BAHAN AJAR PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN AJAR PAJAK PENGHASILAN (PPh)"

Transkripsi

1 BAHAN AJAR PAJAK PENGHASILAN (PPh) PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK Wahyu Santosa, Ak., M.Si. Sadimin, S.S.T. SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2011

2 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta ala, bahan ajar Pajak Penghasilan bagi Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dapat diselesaikan. Bahan Ajar Pajak Penghasilan ini tidak semata-mata disusun bagi mahasiswa/i Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, mengingat luasnya cakupan materi Pajak Penghasilan dan kekhawatiran terjadinya bias dalam pemahaman Pajak Penghasilan akibat tidak disampaikannya ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, cakupan dan kedalaman materi Pajak Penghasilan yang akan disampaikan di kelas, diserahkan sepenuhnya bagi para Dosen Pengajar untuk memilah dan memilihnya. Mengingat Materi Pajak Penghasilan sangat luas dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan peraturan perpajakan di bidang Pajak Penghasilan, sangat dimungkinkan banyak aspek Pajak Penghasilan dalam Bahan Ajar ini yang tidak terbahas secara mendalam dan memadai. Penyajian dan cakupan Bahan Ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa/i Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN khususnya dan para pembaca pada umumnya dalam memahami ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia. Kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak A. Sjarifudin Alsah selaku Direktur Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak dan Bapak Erhamsyah Noor selaku Kepala Subdit Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang telah memberikan penugasan kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyusunan kurikulum Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, yang salah satunya adalah penyusunan Bahan Ajar ini. Terakhir, tiada gading yang tak retak, tiada capaian kesempurnaan tanpa perbaikan yang berkesinambungan, sehingga segala saran dan masukan pembaca dan pengguna bagi perbaikan dan penyempurnaan Bahan Ajar ini senantiasa Penulis harapkan. Jakarta, Agustus 2011 Wahyu Santosa, Ak., M.Si. Sadimin, S.S.T. i H a l a m a n

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR LAMPIRAN... v BAB 1 PENDAHULUAN... 6 A. Peta Konsep Pajak Penghasilan... 6 B. Pengertian Pajak Penghasilan... 6 C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu... 7 D. Latar Belakang Berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan... 8 BAB 2 SUBJEK PAJAK A. Orang Pribadi B. Badan C. Bentuk Usaha Tetap (BUT) D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan BAB 3 OBJEK PAJAK PENGHASILAN A. Pengertian Penghasilan B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan D. Penghasilan dari Luar Indonesia BAB 4 PENGHASILAN KENA PAJAK A. Pengurang Penghasilan Bruto B. Bukan Pengurang Penghasilan Bruto C. Kompensasi Kerugian Fiskal D. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) E. Penyusutan Fiskal F. Amortisasi Fiskal G. Penilaian Persediaan H. Nilai Perolehan Harta BAB 5 CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN A. Arm s Length Transaction dan Hubungan Istimewa B. Pembukuan dan Pencatatan ii H a l a m a n

4 C. Tarif Pajak Penghasilan D. Kredit Pajak PPh E. PPh Pasal F. Penghitungan Pajak pada Akhir Tahun BAB 6 PPh ORANG PRIBADI A. Pajak Penghasilan dalam Kaitannya dengan Hubungan Suami-Isteri B. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Menerima/Memperoleh Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan C. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas D. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) BAB 7 PPh BADAN A. Rekonsiliasi Fiskal Pajak Penghasilan B. Fasilitas Pajak Penghasilan DAFTAR PUSTAKA iii H a l a m a n

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan... 6 Gambar 2: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen Gambar 3: Skema Pengenaan Perpajakan atas Dana Pensiun Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan Gambar 5: Skema Kredit Pajak Penghasilan iv H a l a m a n

6 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Lampiran II Lampiran III Lampiran IV v H a l a m a n

7 BAB PENDAHULUAN 1 Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mampu menguraikan tentang konsep Pajak Penghasilan. 2. Mampu menjelaskan tentang pengertian Pajak Penghasilan. 3. Mampu menjelaskan tentang perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dari waktu ke waktu. A. Peta Konsep Pajak Penghasilan Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan B. Pengertian Pajak Penghasilan Pengertian Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang KUP adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang 6 H a l a m a n

8 bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak 1 atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu Objek Subjek Nama Undang-undang (Ordonansi) Masa Berlaku Pajak Pajak Patent Recht Penghasilan Badan/Orang Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1908 Ordonansi Pajak Pendapatan 1908 Penghasilan Badan/Orang Eropa atau yang disamakan Badan Orang Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1920 Badan Penghasilan Ordonansi Pajak Pendapatan 1920 Orang Ordonantie Op De Vennotschap Belasting 1925 Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (PPs) Laba Badan Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1932 Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 Pendapatan Orang Pribadi Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1944 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (PPd) Pendapatan Orang Pribadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 merupakan tata cara pemungutan PPd dan PPs Undang-undang Pajak atas Bunga Dividend an Royalty (PBDR) merupakan bagian dari PPd dan PPs Sumber: Rusjdi, Muhammad. Hal PPh Pajak Penghasilan Klaten: PT Indeks. Perubahan terhadap ketentuan Pajak Penghasilan dilakukan pada tahun 1983, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku sejak 1 Januari Undang-undang Pajak Penghasilan telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali, yaitu: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, yang mulai berlaku sejak 1 Januari Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yang mulai berlaku sejak 1 Januari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang mulai berlaku sejak 1 Januari H a l a m a n

9 4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang mulai berlaku sejak 1 Januari Undang-undang Pajak Penghasilan yang sekarang berlaku adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Undang-undang Pajak Penghasilan). D. Latar Belakang Berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang sepenuhnya berada pada fiskus (official assessment). Sarana menetapkan jumlah pajak yang terutang dilakukan melalui penerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan formal maupun ketentuan material dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya diatur dalam satu Undang-undang, yaitu Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 untuk orang pribadi dan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 untuk badan. Sejak dilakukannya reformasi di bidang perpajakan (tax reform) tahun 1983, pengenaan Pajak Penghasilan diatur dalam 2 Undang-undang yaitu: 1. Undang-undang yang mengatur ketentuan formal, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, yang mengatur tentang prosedur perpajakan untuk mewujudkan ketentuan hukum pajak material. 2. Undang-undang yang mengatur ketentuan material, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang mengatur mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, cara menghitung pajak, pelunasan pajak dalam tahun berjalan, dan perhitungan pajak pada akhir tahun. Tujuan utama dilakukannya reformasi di bidang perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1983 adalah untuk mencapai pertumbuhan penerimaan pajak yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dengan Undang-undang pajak yang berlaku. Hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan sistem official assessment, mengingat keterbatasan sumber daya manusia aparat pajak, sarana dan prasarana untuk menetapkan jumlah pajak yang terutang mengingat jumlah wajib pajak yang makin bertambah sesuai dengan perkembangan ekonomi. 8 H a l a m a n

10 Pengenaan Pajak Penghasilan tidak lagi berdasarkan azas sumber sebagaimana pendapatan pada Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau laba pada Ordonansi Pajak Perseroan 1925, tetapi didasarkan pada penghasilan dalam arti yang luas. Penentuannya didasarkan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam tahun pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun, tidak terbatas dalam bentuk uang saja, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak (broadbased taxation). Ruang lingkup penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri adalah semua penghasilan, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world wide income). Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, hanya dikenai Pajak Penghasilan jika menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 9 H a l a m a n

11 SUBJEK PAJAK BAB 2 Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mampu menjelaskan tentang Subjek Pajak Pajak Penghasilan. 2. Mampu menguraikan tentang perbedaan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. 3. Mampu menjelaskan tentang kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif. 4. Mampu menjelaskan tentang yang tidak termasuk Subjek Pajak Pajak Penghasilan. Menurut (Mansury, 2002) Subjek Pajak itu adalah subjek hukum yang oleh Undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek Pajak itu pada umumnya [merupakan] subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak, yang kemudian diatur dalam Undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai Subjek Pajak. Hal itu dapat dimengerti sebab subjek hukum oleh hukum diakui mempunyai hak dan kewajiban di hadapan hukum, sehingga Undang-undang pajak hanya menegaskan hak-hak dan kewajibannya sehubungan dengan perpajakan. Hal yang demikian, juga menunjukkan, bahwa hukum pajak itu merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum atau tata hukum di Indonesia. Subjek Pajak Penghasilan diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan, yaitu: - Orang Pribadi - Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Badan Bentuk Usaha Tetap (BUT) A. Orang Pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia 2 ataupun di luar Indonesia H a l a m a n

12 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan NPWP dari WP orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut (PMK 20/PMK.03/2008) Contoh: Randy Jatnika adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki usaha berupa 2 unit SPBU dan 4 unit rumah kontrakan. Randy Jatnika menikah dan mempunyai 2 orang anak kandung, yaitu Catur Krishnawardana dan Candra Sugiarto. Pada tanggal 23 Agustus 2011, Randy Jatnika meninggal dunia, dan warisan belum dibagi kepada para ahli waris. Warisan yang belum terbagi berupa 2 unit SPBU dan 4 unit rumah kontrakan tersebut ditunjuk sebagai subjek pajak pengganti Randy Jatnika, sehingga pengenaan PPh atas penghasilan yang berasal dari usaha SPBU dan rumah kontrakan tetap dapat dilaksanakan. B. Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan 4, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah 5, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. 11 H a l a m a n

13 C. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: 1. Tempat kedudukan manajemen. 2. Cabang perusahaan. 3. Kantor perwakilan. 4. Gedung kantor. 5. Pabrik. 6. Bengkel. 7. Gudang. 8. Ruang untuk promosi dan penjualan. 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam. 10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi. 11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan. 12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan. 13. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. 15. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. 16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Perluasan Pengertian BUT dalam UU PPh meliputi: Gudang; Ruang untuk promosi dan penjualan; Peralatan otomasis (dedicated server) untuk kegiatan usaha melalui internet. 12 H a l a m a n

14 Alasan Perubahan: Memperluas hak pemajakan dengan menegaskan gudang dan ruang untuk promosi dan penjualan yang dipergunakan oleh WP luar negeri sebagai BUT; Untuk menampung/mengantisipasi perkembangan perdagangan secara online (e-commerce). Pasal 2 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha 6 (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesinmesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. 13 H a l a m a n

15 D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa subjek pajak dalam negeri adalah: 1. - Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia. - Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. - Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: - Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; - Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); - Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; - Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. 3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan, subjek pajak luar negeri adalah: 1. - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; - Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; - Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; - Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; - Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: 14 H a l a m a n

16 No. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri 1. Pengenaan PPh 2. Tarif 3. SPT Dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Dikenai pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum. Wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak Dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. Dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. Tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Pertanyaan: Bagi Indonesia, Barack H. Obama merupakan Subjek Pajak dalam negeri atau Subjek Pajak luar negeri atau bukan kedua-duanya? E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif Pasal 2A Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut: Subjek Pajak Dalam Negeri a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia. b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. d. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang Kewajiban Pajak Subjektif Saat Dimulai Pada saat lahir di Indonesia. Sejak hari pertama berada di Indonesia. Berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi, Saat Berakhir Meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya 7 Dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia Pada saat warisan selesai dibagi kepada 15 H a l a m a n

17 berhak. yaitu pada saat meninggalnya pewaris. para ahli waris. Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut: Subjek Pajak Luar Negeri a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. b. Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. c. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. b. Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. c. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Saat Dimulai Kewajiban Pajak Subjektif Pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT Pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Saat Berakhir Pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT Pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang tidak termasuk subjek pajak adalah: 17. Kantor perwakilan negara asing. 18. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 19. Organisasi-organisasi internasional 8 dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 16 H a l a m a n

18 Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah Indonesia; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Organisasi-organisasi internasional yang memenuhi syarat sebagai tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010. Atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh yang tidak termasuk subjek pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan 20. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional 9 dengan syarat: a. Bukan warga negara Indonesia; b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut. 17 H a l a m a n

19 OBJEK PAJAK PENGHASILAN BAB 3 Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mampu menguraikan tentang pengertian penghasilan. 2. Mampu menguraikan tentang objek Pajak Penghasilan. 3. Mampu menjelaskan tentang penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. 4. Mampu menguraikan tentang penghasilan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. A. Pengertian Penghasilan Undang-undang Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan; 3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; 18 H a l a m a n

20 4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Menurut (Mansury, 2002) dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan ditegaskan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Tambahan kemampuan ekonomis. Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Penghasilan diberi arti sebagai uang atau segala sesuatu yang lain yang bernilai uang yang mengalir menjadi hak seseorang yang dapat dipakainya untuk menguasai barang dan jasa guna dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Dengan memakai kata tambahan, maka dimaksudkan bahwa yang dikenakan pajak itu adalah jumlah netto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu. 2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis itu, yaitu hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan yang memakai accrual basis. Dalam hal ini tambahan kemampuan yang dihitung sebagai penghasilan bukan hanya karena 19 H a l a m a n

21 adanya kenaikan harga pasar, melainkan kenaikan harga itu sudah menjadi realisasi. Mengenakan pajak hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi tidak berarti bahwa tambahan kemampuan ekonomis yang belum menjadi realisasi dibebaskan dari pajak. Hanya pengenaan pajaknya ditunda hingga saat yang kemudian, yaitu pada saat pemungutan pajak dapat dilakukan dengan mudah. 3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia. Menunjukkan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat dari manapun juga, baik yang berasal dari sumbersumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Dari Pasal 26 (Undang-undang Pajak Penghasilan) kita mengetahui bahwa Subjek Pajak luar negeri mempunyai kewajiban pajak objektif yang terbatas. Dengan demikian, yang kewajiban pajak objektifnya meliputi world wide income adalah Subjek Pajak dalam negeri. 4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta. Merupakan cara menghitung atau mngukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi (investasi disini adalah penggunaan tabungan Wajib Pajak untuk mengembangkan harta Wajib Pajak, seperti dibelikan saham untuk memperoleh dividend an capital gains atau dibelikan tanah yang dapat memberikan sewa dan juga capital gains. 5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun juga. Unsur ini mensyaratkan, bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak, melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Disebut The Substance Over Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai. 20 H a l a m a n

22 Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk 10 : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa. Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, seperti upah, gaji, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya (misal: natura) adalah objek Pajak Penghasilan. b. Hadiah dan Penghargaan. Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan. 5) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. 21 H a l a m a n

23 Pasal 3 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. f. Bunga. Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. g. Dividen. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan. 2) Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor. 22 H a l a m a n

24 3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham 11. Apabila saham bonus diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa tidak termasuk pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari: a) Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan b) Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan. 4) Pembagian laba dalam bentuk saham. 5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran. 6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan. 7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah. 23 H a l a m a n

25 8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut. 9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi. 10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis. 11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi. 12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Gambar 2: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas: 24 H a l a m a n

26 1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya; 2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah; 3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; 4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi. 5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; 6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hakhak lainnya sebagaimana tersebut di atas. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. 25 H a l a m a n

27 j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. k. Keuntungan karena pembebasan utang. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. PP Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek Pajak atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil, mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Atas penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena pembebasan utang yang merupakan Utang Debitur Kecil dari bank atau lembaga pembiayaan, dikecualikan sebagai Objek Pajak 12. 2) Yang dimaksud dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp ,00 termasuk: a) Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS; b) Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura; c) Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS); d) Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; 26 H a l a m a n

28 e) Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. 3) Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang jumlah seluruhnya tidak melebihi Rp ,00 dapat dihitung sebagai Utang Debitur Kecil dari masing-masing bank, sepanjang memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil. 4) Dalam hal pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang mengakibatkan jumlah plafon kreditnya melampaui batas maksimum Rp ,00 maka keuntungan karena pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank pertama ditambah dengan jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank-bank berikutnya sampai mencapai jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp ,00. 5) Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau bankbank lain setelah dikurangi dengan jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp ,00 maka keuntungan karena pembebasan utang atas sisa kredit tersebut merupakan Objek Pajak. l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan netto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan 27 H a l a m a n

29 pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut merupakan penghasilan. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah 13. Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Dibandingkan dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional, terdapat perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah 14 dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu: 1) Kehalalan produk; 2) Kemaslahatan bersama; 3) Menghindari spekulasi; 4) Menghindari riba. Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkat bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain: 1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. 2) Transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna. 3) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; 4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh. Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan 28 H a l a m a n

30 perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, berdasarkan amanat Pasal 31D Undang-undang Pajak Penghasilan, telah diterbitkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah yang mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha berbasis syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Artinya perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama. Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan. Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai 29 H a l a m a n

31 dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi. 2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk: a) Hak pihak ketiga atas bagi hasil. Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya yang dapat dikurangkan. Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang dibagikan, terkait dengan status dana yang digunakan. Dividen diberikan atas modal yang ditanamkan pada usaha yang menunjukkan kepemilikan usaha. Sedangkan bagi hasil dibayarkan atas dana pihak ketiga yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha. b) Margin. c) Kerugian dari transaksi bagi hasil. Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang dapat dikurangkan. Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut, apabila kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pengelola dana. Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa kerugian tersebut timbul dan terjadi bukan karena kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut dibebankan kepada pemilik modal sesuai dengan akad/perjanjian. 3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah dilakukan juga terhadap: a) Hak pihak ketiga atas bagi hasil. b) Bonus. c) Margin. d) Hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis. Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan 30 H a l a m a n

32 berkenaan dengan penggunaan dana pihak ketiga yang terkait dengan kepemilikan usaha, contoh: Deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang disimpan pada bank syariah. Giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang giro, bank syariah tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat memberikan bonus yang tidak ditentukan besarnya. Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan. r. Imbalan bunga. Imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011. s. Surplus Bank Indonesia. Ketentuan Pasal 7 PP Nomor 94 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia mengatur halhal sebagai berikut: 1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit 15 setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. 2) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia, dilakukan atas: 31 H a l a m a n

33 a) Pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing. Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata. b) Penyisihan aktiva. Penyisihan aktiva dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Penyisihan aktiva hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian. c) Penyusutan aktiva tetap. Penyusutan aktiva tetap sebagaimana atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam 32 H a l a m a n

34 Undang-undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya. 3) Penyesuaian atau koreksi fiskal lainnya yang terkait dengan surplus Bank Indonesia, mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum. B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi 16, surat utang negara 17, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penghasilan berupa hadiah undian; 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; 5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain: 1) Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; 2) Kesederhanaan dalam pemungutan pajak; 3) Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; 4) Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; 5) Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilanpenghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan 33 H a l a m a n

35 pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang. Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan ini, seperti antara lain: - Bunga obligasi dan Surat Utang Negara - Hadiah undian - Pengalihan saham pasangan perusahaan modal ventura - Persewaan tanah dan bangunan Memindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh Pasal 23 final menjadi objek PPh Pasal 4 ayat (2) final. Menambah objek PPh Pasal 4 ayat (2) final meliputi: - Penghasilan dari transaksi derivatif; dan - Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan real estate. Pasal 19 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebagai berikut: No Jenis Penghasilan Tarif Dasar Hukum Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek 0,1% x jumlah bruto nilai Untuk semua transaksi penjualan saham transaksi penjualan 0,1% x jumlah bruto nilai 1 transaksi penjualan Untuk transaksi penjualan Saham Pendiri 18 PPh Tambahan: 0,5% x Nilai Jual Saham pada saat Penawaran Umum Perdana 25% x jumlah bruto 2 Hadiah Undian hadiah undian 3 Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan 10% x jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau PP 41 Tahun 1994 stdd PP 14 Tahun /KMK.04/1997 PP 132 Tahun 2000 PP 29 Tahun 1996 sttd PP 5 Tahun H a l a m a n

36 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dalam negeri Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri bangunan 394/KMK.04/1996 sttd 120/KMK.03/ % x jumlah bruto PP 131 Tahun % x jumlah bruto nilai pengalihan hak 19 atas tanah dan/atau bangunan 1% x jumlah bruto nilai pengalihan 0,1% x jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal 1,2% x Peredaran Bruto 2,64% x Peredaran Bruto Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen. Bahan bakar minyak SPBU Pertamina: 0,25% x Penjualan penjualan tidak termasuk PPN SPBU bukan Pertamina dan Non SPBU: 0,3% x Penjualan penjualan tidak termasuk PPN Bahan bakar gas 0,3% x Penjualan penjualan Pelumas tidak termasuk PPN Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek a. Bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) 20% x jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi b. Diskonto obligasi dengan kupon 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest) c. Diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi 10% x selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 20 Uang Pesangon a. 0% atas penghasilan bruto s.d. Rp ,00; b. 5% atas penghasilan bruto di atas Rp ,00 s.d. Rp ,00; c. 15% atas penghasilan bruto di atas Rp ,00 PP 48 Tahun 1994 stdd PP 71 Tahun 2008 PP 4 Tahun /KMK.04/ /KMK.04/ /PMK.03/2010 PP 6 Tahun /KMK.04/ /PMK.03/2008 PP 68 Tahun H a l a m a n

37 Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua s.d. Rp ,00; d. 25% atas penghasilan bruto di atas Rp a. 0% atas penghasilan bruto s.d. Rp ; b. 5% atas penghasilan bruto di atas Rp ,00. Honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD Bagi PNS Golongan I dan Golongan II, 0% x jumlah bruto honorarium Anggota TNI dan Anggota POLRI atau imbalan lain Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya Bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara 5% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain 15% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain Bagi WP Dalam Negeri & BUT 20% x diskonto SPN WP penduduk/berkedudukan di luar 20% x diskonto SPN negeri Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi a) bunga simpanan s.d. Rp ,00 0% per bulan b) bunga simpanan lebih dari 10% Rp ,00 per bulan Bunga Obligasi a) Bunga dari Obligasi dengan kupon Bagi WP Dalam Negeri & BUT Bagi WP Luar Negeri selain BUT b) Diskonto dari Obligasi dengan kupon Bagi WP Dalam Negeri & BUT Bagi WP Luar Negeri selain BUT 15% x jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi 20% x jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi atau sesuai tarif P3B 15% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi d) Bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh PP 80 Tahun 2010 PP 27 Tahun 2008 PP 15 Tahun 2009 PP 16 Tahun H a l a m a n

38 17 WP Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK Tahun % Tahun % Tahun 2014 dan seterusnya 15% Dividen yang diterima atau diperoleh 10% x Ph Bruto PP 19 Tahun 2009 WP OP Dalam Negeri C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1. - Bantuan, atau Sumbangan - Harta Hibah PP Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan 21, mengatur antara lain; a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. b. Zakat adalah zakat yang diterima oleh: 1) Badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; 2) Penerima zakat yang berhak. c. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh: 1) Lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; 2) Penerima sumbangan yang berhak. d. Bantuan atau sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan. 37 H a l a m a n

39 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang menerima harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan mengatur bahwa: 1) Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan adalah yang diterima oleh: a) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu orang tua dan anak kandung. b) Badan keagamaan, yaitu badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan. c) Badan pendidikan, yaitu badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. d) Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, yaitu badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan: Pemeliharaan kesehatan; Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo); Pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat; Santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya; Pemberian beasiswa; Pelestarian lingkungan hidup; Kegiatan sosial lainnya, yang tidak mencari keuntungan. e) Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yaitu orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut: Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp ,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 38 H a l a m a n

40 Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp ,00. 2) Ketentuan pengecualian harta hibah, bantuan, atau sumbangan dari objek Pajak Penghasilan berlaku apabila pihak pemberi hibah, bantuan, atau sumbangan tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan penerima hibah, bantuan, atau sumbangan. 3) Harta hibah, bantuan, atau sumbangan dibukukan oleh pihak penerima sesuai dengan nilai buku harta hibah, bantuan, atau sumbangan dari pihak pemberi. 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka bukan merupakan objek pajak. Dalam penyertaan modal suatu perusahaan, sering timbul selisih lebih antara nilai pasar saham dengan nilai nominal saham, yang disebut agio saham maupun selisih kurang yang disebut disagio saham. a. Pasal 4 ayat (1) PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek pajak. Contoh: PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp ,00 (terdiri dari lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham dengan menjual saham baru sejumlah lembar (nilai nominal Rp 100,00/lembar) dengan nilai jual Rp ,00 ( lembar saham x Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp ,00 ( lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A. Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A. 39 H a l a m a n

41 b. Pasal 4 ayat (2) PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan bruto. Contoh: Seperti pada contoh sebelumnya, namun nilai penjualan lembar saham baru tersebut sebesar Rp ,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham tersebut sebesar Rp ,00 ( lembar saham x (-Rp200,00)) dibukukan sebagai disagio saham oleh PT A. Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A. 4. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. a. Natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan adalah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh: 1) Wajib Pajak; 2) Pemerintah. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. b. Apabila natura dan/atau kenikmatan diberikan oleh: 1) Bukan Wajib Pajak; 2) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau 3) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan; maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Contoh: Seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau 40 H a l a m a n

42 kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak. 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi. Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. 6. Dividen. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah 22, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak. Syarat memiliki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend dihapus. Alasan Perubahan: Tidak ada batasan yang tegas mengenai usaha aktif sehingga syarat ini sering menimbulkan perbedaan pendapat antara fiskus dan WP. 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun. 41 H a l a m a n

43 Gambar 3: Skema Pengenaan Perpajakan atas Dana Pensiun Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak. 8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun. Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal 42 H a l a m a n

44 tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2009 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan mengatur bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa: a. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia; b. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau c. Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. Ketentuan pengecualian bunga obligasi yang diterima reksadana (Pasal 4 ayat (3) huruf j Undang-undang Pajak Penghasilan) sebagai objek PPh dicabut sehingga penghasilan tersebut merupakan objek pajak. Alasan Perubahan: Menghilangkan distorsi dan kompetisi yang kurang sehat diantara institusi keuangan dan menciptakan kesetaraan pemungutan pajak (level playing field) terhadap para WP yang berinvestasi di obligasi. 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Pasal 5 ayat (1) PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak H a l a m a n

45 Bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) bukan merupakan Objek Pajak. Alasan Perubahan: Mengangkat ketentuan perlakuan KIK yang dipersamakan dengan firma atau kongsi yang selama ini hanya ditegaskan dalam SE, yaitu penghasilan reksadana hanya dikenai pajak pada tingkat badan dan penghasilan dari redemption yang diperoleh pemegang unit penyertaan KIK tidak dikenai pajak. 10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura 24. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 250/KMK.04/1995 tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura, perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp ,00. b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia 25. 1) Penyertaan modal perusahan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun; 2) Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjual sahamnya di bursa efek. 44 H a l a m a n

46 11. Beasiswa. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009, mengatur antara lain: a. Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal 26 dan/atau pendididikan nonformal 27 yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. b. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan: 1) Pemilik; 2) Komisaris; 3) Direksi; 4) Pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa. c. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. Beasiswa dikecualikan sebagai Objek Pajak Alasan Perubahan: Mendorong peran serta masyarakat (WP) untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. 12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan. Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu 45 H a l a m a n

47 memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan, yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, mengatur antara lain: a. Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba 28 yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan. b. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional seharihari 29 badan atau lembaga nirlaba. Sisa lebih lembaga nirlaba bidang pendidikan dan/atau bidang litbang (yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya) yang ditanamkan kembali dalam jangka waktu paling lama empat tahun dikecualikan sebagai objek pajak. Alasan Perubahan: Mendukung program Pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan penguasaan ilmu dan teknologi tinggi 46 H a l a m a n

48 c. Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan meliputi: 1) Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut; 2) Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; 3) Pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal. d. Apabila setelah jangka waktu 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. e. Apabila dalam jangka waktu 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengadaan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. 13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu 30. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan atau Santunan yang Dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 47 H a l a m a n

49 kepada Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, mengatur antara lain: a. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. b. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi: 1) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); 2) Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); 3) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); 4) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); 5) Badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial. c. Wajib Pajak tertentu adalah: 1) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu. Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik. 2) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang sedang mengalami bencana alam. Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. 3) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tertimpa musibah. Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa. 48 H a l a m a n

50 D. Penghasilan dari Luar Indonesia Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang menjadi obejk pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Menurut (Mansury, 2002) penghasilan yang dikenakan pajak adalah world wide income, meliputi penghasilan yang didapat di manapun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia. Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor; atau 2. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp ,00. Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya. 49 H a l a m a n

51 Ketentuan lebih lanjut tentang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek. 50 H a l a m a n

52 PENGHASILAN KENA PAJAK BAB 4 Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mampu menguraikan tentang pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 2. Mampu menguraikan tentang pengeluaran/biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 3. Mampu menguraikan tentang kompensai kerugian fiskal. 4. Mampu menjelaskan tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 5. Mampu menguraikan tentang penyusutan dan amortisasi fiskal. 6. Mampu menguraikan tentang penilaian persediaan. 7. Mampu menguraikan tentang nilai perolehan harta dalam hal terjadi jual beli; tukar-menukar; pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha; penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan dan warisan; penyerahan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; dan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi). A. Pengurang Penghasilan Bruto Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: 1. Biaya yang secara langsung/tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha. 51 H a l a m a n

53 Biaya-biaya ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaranpengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaranpengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran 31 tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: a. Biaya pembelian bahan. b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang. Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. c. Bunga, sewa, dan royalti. 52 H a l a m a n

54 Bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham. d. Biaya perjalanan. e. Biaya pengolahan limbah. f. Premi asuransi. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. g. Biaya promosi dan penjualan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, mengatur antara lain: 1) Biaya Promosi 32 adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan. 2) Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah: a) Biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya. b) Biaya pameran produk. c) Biaya pengenalan produk baru. d) Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk. 3) Tidak termasuk Biaya Promosi adalah: a) Pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi. 53 H a l a m a n

55 4) Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan menelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final. 5) Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan. 6) Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif 33 atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan. Biaya Promosi dan Penjualan ditegaskan sebagai pengurang penghasilan bruto. Alasan Perubahan: Biaya promosi dan penjualan dapat muncul dalam berbagai bentuk dan bergantung pada jenis usaha WP sehingga perlu diatur secara khusus dalam PMK termasuk besaran biaya tersebut yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. h. Biaya administrasi. i. Pajak, kecuali Pajak Penghasilan. 1) Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya. 2) Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan 34 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut: a) Benar-benar telah dibayar; b) Berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 3) Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun 54 H a l a m a n

56 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. 2. Penyusutan 35. a. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. b. Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi. 3. Iuran kepada dana pensiun. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta. a. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. b. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 5. Kerugian selisih kurs mata uang asing. Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. 6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem 55 H a l a m a n

57 baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. 7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain. Beasiswa yang dapat dibiayakan diperluas meliputi pemberian beasiswa kepada bukan pegawai seperti pelajar dan mahasiswa tetapi tetap memperhatikan kewajarannya. Alasan Perubahan: Mendorong peran serta masyarakat (WP) untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih 36. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat: a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial 37 ; b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak 38 ; c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus 39 ; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Syarat pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil. Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi: 1) Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; 56 H a l a m a n

58 2) Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada: a) Penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/ Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (PERBANAS); b) Penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; c) Penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya. Penghapusan piutang tak tertagih Debitur Kecil. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan PMK-57/PMK.03/2010 mengatur antara lain: 1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp ,00, yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian: a) Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra) Yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS. b) Kredit Usaha Tani (KUT) Yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura. c) Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS) Yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS). d) Kredit Usaha Kecil (KUK) Yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil. 57 H a l a m a n

59 e) Kredit Usaha Rakyat (KUR) Yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK. f) Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. 2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp ,00. 3) Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pembayaran. 9. Sumbangan dalam hal tertentu. PP Nomor 93 Tahun 2010, mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas: 1) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional 40. Merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana 41 atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana; 2) Sumbangan dalam rangka penelitian 42 dan pengembangan 43. Merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan 44. 3) Sumbangan fasilitas pendidikan 45. Merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan 46. 4) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga. 58 H a l a m a n

60 Merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi 47 yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olahraga 48 ; 5) Biaya pembangunan infrastruktur sosial. Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba. Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana. Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi: - Sumbangan penanggulangan bencana nasional; - Sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; - Biaya pembangunan infrastruktur sosial; - Sumbangan fasilitas pendidikan; - Sumbangan pembinaan olahraga. Alasan Perubahan: Memberikan insentif atau dorongan kepada masyarakat (WP) agar secara langsung berperan serta dalam membantu penanggulangan korban bencana dan peningkatan kualitas hidup dan prestasi bangsa. b. Sumbangan dan/atau biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat: 1) Wajib Pajak mempunyai penghasilan netto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya. 2) Pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan. Contoh: PT Gunung Raya pada tahun 2009 mempunyai penghasilan netto fiskal sebesar Rp ,00. Pada tahun 2010 Wajib Pajak memberikan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga melalui lembaga pembinaan olahraga sebesar Rp ,00. Pada tahun 2010 Wajib Pajak mempunyai penghasilan netto fiskal sebesar Rp ,00. Wajib Pajak tidak diperkenankan mengurangkan sumbangan tersebut dari 59 H a l a m a n

61 penghasilan bruto tahun 2010 karena akan menyebabkan rugi sebesar Rp ,00. 3) Didukung oleh bukti yang sah. 4) Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Pajak Penghasilan. 5) Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 tahun dibatasi tidak melebihi 5% dari penghasilan netto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. Contoh: Penghasilan netto fiskal Wajib Pajak adalah Rp ,00 maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5% atau sebesar Rp ,00. Apabila Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp ,00 maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp ,00. 6) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang 49. 7) Biaya pembangunan infrastruktur sosial diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana 50. c. Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa 51. d. Nilai sumbangan dalam bentuk barang ditentukan berdasarkan: 1) Nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan. 2) Nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan. 3) Harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri. 60 H a l a m a n

62 B. Bukan Pengurang Penghasilan Bruto Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: 1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun. Seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. 3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan. Pada prinsipnya, pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak boleh dikurangkan sebagai biaya, kecuali untuk hal-hal tertentu. Pembentukan cadangan diperluas Alasan Perubahan: - Memberikan perlakuan yang sama bagi badan usaha yang menyalurkan kredit; - Mengakomodir pembentukan sistem jaminan sosial nasional dan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan; 61 H a l a m a n

63 - Mengakomodir kewajiban pencadangan yang harus dialokasikan oleh WP yang bergerak dalam bidang usaha pertambangan, kehutanan, dan pengolahan limbah industri. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, mengatur antara lain: a. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu: 1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang 52, meliputi: a) Cadangan piutang tak tertagih untuk: bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; b) Cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi: Koperasi simpan pinjam; PT Permodalan Nasional Madani (Persero); c) Cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (finance lease); 62 H a l a m a n

64 d) Cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran; e) Cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. 2) Cadangan untuk usaha asuransi, meliputi: a) Cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian. b) Cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa. 3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan Yaitu cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. 4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan. Yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. 5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan. Yaitu cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri. Yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan 63 H a l a m a n

65 penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri. b. Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. c. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian yang berasal dari piutang yang nyatanyata tidak dapat ditagih, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. d. Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian. 4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh WP OP. a. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh WP OP tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. b. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak. 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan hal tersebut, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan tertentu dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya: 64 H a l a m a n

66 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman bagi Seluruh Pegawai 53 serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, mengatur antara lain: 1. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah: a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan: 1) Pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja; 2) Pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya. b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu 54 dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Penggantian atau imbalan tersebut adalah sarana dan fasilitas 55 di lokasi kerja untuk: 1) Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; 2) Pelayanan kesehatan; 3) Pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; 4) Peribadatan; 5) Pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; 6) Olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri. 65 H a l a m a n

67 c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, yang meliputi meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya. 6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Contoh: Dhio Erlangga, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari PT Maju memberikan jasa kepada PT Maju dengan memperoleh imbalan sebesar Rp ,00. Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp ,00, jumlah sebesar Rp ,00 tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi Dhio Erlangga, jumlah sebesar Rp ,00 dimaksud dianggap sebagai dividen. 7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan. Pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya adalah: a. Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. b. Bantuan atau sumbangan. c. Warisan. Pengeluaran yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah: 66 H a l a m a n

68 a. Sumbangan tertentu Sumbangan tertentu yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah: 1) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional; 2) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; 3) Biaya pembangunan infrastuktur sosial; 4) Sumbangan fasilitas pendidikan; 5) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP Nomor 93 Tahun b. Zakat/Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. PP Nomor 60 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010, mengatur antara lain: 1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi: a) Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; b) Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. 2) Zakat atau sumbangan keagamaan tersebut dapat berupa uang atau yang disetarakan dengan uang 56. 3) Dalam hal zakat atau sumbangan keagamaan yang dibayarkan oleh: a) Wanita yang telah kawin yang pengenaan pajaknya berdasarkan penggabungan penghasilan netto suami isteri, dikurangkan dari penghasilan bruto suaminya. b) Wanita yang telah kawin yang: 67 H a l a m a n

69 Telah hidup berpisah dengan suaminya berdasarkan putusan hakim; Secara tertulis melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; Memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto wanita yang bersangkutan. c) Anak yang belum dewasa, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto orang tuanya. 8. Pajak Penghasilan. Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. 9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. 10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut. 11. Sanksi Perpajakan. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan. Selain itu, Pasal 13 PP Nomor 94 Tahun 2010 juga mengatur bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan 68 H a l a m a n

70 besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk: a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang: 1) Bukan merupakan objek pajak 57. 2) Pengenaan pajaknya bersifat final 58. 3) Dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto 59 dan Norma Penghitungan Khusus 60. Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan Norma Penghitungan Khusus, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan. C. Kompensasi Kerugian Fiskal Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan yang diperbolehkan didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun. Contoh: PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp ,00. Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut: Tahun Laba (Rugi) Fiskal 2010 Rp , (Rp ,00) 2012 Rp N I H I L 2013 Rp , Rp ,00 69 H a l a m a n

71 Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut: Rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Laba fiskal tahun 2010 Rp ,00 (+) Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Rugi fiskal tahun 2011 (Rp ,00) Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+) Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Laba fiskal tahun 2013 Rp ,00 (+) Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Laba fiskal tahun 2014 Rp ,00 (+) Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp ,00) Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp ,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp ,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun D. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 1. Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan nettonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa PTKP per tahun diberikan paling sedikit sebesar: Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Tambahan untuk seorang isteri (hanya seorang isteri) 61 yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 62, misal: Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yang belum dewasa. Bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas. Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 pemberi kerja. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah 63 dan keluarga semenda 64 dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya 65, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga. 70 H a l a m a n

72 3. Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Penghitungan besarnya PTKP ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak Feri Wahyudi berstatus kawin dengan tanggungan 1 orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 anak. 4. Contoh penerapan PTKP: Wajib Pajak Sam Yanuardi mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong PPh Pasal dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya 67, besarnya PTKP yang diberikan kepada Sam Yanuardi adalah sebesar: untuk diri WP OP Rp ,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp ,00 tambahan untuk 3 orang anak yang menjadi tanggungan sepenuhnya (3 x Rp ,00) Rp ,00 PTKP Rp ,00 5. Status PTKP. TK/ Tidak kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP. K/ Kawin ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP. K/I/ Kawin, isteri mempunyai penghasilan yang digabungkan dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP. PH/ Wajib Pajak kawin yang pisah harta dan penghasilan. HB/ Wajib Pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP. 6. PTKP bagi Suami Isteri yang telah Hidup Berpisah. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing suami isteri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang diperkenankan. 71 H a l a m a n

73 7. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan PTKP. E. Penyusutan Fiskal Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan (matching cost against revenue), pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undangundang Pajak Penghasilan. 1. Metode Penyusutan 68. a. Metode garis lurus (straight-line method) 1) Penyusutan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut. 2) Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. 3) Contoh penggunaan metode garis lurus: Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp ,00 dan masa manfaatnya 20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp ,00 (Rp ,00:20). b. Metode saldo menurun (declining balance method) 1) Penyusutan dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. 2) Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. 3) Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. 4) Contoh penggunaan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp ,00. Masa manfaat dari 72 H a l a m a n

74 mesin tersebut adalah 4 tahun dan disusutkan dengan metode saldo menurun, maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut: Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku Fiskal Harga Perolehan , % , , % , , % , , Disusutkan Sekaligus , Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud. Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Kelompok Harta Berwujud I. Bukan Bangunan 69 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen Saat Dimulai Penyusutan. Masa Manfaat 4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun 20 Tahun 10 Tahun Tarif Penyusutan Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun 25% 12,5% 6,25% 5% 5% 10% 50% 25% 12,5% 10% a. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut, sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Contoh 1: Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp ,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak H a l a m a n

75 Contoh 2: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp ,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 tahun dan disusutkan dengan metode saldo menurun, maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut. Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku Fiskal Harga Perolehan , /12 x 50% , , % , , % , , % , , Disusutkan Sekaligus ,00 0 b. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan 71. Contoh: PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun Keuntungan/Kerugian karena Pengalihan Harta 72. a. Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta 73 atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut. Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. 74 H a l a m a n

76 b. Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut. 5. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut. 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu, mengatur antara lain: a. Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu yang meliputi: 1) Bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun. 2) Bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun. 75 H a l a m a n

77 3) Bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 tahun dapat melakukan penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud 74 dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut (metode garis lurus/straight line method). b. Harta berwujud berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu: 1) Bidang usaha kehutanan meliputi tanaman kehutanan kayu; 2) Bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras; 3) Bidang usaha peternakan meliputi ternak termasuk ternak sapi pejantan. c. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dimulai pada bulan produksi komersial Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-55/PJ/2009 tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya atas Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan, mengatur antara lain: a. Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3. b. Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta berwujud bukan bangunan tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok 3, Wajib pajak harus mengajukan permohonan untuk penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar dan dilampiri: 1) Penjelasan terperinci mengenai aktiva; 2) Spesifikasi aktiva dari produsen; 3) Perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik; 76 H a l a m a n

78 4) Dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva. 8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan 76, mengatur antara lain: a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok 1. b. Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan. c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok 2. d. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan. e. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok 2. f. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan. 77 H a l a m a n

79 F. Amortisasi Fiskal 1. Metode Amortisasi Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun diamortisasi dengan metode: a. Metode Garis Lurus Amortisasi dilakukan dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat. b. Metode Saldo Menurun Amortisasi dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa bukul; Amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus. 2. Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Kelompok Harta Tak Berwujud Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Masa Manfaat 4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun Tarif Amortisasi Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun 25% 50% 12,5% 25% 6,25% 12,5% 5% 10% Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun. 78 H a l a m a n

80 3. Saat Mulai Amortisasi a. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata. b. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.03/2008, amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu yang meliputi: 1) Bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun. 2) Bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun. 3) Bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 tahun. dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi. 5. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. 6. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber 79 H a l a m a n

81 alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% setahun. Contoh: Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi ton kayu, sebesar Rp ,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai ton yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% dari pengeluaran atau Rp , Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. 8. Pengalihan Harta Tak Berwujud. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill), hak di bidang penambangan minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut 78. Contoh: PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp ,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai barel, PT X 80 H a l a m a n

82 menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp ,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut: Harga perolehan Rp ,00 Amortisasi yang telah dilakukan: / barel (50%) Rp ,00 Nilai buku harta Rp ,00 Harga jual harta Rp ,00 Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp ,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp ,00 dibukukan sebagai penghasilan. G. Penilaian Persediaan 79 Pasal 10 ayat (6) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa persediaan 80 dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan hanya boleh menggunakan 81 : 1. Metode Rata-Rata Penilaian persediaan dilakukan secara rata-rata. 2. Metode FIFO (first-in first-out ) Penilaian persediaan dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Contoh: 1. Persediaan Awal 100 Rp 9,00 2. Pembelian 100 Rp 12,00 3. Pembelian 100 Rp 11,25 4. Penjualan/dipakai 100 satuan 5. Penjualan/dipakai 100 satuan Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan menggunakan cara rata-rata. No Didapat Dipakai Sisa/Persediaan a. Rp 9,00 = Rp 900,- b. Rp12,00 = Rp1.200,- Rp10,50 = Rp2.100,- c. Rp11,25 = Rp1.125,- Rp10,75 = Rp3.225,- d. Rp10,75 = Rp1.075,- Rp10,75 = Rp2.150,- e. Rp10,75 = Rp1.075,- Rp10,75 = Rp1.075,- Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan FIFO. 81 H a l a m a n

83 No Didapat Dipakai Sisa/Persediaan a. Rp 9,00 = Rp 900,- b. Rp12,00 = Rp1.200,- Rp 9,00 = Rp 900,- Rp12,00 = Rp1.200,- c. Rp11,25 = Rp1.125,- Rp 9,00 = Rp 900,- Rp12,00 = Rp1.200,- Rp11,25 = Rp1.125,- d. Rp 9,00 = Rp 900,- Rp12,00 = Rp1.200,- Rp11,25 = Rp1.125,- e. Rp12,00 = Rp1.200,- Rp11,25 = Rp1.125,- H. Nilai Perolehan Harta 1. Jual Beli Harta Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa 82 adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima. Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan. Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima. 2. Tukar-Menukar Harta Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, 82 H a l a m a n

84 nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Contoh: PT A (Harta X) PT B (Harta Y) Nilai Sisa Buku Rp ,00 Rp ,00 Harga Pasar Rp ,00 Rp ,00 Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp ,00, maka jumlah sebesar Rp ,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00). 3. Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Contoh: PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut: PT A PT B Nilai Sisa Buku Rp ,00 Rp ,00 Harga Pasar Rp ,00 Rp ,00 Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan 83 H a l a m a n

85 demikian, PT A mendapat keuntungan sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp ,00 (Rp ,00 + Rp ,00). Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, misalnya atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp ,00 (Rp ,00 + Rp ,00). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha, mengatur antara lain: a. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku. b. Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha. c. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil. d. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru. e. Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah: 4) Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau 5) Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering). f. Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta 84 H a l a m a n

86 dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama. g. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha; 2) Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; 3) Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test). h. Wajib Pajak yang melakukan Merger dengan menggunakan nilai buku tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/wajib Pajak yang dilebur. i. Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan. j. Penyusutan atas harta yang diterima dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihakpihak yang mengalihkan. 4. Penyerahan Harta karena Hibah, Bantuan, Sumbangan dan Warisan Pasal 10 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa apabila terjadi pengalihan harta: a. Yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undangundang Pajak Penghasilan atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan 85 H a l a m a n

87 sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut. 5. Penyerahan Harta sebagai Pengganti Saham atau Penyertaan Modal Pasal 10 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c Undang-undang Pajak Penghaslan, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut. Penyerahan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta. Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut. Contoh: Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp ,00 kepada PT. Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp ,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp ,00. Dalam hal ini PT. Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp ,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT. Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00) merupakan Objek Pajak. 6. Penilaian Kembali Aktiva Tetap (Revaluasi) Pasal 19 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga. 86 H a l a m a n

88 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, mengatur antara lain: - Yang dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali. - Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap: 1) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; 2) Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. - Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir dilakukan. - Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali; 2) Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut; 3) Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. 87 H a l a m a n

89 - Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan. 2) Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan. 3) Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut. - Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan H a l a m a n

90 BAB CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN 5 Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mampu menjelaskan tentang cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. 2. Mampu menjelaskan tentang arm s length transaction dan hubungan istimewa dalam penghitungan Pajak Penghasilan. 3. Mampu menguraikan tentang kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. 4. Mampu menguraikan tentang tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. 5. Mampu menguraikan tentang Kredit Pajak Penghasilan yang dipotong/dipungut oleh pihak lain yang meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal Mampu menguraikan tentang Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN). 7. Mampu menguraikan tentang angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. 8. Mampu menguraikan tentang PPh Pasal Mampu menguraikan tentang penghitungan pajak pada akhir tahun. Penghasilan Kena Pajak (PhKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu: 1. Wajib Pajak dalam negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu: a. Penghitungan dengan cara biasa Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut: Peredaran bruto Rp ,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp ,00 (-) Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp ,00 89 H a l a m a n

91 Penghasilan lainnya Rp ,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut Rp ,00 (-) Rp ,00 (+) Jumlah seluruh penghasilan netto Rp ,00 Kompensasi kerugian Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan) Rp ,00 Pengurangan berupa PTKP untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp ,00 b. Penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan 85. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan contoh sebagai berikut: Peredaran bruto Rp ,00 Penghasilan netto (menurut Norma Penghitungan) misal: 20% Rp ,00 Penghasilan netto lainnya Rp ,00 (+) Jumlah seluruh penghasilan netto Rp ,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus 86, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2. Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara: a. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa. Peredaran bruto Rp ,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp ,00 (-) Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp ,00 Penghasilan Bunga Rp ,00 Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat Rp ,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan Rp ,00 (-) Rp ,00 90 H a l a m a n

92 memelihara penghasilan lainnya tersebut Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap Rp ,00 (+) Rp ,00 Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) UU PPh Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 b. Wajib Pajak luar negeri lainnya. A. Arm s Length Transaction dan Hubungan Istimewa Menurut (Gunadi, 2003) untuk keperluan pajak, kondisi yang mendasari transaksi itu harus wajar (at arm s length base). Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk penghitungan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali penghasilan atau pengurangan (menurut pembukuan) apabila transaksi antar [Wajib Pajak] itu menyimpang dari harga wajar atau kelaziman bisnis. Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dianggap ada apabila: 1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. Misalnya, PT A mempunyai 50% saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan. 2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. 91 H a l a m a n

93 Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. 3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Yang dimaksud dengan "hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat" adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan "hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah saudara. Yang dimaksud dengan "keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat" adalah mertua dan anak tiri, sedangkan "hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah ipar. B. Pembukuan dan Pencatatan Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan 1. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan 92 H a l a m a n

94 penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang KUP, yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah: a. Wajib Pajak Badan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap (BUT) diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto dalam 1 tahun lebih dari Rp ,00 87 wajib menyelenggarakan pembukuan. 2. Yang Wajib Melakukan Pencatatan Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Pasal 28 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah: a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp ,00. Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp ,00 boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. 93 H a l a m a n

95 b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek Pajak Penghasilan, penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. 3. Norma Penghitungan Penghasilan Netto Pasal 14 Undang-undang Pajak Penghasilan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak yang Dapat Menghitung Penghasilan Netto dengan Menggunakan Norma Penghitungan, mengatur antara lain: a. Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan netto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal: 1) Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap 88 ; 2) Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. b. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp ,00 boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan tersebut dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. 94 H a l a m a n

96 c. Wajib Pajak yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto wajib menyelenggarakan pencatatan 89 sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. d. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi: 1) Tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; 2) Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau buktibukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan netto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Contoh pemakaian Norma Penghitungan Penghasilan Netto Brian Prasetya kawin dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Peredaran Usaha Industri Rotan (setahun) di Cirebon Rp ,00 Penerimaan Bruto Dokter (setahun) di Jakarta Rp ,00 Penghasilan Netto dihitung sebagai berikut: a. Dari industri rotan: 12,5% x Rp ,00 Rp ,00 b. Sebagai dokter : Rp ,00 45% x Rp ,00 Jumlah Penghasilan Netto Rp ,00 PTKP (K/3) Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh yang terutang : 5% x Rp ,00 Rp ,00 Catatan: a. Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode b. Angka 45% sebagai dokter, lihat kode H a l a m a n

97 c. Istri tidak punya penghasilan 4. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan a. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya; b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan; c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan: 1) Stelsel pengakuan penghasilan. a) Stelsel Akrual Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estate. b) Stelsel Kas Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya 96 H a l a m a n

98 apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut: Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeilian dan persediaan. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran. 2) Tahun buku. Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender, kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan 97 H a l a m a n

99 menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 bulan pertama atau lebih. Contoh: a) Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak b) Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak ) Metode penilaian persediaan. 4) Metode penyusutan dan amortisasi. d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu. Contoh: Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus (straight line method). Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun (declining balance method), Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang 98 H a l a m a n

100 diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut. Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak. e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengaturan ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. f. Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain. g. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak badan. Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan 99 H a l a m a n

101 mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan. 5. Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, mengatur antara lain: a. Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu Bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, meliputi: 1) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing; 2) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi; 3) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan PerUndang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi; 4) Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undangundang Pajak Penghasilan atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait; 5) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri; 100 H a l a m a n

102 6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal; 7) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan. b. Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai berikut: 1) Pada awal tahun buku: Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs: a) untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut; b) Untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf a) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut. c) untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas; d) apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi; 101 H a l a m a n

103 e) untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas; f) untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi; g) dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), huruf c), huruf d), dan huruf e) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan. 2) Dalam tahun berjalan: a) Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan; b) Untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai berikut : Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut; Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas. c. Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran 102 H a l a m a n

104 berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat. d. Dalam hal terdapat bukti pembayaran atau pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah yang akan dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, harus dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran atau pemotongan/pemungutan pajak tersebut. e. Sisa kerugian fiskal dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan ke Tahun Pajak dimulainya pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada akhir tahun buku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi. C. Tarif Pajak Penghasilan 1. Tarif PPh Orang Pribadi (PPh OP) Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan PPh mengatur bahwa tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak s.d. Rp ,00 5% di atas Rp ,00 s.d. Rp ,00 15% di atas Rp ,00 s.d. Rp ,00 25% di atas Rp ,00 30% Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp ,00. Pajak Penghasilan yang terutang: 5% x Rp ,00 = Rp ,00 15% x Rp ,00 = Rp ,00 25% x Rp ,00 = Rp ,00 30% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Rp , H a l a m a n

105 2. Tarif PPh Badan a. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah: Tahun Pajak Tarif Pajak Tahun Pajak % Sejak Tahun Pajak % b. PENURUNAN TARIF: Tarif Pasal 17 ayat (2b) Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (2b) Undang-undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 PP Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka mengatur bahwa penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% lebih rendah diberikan apabila: a) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka 90 ; b) Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; c) Jumlah kepemilikan saham publiknya 40% atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 Pihak 91 ; d) Masing-masing Pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor; e) Ketentuan tersebut harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak; Penurunan tarif ini dimaksudkan untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka dan kepemilikan publik pada perseroan terbuka. Undang-undang Pajak Penghasilan: - Tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak Mulai tahun 2010 diturunkan menjadi 25%. Alasan Perubahan: 104 H a l a m a n

106 Tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam pengenaan pajak atas WP badan. Tarif diturunkan secara bertahap untuk meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain dalam menarik investasi luar negeri. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka, memberikan contoh sebagai berikut: f) Contoh kondisi yang memenuhi kriteria: a) Contoh 1 Dari keseluruhan saham PT. Y Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar 60%. Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Diantara 400 pihak, terdapat 1 pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%, sisanya 399 pihak hanya memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5%. Kondisi tersebut terjadi selama 234 hari dalam 1 tahun pajak. PT. Y Tbk. tetap memenuhi ketentuan persentase kepemilikan kurang dari 5%, sehingga tetap memperoleh fasilitas penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% lebih rendah. b) Contoh 2 Dari keseluruhan saham PT. Z Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar 45%. Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 399 pihak. Persentase kepemilikan para pihak yang paling tinggi sebesar 4,99%. Kondisi tersebut terjadi selama 183 hari dalam 1 tahun pajak. Dengan demikian PT. Z Tbk. memenuhi ketentuan sehingga memperoleh fasilitas penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% lebih rendah. g) Contoh kondisi yang tidak memenuhi kriteria: Dari keseluruhan saham PT. XYZ Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar 45%. Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 325 pihak. Diantara 325 pihak, terdapat 1 pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%, sisanya 324 pihak hanya memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5%. Kondisi tersebut 105 H a l a m a n

107 terjadi selama 200 hari kalender dalam 1 tahun pajak. PT. XYZ Tbk, tidak memenuhi ketentuan jumlah kepemilikan saham publik 40% (hanya 38%), sehingga tidak dapat memperoleh fasilitas penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% lebih rendah. c. Pengurangan Tarif: Tarif Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp ,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp ,00. Tarif Pasal 31E: Insentif ini diberikan untuk mendukung program Pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM. Mengurangi beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh badan. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-66/PJ/2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa: 1) Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. 2) Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp ,00 adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan. 106 H a l a m a n

108 3) Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi : a) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final; b) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; c) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. 4) Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto tidak melebihi Rp ,00, tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan. Contoh Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan: a) Contoh 1 Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp ,00 dengan Penghasilan Kena Pajak (PhKP) sebesar Rp ,00. Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh PhKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp ,00. Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp ,00 = Rp ,00 b) Contoh 2 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp ,00 dengan PhKP sebesar Rp ,00. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang: 107 H a l a m a n

109 3) Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: 4) Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp ,00 Rp ,00 = Rp ,00 Pajak Penghasilan yang terutang: 5) (50% x 28%) x Rp ,00 = Rp ,00 6) 28% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp ,00 D. Kredit Pajak PPh Gambar 5: Skema Kredit Pajak Penghasilan Pasal 1 angka 22 Undang-undang KUP menyatakan bahwa Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang 108 H a l a m a n

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN. .Pengertian Penghasilan.

OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN. .Pengertian Penghasilan. OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN.Pengertian Penghasilan. Rumusan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam Psl 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008. yang berbunyi : Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yang termasuk subjek pajak Orang pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

No Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu ke

No Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4893 KEUANGAN NEGARA. Pajak. Penghasilan. Perubahan.(Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi : Account Representative Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

Pengantar. Pernyataan File ini bebas disebarluarkan oleh siapapun dengan cuma-cuma.

Pengantar. Pernyataan File ini bebas disebarluarkan oleh siapapun dengan cuma-cuma. Pengantar Susunan Undang-undang Pajak Penghasilan satu naskah disusun karena seringkali orang bertanya susunan suatu undang-undang yang sudah banyak mengalami perubahan. Contoh pertama, di Undang-undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN..

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN I. UMUM 1. Peraturan Perundang-undangan perpajakan

Lebih terperinci

22/06/2013. Materi Kuliah SUBJEK PAJAK. Definisi Subjek Pajak. Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008)

22/06/2013. Materi Kuliah SUBJEK PAJAK. Definisi Subjek Pajak. Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008) Materi Kuliah SUBJEK PAJAK Definisi Subjek Pajak Subjek pajak adalah orang/pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008) Orang Pribadi Warisan

Lebih terperinci

- 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1

- 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN I. UMUM 1. Peraturan perundang-undangan perpajakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak dalam pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PAJAK 1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Sommerfeld, Anderson, dan Brok dalam Zain (2003:11) berikut ini. Pajak adalah pengalihan sumber dari sektor

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 LandasanTeori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) 5 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1. Pengertian Pajak Penghasilan Di Indonesia, pajak atas penghasilan sudah dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu. Dimulai dari dikenalkannya Paten Recht

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB PAJAK PENGHASILAN Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB 1 PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pasal 1 A D A L A H PAJAK YANG DIKENAKAN TERHADAP SUBJEK PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEHNYA DALAM TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) Kita telah memasuki masa milenium dan akan memasuki perdagangan bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Koperasi 1. Definisi Koperasi a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: Koperasi adalah badan usaha

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum

Lebih terperinci

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Penghitungan PPh diakhir tahun bagi WP Badan didasarkan atas LK Fiskal (Laba Rugi Fiskal) Laba rugi fiskal disusun berdasarkan Laba Rugi Komersial yang telah disesuaikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Mardiasmo (2013:1) Pajak adalah iuran rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan penerimaan negara yang paling utama, untuk itu pajak merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUMAS 2011 KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1. Aturan Perbankan II.1.1. Pengertian Bank Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah: Bank adalah bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUMAS 2011 KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Dari pemahaman inilah diharapkan muncul kesadaran

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA 1 BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA Definisi Bendahara Istilah bendahara secara umum dikenal sebagai orang yang memegang uang baik di perusahaan swasta, sebuah organisasi, maupun di instansi-instansi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan I. PEMOHON Supriyono. II. OBJEK PERMOHONAN Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM. Amanita Novi Yushita, M.Si

PAJAK PENGHASILAN UMUM. Amanita Novi Yushita, M.Si PAJAK PENGHASILAN UMUM 1 Yang menjadi Subjek Pajak: 1. Orang Pribadi dan Warisan yang belum terbagi 2. Badan, terdiri dari PT,CV,perseroan lainnya,bumn/bumd 3. BUT (bentuk Usaha Tetap) 2 Subjek Pajak dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT

Konsep Dasar Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT Modul 1 Konsep Dasar Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT Drs. H. Bambang Hermanto, M.Si. Mas Rasmini, S.E., M.Si. D PENDAHULUAN alam Modul 1 ini, akan dibahas mengenai konsep dasar pajak penghasilan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi BAB II LANDASAN TEORI II.1. Definisi Pajak Pengertian pajak menurut Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak. BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak Salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial untuk membiayai pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2013: 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak II.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Soemitro. R yang dikutip oleh Mardiasmo (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) secara sederhana adalah suatu cara kerja yang langsung dapat membimbing kita kedalam dunia

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan (PPh) Umum

Pajak Penghasilan (PPh) Umum Modul 1 Pajak Penghasilan (PPh) Umum Dr. H. Heru Tjaraka, Drs. Ak, BKP, M.Si. M PENDAHULUAN odul ini berisi uraian tentang pengertian Pajak Penghasilan dan berbagai metode penghitungan pajak penghasilan.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Joanna Junaedi (2010) dengan judul Analisis Rekonsiliasi Fiskal Atas

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Joanna Junaedi (2010) dengan judul Analisis Rekonsiliasi Fiskal Atas BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu 1. Joanna Junaedi (2010) dengan judul Analisis Rekonsiliasi Fiskal Atas Laporan Laba Rugi Komersial Dalam Penentuan PPh Terhutang Pada PT. Mutiara Intrareksa

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pajak menurut UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) Maupun keuntungan ( gain ). Definisi penghasilan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu wujud nyata serta partisipasi masyarakat dalam rangka ikut membiayai pembangunan nasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam upaya untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

A. Pengertian Laporan Keuangan

A. Pengertian Laporan Keuangan BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan adalah kesimpulan dari hasil pencatatan yang disusun secara sistematis berdasarkan standar akuntansi yang di terima umum dan menggambarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG Pajak Terutang = Tarif PPh X Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak ====> Penghasilan Netto Penghasilan Netto = Penghasilan - Biaya Perhitungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak 2.1.1 Menurut Para Ahli a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak Pajak merupakan salah satu pungutan negara terhadap rakyatnya. Pada hakekatnya, pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta Wajib

Lebih terperinci

Perpustakaan LAFAI

Perpustakaan LAFAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pengertian Umum Perpajakan Ketentuan umum dan tata cara perpajakan diatur dalam undang-undang No. 6 tahun 1983 yang telah di ubah dengan undang-undang No.9 tahun 1994 dan terakhir

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional : 3 PAJAK PENGHASILAN Tujuan Instruksional : A. Umum Mahasiswa diharapkan mendapatkan pemahaman tentang pajak penghasilan secara umum B. Khusus o Mahasiswa mengetahui subjek pajak dan bukan subjek pajak.

Lebih terperinci

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 A. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa dan penghasilan lain atas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Penghasilan II.1.1 Dasar Pengenaan Pajak dan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Wajib Pajak dalam negeri,dan Badan Usaha Tetap (BUT)

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pajak a) Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

Repositori STIE Ekuitas

Repositori STIE Ekuitas Repositori STIE Ekuitas STIE Ekuitas Repository Final Assignment - Diploma 3 (D3) http://repository.ekuitas.ac.id Final Assignment of Accounting 2015-12-22 Tinjauan Atas Penerapan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

LAMPIRAN - I. SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

LAMPIRAN - I. SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PERHATIAN HALAMAN - I LAMPIRAN - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN NPWP NAMA WAJIB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pajak 2.1.1.1. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perpajakan 2.1.1 Definisi Pajak Dilihat dari sisi perusahaan PT. Bank BNI, pajak merupakan salah satu kewajiban bank untuk ikut membangun negara dimana terdapat kontribusi

Lebih terperinci

BAB III PAJAK PENGHASILAN

BAB III PAJAK PENGHASILAN BAB III PAJAK PENGHASILAN A. Nomor Topik : 03 B. Judul : Pajak Penghasilan C. Jam/Minggu : 4 jam D. Tujuan : Memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar mahasiswa mengetahui subyek, obyek pajak, jenis pajak

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pengertian Pajak Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus berkesinambungan yang

Lebih terperinci

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Berbagi informasi terkini bersama teman-teman Anda Jakarta Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun

Lebih terperinci