BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;"

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metoda Penentuan Lokasi Penelitian Dalam menentukan lokasi penelitian, lokasi harus mencakup seluruh kriteria yang terkait mengenai permukiman informal. Menurut United Nations Human Settlement Programmes (UN-Habitat, 2003), karakteristik permukiman informal adalah sebagai berikut: Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar; Perumahan melanggar peraturan pemerintah kota; Perumahan dibangun di atas tanah yang tidak dimiliki pemilik rumah; Akses terhadap fasilitas dasar publik yang tidak memadai; Struktur bangunan yang illegal, tidak memadai, dan berada di bawah standard perumahan; Termasuk bagian yang ilegal pada sebuah permukiman; Kemiskinan dan terasing secara sosial; Kondisi hidup yang tidak sehat serta berbahaya. Berdasarkan kriteria di atas, Kampung Nelayan termasuk salah satu permukiman informal. Kampung Nelayan berada pada Kecamatan Medan Belawan, Medan. Perumahan yang berdiri di atas Kampung Nelayan tidak berada di atas lahan pribadi mereka. Oleh sebab itu, pembangunan permukiman tersebut melanggar peraturan pemerintah kota. Fasilitas dasar seperti utilitas, transportasi,

2 38 edukasi, dan pelayanan kesehatan tidak memadai. Fasilitas air bersih juga sangat kurang. Struktur bangunan berada di bawah standard perumahan dan perekonomian masyarakat termasuk pada golongan ekonomi bawah. Permukiman yang terbentuk di Kampung Nelayan Medan Belawan juga terbentuk secara tidak terencana. Permukiman ini terbentuk atas campur tangan masyarakat itu sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah Metoda Penentuan Variabel Penelitian Dalam menentukan variabel penelitian, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi interpretasi dari landasan teori. Teori yang digunakan adalah teori yang berhubungan dengan analisa spasial pada permukiman informal. Dalam mengkaji teori, peneliti menghubungkan teori yang akan dikaji dengan permasalahan penelitian. Variabel yang ditentukan akan menjadi dasar dalam membuat metoda pengumpulan data. Proses penentuan variabel dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Tabel Penentuan Variabel Landasan Teori Interpretasi Variabel 2.1. Pola Spasial Bagian utama dari perencanaan regional dan urban mencakup layout penggunaan ruang, sistem jalan, ruang Dalam lingkungan binaan, Elemen spasial spasial dapat permukiman yaitu diidentifikasi dengan sistem pola utilitas, elemen-elemen fisik jaringan jalan, ruang pembentuk struktur ruang. Elemen fisik pembentuk terbuka, massa. dan blok

3 39 Landasan Teori Interpretasi Variabel terbuka, dan lainlain. ruang adalah utilitas, jaringan jalan, ruang (Sumber: Hao, J., terbuka, dan blok massa. Zhu, J., & Zhong, R. (2015). The rise of big data on urban studies and planning practices in China: Review and open research issues. Journal of Urban Management, 4(2), ) 2.2. Pola Spasial Permukiman Informal Permukiman Informal Perencanaan ruang Salah satu faktor Faktor penyebab yang tidak penyebab terbentuknya timbulnya permukiman memadai, sistem permukiman informal informal yang pada perundangundangan adalah sistem akhirnya menciptakan yang perencanaan ruang yang pola spasial tidak update dan kompleks, kebijakan tidak memadai. Sistem perencanaan ruang tidak ada diakibatkan karena permukiman informal perumahan yang permukiman terbentuk tidak mampu secara tidak sengaja memastikan sehingga tidak terdapat penyediaan campur tangan perumahan dengan pemerintah di dalamnya. harga jual yang Sehingga, sistem undang-

4 40 Landasan Teori Interpretasi Variabel mampu dibeli undang, kebijakan masyarakat, dan pemerintah, sistem struktur administrasi publik yang sudah usang administrasi publik tidak diterapkan masyarakat di permukiman informal. menyebabkan terbentuknya permukiman tidak terencana. (Sumber: Tsenkova, S. (2010). Informal settlements in postcommunist cities: Diversity factors and patterns. Urbani izziv, (21 (2)), ) Terdapat pola Walaupun struktur ruang Perbandingan pola spasial yang mirip dan pola spasial spasial antar permukiman permukiman informal permukiman informal. (Sumber: sulit untuk diidentifikasi, informal. Sobreira, F., & terdapat persamaan antar Gomes, M. (2001). pola ruang yang terbentuk The Geometry of pada tiap permukiman Slums: boundaries, informal. packing and diversity.) 2.3. Struktur Ruang Permukiman Informal Setiap permukiman memiliki dimensi Bentuk dan fungsi saling terkait dan berhubungan Bentuk-bentuk ruang yang terdapat

5 41 Landasan Teori Interpretasi Variabel morfologi dan satu sama lain. Bentuk pada permukiman fungsi yang saling ruang mempengaruhi pola Kampung Nelayan. berhubungan. spasial. Oleh karena itu, Fungsi-fungsi Keberadaan pola spasial dipengaruhi ruang yang morfologi oleh fungsi ruang dan terbentuk pada diidentifikasi dalam fungsi ruang juga permukiman gambar suatu dipengaruhi oleh pola Kampung Nelayan. bentuk. (Yang, T., yang terbentuk. dkk. (2015)) 2.4. Pengaruh Struktur Ruang tehadap Pola Spasial Permukiman Informal Mempelajari pola Hubungan antara unsurunsur Penyebab adalah melihat pada lingkungan terbentuknya tatanan yang binaan, bagaimana unsurunsur unsur-unsur fisik memperlihatkan tersebut terjadi, dan pada permukiman bagaimana bagaimana unsur-unsur Hubungan antara hubungan di antara tersebut terletak adalah unsur fisik unsur-unsur tersebut terjadi atau hal yang dipelajari pada pembentukan pola tatanan lingkungan binaan di permukiman. berlangsung dan lingkungan binaan. Penyebab unsurunsur bagaimana unsurunsur fisik tersebut lingkungan binaan diletakkan. diletakkan pada Mempelajari pola permukiman fisik adalah tersebut. mempelajari rancangan fisiknya (Sumber: Alexander, C. (1977). A pattern language: towns,

6 42 Landasan Teori Interpretasi Variabel buildings, construction. Oxford University Press.)

7 Metoda Pengumpulan Data Metoda pengumpulan data mengacu pada variabel yang telah ditentukan. Variabel adalah dasar penentu data yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam mendapatkan data diperlukan metode untuk pengumpulan data. Proses pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2 Metoda Pengumpulan Data Variabel Data yang Diperlukan Metoda Peta area Membuat plot peta area Elemen spasial permukiman permukiman Kampung permukiman yaitu Kampung Nelayan Medan sistem pola utilitas, jaringan jalan, ruang terbuka, dan blok Nelayan Medan Belawan Belawan dari Google Earth dengan SketchUp atau CAD. massa. Menyesuaikan peta permukiman dari Google Earth dengan kondisi eksisting di lapangan. Melakukan pengamatan secara langsung dengan survey lapangan ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Peta Membuat peta sistem sistem utilitas utilitas Kampung Nelayan Medan Belawan dengan melakukan pengamatan

8 44 Variabel Data yang Diperlukan Metoda secara langsung dengan survey lapangan ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Peta Membuat peta jaringan jaringan jalan jalan permukiman permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan survey lapangan ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Peta Membuat peta ruang area ruang terbuka Kampung terbuka Nelayan Medan Belawan dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan survey lapangan ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Pola Membuat peta blok blok massa massa Kampung Nelayan Medan Belawan dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan survey lapangan ke Kampung Nelayan Medan Belawan.

9 45 Variabel Data yang Diperlukan Metoda Faktor penyebab Sistem ruang Observasi blok massa timbulnya permukiman bangunan dan ruang di permukiman informal yang tidak luar massa bangunan yang pada akhirnya terencana dengan metoda figure menciptakan pola ground. spasial permukiman Peran Wawancara dengan informal pemerintah masyarakat dan selama ini pemerintah setempat seperti kepala desa atau ketua RT. Kebijakan Wawancara dengan pemerintah masyarakat dan pemerintah setempat seperti kepala desa atau ketua RT. Peran Wawancara kepada masyarakat dalam melaksanakan peraturan pemerintah masyarakat. Perbandingan Grafik pola Grafik perbandingan pola spasial spasial pola spasial dihasilkan permukiman permukiman melalui perhitungan informal. Kampung geometris antara Nelayan jumlah kelompok Belawan Medan massa bangunan yang Grafik pola terbentuk dan seberapa spasial banyak massa permukiman bangunan yang informal dari berdekatan pada satu permukiman pola permukiman.

10 46 Variabel Data yang Diperlukan Metoda lain. Bentuk-bentuk Peta area Membuat peta ruang yang permukiman permukiman dari terdapat pada yang Google Earth dan permukiman menjelaskan menyesuaikannya Kampung letak massa dengan kondisi Nelayan. secara detail eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Peta area Mengidentifikasi permukiman bentuk permukiman yang yang terbentuk pada menjelaskan peta permukiman letak massa dan Kampung Nelayan fungsi-fungsi Medan Belawan. yang Mengidentifikasi dimilikinya fungsi atau tata guna lahan pada peta permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan. Fungsi-fungsi Peta area Membuat peta ruang yang permukiman permukiman dari terbentuk pada yang Google Earth dan permukiman menjelaskan menyesuaikannya Kampung letak massa dan dengan kondisi Nelayan. fungsi-fungsi eksisting di lapangan yang dengan cara melakukan dimilikinya pengamatan atau

11 47 Variabel Data yang Diperlukan Metoda seperti fungsi survey secara langsung hunian, ekonomi, dan ke Kampung Nelayan Medan Belawan. lain-lain Mengidentifikasi tata guna lahan pada masing-masing massa/bangunan. Peta area permukiman yang menjelaskan fungsi jaringan jalan Peta area permukiman yang menjelaskan fungsi ruang terbuka Membuat peta permukiman dari Google Earth dan menyesuaikannya dengan kondisi eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Mengidentifikasi kondisi jaringan jalan pada Kampung Nelayan Medan Belawan. Membuat peta permukiman dari Google Earth dan menyesuaikannya dengan kondisi eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung

12 48 Variabel Data yang Diperlukan Metoda ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Mengidentifikasi kondisi ruang terbuka pada Kampung Nelayan Medan Belawan. Peta area Membuat peta permukiman permukiman dari yang Google Earth dan menjelaskan menyesuaikannya fungsi utilitas dengan kondisi eksisting di lapangan dengan cara melakukan pengamatan atau survey secara langsung ke Kampung Nelayan Medan Belawan. Mengidentifikasi kondisi utilitas pada Kampung Nelayan Medan Belawan. Penyebab Latar belakang Mengidentifikasi latar terbentuknya terbentuknya belakang pengaruh unsur-unsur fisik unsur fisik terbentuknya fungsi pada permukiman. ruang dan elemen fisik permukiman. permukiman pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan. Hubungan antara Korelasi antara Mengidentifikasi unsur fisik setiap elemen hubungan atau korelasi

13 49 Variabel Data yang Diperlukan Metoda lingkungan fisik lingkungan atas terbentuknya tiap binaan di binaan. elemen fisik permukiman. lingkungan binaan. Hal-hal yang Latar belakang Mengidentifikasi latar menyebabkan diletakkannya belakang diletakkannya diletakkannya elemen fisik fungsi ruang dan sebuah elemen lingkungan elemen fisik fisik lingkungan binaan pada permukiman pada suatu binaan pada permukiman lokasi di permukiman permukiman tersebut Kampung Nelayan tersebut. Belawan Medan Pertanyaan Wawancara Adapun dalam proses mengidentifikasi pola spasial permukiman, dilakukan wawancara kepada beberapa orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Pertanyaan wawancara adalah sebagai berikut: Fasilitas Pendidikan 1. Di mana saja fasilitas pendidikan yang dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan? 2. Mengapa fasilitas pendidikan tersebut dibangun pada lokasi tersebut? Fasilitas Kesehatan 1. Di mana saja fasilitas kesehatan yang dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan?

14 50 2. Mengapa fasilitas kesehatan tersebut dibangun pada lokasi tersebut? Fasilitas Ibadah 1. Di mana saja fasilitas ibadah yang dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan? 2. Mengapa fasilitas ibadah tersebut dibangun pada lokasi tersebut? Fasilitas Taman/Ruang Terbuka 1. Di mana saja fasilitas taman yang dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Medan Belawan? 2. Mengapa fasilitas taman tersebut dibangun pada lokasi tersebut? Fasilitas Hunian 1. Di mana saja fasilitas Hunian dibangun pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan? 2. Mengapa fasilitas hunian banyak terbangun di tempat tersebut?

15 Metoda Analisa Data Metoda analisa data didapatkan melalui sintesa antara teori dan data yang dibutuhkan berdasarkan interpretasi kajian teori dengan permasalahan penelitian. Metoda analisa data dijabarkan sesuai dengan sub bab pada Bab II Tinjauan Pustaka Metoda Analisa Pola Spasial Adapun metoda analisa pola spasial dijelaskan pada Gambar 3.1 berikut. Teori Bagian utama dari perencanaan regional dan urban mencakup layout penggunaan ruang, sistem jalan, ruang terbuka, dan lain-lain. (Sumber: Hao, J., Zhu, J., & Zhong, R. (2015)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Layout atau data figure ground mengenai penggunaan ruang yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Analisa struktur ruang bangunan dan ruang luar yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Gambar 3.1 Metode Analisa Pola Spasial

16 Metoda Analisa Pola Spasial Permukiman Informal Adapun metoda analisa pola spasial permukiman informal dijelaskan pada Gambar 3.2 berikut. Teori Perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang menyebabkan terbentuknya permukiman tidak terencana. (Sumber: Tsenkova, S. (2010)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Perencanaan ruang yang terbentuk tanpa adanya pengaruh pemerintah atau masyarakat di luar pemukim Analisa pengaruh pemerintah dan masyarakat terhadap pola spasial permukiman Gambar 3.2 Analisa Pola Spasial Permukiman Informal

17 Metoda Analisa Sistem Struktur berikut. Adapun metoda analisa sistem struktur ruang dijelaskan pada Gambar 3.3 Teori Setiap permukiman memiliki dimensi morfologi dan fungsi yang saling berhubungan. Keberadaan morfologi diidentifikasi dalam gambar suatu bentuk. (Sumber: Yang, T., Li, M., & Shen, Z. (2015)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Data fungsi ruang yang ada dan digunakan pada permukiman Data hubungan antara fungsi ruang dengan bentuk ruang Analisa hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang permukiman Gambar 3.3 Analisa Sistem Struktur Ruang

18 Metoda Analisa Pengaruh Struktur Ruang terhadap Pola Spasial Permukiman Informal Adapun metoda analisa pengaruh struktur ruang terhadap pola spasial dijelaskan pada Gambar 3.4 berikut. Teori Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsurunsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsur-unsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Sumber: Alexander, C. (1977). A pattern language: towns, buildings, construction. Oxford University Press.) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Data unsur fisik ruang yang terbentuk pada permukiman. Data lokasi dan fungsi dari unsur fisik ruang yang terbentuk pada permukiman. Analisa hubungan perubahan fungsi struktur ruang terhadap pola spasial permukiman Gambar 3.4 Analisa Pengaruh Struktur Ruang terhadap Pola Spasial Permukiman Informal

19 Metoda Menghasilkan Penemuan Metoda Menghasilkan Penemuan Pola Spasial Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.5. Teori Perencanaan ruang atau spasial adalah bagian utama dari perencanaan regional dan urban yang mencakup layout penggunaan ruang, sistem jalan, ruang terbuka, dan lain-lain. (Sumber: Hao, J., Zhu, J., & Zhong, R. (2015)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Layout atau data figure ground mengenai penggunaan ruang yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Analisa struktur ruang bangunan dan ruang luar yang terdiri dari blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Penemuan: Sistem struktur ruang permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan Gambar 3.5 Metoda Penemuan Struktur Ruang Permukiman

20 Metoda Menghasilkan Penemuan Permukiman Informal Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.6. Teori Perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang menyebabkan terbentuknya permukiman tidak terencana. (Sumber: Tsenkova, S. (2010)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Perencanaan ruang yang terbentuk tanpa adanya pengaruh pemerintah atau masyarakat di luar pemukim Analisa pengaruh pemerintah dan masyarakat terhadap pola spasial permukiman Penemuan: Penyebab terbentuknya ruang pada permukiman informal Gambar 3.6 Metoda Penemuan Penyebab Terbentuknya Struktur Ruang

21 Metoda Menghasilkan Penemuan Struktur Ruang Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.7. Teori Setiap permukiman memiliki dimensi morfologi dan fungsi yang saling berhubungan. Keberadaan morfologi diidentifikasi dalam gambar suatu bentuk. (Sumber: Yang, T., Li, M., & Shen, Z. (2015)) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang Diinterpretasi Data fungsi ruang yang ada dan digunakan pada permukiman Data hubungan antara fungsi ruang dengan bentuk ruang Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa Analisa hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang permukiman Penemuan: Jenis fungsi ruang yang terbentuk pada permukiman Hubungan fungsi ruang dengan bentuk ruang Gambar 3.7 Metoda Penemuan Hubungan Fungsi Ruang dengan Bentuk Ruang

22 Metoda Menghasilkan Penemuan Hubungan Struktur Ruang dengan Pola Spasial Metoda menghasilkan penemuan pola spasial dijabarkan pada Gambar 3.8. Teori Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsur-unsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsur-unsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Sumber: Alexander, C. (1977). A pattern language: towns, buildings, construction. Oxford University Press.) Data yang diinterpretasi dikaji berbasis landasan teori. Data yang diperoleh berbasis landasan teori. Data dianalisa berdasarkan teori. Data yang Diinterpretasi Data unsur fisik ruang yang terbentuk pada permukiman. Data lokasi dan fungsi dari unsur fisik ruang yang terbentuk pada permukiman. Analisa hubungan perubahan fungsi struktur ruang terhadap pola spasial permukiman Penemuan: Pola spasial permukiman informal Penyebab perubahan fungsi pada struktur ruang Hubungan perubahan fungsi ruang terhadap perubahan pola spasial permukiman Gambar 3.8 Metoda Penemuan Hubungan Fungsi Ruang terhadap Pola Spasial

23 BAB IV PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA DI PESISIR BELAWAN MEDAN 4.1. Kampung Nelayan Belawan di Medan Lokasi penelitian berada di kawasan pesisir Kecamatan Medan Belawan Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan berada pada bagian paling utara kota Medan dan berbatasan langsung dengan laut (Gambar 4.1). Kecamatan Medan Belawan memiliki 6 kelurahan. Lokasi penelitian ini berada pada Kelurahan Belawan Bahagia. Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.1 Peta Lokasi Kecamatan Medan Belawan pada Kota Medan (sumber: Google.com, 2017)

24 60 Daerah penelitian berada pada kawasan pinggiran laut dari Jalan Gulama sampai Jalan T. M. Pahlawan (Gambar 4.2). Batas sebelah utara area ini adalah Jalan T. M. Pahlawan; sebelah timur berbatasan dengan Jalan Tongkol, Jalan Tenggiri, dan Jalan Temenung. Pada area ini juga terdapat sebuah pasar tradisional yang bernama Pasar Baru. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Dondong, Jalan Sepat, Jalan Selar, dan lain-lain; sedangkan sebelah barat berbatasan langsung dengan laut. Menurut Wikipedia, pada 2001 jumlah penduduk kecamatan Medan Belawan mencapai jiwa. Luas kecamatan sebesar 26,25 km 2. Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.2 Lokasi Penelitian (sumber: Google Maps, 2017)

25 61 Pada area jalan raya seperti Jalan Gulama, Jalan Hiu, dan Jalan T. M. Pahlawan terdapat banyak fungsi hunian dan ekonomi; sedangkan pada area pinggiran laut terdapat banyak bangunan yang berfungsi sebagai hunian dan terbuat dari papan yang dipancang menggunakan pondasi kayu atau pipa PVC. Untuk area jalan raya, rumah yang dibangun sudah menggunakan bata, permanen, dan mempunyai hak kepemilikan yang sah secara hukum. Dulunya, area di sekitar jalan raya tersebut hanyalah sebuah lahan kosong. Namun, lahan tersebut kemudian dibangun untuk menampung masyarakat yang digusur pada tahun 1960-an. Sekarang, rumah-rumah yang dibangun tersebut sudah memiliki hak kepemilikan yang sah. Akibat dari berkembangnya populasi dan kebutuhan masyarakat akan hunian, area permukiman tersebut semakin berkembang dan mulai bertumbuh di sekitar area pinggiran laut. Area pinggiran laut tersebut dibangun tanpa campur tangan peraturan pemerintah sehingga tidak memiliki hak kepemilikan yang sah Keadaan Bentuk Permukiman di Kampung Nelayan Belawan di Medan Bentuk permukiman pada lokasi penelitian terdiri dari dua jenis permukiman, yaitu permukiman formal dan tidak informal. Lokasi permukiman terletak di sepanjang pesisir pantai dari Jalan Gulama hingga Jalan T. M. Pahlawan (Gambar 4.3). Bentuk yang informal terdapat pada kawasan yang berbatasan langsung dengan pinggiran laut sedangkan bentuk yang formal berada

26 62 pada kawasan yang berbatasan atau menghadap langsung dengan jalan-jalan raya Gambar ). Gambar 4.3 Peta Lokasi Penelitian (sumber: Digambar ulang dari data Google Maps, 2017)

27 63 Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.4 Bangunan di Atas Tanah yang Mempunyai Kepemilikan yang Jelas Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.5 Contoh Bangunan yang Berdiri Tanpa Peraturan Pemerintah Massa bangunan pada kawasan Kampung Nelayan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yang terencana dan bagian tidak terencana. Gambar 4.6 menunjukkan peta kawasan hunian pada Kampung Nelayan Medan Belawan. Bagian yang diwarnai merupakan tanda bahwa blok tersebut adalah hunian. Warna menunjukkan keadaan sarana tersebut.

28 64 Keterangan Gambar: : Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali : Rusak : Keadaan dapat berfungsi untuk penghuni kampung : Keadaan secara fisik sangat memadai Gambar 4.6 Keadaan sarana hunian Kampung Nelayan Medan Belawan Pada Gambar 4.7, area yang dilingkari garis biru adalah area informal atau area yang terbentuk tanpa persetujuan pemerintah ataupun mempunyai kepemilikan yang sah. Sehingga, rumah atau bangunan yang berdiri pada area lingkaran garis biru dapat dikatakan terbentuk secara tidak direncanakan. Area ini berbatasan langsung dengan pinggiran laut. Rumah-rumahnya sebagian besar terbuat dari kayu. Kayu-kayu tersebut biasanya didapatkan langsung pada lokasi

29 65 permukiman ataupun dibeli dari tetangga. Pada area ini, banjir akibat pasang air laut sering terjadi sehingga rumah-rumah atau bangunan dapat tenggelam mencapai kurang lebih 50 cm bahkan dapat mencapai kurang lebih 1,5 m pada saat-saat tertentu. Keterangan Gambar: : Daerah pesisir Gambar 4.7 Peta Lokasi Penelitian pada Area Pinggiran Laut Kampung Nelayan Keadaan jaringan jalan (Gambar 4.8) pada kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan juga termasuk baik dan dapat digunakan. Beberapa jalan dapat digunakan oleh kendaraan roda empat dan dua (Gambar 4.9) sedangkan beberapa

30 66 jalan pada permukiman yang tidak terencana hanya dapat dilalui motor, becak, atau pejalan kaki saja (Gambar 4.10). Keterangan Gambar: : Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali : Rusak : Keadaan dapat berfungsi untuk penghuni kampung : Keadaan secara fisik sangat memadai Gambar 4.8 Peta Keadaan Jaringan Jalan pada Kampung Nelayan Medan Belawan

31 67 Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.9 Kondisi Jalan pada Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Lokasi Penelitian Gambar 4.10 Kondisi Jalan yang Hanya dapat Dilalui Pelajan Kaki yang Berdiri Tidak Terencana Tidak terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan. Beberapa tempat merupakan tanah kosong (Gambar 4.11), beberapa memiliki kondisi yang baik sedangkan beberapa lagi kondisi tanah tidak baik dan dibuangi banyak sampah di atasnya.

32 68 Keterangan Gambar: : Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali : Rusak : Keadaan dapat berfungsi untuk penghuni kampung : Keadaan secara fisik sangat memadai Gambar 4.11 Peta Keadaan Lahan Kosong pada Kampung Nelayan Medan Belawan Untuk prasarana seperti utilitas air bersih dan air kotor, bangunan formal menggunakan saluran air pemerintah dari PDAM dan mengalirkan air kotor langsung ke parit di depan rumah. Sedangkan pada area permukiman informal, tidak terdapat saluran air bersih sehingga pemukim membeli sendiri air bersih dalam jerigen dan saluran air kotor dibuang langsung ke laut. Sedangkan untuk kondisi listrik, area permukiman formal mendapatkan pemasokan listrik yang baik dari PLN sedangkan permukiman yang tidak memiliki izin pemerintah tidak mendapatkan sambungan listrik dari tiang listrik PLN (Gambar 4.12).

33 69 Keterangan Gambar: : Tidak dapat dipergunakan lagi : Rusak sekali : Rusak : Keadaan dapat berfungsi untuk penghuni kampung : Keadaan secara fisik sangat memadai Gambar 4.12 Peta Keadaan Prasarana Lampu Jalan

34 BAB V KAJIAN SPASIAL PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA 5.1. Pola Spasial Permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan adalah salah satu lingkungan binaan yang dibangun oleh manusia dan berada pada area pesisir pantai. Lingkungan binaan ini ditandai oleh dominasi struktur buatan manusia yang terbentuk atas kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup di atas lingkungan yang dipilihnya sebagai tempat naungan. Lingkungan binaan tersebut terdiri atas elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik pada Permukiman Kampung Nelayan adalah massa bangunan-massa bangunan, jaringan jalan, dan ruang-ruang terbuka. Menurut Trujillo (2012), pola spasial pada lingkungan binaan ditandai dengan bentuk massa, jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Terjadinya spasial merujuk kepada elemen fisik suatu lingkungan binaan. Elemen fisik tersebut dapat dibangun secara terencana maupun tidak terencana oleh pemukim yang ingin tinggal di permukiman tersebut. Elemen fisik yang terbangun secara terencana adalah bagian dari sistem ruang yang dibangun berdasarkan peraturan dan mengikuti aturan tersebut, sedangkan elemen fisik yang terbangun tanpa terencana dibangun tanpa campur tangan pemerintah dan tidak memiliki batasan berlandaskan hukum karena tidak mengikuti peraturan pemerintah. Salah satu elemen pembentuk permukiman adalah massa-massa bangunan (Gambar 5.1). Bentuk-bentuk yang muncul pada pola permukiman

35 71 merupakan wujud tampilan penggunaan ruang yang diintegrasikan dengan jaringan jalan dan ruang di luar massa bangunan. Keterangan Gambar: : Massa bangunan Gambar 5.1 Pola massa bangunan permukiman Kampung Nelayan Massa bangunan-massa bangunan tersebut ada yang tersusun secara teratur dan ada yang tersusun secara tidak teratur. Akibat dari adanya perbedaan dalam proses perwujudan kampung, terdapat perbedaan pada pola spasial permukiman Kampung Nelayan ini. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan batasan dalam membangun bangunan dan kondisi geografis yang terjadi pada permukiman Kampung Nelayan tersebut. Menurut Zhang, dkk, (2014), keadaan

36 72 suatu daerah dan faktor geografis permukiman mempengaruhi pola permukiman manusia. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan pola permukiman yang terdapat pada area terencana dibandingkan dengan area tidak terencana pada kawasan Kampung Nelayan. Permukiman yang terencana cenderung dibangun pada badan jalan pemerintah sedangkan permukiman tidak terencana cenderung membangun bangunan yang berorientasi ke pinggiran laut (Gambar 5.2). Pemerintah tidak berperan dalam mewujudkan pola kampung yang informal karena penghuni kampung menggarap sendiri tempat ini tanpa izin. Pada permukiman formal, batasan pemukim dalam membangun bangunannya adalah peraturan dari pemerintah, sedangkan pada permukiman informal tidak terdapat batasan dalam membangun permukiman karena pemukim tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Batasan yang terdapat pada pemukim di permukiman informal terdapat pada keadaan sosial dan ekonomi pemukim. Pada kawasan formal dengan kondisi tanah yang lebih rata dan padat, bangunan yang terbentuk cenderung mengikuti badan jalan dan terpola dengan grid yang lebih teratur. Bentuk permukiman yang terencana berdiri lebih teratur karena pada umumnya masyarakat yang menghuni area yang terencana lebih mampu secara ekonomi dibandingkan masyarakat yang menghuni area tidak terencana. Pola massa bangunan yang teratur berbentuk grid terbangun berorientasi pada jalan yang dibangun oleh pemerintah di mana jalan tersebut relatif lebih lebar dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Lebar jalan pemerintah pada kawasan ini 5-8 meter. Keadaan bangunan-bangunan yang dibangun pada kawasan terencana

37 73 relatif tampak permanen dan memunculkan suasana yang tidak kumuh terhadap ruang-ruang luarnya. Berbeda dengan kawasan informal yang dibangun pada kawasan pinggiran laut. Kondisi geografis pada pinggiran laut yang dikelilingi oleh air dan kondisi tanah yang lebih berlumpur dan lembab menyebabkan perbedaan letak permukiman yang cenderung tidak berbentuk grid dan terletak lebih acak. Kondisi geografis ini juga menyebabkan perbedaan pada struktur dan bahan bangunan yang digunakan. Daerah formal cenderung terletak mengikuti jalan arteri sekunder atau jalan formal yang dibentuk pemerintah sedangkan daerah informal cenderung terbentuk berorientasi ke laut dan berada pada jalan kecil atau gang dan loronglorong yang dibangun oleh pemukim itu sendiri (Gambar 5.2). Kenyataankenyataan inilah yang menyebabkan perbedaan pola spasial massa bangunan pada permukiman formal dan informal di kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan.

38 74 Keterangan Gambar: : Pola permukiman terencana : Pola permukiman tidak terencana : Laut : Ruang terbuka/lahan kosong : Coastal port Gambar 5.2 Pola massa yang terintegrasi dengan jalan dan ruang terbuka pada permukiman Kampung Nelayan Hao, J., Zhu, J., & Zhong, R. (2015) menyatakan bahwa bentuk-bentuk tersebut biasanya diikuti oleh layout penggunaan ruang, sistem jalan, dan ruang terbuka. Massa bangunan-massa bangunan yang terbentuk, baik pada permukiman formal maupun informal di Kampung Nelayan terintegrasi dengan sistem jalan, ruang terbuka, dan fungsi-fungsi ruang yang terbentuk di dalamnya. Jaringan jalan yang ada pada permukiman Kampung Nelayan ini terdiri dari jalan formal yang

39 75 dibangun oleh pemerintah dan jalan informal yang dibangun oleh pemukim itu sendiri sebagai akibat dari hubungan yang terjadi antar massa bangunan (Gambar 5.3). Jalan informal yang pada awalnya terbentuk secara tidak terencana, pada akhirnya diberi perkerasan oleh pemerintah. Jalanan yang dibangun oleh pemerintah dapat dilewati oleh kendaraan roda empat sedangkan jalanan yang dibangun oleh pemukim biasanya hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua atau pejalan kaki saja. Keterangan Gambar: : Jalan yang dibangun oleh pemukim : Jalan yang dibangun oleh pemerintah Gambar 5.3 Pola Jaringan Jalan Kawasan Kampung Nelayan Medan Elemen pembentuk lingkungan binaan selanjutnya adalah ruang terbuka (Gambar 5.4). Tidak terdapat ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan ini namun terdapat beberapa lahan atau tanah kosong. Tidak terdapat banyak aktivitas pada

40 76 area lahan kosong tersebut karena kondisi lahan yang berlumpur dan penuh sampah. Beberapa area tanah kosong digunakan untuk tempat pembuangan sampah dan tempat peletakan barang-barang rongsokan. Keterangan Gambar: : Massa bangunan : Jaringan jalan : Ruang terbuka : Laut : Coastal port Gambar 5.4 Peta letak area ruang terbuka pada kawasan Kampung Nelayan

41 Pola Spasial Permukiman Informal Dalam mengidentifikasi kawasan permukiman informal digunakan standard yang ditetapkan oleh UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman informal. Menurut UN-Habitat, permukiman informal didefinisikan dengan kurangnya sistem perumahan yang aman, kurangnya area gerak yang cukup, tidak terdapat akses terhadap air bersih atau sanitasi yang tidak memadai, serta tidak adanya status kepemilikan yang aman. Pada permukiman informal di kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan terdapat permasalahan mengenai surat-surat kepemilikan bangunan dan lahan. Permukiman informal ditandai dengan tidak adanya status kepemilikan tanah yang aman dan sesuai dengan peraturan pemerintah. Kemudian, kurangnya fasilitas-fasilitas dasar pada kawasan pesisir. Pada kawasan ini, limbah air kotor bangunan langsung dibuang ke laut dan menyebabkan laut tercemar. Selain itu, permukiman juga dibangun di atas lahan PT. Pelindo sehingga bangunan tersebut dibangun di atas tanah yang tidak dimiliki pemilik rumah. Lahan pada sekitar pesisir pantai juga sebenarnya tidak baik untuk dijadikan kawasan hunian permanen karena akan mengganggu ekosistem laut. Fasilitas dasar publik atau fasilitas pelayanan masih terdapat pada beberapa titik di area kawasan ini, namun fasilitas tersebut hanya terbatas pada fasilitas pendidikan dan peribadahan. Struktur bangunan tidak memadai dan berada di bawah standard perumahan. Kondisi ekonomi sebagian besar penduduk juga berada di bawah rata-rata dan kondisi hidup mereka tidak sehat karena air yang pasang akan menenggelamkan sekitar 1-2 meter dinding rumah sehingga barang pemukim ikut terendam. Air laut

42 78 yang kotor karena sampah dapat menyebabkan penyakit yang cukup serius bagi pemukim. Kondisi ini menjadi kriteria bagi permukiman tidak terencana yang berada pada kawasan Kampung Nelayan sehingga dapat dibedakan dari permukiman yang mengikuti peraturan pemerintah (Gambar 5.5). Keterangan Gambar: : Permukiman informal : Permukiman formal Gambar 5.5 Posisi Permukiman Informal Secara makro, letak area permukiman tidak terencana banyak yang berorientasi menghadap laut dan berada di pinggiran pantai (Gambar 5.6). Dalam sejarah perkembangan wilayah ini, lahan yang berada pada sekitar pinggiran laut

43 79 adalah lahan milik perusahaan PT. Pelindo I. Lahan ini tidak dapat digunakan sebagai permukiman atau lokasi hunian bagi pemukim di tempat ini. Namun, akibat dari beberapa alasan ekonomi maupun sosial, pemukim pun satu per satu menempati lokasi ini. Kualitas ruang yang terbentuk pada permukiman informal cenderung tidak maksimal untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Hal tersebut menjadi wajar karena sistem perundang-undangan tidak mampu menyediakan kebutuhan rumah tinggal untuk penduduk di Kampung Nelayan ini. Hal ini membuktikan teori Tsenkova (2010), bahwa penyebab terbentuknya permukiman informal disebabkan oleh perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundangundangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan perumahan yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat, dan struktur administrasi publik yang sudah usang. Pemicu lain terbentuknya susunan massa bangunan, sistem jalan, dan ruang terbuka pada kawasan informal ini juga adalah perencanaan ruang yang tidak memadai dan kebijakan perumahan yang tidak dapat menyediakan perumahan yang terjangkau.

44 80 Keterangan Gambar: : Permukiman informal Gambar 5.6 Contoh bagan peta lokasi permukiman informal di Kampung Nelayan

45 81 Pada peta di Gambar 5.6 dapat dilihat posisi permukiman informal pada Kampung Nelayan yang berada pada area pinggiran laut. Posisi permukiman tidak terencana tersebut menyebar di sepanjang jalan di pinggiran pantai dengan bangunan berorientasi langsung ke arah laut. Di sebelah luar dari permukiman informal tersebut terdapat area permukiman formal. Pada mulanya pada sekitar tahun 1960-an, area permukiman ini adalah tanah kosong berlumpur dan tidak ditempati oleh satu orang pemukim pun. Namun, akibat dari proses pemindahan warga yang dilakukan pemerintah pada tahun 1960-an, tanah pada area ini ditinggikan dan dipadatkan agar dapat didirikan bangunan. Hal ini terus berlanjut sampai area permukiman menyebar mendekati area pantai atau pinggiran laut walaupun area pantai secara peraturan pemerintah tidak boleh didirikan bangunan. Sekarang, pada area permukiman Kampung Nelayan terdapat dua jenis area permukiman, yaitu permukiman formal dan permukiman tidak terencana (informal). Area permukiman yang terbangun tanpa peraturan pemerintah mempunyai pola massa bangunan yang cenderung terlihat lebih acak. Permukiman yang terbangun tanpa rencana ini banyak yang berada langsung di atas laut. Banyak dari pemukim yang memilih untuk tinggal di tempat dengan lahan yang lebih rendah karena lebih menguntungkan mereka (Zhang, dkk., 2014). Area pinggiran pantai termasuk salah satu daerah yang dengan tanah yang lebih rendah dibandingkan area di sekitarnya. Teori ini menegaskan letak tanah pada daerah pesisir pantai cenderung memudahkan pemukim mendirikan bangunan karena tidak ada peraturan yang jelas sehubungan dengan izin mendirikan bangunan.

46 82 Pada prinsipnya, daerah pantai dalam jarak meter harus bebas dari pembangunan fisik dalam bentuk apapun. Kenyataannya, bagian area tersebutlah yang selalu menjadi pilihan bagi para pendatang yang belum mepunyai tempat tinggal dan hendak mencari nafkah lebih baik dari kondisi sebelumnya. Menurut Tsenkova (2010), permukiman informal adalah sebuah respon terhadap gagalnya pasar untuk memproduksi tempat tinggal yang cukup secara kuantitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Faktor pembentuk permukiman informal adalah perencanaan ruang yang tidak memadai, sistem perundang-undangan yang tidak update dan kompleks, kebijakan pemerintah yang tidak mampu memastikan penyediaan perumahan dengan harga jual yang mampu dibeli masyarakat dan struktur administrasi publik yang sudah usang. Keempat faktor yang dikemukaan oleh Tsenkova dapat ditemukan pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan. Faktor pertama adalah perencanaan ruang yang tidak memadai. Pada kawasan permukiman tidak terencana ini tidak terdapat sistem atau peraturan mengenai letak bangunan maupun ruang terbuka. Hal ini berhubungan dengan faktor kedua yaitu sistem peraturan yang tidak update dan kompleks. Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai sistem pembangunan hunian pada kawasan pinggiran pantai. Apabila peraturan tersebut ada pun tidak diterapkan dengan tegas pada kawasan Kampung Nelayan. Walaupun begitu, kesalahan mengenai pembangunan hunian pada pinggiran pantai tidak sepenuhnya diakibatkan oleh pemukim itu sendiri namun juga oleh kebijakan pemerintah yang tidak mampu menyediakan perumahan bagi masyarakat dengan pendapatan per kapita yang rendah. Hal ini menyebabkan

47 83 masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah pada kawasan pinggiran pantai daripada tidak memiliki tempat tinggal sama sekali. Selain itu, menurut Oelofse dan Dodson (1997), terbentuknya permukiman informal juga terjadi akibat dari proses urbanisasi masyarakat dari daerah ke kota, masyarakat yang pindah dari area kota yang sudah padat, dan pertambahan populasi secara natural. Hal ini terjadi pada kawasan informal Kampung Nelayan Belawan Medan di mana masyarakat banyak yang pindah dari daerah lebih kecil menuju perkotaan namun tidak mendapatkan hunian yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi mereka. Hal ini juga terjadi akibat dari bertambahnya populasi awal pada permukiman informal tersebut yang disebabkan oleh pemukim yang tinggal secara berketurunan di daerah tersebut. Contohnya adalah sebuah rumah yang ditempati oleh orangtua pemukim yang beberapa tahun kemudian meluas menjadi sebuah rumah lagi akibat dari bertambahnya anggota keluarga yang sudah menikah dan berkeluarga. Permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan terbentuk tanpa perencanaan dan peraturan pemerintah, namun sebagai wadah interaksi antar pemukim, permukiman ini terbentuk berdasarkan batasan-batasan yang dimiliki oleh para pemukim. Batasan-batasan tersebut dapat terwujud dalam bentuk batasan ekonomi seperti kemampuan beli si pemukim atau batasan sosial seperti kekerabatan dan mata pencaharian si pemukim. Area permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan ini tersebar ke dalam beberapa tempat. Bagian-bagian tersebut terletak

48 84 pada kawasan Jalan Gulama, Jalan Hiu, kawasan lorong-lorong yang terhubung dengan Jalan T. M. Pahlawan yaitu Lorong Bakti, Lorong Amal, Lorong Sukur, dan Lorong Supir, dan kawasan terakhir adalah daerah di ujung jalan T. M. Pahlawan. Pada setiap area permukiman terdapat pola spasial yang khusus antara jaringan jalan, blok massa, dan ruang terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan lokasi permukiman, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial masyarakat pemukim. Kajian spasial setiap lokasi permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan terdapat pada tabel 5.1.

49 85 Tabel 5.1 Kajian spasial permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan Lokasi (a) Jalan Gulama Area pertama permukiman tidak terencana di Jalan Gulama Kajian Spasial Ruang Kawasan informal pertama ada pada Jalan Gulama. Kawasan ini terletak pada area barat permukiman. Pada kawasan ini terdapat permukiman formal dan permukiman informal. Permukiman formal pada Jalan Gulama terbangun secara teratur mengikuti garis jalan dan berorientasi pada jalan besar. Permukiman tidak terencana pada kawasan ini terletak pada area yang berorientasi ke laut dan berdiri di atas jalan-jalan atau gang-gang kecil. Dapat dilihat pada area permukiman informal di Jalan Gulama, massa bangunan sebagian berdiri pada area jalan yang dibangun oleh pemerintah atau Jalan Gulama itu sendiri. Sebagian besar bangunan berdiri langsung pada area jalan kecil atau gang-gang yang dibangun sendiri oleh pemukim tersebut. Massa bangunan-massa bangunan berdiri rapat satu sama lain. Jalanan informal yang dibangun oleh pemukim tersebut langsung menuju ke arah laut. Pada ujung jalan biasanya terdapat kapal-kapal nelayan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pemukim dengan mata pencaharian nelayan pada permukiman tersebut. Pada beberapa bangunan juga terdapat jalan kecil pada area belakang sebagai tempat mereka untuk menambatkan kapal. Tidak terdapat halaman atau teras berumput pada bangunan di area ini. Masyarakat

50 86 Area pertama permukiman informal pada Jalan Gulama yang tinggal pada area ini juga tidak memiliki ruang untuk parkir kendaraan pada halaman rumahnya akibat dari keterbatasan lahan, sehingga kendaraan biasanya diparkirkan pada badan jalan atau lahan kosong yang tersisa. Selain itu, tidak terdapat akses terhadap air bersih dan air kotor pada perumahan tidak terencana ini. Warga harus membeli air bersih dalam bentuk jerigen dan warga langsung mengalirkan saluran pembuangan air kotor ke laut. Pada Jalan Gulama terlihat susunan massa bangunan dengan pola segi empat yang posisinya sangat berdekatan dengan massa bangunan lainnya. Ada massa bangunan yang posisi dindingnya menyatu dengan dinding bangunan tetangganya dan ada massa bangunan yang mempunyai jarak dengan massa bangunan lainnya. Jarak tersebut merupakan ruang yang dapat dilalui oleh pejalan kaki. Penghuni menggunakan ruang sirkulasi ini juga sebagai tempat untuk berinteraksi. Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut

51 87 Gang kecil pada permukiman informal yang terhubung langsung dengan Jalan Gulama Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut

52 88 Area kedua permukiman informal pada Jalan Gulama dengan bangunan permanen Pada area kedua permukiman informal di Jalan Gulama, massa bangunan yang terbentuk langsung berada pada pinggiran jalan arteri sekunder namun juga berbatasan langsung dengan laut. Bangunan berdiri sejajar dan lurus serta dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Bangunan pada area ini dibangun dengan menggunakan bahan bangunan permanen seperti batu bata dan sudah berpagar dan memiliki teras rumah sendiri. Berbeda dengan area pertama yang lebih bersifat non permanen pada bahan bangunan. Hal yang menyebabkan area permukiman ini juga termasuk area permukiman informal adalah sifat kepemilikan lahan pada permukiman ini bukan milik pribadi melainkan milik perusahaan PT. Pelindo. Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut Pada kawasan ini, bangunan yang terbangun mencerminkan kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan area sebelumnya yang dibangun secara non permanen. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan bangunan pada sekitar Jalan Gulama yang bersertifikat resmi untuk kemudian mempengaruhi masyarakat yang berada pada permukiman informal untuk membangun bangunannya serupa atau semirip mungkin dengan bangunan di sekitarnya yang cenderung formal. Walaupun bangunan tersebut permanen, bangunan didirikan di atas tanah milik perusahaan PT. Pelindo sehingga bangunan tersebut tidak memiliki surat kepemilikan yang sah. Hal ini menyebabkan bangunan tersebut termasuk dalam area permukiman informal.

53 89 Perbedaan fasad bangunan yang terdapat pada pola spasial lingkungan ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat yang bermukim di sekitar lingkungan tersebut. Area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama Pada area ketiga permukiman informal pada Jalan Gulama hampir mirip dengan pola massa bangunan pada area kedua sebelumnya. Bangunan berdiri langsung di pinggiran jalan arteri sekunder dan berbentuk lurus atau sejajar dengan jalan. Pada area ini bangunan juga berdiri secara permanen dan terhubung langsung dengan jalan yang dibangun pemerintah sehingga dapat dilewati oleh kendaraan roda empat. Hal ini dapat disebabkan oleh keinginan pemukim untuk membangun bangunan yang cenderung sama dengan pemukim sebelumnya sehingga bangunan pada area sepanjang Jalan Gulama memiliki karakteristik bangunan permanen walaupun dibangun di atas tanah yang bukan milik pribadi. Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong

54 90 Area keempat permukiman informal pada Jalan Gulama Pola massa bangunan pada area keempat sedikit berbeda dibandingkan dengan area pertama dan kedua yang berada pada Jalan Gulama. Perbedaan tersebut terletak pada banyaknya area lahan kosong pada kawasan ini. Area lahan kosong tersebut tidak digunakan untuk aktivitas sehari-hari warga karena tanahnya berlumpur dan sering dijadikan tempat pembuangan sampah bagi warga. Pada area ini juga terdapat coastal port atau galangan kapal. Lokasi galangan kapal tersebut berada pada area pesisir pantai berbatasan langsung dengan lahan kosong. Bangunan pada area ini juga termasuk bangunan permanen dan terintegrasi dengan jalan yang dapat dilewati oleh kendaraan roda empat. Jalan Gulama Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port

55 91 (b) Jalan Hiu Area lahan kosong menuju penambatan kapal nelayan pada Jalan Gulama Area informal juga terdapat pada Jalan Hiu. Pada Jalan Hiu terdapat area bangunan formal dan bangunan informal. Bangunan formal terletak pada pinggiran Jalan Hiu dan biasanya memiliki fungsi sebagai tempat perekonomian atau bisnis. Tempat perekonomian tersebut memiliki area bangunan lain di belakangnya dan area tersebut digunakan sebagai hunian. Area hunian tersebut berdiri langsung di atas laut atau pesisir pantai sehingga menyebabkan bangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai bangunan yang tidak mengikuti peraturan pemerintah. Pada area ini juga terdapat beberapa lahan kosong dan tempat penambatan kapal nelayan. Selain itu, bangunan pada area ini juga sama dengan bangunan yang terletak pada Jalan Gulama yang bersifat permanen. Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port Jalan Hiu

56 92 (c) Lorong Bakti Area permukiman informal pada Lorong Bakti Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong Lorong Bakti Area permukiman informal selanjutnya pada kawasan Kampung Nelayan ini ada pada Lorong Bakti. Lorong Bakti terintegrasi langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini sebagian besar rumah bersifat permanen karena dibangun menggunakan batu bata. Area ini berada di pinggiran pantai dan sebagian rumah berdiri di atas laut. Semakin mengarah menuju laut semakin rentan rumah tersebut untuk mengalami banjir ketika laut pasang. Apabila dilihat secara mikro, rumah-rumah yang berada pada area permukiman informal umumnya berdiri sendiri atau berdempetan dengan rumah lain. Bangunan yang berdiri sendiri biasanya menyediakan sebuah ruang kosong yang sempit dan hanya bisa dilalui pejalan kaki atau malah tidak dapat dilewati siapapun. Orientasi bangunan pada area ini langsung menghadap area pantai atau laut. Sirkulasi jalan juga hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua dan pejalan kaki. Hal ini disebabkan oleh minimnya keadaan ekonomi masyarakat untuk membangun jalan yang lebih besar. Hal ini juga dapat disebabkan oleh tidak adanya masyarakat pada permukiman informal yang memiliki kendaraan roda empat sehingga jalan yang lebih besar tidak diperlukan. Pada area Lorong Bakti, lokasi penyebaran massa bangunan cenderung mengikuti massa bangunan yang telah berdiri sebelumnya. Massa bangunan tersusun rapat dan saling berdempetan menunjukkan perencanaan

57 93 (d) Lorong Amal Area permukiman informal pada Lorong Amal Lorong Amal masyarakat dalam membangun hunian secara satu per satu dan dibangun mengikuti pola bangunan yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis permukiman yang berada di pinggiran laut menyebabkan lahan yang dibangun terbatas. Hal ini menyebabkan laut menjadi batas teritori pemukim dalam membangun permukimannya. Area permukiman informal pada Lorong Amal terintegrasi dengan lorong pada Lorong Bakti. Kawasan pada area Lorong Amal hampir mirip dengan keadaan pada Lorong Bakti. Pada area ini terdapat sebagian rumah yang berdiri di atas pesisir pantai dengan sebagian besar rumah berdiri secara non permanen. Jalan pada area ini juga tidak dapat dilewati kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jalan di area ini hanya dapat dilewati oleh pejalanan kaki saja. Rumah yang berada pada area ini juga tidak memiliki teras depan sehingga bangunan langsung terhubung dengan jalan. Pada area Lorong Amal juga terdapat jalan yang langsung menuju atau berbatasan dengan laut. Pada area ini, terdapat kapal-kapal nelayan yang ditambatkan sehingga memudahkan pemukim yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan untuk langsung pergi melaut.

58 94 Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong (e) Lorong Sukur Pada Lorong Sukur jalan yang terbentuk lebih rumit dan bercabang dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Rumah-rumah tersusun padat dan saling bersusun satu sama lain menghadap jalan atau gang kecil di depan rumah. Keadaan pada Lorong Sukur kurang lebih sama dengan keadaan permukiman pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Jalanan di depan rumah hanya dapat dilalui kendaraan roda dua atau pejalan kaki. Kebanyakan jalan atau lorong kecil tersebut berdiri di atas air laut dan kemungkinan besar tenggelam apabila waktunya pasang. Jalan sempit ini menimbulkan ruang linear yang terasa sempit apabila terdapat bangunan yang berdiri di sisi kiri kanan jalan. Kemudian, sebagian bangunan yang sudah dekat dengan laut

59 95 Area permukiman informal pada Lorong Sukur berdiri di atas pondasi beton yang ditancapkan ke permukaan pantai. Terdapat pula rumah yang dibangun menggunakan tiang pipa PVC. Lorong Sukur Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong

60 96 (f) Lorong Supir Area permukiman informal pada Lorong Supir Lorong Supir Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port Area permukiman informal pada Kampung Nelayan ini paling banyak terdapat pada kawasan Lorong Supir dan berdiri di antara loronglorong yang cukup sempit. Lorong tersebut sebagian hanya dapat dilewati kendaraan roda dua sedangkan sebagian lagi hanya dapat dilewati pejalan kaki saja. Selain lorong-lorong yang diberi perkerasan, terdapat pula jalanjalan kecil yang terbuat dari tanah timbunan. Akibat didirikan di atas pantai, bangunan harus ditinggikan sekitar 1 meter untuk mencegah air masuk ke dalam rumah apabila terjadi pasang. Selain itu, tanah yang ditempati pemukim bersifat lembab dan basah sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Pada bangunan-bangunan di permukiman informal di sekitar lorong Supir ini tidak terdapat banyak tanaman pada lahannya. Selain akibat dari kondisi tanah, luas lahan untuk perkebunan juga terbatas. Hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan pemukim dan keterbatasan ekonomi atau sosial mereka dalam membangun rumah. Dalam keterbatasan mereka membangun bangunan atau hunian, pemukim tentu memilah lebih dulu kebutuhan ruang. Kebutuhan area hijau untuk penyerapan air seperti lahan kosong untuk tanaman dan kebun tidak menjadi prioritas utama sehingga tidak terdapat banyak tanaman pada area permukiman informal. Lorong ini mengindikasikan kecilnya ruang gerak pada permukiman tidak terencana. Ruang gerak yang terbatas pada permukiman informal sejalan dengan

61 97 Kondisi suasana permukiman informal pada kawasan Lorong Supir kriteria UN-Habitat (2003) mengenai kriteria permukiman informal di mana kurangnya area gerak yang mencukupi. Hal ini dapat dilihat pada salah satu area Lorong Supir di mana bangunan langsung berdiri pada badan jalan. Selain terbatasnya area gerak untuk jalan dan transportasi, kurangnya lahan bangunan menyebabkan pemukim menjemur pakaiannya pada badan jalan. Aktivitas ini menyebabkan area badan jalan semakin bertambah sempit. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena masyarakat yang tinggal pada area permukiman ini tidak banyak yang memiliki kendaraan roda dua atau empat sehingga jalan di depan hunian mereka hanya digunakan untuk berkumpul atau berjalan kaki saja. Keterangan Gambar: : Salah satu lokasi permukiman informal

62 98 Kondisi area lahan di depan rumah pada permukiman informal di Lorong Supir Keterangan Gambar: : Salah satu lokasi permukiman informal

63 99 Kondisi lorong atau jalan yang terbentuk pada area permukiman informal di kawasan Lorong Supir yang hanya dapat dilewati pejalan kaki Keterangan Gambar: : Salah satu lokasi permukiman informal (g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan Daerah ini berada pada bagian paling ujung Jalan T. M. Pahlawan. Areanya lebih sepi dibandingkan dengan area permukiman lain di sekitar jalan T. M. Pahlawan dan banyak terdapat lahan kosong yang terbengkalai atau tidak

64 100 Area permukiman informal di ujung Jalan T. M. Pahlawan Jalan T. M. Pahlawan difungsikan. Di area ini juga terdapat beberapa massa bangunan tidak terencana dengan pola yang tersebar tidak teratur. Selain itu, area ini juga sudah berbatasan langsung dengan laut sehingga tanahnya lembab dan sering becek. Pada area ini banyak bangunan yang sudah terbengkalai dan tidak lagi terurus diakibatkan oleh aksesibilitas jalan yang terlalu jauh dari pusat pasar. Kemudian, tidak terlalu banyak hunian seperti pada lorong-lorong sebelumnya karena masalah jaringan jalan dan kondisi tanah yang kurang bagus. Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port

65 101 Pola spasial yang terbentuk pada permukiman tidak terencana tidak selalu terlihat sama. Hal inilah yang dimaksud oleh Sobreira dan Gomes (2001) bahwa kelihatannya pola permukiman informal sulit untuk diidentifikasi. Bagian bangunan yang terlihat membentuk kumpulan tersendiri ini dapat diidentifikasi dan dikaji pula ke dalam beberapa bagian seperti yang dikatakan Sobreira dan Gomes (2001). (a) (b) Gambar 5.7 Contoh perbandingan pola massa tidak terencana yang terbentuk pada (a) Lorong Bakti dan (b) Lorong Supir Dalam menganalisa pola spasial permukiman informal, Sobreira dan Gomes (2001) membagi pola ke dalam beberapa bagian. Bagian tersebut kemudian dapat dibedakan berdasarkan jumlah blok massa bangunan yang saling berdempetan. Pola spasial permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan ini bermacam-macam dan dapat berbeda bentuk antara satu kawasan dengan kawasan lainnya (Gambar 5.7). Dalam mengkaji pola permukiman informal tersebut, Sobreira dan Gomes (2001) ingin membuktikan bahwa terdapat pola atau

66 102 susunan fragmen yang mirip antara satu permukiman informal dengan permukiman informal lainnya. Proses mengkaji atau pembuktian ini dilakukan dengan perhitungan geometris. (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) Gambar 5.8 Pembagian jenis pola spasial permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Belawan Medan di (a) Jalan Gulama, (b) Jalan Hiu, (c) Lorong Bakti, (d) Lorong Amal, (e) Lorong Sukur, (f) Lorong Supir, dan (g) ujung Jalan T. M. Pahlawan

67 103 Dalam membagi kelompok permukiman di Kampung Nelayan, massa bangunan-massa bangunan dibagi ke dalam beberapa jalan dan lorong. Pada setiap jalan dan lorong terdapat massa, jaringan jalan, dan ruang terbuka yang kemudian diidentifikasi menjadi beberapa tipe pola. Pola spasial pada bangunan yang terbentuk tanpa rencana ini (Gambar 5.8) kemudian dibagi ke dalam beberapa fragmen pola. Pola-pola tersebut dibagi berdasarkan jumlah massa bangunan yang saling berdekatan atau saling melekat. Sehingga, terdapat kelompok massa bangunan yang berdiri sendiri dan kelompok massa bangunan yang terdiri dari dua sampai delapan massa bangunan yang berdempetan. Cara mengidentifikasi kelompok massa bangunan ini dilakukan oleh Sobreira dan Gomes (2001). Sobreira dan Gomes (2001) menentukan kelompok massa bangunan tersebut dengan variabel s. Sehingga, kelompok massa bangunan yang terdiri dari satu massa saja dikatakan dengan s=1. Kemudian, kelompok massa bangunan yang terdiri dari dua massa disebutkan dengan s=2, dan begitu seterusnya. Setelah diidentifikasi, Sobreira dan Gomes menghitung berapa banyak jumlah tiap kelompok massa bangunan tersebut dan menghitungnya ke dalam sebuah grafik. Contoh pembagian kelompok massa bangunan tersebut pada Gambar 5.9. Kelompok massa bangunan tersebut dinamakan pulau (island) (Sobreira dan Gomes, 2001). Pada Lorong Bakti, kelompok massa bangunan berjumlah antara s=1 sampai s=4 (Gambar 5.9). Dapat dilihat beberapa bagian dari kumpulan massa bangunan yang terdiri dari dua sampai empat bangunan yang berdempetan (Gambar 5.9). Melalui proses identifikasi pada pola massa permukiman informal

68 104 di Lorong Bakti, pulau-pulau yang berdiri sendiri (s=1) berjumlah 20 buah. Untuk s=2 berjumlah 6 buah pulau. Untuk s=3 berjumlah 2 buah dan s=4 berjumlah 1 buah. Sedangkan pada Lorong Sukur jumlah s berkisar dari s=1 sampai s=13. Untuk s=1 terdapat 17 buah pulau yang berdiri sendiri. Kemudian, s=2 terdapat 8 buah, s=3 terdapat 3 buah, s=4 terdapat 1 buah, s=5 terdapat 1 buah, s=6 terdapat 2 buah, s=9 terdapat 1 buah, s=12 terdapat 1 buah, dan s=13 terdapat 1 buah. Contoh identifikasi jumlah massa bangunan pada Lorong Sukur dapat dilihat pada Gambar Peta Kunci Keterangan Gambar: : s=1 : s=2 : s=3 : s=4 Gambar 5.9 Contoh identifikasi jumlah kelompok massa bangunan (pulau/island) pada kawasan Lorong Bakti Peta Kunci Keterangan Gambar: : s=1 : s=2 : s=3 : s=4 : s=5 : s=6 : s=9 : s=12 Gambar 5.10 Contoh identifikasi jumlah kelompok massa bangunan (pulau/island) pada kawasan Lorong Sukur

69 105 Maka, melalui 7 lokasi persebaran permukiman informal pada kawasan Kampung Nelayan Medan Belawan persebaran kelompok massa bangunan (island) terlihat beragam. Jumlah pulau yang diidentifikasi dengan variabel (s) pada tiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut. Setelah mengetahui jumlah kumpulan massa bangunan yang tersebar pada permukiman informal, Sobreira dan Gomes (2001) memasukkan variabel dan jumlah tersebut ke dalam sebuah grafik. Grafik tersebut menunjukkan bagaimana peta persebaran pola spasial permukiman informal juga memiliki sebuah pola tersendiri yang memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain. Perbandingan luas pulau dengan jumlah pulau yang terdapat pada area permukiman informal di Jalan Gulama sampai area ujung Jalan T. M. Pahlawan dapat dilihat pada grafik pada Tabel 5.2.

70 106 Tabel 5.2 Jumlah s pada tiap persebaran lokasi Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan (a) Jalan Gulama s=1 8 Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut s=2 2 s=3 1 s=4 1 s=5 1 s=7 1 s=9 3 Jalan Gulama s=16 1 s=21 1 Pada Jalan Gulama, bangunan yang berdiri tunggal lebih banyak dibandingkan dengan bangunan lain yang berdiri berdempetan. Pada area ini, jumlah bangunan yang berdempetan mencapai 21 bangunan yang berdekatan. Banyaknya jumlah bangunan yang berdempetan mencapai 21 ini disebabkan oleh daerah Jalan Gulama yang sudah diaspal dan dekat dengan akses ke jalan besar atau pasar. Masyarakat pada daerah ini cenderung membangun bangunannya berdekatan akibat dari lahan bangunan yang sebagian besar sudah memiliki halaman atau teras di depannya. Berbeda dengan bangunan di permukiman tidak terencana yang lebih dekat ke arah pantai, mereka membangun rumah yang berdiri sendiri atau dikelilingi oleh jalan di sekitarnya sebagai akibat dari tidak adanya lahan depan atau teras untuk aksesibilitas. Perbedaan kecenderungan dalam membangun bangunan ini dapat disebabkan oleh perbedaan orientasi bangunan.

71 107 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan (b) Jalan Hiu s=1 2 s=2 1 s=6 1 s=7 1 Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut Jalan Hiu Seperti juga pada Jalan Gulama, massa bangunan yang berdiri sendiri lebih banyak dibandingkan dengan massa bangunan yang berdiri berdempetan. Perbedaannya, pada area Jalan Hiu, bangunan yang berdempatan (pulau) mencapai 7 buah bangunan. Dibandingkan dengan Jalan Gulama, massa bangunan yang berdempetan lebih sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh panjang Jalan Hiu yang lebih pendek dibandingkan Jalan Gulama. Jalan Hiu mencapai 230 meter sedangkan Jalan Gulama yang mencapai 520 meter. Perbedaan panjang jalan ini tentu mempengaruhi banyaknya bangunan yang dibangun di sepanjang badan jalan. Melalui hal ini dapat diidentifikasi bahwa jaringan jalan yang panjang dapat menghasilkan kumpulan massa bangunan (pulau) dengan s yang lebih banyak dibandingkan jalan yang lebih pendek. Jumlah s=1 pada area Jalan Hiu juga tidak terlalu banyak dibandingkan dengan Jalan Gulama padahal kedua area jalan ini termasuk jalanan besar dan formal dengan akses yang

72 108 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan tergolong mudah menuju pusat pasar dan hanya berjarak sejauh 260 meter menuju jalan arteri primer/jalan Yos Sudarso. Hal ini dapat disebabkan oleh area Jalan Hiu yang memiliki banyak area industri atau perekonomian. Pada area ini juga terdapat fasilitas pendidikan dan rumah-rumah yang didirikan juga sudah permanen. (c) Lorong Bakti s=1 20 Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong s=2 6 s=3 2 s= Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau Lorong Bakti 0 s=1 s=2 s=3 s=4 Sama seperti area Lorong Amal yang berada bersebelahan dengan Lorong Bakti, kumpulan massa terbanyak berada pada s=1. Bangunan yang berdiri tunggal tetap lebih banyak dibandingkan dengan bangunan yang berdempetan. Jumlah pulau terbanyak berada pada titik s=6. Pulau terbanyak berada pada ujung Lorong Amal yang berhubungan langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan sedangkan semakin ke ujung lorong bangunan cenderung berdiri sendirian. Pada Lorong Bakti, s=1 mencapai 20 buah massa bangunan. Hal

73 109 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan Area permukiman informal pada Lorong Bakti ini dapat dikatakan cukup banyak apabila dibandingkan area Jalan Gulama dan Jalan Hiu. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi jaringan Jalan Gulama dan Jalan Hiu dibandingkan Lorong Bakti. Lorong Bakti hanya memiliki lebar sekitar kurang lebih 3 meter dibandingkan Jalan Gulama dan Jalan Hiu yang berukuran 8 meter. Perbedaan ini menyebabkan berbedanya tipe transportasi yang dapat melewati kedua jalan tersebut. Lorong Bakti yang hanya memiliki lebar 3 meter dan semakin menyempit di ujung jalan menyebabkan bangunan harus memiliki ruang pada daerah samping bangunannya untuk memaksimalkan penggunaan aksesibilitas atau jaringan jalan. Bangunan yang berdiri sendiri (s=1) banyak yang dibangun di atas jalan yang dibangun oleh pemukim itu sendiri. Keterbatasan lahan menyebabkan pemukim harus membangun arealnya sendiri dengan jaringan jalan yang baru. Selain itu, jaringan jalan pada Lorong Bakti terhubung dengan lorong disebelahnya yaitu Lorong Amal. Jaringan jalan yang terhubung ini dibangun secara informal oleh pemukim untuk memenuhi kebutuhan mereka akan aksesibilitas dari satu lorong ke lorong yang lain. (d) Lorong Amal s=1 7 s=3 3 s=4 1 s=6 2

74 110 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan Lorong Amal Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong Sama seperti area Lorong Amal yang berada bersebelahan dengan Lorong Bakti, kumpulan massa terbanyak berada pada s=1. Bangunan yang berdiri tunggal tetap lebih banyak dibandingkan dengan bangunan yang berdempetan. Jumlah pulau terbanyak berada pada titik s=6. Pulau terbanyak berada pada ujung Lorong Amal yang berhubungan langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan sedangkan semakin ke ujung lorong bangunan cenderung berdiri sendirian.

75 111 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan (e) Lorong Sukur s=1 17 s=2 8 s=3 3 s= s=1 s=2 s=3 s=4 s=5 s=6 s=9s=12s=13 Perban dingan jumlah pulau dengan luas pulau s=5 1 s=6 2 Lorong Sukur s=9 1 s=12 1 s=13 1 Pada Lorong Sukur jumlah bangunan yang berdiri lebih banyak dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Jaringan jalan yang terbentuk pada Lorong Sukur lebih rumit dan bercabang dibandingkan pada Lorong Amal dan Lorong Bakti. Selain itu, daerah ini memiliki jaringan jalan yang lebih banyak dan lebih panjang sehingga s (jumlah bangunan yang berdekatan) yang muncul lebih banyak dibandingkan dua lorong sebelumnya. Panjangnya jalan pada Lorong Sukur menyebabkan masyarakat lebih banyak membangun bangunannya pada sekitar badan jalan tersebut. Hubungan ini menjelaskan pengaruh jalan terhadap kumpulan massa bangunan yang terbentuk. Hal ini dapat juga terlihat pada kawasan permukiman informal di Jalan Gulama dan Jalan Hiu di mana pada jalan yang lebih panjang, variabel s yang terbentuk juga lebih banyak. Namun, pada Lorong Sukur, semakin mendekati laut semakin banyak bangunan yang berdempetan dan berdiri bersebarangan pada

76 112 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong jalan yang sempit yang hanya dapat dilewati oleh pejalan kaki. Jaringan jalan yang terbentuk hanya berukuran 1 sampai 2 meter saja. Area bangunan yang berdiri sendiri banyak tersebar pada sekitar Jalan T. M. Pahlawan dan ada dua bangunan yang berdiri sendiri pada area yang semakin dekat ke laut. Area permukiman informal di Lorong Sukur (f) Lorong Supir s=1 39 s=2 8 s=3 2 s=4 2 s=5 2 s=6 1 s=7 2 Jumlah s terbanyak pada Lorong Supir ada pada s=1, artinya

77 113 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan s=8 s= bangunan lebih banyak yang berdiri sendiri dibandingkan berdiri berdempetan. Akibat dari jaringan jalan pada Lorong Supir yang lebih rumit dan bercabang ke laut, jumlah s yang dihasilkan s=14 1 mencapai 21. Artinya, terdapat sebuah area dengan 21 bangunan yang saling berdempetan. Area yang saling berdempetan ini s=17 1 adalah kumpulan bangunan yang berdiri saling membelakangi dan berada pada satu area jalan yang panjang sehingga bangunan yang dapat berdiri pun dapat lebih banyak. s=18 1 s=21 1 s=31 1 Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong Lorong Supir

78 114 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan Area permukiman informal pada Lorong Supir (g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan s=1 16 s=2 2 Jalan T. M. Pahlawan Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada area di ujung Jalan

79 115 Lokasi s Jumlah Grafik dan Keterangan s=3 1 T. M. Pahlawan Pada ujung Jalan T. M. Pahlawan, lahan kosong lebih banyak dibandingkan dengan bangunan yang berdiri. Bangunan yang berdiri sendiri mencapai 16 buah bangunan. Bangunan tersebut tersebar ke beberapa titik dengan pola yang tidak teratur. Kumpulan massa bangunan yang berdekatan berada pada ruas jalan T. M. Pahlawan sedangkan massa yang berdiri sendiri tersebar di lahan-lahan kosong dan jalan-jalan kecil yang dibangun oleh pemukim. Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada area di ujung Jalan T. M. Pahlawan

80 116 Setelah mengidentifikasi grafik per lokasi pada permukiman informal di Kampung Nelayan, selanjutnya identifikasi dilakukan pada satu permukiman informal secara keseluruhan (Tabel 5.3). Sehingga, jumlah s (pulau) yang menunjukkan kelompok blok massa bangunan yang berdekatan digabungkan dari semua lokasi permukiman informal di kawasan ini. Tabel 5.3 Total s dari seluruh lokasi pada permukiman Kampung Nelayan Lokasi s (a) Jalan (b) Jalan Hiu (c) Lorong (d) Lorong (e) Lorong (f) Lorong (g) Ujung Jalan T. Jumlah Gulama Bakti Amal Sukur Supir M. Pahlawan s= s= s= s= s= s= s= s= s= s= s= s= s= s= s=

81 117 Lokasi s (a) Jalan (b) Jalan Hiu (c) Lorong (d) Lorong (e) Lorong (f) Lorong (g) Ujung Jalan T. Jumlah Gulama Bakti Amal Sukur Supir M. Pahlawan s= s= s= Total Mass a Setelah mengkalkulasikan jumlah pulau yang terbentuk di kawasan Kampung Nelayan (Tabel 5.3), dapat dihasilkan grafik yang menunjukkan perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau (Gambar 5.11). Menurut Sobreira dan Gomes (2001), dengan menggunakan kalkulasi geometri seperti model di atas, setiap pola permukiman informal memiliki bentuk grafik yang hampir mirip. Sobreira dan Gomes (2001) melakukan penelitian di Brazil dan Nairobi, Kenya. Grafik persebaran kelompok-kelompok massa bangunan di Brazil dan Kenya menunjukkan hasil yang cukup mirip (Gambar 5.11).

82 s=1 s=3 s=5 s=7 s=9 s=12 s=14 s=17 s= Jumlah pulau (island) yang terbentuk s=1 s=2 s=3 s=4 s=5 s=6 s=7 s=8 Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau Gambar 5.11 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau permukiman informal di Nairobi, Kenya (sumber: Sobreira dan Gomes, 2001) Jumlah pulau (island) yang terbentuk Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau 0 Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk Gambar 5.12 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan

83 119 Berdasarkan hasil analisa Sobreira dan Gomes (2001), terdapat banyak kelompok-kelompok massa bangunan yang berdiri sendiri (s=1) (Gambar 5.11). Hal ini juga terdapat pada permukiman informal Kampung Nelayan di mana pulau yang terisolasi sendiri berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan kelompok massa bangunan yang berdempetan. Pada grafik permukiman informal di Nairobi, setelah titik s=1, grafik terus menurun hingga beranjak naik kembali pada titik s=5 (Gambar 5.11). Sedangkan pada area Kampung Nelayan, setelah titik s=1 grafik terus menurun hingga menaik pada titik s=6 (Gambar 5.12). Kemudian pada permukiman di Nairobi, titik di grafik meningkat kembali pada s=8. Pada permukiman di Kampung Nelayan, titik beranjak naik pada titik s=9. Pola ini dapat terlihat mirip karena pada permukiman informal di Nairobi, jumlah kelompok-kelompok massa bangunan (s=island) mencapai s=8. Jauh lebih sedikit dibandingkan pada permukiman Kampung Nelayan dengan kelompok massa bangunan (s=island) yang mencapai s=21 (Gambar 5.13). Jumlah pulau (island) yang terbentuk s=1 s=3 s=5 s=7 s=9 s=12 s=14 s=17 s=21 Jumlah kelompok massa bangunan (island) yang terbentuk Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau di Nairobi, Kenya Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau di Kampung Nelayan Gambar 5.13 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan dengan permukiman di Nairobi, Kenya

84 Susunan Pemanfaatan Ruang dengan Jaringan Prasarana Pola spasial suatu permukiman ditentukan oleh bentuk yang melekat pada ruang. Daerah pesisir pantai dan daerah yang tidak berada pada pesisir pantai memiliki perbedaan terkait keadaan spasial ruangnya dikarenakan oleh kondisi fisik tapak atau keadaan lingkungannya. Pola spasial diidentifikasi melalui sistem blok massa, sistem jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Sedangkan sistem struktur berhubungan dengan fungsi atau penggunaan lahan. Untuk sistem blok massa, bangunan dibedakan berdasarkan fungsi. Fungsi tersebut dibedakan atas fungsi hunian, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi ibadah, fungsi MCK, dan lain-lain (Gambar 5.14). Pada daerah Kampung Nelayan ini, massa dapat dibedakan atas bangunan yang mempunyai kepemilikan yang sah dan bangunan yang tidak memiliki izin pemerintah. Keterangan penggunaan lahan pada permukiman dan luas tiap fungsi

85 121 Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan : Laut Gambar 5.14 Peta Penggunaan Lahan pada kawasan Kampung Nelayan

86 122 Tabel 5.4 Luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan Gulama (a) Jalan Gulama Lokasi Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan Keterangan Penggunaan Lahan pada Permukiman Pada Jalan Gulama, sebagian besar lokasi ini memiliki fungsi sebagai hunian. Setelah itu terdapat banyak lokasi ekonomi seperti toko kelontong, rumah makan, atau bengkel. Sebagian besar dari aktivitas ekonomi ini dilakukan di dalam rumah pemilik toko sehingga toko bergabung dengan fungsi hunian. Pada area permukiman tidak terencana di Jalan Gulama, fungsi paling luas terdapat pada permukiman. Setelah permukiman, fungsi terbanyak selanjutnya adalah area ruang terbuka atau lahan kosong. Banyak dari lahan kosong yang berada di Jalan Gulama memiliki Luas Fungsi Permukiman Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan Gulama. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 9101,2 m 2 85 Perdagangan dan 1725,53 m 2 18 Jasa Coastal Port 1379,42 m² 9 Peribadatan - - Pendidikan dan 389,07 m 2 1 Olahraga Kesehatan - - Ruang Terbuka 2545,24 m 2 3

87 123 kondisi yang kurang baik seperti berlumpur dan dijadikan tempat pembuangan sampah tidak resmi. Pada Jalan Gulama juga terdapat banyak hunian yang digunakan sebagai tempat perdagangan seperti toko kelontong atau rumah makan. (b) Jalan Hiu Sedangkan pada Jalan Hiu, fungsi paling luas adalah area ruang terbuka atau lahan kosong. Luas area Jl. Hiu Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan ruang terbuka lebih besar dibandingkan area hunian. Pada area Jalan Hiu tidak terdapat permukiman dengan struktur bangunan di bawah standard. Namun, akibat dari bangunan yang berdiri di pinggiran pantai, area tersebut termasuk permukiman informal sebab berdiri di atas tanah yang bukan milik pribadi. Selain itu di Jalan Hiu juga terdapat sekolah walaupun letak Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Jalan Hiu. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 1456,08 m² 15 Perdagangan 233,29 m² 2 dan Jasa Coastal Port 705,5 m² 6 Peribadatan - - Pendidikan dan Olahraga - -

88 124 sekolah tidak termasuk area permukiman tidak terencana. Kesehatan - - Ruang Terbuka 1831,73 m² 7 (c) Lorong Bakti Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan Lorong Bakti Area Lorong Bakti adalah salah satu dari empat buah lorong yang tersambung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini, luas lahan paling banyak digunakan untuk fungsi hunian. Luas hunian berkisar antara 22 m 2 sampai 180 m 2. Pada area Lorong Bakti juga terdapat coastal port atau tempat berlabuh kapal nelayan. Kapal-kapal tersebut ditambatkan di depan jalan hunian penduduk. Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Bakti. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 2123,27 m² 36 Perdagangan dan Jasa 433,03 m² 5 Coastal Port 114,58 m² 1 Peribadatan - - Pendidikan dan - - Olahraga Kesehatan - - Ruang Terbuka 806,46 m² 1 (d) Lorong Amal Lorong Amal berada setelah Lorong Bakti dan memiliki Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Amal.

89 125 Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan Lorong Amal jalan kecil sebagai sambungan antara kedua area permukiman. Pada Lorong Amal terdapat 26 massa dengan fungsi hunian dan memiliki luas sekitar 1976,18 m 2. Pada area ini juga terdapat coastal port yang berada di depan hunian pemukim seperti pada Lorong Bakti. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 1976,18 m² 26 Perdagangan 895,65 m² 5 dan Jasa Coastal Port 241,31 m² 1 Peribadatan - - Pendidikan dan Olahraga - - Kesehatan - - Ruang Terbuka - - (e) Lorong Sukur Lorong Sukur adalah lorong kedua terdapat pada aera permukiman tidak terencana di kawasan ini. Peta penggunaan lahan menunjukkan lokasi area ruang terbuka lebih luas dibandingkan area permukiman. Area ruang terbuka pada lokasi ini Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Sukur. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 3663,19 m² 92 Perdagangan 312,2 m² 12

90 126 Lorong Sukur Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan sebagian digunakan sebagai kuburan. Massa hunian ada 92 buah dan terdapat jalanjalan atau gang-gang sempit yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Jalan kecil ini akan menghubungkan Lorong Sukur dengan Lorong Supir yang berada di sebelahnya. Semua jalan kecil yang terbentuk pada lokasi ini dikategorikan sebagai jaringan jalan tidak terencana dan terbentuk akibat dari pola hunian yang menciptakan ruang kosong sebagai tempat berlalu lalang. dan Jasa Coastal Port 18,4 m² 1 Peribadatan - - Pendidikan dan - - Olahraga Kesehatan - - Ruang Terbuka 4068,37 m² 3 (f) Lorong Supir Lorong terakhir yang tersambung dengan Jalan T. M. Pahlawan bernama Lorong Supir. Lorong Supir adalah lorong dengan permukiman paling padat Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di Lorong Supir.

91 127 Keterangan Gambar: : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan Lorong Supir pada lokasi ini. Pada lokasi ini terdapat 223 buah massa dengan fungsi hunian. Selain itu, pada lokasi ini juga terdapat fungsi hunian dengan luas terbesar dibandingkan dengan area permukiman informal yang lain pada Kampung Nelayan Belawan Medan. Selain itu, hanya pada lokasi permukiman informal ini terdapat fungsi peribadatan. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 11931, m² Perdagangan 330,09 m² 9 dan Jasa Coastal Port 388,69 m² 5 Peribadatan 189,61 m² 2 Pendidikan dan - - Olahraga Kesehatan - - Ruang Terbuka 6230,71 m² 7

92 128 (g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan Keterangan Gambar: Jl. T. M. Pahlawan : Permukiman : Perdagangan dan Jasa : Coastal Port : Jalan : Area terbuka : Peribadatan : Pendidikan : Kesehatan Lokasi permukiman tidak terencana terakhir berada pada area ujung Jalan T. M. Pahlawan. Pada area ini terdapat banyak lahan kosong yang cukup luas sekitar m 2. Area coastal port di lingkungan ini paling luas dibandingkan dengan lokasi permukiman tidak terencana lainnya. Hal ini disebabkan oleh lokasi ini yang berada dekat dengan laut lepas. Selain itu tidak terdapat banyak hunian di area ini. Setiap massa hunian tampak berjarak cukup jauh dengan hunian lain. Berbeda dengan area lorong yang terintegrasi dengan Jalan T. M. Pahlawan yang memiliki pola massa yang berdempetan dan rapat antara satu dengan yang lainnya.. Berikut luas dan jumlah blok massa sesuai dengan fungsinya pada lokasi permukiman informal di ujung Jalan T. M. Pahlawan. Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 3870,99 m² 21 Perdagangan dan Jasa 746,46 m² 3 Coastal Port 2735,73 m² 84 Peribadatan - - Pendidikan dan Olahraga - - Kesehatan - - Ruang Terbuka 19524,16 m² 2

93 129 Setelah menghitung dan mengidentifikasi luas pada tiap fungsi massa pada permukiman informal yang terbentuk di tiap lokasi pada Kampung Nelayan, total luas fungsi massa diakumulasikan kembali (Tabel 5.5). Setelah diakumulasikan terdapat kesimpulan bahwa tidak terdapat fasilitas kesehatan pada permukiman informal ini. Lokasi fungsi pendidikan juga hanya terdapat satu buah di area Jalan Gulama. Area ruang terbuka memiliki luas terbesar. Luas area ruang terbuka ternyata lebih luas dibandingkan luas area permukiman. Namun, massa permukiman atau titik lokasi permukiman lebih banyak dibandingkan titik ruang terbuka. Terdapat sebanyak 498 hunian pada lokasi permukiman tidak terencana di Kampung Nelayan. Setelah hunian, fungsi dengan titik lokasi terbanyak adalah coastal port. Hal ini disebabkan oleh lokasi permukiman yang berada di pesisir pantai sehingga banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan. Profesi ini menyebabkan pemukim memiliki perahu atau menyewa sendiri perahu mereka dan menambatkannya di depan rumah mereka sendiri. Tabel 5.5 Akumulasi fungsi ruang yang terbentuk pada permukiman informal di Kampung Nelayan Belawan Medan Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 34122,76 m Perdagangan dan Jasa 4676,25 m 2 54 Coastal Port 5583,63 m Peribadatan 189,61 m 2 2 Pendidikan dan Olahraga 389,07 m 2 1 Kesehatan 0 0

94 130 Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Ruang Terbuka 35006,67 m 2 23 TOTAL 79967,99 m Keterangan Gambar: : Jalan yang dibangun pemerintah : Jalan yang dibangun pemukim : Coastal Port Gambar 5.15 Peta keadaan jaringan jalan pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan

95 131 Selain blok massa dan fungsi yang mengiringinya, struktur ruang pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan ini juga dibentuk oleh sistem jaringan jalan. Jalan pada permukiman ini dapat dibagi menjadi dua kategori. Klasifikasi tersebut adalah pembagian jalan berdasarkan pihak pembangun jalan berdasarkan jenis kendaraan yang dapat melewati jalan tersebut. Berdasarkan pihak yang membangun jalan pada permukiman ini, terdapat dua tipe jalan yang terbentuk yaitu jalan formal yang dibangun oleh pemerintah dan jalan yang dibentuk oleh pemukim. Jalan yang dibangun pemerintah memiliki peraturan dan sistemnya sendiri sesuai dengan Undang-undang yang berlaku sedangkan jalan yang dibangun oleh pemukim disesuaikan dengan kebutuhan pemukim itu sendiri. Jalan yang dibangun oleh pemukim itu sendiri sering ditemukan pada lokasi permukiman tidak terencana dan terbentuk akibat ruang-ruang kosong yang berada di depan atau samping rumah pemukim. Walaupun jalan ini terbentuk tanpa peraturan pemerintah, di beberapa titik lokasi terdapat jalan yang diberi perkerasan oleh pemerintah dalam rangka membantu struktur ruang permukiman tidak terencana tersebut. Jaringan jalan yang dibangun oleh pemerintah memiliki luas lebih besar dibandingkan jalan yang dibangun oleh pemukim (Tabel 5.6). Keadaan jaringan jalan yang dibangun oleh pemerintah juga telah diberi perkerasan untuk digunakan baik kendaraan roda empat maupun pelajan kaki (Gambar 5.15). Jalan yang dibangun pemerintah tersebar dari Jalan Gulama yang terintegrasi dengan jalan-jalan lain di sebelah utara kawasan seperti Jalan Alu-alu, Jalan Bawal, Jalan Bandeng, dan lain-lain. Kemudian Jalan Hiu dan Jalan T. M. Pahlawan juga

96 132 termasuk jalan yang dibangun oleh pemerintah. Sedangkan jalan yang dibangun oleh pemukim tersebar dari Lorong Bakti sampai Lorong Supir. Jalan ini memiliki luas lebih kecil dikarenakan oleh lebar dan panjang jalan yang tidak terlalu luas. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan pada permukiman tidak terencana. Selain itu, padatnya hunian atau massa bangunan menyebabkan jaringan jalan yang dibangun disesuaikan dengan kondisi massa. Sehingga, jalan-jalan pada permukiman tidak terencana banyak yang hanya dapat dilewati pejalan kaki saja. Tabel 5.6 Luas jaringan jalan pada permukiman Kampung Nelayan berdasarkan tipe jalan Tipe Jalan Luas Jalan Formal 42133,19 m² Jalan yang Dibentuk oleh Pemukim 3572,13 m² TOTAL 45705,32 m 2 Area ruang terbuka pada permukiman ini ditandai dengan lahan kosong di depan dan di samping hunian (Gambar 5.16). Area ini biasanya memiliki tanah yang berlumpur dan ditumpuki banyak sampah sehingga tidak terdapat banyak aktivitas di atasnya. Beberapa area ruang terbuka juga dimanfaatkan beberapa pemukim sebagai jalan pintas menuju tempat penangkaran kapal nelayan mereka. Area ruang terbuka pada permukiman ini adalah area dengan fungsi terluas. Luas area lahan kosong pada permukiman ini mencapai total ,15 m².

97 133 Keterangan Gambar: : Permukiman : Jalan : Coastal Port : Ruang Terbuka : Laut Gambar 5.16 Peta ruang terbuka permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan Sistem utilitas pada permukiman Kampung Nelayan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sistem yang terintegrasi dengan pemerintah dan sistem yang tidak terintegrasi dengan pemerintah. Utilitas dapat dibagi menjadi sistem air bersih dan sistem air kotor. Pada permukiman yang memiliki sertifikat hak milik yang sah dari pemerintah, sistem air bersih memakai sumber langsung dari PDAM

98 134 sedangkan sistem air kotor memiliki pembuangan langsung ke parit di depan rumah. Pada permukiman yang tidak terencana, sumber air bersih tidak didapat dari PDAM melainkan dibeli langsung memakai jerigen dan sistem air kotor dibuang langsung ke laut. Setelah menganalisa pemanfaatan tanah yang terbentuk pada tiap elemen fisik permukiman di Kampung Nelayan, dilakukan perhitungan dengan menggunakan Space Syntax mengenai integrity yang terjadi di antara ketujuh lokasi permukiman informal yang tersebar di Kampung Nelayan (Gambar 5.17). Ketujuh lokasi permukiman tersebut dianalisa berdasarkan tipe kedekatan yang muncul di antara tiap lokasi (Gambar 5.18). Gambar 5.17 Lokasi pembagian permukiman informal ke dalam beberapa titik: (a) Jalan Gulama, (b) Jalan Hiu, (c) Lorong Bakti, (d) Lorong Amal, (e) Lorong Sukur, (f) Lorong Supir, (g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan

99 135 Dapat dilihat berdasarkan peta lokasi, di mana akses antara satu lokasi dengan lokasi lainnya dapat berbeda. Untuk mengetahui hubungan akses yang terjadi pada lokasi permukiman informal ini akan dilakukan perhitungan connectivity lewat space syntax yang dikemukakan oleh Hillier (1993). Menurut Hillier (1993), konektivitas antara tiap ruang yang terbentuk dapat dihitung berdasarkan step depth atau seberapa mudah akses dari satu titik ke titik lainnya. Semakin tinggi nilai step depth suatu lokasi, semakin mudah aksesibilitas ke lokasi tersebut. C D A B X D E F G Keterangan: A = Jalan Gulama B = Jalan Hiu C = Lorong Bakti D = Lorong Amal E = Lorong Sukur F = Lorong Supir G = Ujung Jalan T. M. Pahlawan X = Jalan T. M. Pahlawan Gambar 5.18 Kontektivitas yang terbentuk di antara ruang permukiman informal Kampung Nelayan Belawan Medan

100 136 Connectivity adalah kedekatan antar ruang. Berdasarkan perhitungan space syntax, connectivity antara tiap masing-masing elemen adalah sebagai berikut (Gambar 5.18): Nilai connectivity ruang A adalah 1; Nilai connectivity ruang B adalah 2; Nilai connectivity ruang C adalah 2; Nilai connectivity ruang D adalah 3; Nilai connectivity ruang E adalah 3; Nilai connectivity ruang F adalah 3; Nilai connectivity ruang G adalah 1. Sesuai dengan teori integrity pada space syntax yang dikemukakan oleh Hillier (1984), X adalah ruang pengamatan dengan nilai integrity yang relatif lebih tinggi dari ruang lainnya sebab ruang X terhubung secara langsung dengan banyak ruang lainnya. Di sini X adalah Jalan T. M. Pahlawan yang terhubung hampir ke semua titik lokasi permukiman. Jalan ini juga dekat dengan pusat pasar dan menuju langsung ke arah jalan primer/jl. Yos Sudarso. Berdasarkan perhitungan connectivity, ruang D, E, F adalah ruang-ruang dengan aksesibilitas yang paling banyak dibandingkan ruang lainnya pada permukiman. Setelah menghitung connectivity akan dilakukan perhitungan integrity yang menyatakan kekompakan tiap ruang dalam sistem ruang. Ruang dengan nilai integrity yang

101 137 tinggi dapat diinterpretasikan sebagai ruang dengan derajat kesatuan yang tinggi terhadap konfigurasi ruang secara keseluruhan, sedangkan ruang dengan nilai integrity yang rendah akan cenderung memisahkan diri dalam konfigurasi. Adapun berdasarkan hasil perhitungan integrity lewat analisa space syntax per lokasi permukiman adalah sebagai berikut: Nilai integrity ruang A adalah 9,3; Nilai integrity ruang B adalah 6,67; Nilai integrity ruang C adalah 11,67; Nilai integrity ruang D adalah 9,03; Nilai integrity ruang E adalah 9,03; Nilai integrity ruang F adalah 11,67; Nilai integrity ruang G adalah 7,6; Berdasarkan perhitungan space syntax mengenai integrity di atas dapat disimpulkan bahwa urutan nilai integrity dari terendah ke tertinggi adalah B, G, A, D, E, C, F. Menurut Hillier (1984), semakin tinggi nilai integrity semakin tinggi derajat kesatuan ruang tersebut terhadap konfigurasi ruang secara total. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai integrity, ruang cenderung memisahkan diri dari konfigurasi. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikaji bahwa ruang dengan nilai integrity yang tinggi memiliki aksesibilitas yang cukup tinggi sedangkan ruang dengan nilai integrity yang rendah aksesibilitasnya juga

102 138 cukup rendah. Dengan mengetahui nilai integrity dapat dianalisa ke dalam Tabel 5.7 mengenai hubungan nilai integrity dengan banyaknya bangunan yang terbentuk pada lokasi tersebut sehingga dapat dilihat apakah masyarakat atau pemukim di permukiman Kampung Nelayan menjadikan aksesibilitas sebagai salah satu pilihan dalam membangun huniannya. Hal ini juga dapat mengindikasikan hubungan spasial antara jalan dengan massa bangunan (Tabel 5.7). Tabel 5.7 Analisa integrity dengan jumlah massa bangunan yang terbentuk pada permukiman informal Kampung Nelayan Belawan Medan Lokasi Nilai Integrity Jumlah massa yang terbentuk Jalan Gulama 9,3 19 Jalan Hiu 6,67 5 Lorong Bakti 11,67 29 Lorong Amal 9,03 13 Lorong Sukur 9,03 35 Lorong Supir 11,67 64 Ujung Jalan T. M. Pahlawan 7,6 19 Berdasarkan hasil Tabel 5.7, dapat disimpulkan bahwa massa terbanyak terdapat pada daerah Lorong Supir. Pada Lorong Supir juga terdapat nilai integrity yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Hal ini dapat dilihat pada akses di Lorong Supir yang cukup banyak dan terhubung langsung ke Jalan T. M. Pahlawan sehingga aksesibilitas dari Lorong Supir ke pusat pasar tidak terlalu

103 139 jauh. Namun, korelasi antara nilai integrity dan jumlah massa bangunan yang terbentuk pada Jalan Gulama dan ujung Jalan T. M. Pahlawan tidak terdapat korelasi karena nilai integrity di ujung Jalan T. M. Pahlawan yang rendah karena aksesibilitas yang tidak terlalu baik menghasilkan jumlah massa yang sama dengan daerah Jalan Gulama padahal akses dari Jalan Gulama termasuk cukup tinggi. Walaupun begitu, tentu ada banyak faktor yang mengakibatkan hasil tersebut tidak terkolerasi seperti banyaknya massa bangunan formal pada Jalan Gulama. Pada perhitungan di atas, massa bangunan yang mengikuti peraturan pemerintah tidak dihitung karena ingin membuktikan hubungan antara aksesibilitas jaringan jalan terhadap banyaknya bangunan informal yang terbentuk. Dapat dilihat bahwa aksesibilitas tidak selalu menjadi pilihan utama masyarakat dalam membangun massa bangunan pada permukiman informal. Hubungan spasial antara massa bangunan dan jaringan jalan terbentuk oleh karena kebutuhan masyarakat akan aksesibilitas namun perbuatan atau alasan masyarakat dalam membangun hunian pada suatu tempat belum tentu didasarkan pada aksesibilitas yang mudah antar lokasi permukiman ke daerah pusat pasar.

104 Pengaruh Jaringan Prasarana dan Pemanfaatan Tanah terhadap Bentuk terkait Fungsi Ruang pada Permukiman di Pesisir Belawan Sistem struktur ruang permukiman berhubungan dengan pola spasial yang terbentuk pada permukiman tersebut. Menurut Yang, dkk (2015) hubungan antara morfologi dan fungsi mempunyai dua aspek utama. Aspek pertama meninjau hubungan antara spasial atau pola distribusi geografis dari kegiatan sosial ekonomi. Aspek kedua meninjau hubungan antara bentuk fisik dan mekanisme morfologi yang berlandaskan pada transformasi fungsional. Fitur morfologi dapat diinterpretasikan sebagai ukuran blok, kepadatan bangunan, bentuk spasial, garis pandang, pola fasad bangunan, koneksi dengan fisik, atau bahkan hubungannya secara topologi. Melalui teori Yang, dkk (2015), bentuk spasial adalah salah satu aspek morfologi yang memiliki hubungan dengan fungsi ruang. Hubungan ini berlandaskan pada perubahan fungsi yang terjadi pada lingkungan ruang tersebut terbentuk. Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsur-unsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsur-unsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Alexander, C., 1977). Untuk itu mempelajari pola spasial adalah melihat korelasi atau koneksi antar setiap elemen fisik lingkungan binaan, bagaimana tatanan terbentuk atau berlangsung dan di mana unsur tersebut berada. Letak unsur setiap elemen fisik mempengaruhi korelasi yang terjadi. Permukiman informal pada Kampung Nelayan Belawan Medan tersebar ke dalam beberapa lokasi, mulai dari Jalan Gulama sampai kepada ujung Jalan T. M. Pahlawan.

105 141 Orientasi bangunan pada setiap lokasi sebagian besar menghadap badan jalan. Pada area yang dekat dengan laut juga sebagian besar bangunan berorientasi ke jalan walaupun ada juga rumah yang berorientasi ke laut, terutama apabila masyarakat tersebut memiliki kapal nelayan dan tempat penangkarannya. Pada setiap area, bangunan yang berdiri memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi tersebut antara lain hunian, perdagangan dan jasa, pendidikan, dan tempat ibadah. Fungsi terbanyak adalah hunian, kemudian perdagangan dan jasa. Sedikit lokasi yang memiliki tempat ibadah dan hanya satu lokasi yang memiliki fasilitas pendidikan. Sedikitnya fasilitas umum yang terdapat pada permukiman informal tersebut dapat terjadi akibat dari faktor jaringan jalan yang sempit dan tidak strategis, kemudian masyarakat setempat yang tidak mampu secara ekonomi untuk mendirikan fasilitas tersebut, atau tidak adanya peran pemerintah dalam pembentukan permukiman sehingga fasilitas dasar lain seperti kesehatan dan ruang terbuka tidak disediakan. Tabel 5.8 menjelaskan faktor yang melatarbelakangi fungsi hunian yang terbentuk, bagaimana orientasi bangunan terhadap jaringan jalan, dan bagaimana bentuk spasial yang terjadi pada permukiman tersebut.

106 142 Tabel 5.8 Struktur Ruang dan Pola Spasial pada Permukiman Tidak Terencana di Kampung Nelayan Belawan Medan Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi (a) Jalan Gulama Jalan Gulama adalah jalan formal yang -Hunian Jalan Gulama termasuk salah satu terintegrasi dengan jalan-jalan di sekitarnya seperti Jalan Alu-alu, Jalan -Perdagangan dan Jasa jalan formal yang dibangun oleh pemerintah. Bangunan yang Bawal, Jalan Bandeng, dan lain-lain. -Pendidikan berorientasi pada Jalan Gulama Lebar jalan Gulama sekitar 8 meter. berbentuk permanen dan tampak seperti rumah pada permukiman informal walaupun bangunan tersebut tidak didirikan di atas lahan pribadi. Hal ini menyebabkan banyak rumah yang berdiri berjejer mengikuti garis jalan karena pemukim meniru keadaan permukiman formal yang terintegrasi dengan Jalan Gulama. Selain bentuk bangunan pada Jalan Gulama yang permanen, beberapa bangunan yang berorientasi ke laut atau yang berada di atas laut didirikan di

107 143 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi atas jalan yang mereka bangun sendiri. Jalanan ini berukuran sempit karena faktor keterbatasan lahan dan kebutuhan masyarakat yang tidak memerlukan jalan yang terlalu lebar. (b) Jalan Hiu Jalan Hiu adalah jalan formal yang -Hunian Area permukiman informal di dibangun pemerintah. Lebar jalan Hiu sekitar 8 sampai 9 meter. -Perdagangan dan Jasa Jalan Hiu berorientasi ke arah laut. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan lahan atau kebutuhan pemukim yang bermatapencaharian nelayan untuk memiliki tempat penangkaran kapal nelayannya sendiri di depan huniannya. Pada area permukiman informal di Jalan Hiu hanya terdapat hunian dan perdagangan. Pada area ini bangunan banyak yang didirikan secara permanen seperti pada

108 144 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi Jalan Gulama karena masyarakat di sekitar Jalan Hiu meniru bangunan yang berada di sekitarnya. Jalan Hiu juga dekat dengan pasar dan jalan arteri primer/jl. Yos Sudarso. (c) Lorong Bakti Lorong Bakti terintegrasi dari Jalan T. M. Pahlawan dan berakhir menuju laut. Lorong ini dibentuk oleh kebutuhan pemukim yang tinggal di lokasi permukiman informal dan berukuran kurang lebih 3,5 meter dan semakin sempit di ujung jalan. -Hunian -Perdagangan dan Jasa Akibat dari bentuk jaringan jalan pada Lorong Bakti yang lurus dan menuju ke arah laut, bangunan yang berdiri di sekitarnya berbentuk persegi dan langsung menghadap badan jalan. Susunan massa bangunan lebih rapi dan mengikuti jalan karena tidak terdapat banyak jaringan jalan yang bercabang dari Lorong Bakti. Selain itu tidak banyak terdapat area perdagangan dan jasa karena area Lorong Bakti tidak terlalu strategis. Lebar jalan

109 145 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi sempit, hanya dapat dilalui kendaraan roda dua dan pejalan kaki, sehingga hanya area perdagangan hanya berupa toko kelontong saja. Jaringan jalan yang membentuk Lorong Bakti mempengaruhi letak bangunan pada lorong tersebut. (d) Lorong Amal Lorong Amal sama seperti Lorong -Hunian Keadaan pada Lorong Amal Bakti yang terintegrasi langsung dengan Jalan T. M. Pahlawan. Lorong ini juga berakhir pada area laut dan -Perdagangan dan Jasa hampir mirip dengan keadaan pada Lorong Bakti. Hal ini dapat terjadi akibat dari kedekatan antar dibentuk oleh pemukim untuk lorong sehingga masyarakat memenuhi kebutuhan mereka akan cenderung mengikuti apa yang prasarana jaringan jalan. Aksesibilitas terjadi atau dilakukan oleh di jalan ini juga hanya dapat dilalui tetangganya ketika membangun oleh sepeda motor dan pejalan kaki. atau menciptakan hunian dan Lebar lorong ini sekitar 3 meter. lingkungannya. Pada kawasan

110 146 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi Lorong Amal jaringan jalan berbentuk lurus dan langsung berhenti di laut. Pada ujung jalan terdapat tempat penangkaran kapal nelayan seperti apa yang khas ditemukan pada Kampungkampung Nelayan. Jaringan jalan yang lurus menyebabkan bangunan yang berdiri juga lurus karena mengikuti badan jalan. Pada Loron Amal tidak terdapat banyak jaringan jalan yang bercabang. Jalan yang bercabang terhubung ke Lorong Bakti karena kebutuhan pemukim untuk dapat pergi mengunjungi lorong tetangga tanpa harus keluar dari Lorong Amal terlebih dahulu. Hal ini mengindikasikan jaringan jalan yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan pemukim

111 147 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi untuk bersosialisasi dan aksesibilitas yang lebih gampang. (e) Lorong Sukur Lorong Sukur memiliki ruas-ruas yang -Hunian Pada Lorong Sukur jalanan terhubung ke Lorong Supir dan Lorong Amal. Ruas-ruas tersebut bersinggungan dan pada badan -Perdagangan dan Jasa tampak lebih tidak teratur dan bercabang banyak dibandingkan pada dua lorong sebelumnya, jalannya didirikan bangunan yang yaitu Lorong Bakti dan Lorong sebagian besar berupa hunian dan Amal. Pada Lorong Sukur, jalan perdagangan. Lebar Lorong Sukur terhubung dengan Lorong Supir. sekitar 3 meter. Bangunan terbentuk mengikuti badan jalan. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan masyarakat atau pemukim akan aksesibilitas atau jalan. Seperti yang terjadi pada dua lorong sebelumnya, bangunan pada Lorong Sukur juga berorientasi pada jaringan jalan sehingga percabangan jalan membentuk orientasi hunianhunian.

112 148 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi (f) Lorong Supir Lorong Supir termasuk lorong dengan -Hunian Lorong Supir memiliki jaringan cabang-cabang lorong yang lebih banyak dan ribet dibandingkan dengan lorong-lorong sebelumnya. Lorong ini -Perdagangan dan Jasa jalan yang panjang dan bercabang ke berbagai arah. Cabang jalan ini tersebar ke berbagai arah dan cukup sempit dan hanya selebar 2 -Peribadahan sebagian menjadi buntu atau meter sehingga hanya dapat dilalui mengarah ke laut. Pada area ini sepeda motor dan pejalan kaki. banyak bangunan yang berimpitan saling membelakangi atau berhadapan sehingga akses terlihat rumit dan tidak teratur. Ketidakteraturan jaringan jalan menyebabkan beragamnya bentuk bangunan. Pada ujung jalan terdapat tempat penangkaran kapal nelayan karena lebih memudahkan masyarakat yang bermatapencaharian nelayan untuk pergi melaut. (g) Ujung Jalan T. M. Pahlawan Jaringan jalan yang terbentuk pada -Hunian Ujung Jalan T. M. Pahlawan area ini terhubung dari Jalan T. M. -Perdagangan termasuk daerah yang jauh dari

113 149 Blok/Jalan Jaringan Prasarana Pemanfaatan Tanah Faktor yang Melatarbelakangi Pahlawan yang berlanjut terus sampai berhenti buntu pada ujung area. Pada area ini terdapat bangunan yang berdiri sendiri dan kelihatan tersebar tanpa ada jaringan jalan yang terbangun di sekitarnya. dan Jasa jalan arteri primer/jalan Yos Sudarso. Jalanan ini mengarah pada area ruang terbuka yang luas namun tidak terawat. Akibat dekat dengan air laut, tanah pada area ini cenderung lembab walaupun berkontur datar. Pada area ini banyak bangunan yang terbengkalai walaupun jumlah hunian yang terbangun paling sedikit dibandingkan dengan area lain. Pada area ini juga terdapat fungsi perdagangan namun hanya berupa tempat pengumpulan ikan untuk dibawa kembali ke pasar karena area ini tidak strategis untuk perdagangan. Keterangan Gambar: : Massa bangunan informal : Massa bangunan formal : Jalan : Laut : Lahan kosong : Coastal port

114 150 Adapun dalam membangun permukiman dan merancang lingkungan binaannya, terdapat kecenderungan yang terjadi pada tujuh kawasan permukiman informal di Kampung Nelayan Belawan Medan ini (Tabel 5.9). Kecenderungan ini terjadi akibat dari pengaruh massa bangunan dan jaringan jalan, prioritas kebutuhan masyarakat sehingga mempengaruhi jenis fungsi ruang yang terbentuk, dan kondisi sosial yang menyebabkan masyarakat cenderung mengikuti keadaan massa bangunan di sekitarnya. Tabel 5.9 Pola Spasial yang Terbangun dan Hubungannya dengan Kondisi Prasarana di Kampung Nelayan Belawan Medan Contoh Lokasi Kecenderungan Spasial yang Terbangun 1. Bangunan cenderung terbentuk mengikuti pola jalan yang telah terbangun. Apabila jalan yang dibangun linear, maka pola bangunan yang terbentuk juga cenderung lurus dengan bidang persegi panjang. Apabila jalan yang dibangun bercabang dan berkelok, pola bangunan juga cenderung berkelok mengikuti jalan dan terlihat asimetris. (a) Lorong Bakti (b) Lorong Sukur Keterangan: : Jaringan jalan : Pola massa

115 151 (a) Jalan Gulama 2. Akibat dari kebutuhan akan hunian, pemukim dapat membangun sendiri akses ke permukimannya atau jaringan jalan sendiri di sekitar rumahnya. Jalanan ini biasanya berukuran 2-3 meter dan hanya dapat dilalui pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Jalanan tersebut dapat dibangun dengan menggunakan semen ataupun kayu. (b) Lorong Supir Keterangan: : Jaringan jalan : Pola massa : Laut

116 152 (a) Jalan Gulama 3. Massa bangunan yang terbentuk pada permukiman tidak terencana ini juga cenderung mengikuti massa bangunan yang ada di sekitarnya. Apabila massa bangunan dibangun pada jalan formal atau jalan yang dibangun pemerintah, maka huniannya cenderung mengikuti fasad bangunan yang berada di jalan formal walaupun bangunan yang dimaksud termasuk pada kategori bangunan informal. Juga pada area permukiman tidak terencana, bangunan cenderung mengikuti bentuk fisik rumah di sekitarnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk meniru atau menemukan pola pada lingkungan yang telah terbentuk sebelumnya. (b) Lorong Supir Keterangan: : Lokasi massa

117 Ada prioritas pada pembentukan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat cenderung memprioritaskan bangunan dan jalan lalu kemudian teras depan untuk halaman dan tempat penangkaran kapal bagi yang tinggal dekat dengan laut. Oleh karena itu, teras dan halaman atau taman jarang terlihat pada kawasan permukiman informal ini karena keterbatasan masyarakat dalam membangun lingkungannya dan faktor lain seperti daerah pinggiran laut yang tidak cocok dijadikan area berkebun. (a) Lorong Supir Keterangan: : Lokasi massa (a) Jalan Gulama dekat dengan pusat pasar dan jalan arteri primer/jl. Yos Sudarso memiliki panjang 5. Aksesibilitas yang terbentuk lewat jaringan jalan mempengaruhi banyaknya bangunan. Semakin panjang jalan tersebut maka bangunan akan semakin banyak. Semakin dekat jalan tersebut dengan jalan arteri primer (Jalan Yos

118 154 jalan 500 meter. Kelompok massa bangunan yang terbangun padat dan banyak dibandingkan dengan Jalan T. M. Pahlawan. (b) Ujung Jalan T. M. Pahlawan yang jauh dari pusat pasar dan jalan arteri primer sehingga bangunan cenderung lebih sedikit dan terpencar. Keterangan: Sudarso) maka massa bangunan yang terbangun lebih banyak dibandingkan daerah yang jauh dari pusat pasar. Daerah yang dekat dengan jalan formal atau jalan yang dibangun pemerintah memiliki kelompok massa bangunan yang banyak. Bangunan pada badan jalan pemerintah cenderung berdekatan atau menempel satu sama lain dibandingkan bangunan yang dibangun pada jalan informal atau jalan yang dibangun pemukim. : Jaringan jalan : Pola massa

119 BAB VI PENEMUAN 6.1. Pola Spasial Permukiman di Kampung Nelayan Belawan Medan Setiap permukiman yang terbentuk memiliki pola spasialnya tersendiri, baik permukiman tersebut dibentuk oleh pemerintah yang disesuaikan dengan peraturan ataupun permukiman tidak terencana yang dibangun oleh masyarakat. Permasalahan utama pada permukiman tidak terencana adalah pola spasial yang terbentuk terlihat sulit untuk diidentifikasi. Proses identifikasi pola spasial pada permukiman tidak terencana akan berbeda dengan proses identifikasi pola spasial pada permukiman terencana. Pola spasial terdiri dari pola massa bangunan, jaringan jalan, ruang terbuka, utilitas dan lain-lain. Semua pola berdiri masing-masing dan diidentifikasi menurut bentuk yang melekat tanpa memperhatikan fungsi massa yang terbentuk. Dengan adanya kajian mengenai pola spasial pada permukiman informal Kampung Nelayan Belawan Medan, maka akan didapatkan sebuah penemuan mengenai pola spasial permukiman informal di permukiman tersebut (Tabel 6.1).

120 156 Tabel 6.1 Penemuan Terbentuknya Pola Spasial Permukiman Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan Melalui proses identifikasi dengan metode observasi di lapangan, pola yang digambarkan adalah bentuk massa, jaringan jalan yang terbentuk, dan ruang terbuka yang ada pada permukiman Kampung Pola spasial pada lingkungan binaan ditandai dengan bentuk massa, jaringan jalan, ruang terbuka, dan sistem utilitas. Terjadinya spasial merujuk kepada elemen fisik suatu lingkungan (Trujillo, 2012). binaan Gambar pola massa bangunan seluruh permukiman Kampung Nelayan Nelayan. Analisa dilakukan dengan membagi peta permukiman menjadi beberapa bagian terpisah yang terbagi atas gambar pola massa bangunan,

121 157 Analisa gambar pola jaringan jalan, dan gambar peta lokasi ruang terbuka. Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan Gambar pola jaringan jalan pada seluruh area permukiman Kampung Nelayan

122 158 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan Peta lokasi ruang terbuka pada lokasi permukiman Kampung Nelayan Pola permukiman Penyusunan massa Grafik perbandingan jumlah pulau dan luas pulau pada permukiman tidak

123 s=1 s=3 s=5 s=7 s=9 s=12 s=14 s=17 s= Analisa informal dapat diidentifikasi melalui perhitungan geometris. Setiap kelompok massa bangunan diidentifikasi kemudian diberi nama atau variabel bernama s. Sehingga, kelompok massa bangunan yang terdiri dari satu massa saja dikatakan dengan s=1. Kemudian, kelompok massa bangunan yang terdiri dari dua massa disebutkan dengan s=2, dan begitu seterusnya. Setelah diidentifikasi, dihitung Keterkaitan Teori dengan Penemuan terlihat tidak teratur atau spontan namun tersusun secara fragmen (Sobreira dan Gomes, 2001). Sobreira dan Gomes (2001) membagi bagian dari pola permukiman sesuai dengan kerapatan massa. Blok massa yang berdiri sendiri diidentifikasi sebagai satu buah titik tersendiri yang dinamakan dengan variabel s, kemudian blok massa yang tergabung rapat diidentifikasi sebagai satu buah titik lain. Sehingga, pada akhirnya akan muncul banyak titik Penemuan terencana di Kampung Nelayan Belawan Medan Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau Terdapat hasil grafik yang cukup mirip antara permukiman informal di Kampung Nelayan dengan permukiman informal di Nairobi, Kenya. Pada grafik permukiman informal di Nairobi, setelah titik s=1, grafik terus menurun hingga beranjak naik kembali pada titik s=5. Sedangkan pada area Kampung Nelayan, setelah titik s=1 grafik terus menurun hingga menaik pada titik s=6. Kemudian pada permukiman di Nairobi, titik di grafik meningkat kembali pada s=8. Pada permukiman di Kampung Nelayan, titik beranjak naik pada titik s=9.

124 160 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan berapa banyak jumlah tiap kelompok massa bangunan tersebut dan perhitungan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah grafik. Kelompok massa bangunan tersebut dinamakan pulau (island). pengelompokan. Contohnya, s = 1 diidentifikasi sebagai satu pulau pada permukiman yang terisolasi atau tidak berhubungan dengan pulau lain. Kemudian s = 2 diidentifikasi sebagai satu bagian pulau yang terdiri dari dua pulau yang saling berhubungan atau berdekatan, dan seterusnya. Identifikasi s=1 s=3 s=5 s=7 s=9 s=12 s=14 s=17 s=21 Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau di Nairobi, Kenya Perbandingan jumlah pulau dengan luas pulau di Kampung Nelayan kelompok massa-massa bangunan tersebut kemudian diakumulasikan ke dalam bentuk grafik. Setiap permukiman informal memiliki bentuk grafik

125 161 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan yang mirip (Sobreira dan Gomes, 2001). Pada area permukiman Faktor penyebab Peta area permukiman Kampung Nelayan yang dibagi menjadi daerah Kampung Nelayan terbentuknya permukiman terencana dan permukiman yang tidak terencana. terdapat daerah dengan permukiman informal bangunan yang sudah adalah perencanaan ruang terintegrasi dengan yang tidak memadai, peraturan pemerintah sistem perundang- dan daerah dengan undangan yang tidak bangunan yang tidak update dan kompleks, sesuai dengan kebijakan perumahan peraturan pemerintah. yang tidak mampu Proses identifikasi area memastikan penyediaan permukiman informal perumahan dengan harga dan tidak informal jual yang mampu dibeli tersebut menggunakan masyarakat, dan struktur teori dan standard dari administrasi publik yang UN Habitat (2003) sudah usang. (Sumber: sehingga ditemukanlah Tsenkova, S. (2010). area permukiman yang Informal settlements in

126 162 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan formal dan informal. post-communist cities: Diversity factors and patterns. Urbani izziv, (21 (2)), ) Penemuan

127 Sistem Struktur Permukiman di Kampung Nelayan Belawan Medan Sistem struktur permukiman terbentuk akibat dari adanya hubungan yang terintegrasi antara massa bangunan, jaringan jalan, dan ruang terbuka. Sistem struktur berkait dengan fungsi yang terbentuk. Tanpa adanya fungsi yang terbentuk tidak terdapat sebuah struktur ruang permukiman. Selain itu, terdapat hubungan antar elemen struktur permukiman. Seperti terdapat hubungan antara fungsi pada massa bangunan dengan jaringan jalan yang terbentuk di depannya. Atau terdapat hubungan antara ruang terbuka dengan sistem jalan di sekitarnya. Struktur ruang permukiman juga dapat diidentifikasi melalui luas atau besaran fungsi-fungsi yang terbentuk. Penemuan mengenai sistem struktur permukiman dijabarkan pada Tabel 6.2.

128 164 Tabel 6.2 Penemuan Terbentuknya Struktur Ruang Permukiman Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan Struktur ruang Bagian utama dari perencanaan regional Akumulasi fungsi ruang yang terbentuk pada permukiman tidak yang terbentuk dan urban mencakup layout penggunaan terencana dihubungkan dengan fungsi yang terbangun pada pola tersebut. ruang, sistem jalan, ruang terbuka, dan lain-lain (Hao, J., Zhu, J., & Zhong, R., 2015). Fungsi Luas Jumlah (massa/lokasi) Permukiman 34122,76 m Blok massa bangunan Perdagangan dan Jasa 4676,25 m 2 54 Coastal Port 5583,63 m dihubungkan dengan fungsi yang mengikutinya. Peribadatan 189,61 m 2 2 Pendidikan Olahraga dan 389,07 m 2 1 Pola jaringan jalan yang terbentuk diidentifikasi dengan klasifikasi sesuai dengan tipe pembangun jalan dan tipe kendaraan Kesehatan 0 0 Ruang Terbuka 35006,67 m 2 23

129 165 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan yang dapat melalui jalan tersebut. Akumulasi fungsi jaringan jalan yang terbentuk Tipe Jalan Luas Hubungan spasial antara aksesibilitas atau kemudahan akses pada jaringan jalan tidak menjadi prioritas utama bagi pemukim dalam membangun huniannya. Ruang dengan nilai integrity yang tinggi (kedalaman/depth yang rendah) dianggap memiliki interaksi yang tinggi secara relative terhadap ruang lainnya pada konfigurasi tersebut atau terkoneksi secara baik ke ruang pengamatan. Nilai integrity yang tinggi (kedalaman/depth yang rendah) berarti ruang tersebut dapat dengan mudah dicapai dari setiap ruang lainnya sementara nilai integrity yang rendah (kedalaman /depth yang tinggi) berarti ruang tersebut tidak dapat dicapai dengan mudah sebab observer harus melewati beberapa ruang antara terlebih dahulu. Integrity lebih lanjut dipergunakan untuk mempelajari kekompakan ruang dalam sistem ruang. Ruang dengan nilai integrity yang tinggi dapat diinterpretasikan sebagai ruang yang memiliki derajat kesatuan yang tinggi terhadap Jalan Formal 42133,19 m² Jalan yang Dibentuk oleh Pemukim 3572,13 m² Hubungan nilai integrity dengan jumlah massa permukiman Lokasi Nilai Integrity Jumlah massa yang terbentuk Jalan Gulama 9,3 19 Jalan Hiu 6,67 5 Lorong Bakti 11,67 29 Lorong Amal 9,03 13 Lorong Sukur 9,03 35 Lorong Supir 11,67 64 Ujung Jalan T. M. Pahlawan 7,6 19

130 166 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Penemuan konfigurasi ruang secara keseluruhan (global), demikian sebaliknya, ruang dengan nilai integrity yang rendah akan cenderung memisahkan diri dalam konfigurasi. (Sumber: Hillier, B., & Hanson, J. (1984). The Social Logic of Space. Cambridge University Press. Cambridge).

131 Pengaruh Struktur Ruang terhadap Pola Spasial di Kampung Nelayan Belawan Medan Berdasarkan teori, struktur ruang dan pola spasial yang terbentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Struktur ruang berupa fungsi massa, fungsi pada jaringan jalan, dan area terbuka yang terbentuk mempengaruhi pola geometri dasar yang tercipta pada ruang permukiman. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi melalui pembagian kelompok ruang yang terbentuk berdasarkan jenis bentuk geometri. Kemudian, fungsi-fungsi ruang yang terbentuk dan hubungan antar fungsi ruang tersebut kemudian diidentifikasi dan dihubungkan dengan pola atau bentuk yang terjadi. Hubungan tersebut dianalisa sesuai dengan jumlah pola yang terbentuk. Penemuan pengaruh struktur ruang terhadap pola spasial permukiman dirangkum ke dalam Tabel 6.3 berikut.

132 168 Tabel 6.3 Penemuan Pengaruh Struktur Ruang terhadap Pola Spasial Permukiman Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan Terdapat kecenderungan terbentuknya ruang pada permukiman Kampung Nelayan Belawan Medan. Kecenderungan ini terlihat pada elemen massa bangunan dan hubungannya dengan jaringan jalan. Kecenderungan tersebut dapat muncul akibat Mempelajari pola adalah melihat tatanan yang memperlihatkan bagaimana hubungan di antara unsur-unsur tersebut terjadi atau berlangsung dan bagaimana unsurunsur tersebut diletakkan. Mempelajari pola fisik adalah mempelajari rancangan fisiknya (Sumber: Alexander, C. (1977). 1. Bangunan cenderung terbentuk mengikuti pola jalan yang telah terbangun. Apabila jalan yang dibangun linear, maka pola bangunan yang terbentuk juga cenderung lurus dengan bidang persegi panjang. Apabila jalan yang dibangun bercabang dan berkelok, pola bangunan juga cenderung berkelok mengikuti jalan dan terlihat asimetris. (a) Lorong Bakti Keterangan: : Jaringan jalan : Pola massa (b) Lorong Sukur

133 169 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan dari kebutuhan 2. Akibat dari kebutuhan akan ruang hunian, pemukim dapat masyarakat, membangun sendiri akses ke batasan permukimannya atau masyarakat jaringan jalan sendiri di dalam sekitar rumahnya. Jalanan membangun ini biasanya berukuran 2-3 hunian atau lingkungannya, meter dan hanya dapat dilalui pejalan kaki dan (a) Jalan Gulama dan aspek- kendaraan roda dua. Jalanan aspek sosial tersebut dapat dibangun masyarakat. dengan menggunakan semen ataupun kayu. (b) Lorong Supir

134 170 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan Keterangan: : Jaringan jalan : Pola massa : Laut 3. Massa bangunan yang terbentuk pada permukiman tidak terencana ini juga cenderung mengikuti massa bangunan yang ada di sekitarnya. Apabila massa bangunan dibangun pada jalan formal atau jalan yang dibangun pemerintah, maka huniannya cenderung mengikuti fasad bangunan yang berada di jalan formal walaupun bangunan yang dimaksud termasuk pada kategori bangunan (a) Jalan Gulama

135 171 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan informal. Juga pada area permukiman tidak terencana, bangunan cenderung mengikuti bentuk fisik rumah di sekitarnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk meniru atau menemukan pola pada lingkungan yang telah (b) Lorong Supir terbentuk sebelumnya. Keterangan: : Lokasi massa

136 172 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan 4. Ada prioritas pada pembentukan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat cenderung memprioritaskan bangunan dan jalan lalu kemudian teras depan untuk halaman dan tempat penangkaran kapal bagi yang tinggal dekat dengan laut. Oleh karena itu, teras dan halaman atau taman jarang terlihat pada kawasan permukiman informal ini karena keterbatasan masyarakat dalam

137 173 Analisa Keterkaitan Teori dengan Penemuan Contoh Penemuan membangun lingkungannya dan faktor lain seperti daerah pinggiran laut yang tidak cocok dijadikan area berkebun. (a) Lorong Supir Keterangan: : Lokasi massa 5. Aksesibilitas yang terbentuk lewat jaringan jalan mempengaruhi banyaknya bangunan. Semakin panjang jalan tersebut maka bangunan akan semakin banyak. Semakin dekat jalan tersebut dengan jalan arteri primer (Jalan Yos Sudarso) (a) Jalan Gulama dekat dengan pusat pasar dan jalan arteri primer/jl. Yos Sudarso memiliki panjang jalan 500 meter. Kelompok massa bangunan yang terbangun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pemukim itu sendiri dan sering sekali terbentuk akibat dari proses

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pemukim itu sendiri dan sering sekali terbentuk akibat dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permukiman informal terbentuk tanpa perencanaan pemerintah dan masyarakat pemukim itu sendiri dan sering sekali terbentuk akibat dari proses urbanisasi besar-besaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. elemen fisik suatu lingkungan binaan (Trujillo, 2012). Perencanaan ruang atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. elemen fisik suatu lingkungan binaan (Trujillo, 2012). Perencanaan ruang atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Spasial Spasial secara luas dapat didefinisikan sebagai ruang. Sedangkan pada lingkungan binaan, spasial merujuk kepada elemen fisik bangunan seperti sistem struktur,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Medan merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir. Sebagian besar

BAB I. PENDAHULUAN. Medan merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir. Sebagian besar BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kampung Nelayan Belawan merupakan suatu permukiman tidak terencana yang terletak di Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar

Lebih terperinci

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN 2.1 Lokasi Proyek Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi Campuran Perumahan Flat Sederhana. Tema besar yang mengikuti judul proyek

Lebih terperinci

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga

Lebih terperinci

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN Daerah pemukiman perkotaan yang dikategorikan kumuh di Indonesia terus meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Jumlah daerah kumuh ini bertambah dengan kecepatan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik sebesar 1,49% pada tahun 2015 dengan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) Bagus Ahmad Zulfikar 1) ; Lilis Sri Mulyawati 2), Umar Mansyur 2). ABSTRAK Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang Kota dan Perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang Kota dan Perkembangannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Ruang Kota dan Perkembangannya Ruang merupakan unsur penting dalam kehidupan. Ruang merupakan wadah bagi makhluk hidup untuk tinggal dan melangsungkan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan dasar, salah satunya adalah kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal dalam permukiman.

Lebih terperinci

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Felicia Putri Surya Atmadja 1, Sri Utami 2, dan Triandriani Mustikawati 2 1 Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Struktur penelitian ini berhubungan dengan ekologi-arsitektur yaitu hubungan interaksi ekosistem mangrove dengan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 4 BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 1.1 Faktor Tapak dan Lingkungan Proyek Kasus proyek yang dibahas disini adalah kasus proyek C, yaitu pengembangan rancangan arsitektural model permukiman

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar Peta Dasar TPU Tanah Kusir (Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, 2011) Perumahan Warga

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar Peta Dasar TPU Tanah Kusir (Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, 2011) Perumahan Warga 19 BAB IV KONDISI UMUM 4.1. Letak, Batas, dan Luas Tapak TPU Tanah Kusir merupakan pemakaman umum yang dikelola oleh Suku Dinas Pemakaman Jakarta Selatan di bawah Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta.

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Kamal dan Kelurahan Tegal Alur, dengan luas wilayah 1 053 Ha. Terdiri dari 4 Rukun

Lebih terperinci

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penataan Gambaran Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penataan Gambaran Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penataan 1.1.1. Gambaran Umum Kota Semarang selaku ibukota dari Provinsi Jawa Tengah memiliki keterletakan astronomis di antara garis 6º 50-7º 10 LS dan garis 109º

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya.

Lebih terperinci

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV Kelurahan/Desa : Caile Kota/kabupaten : Bulukumba NO Substansi 1 Apa Visi Spatial yang ada di dalam RPLP? Bagaimana terapan visi tersebut ke dalam Rencana Teknis Penataan Lingkungan Permukiman kita? Status

Lebih terperinci

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3.1. Analisis Kedudukan Kawasan A. Analisis Kedudukan Kawasan Kawasan prioritas yaitu RW 1 (Dusun Pintu Air, Dusun Nagawiru, Dusun Kalilangkap Barat, dan Dusun Kalilangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk semakin meningkat dan tidak terkendali. Hal ini menyebabkan kebutuhan permukiman meningkat. Dengan kebutuhan permukiman yang meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 129 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian mengenai Konsep Penataan Kawasan Permukiman Kumuh di kelurahan Kampung Makasar dan Soa-sio, kota Ternate,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan pertumbuhan kota lainnya adalah unsur penduduk.

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan pertumbuhan kota lainnya adalah unsur penduduk. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota dalam perjalanannya selalu tumbuh dan berkembang, dan salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan dan perkembangan kota adalah adanya pertumbuhan ekonomi. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) Perancangan Kota CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) OLEH: CUT NISSA AMALIA 1404104010037 DOSEN KOORDINATOR IRFANDI, ST., MT. 197812232002121003 PEREMAJAAN KOTA Saat ini, Perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET

BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET 4.1 Analisis Deskriptif Beberapa Aspek Kawasan Sebelum masuk kepada analisis relevansi konsep penanganan permukiman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk di DKI Jakarta bertambah tiap tahunnya. Dari data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka kepadatan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM BAB 6 TUJUAN DAN KEBIJAKAN No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM Mengembangkan moda angkutan Program Pengembangan Moda umum yang saling terintegrasi di Angkutan Umum Terintegrasi lingkungan kawasan permukiman Mengurangi

Lebih terperinci

PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN

PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN PENATAAN PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR DI KECAMATAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN Oleh : Akhmad Nasikhudin 3606100004 PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA Rumusan Masalah

Lebih terperinci

Salah satunya di Kampung Lebaksari. Lokasi Permukiman Tidak Layak

Salah satunya di Kampung Lebaksari. Lokasi Permukiman Tidak Layak Keberdayaan masyarakat dalam mendukung upaya perbaikan permukiman masih kurang Upayaupaya perbaikan permukiman menjadi tidak berarti Contohnya, luas Permukiman Tidak Layak Huni Kota Bogor meningkat Salah

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang

Lebih terperinci

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III BAB III DATA ALUN-ALUN KABUPATEN WONOGIRI Kabupaten Wonogiri, dengan luas wilayah 182.236,02 Ha secara geografis terletak pada garis lintang 7 0 32' sampai 8 0 15' dan garis bujur 110 0 41' sampai 111

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA Vippy Dharmawan 1, Zuraida 2 1+2 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo Nomor 59 Surabaya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan pada Bab IV didapatkan temuan-temuan mengenai interaksi antara bentuk spasial dan aktivitas yang membentuk karakter urban

Lebih terperinci

PLPBK RENCANA TINDAK PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PRIORITAS KELURAHAN BASIRIH BANJARMASIN BARAT

PLPBK RENCANA TINDAK PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PRIORITAS KELURAHAN BASIRIH BANJARMASIN BARAT BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PRIORITAS 3.1. ekonominya. RT. 37 ini merupakan salah satu kantong "PAKUMIS" (Padat, Kumuh, Miskin) dari seluruh kawasan Kelurahan Basirih yakni pada RT. 37 ini pula yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen dengan tingkat kepadatan penduduknya yang mencolok, di mana corak masyarakatnya yang heterogen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN. 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN. 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting BAB IV ANALISIS PERANCANGAN 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting Terdapat beberapa hal yang benar-benar harus diperhatikan dalam analisis obyek perancangan terhadap kondisi eksisting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Obyek. Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Obyek. Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Latar Belakang Obyek Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan dengan masa lalu atau sejarah terbentuknya kota serta berkaitan dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii. LEMBAR PERNYATAAN... iv. MOTTO... v. KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii. LEMBAR PERNYATAAN... iv. MOTTO... v. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv MOTTO... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Menurut Avelar et al dalam Gusmaini (2012) tentang kriteria permukiman kumuh, maka permukiman di Jl. Simprug Golf 2, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan Indonesia sebagai negara termiskin ketiga di dunia. Pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 4 tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan terkait dengan perumahan dan kawasan permukiman dalam studi ini yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan

Lebih terperinci

lib.archiplan.ugm.ac.id

lib.archiplan.ugm.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterbatasan lahan yang terjadi di perkotaan diiringi dengan tingginya kebutuhan penduduk akan hunian menjadikan kawasan kota berkembang menjadi kawasan yang padat

Lebih terperinci

BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK. kepada permukiman dengan kepadatan bangunan tinggi, dan permukiman ini

BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK. kepada permukiman dengan kepadatan bangunan tinggi, dan permukiman ini BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK Kegiatan studi lapangan untuk kasus proyek ini dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan selama dalam pembuatan proyek dan juga untuk mengetahui kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. Dimana pada masa perkembangan peradaban kota badan air merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR BAGAN... xiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.

Lebih terperinci

BAB III METODE PERENCANAAN

BAB III METODE PERENCANAAN BAB III METODE PERENCANAAN 1.1 Wilayah Perencanaan Perencanan TPST ini berlokasi di Kelurahan Pemurus Dalam yang terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia.

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh: JurnalSangkareangMataram 9 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara Barat Abstrak: Perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 6.1 Konsep Dasar Perencanaan Konsep dasar perencanaan Kampung Nelayan Modern Desa Karangsong merupakan salah satu rencana Kabupaten Indramayu dalam menata daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Tujuan Perencanaan dan Perancangan Perencanaan dan perancangan Penataan PKL Sebagai Pasar Loak di Sempadan Sungai Kali Gelis Kabupaten Kudus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan merupakan suatu kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat karena mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah kependudukan yang saat ini banyak dihadapi oleh banyak negara berkembang termasuk Indonesia adalah pertambahan penduduk yang relatif cepat.

Lebih terperinci

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN HABITAT SOSIAL

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN HABITAT SOSIAL KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN HABITAT SOSIAL Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret Disusun oleh: AKBAR HANTAR ROCHAMADHON NIM. I 0208092

Lebih terperinci

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL Rencana Lanskap Berdasarkan hasil analisis data spasial mengenai karakteristik lanskap pemukiman Kampung Kuin, yang meliputi pola permukiman, arsitektur bangunan

Lebih terperinci

: MEMBANGUN BARU, MENAMBAH, RENOVASI, BALIK NAMA

: MEMBANGUN BARU, MENAMBAH, RENOVASI, BALIK NAMA Perihal : Permohonan Surat Izin Mendirikan Bangunan Pangkajene Sidenreng,.................... Kepada Yth. Bupati Sidenreng Rappang Cq, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Yang bertandatangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Lingkungan perkotaan identik dengan pembangunan fisik yang sangat pesat. Pengembangan menjadi kota metropolitan menjadikan lahan di kota menjadi semakin berkurang,

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN KORIDOR JALAN RAYA SERPONG KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI

BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI Keadaan sungai Deli yang sekarang sangat berbeda dengan keadaan sungai Deli yang dahulu. Dahulu, sungai ini menjadi primadona di tengah kota Medan karena sungai ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Kampung Ngampilan RW I Kelurahan Ngampilan Kecamatan Ngampilan di

BAB 1 PENDAHULUAN Kampung Ngampilan RW I Kelurahan Ngampilan Kecamatan Ngampilan di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kampung Ngampilan RW I Kelurahan Ngampilan Kecamatan Ngampilan di Yogyakarta Kampung Ngampilan RW I secara geografis terletak di daerah strategis Kota Yogyakarta,

Lebih terperinci

Perkiraan dan Referensi Harga Satuan Perencanaan

Perkiraan dan Referensi Harga Satuan Perencanaan Perkiraan dan Referensi Harga Satuan Perencanaan No Bidang kategori 1 Pemerintahan Peningkatan kesiagaan dan pencegahan bahaya kebakaran Pemeliharaan Hydrant Pembangunan Hydrant Kering Pemeliharaan pertitik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan secara merata diseluruh tanah air dan ditujukan bukan hanya untuk satu golongan, atau

Lebih terperinci

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado Windy J. Mononimbar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997).

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997). Oleh: Zaflis Zaim * Disampaikan dalam acara Sosialisasi Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Hotel Sapadia Pasir Pengaraian, 21 Desember 2011. (*) Dosen Teknik Planologi, Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI A. LINGKUNGAN 1. Jaringan Jalan dan Drainase Banyak rumah yang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6. DAFTAR ISI Contents HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi ABSTRAKSI... xii BAB I... 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Kondisi Umum Kelautan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau dan sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I. Latar Belakang. Kota Jakarta, ibukota negara sekaligus sebagai pusat ekonomi dan pusat

PENDAHULUAN BAB I. Latar Belakang. Kota Jakarta, ibukota negara sekaligus sebagai pusat ekonomi dan pusat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Jakarta, ibukota negara sekaligus sebagai pusat ekonomi dan pusat pendidikan di negara kita, memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang kehidupan yang sangat

Lebih terperinci

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 6.1 PROGRAM DASAR PERENCANAAN 6.1.1 Program Ruang Rekapitulasi Ruang Dalam No Jenis Ruang Luas 1 Kelompok Ruang Fasilitas Utama 2996 m2 2 Kelompok Ruang Fasilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sering mengalami permasalahan kependudukan terutama kawasan perkotaan, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi

Lebih terperinci

Kondisi Kekumuhan Kampung Nelayan Sejahtera Kota Bengkulu dalam Upaya Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Kondisi Kekumuhan Kampung Nelayan Sejahtera Kota Bengkulu dalam Upaya Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh TEMU ILMIAH IPLI 206 Kondisi Kekumuhan Kampung Nelayan Sejahtera Kota engkulu dalam Upaya Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Muhammad Rijal (), Ardiansyah (2) () Lab. Preservasi dan Konservasi,

Lebih terperinci

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI BAB 4 KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI Program Relokasi di Kelurahan Sewu dilatar belakangi oleh beberapa kondisi, diantaranya kondisi banjir yang tidak dapat di prediksi waktu terjadi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Dasar Perancangan Hasil perancangan Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik di Malang memiliki dasar konsep dari beberapa penggambaran atau abstraksi yang terdapat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kampung Badur merupakan permukiman yang berada di pinggiran sungai Deli di Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun, Medan. Daerah pinggiran sungai, umumnya menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Kota Tangerang Selatan yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Tangerang propinsi Banten. Kota Tangerang Selatan mempunyai luas wilayah

Lebih terperinci

Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok

Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok 1 Identifikasi Karakteristik Lingkungan Permukiman Kumuh Berdasarkan Persepsi Masyarakat Di Kelurahan Tlogopojok Fachrul Irawan Ali dan Ema Umilia Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL Ingerid Lidia Moniaga & Fela Warouw Laboratorium Bentang Alam, Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pedagang kaki lima adalah bagian dari aktivitas ekonomi yang merupakan kegiatan pada sektor informal. Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan

Lebih terperinci