Kesesuaian Luas (Ha) S1 Sangat Sesuai 94,40 S2 Sesuai 371,99 S3 Kurang Sesuai - N1 Tidak Sesuai Sementara - N2 Tidak Sesuai Permanen - Sumber : Hasil Analisis, Total Luas (Ha) 466,38 TABEL IV.24 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN RENCANA PER KELURAHAN Tingkat Kesesuaian Kelurahan Luas (Ha) Total Luas (Ha) Sangat Sesuai Sesuai Pabean 13,15 Krapyak Lor 72,88 Bandengan 8,36 Pabean 32,97 Panjang Wetan 31,82 Krapyak Kidul 56,67 Panjang Baru 72,40 Bandengan 33,79 Krapyak Lor 13,38 Degayu 45,32 Dukuh 19,34 Kandang Panjang 52,00 Kraton Lor 14,30 94,40 371,99 Kurang Sesuai Tidak Sesuai Sementara Tidak Sesuai Permanen Sumber : Hasil Analisis, ,38 466,38

128 115 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.29 PETA EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN THN 2009

129 116 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.30 PETA EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN RENCANA

130 Validasi Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Penelitian ini telah menghasilkan peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman tahun 2009 dan peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman rencana Berdasar hasil spasial tersebut, diperoleh lima jenis klasifikasi kesesuaian lahan permukiman yaitu sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai, tidak sesuai sementara, dan tidak sesuai permanen. Berdasar peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman tersebut juga diketahui bahwa sebagian besar kesesuaian lahan permukiman yang ada di pesisir Kota Pekalongan masuk dalam ketegori cocok atau bisa dijadikan lahan permukiman ( sangat sesuai, dan sesuai ) pada permukiman 2009 adalah 95,90%, dan 100,00% pada lahan permukiman rencana Sedangkan wilayah yang harus mendapat pertimbangan kembali karena berada pada lahan yang tidak sesuai pemanfaatannya sebagai kawasan permukiman pada permukiman 2009 adalah seluas 25,18%, dan 0,00% pada lahan permukiman Selanjutnya, setelah didapatkan output berupa peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman tersebut, maka dilakukan pengecekan atau validasi terhadap hasil penelitian apakah output penelitian tersebut sesuai dengan fakta yang terdapat di lapangan. Dengan demikian, validasi ini dilakukan dengan membandingkan hasil analisis penelitian kesesuaian lahan permukiman berdasar parameter, dengan hasil survey langsung di lapangan. Validasi ini dilakukan di 11 (sebelas) titik lokasi di wilayah studi. Berikut ini gambaran lebih jelas titik lokasi yang dijadikan validasi penelitian. Lihat Gambar 4.31.

131 118 Sumber : Hasil Analisis, GAMBAR 4.31 PETA LOKASI VALIDASI HASIL PENELITIAN

132 wilayah studi. 119 Berikut ini data validasi hasil penelitian di 11 titik lokasi yang tersebar di TABEL IV.25 VALIDASI HASIL PENELITIAN Titik Validasi Kategori Kesesuaian (Hasil Analisis) 01 Sesuai Cocok 02 Sesuai Cocok 03 Sesuai Cocok 04 Sesuai Cocok 05 Sesuai Cocok 06 Sesuai Cocok Sangat Sesuai Sangat Sesuai Cocok Cocok Kesimpulan (Validasi Lapangan) 09 Sesuai Sumber : Dokumentasi Penulis, Kurang cocok, karena terlihat ada genangan rob yang sulit terbuang di persawahan dekat permukiman, dan juga kerusakan jaringan jalan. Perlu ada usaha untuk perbaikan jalan secara rutin dan pembangunan saluran air untuk mempercepat drainase tanah agar tetap bisa dikategorikan sesuai. 10 Sesuai Cocok 11 Tidak Sesuai Permanen Sumber : Dokumentasi Penulis, Cocok, dan terlihat adanya permukiman di lokasi yang berjarak kurang dari 100m (sempadan pantai). Sumber : Hasil Analisis, 2014.

133 120 Dari hasil validasi evaluasi kesesuaian lahan permukiman berdasar sebelas titik sampel kawasan permukiman di lokasi studi, diperoleh kesimpulan bahwa hampir semua sampel memiliki kesesuaian antara hasil analisis parameter dengan hasil survei lapangan. Sampel kawasan permukiman yang kurang sesuai (kurang cocok) antara hasil análisis parameter dengan hasil validasi lapangan adalah di titik 09. Dengan demikian, nilai validitas penelitian ini adalah: = Jumlah sampel validasi cocok Jumlah total sampel validasi = 10 / 11 x 100% = 90,91% 91% atau 0,91 Sehingga, dengan nilai validitas 0,91 atau mendekati 1, maka dapat dikatakan bahwa hasil analisis dapat diterima.

134 121 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Evaluasi kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kota Pekalongan ini dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis lima aspek yang dianggap berpengaruh terhadap pemilihan lahan sebagai area permukiman di wilayah pesisir. Aspek tersebut yang pertama adalah aspek kondisi fisik lahan yang terdiri dari parameter kelerengan lahan, jenis tanah, dan intensitas curah hujan. Aspek kedua adalah aspek aksesibilitas berupa jaringan jalan kolektor yang berada di wilayah studi. Aspek ketiga adalah aspek prasarana lingkungan yang terdiri dari parameter jaringan air bersih dan jaringan listrik. Aspek keempat adalah aspek banjir rob yang mempergunakan parameter kedalaman rob, lama rob, tekstur tanah, kemampuan drainase tanah, dan kontur tanah. Aspek kelima adalah aspek sosial yang terdiri dari parameter ikatan sosial, interaksi sosial, lama tinggal, dan kualitas air bersih. Berdasar hasil evaluasi lahan permukiman, diketahui bahwa terdapat sedikit ketidaksesuaian penggunaan lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan. Hal ini nampak dari munculnya data kawasan permukiman yang masuk ke dalam kategori tidak sesuai pada evaluasi kesesuaian lahan permukiman tahun Sedangkan pada evaluasi kesesuaian lahan permukiman rencana, tidak ditemukan adanya lahan permukiman yang masuk kategori tidak sesuai. Luas lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan sebagai hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan permukiman pada penelitian ini bisa dilihat pada tabel berikut. TABEL V.1 HASIL EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PESISIR KOTA PEKALONGAN Klas. Tingkat Permukiman 2009 Permukiman Rencana Kesesuaian Luas (Ha) Persentase (%) Luas (Ha) Persentase (%) S1 Sangat Sesuai 85,64 13,93% 94,39 20,24%

135 S2 Sesuai 503,89 81,97% 371,99 76,76% S3 Kurang Sesuai N1 Tidak Sesuai Sementara N2 Tidak Sesuai Permanen 25,18 4,10% - - Total Luas 614,71 100,00% 466,38 100,00% Sumber : Hasil Analisis, Dengan perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa ada penurunan luas lahan permukiman pada tahun 2009 seluas 614,71 Ha menjadi 466,38 Ha pada lahan permukiman rencana. Dalam hal ini, lahan permukiman yang masuk kategori N2 atau tidak sesuai permanen pada 2009 seluas 25,18 Ha menjadi 0,00 Ha pada lahan permukiman rencana Sedangkan luas lahan permukiman yang berstatus S1 atau sangat sesuai meningkat cukup banyak, yaitu 85,64 Ha pada permukiman 2009 menjadi 94,39 Ha pada permukiman rencana Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil evaluasi lahan permukiman dan dapat menjawab pertanyaan penelitian ini, yaitu: 1. Berdasarkan penelitian ini, tidak semua lahan di pesisir Kota Pekalongan sesuai untuk digunakan sebagai kawasan permukiman. Tingkat kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima tingkatan yaitu S1 = sangat sesuai, S2 = sesuai, S3 = kurang sesuai, N1 = tidak sesuai sementara, dan N2 = tidak sesuai permanen. 2. Penelitian ini dimulai dari identifikasi kawasan dan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Mayoritas lahan di kawasan pesisir Kota Pekalongan merupakan kawasan budidaya, kecuali sempadan sungai selebar 15m dan sempadan pantai selebar 100m. Sedangkan parameter yang menjadi tinjauan penelitian ini adalah aspek kondisi fisik lahan, aspek aksesibilitas, aspek prasarana lingkungan, aspek bencana banjir rob, dan aspek sosial.

136 Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, wilayah yang mempunyai lahan permukiman berstatus paling baik (S1) atau sangat sesuai pada tahun 2009 maupun lahan permukiman rencana , berada di Kelurahan Pabean, Krapyak Lor, dan Bandengan. Sedangkan lahan permukiman yang berstatus S2 atau sesuai pada tahun 2009 maupun lahan permukiman rencana menyebar di seluruh kelurahan di kecamatan Pekalongan Utara. 4. Lahan permukiman tahun 2009 yang berstatus paling rendah (N2) atau tidak sesuai permanen sebagai kawasan permukiman dikarenakan berada di area sempadan sungai dan sempadan pantai, tersebar di wilayah Degayu, Dukuh, Krapyak Kidul, Krapyak Lor, Panjang Wetan, dan Panjang Baru. Sedangkan pada kawasan permukiman rencana tidak diketemukan adanya lahan permukiman yang berada di wilayah sempadan atau berstatus tidak sesuai permanen. 5. Persentase wilayah yang dianggap baik dan bisa dijadikan lahan permukiman (sangat sesuai, dan sesuai) pada lahan permukiman 2009 adalah 95,90%, dan 100,00% pada lahan permukiman rencana Persentase wilayah yang harus mendapat penanganan karena berstatus kurang sesuai pada lahan permukiman 2009 adalah 0,00%, dan juga 0,00% pada lahan permukiman Persentase wilayah yang harus mendapat perhatian dan solusi alternatif karena berkategori N2 (tidak sesuai permanen) pada permukiman 2009 adalah 4,10%, dan 0,00% pada lahan permukiman Sistem Informasi Geografis dalam penelitian evaluasi lahan permukiman ini dapat diaplikasikan cukup baik di wilayah studi yaitu pesisir Kota Pekalongan, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan yaitu terkait dengan kelengkapan data terbaru. Sehingga apabila data yang digunakan dapat lebih baik lagi maka output yang dihasilkan semakin baik pula. 5.3 Rekomendasi Dari kesimpulan hasil evaluasi lahan permukiman ini diperoleh beberapa poin rekomendasi, yaitu:

137 Berdasar temuan studi yang menunjukkan adanya lahan permukiman tahun 2009 yang berada di area sempadan sungai dan sempadan pantai seluas kurang lebih 4,10% dari total luas lahan permukiman, sebaiknya dilakukan prioritas relokasi ke lahan permukiman lain yang berklasifikasi S1 (sangat sesuai) atau S2 (sesuai). Selanjutnya, setelah dilakukan relokasi, lahan seluas 4,10% tersebut difungsikan kembali menjadi kawasan lindung pada zoning kawasan untuk tata guna lahan rencana di masa mendatang. 2. Pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman sebaiknya diarahkan pada lahan-lahan yang benar-benar sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan permukiman. Namun, apabila ada lahan permukiman yang berada pada kategori kurang sesuai bisa dilakukan penanganan khusus dengan teknologi tertentu sehingga pada akhirnya status atau kategorinya bisa ditingkatkan menjadi sesuai atau bahkan sampai dengan sangat sesuai. Sedangkan lahan permukiman yang berstatus tidak sesuai, sebaiknya dilakukan solusi alternatif berupa perubahan fungsi lahan dari permukiman menjadi fungsi lain yang sesuai dengan keadaan dan kriterianya. Apabila masih hendak ditetapkan sebagai lahan permukiman, tentu saja perlu penanganan yang sangat optimal dan memerlukan biaya sangat tinggi untuk merubahnya dari lahan berstatus tidak sesuai menjadi lahan yang sesuai sebagai lahan permukiman. 3. Memberikan penjelasan dan arahan kepada warga masyarakat mengenai peraturan dan ketentuan peruntukan lahan yang sesuai. Sosialisasi kesesuaian lahan permukiman kepada masyarakat dapat berupa rencana tata ruang yang berisi peraturan yang jelas dan tegas mengenai arahan lahan yang sesuai sebagai kawasan permukiman dan larangan pengalokasian kawasan permukiman di kawasan selain yang ditentukan. Sehingga perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap kegiatan pengembangan kawasan pemukiman pada daerah yang tidak sesuai dengan peruntukannya. 4. Penelitian mendatang, diharapkan bisa mendapatkan data terbaru dan lebih akurat, menambahkan parameter, serta bisa membandingkan berbagai sumber data yang sesuai dengan tema dan lokasi penelitiannya, seperti

138 125 menentukan kesesuaian lahan industri, perdagangan dan jasa, maupun pendidikan. 5. Hasil atau output penelitian berupa peta evaluasi kesesuaian lahan permukiman di pesisir Kota Pekalongan ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan dan pertimbangan tata ruang selanjutnya.

139 126

140 127 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Badan Pusat Statistik Indonesia. Sensus Penduduk Diakses pada 20 november 2010 dan 02 mei Baja, Sumbangan Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarata: Andi Offset. BPN-RI Hasil Inventarisasi dan Pendataan Wilayah Pesisir Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu BPN-RI. Jakarta: BPN-RI. Budihardjo, E. (2009). Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: Alumni. Catanese, A.J Urban Planning (2nd ed.). (A.J. Catanese, J.C. Snyder, Eds., & Wahyudi, Trans.) New York, USA: McGraw-Hill. Churchill, Robin & Lowe, Vaughan The Law of the Sea (3rd ed.). UK, Manchester: Manchester University Press. CIA The World Factbook. Indonesia. Diakses pada 20 november 2010 dan 02 mei Dahuri, R Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan tahun Pekalongan: Bappeda Kota Pekalongan. ESRI ArcGIS 9x Tutorial. New York, USA: ESRI. ESRI. Diakses pada 20 Juni FAO Food and Agriculture Organization of the United Nations FAO Soils Bulletin 32: A Framework for Land Evaluation (2nd print.). Italy, Rome: FAO Publications Division ( Halla, Francos Critical Elements in Sustaining Participatory Planning: Bagamoyo Strategic Urban Development Planning Framework in Tanzania. ELSEVIER: Habitat International 29 (2005) Hanna, K. C., Culpepper, R. B GIS in Site Design. USA: John Wiley & Sons. Hardjowigeno, Sarwono Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan (cet. 2). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Kalogirou, S Expert Systems and GIS - An Application of Land Suitability Evaluation. ELSEVIER: Computers, Environment and Urban Systems 26, p Keputusan Kementerian Perikanan dan Kelautan no. KEP 32/ Jakarta:

141 Pemerintah Republik Indonesia. KeputusanMenteri Pertanian no. 583/KPT/UM/8/ Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pertanian no. 837/KPT/UM/11/ Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. 128 Keputusan Presiden RI no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan Walikota Pekalongan no. 523/138 tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Kota Pekalongan. Pekalongan: Pemerintah Daerah Kota Pekalongan. Khadiyanto, Parfi Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan. Semarang: Badan Penerbit Undip. Kota Pekalongan Dalam Angka 2010/ Pekalongan: BPS dan Bappeda Kota Pekalongan. Kota Pekalongan Dalam Angka Pekalongan: BPS dan Bappeda Kota Pekalongan. Lampiran Peraturan Kementrian Pekerjaan Umum no. 20 tahun 2011: Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota Jakarta: Kemen PU. Laporan Akhir Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Pekalongan Pekalongan: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan. Lilywati, Henny, dan Budiman Data Spasial, Pilihan Cerdas Bangsa yang Bijak. Bogor: Buku Ilmiah Populer. Liu, Yuting, et al Urban Villages under China s Rapid Urbanization: Unregulated Assets and Transitional Neighbourhoods. ELSEVIER: Habitat International 34 (2010) Marfai, M.A Bencana Banjir Rob; Studi Pendahuluan Banjir Pesisir Jakarta. Yogyakarta; Graha Ilmu. Metrotvnews. Banjir Rob di Pantura Menggila. Diakses pada 09 maret Nicholls, R.J. & Mimura, Nobuo Regional Issues Raised by Sea-level Rise and Their Policy Implications. Inter Research: Clim Res 11: 5 18, Pemkot Pekalongan. Peta Wilayah. Diakses pada 09 maret Pemkot Pekalongan. Website Pemerintah Kota Pekalongan. Diakses pada 09 maret Peraturan Daerah Kota Pekalongan no. 7 tahun 2012 tentang Garis Sempadan Pekalongan: Pemerintah Daerah Kota Pekalongan. Peraturan Daerah Kota Pekalongan no. 30 tahun 2011 tentang Rencana Tata

142 129 Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun Pekalongan: Pemerintah Daerah Kota Pekalongan. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana Jakarta: BNPB. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 41/PRT/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah no. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2006 tentang Jalan Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Prahasta, Eddy Tutorial ArcGIS Desktop untuk Bidang Geodesi & Geomatika. Bandung: Informatika. Rayes, M. Luthfi Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi Offset. Sastrohartono, Hermantoro Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Perkebunan dengan Aplikasi Extensi Artificial Neural Network (ANN.avx) dalam ArcView-GIS. Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Stiper. SNI Persyaratan Umum Sistem Jaringan dan Geometrik Jalan Perumahan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Tarigan, M. Salam Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane Provinsi Banten. MAKARA, SAINS, Vol. 11, No. 1, April, hal Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia no. 38 tahun 2004 tentang Jalan Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia no. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

143 130 UN-HABITAT City Visioning Profile Pekalongan Central Java Jakarta: United Nations Human Settlements Programme (UN-HABITAT). United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) The Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, United Nations. USDA (The United States Department of Agriculture). The Classification of Soil. ( Ward P.J., Marfai M.A., Yulianto F., et al Coastal Inundation and Damage Exposure Estimation: A Case Study for Jakarta. Springer: Natural Hazards 56: Wikipedia. Pantai. Diakses pada 08 maret Wikipedia. Pedologi. Diakses pada 10 September Yunus, Hadi Sabari Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

144 131 RIWAYAT HIDUP PENULIS TAUFIQURRAHMAN, lahir di Ponorogo dan merupakan putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Akrim dan Aminah. Penulis menempuh pendidikan berturut-turut dari sekolah dasar di SDN Gandu, SMP Muhammadiyah 3 Jetis, SMU Muhammadiyah 1 Ponorogo, dan melanjutkan pendidikan Strata Satu di Universitas Negeri Malang Jurusan Teknik Sipil dengan konsentrasi Pendidikan Teknik Bangunan. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaan, sempat bekerja wiraswasta, kemudian berganti menjadi pengajar di sekolah swasta setingkat SMP-SMU selama dua tahun, lalu berganti profesi menjadi draftmen di konsultan struktur bangunan di Jakarta. Pada akhir tahun 2012 melanjutkan pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang Jurusan Magister Pembangunan Wilayah dan Kota hingga bisa lulus pada tahun 2015.

(Evaluation of Land Suitability for Settlements in Coastal Area of Pekalongan)

(Evaluation of Land Suitability for Settlements in Coastal Area of Pekalongan) EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI PESISIR KOTA PEKALONGAN (Evaluation of Land Suitability for Settlements in Coastal Area of Pekalongan) TAUFIQURRAHMAN 1 1) Mahasiswa MPWK UNDIP Semarang ABSTRAK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung 50 BAB VI SINTESIS Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI -157- LAMPIRAN XXII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SINJAI TAHUN 2012-2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI A. KAWASAN

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN. Mitra Satria¹ dan Sri Rahayu²

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN. Mitra Satria¹ dan Sri Rahayu² Jurnal Teknik PWK Volume 2 Nomor 1 2013 Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI KOTA SEMARANG BAGIAN SELATAN Mitra Satria¹ dan Sri Rahayu² 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecamatan Cipanas berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UULH = Undang-Undang Lingkungan Hidup no 23 Tahun 1997, yang paling baru adalah UU no 3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 19 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang sempadan Sungai Ciliwung, Kota Bogor (Gambar 7). Panjang Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor sekitar 14,5 km dengan garis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL. PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/96;

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN)

HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN) HASIL PENELITIAN ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR DENGAN SIG (STUDI KASUS: KECAMATAN TUTUYAN) Sri Rezeki Mokodompit 1, Ir. Sonny Tilaar MSi², & Raymond

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan wilayah yang didominasi oleh permukiman, perdagangan, dan jasa. Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota dipengaruhi oleh pertambahan penduduk,

Lebih terperinci

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk DAFTAR PUSTAKA 1. Andries, Benjamin. 2007. Pengembangan Metode Penilaina Tanah dengan Mempertimbangkan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan untuk Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat Undang-undang Nomor 24 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.506 pulau besar dan kecil, dengan total garis pantai yang diperkirakan mencapai 81.000 Km, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2012 yaitu 2,455,517 juta jiwa, dengan kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN KAWASAN LINDUNG DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN KAWASAN LINDUNG DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN KAWASAN LINDUNG DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa ruang selain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng Fadhil Surur Laboratorium Keahlian Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Kepulauan, Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota pekalongan merupakan kota yang strategis secara geografis. Kota ini juga menjadi pusat jaringan jalan darat yang menghubungkan bagian barat dan timur Pulau Jawa

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL Febriana Yogyasari, Dedy Kurnia Sunaryo, ST.,MT., Ir. Leo Pantimena, MSc. Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Artikel Ilmiah Diajukan kepada Program Studi Sistem Informasi guna memenuhi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU Regi pernandes, Indarti Komala Dewi *), Woro Indriyati Rachmani

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PENELITIAN KELOMPOK LAPORAN PENELITIAN PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS Oleh : Budi Gunawan, ST, MT. Drs. RM Hendy Hendro H,M.Si

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom No.1513, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Audit Tata Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) Geo Image 4 (1) (2015) Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage ANALISIS KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN DI KABUPATEN BOYOLALI

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci