PENGARUH KONDISI GELAP DAN MACAM STRAIN TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N, wb, dan tx LAPORAN PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KONDISI GELAP DAN MACAM STRAIN TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N, wb, dan tx LAPORAN PENELITIAN"

Transkripsi

1 PENGARUH KONDISI GELAP DAN MACAM STRAIN TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N, wb, dan tx LAPORAN PENELITIAN disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Genetika II yang dibimbing oleh Prof. Dr. Arg. Moh. Amin, M.Pd Oleh Kelompok 2 Offering C-D/ Jumat Mega Pratamasari Agustin Nisaul Lauziah UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI November

2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri makhluk hidup adalah memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Kegiatan reproduksi ini bertujuan untuk melestarikan jenisnya. Cara yang dilakukan untuk melestarikan jenisnya tersebut dapat dilakukan secara aseksual maupun seksual, tergantung pada jenis makhluk hidupnya. Dalam kehidupannya, setiap hewan terlahir tidak hanya membawa karakteristik tubuh dan morfologi tetapi juga mambawa tingkah laku innate (insting) yang spesifik saat perkembangannya sebagai salah satu respon terhadap kondisi lingkungannya (Demir and Dickson, 2005). Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa kemampuan kawin atau keberhasilan kawin dari Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal misalnya adanya hormon perkawinan (hormon feromon) dan faktor eksternal atau faktor lingkungan, misalnya suhu atau temperatur, cahaya, kelembaban udara, dan faktor lingkungan lainnya. Adanya mutan yang terjadi pada strain yang digunakan akan mempengaruhi proses perkawinan karena tingkah laku yang berbeda antara mutan-mutan tersebut sehingga berdampak pada keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Berdasarkan pengaruh ada tidaknya cahaya terhadap tingkah laku kawin Drosophila melanogaster Junaidi (1998) membagi spesies Drosophila melanogaster menjadi 3 kelompok berdasarkan respon pengaruh cahaya terhadap tingkah laku kawin mereka. Kelompok pertama terdiri dari spesies yang perkawinannya sama-sama berhasil baik dalam kondisi terang maupun kondisi gelap. Kelompok kedua berisi spesies yang tingkah lakunya terhambat oleh kondisi gelap dan kelompok ketiga terdiri dari spesies yang tingkah lakunya terjadi pada kondisi gelap. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kondisi cahaya terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster tetapi belum ditemukan penelitian yang benar-benar menjelaskan secara pasti tentang pengaruhnya terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Selain 2

3 pengaruh di atas, keberhasilan kawin Drosophila melanogaster juga sering dikaitkan dengan macam strain. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan suatu penelitian dari pengaruh kondisi gelap dan macam strain terhadap keberhasilan kawin dari Drosophila melanogaster. Oleh karena itu, disunsunlah laporan proyek genetika II yang berjudul Pengaruh Kondisi Gelap dan Macam Strain terhadap Keberhasilan Kawin pada Persilangan Drosophila melanogaster Strain N, wb, dan tx. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kondisi gelap berpengaruh terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx? 2. Apakah macam strain berpengaruh terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx? 3. Apakah interaksi antara kondisi gelap dan macam strain berpengaruh terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi gelap terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx 2. Untuk mengetahui pengaruh macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx 3. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara kondisi gelap dengan macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx 3

4 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain, yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagi mahasiswa, dapat menambah wawasan tentang genetika, memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx serta memotivasi mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 2. Bagi ilmu pengetahuan, dapat memberikan informasi mengenai ada atau tidaknya pengaruh kondisi gelap dan macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx E. Asumsi Penelitian Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kesuburan atau fertilitas semua induk betina maupun jantan Drosophila melanogaster dianggap sama. 2. Umur betina maupun jantan Drosophila melanogaster yang disilangkan dianggap sama. 3. Semua faktor lingkungan kecuali pencahayaan dianggap sama untuk masing-masing perlakuan (gelap dan kontrol). 4. Kondisi medium yang digunakan dianggap sama. F. Batasan Masalah Penelitian yang dilakukan memiliki batasan masalah sebagai berikut : 1. Strain Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain N, wb, dan tx yang stoknya didapatkan dari Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang. 2. Persilangan pada penelitian ini adalah pada Drosophila melanogaster strain N >< N, wb >< wb, dan tx >< tx, sebanyak 7 kali ulangan pada masing-masing perlakuan. 4

5 3. Jumlah Drosophila melanogaster yang disilangkan pada setiap persilangan yang dilakukan mempunyai perbandingan 1 individu jantan : 10 individu betina. 4. Pengamatan terhadap keberhasilan kawin hanya mengacu pada indikator ada tidaknya larva yang muncul dari setiap betina yang telah dikawinkan. 5. Batas waktu paling lama untuk menghitung ada tidaknya larva adalah selama 7 hari. 6. Kondisi gelap dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang dimasukkan ke dalam kardus yang tertutup rapat. 7. Kondisi kontrol dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang dimasukkan ke dalam kardus yang telah dimodifikasi sehingga cahaya bisa masuk. 8. Lama persilangan pada tiap perlakuan adalah 2 hari. G. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau sejumlah kecil yang berbeda, biasanya secara genetis dalam keadaan homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (Klug dan Cummings, 2006). Dalam hal ini strain yang digunakan adalah strain N, wb, dan tx. 2. Persilangan adalah suatu usaha yang menyebabkan terjadinya perkawinan antara dua individu yang berbeda jenis. 3. Homogami adalah perkawinan yang terjadi pada populasi yang sama dalam satu spesies (Munawaroh, 1996). Persilangan homogami dalam penelitian kami meliputi N >< N, wb>< wb, tx>< tx. 4. Kondisi kontrol yaitu kondisi di mana persilangan Drosophila melanogaster dapat terkena cahaya sesuai dengan kondisi ruangan tempat penelitian. Pada penelitian ini digunakan kardus dengan keempat sisinya yang diganti dengan plastic bening sehingga cahaya bisa masuk. 5

6 5. Kondisi gelap yaitu kondisi di mana persilangan Drosophila melanogaster tidak terkena cahaya luar sama sekali. Pada penelitian ini botol persilangan diletakkan di dalam kardus yang tertutup rapat. 6. Indikator keberhasilan kawin Drosophila melanogaster pada penelitian ini diamati berdasarkan ada atau tidaknya larva yang muncul dari tiap betina pada masing-masing persilangan. 6

7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Karakteristik Drosophila melanogaster Salah satu spesies dari genus Drosophila yang banyak di kembang-biakkan adalah Drosophila melanogaster. Sistematika Drosophila melanogaster menurut (Borror,1992) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Drosophilidae Genus : Drosophila Spesies : Drosophila melanogaster Drosophila melanogaster mempunyai poros anterior dan posterior (kepala-ekor) dan poros dorsoventral (punggung-perut) dan mempunyai segmen ini menyusun tiga bagian tubuh utama, yaitu kepala, thoraks, dan abdomen. seperti hewan simetris bilateral lainnya (Zarzen, 2008). Drosophila melanogaster jantan memiliki beberapa ciri, di antaranya yaitu adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta jenis dan bulu kasar pada ruas dorsal pertama. Umumnya ukuran tubuh individu jantan lebih kecil daripada ukuran tubuh betina. Sedangkan Drosophila melanogasterbetina memiliki ciri, yaitu tidak adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta tubuhnya lebih besar daripada jantan B. Daur Hidup Drosophila melanogaster Drosophila melanogaster memiliki daur hidup yang singkat yaitu sekitar 2 minggu mulai dari telur, embrio, larva, pupa, dan penetasan. Telur Drosophila melanogaster memiliki satu atau lebih filamen respiratori pada bagian ujung anteriornya. Pada umumnya telur membutuhkan waktu yang lebih lama tergantung pada beberapa faktor lingkungan, misalnya: medium, temperatur, 7

8 intensitas cahaya, dan tingkat kepadatan. Metamorfosis pada Drosophila melanogaster termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari telur larva instar I larva instar II larva instar III pupa imago. Perkembangan dimulai segera setelah terjadi fertilisasi, yang terdiri dari dua periode. Pertama, periode embrionik di dalam telur pada saat fertilisasi sampai pada saat larva muda menetas dari telur dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih 24 jam. Dan pada saat seperti ini, larva tidak berhenti-berhenti untuk makan. Periode kedua adalah periode setelah menetas dari telur dan disebut perkembangan postembrionik yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu larva, pupa, dan imago (fase seksual dengan perkembangan pada sayap). Telur Drosophila melanogaster berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya diletakkan di permukaan makanan. Telur Drosophila melanogaster dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai.tipis. Korion mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut (Borror, 1992). Larva Drosophila melanogaster berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti cacing, dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Saat kutikula tidak lunak lagi, larva muda secara periodik berganti kulit untuk mencapai ukuran dewasa. Kutikula lama dibuang dan integumen baru diperluas dengan kecepatan makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit, larva disebut instar. Instar pertama adalah larva sesudah menetas sampai pergantian kulit pertama. Indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi pada mulut hitamnya. Sesudah pergantian kulit yang kedua, larva (instar ketiga) makan hingga siap untuk membentuk pupa. Pada tahap terakhir, larva instar ketiga merayap ke atas permukaan medium makanan ke tempat yang kering dan berhenti bergerak. Dan jika dapat diringkas, pada Drosophila melanogaster destruksi sel-sel larva terjadi pada prose pergantian kulit (molting) yang berlangsung empat kali dengan tiga stadia instar : dari larva instar 1 ke instar II, dari larva instar II ke instar III, dari instar III ke pupa, dan dari pupa ke imago (Ashburner, 2002). Larva yang dewasa biasanya merayap naik pada dinding botol atau pada kertas tissue dalam botol. Dan disini larva akan melekatkan diri pada tempat kering dengan 8

9 cairan seperti lem yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan kemudian membentuk pupa. Saat larva Drosophila melanogaster membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek, kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar 4. Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki. Puparium (bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada stadium pupa ini, larva dalam keadaan tidak aktif, dan dalam keadaan ini, larva berganti menjadi lalat dewasa (Ashburner, 2002). C. Tingkah Laku Kawin Drosophila melanogaster Setiap makhluk hidup berusaha mempertahankan jenisnya dengan jalan reproduksi atau memperbanyak diri. Salah satunya dengan melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan ciri khas dari Drosophila melanogaster yang berkaitan dengan tingkah laku (Shorrocks, 1972 dalam Yulianingsih, 1996). Drosophila melanogaster menggunakan visual, auditori, sinyal kimia pada sistem perkawinan. Saat akan kawin Drosophila melanogaster melakukan pacaran, individu jantan mengeluarkan bunyi getaran dari sayap secara terus-menerus atau arista pada antena, biasanya yang paling dekat dengan betina. Hal ini akan menjadi suatu rangkaian suara yang akan berfungsi sebagai sinyal perkenalan pada Drosophila melanogaster (D.M. Lambert dan A.A Harper, 1985). Shorrocks (1972) dalam Yulianingsih (1996) mengemukakan bahwa individu betina dapat mengeluarkan suara yang dapat digunakan untuk menolak kehadiran individu jantan. Tingkah laku ini biasanya dilakukan oleh individu betina yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa tetapi bersifat responsif. Individu mutan dimungkinkan memiliki tingkah laku kawin yang berbeda dengan individu normal, sedangkan perkawinan mutan-mutan juga berbeda antara satu sama lain. Hal ini tersebut mempengaruhi perkawinan Drosophila melanogaster Selama aktivitas perkawinanya Drosophila melanogaster akan melakukan serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan perkawinan. Shorrock (1972) 9

10 mengatakan bahwa sebelum kopulasi Drosophila melanogaster akan melakukan urutan kegiatan yang biasanya disebut pacaran. Tahap pacaran ini didahului dengan proses Orientating kemudian dilanjutkan penepukan tubuh betina oleh kaki depan jantan (Tapping). Jika gejala di atas tidak muncul dapat diartikan bahwa individu jantan dan betina merupakan spesies yang berbeda sehingga tidak akan terjadi perkawinan (Shorrock, 1972). Tahap awal yang dilakukan oleh Drosophyla Melanogaster selama pacaran adalah individu jantan dan betina saling berhadapan dengan jarak 2 mm, kemudian individu jantan akan mengikuti betina dengan bergerak berputar yang bisanya disebut orientating. Shorrock (1972) mngemukakan pula bahwa individu jantan Drosophila melanogaster dapat juga melakukan kesalahan pada prosedur tepukan, demikian pula jika urut-urutan kegiatan pacaran terputus karena sesuatu sebab, individu jantan dapat kehilangan jejak dan pengalihan perhatianya kepada individu betina yang lain. Pada keadaan di mana terdapat campuran populasi, kadang-kadang individu betina yang lain itu ternyata tidak tergolong sesama jenis (Shorrock,1972). Selanjutnya individu jantan melakukan Singing mengangkat sayapnya membentuk sudut 90 dan menghasilkan suara yang khas bila individu betina belum tertarik, maka yang jantan akan mengulangi kegiatan dari awal (Wilkinz, 1993 dalam Nusantari, 1997). Menurut Shorrock (1972) dalam Corebima (1993) selanjutnya individu jantan akan memperlebar posisi sayapnya membentuk sudut 90 0 dari badanya (berada pada jarak yang paling dekat dengan individu betina) sambil menggetarkanya selama periodik (scissoring). selama melakukan getaran itu, individu jantan biasanya berada di depan individu betina dikatakan bahwa gerakan tambahan dari sayap yang dilakukan di depan individu betina itu merupakan pameran visual. Di samping itu, individu jantan dihasilkan oleh individu jantan Drosophila melanogaster dihasilkan itu terulang 20 kali per detik. Setelah itu sayap akan dipanjangkan dan dinaikkan kemudian digulung dan diturunkan lagi (rowing). Tahap licking terjadi jika individu jantan menjilati alat kelamin betina dengan mengunakan belalainya (proboscis), mengatur posisi tubuhnya dan akhirnya melakukan kopulasi. Jika individu 10

11 betina telah reseptif, individu jantan akan menaikinya kemudian terjadi kopulasi (Shorrock,1972). Setelah tahap licking selanjutnya adalah tahap attenting kopulasion yang mana Drosophila melanogaster akan mencoba untuk melakukan kopulasi (usaha kopulasi). Kemudian tahap terakhir adalah kopulasi, yaitu individu jantan memasukkan alat kelaminya ke dalam alat kelamin betina (Wilkinz, 1993 dalam Nusantari, 1997). D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Perkawinan pada Persilangan Drosophila melanogaster Aktifitas kawin Drosophila melanogaster di pengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Ehrman (1981) dalam Junaidi (1998) menyatakan bahwa kegiatan pacaran Drosophila melanogaster di mulai dengan orientasi atau periode pacaran. Romeser (1973) dalam Junaidi (1998) mengemukakan bahwa orientasi ini dapat dipengaruhi faktor-faktor eksternal (cahaya, kelembaban, dan suhu) atau faktor internal misalnya adanya pengaruh hormon. Menurut Borror (1992) dalam Junaidi (1998), setiap individu memiliki substansi yang berfungsi sebagai tanda-tanda kimiawi diantara anggota-anggota dari jenis yang sama yang selanjutnya disebut dengan istilah feromon. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies). Feromon mempunyai peranan penting pada periode pacaran pada Drosophila melanogaster yaitu bermula dari adanya rangsangan feromonferomon individu betina atas individu jantan untuk mulai melakukan kegiatan pacaran dan feromon indiviu jantan mendorong betina untuk menerima kehadiranya (Nusantari, 1997). 11

12 E. Keberhasilan Kawin Drosophila melanogaster Aktivitas kawin Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Romeser (1973) dalam Kusmindarti (1998) mengemukakan bahwa hal tersebut dapat dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti cahaya, kelembaban, dan suhu, atau faktor dari dalam misalnya hormon. Sebagian besar Drosophila melanogaster jantan akan aktif tingkat seksualnya dalam beberapa jam setelah keluar dari kepompong walaupun dalam Drosophila melanogaster sifatnya berbeda antara strain yang satu dengan strain yang lain. Fowler (1973) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa jumlah individu betina akan menentukan frekuensi kawin individu jantan beberapa jenis Drosophilla. Jika 1 individu jantan dijodohkan dengan 15 individu betina maka kemampuan kawin meningkat sekitar 1,52 kali lebih tinggi daripada dijodohkan dengan 10 individu betina. F. Hubungan Kondisi Gelap terhadap Keberhasilan Kawin Drosophila melanogaster Setiap makhluk hidupmempunyai waktu tertentu ketika melakukan aktifitas perkawinan.ada beberapa jenis insekta lebih aktif ketika malam hari daripada siang hari.ketika siang hari aktifitas insekta biasanya dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Sedangkan ketika malam hari efek visual berpengaruh dalam tingkah laku kawin Drosophila melanogaster, karena intensitas cahaya kurang sekali diperlukan dalam proses penglihatan insektaketika malam hari, karena visualisasi tiap insekta maupun hewan lainnya tidak dalam keadaan seperti normalnya. Dalam keadaan seperti ini peranan feromon sangat diperlukan untuk mensukseskan proses kawin. Pernyataan dalam Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa pada Drosophila melanogaster feromon-feromon yang dihasilkan individu betina diterima individu jantan untuk memulai kegiatan pacaran. Di lain pihak feromon individu jantan mendorong individu betina untuk menerima kehadirannya. 12

13 Menurut Kusmindarti (1998) pada mulanya individu betina Drosophila melanogaster mengenal individu jantan secara visual. Akan tetapi karena dalam kondisi gelap bahkan dalam keadaan dimana populasi tercampur, perkawinan tetap berhasil sehingga dapat disimpulkan bahwa pengenalan individu jantan Drosophila melanogaster oleh individu betina bukan secara visual. Beberapa pendapat lain yaitu misalnya menurut Junaidi (1998) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh kondisi gelap atau terang terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Tetapi kesimpulan hasil penelitian tersebut berbeda dengan pernyataan dalam Corebima (1993) dalam Junaidi (1998) yang menyatakan bahwa aktivitas kawin D.melanogaster lebih maksimal tingkat keberhasilannya ketika periode terang. Berbeda pula halnya dengan pernyataan yang lain dalam Corebima (1993) dalam Junaidi (1998) yang menyatakan bahwa keberhasilan kawin D.melanogaster lebih maksimal terjadi pada periode gelap daripada periode terang. Berdasarkan pernyataan fakta tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan kondisi gelap terang diperkirakan bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. 13

14 BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konseptual Kondisi cahaya dapat mempengaruhi pola tingkah laku kawin Macam strain dapat mempengaruhi persilangan pola tingkah laku kawin Kondisi Gelap dan Kontrol Strain N, wb, dan tx Keberhasilan kawin Drosophila melanogaster Ada tidaknya larva dari tiap betina selama 7 hari sejak isolasi 14

15 B. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada pengaruh kondisi gelap terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb dan tx. 2. Ada pengaruh macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb dan tx. 3. Ada pengaruh interaksi antara kondisi gelap dan macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb dan tx. 15

16 BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan data deskriptif kualitatif berupa rancangan acak kelompok (RAK) dengan analisis varian (ANAVA) ganda. Perlakuan diberikan pada Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx dengan 2 kondisi yang berbeda, yaitu kondisi gelap dan terang pada masing-masing persilangan. Persilangan dilakukan secara homogami (N >< N, wb >< wb, tx >< tx) dengan menyilangkan 1 individu jantan dengan 10 individu betina sebanyak 7 kali ulangan. Setelah 2 hari, jantan dilepaskan dan masing-masing betina dipindahkan ke botol balsem dengan ketentuan 1 botol balsem untuk 1 betina. Indikator keberhasilan kawin adalah munculnya larva dari betina pada masingmasing botol balsem. Pengamatan munculnya larva dilakukan selama 7 hari berturut-turut dihitung sejak hari pemindahan. B. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini meliputi, 1. Variabel bebas: kondisi gelap, macam strain (N, wb, dan tx) 2. Variabel terikat: keberhasilan kawin 3. Variabel kontrol: spesies Drosophila melanogaster, waktu pengamatan munculnya larva selama 7 hari berturut-turut terhitung mulai 1 hari sejak hari pemindahan, faktor lingkungan kecuali cahaya. C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan di ruang Laboratorium Genetika gedung Biologi (05.310) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Malang. Dimulainya penelitian pada awal bulan September hingga akhir bulan Oktober tahun

17 D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang digunakan adalah Drosophila melanogaster yang dibiakkan di dalam Laboratorium Genetika gedung Biologi (05.310) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Malang. 2. Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Drosophila melanogaster jantan dan betina dari strain N, wb, dan tx. E. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang dibutuhkan dalam penelitian meliputi: Mikroskop stereo, botol selai, botol balsem, cutter, timbangan, pisau, spidol permanen, blender, kompor, panci, pengaduk, wadah plastik, lemari es, gunting, sendok, kuas, alat tulis. 2. Bahan Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian meliputi: Drosophila melanogaster strain N, Drosophila melanogaster strain wb, Drosophila melanogaster strain tx, pisang raja mala, tape singkong, gula merah, fermipan, air, spons, plastik, kertas label, selang, kardus, kardus modifikasi, kain kasa, tissu, kertas pupasi. F. Prosedur Kerja 1. Pengamatan fenotip a. Semua strain yang diperoleh dari laboratorium (strain N, wb, dan tx) diamati fenotipnya (warna mata, warna tubuh, faset mata, keadaan sayap) menggunakan mikroskop stereo. b. Hasil pengamatan digambar dan dicatat dalam buku jurnal kegiatan. 2. Pembuatan medium Prosedur untuk 1 resep medium: 17

18 a. Menyiapkan bahan baku medium berupa 700 gram pisang raja mala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah. b. Pisang dipotong-potong, kemudian bersama tape singkong dan air diblender hingga halus. c. Gula merah dimasak dalam panci dengan ditambahkan air secukupnya hingga larut seluruhnya. d. Pisang dan tape singkong yang sudah diblender halus dimasukkan ke dalam panci gula merah. e. Campuran bahan dimasak dengan terus diaduk agar tidak menggumpal dan gosong selama 45 menit menggunakan api sedang. f. Medium yang sudah masak bisa langsung digunakan atau disimpan menggunakan wadah plastik ke dalam lemari es dengan lama penyimpanan maksimal 3 hari. 3. Peremajaan a. Menyiapkan botol selai dan tutupnya (spons) yang sudah disterilkan dengan cara diuapkan menggunakan uap pemasakan medium. b. Medium yang masih panas dimasukkan ke dalam botol selai secukupnya dan kemudian ditunggu hingga dingin. c. Setelah medium dalam botol selai dingin, dimasukkan fermipan sebanyak ± 3 butir dan juga 1 kertas pupasi. d. Ke dalam botol berisi medium yang sudah siap pakai dimasukkan 3-5 pasang Drosophila melanogaster untuk masing-masing strain pada botol yang berbeda. e. Memberikan label tanggal peremajaan pada botol. 4. Pembuatan kardus modifikasi a. Menyipakan kardus yang hendak dimodifikasi untuk perlakuan kondisi terang. b. Setiap sisi kardus dilubangi dan diganti dengan mika plastik bening agar cahaya dapat masuk ke dalamnya. 18

19 5. Pengampulan a. Setelah muncul pupa hitam pada botol stok peremajaan, pupa tersebut diambil menggunakan kuas dan kemudian diletakkan dalam selang ampulan (± 5 cm) yang bagian tengahnya telah diisi potongan pisang. b. Ujung-ujung selang ditutup menggunakan potongan spons agar ketika lalat menetas tidak dapat keluar dari selang. c. Selang-selang ampulan dimasukkan ke dalam plastik yang sudah diberi label strain dan tanggal pengampulan. d. Menunggu hingga pupa dalam selang ampulan menetas menjadi lalat. Maksilam usia Drosophila melanogaster yang akan disilangkan adalah 3 hari sejak menetas dari pupa. 6. Persilangan a. Menyiapkan botol selai berisi medium, fermipan, dan kertas pupasi. b. Meyiapkan Drosophila melanogaster yang sudah menetas dari ampulan untuk disilangkan c. Melakukan persilangan dengan memasukkan Drosophila melanogaster yang siap disilangkan ke dalam botol, ketentuan persilangan: - Persilangan untuk kondisi gelap 1 N >< 10 N, 1 wb >< 10 wb, 1 tx >< 10 tx (masingmasing 7 ulangan) - Persilangan untuk kondisi terang 1 N >< 10 N, 1 wb >< 10 wb, 1 tx >< 10 tx (masingmasing 7 ulangan) d. Memberi label identitas persilangan (jenis persilangan, tanggal, ulangan) pada masing-masing botol e. Menyimpan persilangan dalam kardus yang tertutup rapat untuk perlakuan kondisi gelap dan kardus yang telah dimodifikasi untuk perlakuan kondisi terang. 7. Pemindahan (Isolasi Betina) a. Setelah 2 hari sejak persilangan, jantan dilepaskan dan masing-masing betina dipindahkan ke dalam botol balsem berisi medium, fermipan, dan kertas pupasi dengan ketentuan 1 botol balsem untuk 1 betina. 19

20 b. Mengamati apakah muncul larva atau tidak pada masing-masing botol balsem setelah pemindahan. Pengamatan dilakukan selama 7 hari berturut-turut terhitung mulai 1 hari sejak pemindahan. c. Mencatat hasilnya dalam tabel pengamatan kondisi gelap dan terang. G. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan mengamati ada atau tidaknya larva yang muncul dari 10 betina yang dipindahkan ke botol balsem masing-masing persilangan kondisi gelap dan terang. Hasil pengamatan dicatat dalam tabel dengan format sebagai berikut: Kondisi Persilangan Ulangan Botol ke Total Hari Pengamatan

21 H. Teknik Analisis Data Analisis data menggunakan analisis varian (anava) ganda karena ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan variabel bebas yaitu kondisi (gelap dan terang) serta macam strain (strain N, wb, dan tx) dalam persilangan Drosophila melanogaster. Jenis rancangan yang dipakai adalah rancangan acak kelompok (RAK) karena media dan waktu dalam melaksanakan percobaan tidak homogen. 21

22 BAB V DATA DAN ANALISIS DATA A. Data 1. Hasil Pengamatan Fenotip Dalam penelitian ini kami menggunakan 3 macam strain Drosophila melanogaster, yaitu strain N, wb, dan tx. Berdasarkan pengamatan fenotip menggunakan mikroskop stereo, diketahui karakteristik morfologi luar dari masing-masing strain adalah sebagai berikut: Strain N Warna mata: merah Warna tubuh: kuning kecoklatan Faset mata: halus Sayap: menutupi seluruh tubuh dengan sempurna Strain wb Warna mata: putih Warna tubuh: hitam Faset mata: halus Sayap: menutupi seluruh tubuh dengan sempurna Strain tx Warna mata: merah Warna tubuh: kuning kecoklatan Faset mata: halus Sayap: membentuk sudut 45 dari sumbu tubuh 22

23 2. Hasil Pengamatan Kemunculan Larva Tabel Data Hasil Pengamatan Persilangan 1 N >< 10 N 1 wb >< 10 wb 1 tx >< tx Perlakuan Ulangan Kontrol Gelap Kontrol Gelap Kontrol Gelap B. Analisis data 1. Tabel Ringkasan Hasil Pengamatan Persilangan 1 N >< 10 N 1 wb >< 10 wb 1 tx >< tx Perlakuan Ulangan Total Kontrol Gelap Kontrol Gelap Kontrol Gelap Tabel Hasil Pengamatan dalam Bentuk Persentase Persilangan 1 N >< 10 N 1 wb >< 10 wb Perlakuan Ulangan Kontrol Gelap Kontrol Gelap

24 1 tx >< tx Kontrol Gelap Tabel Hasil Transformasi Arcus sinus Persilangan 1 N >< 10 N 1 wb >< 10 wb 1 tx >< tx Total Perlakuan Kontrol Gelap Kontrol Gelap Kontrol Gelap Ulangan Total Faktor Korelasi (FK) = JK Perlakuan = JK Ulangan = JK Total = JK Galat =

25 4. Tabel Interaksi Antara Kondisi Cahaya dengan Macam Strain Macam strain Kondisi Cahaya Kontrol Gelap Jumlah Rerata N wb tx Jumlah Jk Strain = Jk Kondisi = Jk Interaksi = Tabel Sumber Keragaman SK db JK KT F hitung F tabel (0.05) Ulangan Perlakuan Macam Strain Kondisi Cahaya Interaksi Galat Jumlah

26 Berdasarkan analisis dengan menggunakan analisis varian ganda yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh adalah: a. F hitung macam strain ( ) > F tabel 5% ( ), sehingga H 0 ditolak dan H 1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh macam strain terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. b. F hitung kondisi cahaya ( ) < F tabel 5% ( ), sehingga H 0 diterima dan H 1 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kondisi cahaya terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. c. F hitung interaksi ( ) > F tabel 5% ( ), sehingga H 0 ditolak dan H 1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi antara kondisi cahaya dengan macam strain terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. 6. Uji BNT Nilai BNT = Tabel Notasi BNT Strain Rerata Notasi tx a wb b N c Berdasarkan uji lanjut BNT dapat diketahui bahwa ketiga macam strain menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Pengaruh terbesar dimiliki oleh strain N, kemudian strain wb, dan terakhir adalah strain tx. 26

27 BAB VI PEMBAHASAN A. Pengaruh Kondisi Gelap terhadap Keberhasilan Kawin pada Persilangan Drosophila melanogaster Strain N, wb dan tx Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa kondisi gelap tidak berpengaruh terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster.. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan menggunakan anava ganda yang menyebutkan bahwa F hitung kondisi cahaya ( ) < F tabel 5% ( ), sehingga H 0 diterima dan H 1 ditolak, yang berarti bahwa tidak ada pengaruh kondisi cahaya terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Perkawinan pada Drosophila melanogaster dapat terjadi melalui beberapa cara, di antaranya menggunakan visual (penglihatan), auditori (pendengaran melalui kepakan sayap), sinyal kimia (hormon feromon). Pada kondisi terang, perkawinan Drosophila melanogaster dapat berlangsung dikarenakan betina Drosophila melanogaster mengenali jantan secara visual. Sedangkan pada keadaan gelap, mulanya betina Drosophila melanogaster mengenali individu jantan menggunakan auditori yaitu berupa getaran sayap pada individu jantan. Getaran yang dihasilkan oleh sayap individu jantan ini terdengar bertahap. Getaran tersebut kemudian diterima oleh antena individu betina (D.M. Lambert & A. A. Harper, 1985). Junaidi (1998) menyatakan bahwa ada 2 stimulus yang diproduksi betina dan diterima oleh jantan saat awal kegiatan percumbuan yaitu meliputi gerakgerik tubuh betina, bentuk, dan ukuran tubuh betina. Kondisi terang dapat mempermudah pengenalan individu betina secara visual sehingga dengan adanya cahaya tahap awal percumbuan lebih optimal. Dalam kondisi gelap, Drosophila melanogaster masih mampu melakukan perkawinan karena pengenalan individu jantan Drosophila melanogaster oleh individu betina bukan hanya secara visual namun juga menggunakan auditori 27

28 yaitu berupa getaran sayap pada individu jantan yang menimbulkan bunyi dan akan diterima oleh antena Drosophila melanogaster betina (D.M. Lambert dan A.A harper.1985). Corebima (1993) mengemukakan bahwa bunyi itu berupa suatu rangkaian bunyi, dimana tiap bunyi diikuti oleh suatu periode diam. Pada Drosophila melanogaster tiap bunyi berlangsung selama 0,003 dt dan terulang 30 kali perdetik. Bunyi tersebut berasal dari arista pada antena kedua. Selain menggunakan visual dan auditori, Drosophila melanogaster betina mengenali individu jantan Drosophila melanogaster dengan feromon yang merupakan sinyal kimia. Sekresi feromon tidak terpengaruh oleh kondisi cahaya, sehingga pada kondisi terang maupun gelap feromon tetap dihasilkan. Feromon adalah substansi yang berfungsi sebagai tanda-tanda kimiawi di antara anggota-anggota dari jenis yang sama (Borror, 1992). Feromon adalah substansi kimia yang menyebar melalui udara yang berfungsi untuk mempengarui tingkah laku individu yang masih tergolong sesama jenis (Pezzoli, 1986). Feromon dihasilkan baik oleh individu jantan maupun betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusmindarti (1998) bahwa pada Drosophila Melanogaster feromon-feromon yang dihasilkan individu betina diterima individu jantan untuk memulai kegiatan pacaran, di lain pihak feromon individu jantan mendorong individu betina untuk menerima kehadiran individu jantan. Feromon kelamin tersebut mendorong dan merangsang tingkah laku pacaran dan memperbesar peluang individu jantan untuk mendekati individu betina atau dapat mempengaruhi kesuksesan perkawinan Drosophila melanogaster, sehingga tanpa adanya cahaya sekalipun Drosophila melanogaster dapat melakukan kopulasi (D.M. Lambert dan A.A Harper, 1985). Sesuai dengan hasil penelitian dan teori yang mendukung tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa kondisi cahaya bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. 28

29 B. Pengaruh Macam Strain (N, wb dan tx) terhadap Keberhasilan Kawin pada Persilangan Drosophila melanogaster Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh macam strain terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung macam strain ( ) > F tabel 5% ( ), sehingga H 0 ditolak dan H 1 diterima. Aktifitas kawin Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berpengaruh terhadap fenotip yang tampak pada strain-strain Drosophila melanogaster. Menurut Kusmindarti (1998), mutasi dapat mengubah tingkah laku spesies manapun. Tingkah laku yang berbeda antara mutan-mutan tersebut berdampak terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Strain yang digunakan dalam penelitian ini adalah N, wb dan tx. Berdasarkan pengamatan fenotip diketahui strain N (normal) memiliki ciri warna mata merah, faset mata halus, warna tubuh kuning kecoklatan, dan sayap menutupi tubuh dengan sempurna. Strain wb tergolong double mutan dengan mutasi pada warna mata dan warna tubuh. Strain wb memiliki warna mata putih dan warna tubuh hitam, sementara sayapnya normal. Sedangkan strain tx mengalami mutasi pada sayap. Strain tx memiliki sayap yang membentuk sudut 45 dari sumbu tubuh (njeprak), sementara warna mata dan warna tubuhnya normal. Meninjau kembali hasil analisis data, dikethaui bahwa strain N memiliki tingkat keberhasilan kawin yang paling tinggi dibandingkan stran wb dan tx. Strain wb memiliki tingkat keberhasilan kawin yang lebih tinggi dari strain tx. Sehingga keberhasilan kawin paling rendah adalah strain tx. Ketiga strain tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Berdasarkan kajian pustaka, sayap, mata, dan antena merupakan organorgan yang berperan penting dalam tingkah laku kawin Drosophila melanogaster. oleh karena itu strain-strain Drosophila melanogaster yang mengalami mutasi pada sayapnya (strain tx) akan mengalami gangguan dalam tingkah laku kawin yaitu pada tahap singing atau scissoring dan rowing, 29

30 sehingga memiliki tingkat keberhasilan kawin paling rendah rendah dibandingkan dengan strain N dan wb. Selain itu, mutasi pada mata (strain wb) juga dapat berperan dalam keberhasilan perkawinan. Hal ini karena mata merupakan organ visual. Perkawinan Drosophila melanogaster dapat terjadi melalui visul, auditori, dan sinyal kimia. Apabila ada mutasi pada mata dan sampai mengganggu kemampuan visual Drosophila melanogaster, maka peluang keberhasilan perkawinan juga akan berkurang. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan strain wb memiliki tingkat keberhasilan kawin yang lebih rendah daripada strain N yang normal. C. Pengaruh Interaksi Antara Kondisi Gelap dan Macam Strain (N, wb dan tx) terhadap Keberhasilan Kawin pada Persilangan Drosophila melanogaster Berdasarkan hasil analisis data diketahui F hitung interaksi ( ) > F tabel 5% ( ), sehingga H 0 ditolak dan H 1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi antara kondisi cahaya dengan macam strain terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Hal ini menunjukkan bahwa jika variasi perlakuan kondisi cahaya dengan perlakuan macam strain diberlakukan bersama-sama maka kemungkinan interaksi keduanya akan saling berpengaruh terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. Kemungkinan jika kondisi cahaya dan macam persilangan terbukti berpengaruh terhadap keberhasilan kawin, maka pengaruh masing-masing perlakuan tersebut tidak dapat bekerja secara terpisah dan saling berhubungan. Perkawinan pada Drosophila melanogaster dapat terjadi melalui beberapa cara, di antaranya menggunakan visual (penglihatan), auditori (pendengaran melalui kepakan sayap), sinyal kimia (hormon feromon). Pada kondisi terang, perkawinan Drosophila melanogaster dapat berlangsung dikarenakan betina Drosophila melanogaster mengenali jantan secara visual. Sedangkan pada keadaan gelap, mulanya betina Drosophila melanogaster mengenali individu jantan menggunakan auditori yaitu berupa getaran sayap pada individu jantan. Getaran tersebut kemudian diterima oleh antena individu betina (D.M. 30

31 Lambert & A. A. Harper, 1985). Selain menggunakan visual dan auditori, Drosophila melanogaster betina mengenali individu jantan Drosophila melanogaster dengan feromon yang merupakan sinyal kimia. Sekresi feromon tidak terpengaruh oleh kondisi cahaya, sehingga pada kondisi terang maupun gelap feromon tetap dihasilkan. Feromon adalah substansi yang berfungsi sebagai tanda-tanda kimiawi di antara anggota-anggota dari jenis yang sama (Borror, 1992). Perkawinan Drosophila melanogaster yang didukung oleh cara visual, auditori, dan juga sinyal kimia tersebut berkaitan dengan macam strain dari Drosophila melanogaster itu sendiri. Aktifitas kawin Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berpengaruh terhadap fenotip yang tampak pada strain-strain Drosophila melanogaster. Menurut Kusmindarti (1998), mutasi dapat mengubah tingkah laku spesies manapun. Tingkah laku yang berbeda antara mutan-mutan tersebut berdampak terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster. 31

32 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada pengaruh kondisi gelap terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx. 2. Ada pengaruh macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx. 3. Ada pengaruh interaksi antara kondisi gelap dengan macam strain terhadap keberhasilan kawin pada persilangan Drosophila melanogaster strain N, wb, dan tx. B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan: 1. Untuk memperkaya informasi dan pengetahuan tentang pengaruh kondisi cahaya dan jenis persilangan terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut yang sejenis pada Drosophila melanogaster dengan memperhatikan lama waktu pengkondisian gelap/kontrol dan jenis persilangan. 2. Mengingat banyaknya jumlah individu betina yang dibutuhkkan dalam setiap persilangan, maka hendaknya dalam penelitian yang sejenis berikutnya perlu sering dilakukan peremajaan dalam jumlah banyak. Hal ini agar stok dan ampulan semakin banyak sehingga berpeluang mendapatkan betina semakin besar. 3. Dalam melakukan persilangandi tempat gelap diupayakan kardus yang digunakan benar-benar tertutup rapat dan tidak dibuka agar tidak memungkinkan cahaya masuk. 32

33 4. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh kondisi cahaya dan macam strain terhadap kebrhasilan kawin Drosophila melanogaster ini, karena untuk membandingkan hasil penelitian yang telah ada dengan hasil yang baru, agar memperkaya wawasan ilmu pengetaahuan kita. 33

34 DAFTAR RUJUKAN Ashburner, Michael Drosophila Genomics and Speciation. (Online), ( diakses tanggal 5 November Borror.J.D, Triplehorn. Pengenalan Pengajaran Serangga Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta. Corebima, A. D Perkawinan Pada Drosophila melanogaster. Majalah Eksakta, edisi bulan April 1993 No. 63-XXII Malang: FMIPA IKIP Malang. D.M. Lambert and A.A. Harper Mating Behaviour of D. melanogaster which have been kept under constant darkness for about 27 years, (online), ( diakses 3 November Demir, dkk fruitless Splicing Specifies Male Courtship Behavior in Drosophila. (Online),( diakses tanggal 5 November Junaidi, A.J Pengaruh Kondisi Gelap dan Terang terhadap Kesuksesan kawin Drosophila melanogaster Strain Normal, eye missing (eym) dan Sephia (Se).Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Kusmindarti, Ratna Pengaruh Jumlah Individu Betina dan Suhu Terhadap Kemampuan Kawin Individu Jantan Drosophila melanogaster Strain Normal (N) dan White (W). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM. Nusantari, Elya Kajian Perkarkawinan Kembali Individu Betina D. melanogaster dan Perannya dalam Pengajaran Genetika dalam Pendekatan CBSA. Tesis tidak diberikan.malang : IKIP Malang. 34

35 Pezzoli, Cristina, dkk Fitness Components in A Vestigal Mutant Strain of Drosophila melanogaster. Bologna (Italy): Istituto di Genetica, Università di Bologna, via Selmi 1, Shorrock,B Drosophila. London: Ginn & Company Limited. Yulianingsih Indeks isolasi D. melanogaster strain Normal, Strain Ebony dan sratin yellow. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang. FMIPA UM. Zarzen, (Online). Diakses tanggal 5 November 2014 pukul 12:18 WIB. 35

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian merupakan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian merupakan penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari

Lebih terperinci

ABSTRAK. RASIO PERBANDINGAN F 1 DAN F 2 PADA PERSILANGAN STARIN N x b, DAN STRAIN N x tx SERTA RESIPROKNYA

ABSTRAK. RASIO PERBANDINGAN F 1 DAN F 2 PADA PERSILANGAN STARIN N x b, DAN STRAIN N x tx SERTA RESIPROKNYA ABSTRAK RASIO PERBANDINGAN F 1 DAN F 2 PADA PERSILANGAN STARIN N x b, DAN STRAIN N x tx SERTA RESIPROKNYA Nirmala Fitria Firdauzi, Dosen Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PERSILANGAN DAN JUMLAH INDIVIDU BETINA TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN Drosophila melanogaster STRAIN w DAN w a

PENGARUH LAMA PERSILANGAN DAN JUMLAH INDIVIDU BETINA TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN Drosophila melanogaster STRAIN w DAN w a PENGARUH LAMA PERSILANGAN DAN JUMLAH INDIVIDU BETINA TERHADAP KEBERHASILAN KAWIN Drosophila melanogaster STRAIN w DAN w a Laporan Proyek Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Genetika II yang dibina

Lebih terperinci

SIKLUS HIDUP Drosophila melanogaster

SIKLUS HIDUP Drosophila melanogaster SIKLUS HIDUP Drosophila melanogaster KELOMPOK VII KELAS A Azki Afidati Putri Anfa (1410422025), Josano Rehan Dhani (1410422020), Merini Apriliani (1410422043), Ratna Suleka (1410421035), Rifta Septiavi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA. MENGENAL LALAT BUAH Drosophila spp.

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA. MENGENAL LALAT BUAH Drosophila spp. LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA MENGENAL LALAT BUAH Drosophila spp. Oleh 1. Brilliana Suryani K 13308141056 2. Jaka Fitriyanta 13308141058 3. Tri Widayanti 13308141059 4. Nur Khotimah 13308141060 5. Ismi Nurhidayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

STUDI PERISTIWA EPISTASIS RESESIF PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN SEPIA (se) >< ROUGH (ro) DAN STRAIN VESTIGIAL (vg) >< DUMPHI (dp)

STUDI PERISTIWA EPISTASIS RESESIF PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN SEPIA (se) >< ROUGH (ro) DAN STRAIN VESTIGIAL (vg) >< DUMPHI (dp) Jurnal ßIOêduKASI ISS : 23014678 Vol 1 o (2) Maret 2013 STUDI PERISTIWA EPISTASIS RESESIF PADA PERSILAGA Drosophila melanogaster STRAI SEPIA (se) >< ROUGH (ro) DA STRAI VESTIGIAL (vg) >< DUMPHI (dp) 1)

Lebih terperinci

Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina terhadap...i Wayan Karmana 1

Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina terhadap...i Wayan Karmana 1 ABSTRAK PENGARUH MACAM STRAIN DAN UMUR BETINA TERHADAP JUMLAH TURUNAN LALAT BUAH (Drosophila melanogaster) I WAYAN KARMANA FPMIPA IKIP Mataram GaneÇ Swara Vol. 4 No.2, September 2010 Drosophila melanogaster

Lebih terperinci

Nisbah Kelamin pada Persilangan Homogami I Wayan Karmana 13

Nisbah Kelamin pada Persilangan Homogami I Wayan Karmana 13 NISBAH KELAMIN PADA PERSILANGAN HOMOGAMI D. melanogaster STRAIN NORMAL (N),WHITE (w), DAN SEPIA (Se) ABSTRAK I WAYAN KARMANA FPMIPA IKIP Mataram Pada D. melanogaster sering terjadi penyimpangan nisbah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan berbagai jenis flora

I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan berbagai jenis flora I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna, yang menjadikan Indonesia mempunyai beragam sumber daya alam. Allah telah menciptakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. FENOMENA PAUTAN KELAMIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N x w DAN N x b BESERTA RESIPROKNYA

ABSTRAK. FENOMENA PAUTAN KELAMIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N x w DAN N x b BESERTA RESIPROKNYA ABSTRAK FENOMENA PAUTAN KELAMIN PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster STRAIN N x w DAN N x b BESERTA RESIPROKNYA Nur Alim Natsir, Dosen Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Droshopilla sp pertama kali diperkenalkan oleh Morgan dan Castel pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Droshopilla sp pertama kali diperkenalkan oleh Morgan dan Castel pada BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Morfologi Droshopilla Melanogaster Droshopilla sp pertama kali diperkenalkan oleh Morgan dan Castel pada Tahun 1900 dan diketahui bahwa Droshopilla melanogaster dapat digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis BAB III METODE PERCOBAAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis isolat (HJMA-5

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso,

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2010, bertempat di Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR. Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR. Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2017 2 Petunjuk Praktikum Genetika Dasar TATA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat penyelesaian Program Sarjana Sains (S1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH FISIOLOGI SERANGGA. DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH : Dr. RESTI RAHAYU

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH FISIOLOGI SERANGGA. DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH : Dr. RESTI RAHAYU PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH FISIOLOGI SERANGGA DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH : Dr. RESTI RAHAYU LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ANDALAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

Musca domestica ( Lalat rumah)

Musca domestica ( Lalat rumah) PARASITOLOGI LALAT SEBAGAI VEKTOR PENYAKT Musca domestica ( Lalat rumah) Oleh : Ni Kadek Lulus Saraswati P07134013007 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5. Metagenesis. Metamorfosis. Regenerasi

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5. Metagenesis. Metamorfosis. Regenerasi SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANLatihan Soal 1.5 1. Pada siklus hidup hewan tertentu, terjadi perubahan bentuk tubuh dari embrio sampai dewasa. Perubahan bentuk tubuh ini disebut...

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR BETINA Drosophilla melanogaster strain tx TERHADAP JUMLAH ANAKAN DAN JENIS KELAMIN F1 SEBAGAI BAHAN PANDUAN PRAKTIKUM GENETIKA

PENGARUH UMUR BETINA Drosophilla melanogaster strain tx TERHADAP JUMLAH ANAKAN DAN JENIS KELAMIN F1 SEBAGAI BAHAN PANDUAN PRAKTIKUM GENETIKA Florea Volume 1 No. 1, April 2014 (47-53) PENGARUH UMUR BETINA Drosophilla melanogaster strain tx TERHADAP JUMLAH ANAKAN DAN JENIS KELAMIN F1 SEBAGAI BAHAN PANDUAN PRAKTIKUM GENETIKA Antik Nur Wijayanti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Pengaruh Lama Kopulasi Terhadap Jumlah Keturunan F 1 Lalat Buah

BAB V PEMBAHASAN. A. Pengaruh Lama Kopulasi Terhadap Jumlah Keturunan F 1 Lalat Buah BAB V PEMBAHASAN A. Pengaruh Lama Kopulasi Terhadap Jumlah Keturunan F 1 Lalat Buah (Droshopilla sp) Strain white dan Normal. Perlakuan lama waktu kopulasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah dibuat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA (BI-2105) PENGENALAN MUTAN. Tanggal praktikum : 12 September 2014 Tangga pengumpulan : 19 September 2014

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA (BI-2105) PENGENALAN MUTAN. Tanggal praktikum : 12 September 2014 Tangga pengumpulan : 19 September 2014 LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA (BI-2105) PENGENALAN MUTAN Tanggal praktikum : 12 September 2014 Tangga pengumpulan : 19 September 2014 disusun oleh: Jessica Esther 10613067 Kelompok 5 Asisten: Mia Audina (10611026)

Lebih terperinci

HASIL. Tabel 2 Jumlah imago lebah pekerja A. cerana yang keluar dari sel pupa. No. Hari ke- Koloni I Koloni II. (= kohort) Warna Σ mati Warna Σ Mati

HASIL. Tabel 2 Jumlah imago lebah pekerja A. cerana yang keluar dari sel pupa. No. Hari ke- Koloni I Koloni II. (= kohort) Warna Σ mati Warna Σ Mati HASIL Jumlah Imago Lebah Pekerja A. cerana Berdasarkan hasil pembuatan peta lokasi sel pupa, dapat dihitung jumlah imago lebah pekerja yang keluar dari sel pupa. Jumlah imago lebah pekerja A. cerana (yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Kasa Sentral Pengembangan Pertanian (SPP) Fakultas Pertanian Universitas Riau, Laboratorium Hama Tumbuhan selama tiga

Lebih terperinci

PEMANFATAAN Drosophila melanogaster SEBAGAI ORGANISME MODEL DALAM MENGUNGKAP BERBAGAI FENOMENA PENYIMPANGAN RASIO MENDEL

PEMANFATAAN Drosophila melanogaster SEBAGAI ORGANISME MODEL DALAM MENGUNGKAP BERBAGAI FENOMENA PENYIMPANGAN RASIO MENDEL PEMANFATAAN Drosophila melanogaster SEBAGAI ORGANISME MODEL DALAM MENGUNGKAP BERBAGAI FENOMENA PENYIMPANGAN RASIO MENDEL Ahmad Fauzi 1, Aloysius Duran Corebima 2 1 Pascasarjana Pendidikan Biologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan 12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN LALAT BUAH (Drosopilla sp.) PADA BERBAGAI MEDIA DAN SUMBANGANNYA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI SMA

PERTUMBUHAN LALAT BUAH (Drosopilla sp.) PADA BERBAGAI MEDIA DAN SUMBANGANNYA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI SMA PERTUMBUHAN LALAT BUAH (Drosopilla sp.) PADA BERBAGAI MEDIA DAN SUMBANGANNYA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI SMA Eko Sri Wahyuni Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak, Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lalat buah dengan nama ilmiah Bractrocera spp. tergolong dalam ordo

TINJAUAN PUSTAKA. Lalat buah dengan nama ilmiah Bractrocera spp. tergolong dalam ordo TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama (Bractrocera dorsalis) Menurut Deptan (2007), Lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : insecta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes TINJAUAN PUSTAKA Biologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros adalah sebagai berikut : Phylum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

PERBEDAAN LATAR BELAKANG DAN UMUR MATERNAL TERHADAP FREKUENSI PINDAH SILANG ANTARA LOKUS

PERBEDAAN LATAR BELAKANG DAN UMUR MATERNAL TERHADAP FREKUENSI PINDAH SILANG ANTARA LOKUS PERBEDAAN LATAR BELAKANG DAN UMUR MATERNAL TERHADAP FREKUENSI PINDAH SILANG ANTARA LOKUS b DENGAN LOKUS dp PADA LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) SKRIPSI Oleh Rizki Auliya NIM 091810401020 JURUSAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Farmasetika Program

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Farmasetika Program I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Farmasetika Program Studi

Lebih terperinci

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan data, menganalisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan persoalan yang diteliti, yang bertujuan untuk meneliti pengaruh perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. dengan persoalan yang diteliti, yang bertujuan untuk meneliti pengaruh perlakuan 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian eksperimen.penelitian eksperimen adalah suatu percobaan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 21 III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Karawang, Jawa Barat. Waktu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan secara eksperimental laboratorium. B. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

Petunjuk Praktikum BIC 124

Petunjuk Praktikum BIC 124 Petunjuk Praktikum BIC 124 Disusun Oleh : Victoria Henuhili Suratsih Paramita CK Jurdik Biologi FMIPA UNY 2012 NAMA NIM ALAMAT : : : victoria@uny.ac.id Page 1 Kata Pengantar Petunjuk praktikum Genetika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bunga Kelapa Sawit Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga yang pecah jika akan anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 100-250 spikelet (tangkai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL ). Perlakuan yang diberikan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL ). Perlakuan yang diberikan 30 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL ). Perlakuan yang diberikan adalah dengan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap

III. METODE PENELITIAN. Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap 21 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti dilakukan pada bulan Maret 2010 dilakukan di laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci