BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 ternyata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 ternyata"

Transkripsi

1 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 ternyata membawa dampak yang begitu besar bagi perekonomian nasional, terutama dalam perkembangan dunia usaha. Ditambah lagi dengan adanya suksesi yang bergejolak menambah ketidakstabilan politik dan ekonomi dalam negeri. Di sektor ekonomi, hal ini mengakibatkan kekhawatiran bagi para pelaku usaha dan membuat para pelaku usaha semakin sulit menjalankan usahanya. Ini berdampak pada perekonomian negara semakin tidak stabil. Keadaan ini mengakibatkan para pelaku usaha yang biasanya juga bertindak sebagai debitor menjadi terhambat melaksanakan kewajibanya kepada kreditor dalam hal pembayaran utang yang telah jatuh tempo. Salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditor adalah dengan melakukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Selanjutnya, tentunya debitor yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut dapat dinyatakan pailit oleh vonis hakim Pengadilan Niaga baik melalui permohonan kreditornya. Jika vonis tersebut di jatuhkan kepada debitor, maka secara yuridis debitor itu disebut dengan dalam keadaan pailit dan akan membawa pada akibat-

2 14 akibat hukum tertentu. Baik yang secara berlaku demi hukum (by the operation of law) dan yang berlaku secara Rule of Reason, maksudnya bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu dan mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan 1. Setelah adanya putusan pailit oleh vonis Hakim Pengadilan Niaga itu, maka menjadikan debitur tersebut Kehilangan Hak Mengurus atas hartanya. Tanggung jawab dalam pengelolaan harta debitor yang dinyatakan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam rangka pemberesan harta pailit tersebut beralih kepada kurator 2. Pada prinsipnya kepailitan adalah sita umum terhadap harta debitor pailit yang didapatkan dan/atau berasal dari harta si debitor (boedel pailit) dan mencakup keseluruhan kekayaan debitor termasuk yang akan ada pada hari kemudian 3. Pada saat debitur dinyatakan pailit oleh kreditor melalui Putusan Hakim pengadilan Niaga, tentu saja debitor tidak dapat mengelola kembali seluruh harta kekayaannya, tetapi wewenang tersebut kemudian menjadi tugas dari seorang kurator. Namun pada prakteknya, tak jarang dijumpai ada pula kurator yang bertindak tidak sesuai dengan Undang-Undang, 1 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU No.37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke- III, 2005, hlm Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Rajawali Pers, Jakarta 2004, hlm Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3 15 sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Baik pihak kreditor maupun bagi pihak debitor. Seharusnya dengan adanya lembaga kepailitan, pihak debitor maupun pihak kreditor sama-sama memperoleh perlindungan dan kepastian hukum. Bagi pihak debitor agar tidak mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari kreditornya dan mendapat keamanan pada saat kurator mengelola dan menjual asetnya yang akan dipakai untuk pemenuhan pembayaran utangnya di kemudian hari. Sedangkan bagi pihak kreditor agar ia mendapat kepastian pembayaran utang dari debitornya. Secara umum, peran kurator dalam kepailitan sudah diatur mulai Pasal 69 hingga Pasal 78, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kurator dalam ketentuan tersebut adalah Balai Harta Peninggalan (BHP), atau Kurator lainnya (swasta perseorangan) yang oleh Pengadilan ditunjuk dan/atau diangkat untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas 4. 4 Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4 16 Selain itu juga dikenal adanya istilah kurator sementara (interim receiver). Tugas, waktu dan wewenang kurator sementara ini, lebih terbatas dari kurator tetap, yaitu pada tenggang waktu sejak permohonan dalam proses pemeriksaan Pengadilan Niaga hingga adanya putusan hakim niaga atas permohonan pailit yang diajukan oleh setiap kreditor 5. Dalam tenggang waktu tersebut, kreditor dapat mengajukan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh harta debitor dan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga untuk menunjuk kurator sementara, untuk mengurus dan mengawasi segala tindakan debitor terhadap hartanya dan/atau usahanya. Pada tahap ini, sifat kurator hanya pada fungsi pengawasan saja. Yaitu pada pengawasan terhadap pengelolaan usaha debitor, pembayaran kepada kreditor, pengalihan harta debitor, dan penjaminan harta debitor 6. Tugas kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, tidak hanya bertindak untuk kepentingan para kreditor semata dalam rangka pemberesan utang yang diambil dari harta pailit debitor. Selain itu, kurator juga harus memperhatikan kepentingan debitor yang pailit 7. Sebagaimana tugas kurator yang paling fundamental yang diatur 5 op.cit., hlm Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU No.37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke- III, 2005, hlm Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Rajawali Pers, Jakarta 2004, hlm

5 17 dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 8. Dalam mengelola harta debitor yang dinyatakan pailit oleh hakim Pengadilan Niaga, ada kalanya kurator melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan harta pailit (boedel pailit) menjadi turun nilainya. Maka hal ini dapat dianggap merugikan pihak kreditor maupun debitor. Seperti misalnya kasus yang terjadi antara tahun 2000 hingga 2002 lalu, yang ketika itu ketentuan yang mengatur tentang kepailitan masih menggunakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan. Perkara kepailitan antara PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT.DSS), dan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT.AJMI). PT. Dharmala Sakti Sejahera (PT.DSS) adalah perusahaan yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta pada 6 Juni Sebagai kuratornya lalu ditunjuklah Paul Sukran. Guna mengumpulkan harta debitor pailit, lantas kurator PT. DSS melalui kuasa hukumnya sdr. Febry Firmansyah memohonkan pailit PT. AJMI ke Pengadilan Niaga. Langkah itu ditempuh oleh kurator PT. DSS oleh karena PT. AJMI tidak mau membayarkan tagihan dividen beserta bunganya yang sudah 8 Pasal 69 Ayat (1) dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

6 18 jatuh tempo, tahun 1999 dan 2000 yang diperkirakan senilai 164,8 Miliar Rupiah. PT. DSS menguasai 40% saham PT. AJMI. Gugatan permohonan pailit itu dikabulkan, dan PT. AJMI dinyatakan pailit oleh vonis hakim Pengadilan Niaga. Sebagai kuratornya ditunjuklah Kalisutan. Pihak PT. AJMI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan kasasi PT. AJMI terhadap putusan pailit dari Pengadilan Niaga. Akhirnya, perusahaan asuransi tersebut tidak jadi pailit dan dapat beroperasi kembali seperti biasa. Dari sepenggal kronologis kasus kepalitan diatas, ternyata ada beberapa tindakan kurator dalam proses kepailitan tersebut yang melanggar beberapa ketentuan-ketentuan Undang-Undang Kepailitan. Terutama yang menyangkut pasal-pasal tentang tugas, wewenang, dan kewajiban kurator. Yang pertama dari kurator PT. DSS, Paul Sukran. Kurator tersebut ditenggarai telah melakukan beberapa tindakan yang menyebabkan harta pailit debitor mengalami penurunan serta melakukan beberapa tindakan yang seharusnya dengan seizin Hakim Pengawas. Yaitu ketika kurator PT. DSS memohonkan pailit terhadap PT. AJMI ke Pengadilan Niaga, namun hal tersebut dilakukan tanpa terlebih dulu seizin Hakim Pengawas.

7 19 Hal-hal yang menyebabkan penurunan nilai harta pailit, antara lain: Penjualan saham-saham di PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk., PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk., dan PT BBL Dharmala Tbk. pada Terhadap saham-saham itu, Paul menjualnya dengan harga yang sangat murah. Untuk penjualan saham Maskapai Reasuransi Indonesia, Paul Sukran menjual selembar saham perusahaan itu seharga Rp 103,85. Total jenderal harga 59 juta lembar keseluruhan saham itu Rp 6,2 miliar. Padahal harga saham perusahaan itu setelah setahun dijual mencapai Rp 273,08 per lembar. Lalu, saham BBL dihargai Rp 14,6 miliar. Setahun kemudian nilai saham BBL sudah melambung lebih dari Rp 100 miliar. Di Maskapai Reasuransi Indonesia, nilai dividen yang hilang tercatat Rp 5,6 miliar. Di Asuransi Bina Dana Arta sebanyak Rp 671,75 juta. Bahkan menurut salah seorang kreditor, kurator setelah mendapat Rp3,6 miliar hasil pembayaran deviden dari PT. AJMI belum juga membagikan kepada kreditor PT. DSS dan memerintahkan pencabutan permohonan pailit terhadap AJMI yang ketika itu sudah dalam proses banding di tingkat kasasi. Kasus bergulir ketika Manulife Canada yang berminat membeli 40% saham PT Asuransi Jiwa Manulife (PT. AJMI) yang juga merupakan anak perusahaan PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) itu. Terhadap

8 20 rencana penjualan itu terdapat indikasi adanya kepentingan tertentu yang bertentangan dengan profesionalisme seorang kurator. Dalam berita acaranya kurator merasa keberatan jika penjualan dilakukan tertutup dan ditawarkan hanya kepada satu pihak saja, tetapi kurator malah mengusulkan agar penjualan saham PT. AJMI di PT. DSS dilakukan secara tender terbuka untuk umum. Dalam hal ini dapat dilihat profesionalisme seorang kurator yang sebenarnya, untuk apa kurator melakukan upaya untuk meninggikan harga penjualan saham atau menghambat penjualan aset DSS itu sendiri. Seharusnya, sebagaimana tugas kurator yang telah diatur dalam Undang- Undang Kepailitan, kurator tidak perlu menghambat penjualan asset DSS dengan cara meninggikan harga penjualan saham, karena secara fakta asset DSS dinilai sebesar 160 milyar rupiah saja. Akan tetapi, yang perlu diupayakan agar asset terjual sehingga debitor dapat segera memenuhi kewajibannya membayar hutang kepada kreditor dan kreditor itu sendiri memperoleh pemenuhan pembayaran. Selain itu, kurator juga mengumumkan pernyataan pailit di media massa (Media Indonesia dan Jawa Post) yang isinya bukan merupakan pengumuman pailit sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan 9. Melainkan diindikasikan menghasut masyarakat sehingga dapat menimbulkan kekhawatiran, ketakutan yang akhirnya menimbulkan 9 Pasal 13 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan.

9 21 rush (penarikan besar-besaran), dan dapat dikatakan hendak merusak citra bisnis PT. AJMI. Selain itu, pengumuman tersebut dikeluarkan sebelum Hakim Pengawas mengeluarkan Penetapan atau vonis. Jadi pengumuman yang dikeluarkan oleh kurator ini, selain isi pengumuman yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan juga keluarnya pengumuman ini terjadi sebelum adanya vonis hakim Pengadilan Niaga (inkracht). Dari tindakan yang dilakukan kurator PT. DSS tersebut dapat mengakibatkan budel pailit menjadi tidak bertambah bahkan turun. Tindakan semacam ini tentu saja bertentangan dengan tugas kurator sebagaimana dalam Pasal 15 Undang-Undang No37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, pernah terjadi juga kasus kepailitan PT. DWIMA MANUNGGAL RAKSA WOOD INDUSTRIES (selanjutnya disebut PT. DMR), dimana kurator PT. DMR tersebut melakukan pengumpulan budel pailit dengan cara m itkan aset yang berasal dari penjaminan perusahaan. Dalam kasus yang terjadi pada sekitar tahun 2004 itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menjatuhkan Putusan Pailit kepada PT. DMR. Maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kurator segera mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam rangka

10 22 melakukan permberesan harta pailit. Dalam prosesnya, kurator tersebut menemukan beberapa bukti tentang adanya corporate guarantor yang menjamin PT. DMR yang telah dalam keadaan pailit. Selanjutnya, kurator mengambil langkah mengajukan permohonan pailit terhadap PT. DMR dengan dasar dan dalih dalam rangka mengumpulkan serta mengamankan harta pailit. Permohonan penuntutan pailit yang dilakukan kurator PT. DMR terhadap penjamin yang diantaranya PT. DWIMA JAYA UTAMA, PT. KAJU WADJA, PT. HUTAN MULYA, dengan mendasarkan pada bukti sebuah Akta Penjaminan (Borgtocht) yang dibuat antara PT. DMR dengan keempat perusahaan penjaminnya itu terhadap pihak ketiga, yaitu Bank. Bertitik tolak dari beberapa uraian dan contoh kasus kepailitan yang berhubungan dengan tindakan kurator dalam mengelola harta pailit, ternyata terdapat tindakan kurator yang telah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun tidak dapat memaksimalkan pengumpulan harta pailit. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah tanggung jawab kurator dalam mengelola harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit?

11 23 2. Dapatkah kurator dikenakan sanksi dalam hal melakukan kewajibannya membereskan harta pailit namun tidak dapat memaksimalkan harta pailit? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tanggung jawab kurator dalam mengelola harta kekayaan debitor yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. 2. Untuk mengetahui akibat hukum apakah yang timbul dari tindakan kurator yang menyimpang ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. D. Tinjauan Pustaka Di dalam praktik hukum, biasanya seorang yang berhutang (debitur) lalai memenuhi kewajibannya (prestasinya), bukan disebabkan oleh keadaan memaksa (overmach) tetapi keadaan yang demikian disebut dengan ingkar janji (wanprestasi). Dalam dunia perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar hutangnya kepada kreditor (disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka telah disiapkan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan

12 24 persoalan tersebut yaitu yang dikenal dengan lembaga kepailitan dan penundaan pembayaran 10. Ada dua asas pokok berkaitan dengan kepailitan yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata yang menetapkan; semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada maupun yang akan diperolehnya, menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan perorangannya. Selanjutnya, dalam Pasal 1132 KUHPerdata menentukan, bahwa benda yang dimaksud dijadikan sebagai jaminan bagi para krediturnya bersama-sama, dan hasil dari penjualan atas benda-benda tersebut dibagikan secara seimbang, menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali jika para piutang mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dasar hukum yang mengatur tentang kepailitan di Indonesia saat ini, yaitu diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan selanjutnya untuk memudahkan dalam penulisan disebut Undang-Undang Kepailitan, yang diamandemen menjadi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. 10 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan kedua, Juli 2002, hlm 25.

13 25 Pengertian dasar pailit itu sendiri, dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor (yang berutang) yang berhenti membayar (tidak membayar) utang-utangnya. Hal ini tercermin didalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, yang menyebutkan 11 : Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dalam penjatuhan keputusan pailit tersebut, hakim Pengadilan Niaga haruslah bertindak sesuai dengan dasar hukum yang ada, dimana secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu dengan syarat; debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mampu membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat ditagih. Bila syarat itu telah terpenuhi, maka hakim menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit. Maka dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan judgement yang luas seperti pada kasus selain pada kasus kepailitan, meskipun limited defence masih dibenarkan dalam hal ini. Mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian sumir Ibid, hlm Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ketiga, 2005, hlm 9.

14 26 Sebelum pernyataan pailit, pada dasarnya hak-hak debitor untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka menjalankan usahanya dengan (kekayaan) hartanya, sudah barang tentu harus dihormati. Selama itu tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang menyangkut kewajiban debitor terhadap kreditor yang ada. Tetapi, yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa dalam menjalankan hak-hak yang menjadi kewenangannya itu debitor diawasi oleh kurator sementara yang diangkat oleh pengadilan 13. Namun hal ini menjadi lain ketika pengadilan (hakim Pengadilan Niaga) mengucapkan putusan pailit dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur. Bahwa hak dan kewajiban si pailit (debitur) pun beralih kepada kurator untuk mengelola, mengurus dan menguasai harta boedelnya 14. Meski begitu, debitor atau si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaanya, namun hanya sebatas jika tindakan itu membawa keuntungan/menambah manfaat atau jumlah bagi boedelnya. Dalam rangka memenuhi kewajiban melunasi hutangnya 15. Amat sangat logis, mengingat bahwa pokok dari penyelesaian kepailitan ini menitik beratkan pada pengembalian harta kreditor. 13 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Rajawali Pers, Jakarta 2004, hlm Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 15 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

15 27 Putusan pernyataan pailit terhadap debitor membawa dampak besar bagi para kreditor dan pihak debitor pailit tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mereka mendapatkan hak-haknya atas harta debitor pailit. Siapa yang akan mengurus pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor berdasarkan hak masing-masing. Permasalahan utama dalam kepailitan sebagaimana diungkapkan Profesor Warren adalah siapa yang berhak dan bagaimana membagi harta debitor pailit 16. Terhadap pernyataan ini, di Indonesia telah diatur bahwa yang berhak melakukan itu adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator. Hanya saja inti pertanyaan ini adalah bagaimana membagi harta debitor pailit. Membagi harta debitor pailit adalah merupakan bagian akhir dari proses kepailitan. Tahap mencapai pembagian harta inilah yang akan menjadi tugas berat seorang kurator 17. Dengan tanggung jawabnya yang demikian itu, seorang kurator menjadi salah satu kunci sukses tidaknya pelaksanaan pengurusan dan pemberesan pembayaran harta pailit yang sesuai dengan ketentuan peraturan tentang kepailitan di Indonesia. Sebagaimana tujuan utama dari kepailitan tersebut. 16 David G. Epstein, steve H. Nickles, and James J. White, Bancruptcy (USA: West Publishing Co, 1993), hlm Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Rajawali Pers, Jakarta 2004, hlm.11.

16 28 Kurator didalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu Balai Harta Peninggalan dan Kurator lainnya. Dimana yang dapat menjadi kurator tersebut yaitu orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, serta terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundangundangan 18. Pada prinsipnya tugas dan wewenang kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator mempunyai tanggung jawab kewajiban untuk melaksanakan tugas pengurusan dan /atau pemberesan harta pailit 19. Menurut Jerry Hoff, tujuan kepailitan adalah untuk membayar hak para kreditor yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan tingkat urutan tuntunan mereka. Oleh karena itu kurator tidak hanya harus bertindak untuk kepentingan kreditor semata namun juga harus juga memperhatikan kepentingan debitor yang pailit. Dan kurator wajib memastikan bahwa semua tindakannya adalah untuk kepentingan harta pailit. 18 Pasal 70 Ayat (1) huruf a, b dan Ayat (2) huruf a, b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 19 Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

17 29 Dalam melakukan tugas ini kurator memiliki satu visi utama yaitu mengambil segala keputusan dan bertindak yang terbaik untuk memaksimalkan nilai harta pailit. Lebih rinci lagi dapat dilihat dari job description dari kurator. Karena setidaknya secara garis besar ada 3 (tiga) jenis penugasan yang diemban oleh kurator sebagaimana menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu: 1. Tugas Administratif Dalam kapasitas administratifnya kurator bertugas untuk mengadministrasikan proses-proses yang terjadi dalam kepailitan, yang antara lain; melakukan pengumuman 20, mengundang rapat-rapat kreditur 21, mengamankan harta kekayaan debitor pailit, melakukan inventarisasi harta pailit 22, serta membuat laporan rutin kepada hakim pengawas 23. Dalam menjalankan kapasitas administratifnya kurator memiliki kewenangan antara lain: 20 Pasal 15 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 21 Pasal 86 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 22 Pasal 98 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 23 Pasal 74 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

18 30 a. Kewenangan untuk dapat meminta dilakukan upaya paksa badan 24. b. Dapat meminta dilakukan penyegelan, bila diperlukan Tugas Mengurus atau mengelola harta pailit Selama proses kapailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit), maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha debitor pailit sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas izin rapat kreditor 26. Pengelolaan hanya dapat dilakukan apabila debitor pailit masih memiliki suatu usaha yang masih berjalan. Kewenangan yang diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini termasuk diantaranya: a. Kewenangan untuk membuka korespondensi yang ditujukan kepada debitor pailit 27. b. Kewenangan untuk meminjam dana pihak ketiga dengan dijamin dengan harta pailit yang belum dibebani demi kelangsungan usaha Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 25 Pasal 99 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 26 Pasal 104 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 27 Pasal 105 Ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 28 Pasal 69 Ayat (2) huruf b, (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

19 31 c. Kewenangan khusus untuk mengakhiri sewa, memutuskan hubungan kerja, dan perjanjian lainnya Tugas melakukan penjualan dan pemberesan Tugas yang paling utama bagi kurator adalah untuk melakukan pemberesan. Maksudnya pemberesan disini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan pembayaran kepada para kreditor konkuren dari hasil penjualan harta pailit. Pailit yang berati bankrut atau jatuh miskin, dalam hukum perdata positif kata pailit mengacu pada keadaan debitor (bisa orang, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitor telah berhenti membayar hutangnya dan yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaanya, sehingga debitor tidak lagi berhak mengurus harta bendanya. Istilah pailit dalam Fiqih Muamalat sendiri dikenal dengan sebutan At-Tafliis. Jadi orang yang dalam kondisi pailit disebut iflaas atau tidak memiliki harta. Sedangkan orang yang pailit disebut dengan muflis. Dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jatuh pailit disebut tafliis H. Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit Alumni, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm M. Ali. Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Rajawali Pers, Cetakan Pertama, Jakarta 2003, hlm. 195.

20 32 Terhadap pernyataan pailit oleh hakim terhadap debitor, maka akan membawa akibat bagi debitor. Yaitu mengakibatkan debitor itu dibawah pengampuan hakim (Al-Hajr) dalam hal mengurus segala harta bendanya dengan tujuan pokok untuk melunasi utangnya kepada kreditor. Menurut Jumhur Ulama dan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy- Syabani, debitor yang pailit berada dibawah pengampuan hakim (Al-Hajr) dan dilarang bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan menjamin hak-hak kreditor. Al-Hajr didalam Fiqih Muamalat berarti larangan dan penyempitan atau pembatasan. Dalam istilah hukum perdata berarti pengampuan. Istilah Al-Hajr ditemui dalam pembahasan tindakan kecakapan melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Dengan demikian al-hajr maksudnya yaitu kondisi seseorang dilarang melakukan tindakan hukum 31. Pemberlakuan larangan yang bertujuan untuk menjaga hak orang lain ini diantaranya diberlakukan terhadap orang yang berutang. Sedangkan utangnya tunai dan lebih banyak dari hartanya. Maka ia dilarang membelanjakan (memperedarkan, menggunakan) hartanya itu untuk menjaga yang berpiutang 32. Terhadap orang atau pihak yang demikian, wajib dilakukan pelarangan oleh walihakim. Apabila telah diberlakukan pada mereka larangan, maka tassaruf (memperedarkan) 31 Ibid, hlm H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Cetakan Ketigapuluh Dua, Bandung 1998, hlm

21 33 harta mereka menjadi tidak sah, kecuali ia mendapat izin dari walinya 33 atau pengampunya. Dalam hal ini dasar hukum didalam Alqur an-nya terdapat dalam Surat An-Nisa:5 34 dan Al-Baqarah: Sehingga pada prinsipnya, seorang debitor yang dikarenakan keputusan pengadilan/vonis hakim dinyatakan pailit yang membawa akibat ia kehilangan hak untuk mengurus hartanya dan beralih kepada seorang kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas untuk melakukan pembayaran atau pemberesan utang kepada kreditor itu mubah atau boleh dalam Hukum Islam. Sebagaimana dari prinsip dan tujuan ke-muamalah-an yaitu menghindari madharat dan mendatangkan kemanfaatan dengan memelihara keadilan dan menjaga kejujuran didalamnya. E. Metode Penelitian Hal-hal yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Obyek Penelitian 33 Op.cit, M. Ali Hasan, Berbagai Macam,hlm Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang berada dalam kekuasaan) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Terjemahan Al-Qur an Surat An-Nisa ayat jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, atau dia sedikit tidak mampu mengimlakkan (mendiktekan), maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Terjemahan Al-Qur an Surat Al- Baqarah ayat 282.

22 34 Obyek penelitian meliputi : a. Tanggung jawab kurator dalam mengelola harta kekayaan debitor. b. Debitor yang dinyatakan pailit oleh Putusan Hakim Pengadilan Niaga. 2. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang merupakan dokumen. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer meliputi; Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dan Putusan Pengadilan Niaga Nomor 02/PailitLL/PN.Niaga.Jkt.Pst. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder meliputi; buku-buku, laporan jurnal ilmiah, makalah-makalah, artikel-artikel, dan tulisan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. c. Bahan hukum tersier

23 35 Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Mengingat data yang ada dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, maka pengumpulan data yang digunakan melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari serta memahami perundang-undangan dan peraturan yang berlaku serta berhubungan, buku-buku, dokumen-dokumen hukum, makalah, jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah serta karangan ilmiah hukum lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. 4. Metode Pendekatan Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis. Dengan berdasarkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan identifikasi secara sistematis normanorma hukum. Sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan yaitu dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. 5. Analisis Data Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap, tahap berikutnya yang harus dimasuki adalah analisis data. Pada tahap ini data yang

24 36 dikumpulkan akan diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menjawab permasalahan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif, oleh karenanya data yang diperoleh dan dipaparkan dalam penelitian penulisan ini bukan merupakan angka dan tidak disajikan dalam/secara statistik. Data yang telah terkumpul dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu mengambil data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti sehingga dapat diuraikan secara deskriptif dan kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan yang berlaku dan masih ada kaitannya dengan aspek-aspek hukum yang berlaku, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan. c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari empat bab, dan masing-masing akan diperinci menjadi beberapa sub bab.

25 37 Bab I sebagai pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,dan sistematika penulisan. Bab II, membahas Tinjauan Umum Tentang Kepailitan, dan membahas Pengertian dan Tujuan Kepailitan, Para pihak yang berhak mengajukan Pailit, Tata Cara Permohonan Pernyataan Pailit, dan Akibat Hukum Pernyataan Pailit. Bab III, pembahasan diawali dengan rumusan masalah yang membahas pemberesan yang dilakukan oleh kurator, yang akan diawali dengan ringkasan perkara, fakta hukum, analisa terhadap tindakan kurator dalam m itkan Penjamin Perusahaan. Selanjutnya membahas akibat hukum dari tindakan kurator. Bab IV adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN 0 WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas. Hukum Perdata Dagang ABSTRAK

Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas. Hukum Perdata Dagang ABSTRAK PUTUSAN PAILIT ATAS PERUSAHAAN ASURANSI DAN AKIBAT HUKUMNYA DI INDONESIA ( KAJIAN YURIDIS ATAS PUTUSAN NO. 10/PAILIT/2002/PN.JKT.PST DAN PUTUSAN MA NO. 021/K/N/2002 ) Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D

ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D 101 09 050 ABSTRAK Penulisan ini membahas dan menganalisis faktor-faktor penyebab tidak Sempurnanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) Tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Menurut Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan.

BAB I PENDAHULUAN. badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, banyak badan hukum yang mengalami kasus pailit, begitu juga lembaga perbankan. Meskipun kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk menghasilkan produk electronic yang semakin canggih dan beragam. Kelebihan-kelebihan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dilakukan secara sendiri tanpa orang lain. Setiap orang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.371, 2016 KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan Jasa. Pedoman.Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C. PROSES PELAKSANAAN SITA PENYESUAIAN TERHADAP BARANG TIDAK BERGERAK YANG DIAGUNKAN ATAU DIJAMINKAN DI BANK SWASTA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci