SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012"

Transkripsi

1

2 PROSIDING ISBN SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

3 Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2013 ISBN : Foto Sampul : Eko Priyanto Farika Dian Nuralexa Desain Sampul : Tommy Kusuma AP P3KR 2013 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) Fax : (0251) p3hka_pp@yahoo.co.id Website: Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

4 Tim Penyunting Penanggung Jawab Redaktur : : Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Sekretariat : Ir. Hariono Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum Eko Priyanto, SP Farika Dian Nuralexa, Shut Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP iii

5 KATA PENGANTAR Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahanpermasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS Penyelenggaraan tersebut iv

6 adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan. Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 adalah menyampaikan hasilhasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 ini memuat 14 judul materi yang dibahas, serta rumusan seminar yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihakpihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP v

7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan... v vi viii RUMUSAN Rumusan Seminar xii MAKALAH-MAKALAH 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai / Paimin, Ugro Hari Murtiono, Agus Wuryanta (BPKTPDAS) Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang / Pamungkas Buana Putra, Irfan Budi Pramono(BPKTPDAS) Revisi Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Lusi Dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Aris Budiyono, Beny Harjadi (BPKTPDAS) Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati / Evi Irawan (BPKTPDAS) Partisipasi Masyarakat Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS) Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Bajulmati / Purwanto, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS) Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu / Agung Budi Supangat, Pamungkas Buana Putra (BPKTPDAS) Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayuputih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta / Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS) vi

8 9. Perubahan Tingkat Sedimen Terlarut di Sungai Keduang Periode / Gunardjo Tjakrawarsa, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS) Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut Di Segara Anakan Cilacap / Ugro Hari Murtiono, Gunardjo Tjakrawarsa, Uchu Waluya Heri Pahlana (BPKTPDAS) Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis di Gunung Batur, Bangli (Hasil Awal) / Gunardjo Tjakrawarsa, Budi Hadi Narendra (BPK Mataram) Komposisi Dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Agung Budi Supangat (BPKTPDAS) Penanganan Lahan Pantai Berpasir Dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut / Beny Harjadi (BPKTPDAS) Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub Daerah Aliran Sungai Tulis / S. Andy Cahyono, Purwanto (Mahasiswa S3 UGM) LAMPIRAN Jadwal Acara Daftar Peserta Hasil Diskusi vii

9 PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten atau yang mewakili Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Kepala Pusat/Kepala Balai Besar/ Kepala Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan khususnya dan Kementerian kehutanan Umumnya, Bapak/Ibu peserta seminar (peneliti, praktisi, penentu kebijakan, dll) yang berbahagia Assalamu alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia kepada kita, serta atas perkenaan-nya pulalah kita bisa hadir pada acara seminar dalam keadaan sehat wal afiat dan suasana yang penuh kebahagiaan. Bapak Ibu peserta seminar yang kami hormati, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia patut disyukuri, dilindungi dan diurus dengan sebaik-baiknya. DAS memiliki persoalan yang sangat komplek tetapi diantaranya juga mempunyai potensi yang besar untuk pembangunan, oleh karena itu perlu dikelola dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan pula. viii

10 Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Bencana banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat adalah merupakan tanda-tanda penurunan daya dukung DAS. Amanah UU No. 41 tahun 1999 salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolan DAS yang obyektif dan rasional untuk mengatasi permasalahan pengelolaan DAS tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Sebagai landasan penyelenggaraan pengelolaan Pengelolaan DAS, telah terbit PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Untuk mengimplementasikan PP tersebut, masih diperlukan pemahaman bersama oleh parapihak terkait sehingga dapat dilaksanakan dengan selaras dan terpadu. Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan serangkaian IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adoptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan / dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang kian berkembang. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS. Sasaran Seminar untuk menyampaikan hasil penelitian dan menjaring masukan untuk penyempurnaan dan tindaklanjut. ix

11 Luaran yang ingin dicapai hasil-hasil penelitian cepat sampai kepada pengguna (praktisi, penentu kebijakan) dan dimanfaatkan. Seminar ini juga merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Nomor NK.3/VIII-SET/2011 dan Nomor NK.2/V-SET/2011 tanggal 27 Juni 2011 Tentang IPTEK Pengelolaan DAS sebagai Landasan Kebijakan Operasional. Untuk meningkatkan sinergitas kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan sebagai penyedia IPTEK dengan pengguna IPTEK, terutama Ditjen BPDASPS, maka perlu Kehadiran Direktur PEPDAS Ditjen BPDASPS sebagai keynote speech untuk menyampaikan Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS Dalam Mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun Dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan, telah dijalin pula kerjasama dengan Perum Perhutani. Maksud kerjasama adalah untuk mendayagunakan dan mensinergikan sumberdaya antara Perum Perhutani dan Badan Litbang dalam rangka penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penerapan hasilhasilnya. Ruang lingkup kerjasama meliputi litbang di bidang kehutanan, sosialisasi dan diseminasi hasil, penerapan dan pemanfaatan hasilhasilnya. Langkah awal telah disepakati Bersama (Memorandum of Understanding) antara Badan Litbang Kehutanan dengan Perum Perhutani Tentang Kesepakatan Bersama Melaksanakan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan serta Penerapan dan Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Nomor NK. 1/VIII-SET/2012 dan Nomor 034/SJ/DIR/2012, tanggal 23 April x

12 Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama tersebut, telah diupayakan perjanjian kerjasama (PKS) litbang yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan Hutan Penelitian yang berada di wilayah Perum Perhutani Unit I dan II, dan oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan penandatanganan PKS lingkup badan Litbang Kehutanan yaitu antara BPTKPDAS Solo dan PUSKONSER Bogor dengan Puslitbang Perum Perhutani Cepu. Maksud PKS tersebut adalah untuk meningkatkan sinergitas dan efisiensi penelitian dan atau pengembangan serta pengelolaan KHDTK secara kolaboratif sehingga diperoleh peningkatan nilai hutan dan lingkungan. Saudara-saudara hadirin yang berbahagia, Penyelenggaraaan seminar ini sangat penting bagi kita bersama. Oleh karena itu kami mohon agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam diskusi, sehingga nantinya dapat diperoleh nilai manfaat secara maksimal. Demikian sedikit pengantar kami tentang latar belakang pentingnya penyelenggaraan seminar ini. Semoga pada akhir acara nanti dapat dirumuskan temuan-temuan penting untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan pimpinan dalam menghadapi tantangan pengelolaan DAS terkini. Akhir kata, semoga kegiatan ini bermanfaat bagi semua institusi yang terkait di bidang Pengelolaan DAS maupun para pengguna sehingga terjalin hubungan timbal balik yang bermanfaat bagi kemaslahatan negara, pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 kami nyatakan dibuka secara resmi. Wassalamualaikum Wr. Wb. Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc. xi

13 RUMUSAN SEMINAR NASIONAL Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 (5 September 2012) Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; keynote speech: Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012 oleh Direktur Perencanaan & Evaluasi Pengelolaan DAS Ditjen BPDASPS; paparan narasumber komisi; serta hasil diskusi, maka seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Hasil Rumusan Sidang Komisi I 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (Ir. Paimin MSc,dkk) a. Berdasarkan tingkat kerentanan lahan terhadap erosi, Sub DAS Tuntang Hulu, merupakan wilayah yang harus mendapat prioritas penanganan. b. Berdasarkan analisis untuk karaterisasi DAS, DAS Tuntang memiliki potensi pasokan air banjir yang tinggi, maka berdasarkan klasifikasi DAS menurut PP 37 Tahun 2012, DAS Tuntang termasuk pada kategori dipulihkan. c. Sedangkan berdasarkan karakteristik/tipologi lahan dan pasokan air banjir maka urutan penangan DAS Tuntang adalah hulu, tengah kemudian hilir. d. Hasil identifikasi ini diharapkan bias digunakan sebagai penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya khususnya di Kabupaten Demak. - Berdasarkan tingkat kerentanannya, karakteristik lahan dan pasokan air banjir maka DAS Tuntang dikategorikan sebagai DAS yang dipulihkan, dan prioritas penanganan dilakukan di bagian hulu DAS. xii

14 - Penyusunan kriteria DAS sebaiknya menggunakan parameter yang workable. Termasuk penentuan actor perusak DAS, dan siapa dan apa yang sebaiknya ditangani. - Buku Perencanaan Pengelolaan DAS telah memberikan arahan parameter mana yang bias digunakan untuk menganalisis kondisi DAS lingkup kabupaten, lintas kabupaten dan lintas popinsi. 2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang (Pamungkas BPS.Hut, dkk) a. Mempertimbangkan luas kawasan hutan di DAS Serang yang 14,96% merupakan wilayah Unit I Jawa Tengah, dan sebesar 45% KPH (terdiri dari 9 KPH) dari Unit I Jawa Tengah. Dengan demikian KPH Unit I Jawa Tengah merupakan stakeholders utama yang mengelola DAS Serang. b. Terkait dengan sinkronisasi system perencanaan hutan dan sistem perencanaan pengelolaan DAS, Bagian Hutan menjadi wadah dalam sinkronisasi-kolaborasi kedua system perencanaan tersebut. c. Pada pengelolaan DAS, setiap unit pengelolaan hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan hendaknya mengacu pada karakteristik dari DAS yang bersangkutan (ayat 3 pasal 32 PP No. 44 tahun 2004). d. Sinergitas antara sistem perencanaan DAS terhadap sistem perencanaan kehutanan dilakukan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Penyusunan Rencana pengelolaan hutan (baik konservasi maupun lindung dan produksi) yang telah dilaksanakan selama ini juga telah mengaitkan antara keberadaan kawasan hutan dengan DAS. Di dalam menyusun rencana pengelolaan hutan konservasi, faktor kondisi Daerah Aliran Sungai dan sumber daya air menjadi salah satu unsur ekologi yang mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 8 Permenhut No. 41/Menhut-II/2008). e. Demikian juga perencanaan hutan untuk hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani telah xiii

15 mengaitkan unsur pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS menjadi salah satu unsur agenda tujuan pengelolaan hutan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai contoh adalah RPKH (Revisi) KPH Cepu Jangka Sasaran dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan aktivitas kelola lingkungan di kawasan hutan berupa penataan KPS; penerapan teknik KTA, monitoring tata air, erosi dan sedimentasi; monitoring tingkat kesuburan. (SPH IV, 2009). f. Perencanaan makro dari Perencanaan Pengelolaan DAS diadopsi melalui RPKH lingkup Bagian Hutan (BH) untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi (baik CA, SM, TN dan Tahura). - Sinkronisasi perencanaan kehutanan di lingkup Perhutani dalam upaya mendukung pengelolaan DAS dilakukan melalui Bagian Hutan untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi. - Hutan merupakan bagian dari ekosistem DAS, oleh karena itu rencana pengelolaan kehutanan hendaknya mengacu pada rencana pengelolaan DAS. 3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG (Ir. AgusWuryanta, MSc) Telah terjadi perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan di DAS Lusi, seperti Sawah Irigasi pada peta RBI seluas ,65 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra SPOT 2 menjadi seluas 1.797,85 ha atau berkurang ,8 ha. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada saat perekaman citra yaitu tanggal 19 Juni 2006 (musim kemarau) sebagian areal tersebut tidak ada vegetasi (setelah musim panen) sehingga terklasifikasi pada citra sebagai lahan kosong. Jenis penutupan/penggunaan lahan Sawah Tadah Hujan pada peta RBI seluas ,25 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra pada areal tersebut terdapat berbagai jenis penutupan vegetasi seperti mahoni, jati, dan belukar/semak. - Revisi citra SPOT bias dilakukan pada peta RBI suatu lokasi untuk mendapatkan gambaran mutakhir keadaan suatu wilayah. xiv

16 - Citra dengan resolusi besar akan memberikan hasil dan akurasi yang lebih baik. 4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati (Dr. Evi Irawan) a. Sistem PHBM ternyata tidak banyak merubah karakteristik property rights Perhutani, tetapi merubah karakteristik property rights masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Namun demikian, beberapa hal yang perlu disadari adalah bahwa sistem PHBM ternyata belum mampu meningkatkan derajat eksklusivitas pemegang hak atas sumber daya hutan yang ada di dalam kawasan hutan pangkuan desa, kecuali pohon jati. Pihak-pihak luar yang bukan merupakan anggota LMDH dapat dengan mudah mengakses dan sekaligus mengambil kayu bakar, hijauan makanan ternak, dan lain-lain. b. Rendahnya derajat eksklusivitas dan fleksibilitas property rights yang dikuasai LMDH pada sistem PHBM dapat berimplikasi pada melemahnya dorongan LMDH dalam melestarikan sumberdaya hutan tanaman jati, kecuali tegakan jati, di kawasan hutan pangkuan desa. Dengan kata lain, sistem PHBM kurang dapat mendorong LMDH memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan regular bagi LMDH maupun masyarakat desa hutan. c. PHBM tampaknya perlu dirombak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan suatu struktur property rights yang mampu memberikan insentif bagi masyarakat desa atau LMDH untukturutsertadalam pelestarian sumberdaya hutan. - Perombakan PHBM yang memberikan kepastian dan insentif kepada masyarakat untuk turut serta melestarikan sumberdaya hutan. Hal ini pada hakekatnya akan membawa dampak positif pada peningkatan kesehatan DAS. - Perlu difikirkan upaya menciptakan watershed governance untuk meningkatkan tata kelola DAS melalui penelitian tentang property right. xv

17 5. Tingkat Partisipasi Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah (Ir. YudiLastiantoro, MP) a. Rata-rata tingkat partisipasi responden terhadap usaha konservasi tanah dan air adalah rendah sampai sedang. b. Kenyataan di lapangan, para petani di Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu sudah menerapkan kaidah konservasi tanah di lahannya. Terdapat dua metode konservasi tanah yang telah dilaksanakan, yaitu metode vegetative dan teknik sipil. Metode vegetative yang dilakukan petani adalah menanam tanaman keras di tebing jurang, menanam rumput di gulud dan agroforestry. Metode teknik sipil yang diterapkan dalam melaksanakan konservasi tanah berupa: pembuatan saluran pembuangan air dan pembuatan dam kecil penahan sedimen di badan sungai. c. Karakteristik tipologi partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari kegiatan, setelah ada keputusan-keputusan yang telah disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukan kemandiriannya. d. Tujuan partisipasi (1) Meningkatkan penghasilan masyarakat dari kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berkaidah konservasi tanah dan air. (2) Melestarikan hutan, tanah dan alam sekitarnya termasuk mengurangi bahaya erosi (3) Melestarikan sumberdaya air, khususnya air bersih untuk keperluan seluruh warga desa. - Partisipasi masyarakat sangat penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan DAS. Partisipasi dilakukan masyarakat petani dalam bentuk pembuatan bangunan konservasi seperti teras, gulud, dan SPA serta perlakuan vegetatif berupa penanaman tanaman keras. xvi

18 Hasil Rumusan Sidang Komisi II 1. DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologis yang dipengaruhi oleh peubah curah hujan yang masuk ke dalam sistem. DAS merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai tipe ekosistem di daratan antara wilayah hulu sampai hilir yang terhubung melalui siklus/daur hidrologi. Dalam hal ini, tiga aspek utama dalam pengelolaan DAS yang perlu diperhatikan meliputi jumlah/hasil air (water yield), waktu penyediaan (water regime) dan sedimen. 2. Perubahan iklim yang disebabkan oleh faktor alami dan perilaku manusia dapat menyebabkan meningkatnya rerata suhu udara maksimum pada jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju evapotranspirasi dan mempengaruhi hasil air pada ekosistem DAS. Terkait dengan siklus hidrologi, perubahan iklim mempengaruhi anomali distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal. Namun demikian pada skala kecil, pola curah hujan tahunan, debit sungai dan hasil air cenderung tidak terpengaruh oleh adanya perubahan iklim, meskipun ada kecenderungan menurunnya jumlah air tersedia untuk keperluan rumah tangga maupun budidaya pertanian. Untuk menyikapi kelangkaan air untuk budidaya pertanian, khususnya pada musim kemarau, masyarakat perlu menerapkan pola tanam tumpang gilir. 3. Informasi kondisi neraca air pada suatu wilayah diperlukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan, terutama pada daerah kering, termasuk dalam pengembangan komoditas pertanian dan kehutanan beserta pola tanamnya. Pada kawasan hutan jati, potensi defisit air pada bulan-bulan kering dalam satu tahun relatif tinggi namun potensi pasokan air ke dalam tanah di bulanbulan basah sebagai simpanan air tanah sangat kecil. Sehingga pada kawasan tersebut ada kecenderungan bahwa curah hujan yang dapat dimanfaatkan tidak mencukupi besarnya kebutuhan air oleh tanaman. Dengan demikian, perlu adanya tambahan air dari irigasi, khususnya untuk tanaman budidaya pertanian di sekitar hutan jati. xvii

19 4. Kuantitas dan kualitas air merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air DAS, baik pada daerah hulu maupun hilir. Penurunan kualitas air berdampak buruk pada kesinambungan ekosistem DAS. Pada daerah hulu, penurunan kualitas air lebih disebabkan oleh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman melalui sedimentasi, penumpukan hara dan pencemaran bahan kimia pestisida. Pada kawasan hutan dengan tanaman kayu putih, permasalahan utama yang dihadapi adalah terkait dengan ketersedian air tanah maupun air permukaan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, di mana masyarakat sekitar kawasan sering mengalami kelangkaan air untuk kebutuhan domestik maupun untuk bercocok tanam. Sementara itu, berdasarkan beberapa parameter penentuan kelas kualitas air menurut peraturan yang berlaku, diperoleh informasi bahwa air pada kawasan hutan kayu putih secara umum masih dapat digunakan sebagai bahan baku air minum dan untuk pengairan tanaman. 5. Tingginya laju sedimentasi karena erosi yang disebabkan oleh perubahan penutupan lahan, terutama berkurangnya luasan penutupan hutan dan bertambahnya luasan areal pemukiman, dapat menyebabkan terganggunya fungsi waduk dalam pengaturan penampungan, penyimpanan dan pendistribusian air. Pada jangka panjang, meningkatnya jumlah sedimen terlarut yang masuk ke dalam waduk dapat memperpendek umur teknis waduk. Upaya penurunan laju sedimentasi melalui kegiatan konservasi tanah dengan penanaman pohon dan pembuatan bangunan sipil teknis perlu dilakukan dengan melibatkan secara aktif masyarakat setempat untuk menyelaraskan antara kebutuhan masyarakat dan kelestarian lingkungan DAS, khususnya pada daerah tangkapan waduk. Pola agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan pada daerah hulu yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekaligus memberikan manfaat perlindungan bagi ekosistem hulu DAS. 6. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting, baik secara ekologis, ekonomis maupun social budaya. Terkait dengan proses erosi dan sedimentasi, vegetasi pada xviii

20 hutan mangrove mempunyai kemampuan dalam menjerat sedimen terlarut sebelum masuk ke laut. Dalam hal ini, komunitas tanaman bakau (Rhizophora spp.) mempunyai kemampuan menjerat sedimen terlarut yang terendah dibandingkan dengan komunitas tanaman api-api (Avicenna spp.) dan bogem (Sonneratia spp.). Dengan demikian, jenis bakau (Rhizophora spp.) sangat cocok dikembangkan untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove terdegradasi yang ditujukan untuk mengurangi pendangkalan sungai pada daerah hulunya yang pada akhirnya dapat potensi banjir. 7. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian yang dihasilkan lebih berkualitas dan bermanfaat bagi praktisi lapangan. Seminar merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi. Hasil Rumusan Sidang Komisi III 1. Salah satu penyebab meluasnya lahan kritis di Pulau Bali adalah akibat letusan gunung berapi. Lahan kritis tersebut berupa batu vulkanis beku dan pasir dari letusan Gunung Batur. Karena mempunyai tingkat kesuburan tanah dan curah hujan rendah maka lahan tersebut perlu segera direhabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi tersebut dapat dilakukan penamanan cemara pandak (Dacricarpus umbricarpus), rasamala (Altingia excelsa), dan Kepelan (Manglietia glauca) dengan perlakuan pemberian top soil, pupuk kandang dan penyiraman sistem tetes. Namun demikian hasil penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh hasil yang signifikan. xix

21 2. Tumbuhan bawah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Adanya komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekologis hutan. Telah ditemukan 29 jenis tumbuhan bawah di Taman Nasional Bali Barat yang mempunyai potensi a) sebagai penutup lantai hutan, b) sebagai tanaman hias, c) tumbuhan obat, d) tumbuhan penghasil pakan satwa, e) penghasil sayuran, f) penghasil minyak atsiri, g) tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) tumbuhan sakral. Nilai keanekaragaman masing masing tipe ekosistem hutan tersebut tergolong yang menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang. 3. Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan untuk mendukung fungsi lingkungan yaitu konservasi tanah dan hidroorologi serta mempertahankan biodiversitas ekosistemnya, Permudaan KPS melalui enrichment planting yang harus mempertimbangkan toleran atau intoleran jenis tanaman yang dikembangkan. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan penelitian intensitas cahaya pada jenis penutupan hutan jati dan johar. Hasil penelitian ini masih perlu diperluas dengan pengamatan tingkat pertumbuahn tumbuhan bawah dibawah jenis-jenis tersebut dan jenis lain yang berkaitan dengan fungsi konservasi KPS. 4. Permasalahan yang sering timbul pada lahan pantai antara lain adalah abrasi (pengurangan daratan), air pasang, kecepatan angin tinggi, uap air yang mengandung garam, iklim mikro ekstrim panas dan kering, dan unsur hara yang rendah. Untuk mengeliminir masalah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk kandang dan mikoriza, penyediaan sumur renteng dan pemberian mulsa, sedangkan untuk kondisi iklim ekstrim dengan penghijauan cemara laut sebagai tanggul angin. Langkah awal untuk menuju pertanian yang efisien adalah penentuan komoditas unggulan yang diusahakan sehingga diperoleh komoditas yang memiliki keunggulan komparatif sehingga xx

22 mampu meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Komoditas unggulan harus layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial, dan ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika sesuai dengan agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberi peluang berusaha, bisa dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian di Sub DAS Tulis menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang banyak diusahakan yaitu padi, dan jagung (tanaman pangan), kentang dan kubis (hortikultura), salak (buahbuahan), sengon (kehutanan), kambing dan sapi (ternak ruminansia) dan ayam (ternak non ruminansia). Informasi desa yang memiliki keunggulan atas suatu komoditas perlu diketahui karena mencerminkan pewilayahan komoditas. Desa yang memiliki banyak komoditas unggulan akan menjadi pemasok bagi daerah non basis dan desa dengan banyak komoditi unggulan akan lebih maju dibandingkan dengan daerah yang sedikit memiliki komoditi unggulan. Penggantian komoditas unggulan komparatif (kentang) tidak dapat serta merta dilakukan dengan tanaman kehutanan. Rekomendasi teknik penanaman kentang dengan menerapkan teknik konservasi tanah perlu diberikan agar memberikan manfaat ekonomi dan ekologi. Surakarta, 5 September 2012 Tim Perumus 1. Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc 2. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc xxi

23 KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH POTENSIAL PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT 1 oleh/ by: Arina Miardini 2 dan Agung Budi Supangat 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: ( ) / bpk_solo_pp@yahoo.com 2 md_areena@yahoo.com ; 3 maz_goenk@yahoo.com ABSTRAK Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu keanekaragaman jenis flora di TNBB yaitu adanya keanekaragaman tumbuhan bawah. Untuk mengetahui potensi tumbuhan bawah pada tingkat jenis, maka perlu diketahui komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah potensial pada berbagai tipe ekosistem hutan di TNBB. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan ukuran 1x1 m secara purposive sampling yang mewakili dari variasi perbedaan lima ekosistem. Penentuan jumlah petak dilakukan berdasarkan running mean, sehingga pembuatan petak contoh dihentikan saat nilai keragamannya relatif stabil. Analisis tumbuhan bawah dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif dan indeks nilai penting serta indeks keanekaragaman shannon wienner. Komposisi jenis tumbuhan bawah pada berbagai tipe ekosistem hutan di TNBB: 8 jenis ditemukan di hutan pantai formasi pescapre, 8 jenis ditemukan di hutan pantai baringtonia, 9 jenis di Savanna, 10 jenis di hutan musim dan 9 jenis di hutan dataran rendah. Keanekaragaman pada masing masing tipe ekosistem hutan di TNBB tergolong sedang dengan nilai indeks snannon wienner berkisar antara 1,07 sampai 2,06. Potensi tumbuhan bawah pada masing-masing tipe ekosistem hutan di TNBB dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok yaitu: a) 4 jenis berpotensi sebagai penutup lantai hutan, b) 6 jenis berpotensi sebagai tanaman hias, c) 18 jenis berpotensi sebagai tumbuhan obat, d) 7 jenis berpotensi sebagai tumbuhan penghasil pakan satwa, e) 2 jenis berpotensi sebagai penghasil sayuran, f) 2 jenis berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri, g) 6 jenis berpotensi sebagai tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) 2 jenis berpotensi sebagai tumbuhan sakral. Kata kunci : komposisi, keanekaragaman, tumbuhan bawah, ekosistem hutan, taman nasional bali barat 1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Surakarta, 5 September

24 I. PENDAHULUAN Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang merupakan habitat terakhir bagi burung Curik Bali (Leucopsar rothschildi). Kawasan ini ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September TNBB memiliki ekosistem asli yang didalamnya terdapat keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang tinggi. Salah satu keanekaragaman jenis flora di TNBB yaitu adanya keanekaragaman tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan yang bukan termasuk tegakan atau pohon dan keberadaaannya di bawah strata tegakan atau pohon (Odum, 1993). Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual, atau perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar atau memanjat (Aththorick, 2005). Tumbuhan bawah di TNBB berpotensi sebagai pakan satwa, tanaman obat dan sebagai vegetasi penutup tanah. Berdasarkan hasil inventarisasi potensi keanekaragaman spesies tumbuhan obat di berbagai kawasan hutan konservasi taman nasional di Indonesia, menunjukkan bahwa setiap unit kawasan hutan taman nasional ditemukan berbagai spesies tumbuhan obat yang dapat mengobati 25 kelompok penyakit yang diderita masyarakat (Zuhud, 2008). Potensi tumbuhan obat berdasarkan habitus (life-form) tumbuhan bawah yaitu sebesar 486 spesies herba, 183 spesies semak, 125 perdu dan 145 liana (Zuhud dan Siswoyo, 2001). Di Kawasan Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat ditemukan 12 jenis tumbuhan yang diidentifikasi sebagai pakan rusa yang 8 diantaranya merupakan tumbuhan bawah (Masyud et al., 2008) Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga membantu percepatan proses dekomposisi seresah yang dapat bermanfaat dalam penyediaan unsur hara untuk tanaman pokok (Ewusia, 1990). Potensi yang cukup besar ini menjadikan peran tumbuhan bawah sebagai komponen penting dalam ekosistem hutan perlu 204

25 diperhitungkan. Adanya komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekologis hutan. Berkaitan dengan potensi tumbuhan bawah pada tingkat jenis, maka perlu dilakukan analisis tumbuhan bawah. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah potensial pada berbagai tipe ekosistem hutan di TNBB. II. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu TNBB memiliki luas kawasan ,89 Ha yang terdiri dari ,89 Ha berupa wilayah daratan dan Ha berupa perairan. Secara administratif TNBB terletak di Kabupaten Jembrana dan Kab. Buleleng. TNBB terbagi dalam Zona Inti seluas ± 8.023,22 Ha; Zona Rimba ± 6.174,756 Ha;, Zona perlindungan Bahari ± 221,741 Ha;, Zona Pemanfaatan ± 4.294,43 Ha;, Zona Budaya, Religi dan Sejarah seluas ± 50,570 Ha;, Zona Khusus ± 3,967 Ha; dan Zona Tradisional seluas ± 310,943 Ha. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2012 di lima tipe ekosistem hutan di TNBB, yaitu hutan pantai formasi pescapre dan hutan pantai Baringtonia. Gambar 1. Zonasi Taman Nasional Bali Barat 205

26 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan bawah pada berbagai tipe ekosistem hutan di TNBB, literatur berupa publikasi/ laporan penelitian dan buku identifikasi tumbuhan. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain: petak contoh 1x1 m, kertas koran, kantong plastik, tally sheet, alat tulis dan kamera. Metode Untuk mengetahui komposisi tumbuhan bawah dilakukan analisis secara purposive sampling yang mewakili dari variasi perbedaan lima ekosistem (hutan pantai formasi pescapre, hutan pantai formasi baringtonia, savanna, hutan musim dan hutan dataran rendah). Metode yang digunakan dalam analisis tumbuhan bawah ini adalah metode garis berpetak dengan ukuran 1x1 m. Penentuan jumlah petak dilakukan berdasarkan running mean, sehingga pembuatan petak contoh dihentikan saat nilai keragamannya relatif stabil. Pembuatan garis dilakukan dengan memotong kontur. Petak contoh yang dibuat sebanyak 35 petak contoh yang terdiri dari: hutan pantai formasi pescapre sebanyak 10 petak, hutan pantai formasi baringtonia sebanyak 5 petak, savanna sebanyak 8 petak, hutan musim sebanyak 6 petak dan hutan dataran rendah sebanyak 6 petak. Jenis data yang diambil berupa data primer dan sekunder. Data primer yang diambil antara lain : 1) Tanggal, waktu, tempat, elevasi, dan koordinat titik awal jalur dengan menggunakan GPS, 2) Jumlah dan jenis yang terdapat dalam petak, 3) Kelimpahan jumlah suatu jenis, 4) gambar spesies dan spesimen yang belum diketahui jenisnya untuk diidentifikasi. Data sekunder yang diambil yaitu potensi tumbuhan bawah yang terdapat di TNBB. Identifikasi jenis tumbuhan bawah berpotensi dilakukan dengan melakukan cek silang dengan buku Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid IV dan berbagai literature lainnya.. Data yang diperlukan untuk pengkajian aspek potensi tumbuhan bawah meliputi nama lokal, nama ilmiah (species dan famili), dan habitus. 206

27 Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan tabel yang dilanjutkan dengan analisis secara deskriptif kualitatif. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus (Soerianegara dan Indrawan, 1998) sebagai berikut: Kerapatan (ind/m 2 ) = Jumlah individu suatu jenis Luas seluruh petak Kerapatan Relatif (%) = Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis X 100% Frekuensi = Jumlah petak terisi suatu jenis Jumlah seluruh petak Frekuensi Relatif (%) = Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis X 100% Indeks Nilai Penting = KR + FR Untuk mengukur atau menduga keanekaragaman jenis digunakan indeks Shannon-Wieners (Odum, 1971 dalam Rachmady, 2003) dan pengklasifikasian keanekaragaman menggunakan kriteria pada Tabel 1. H = ni ni ln N N Keterangan: H = indeks keanekaragaman jenis N = Jumlah total individu ni = jumlah individu pada jenis ke-i Tabel 1 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) Nilai Indeks Kriteria Shannon > 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. 1-3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang. Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap < 1 spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. 207

28 Hasil identifikasi jenis tumbuhan bawah disusun berdasarkan famili dan spesies yang selanjutnya untuk dianalisis. Setiap spesies tumbuhan dianalisis mengenai potensi, bentuk hidup dan manfaatnya. Pengklasifikasian dilakukan dengan cara melakukan penyaringan terhadap kegunaan masing-masing jenis tumbuhan berguna berdasarkan kelompok kegunaannya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah berdasarkan Tipe Ekosistem Hutan di TNBB No Hasil analisis tumbuhan bawah pada lima tipe ekosistem hutan di TNBB diperoleh 29 jenis tumbuhan bawah dengan rician per ekosistem: sebanyak 8 jenis ditemukan di hutan pantai formasi pescapre, 8 jenis ditemukan di hutan pantai baringtonia, 9 jenis di Savanna, 10 jenis di hutan musim dan 9 jenis di hutan dataran rendah. Komposisi dari keanekaragaman jenis tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, ph tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis (Gusmaylina, 1983). Komposisi jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada masing-masing tipe ekosistem hutan dapat ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi Jenis Tumbuhan Bawah yang Ditemukan pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di TNBB Ekosistem Hutan Nama Lokal Jenis Ditemukan K KR F FR INP Nama Latin Ind/ m 2 (%) Ind/ m 2 (%) (%) 1 Pescapre rumput lari Cyperus digatatus 3,10 22,30 0,90 23,68 45,99 Seruni laut Widelia biflora 0,20 1,44 0,10 2,63 4,07 Kacangan Spilanthes 2,20 15,83 0,90 23,68 39,51 labadicensis Widuri Calotropia 0,70 5,04 0,40 10,53 15,56 gigantean katang Ipomoea 1,40 10,07 0,60 15,79 25,86 katang pescapre Teki laut Cyperus longus 5,60 40,29 0,50 13,16 53,45 rumput tembaga Ischaemum muticum 208 0,60 4,32 0,30 7,89 12,21

29 No Ekosistem Hutan Nama Lokal Jenis Ditemukan K KR F FR INP Nama Latin Ind/ m 2 (%) Ind/ m 2 (%) (%) Kerasi Lantana camara 0,10 0,72 0,10 2,63 3,35 2 Baringtonia Kacangan Spilanthes 0,20 3,33 0,20 9,09 12,42 labadicensis Untir-untir Galearia filiformis 0,20 3,33 0,20 9,09 12,42 Seruni laut Widelia biflora 0,20 3,33 0,20 9,09 12,42 Nyawon Vernonia cinerea 2,20 36,67 0,60 27,27 63,94 Kerasi Lantana camara 0,80 13,33 0,20 9,09 22,42 L., Kirinyuh Eupatorium 1,20 20,00 0,40 18,18 38,18 inulifolium pring Pogonatherum 1,00 16,67 0,20 9,09 25,76 pringan crinitum teki laut Cyperus longus 0,20 3,33 0,20 9,09 12,42 3 Savana Merakan Themeda arguens 22,50 66,42 0,87 24,14 90,56 pring pringan kemangi hutan Kirinyuh Pogonatherum 4,12 12,18 1,00 27,59 39,76 crinitum Ocimum cannum 0,50 1,48 0,12 3,45 4,92 Eupatorium inulifolium 209 1,25 3,69 0,37 10,34 14,03 Nyawon Vernonia cinerea 2,50 7,38 0,50 13,79 21,17 Kerasi Lantana camara 1,62 4,80 0,37 10,34 15,14 Kacangan Spilanthes 0,37 1,11 0,12 3,45 4,55 iabadicensis teki gandul Cyperus brevifolius 0,37 1,11 0,12 3,45 4,55 rumput mutiara Hedyotis corymbosa 0,62 1,84 0,12 3,45 5,29 4 Musim Rembiga - 1,50 23,08 0,17 5,88 28,96 Kerasi Lantana camara 1,17 17,95 0,50 17,65 35,60 Jerukan Xanthophyllum 0,67 10,26 0,17 5,88 16,14 excelsum Kirinyuh Eupatorium 0,83 12,82 0,67 23,53 36,35 inulifolium Meniran Phyllanthus niruri 1,17 17,95 0,33 11,77 29,71 Untir-untir Galearia filiformis 0,17 2,56 0,17 5,88 8,45 Berasan Cyperus elatus 0,17 2,56 0,17 5,88 8,45 Kalak Cyathocalyx 0,33 5,13 0,33 11,77 16,90 sumatranus Nyawon Vernonia cinerea 0,17 2,56 0,17 5,88 8,45 Ketket Rubus lineatus 0,33 5,13 0,17 5,88 11,01 5 Dataran Rendah Soka Ixora salicifolia 1,00 19,05 0,25 8,33 27,38 Ketket Rubus lineatus 1,00 19,05 0,50 16,67 35,71

30 No Ekosistem Hutan Nama Lokal Jenis Ditemukan K KR F FR INP Nama Latin Ind/ m 2 (%) Ind/ m 2 (%) (%) liana api - 0,50 9,52 0,50 16,67 26,19 Rotan Calamus manan 0,50 9,52 0,25 8,33 17,86 Kalak Cyathocalyx 0,25 4,76 0,25 8,33 13,09 sumatranus Daun - 1,00 19,05 0,25 8,33 27,38 wisnu cabe hutan Piper 0,50 9,52 0,50 16,67 26,19 retrofractum Pakis Asplenium nidus 0,25 4,76 0,25 8,33 13,09 sarang burung Kuanitan - 0,25 4,76 0,25 8,33 13,09 Sumber: Hasil Analisis Data Primer Ekosistem pantai di TNBB memiliki dua formasi yaitu formasi Pescapre dan formasi Baringtonia. Formasi pescapre merupakan tumbuhan pioner yang terdapat disepanjang tepi pantai dekat dengan garis air pasang tertinggi. Indeks keanekaragaman pada formasi pescapre tergolong sedang dengan nilai H sebesar 1,61. Adanya indeks keanekaragaman dengan nilai sedang menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang. Tumbuhan bawah yang mendominasi pada petak contoh adalah teki laut (Cyperus longus) dengan INP sebesar 53,45%, kemudian disusul rumput lari (Cyperus digatatus) dengan INP sebesar 45,99% dan kacang laut besar (Spilanthes labadicensis) sebesar 39,51%. Pada petak contoh juga dijumpai tumbuhan penciri utama formasi ini yaitu katang-katang (Ipomea pescaprae) dengan INP sebesar 25,86%. Formasi dibelakang pescapre adalah formasi baringtonia. Formasi ini terdapat di bagian pantai yang mengalami pengikisan dari pasir-pasir pada formasi pescapre. Keanekaragaman pada ekosistem ini tergolong sedang dengan nilai H sebesar 1,71. Tumbuhan bawah yang tumbuh relatif terbatas karena kondisi tempat tumbuh yang memiliki kadar salinitas tinggi dan miskin hara misalnya jenis rumput-rumputan dan semak atau perdu. Jenis Nyawon (Vernonia cinerea) mendominasi formasi ini dengan INP 63,94%, kemudian kirinyuh (Eupatorium 210

31 inulifolium) sebesar 38,18% dan pring pringan (Pogonatherum crinitum) 25,76%. Savana merupakan padang rumput dan semak yang terpencar di antara rerumputan, serta merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput (Sabarno, 2001). Savana di TNBB mengalami masa kekeringan lebih panjang dari pada tipe ekosistem berhutan. Saat musim penghujan produksi hijauan melimpah dan berkurang pada musim kemarau. Kondisi hutan savana memiliki penutupan tajuk yang relatif terbuka sehingga intensitas cahaya matahari juga lebih besar masuk ke lantai hutan, akibatnya memberikan pengaruh lebih baik dan positif terhadap rata-rata tingkat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan pakan rusa yang tergolong sebagai tumbuhan bawah. Keanekaragaman tumbuhan bawah di savana tergolong sedang dengan nilai H sebesar 1,22. Tumbuhan bawah di savana didominasi oleh semak berduri dan rumput-rumputan. Jenis tumbuhan bawah di savana pada petak contoh di dominasi oleh merakan (Themeda arguens) sebesar 90,56%, kemudian Pring-pringan (Pogonatherum crinitum) dengan INP sebesar 39,76% dan nyawon (Vernonia cinerea) sebesar 21,17%. Ekosistem hutan musim di TNBB memiliki luasan paling besar di TNBB. Saat musim kemarau, tumbuhan pada hutan ini akan menggugurkan daunnya sehingga terlihat gersang, namun saat musim penghujan akan terlihat hijau. Hutan musim hanya memiliki satu strata tajuk, sehingga memungkinkan penetrasi cahaya masuk ke lantai hutan. Hutan tipe ini berada di bagian barat dan bagian utara Gunung Panginuman serta sebagian besar Semenanjung Prapat Agung. Keanekaragaman tumbuhan bawah di hutan musim tergolong sedang dengan nilai H sebesar 2,04. Tumbuhan bawah yang tumbuh lebih didominasi oleh semak dan herba. Tumbuhan bawah yang mendominasi pada petak contoh adalah kirinyuh (Eupatorium inulifolium) dengan INP 36,35%, kemudian kerasi (Lantana camara) sebesar 35,60%. Ekosistem hutan dataran rendah di TNBB memiliki penutupan tajuk yang besar serta struktur dan komposisi yang relatif kompleks. Hutan 211

32 dataran rendah di TNBB terdapat di Bagian Selatan Gunung Panginuman, Gunung Klatakan, Gunung Bakungan dan Gunung Ulu Teluk Trima. Keanekaragaman tumbuhan bawah di hutan dataran rendah tergolong sedang dengan nilai H sebesar 2,05. Pada ekosistem hutan hujan dataran rendah dengan tutupan tajuk yang besar memungkinkan penetrasi cahaya matahari pada lantai hutan yang terbatas. Komposisi jenis tumbuhan yang mendominasi adalah herba dan liana serta sedikit perdu. Tumbuhan bawah yang mendominasi adalah jenis Ketket (Rubus lineatus) dengan INP sebesar 35,71%, selanjutnya soka (Ixora salicifolia) sebesar 27,38% dan Daun wisnu sebesar 27,38%. Potensi Tumbuhan Bawah pada Masing-masing Tipe Ekosistem Hutan di TNBB Tumbuhan bawah merupakan salah satu komponen hutan yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Tumbuhan bawah terdiri dari tumbuhan selain permudaan pohon, misal rumput, herba, dan semak belukar (Kusmana, 1995), serta paku-pakuan (Ewusie, 1990). Berdasarkan analisis potensi, tumbuhan bawah dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok potensi, yaitu: a. Penutup Lantai Hutan Menurut Paige (2006), penutupan tanah di lantai hutan dapat berupa serasah, tumbuhan bawah dan bahan organik lainnya. Jenis tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai pelindung tanah, penutup tanah serta perbaikan struktur tanah ditemukan 4 jenis yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Daftar Tumbuhan Bawah Berpotensi sebagai Pelindung Lantai Hutan di TNBB No Nama Lokal Jenis Nama Ilmiah 1 Pring-pringan Pogonatherum paniceum 2 Merakan Themeda gigantean 212 Famili Manfaat Habi tat Poaceae Penutup tebing B, S Poaceae Pelindung pinggiran teras S

33 3 Kerasi Lantana camara Verbenaceae Pupuk, tanaman pagar 4 kacangan Spilanthes labadicensis Compocitaceae P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer Pelindung tanah P, B, S, M P, B, S Adanya tumbuhan bawah akan melindungi lantai hutan dari energi jatuhan air hujan secara langsung. Energi air hujan yang jatuh tersebut selain diperlambat oleh serasah pada lantai hutan juga diperlambat oleh batang pohon, akar tanaman yang muncul dipermukaan, dan keberadaan tumbuhan bawah (Miardini dan Sukresno, 2010). Penutupan lantai hutan dengan serasah dan vegetasi sebesar 60-75% hanya menghasilkan 2% air limpasan (Sedell et al, 2000). b. Tanaman Hias Tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tanaman hias pada petak contoh ditemukan sebanyak 6 jenis. Daftar tumbuhan bawah berpotensi sebagai tanaman hias dapat dilihat pada tabel 4. Adanya eksplorasi yang dilakukan akan memberikan informasi bahwa beberapa jenis tumbuhan bawah mempunyai potensi untuk dijadikan tanaman hias. Keanekaragaman tumbuhan bawah yang memiliki keindahan dan keunikan mempunyai peluang untuk diberdayakan sebagai komoditas komersial yang penting dan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani tanaman hias dan devisa negara. Tabel 4. Daftar Tumbuhan Bawah Berpotensi sebagai Tanaman Hias di TNBB No Jenis Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitat 1 Kerasi Lantana camara Verbenaceae P,B,S,M 2 Untir-untir Galearia filiformis Euphorbiaceae B, M 3 Jerukan Xanthophyllum Polygalaceae M excelsum 4 Soka Ixora salicifolia Rubiaceae D 5 Pakis sarang Asplenium nidus Aspleniaceae D burung 6 Seruni laut Widelia biflora Asteraceae P, B P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer 213

34 c. Tumbuhan Obat Setiap tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia merupakan pabrik keanekaragaman hayati tumbuhan obat, terbentuk secara evolusi dengan waktu yang sangat panjang, termasuk telah berinteraksi dengan sosial budaya masyarakat lokalnya (Zuhud, 2008). Hasil analisis tumbuhan bawah berpotensi obat di TNBB sebanyak 18 jenis (Tabel 5). Tabel 5. Daftar Tumbuhan Bawah Berpotensi sebagai Tumbuhan Obat di TNBB No Nama Lokal Jenis Nama Ilmiah Famili Habitat 1 Seruni laut Widelia biflora Asteraceae P, B 2 Kerasi Lantana camara Verbenaceae P,B,S,M 3 Nyawon Vernonia cinerea Compocitaceae S, M 4 Widuri Calotropis gigantean asclepiadaceae P 5 katang katang Ipomoea pescapre Convolvulaceae P 6 Teki laut Cyperus longus Cyperaceae P, B 7 Berasan Cyperus lineatus Cyperaceae M 8 kemangi hutan Ocimum cannum Lamiaceae S 9 Kirinyuh Eupatorium inulifolium Asteraceae B, S, M, 10 Meniran Phyllanthus niruri Euphorbiaceae M 11 teki gandul Cyperus brevifolius Cyperaceae S 12 pring pringan Pogonatherum crinitum Poaceae B, S 13 rumput mutiara Hedyotis corymbosa Rubiaceae S 14 cabe hutan Piper retrofractum Piperaceae D 15 Pakis sarang burung Asplenium nidus Aspleniaceae D 16 Rotan Calamus manan Arecaceae D 17 Merakan Themeda gigantean Poaceae S 18 Rumput tembaga Ischaemum muticum Poaceae P P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer d. Tumbuhan Penghasil Pakan Satwa Hasil analisis tumbuhan bawah berpotensi sebagai pakan satwa di TNBB sebanyak 7 jenis (Tabel 6). Dari ketujuh jenis tumbuhan bawah berpotensi pakan, sebanyak 5 jenis dijumpai di savana. Produktivitas tumbuhan pakan di hutan savana lebih besar daripada di hutan lainnya. Produktivitas hijauan pakan di hutan savanna diperkirakan 214

35 sekitar kg/ha/hari (Masyud et al., 2008). Savana memiliki kondisi yang terbuka sehingga intensitas cahaya matahari juga lebih besar masuk ke lantai hutan, akibatnya memberikan pengaruh lebih baik dan positif terhadap rata-rata tingkat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan pakan satwa terutama rumput-rumputan. Menurut Alikodra (1979), produktivitas suatu kawasan merupakan modal yang secara ekonomis menguntungkan untuk mengembangkan populasi suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis rumput, pengaruh musim dan overgrazing. Tabel 6. Daftar Tumbuhan Bawah Berpotensi sebagai Pakan Satwa di TNBB No Nama Lokal Jenis Nama Ilmiah Famili Habitat 1 rumput lari Cyperus digatatus Cyperaceae P 2 Kerasi Lantana camara Verbenaceae P,B,S,M 3 pring pringan Pogonatherum crinitum Poaceae B, S 4 Merakan Themeda arguens Poaceae S 5 teki gandul Cyperus brevifolius Cyperaceae S 6 rumput mutiara Hedyotis corymbosa Rubiaceae S 7 Berasan Cyperus elatus Cyperaceae M P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer e. Sayuran Jenis Tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai sayuran antara lain: Seruni laut (Widelia biflora) yang digunakan adalah daun muda dan Rotan (Calamus manan) bagian yang digunakan adalah batang muda dan pucuk daun. Daun Seruni biasa dimasak sebagai bahan perasa yang dicampuran pada sayur atau lauk. f. Minyak Atsiri Minyak atsiri atau essential oil merupakan minyak yang dihasilkan dari metabolisme tanaman. Minyak atsiri biasanya digunakan pada industri sebagai bahan pembuat kosmetik, parfum, antiseptik dan lain-lain. Menurut Agusta (2000) fungsi minyak atsiri sebagai bahan obat 215

36 tersebut disebabkan adanya bahan aktif, sebagai contoh bahan anti radang, hepatoprotektor, analgetik, anestetik, antiseptik, psikoaktif dan anti bakteri. Tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri adalah pada jenis Teki-tekian Cyperus sp (Teki laut Cyperus longus, dan Teki gandul Cyperus brevifolius). Bagian tanaman yang diekstrak berasal dari umbi dari teki tersebut. g. Tumbuhan Penghasil Tali, Anyaman dan Kerajinan Jenis tumbuhan bawah penghasil tali, anyaman dan kerajinan yang dijumpai pada petak contoh sebanyak 6 jenis yang ditunjukkan pada tabel 7. Rotan (Calamus manan) dan jenis rumput-rumputan merupakan jenis-jenis tumbuhan bawah penghasil tali, anyaman dan kerajinan. Jenis rumput-rumputan juga berpotensi sebagai bahan anyaman, yang dapat menghasilkan produk kerajinan seperti tikar, bakul dan keranjang dll. Rotan banyak dimanfaatkan secara komersial karena mempunyai sifat yang lentur, kuat serta relatif seragam bentuknya. Sebagai negara penghasil rotan terbesar, Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80% kebutuhan rotan dunia. Dari jumlah tersebut 90% rotan dihasilkan dari hutan alam yang terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10% dihasilkan dari budidaya rotan (Kalima, 1996 dalam Jasni et al., 2000). Tabel 7 Daftar Tumbuhan Bawah Berpotensi sebagai Penghasil Tali, Anyaman dan Kerajinan di TNBB No Jenis Famili Habitat Nama Lokal Nama Ilmiah 1 Rotan Calamus manan Arecaceae D 2 Merakan Themeda arguens Poaceae S 3 Rumput Tembaga Ischaemum muticum Poaceae P 4 Rumput lari Cyperus digatatus Cyperaceae P 5 Teki laut Cyperus longus Cyperaceae P, B 6 Teki gandul Cyperus brevifolius Cyperaceae S P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer 216

37 h. Tumbuhan Sakral Menurut Kartiwa dan Wahyono (1992) Indonesia yang terdiri kurang lebih 350 etnis dapat memberikan gambaran pemanfaatan tumbuhan di masing-masing tempat yang khususnya dipakai dalam berbagai upacara. Masyarakat Hindu Bali dalam aktivitas keagamaannya selalu berkaitan erat dengan upacara dan sesaji. Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat bali adalah pemanfaatan tumbuhan atau bagian tumbuhan dalam upacara adat. Jenis Tumbuhan bawah yang dianggap sakral oleh masyarakat Bali yang ditemukan pada petak contoh antara lain Daun wisnu dan Widuri (Calotropis gigantean). Beberapa jenis tumbuhan (baik berupa semak, perdu maupun pohon) yang memiliki nilai sakral/magis disajikan pada Tabel 8 sebagai berikut: Tabel 8 Daftar Tanaman Sakral di TNBB No Jenis Habitus Habi Kegunaan Nama Lokal Nama Ilmiah tat 1 Rumput lepas T. bawah S Sarana upacara ngaben 2 Widuri Calotropia gigantean T. bawah P,B Sarana upacara ngaben 3 Kayu Dodonaea Pohon/perdu P, B Anti bisa Wasem vicosa 4 Tigakancu Buhainia tomentosa Pohon B Kayu pegangan keris 5 Daun wisnu - T. bawah/semak D Sarana upacara agama 6 Majagau Majagau sp. Pohon D Bahan bangunan suci/pura 7 Peradah Gacinia sp. Pohon D Bahan bangunan suci / tongkat magis 8 Pakis aji - T. bawah D Sarana upacara ngaben 9 Rukam Flacouria rukam Pohon M, S Tongkat anti orang kebal 10 Kemloko Phylanthus emblica Pohon M, S Sarana upacara ngaben 11 Dadap buri - Pohon M Sarana upacara ngaben 12 Angrung - Pohon M Sarana upacara ngaben P:Pescapre, B:Baringtonia, S:Savana, M:Musim,D:Dataran Rendah Sumber: Hasil Analisis Data Primer 217

38 KESIMPULAN 1. Komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah berdasarkan tipe ekosistem hutan di TNBB diperoleh 29 jenis dengan rincian per ekosistem adalah sebagai berikut: 8 jenis ditemukan di hutan pantai formasi pescapre, 8 jenis ditemukan di hutan pantai baringtonia, 9 jenis di savana, 10 jenis di hutan musim dan 9 jenis di hutan dataran rendah. 2. Jenis tumbuhan bawah yang mendominasi pada masing-masing ekosistem hutan yaitu: a) ekosistem pantai formasi pescapre didominasi teki laut (Cyperus longus) dengan INP sebesar 53,45%, dijumpai pula penciri utama formasi ini yaitu katang-katang (Ipomea pescaprae) dengan INP sebesar 25,86%, b) ekosistem pantai formasi baringtonia didominasi Nyawon (Vernonia cinerea) dengan INP 63,94%, c) ekosistem savana di dominasi oleh merakan (Themeda arguens) sebesar 90,56%, d) ekosistem hutan musim didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium inulifolium) dengan INP 36,35%, e) ekosistem hutan dataran rendah didominasi jenis Ketket (Rubus lineatus) dengan INP sebesar 35,71%. 3. Nilai keanekaragaman masing masing tipe ekosistem hutan di TNBB tergolong sedang dengan nilai indeks snannon wienner berkisar antara 1,07 sampai 2,05. Adanya keanekaragaman sedang ini menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang. 4. Potensi tumbuhan bawah pada masing-masing tipe ekosistem hutan di TNBB dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok yaitu: a) 4 jenis berpotensi sebagai penutup lantai hutan, b) 6 jenis berpotensi sebagai tanaman hias, c) 18 jenis berpotensi sebagai tumbuhan obat, d) 7 jenis berpotensi sebagai tumbuhan penghasil pakan satwa, e) 2 jenis berpotensi sebagai penghasil sayuran, f) 2 jenis berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri, g) 6 jenis berpotensi sebagai tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) 2 jenis berpotensi sebagai tumbuhan sakral. 218

39 DAFTAR PUSTAKA Agusta, A Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika. Penerbit ITB. Bandung Alikodra, H.S Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Aththorick,T.A Kemiripan Komunitas Tumbuhan Bawah Pada Beberapa Tipe Ekosistem Perkebunan di Labuhan Batu. Jurnal Komunikasi Penelitian. Balai Taman Nasional Bali Barat Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat. Bali Ewusia, J.Y Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Usman Tanuwidjaja. Penerbit I TB. Bandung Gusmaylina Analisa Vegetasi Dasar di Hutan Setia Mulia Ladang Padi, Padang. Tesis Sarjana Biologi FMIPA UNAND. Padang Heyne, K Tumbuhan Berguna Indonesia IV. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Jasni, D. Martono dan N. Supriana Sari Hasil Penelitian Rotan. 20ROTAN.pdf. Diakses tanggal 23 Juli Kartiwa, S. dan Wahyono Hubungan Antara Tumbuhan dan Manusia dalam Upacara Adat di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Bogor. Masyud, B., I. Hadi Kusuma, dan Y. Rachmandani Potensi Vegetasi Pakan dan Efektifitas Perbaikan Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi Vol. 13, No. 2 Agustus 2008 : Bogor 219

40 Miardini, A. dan Sukresno Peran Serasah Akasia (Acacia mangium Wild) sebagai Pengendali Limpasan Permukaan Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor Odum, E Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals Ecology. UGM Press. Yogyakarta Paige, G Water Quality and Erosion Following Wildfires. UW College of Agriculture. Sabarno, M.Y Savana taman Nasional Baluran. Jurnal Biodiversitas Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Sedell, J., M. Sharpe, D. Apple, M. Copenhagen and M. Furniss Water and Forest Service. United States Department of Agriculture. Forest Service. Washington FS 660 Soerianegara, I dan A Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor. Zuhud, E.A.M Potensi Hutan Tropika sebagai Penyangga Bahan Obat Alam untuk Kesehatan Bangsa. Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Zuhud, E.A.M. dan Siswoyo Rancangan Strategi Konservasi Tumbuhan Obat Indonesia. Kerjasama Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dengan Fakultas Kehutanan IPB. Jakarta. 220

41 Lampiran 1. Jadwal Acara JADWAL ACARA EKSPOSE Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Waktu Acara Perangkat Sidang A. REGISTRASI Pendaftaran ulang Panitia B. PLENO PEMBUKAAN Doa Panitia Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia Laporan Panitia Penyelenggara Kepala BPTKPDAS Keynote Speech : Arahan dan Pembukaan Kepala Badan Litbang Kehutanan Keynote Speech : Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun Penandatanganan PKS antara BPTKPDAS dengan Pusat Litbang Perum Perhutani Tentang Penelitian, Pengembangan, dan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Cemoro Modang di Kabupaten Blora dan KHDTK Hutan Penelitian Gombong di Kabupaten Kebumen REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI SIDANG KOMISI I Perencanaan Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Direktur Perencanaan & evaluasi Pengelolaan DAS Ditjen BPDASPS) Kepala BPTKPDAS, Kepala Puslitbang Perum Perhutani Fasilitator : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Perumus : Nana Haryanti Notulis : Wiwin Budiarti Pembicara: Paimin 268

42 Waktu Acara Perangkat Sidang Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang Pembicara: Pamungkas Buana Putra Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG Diskusi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Tingkat Partisipasi dan Kelembagaan Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan Diskusi SIDANG KOMISI II Hidrologi Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus Di Daerah Aliran Sungai Bajulmati Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayu Putih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, DIY Diskusi Perubahan Tingkat Sedimentasi di Sungai Keduang ( ) Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjerapan Sedimen Terlarut di Segara Anakan Cilacap Diskusi Pembicara: Agus Wuryanta Pembicara: Evi Irawan Pembicara: Yudi Lastiantoro Fasilitator : Ir. Bambang S., MP Perumus : Nunung Puji Nugraha Notulis : Mesri Ferdian Pembicara: Purwanto Pembicara: Agung Budi Supangat Pembicara: Ugro Hari Murtiono Pembicara: Irfan Budi Pramono Pembicara: Uchu Waluya Heri Pahlana 269

43 Waktu Acara Perangkat Sidang SIDANG KOMISI III Konservasi Tanah, Sosek, dan Manajemen Hutan Fasilitator : Dr. Tyas M.Basuki Perumus : Nining Wahyuningrum Notulis: Endah Rusnaryati Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Di Gunung Batur, Bangli Pembicara: Gunardjo Tjakrawarsa Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di TN Bali Barat Intensitas Cahaya dalam Kawasan Perlindungan Setempat Hutan Jati Diskusi Penanganan Lahan Bermasalah Pantai Berpasir dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub DAS Tulis Diskusi ISHOMA D. PLENO PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi I Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi II Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi III Diskusi Summary Hasil Sidang Komisi I, II, dan III Pembicara: Arina Miardini Pembicara: Heru Dwi Riyanto Pembicara: Beny Harjadi Pembicara: S. Andy Cahyono Fasilitator I : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Fasilitator II: Ir. Bambang Sugiarto, MP Fasilitator III: Dr. Tyas Mutiara Basuki Fasilitator pleno: Ir. Adi Susmianto, M.Sc. (Kepala Puslitbang Konservasi & Rehabilitasi) Perumus : Nining W., Nana H., Nunung P.N. Notulis: Wahyu W.W., Wiwin B., Endah R., Mesri F. 270

44 Waktu Acara Perangkat Sidang E. PENUTUPAN Laporan penyelenggaraan Kepala BPTKPDAS Penutupan Ir. Adi Susmianto, M.Sc REHAT KOPI 271

45 Lampiran 2. Daftar Peserta DAFTAR PESERTA EKSPOSE Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 No Nama Instansi 1. Bambang Subandrio BPTKPDAS 2. Adi Susmianto P3KR 3. Dr. Corryanti Puslibang Perhutani 4. Wawang R. Oesman BPDAS Musi 5. Hartanto KPH Kedu Selatan 6. Lukman Hakim P3KR 7. Sajiman, S.P, M.Sc Perum Perhutani 8. Emi Arifatun Puslitbang Perhutani 9. Gunardjo Tjakrawarsa BPTKPDAS 10. Beny Harjadi BPTKPDAS 11. C. Yudilastiantoro BPTKPDAS 12. Tyas Mutiara Basuki BPTKPDAS 13. Irfan BP BPTKPDAS 14. Asep Hermawan BPTKPDAS 15. Siti Utami 16. Nur Semedi BKSDA 17. Gunarti BPTKPDAS 18. Dewi Subaktini BPTKPDAS 19. Sudarso BPTKPDAS 20. Nining Wahyuningrum BPTKPDAS 21. Susmiyadi BTN Karimunjawa 22. Agung N BK Kadipaten 23. Kinasih Citra Arumi BPDAS Kapuas 24. Irfan Cahyadi BPDAS Kapuas 25. Nunung P Nugroho BPTKPDAS 26. Paimin BPTKPDAS 27. Nurhadi BPDAS CTW 28. Dian Handiana BPDAS Alo Malambo 29. Arina Miardini BPTKPDAS 30. Wiwin Budiarti BPTKPDAS 272

46 No Nama Instansi 31. Agus Wuryanta BPTKPDAS 32. Dewi Retna I UGM 33. Teguh SMA N 1 SKA 34. Santoso Sandy Putra Balai Sabo 35. Pamungkas BP BPTKPDAS 36. Bambang DA BPTKPDAS 37. Dody Yuliantoro BPTKPDAS 38. Heru Dwi R BPTKPDAS 39. T Wayan Susi P3KR 40. Agus Tambubolon P3KR 41. Susi Abdiyani BPTKPDAS 42. UW Heri Pahlana BPTKPDAS 43. Haryono P3KR 44. Agung BS BPTKPDAS 45. Nana Haryanti BPTKPDAS 46. Johni Perhutani 47. Aris Suhaendy Distanhut 48. Evi Irawan BPTKPDAS 49. Purwanto BPTKPDAS 50. Endang Savitri BPK Banjarbaru 51. Peni Rahayu Dinas Kehutanan Jawa Tengah 52. Kartika Atyasari Dinas Kehutanan Jawa Tengah 53. Wahyu Wisnu Wijaya BPTKPDAS 54. Aris Budiyono BPTKPDAS 55. Agus Sugianto BPTKPDAS 56. Bambang Uripno Pusdiklat Kadipaten 57. C. Nugroho SP Setbadan Litbang 58. Tri Widadi BBWS Bengawan Solo 59. Gatot Yadi N BBWS Bengawan Solo 60. Yonky I BPTA Ciamis 61. Aziz BPDAS Brantas 62. Salamah Retnowati BPTKPDAS 63. Agung Y Bappea Jawa Tengah 64. Ugro Hari M BPTKPDAS 65. Rohman Hakim BPDAS Solo 273

47 No Nama Instansi 66. Dwi Anto Teguh TN Gn. Merbabu 67. Edy Junaidi BPTA Ciamis 68. Samanhudi FP UNS 69. Didik Purwito P3KR 70. Sigit Pudjo BPDAS Barito 71. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli 72. Iton B BPK Aek Nauli 73. Maskulino BPK Aek Nauli 74. Asep Sukmana BPK Aek Nauli 75. Agus Budhi Prasetyo BPDAS Palu Poso 76. Rudi Antara Humas 77. Dodi Garnadi BBPBPTH Yogya 78. S. Andy Cahyono UGM 79. Murdoko BPHM I 80. Lucy Sutami H Perhutani 81. Amir Wardhana BBPBPTH Yogya 82. Irda Hayani BPDAS Ketahun 83. Agatha S Setbadanlitbang 84. Muswir Ayub BPDAS WSS 85. Bambang Priyono BPDAS Brantas 86. Alrasyid BPDAS Remu Rensiki 87. Misran BPDAS Solo 88. Syaiful Anwar PEP DAS 89. C. Kukuh Sutoto BPDAS SOP 90. Yudi M Litbang 91. Siswo BPTKPDAS 92. Joko Sismanto Perhutani 93. Muh. Marzuki BPDAS Solo 94. Adi Kuncoro BPK Palembang 95. Siswo BPDAS Solo 96. Y. Gunawan BPTKPDAS 97. Budi Sutomo Perhutani KPH Surakarta 98. Dirgaini BPDAS SOP 99. Eka BPDAS SOP 100. C. Narni W BPDAS SOP 274

48 No Nama Instansi 101. Bambang Perhutani SKA 102. Yularto SP Dit Bina RHL 103. Sukirno FTP UGM 104. Sunarto Gunadi FTP UGM 105. Rustan Masinai FTP UGM 106. Tony HW PEP DAS 107. Devi Purnomodani FTP UGM 108. Visnu Pradika FP UNS 109. Ilham Hermiansyah FP UNS 110. Muh Khoirul Anwar FP UNS 111. Teuku Zulqarnain FP UNS 112. Achmad KS KPH Cepu 113. Rahardyan BPK Banjarbaru 114. Pranatasai Dyah S BPK Banjarbaru 115. Wuri Handayani BPT Ciamis 116. Nur Sihmiati BPDAS Solo 117. Puspitarina UGM Fahutan 118. Yuli Malina Kehutanan UGM 119. Aditya Hari Kehutanan UGM 120. Age Nursabdo Kehutanan UGM 121. Nur Ainun Jariyah BPTKPDAS 122. Edi S 123. Tri Risandewi Balitbang Prov Jateng 124. Djoko Sukrisno Perhutani Unit I 125. Sugeng Santoso 126. Firmansyah 127. Kristina Dewi TN Merbabu 128. Ekawati Murtiningsih TN Merbabu 129. Hasto Prasojo TN Merbabu 130. Endah Retnaningrum TN Merbabu 131. Fadel TN Merbabu Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta 132. Eka Widyastuti BPDAS Sampean 133. Marsudi BPDAS SOP 275

49 No Nama Instansi 134. Edi M Rais Cilegon 135. Dr. Ir. Ambar K Fak Kehutanan UGM 136. Frida Purwono Puslitbang Perhutani 137. Purwanto Puslitbang Perhutani 138. Muhadi Puslitbang Perhutani 139. Rumchani Agus S Pusdal II 140. Zarnigusti Pusdal II 141. Dadang Sriyono Pusdal II 142. Wahyu Budiarso BPTKPDAS 143. Agus Munawar BPTKPDAS 144. M. Fajrin Universitas Bengkulu 145. Sri Baruni BPTKPDAS 146. Anung Wijayanti BPTKPDAS 147. Ana Pangaribuan BPTKPDAS 148. Nardi BPTKPDAS 149. Farika Dian N BPTKPDAS 150. Tommy Kusuma AP BPTKPDAS 151. Iman Santoso Ka Balitbanghut Kemenhut 152. Eka WS Dir PEP DAS 153. Wisnu Prastowo Sekbadan Litbang 154. Bambang Sugiarto BPTKPDAS 155. Kus Wardani BPTKPDAS 156. Mesri Ferdian BPTKPDAS 157. Eko Priyanto BPTKPDAS 276

50 Lampiran 3. Hasil Diskusi Komisi I : Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Propinsi Fasilitator : Ir. Paimin, M.Sc Notulen : Endah R., B. Wirid A. SESI I : 1. Aplikasi sidik cepat degradasi sub DAS dengan monitoring dan evaluasi kinerja sub DAS (Nur Ainun J, S. Hut, MSc) Mampu menjawab hubungan aspek biofisik dan sosialekonomi-kelembagaan (soseklem) dalam pengelolaan DAS ( hubungan aspek biofisik dan soseklem dalam pengelolaan Sub DAS Padas sedang s/d rentan sedangkan pada Sub DAS Pengkol rentan). DAS Pengkol sudah dapat melaksanakan kegiatan gotong royong sedangkan Sub DAS Padas belum. Aspek kelembagaan Sub DAS padas tinggi, Sub DAS Pengkol rendah. 2. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan : kasus DAS Grindulu, kabupaten Pacitan (S. Andy Cahyono) Ketidaktepatan pengelolaan DAS adalah DAS kritis semakin meningkat. Untuk menjawab pengalokasian sumber daya lahan yang optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala: perlindungan tata air, erosi tanah, tenaga kerja, dan lahan. Pendapatan optimal di DAS Gridulu 570 milyar/ tahun. Tanaman yang tidak optimal bila dipaksakan ditanam maka akan mengurangi pendapatan optimalnya. Dengan model optimalisasi ini dapat diketahui kelangkaan dengan mengunakan harga bayangan (shadow price). Bila harga bayangan semakin tinggi maka makin langka. Tanaman unggulan di DAS Grindulu adalah padi dan kopi. 277

51 3. Identifikasi kerentanan sosial ekonomi kelembagaan sebagai dasar perencanaan Sub DAS Progo Hulu (Nana Haryanti, S.Sos, MSc) Lokasi meliputi kabupaten dominan dan lintas kabupaten lain Latar belakang: DAS menghasilkan air dan barang & jasa (karena aktifitas manusia) terdapat dampak sampingan dari aktifitas dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS menjadi penting karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Metode dengan sidik cepat degradasi lahan. Bagian hulu digunakan untuk menanam tembakau dan sayur, bagian hulu kegiatan konservasinya masih rendah terlihat dari banyaknya lahan terbuka. Pendapatan masyarakat tinggi dari hasil tembakau. Kelembagaan di bagian hulu sangat rendah, di bagian bawah sudah baik karena terdapat agroforestry Penghambat kelembagaan DAS Progo: a. Banyaknya organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengelola DAS Progo (BPDAS SOP, PU, dan Perum Perhutani); b. Rendahnya tingkat kerjasama dan kordinasi antar instansi; c. Tidak adanya kebijakan pemberian insentif konservasi sangat rendah (sangat minim, insentif diberikan bila ada proyek) Bagaimana DAS Progo harus dikelola: a. Mencari indikator sosial ( tingkat kesadaran, kendala yang masyarakat hadapi, nilai, kepercayaan); b. Tahapan perbaikan DAS (mengidentifikasi sumber polusi sperti pertanian sayur dan tembakau, lokasi, stakeholder, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan); c. Pembentukan dewan air (berbeda dengan forum DAS) Kesimpulan: a. Organisasi pemerintah belum efektif dalam pengelolaan DAS b. Perlunya dibentuk dewan air 278

52 4. Kelembagaan pengelolaan mikro DAS Wonosari Kabupaten Temanggung ( Ir. Purwanto, MSi) Areal ha cukup untuk dilakukan implementasi DAS mikro Mikro DAS merupakan derivat sub-sub das, sub das dan das (peraturan dirjen RLPS No. P.15/V/2009) Tujuan : mengkaji kelembagaan di mikro DAS Metode : deskriptif, desk analysis (penggunaan lahan, peraturan ) Hasil: sifat dasar SDA mikro DAS Wonosari; sda mikro DAS merupakan common pool resources; selama UU konservasi tanah belum dibuat maka belum dapat melakukan kegiatan. Banyak organisasi yang melakukan penanaman seperti Bappeda (perencanaan), BPDAS, Din Pu, kecamatan Bulu, Desa, BLH, Gapoktan, lembaga lain Koramil, lambaga masyarakat, lembaga swasta, lembaga keuangan Sebagian besar tanamannya di wonosari adalah tembakau untuk kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilaksansakan sepanjang tidak merugikan produktifitas petani tembakau Hubungan antar lenmbaga bersifat keproyekan sehingga ada koordinasi antar lembaga SESI II 5. Tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai variasai luas hutan pinus di sub DAS kedungbulus, Gombong (Drs. Irfan BP, MSc) Mengetahui tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai luas hutan pinus justifikasi UU 41. Luas hutan optimal masih perdebatan, 30% belum didukung penelitian. DAS yang sehat salah satu dicirikan dengan sedimentasi rendah, namun belum tentu karena sedimentasi rendah tetap harus dilihat hidrologinya. Pengukuran debit dan sedimentasi diambil pada saat bersamaan. Semakin luas tutup hutan maka debit dan sedimentasinya rendah 279

53 Perubahan luas hutan terhadap perubahan tingkat kekeruhan air mencapai titik hampir konstan pada sekitar luas hutan % 6. Tipologi DAS untuk pengelolaan DAS kedepan (S. Andy Cahyono) Tipologi dapat menggambarkan DAS berdasarkan kelompok / unsur tertentu/ karakter tertentu. Karakteristik DAS: SDA, SDM, sumber sosial,sumber finansial Tedapat 4 tipologi bila dikaitkan dengan kerawanan bencana: (hal 5) Skala DAS menentukan keefektifan dan efisiensi pengelolaan DAS, mempengaruhi karakterisasi DAS, mungkin tepat untuk skala tertentu tapi untuk skala yang lebih besar belum tentu perlu kajian. DAS dengan tipologi terntentu membutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan tertentu 7. Sistem Perencanaan kehutanan dalam perspektif sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS-studi kasus di Sub DAS Progo Hulu (Pamungkas) Peran sektor kehutanan dalam daya dukung DAS (permenhut No.39/ Menhut II/2009 Alasan pemilihan lokasi di DAS Progo Hulu: potensi kerentanan degradsi lahan tinggi dan berada pada satu kabupaten dominan yaitu kabupaten Temanggung. Unit pengelolaan hutan kesatuan pemangkuan hutan (KPH) di Perum Perhutani kalau di pemerintah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Karakteristik DAS hulu : dominan kawasan hutan berada di BH Temanggung. Di Sindoro merupakan hutan lindung. Sinergitas perencanan kehutanan dengan perencanaan pengelolaan DAS: harus memperhatikan fungsi hutan dan klas perusahaan dan klas hutannya. DAS Progo Hulu ternyata dominan pada BKPH Temanggung dengan sistem perencanaan dipegang oleh KPH. Kewenangan pengelolaan DAS dipegang oleh pemerintah 280

54 Usulan Rencana pengelolaan DAS disusun pusat dan dapat disahkan oleh bupati supaya mudah diadopsi daerah dan dimasukkan dalam penyusunan perencanaan daerah. Sektor kehutanan mempunyai peran dalam penyusunan perencanaan pengelolaan DAS. HASIL DISKUSI SESI I NAMA & NO INSTANSI 1. Bp. Suwito (Kemitraan) DISKUSI Untuk Ibu Nana : 1. Tertarik dewan air, karena lebih powerfull daripada forum DAS. 2. Bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi agar dapat dikomunikasikan pada stakeholder TANGGAPAN Ibu Nana : 1. Sulitnya komunikasi di negeri ini. Kalau pengelola DAS sepakat untuk membentuk Dewan Air maka perlu merencanakan dari awal sampai akhir. 2. Masyarakat sebenarnya tahu konservasi namun keengganan untuk melakukan Untuk Bp Purwanto : 3. Belum melihat organisasi yang mampu melakukan pengelolaan (walaupun menurut UU adalah Perhutani). PHBM merupakan tolok ukur keberhasilan. 2. Bp. Herudoyo Untuk Bp Purwanto 1. Penelitian DAS mikro diharapkan dapat digunakan untuk membuat prosedur Bp Purwanto: 3. Pengelolaan hak perhutani, namun tidak didiamkan oleh perhutani Bp Purwanto: 1. Yang paling berperan adalah dinas pertanian dan perkebunan, penyuluh 281

55 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI dalam DAS Mikro. 2. Organisasi yang mengarah ke mikro DAS masih kecil, mungkin perlu di buat diagram untuk mengetahui organisasi mana yang potensial 3. Perlu dibuat kelembagaan DAS mikro untuk mengetahui siapa melakukan apa? 4. Apakah mungkin dilakukan DAS mikro dianggarkan di tingkat desa? 3. Bu Nining 1. BPDAS Solo melakukan monev kinerja untuk keseluruhan DAS di wilayah kerja. 2. Lokasi penelitian untuk penerapan menggunakan peta apa? 3. Bagaimana menetapkan batas wilayah das hulu, hilir mengingat penelitian dilakukaan di sub das dengan wilayah sekitar 3000 Ha apa sebaiknya tidak menggunakan peta TANGGAPAN 2. Diagram ven akan dilakukan dengan analisis yang lebih baik 3. Desentraslisasi ada di unit terkecil. Harapan anggaran dari manapun bukan di desa namun desa dan kecamatan mengetahui dan berperan Bp Purwanto: 1. Sebagian lahan di pronggo adalah kritis yang peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti jagung 2. Di KBR belum bisa mengecambahkan. Penentuan jenis sejak awal seharusnya didiskusikan ke masyarakat 3. Mikro DAS merupakan perencanaan jangka menengah. Lima tahun sudah bisa dijadikan contoh pengelolaan 282

56 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI wilayah? 4. Penetapan bobot rawan banjir dan rawan longsor, apakah cukup mewakili bila dilakukan sekali apa tidak times series 5. BPDAS Solo punya 4 MDM dengan luasan sampai 1500ha (karanganyar, kali samin) DAS TANGGAPAN Ibu Ainun 4. Lokasi dipilih dengan menggunakan data sekunder apa yang dominan, menggunakan peta penggunaan lahan, peta RBI, peta rawan longsor, peta rawan banjir. Untuk rawan banjir menggunakan siskardasnya pak paimin 5. Data sosek menggunakan times series 5 tahun, untuk budaya tidak bisa menggunakan times series karena harus interview dengan petani di sana (data primer). Data hidrologi berusaha menggunakan data times series 10 tahun Bp Irfan BP : 6. Lokasi menggunakan peta RBI 7. Skala dan bobot menggunakan buku sidik cepat degradasi lahan 283

57 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN Ibu Nana : 8. Sampling menggunakan peta RBI. Untuk tegalan diambil dari desa yang dominan. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan masing-masing dari desa dominan diambil 30 sampel karena waktu terbatas. 4. Bp. Pramono Untuk Bp Purwanto : 1. DAS Mikro bukan berdasar luasan namun kehomogenan. DAS Mikro merupakan perkembangan dari plot. Bp Purwanto: 1. Unit yang seragam akan ditampung. Namun kami lebih memilih ke penyelesaian permasalahan bagaimana perencanaan mikro DAS kedepan. Bp. Paimin: 2. Mikro DAS sudah integrated process bukan sekedar perkembangan plot. Karena mikro DAS merupakan derivat dari Sub DAS. Kehomogenan dapat diambil dari karakter sub DAS untuk membangun mikro 284

58 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN DAS. HASIL DISKUSI SESI II NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI 5. Bp Dibyo Untuk Bp Irfan : 1. Bukan hanya kekeruhan saja tapi juga kualitas air tersebut. Badan internasional sudah studi kualitas air sungai di DAS Citarum (Citarum panjang sungainya dari Garut s/d Indramayu, terdapat PLTA jatiluhur dan siguling. Studi lebih pada kualitas air sungai Citarum. Ternyata air sungai Citarum sudah tercemar mulai dari hulu (pusat industri). Kualitas air pada bendungan I Saguling 6 meter kebawah sudah tidak ada oksigen. Air citarum ikut mempercepat umur kincir angin. Citarum sebagai sumber pengairan untuk padi jadi mempengaruhi produktifitas. TANGGAPAN Bp Irfan: 1. Analisa sebenarnya tidak hanya kekeruhan tapi juga kualitas airnya 285

59 6. Bp Herudoyo Bagaimana mengkaitkan kualitas air dengan tingkat kecemaran. 2. Hubungan antar pemanfaatan sungai dengan keanekaragaman hayati. Penelitian di Cinimang ternyata diketemukan berbagai jenis ikan yang tadinya berada di situ ternyata menjadi hilang. Untuk Bp Irfan : 1. Data tentang curah hujan belum ditampilkan 2. Tanaman bawah perlu disinggung dominasi tanaman bawah perlu dikaji karena dapat mempengaruhi kekeruhan. Bp Irfan : 1. Pengaruh tanaman bawah memang sangat berpengaruh, nanti akan kami lengkapi. 2. Tingkat kekeruhan di Kedung Pane tinggi karena di atas dibuat bendung sementara dari kayu dan daun kelapa dengan tujuan untuk menyaring pasir. Untuk Bp Andi : 3. Lebih baik dalam perencanaan menggunakan karakterisasi DAS atau tipologi DAS? 4. Atau kedepan dengan tipologi begini maka perlakuannya Bp Andi : 3. Dengan 2 unsur dominan (hujan dan kepadatan penduduk) sudah didapat 4 tipologi 4. Karakteristik dan tipologi dapat digunakan. Seperti DAS tertentu yang 286

60 7. Bp.Wanda (Aek Nauli) seharusnya demikian Untuk Bp Pamungkas : 1. Tipologi DAS berbeda seperti di Jawa dan Sumatara. Apakah terdapat strategi untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS untuk hutan konservasi. 2. Penyebab kerusakan DAS karena ketergantungan masyarakat tinggi dan ekonomi rendah. Sebenarnya apa yang mendasari kerusakan DAS kemiskinan, kebutuhan lahan atau kesadaran masyarakat cenderung ke tipologi 1 agar lebih detil dapat dikombinasikan dengan karakteristik. Tipologi dapat membantu dalam menyederhanakan membuat kesimpulan. Bp. Pamungkas: 1. Kalau konservasi maka dapat disinergikan dengan kawasan di bawahnya 2. BPK Solo belum melakukan pada DAS konservasi Untuk Bp Andi : 3. Dalam penyusunan persamaan apakah telah dilakukan uji sebelumnya (mengingat terdapat banyak parameter). Adakah studi pendahuluan sebelum 287

61 menerapkan parameter sesi i 8. Ibu Triwilaida Untuk Bp Andi : 1. Karakter keragaman di DAS hulu 2. Tipologi 3 terdapat penjelasan dengan penduduk kurang tapi terdapat konflik. Konflik yang bagaimana? Bp Andi : 1. Daerah hulu biasanya suku lebih serderhana namun jumlah suku banyak dalam jumlah anggota kecil. 9. Ibu Sri (Pusdal) Untuk Bp Pamungkas : 1. Pengelolaan DAS yang disampaikan merupakan lintas sektoral. Jadi kelembagaan lain ikut berperan dalam keberhasilan pengelolaan DAS. Ketika perencanaan dibuat apakah sudah melibatkan/partisipati f antar pihak karena sering terjadi perbedaan kepentingan antar pihak yang akhirnya menjadi konflik dan membuat malas berkoordinasi. Karena masalah koordinasi selalu menjadi kendala, sebaiknya Bp Pamungkas: 1. Sepakat untuk penyusunan partisipatif. Namun perlu pihak yang powerfull untuk dapat memaksa dalam implementasi bukan hanya partisipatif dalam perencanaan tapi lebih penting dalam implementasi. 2. Perencanaan diusulkan untuk disahkan Gubernur, namun berasarkan hirarki lebih cenderung ke Bupati. 288

62 perencanaan melibatkan stakeholder. 2. Siapa yang melakukan karakterisasi. PLENO: NAMA & NO. INSTANSI 1. Bp. Soenarto Gunadi (Yogya) DISKUSI 1. Kebutuhan riset terkini belum tercermin sampai dengan hari ini TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Terima kasih saran 2. Tim pernah memperkenalkan ke stakeholder cuma karena terbatas waktu maka gagal 3. Untuk justifikasi hasil peneltian tergantung jenis penelitian. Tidak semua penelitian dapat dilakukan justifikasi terutama penelitian yang bersifat survei. 4. Himbauan PU akan diakomdir tapi bukan dalam bentuk semiloka (alam semiloka ini diharapkan peserta berbagi pengalaman hasil penelitian bukan hanya dalam tulisan). 5. Institusi dengan masing-masing tupoksi diharapkan dapat melihat peraturan perundangan dan peka terhadap kebutuhan 289

63 NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN pengguna. 2. Bp. Sunarno 3. Kepala Balai Sabo 1. Perlu koordinasi lebih lanjut supaya sampai pada masyarakat. Sebelum menyusun laporan akhir penelitian perlu proses justifikasi dari stakeholder kira-kira hasil penelitian dapat bermanfaat tidak. 2. Penelitian selalu memperhatikan 4 aspek : ekonomi, kemudahan adopsi, lingkungan, dan masyarakat dapat menerima. 1. Saran kedepan untuk paper dapat diambil dari institusi lain karena yang bergerak di bidang pengelolaan DAS tidak hanya BPK Solo. 2. Paper dapat Prof. Ris. Pratiwi: 6. Keterkinian sudah dapat dilihat dengan selalu memperhatikan peraturan dirjen BPDAS PS seperti rehabilitasi dengan jenis lokal. 290

64 NO. NAMA & INSTANSI 4. Bp. Purwanto (UNS) DISKUSI dilanjutkan ke jurnal. 1. Terkini seharusnya mengacu pada peraturan terkini yaitu UU 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan harus berdasarkan pada kelestarian biidiversitas. 2. Penelitian yang terkait dengan teknologi konservasi tanah dan air dengan agroforestry harus lebih diintensifkan 3. Keragaman semakin beragam maka ekosistem semakin stabil dan biota tanah semakin beragam. 4. Biopori tidak perlu bila selama di tanah masih terdapat cacing tanah yang akan mengurangi run-off. 5. Perakaran sawit hanya 40 cm. Wacana menjadikan sawit sebagai tanman kehutanan perlu ditinjau kembali. Karena akan mempercepat TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Itjen bekerjasama dengan PU bagaimana monitoring litbang. Sebelum memonev tolong dilihat terlebih dahulu mampukah melakukan. 291

65 NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI kerusakan hutan. 6. Terkait dengan UU nomor 41 kehutanan. Penelitian tentang luas hutan optimal 30% perlu kajian untuk di luar Jawa. 5. Pusdal 1. Pusdal II akan melakukan monev terhadap hasil litbang namun pusdal kesulitan menetapkan parameter monev. Mungkin litbang dapat membantu dalam menetapkan kriteria dan indikator. Monev yang diharapkan lebih teknis apakah hasil peneltian termanfaatkan oleh masyarakat. TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Monev apa? Substansi penelitian atau manajemen? Kalau manajemen ok, tapi kalau substansi penelitian itu yang akan susah. 292

66 Komisi II : Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS Fasilitator : Prof. Ris. Dr. Pratiwi, M.Sc Notulen : Wiwin Budiarti, Yogi Wulan Puspitasari. Makalah Sesi I : 1. Karakteristik Lahan sebagai Basis Perencanaan Konservasi Tanah di Sub DAS Progo Hulu (Pembicara : Pamungkas B P) Meningkatnya luasan lahan kritis di Indonesia yang melampaui daya dukungnya. DAS Progo Hulu mempunya potensi kerentanan lahan karena degradasi yang tinggi. Metode menggunakan formula Sicerdas (Sidik Cepat Degradasi Sub DAS). Tujuan penyusun rencana pengelolaan dan konservasi tanah. Kekritisan karena pertanian di lahan yang terjal dengan tanaman semusim. Rekomendasi: tanaman suren, mendorong teras searah kontur lereng. Kesimpulan: sebagian besar daerah DAS ini mempunyai karakter agak kritis karena kondisi alamiah kelerengan dan manajemen pertanian dengan tanaman semusim namun transfer teknologi konservasi kepada petani masih sangat rendah. 2. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk Mendukung Kelestarian Tata Air (Pembicara : I Wayan Susi D) Perubahan tata guna lahan tidak sesuai dengan daya dukung lahan Metode dengan model ANSWER (Areal Non Point Source Watershed Environmental Response Simulation) Simulasi perubahan penutupan lahan, rekapitulasi output di Sub DAS Cisadane Hulu dan debit sungai multi years. Banyak di dominasi oleh perkebunan dan pemukiman (resort). Model penggunaan skenario penutupan lahan menunjukkan bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri dan tetap harus memperhatikan tekanan pada sektor lain seperti pertanian dan pemukiman. 293

67 Kesimpulan: Kondisi Sub DAS sangat kritis, penggunaan lahan yang optimal mampu mengurangi limpasan dan erosi dapat meningkatkan kelestarian air. 3. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan (Pembicara : Dewi Retna I) Lahan kritis semakin meningkat dan upaya yang ada masih belum menunjukkan hasil yang maskimal. Salah satu permasalahan adalah pada kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, penyuluh lapangan masih kurang sedangkan masyarakat perlu dilakukan pendampingan mengenai teknik budidaya dalam pembangunan hutan rakyat. Metode: wawancara mendalam dengan informan dan FGD. Muncul konflik antara para pihak (dinas kehutanan, dinas pertanian, swasta, masyarakat, BAPPEDA dll) terkait dalam satu kabupaten Koordinasi antara para pihak diharapkan ada dalam perencanaan hutan rakyat dalam satu kabupaten dengan sistem kolaboratif dan partisipatif. Kesimpulan : tidak diperlukan lembaga baru namun lembaga yang ada dioptimalkan dengan mekanisme kerja yang jelas; Penyusunan rancangan bangun untuk pembangunan hutan rakyat; BAPEDA mempunyai tugas untuk mengkoordinir seluruh pihak dalam pembangunan kehutanan. 4. RHL Partisipatif pada Hulu DAS : Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog : catatan pengalaman penelitian di Sulawesi tahun (Pembicara : Hunggul Y. S) DAS super prioritas bertambah dan lahan kritis semakin meningkat. Penutupan kawasan hutan semakin menurun digantikan dengan kawasan pertanian. Kurangnya pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk menjaga kawasannya. Sulitnya mengakses air bahkan bagi masyarakat di daerah hulu. Permasalahan: partisipasi masyarakat, adopsi teknologi konservasi dan dukungan politis untuk ikut serta dalam program konservasi. 294

68 Penelitian yang ditekankan di BPK Makasar: partisipasi personal dan partisipasi kolektif. Peningkatan awareness masyarakat tentang erosi dan akibatnya bagi tanah mereka. Kesimpulan : pembuatan mikro hidro sebagai penekanan dan bukti kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai manfaat hutan sebagai regulator air. HASIL DISKUSI SESI I : NAMA & NO INSTANSI 1 Agus W BPK Solo 2 Sunarto G MKTI DISKUSI Untuk Bp. I Wayan : 1. Bagaimana dengan distribusi spasial dari tata ruang yang digunakan 2. Nilai ekonomi masyarakat dari Sub DAS Cisadane yang diperoleh 3. Dampak dibagian hilirnya seperti apa, tentu tidak hanya erosi, sedimentasi tentunya ekonominya juga. Untuk Bp I Wayan : 1. Apakah sudah ada referensi Model ANSWER di Indonesia? 2. Tata guna lahan, yang digunakan hanya prosentase atau sudah spasial? TANGGAPAN Bp I Wayan : 1. Analisis ekonomi belum dilakukan, akan dilakukan di penelitian mendatang 2. Informasi spasial sudah ada hanya saja belum ditampilkan, nanti akan dimuat dalam tulisan Bp I Wayan : 1. Referensi di Indonesia masih sedikit namun di kalangan akademisi sudah banyak dilakukan Untuk Ibu Dewi R I Ibu Dewi R I: 295

69 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI (Kelembagaan): 3. Dasarnya apa? Apakah aspek teknis, sosial, tipe masyarakat atau aspek ekonomi? Untuk Bp Hunggul (Partisipatif): 4. Kontribusi masyarakat itu apa? Model yang digunakan dialog atau pembelajaran bersama? Kerusakan lahan karena fasilitas memadai, contoh: adanya jalan mungkinkah mengganggu kelembagaan yang ada. TANGGAPAN 3. Kelembagaan sangat luas, pada kenyataannya masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak dan lembaga-lembaga terkait, lebih menyoroti mekanisme kerja/koordinasi masing-masing lembaga terkait. Bagaimana sharingnya agar kegiatan hutan rakyat bisa berjalan baik. Bp Hunggul : 4. Masyarakat dirangsang untuk membuat kelompok, kewajibannya harus menanam, ada peraturan, ada sangsi, tidak dikomersilkan. 5. Adanya perbaikan fasilitas tidak memberikan dampak negatif karena dilakukan diluar kawasan dan listrik yang dihasilkan masih sangat kecil (sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar). Konsep ini sudah 296

70 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI 3 Bp Agung Untuk Bp I Wayan : 1. Terkait dengan baseline, seharusnya yang dipakai untuk baseline tidak hanya dari 1 (satu) kejadian hujan, karena baseline perlu divalidasi dengan beberapa kejadian hutan dalam beberapa tahun 2. Terkait dengan spasial output dari ANSWER adalah informasi dari sebaran sumbersumber erosi. 4 Bp Bambang (BPDAS Serayu Opak Progo) Untuk Bp Pamungkas : 1. Wonosobo ditanami oleh kentang dan sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat sehingga teknik perlu diberikan dan diterapkan. 2. Praktisi: disamping konservasi tanah (sipil), agar kedepan juga dilakukan teknik RLKT secara vegetatif dengan tanaman keras. Di TANGGAPAN banyak ditiru oleh Pemda setempat. Sudah terjawab di atas Bp Pamungkas : 1. Kerentanan lahan memang pada lahan milik dengan tanaman semusim. Konservasi vegetatif sudah dilakukan dengan penanaman tanaman jenis Suren di lereng Sindoro karena suren dinilai mempunyai kapasitas adaptasi yang baik pada elevasi yang tinggi. Konservasi vegetatif perlu terus dilakukan dan diteliti 297

71 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI Dieng merehabilitasi 5000ha dengan teras dan vegetasi (tanaman keras, carica papaya dan teh). Koordinasi dengan BPDAS Opak Progo untuk terus melakukan penelitian disana. 3. Perlu dilakukan analisis ekonomi sangat penting, karena contoh : masyarakat Dieng sangat tergantung dengan tanaman kentang dan dibandingkan dengan gabungan upaya konservasi menggunakan vegetasi Untuk Ibu Dewi RI : 4. Produksi Hutan Rakyat di Jawa jauh lebih besar daripada Perhutani, sehingga kelembagaan di tingkat masyarakat sangat diperlukan agar hutan rakyat lestari, manajemen dengan tingkat yang lebih besar lagi perlu TANGGAPAN yang disesuaikan dengan kombinasi tanaman semusim pilihan masyarakat. Ibu Dewi R I : 2. Masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak terkait dan lembagalembaga terkait, namun semakin sedikit dengan adanya koordinasi. 298

72 NO NAMA & INSTANSI 5 Tyas M B BPK Solo DISKUSI diterapkan karena tingkat kelompok tani desa sangat kecil. Manajemen hutan rakyat perlu diperbaiki, bagaimana agar hutan rakyat lestari, konsep hutan rakyat kemitraan (hubungan antara masyarakat dengan industri kayu) sehingga produksi kayu tetap kontinyu, diterapkan tanaman keras, tahunan, semusim. Untuk Bp I Wayan : 1. Keuntungan model ANSWER memberikan keuntungan spasial untuk pengguna, perlu ditunjukkan keuntungannya 2. Kondisi mengkhawatirkan, namun dari baseline (jauh kurang dari 10 ton/ha) menunjukkan belum terlalu mengkhawatirkan, jadi mungkin perlu dibandingkan dengan tolerable erosion. TANGGAPAN Sudah terjawab di atas 299

73 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN 3. Nilai erosi dibawah 10 ton/ha masih belum terlalu mengkhawatirkan, sebaiknya dikaitkan juga dengan kedalaman tanah. 4. Penyajian limpasan perlu dilengkapi data curah hujan. 5. Keuntungan ekonomi masyarakat perlu. 6. Saran : penyajian tabel sudah per seratus, cara penulisan perlu koreksi Makalah Sesi II : 5. Konservasi Tanah dan Air secara Partisipatif dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal (Pembicara : Ida Rachmawati) Degradasi lahan : meluasnya lahan kritis di NTT ha (dalam kawasan hutan ha dan di luar kawasan hutan ha) menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. KTA dalam perbaikan lahan terdegradasi : dengan penanaman rumput pakan ternak (Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana) mampu memperbaiki sifat fisik tanah. Pengembangan agroferestri lokal secara partisipatif mampu berfungsi sebagai model KTA, bila memperhatikan : o Pemilihan tanaman, kombinasi tanaman yang tepat dan pengaturan pola tanam dan model yang tepat antara tanaman kehutanan, pakan, tanaman pangan. o Kondisi lingkungan setempat. 300

74 o Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif. Kegiatan sekolah lapangan adalah proses belajar bersama dalam pengelolaan lahan dan memahami pentingnya aspek konservasi tanah dan air. 6. Pemilihan Jenis-jenis Lokal dalam Famili Dipterocarpaceae yang Relatif Sesuai dengan Lokasi Tambang Batu Bara (Pembicara : Sri Soegiharto) Jenis yang dipilih : Famili Dipterocarpaceae, lokasi di Samarinda Tanah yang sudah ditambang merubah stuktur dan kualitas Jenis-jenis Famili Dipterocarpaceae yang relatif dapat bertahan pada lokasi tambang batu bara adalah jenis ekosistem kerangas dan rawa gambut, karena pada lokasi iklimnya meranggas dan banyak genangan, a.l : Shorea balangeran, Cotylelobium burchii dan Dryobalanops lanceolata. Solusi : untuk meningkatkan persentase hidup Famili Dipterocarpaceae lain diluar ekosistem kerangas dan rawa gambut dicoba dengan menambah perlakuan amandmen soil seperti humic acid, fulvic acid dan limelight. 7. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayu Putih (Pembicara : Ugro H M) Ketersediaan air sangat penting karena dijadikan salah satu indikator dalam pemilihan pemukiman dan perencanaan wilayah. Penurunan ketersediaan air pada kawasan hutan tanaman kayu putih perlu dianalisis dengan pendekatan Sub DAS, dibuat SPAS model Cipoletti dilengkapi peralatan pemantau aliran air otomatis. Penutupan lahan mikro DAS kayu putih berkisar antara % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan. 8. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Rehabilitasi Mangrove (Pembicara : Endang Karlina) Kondisi mangrove sangat memprihatinkan, rehabilitasi mangrove masih sangat rendah 301

75 Lokasi : 2 (dua) sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan rehabilitasi mangrove yaitu di Tahura Sawung, Bali dan kawasan Hutan Produksi Ciasem, Pamanukan, Jawa Barat Pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya memperhatikan fungsi ekologis kawasan, sebagai fungsi lindung, habitat satwa liar dan sumber plasma nutfah daripada fungsi ekonomi (penerapan pola silvofisheri). HASIL DISKUSI SESI II : NO NAMA & INSTANSI 1 Burhanudin (Pusdiklat) 2 Wuri BPK Ciamis DISKUSI Untuk Ibu Endang K : 1. Rehabilitasi Mangrove Ciasem (Perhutani), tidak hanya dilakukan oleh Perhutani, tetapi juga dilakukan kelompok tani masyarakat dan mengembangkan koperasi masyarakat, pengembangan produk dari buah mangrove. Apakah dalam penelitian ini menyoroti juga hal yang dilakukan kelompok tani mangrove lestari? Untuk Bp Ugro H M : 1. Sampel ukuran 5 m x 5 m, apakah sudah merupakan ukuran yang memadai? 2. Ketersediaan air, tinggi pohon 2 m, TANGGAPAN Ibu Endang K : 1. Kelompok tani tersebut tidak masuk dalam lokasi kajian, mungkin masuk di RPH lain. Terdapat 5 KPH di lokasi kajian. Bp Ugro H M : 1. Yang menjadi patokan adalah tanaman bawah lalu tegakannya. Hasil air yang tersedia yang masuk dalam outlet SPAS adalah volume 302

76 NO NAMA & INSTANSI 3 Purwanto UNS DISKUSI yang memberikan ketersediaan air di permukaan apakah tanaman kayu putihnya atau karena pengaruh tanaman bawah? Belum dijelaskan hubungan antara tanaman kayuputih dengan ketersedian air. Untuk Ibu Ida R (Agroforestry): 1. Masukan: kriteria agroforestry mampu memberikan nilai ekonomi dan ekologi. Pemilihan model AF harus memperhatikan kondisi lingkungan, yang perlu diperhatikan kriteria kombinasi yang mampu meningkatkan biodiversitas di atas tanah, bertajuk multistrata sehingga bisa efektif untuk menangkap fotosintesis, menangkap intersepsi air hujan, mengeksplorasi akar dan meningkatkan TANGGAPAN air dari hutan kayuputih dan tanaman bawahnya. Ibu Ida R : 1. Semua masukan akan dipertimbangkan untuk perbaikan penelitian kedepan. 303

77 NO NAMA & INSTANSI 4 Ela Pusprohut DISKUSI kualitas serasah. Tanaman hutan yang dipilih harus juga memenuhi menghasilkan lignin yang tinggi sehingga tutupan tanah dapat tinggi dana dapat menampung air hujan dan menjaga suhu tanah Untuk Ibu Endang K : 1. Unsur manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasi kawasan mangrove, jadi tidak selalu merusak. Perlu dicermati adanya tambak terhadap peningkatan jumlah mangrove. Masyarakat akan cenderung menanam mangrove apabila tambaknya berhasil. TANGGAPAN Endang K : 1. Kondisi biofisik bagus bisa karena pertambakan namun karena unsur manusia yang dominan bisa juga menyebabkan kerusakan. Pengelolaan mangrove perlu dikedepankan fungsi lindungnya daripada fungsi ekonominya. Kedepan agar dilakukan kajian bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove di berbagai fungsi hutan (konservasi, produksi, lindung) sehingga akan dihasilkan berbagai model pengelolaan mangrove pada berbagai fungsi hutan 304

78 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN yang berbeda. Untuk Bp Sri S (Batubara): 2. Kombinasi tanaman pelindung/pionir apakah berpengaruh terhadap keberhasilan tanaman pokok sendiri? Untuk Ibu Ida R : 3. Gulma akan menurunkan hasil panen, tetapi juga memiliki manfaat positif dalam pola agroforestry ini, Bp Sri S : 2. Penaung dapat menjadi pesaing namun prediksi persaingan penaung pionir bisa diabaikan, karena pertumbuhannya masih sangat kecil (tidak ada saingan dalam hal akar). Rancangan acak kelompok kurang bisa mewakili populasi sehingga rancangan penelitian dicoba dengan rancangan lain (Corespondence Canonnical Analysis). Naungan multistrata tidak bisa diaplikasikan. 3. Di tambang hanya ada 1 strata, naungan di 1 lokasi berbeda dengan yang lain jadi tidak bisa digeneralkan. Ibu Ida R : 4. Putri malu digunakan karena bisa menahan penguapan yang tinggi, dipilih putri malu yang tidak berduri sehingga tidak 305

79 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI apakah tidak dilakukan kajian mengenai hal tersebut? 5 UN Untuk Ibu Ida R : 1. Usul : dalam penerapan pola Agroforestry agar menata kombinasi tanaman, penggunaan tanaman bertajuk multistrata lebih bagus TANGGAPAN membahayakan petani itu sendiri. Selain itu pemilihan putri malu disesuaikan dengan jeruk yang ditanam masyarakat. Ibu Ida R : 1. Saran ditampung Untuk Bp Ugro H M (Kayu putih) : 2. Perbandingan ketersediaan air kayu putih dibandingkan dengan tanaman lain/control. Bp Ugro H M : 2. Sulit mencari kawasan hutan yang murni hanya kayuputih namun banyak tanaman sela yang juga kemungkinan membantu penyerapan air di hutan kayuputih. Hasil air yang tersedia yang masuk di SPAS, memang benar yang masuk dari hutan tanaman kayu putihnya. 306

80

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH BERPOTENSI PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH BERPOTENSI PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH BERPOTENSI PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT Composition and Diversity of Potential Under Plant of Various Forest Ecosystem Types

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 PROSIDING ISBN 978-602-99218-6-1 SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir.

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 PROSIDING ISBN 978-602-99218-6-1 SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 207 ISBN: 978 602 36 072-3 DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Rahardyan Nugroho Adi dan Endang Savitri Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra

UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra Latar Belakang Lava G.Batur batuan vulkanis beku dan pasir kesuburan rendah (kritis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan A B I B PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin tersedianya secara lestari bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir menuju ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia

I. PENDAHULUAN. karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Nomor Per.06/MEN/2010 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

Lebih terperinci

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang)

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Oleh: Pamungkas B.P & Irfan B.P DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014

SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014 1 SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami hormati, Bapak/Ibu

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan 6 2.1 Kawasan Timur Danau Limboto BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kawasan danau mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan manfaat,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan luas sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan ekosistem alami yang sangat kompleks dan juga merupakan salah satu gudang plasma nutfah tumbuhan karena memiliki berbagai spesies tumbuhan. Selain itu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

BUPATI KULONPROGO. Sambutan Pada Acara SOSIALISASI GERAKAN NASIONAL KEMITRAAN PENYELAMATAN AIR (GNKPA) Tanggal, 10 Maret 2011

BUPATI KULONPROGO. Sambutan Pada Acara SOSIALISASI GERAKAN NASIONAL KEMITRAAN PENYELAMATAN AIR (GNKPA) Tanggal, 10 Maret 2011 BUPATI KULONPROGO Sambutan Pada Acara SOSIALISASI GERAKAN NASIONAL KEMITRAAN PENYELAMATAN AIR (GNKPA) Tanggal, 10 Maret 2011 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita sekalian. Yang Kami hormati,

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN TAHUN

CAPAIAN KEGIATAN TAHUN CAPAIAN KEGIATAN TAHUN 2010-2014 BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Jl. A. Yani-Pabelan, Kartasura, Telepon/Fax.: (0271) 716709 / 716959 email: bpt.kpdas@gmail.com, website:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012 NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012 Maret 2012 Kepada Yth. : Menteri Kehutanan Dari : Sekretaris Jenderal Lampiran : 1 (Satu Berkas) Hal : Laporan Rekap Berita Minggu IV Bulan Februari Memperhatikan berita

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci