BAB I. Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian negara-negara dunia ketiga (third countries) dan negara-negara berkembang (development countries) tidak saja akan menimbulkan persoalan ekonomi, tetapi juga akan meningkatkan gejala kriminaliltas sebagai suatu dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan. Pemahaman dimensi kejahatan dalam konteks pembangunan tidak hanya sekedar pada limitasi dari suatu asosiasi penggelapan keuangan negara saja, melainkan telah meluas kearah modus-modus kejahatan lainnya seperti bribery (penyuapan), kickback (penerimaan komisi secara tidak sah), extortion (pemerasan birokratis kekuasaan), mark up (penggelembungan dana) dan tipe-tipe kejahatan lainnya seperti corruption discretion (kejahatan-kejahatan korupsi yang berlindung dibalik persetujuan yang bersifat administratif) sebagai sebuah perkembangan tipologitipologi kejahatan baru yang bersifat invisible crime, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak tampak wujudnya, atau bahkan terkadang menjadi offences beyond the reach of the law (kejahatan yang sudah tidak terjangkau lagi oleh undang-undang), sehingga sangat sulit dari segi pembuktiannya. 5 5 Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji Jakarta, Jakarta, hlm. 250.

2 2 Pasca jatuhnya rezim orde baru dan seiring dengan perkembangan internasional tentang bahaya tindak pidana korupsi, maka upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) kemudian menjadi tuntutan utama dalam agenda reformasi. 6 Sebagai wujud keseriusan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, negara kemudian menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang pemberantasannya memerlukan cara-cara yang luar biasa, mengingat kejahatan korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negera, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 7 Implementasi amanat reformasi dalam mewujudkan upaya pemberantasan kejahatan korupsi diwujudkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraaan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Atas dasar perintah Ketetapan MPR tersebut kemudian telah diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 8 6 Dalam agenda reformasi, terdapat 6 (enam) tuntutan yang disuarakan oleh gerakan mahasiswa 1998, meliputi: 1). Adili Soeharto dan kroni-kroninya, 2). Laksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, 3). Hapuskan Dwi Fungsi ABRI, 4). Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, 5). Tegakkan supremasi hukum, 6). Ciptakan pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Lihat lebih jelas dalam: Wikipedia, Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, diakses tanggal 29 Oktober Penjelasan umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 8 Tarwo Hadi Sadjuri, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Pusat Pendidikan Pembentukan Jaksa, Jakarta, hlm. 17.

3 3 Ketentuan Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilahirkan sebagai sebuah instrumen yang diharapkan mampu memberikan efektivitas yang tinggi dalam menekan dan memberantas perilaku koruptif yang telah merajalela, melalui pemberian ancaman sanksi pidana penjara yang cukup tinggi hingga maksimum 20 (dua puluh) tahun penjara serta dimungkinkan penjatuhan hukuman mati yang dilakukan dalam keadaan tertentu. 9 Selain pidana badan, diterapkan pula penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti dan pidana denda. Terhadap pembayaran uang pengganti apabila kemudian terpidana tidak mampu untuk membayar sejumlah sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, maka harta benda terpidana dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, sedangkan terhadap ketidakmampuan terpidana untuk membayar denda, maka terpidana akan dikenakan hukuman pidana kurungan sebagai penggantinya. Di dalam ketentuan undang-undang ini juga mengatur mengenai diperbolehkannya penuntut umum untuk dapat melakukan gugatan perdata sebagai upaya memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32, 33, 34 dan Pasal 38 huruf C. 9 Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksud sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi,atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

4 4 Meskipun Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur ancaman sanksi pidana yang cukup berat dan berlapis, ternyata belum mampu menurunkan tingkat kejahatan korupsi di tanah air. Untuk mengetahui gambaran tingkat korupsi di Indonesia, ada beberapa survei dan penelitian yang bisa dipergunakan untuk mengukurnya. Salah satu ukuran yang terkenal adalah Corruption Perception Index (CPI) yang dilakukan secara reguler oleh Tranparency International. Pada Tahun 2003 Tranparency International menempatkan Indonesia sebagai negara ke-10 terkorup dari 113 negara yang disurvei, dan 3 besar terburuk pada tahun Pada tahun 2005 menempatkan Indonesia pada posisi 140 dari 159 negara yang disurvei dengan indeks korupsi Selanjutnya indeks korupsi Indonesia meningkat dari 28 ditahun 2010 menjadi 30 ditahun 2011, berada diperingkat ke-100 dari 182 negara yang disurvei. 11 Pada tahun 2015, Corruption Perception Index (CPI) sebesar 36. Indonesia menempati urutan 88 dari 168 negara. 12 Masih rendahnya indeks korupsi di Indonesia menjadi sebuah indikator masih tingginya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia. Masih tingginya tingkat kejahatan korupsi di tanah air juga berbanding lurus dengan besarnya kerugian keuangan negara. Dari besarnya kerugian negara yang dialami negara pada kenyataannya hanya sedikit sekali yang bisa diselamatkan. Masih rendahnya tingkat penyelamatan kerugian negara dapat dilihat dari 10 Yunus Hussein, 2006, Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery, makalah, Jakarta. 11 J. Danang Widoyoko, 2013, Oligarki Dan Korupsi politik Indonesia: Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik, Setara Press, Malang, hlm Transparency International, Corruption Perception Index 2015, http// /indek. php/publication/2015/ corruption-perception-index-2015, diakses 12 April 2016.

5 5 rekapitulasi perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas kerugian keuangan negara dengan status telah ditetapkan pada instansi pusat dan daerah untuk tahun 2007 sampai dengan semester 1 tahun 2011 adalah sebagai berikut : 13 Thn Tabel 1.1 Kerugian Negara Pada Pemerintah Pusat Total Kerugian PEMERINTAH PUSAT Penyelamatan Kerugian Negara Sisa Kerugian % Penyelam atan 2007 IDR 13,843,398, IDR 975,768, IDR 12,867,630, % USD 1,599,545, IDR 210,005, USD 1,389,540, % 2008 IDR 251,269,802, IDR 82,383,042, IDR 168,886,759, % USD 22,127,346, USD 4,408,541, USD 17,718,805, % IDR 6,776,213, IDR 3,704,522, IDR 3,071,691, % USD 634, USD 9, USD 624, % JPY 286,338, JPY 286,338, % 2009 AUD 725, AUD 725, % Dfl 509, Dfl 509, % Ffr 2,215, Ffr 2,215, % DM 136,356 - DM 136, % 2010 IDR 180,309,318, IDR 4,573,148, IDR 175,736,169, % USD 37,261, USD 16,363, USD 20,898, % 2011 (Laporan semester ) IDR 527,385, IDR 186,305, IDR 341,080, % - - IDR 452,726,117, IDR 91,822,786, IDR 360,903,331, % USD 23,764,788, USD 4,634,919, USD 19,129,869, % JUMLAH JPY 286,338, JPY 286,338, % AUD 725, AUD 725, % Dfl 509, Dfl 509, % Ffr 2,215, Ffr 2,215, % DM 136,356 DM 136, % 13 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor:Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Kompas, Jakarta, hlm

6 6 Tabel 1.2 Kerugian Negara Pada Pemerintah Daerah PEMERINTAH DAERAH Thn Total Kerugian Penyelamatan Kerugian Negara Sisa Kerugian % Penyelam atan 2007 IDR 48,476,317, IDR 10,414,738, IDR 38,061,579, % 2008 IDR 76,555,351, IDR 16,803,807, IDR 59,751,543, % 2009 IDR 36,798,301, IDR 12,949,192, IDR 23,849,108, % 2010 IDR 14,235,843, IDR 5,261,507, IDR 8,974,335, % 2011 (Laporan semester 1 IDR 28,450, IDR 28,450, % 2011) JUMLAH IDR 176,094,263, IDR 45,429,245, IDR 130,665,017, % Belum efektifnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air terutama upaya untuk memaksimalkan penyelamatan kerugian keuangan negara melalui mekanisme penegakan hukum dapat disebabkan oleh banyak kendala. Salah satu kendala itu berkaitan dengan masalah kesulitan pembuktian baik ditingkat penyidikan, maupun dalam proses pembuktian di persidangan. Untuk mengatasi kendala dan kesulitan dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini, pada akhirnya membuat Presiden Susilo BambangYudhoyono bertindak dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-

7 7 Kasus Hukum Dan Penyimpangan Pajak, yang di dalamnya meliputi penggunaan metode pembuktian terbalik dalam mengefektifkan penegakan hukum. 14 Mengenai penggunaan metode pembuktian terbalik sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011, secara khusus pembuktian terbalik (reversal burden of proof) untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa di dalam ketentuan Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, digunakan untuk ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a yang menyatakan: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya yang nilainya Rp ,- (sepuluh juta) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Pembuktian terbalik untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa sebagaimana ketentuan pasal 12 B ayat (1) huruf a dalam undang-undang tindak pidana korupsi tersebut memiliki persamaan dengan sistem pembuktian terbalik yang dikenal dari negara anglo saxon yang hanya terbatas pada certain case atau pemberian yang berkorelasi dengan bribery (suap). 15 Terbatasnya penggunaan pembuktian terbalik untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa hanya dalam ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a, disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: 14 Sonny Wibisono, Menjerat Koruptor Dengan Asas Pembuktian Terbalik, Transparansi Indonesia>Menjerat-Koruptor-dengan-asas-pembuktianterbalik.html. diakses 24 Nopember Monang Siahaan, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm.107.

8 8 1. Berdasarkan Pasal 66 KUHAP berbunyi tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban beban pembuktian. Ketentuan dalam pasal ini mengandung arti bahwa pembuktian atas perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa dibebankan kepada penyidik maupun penuntut umum. 2. Pembuktian terbalik bertentangan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) mengandung arti bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. 16 Selain penggunaan pembuktian terbalik untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa, di dalam ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi, pembuktian terbalik juga dapat dipergunakan untuk membuktikan asal usul aset atau harta milik terdakwa yang diduga digunakan atau berasal dari tindak pidana korupsi. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 37 A ayat (1) yang menyatakan: Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Penggunaan beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 37 A ini, dalam pelaksanaannya bukan tanpa kendala, karena meskipun seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak 16 Eka Martiana Wulansari, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Legislasi Nasional, Vol. 7 No. 4, Desember 2010.

9 9 pidana, jaksa selaku penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya di pengadilan. 17 Ketidakmampuan penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya akan membawa konsekusensi dibebaskannya terdakwa oleh pengadilan dari seluruh tuntutan hukum dan terhadap seluruh aset atau harta yang telah disita wajib dikembalikan kepada terdakwa. Kewajiban penuntut umum untuk tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya tersebut tertuang dalam Pasal 37 A ayat (3), yang menyatakan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Tingginya tingkat kesulitan bagi negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam upaya melakukan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen perkara tindak pidana korupsi, mendorong PBB menyetujui ditetapkannya Konvensi Anti- Korupsi/United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, yang secara khusus di dalam ketentuan Pasal 54 (1) huruf (c) Konvensi Anti- Korupsi ini mewajibkan semua negara untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak kejahatan tanpa melalui pemidanaan dikenal dengan istilah lain dengan sebut perampasan In Rem atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB Asset Forfeiture). 18 Atas rekomendasi Konvensi Anti-Korupsi 2003 (UNCAC) tersebut, 17 Anita Silalahi, Beban Pembuktian Terbalik Dalam Perampasan Aset Pada Tindak Pidana Pencucian Uang, diakses 27 April Muhammad Yusuf, Op.cit., hlm. 118.

10 10 Indonesia selaku anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian meratifikasi Konvensi Anti-Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan penyitaan dan pengambil alihan suatu aset melalui tuntutan secara in rem (tuntutan terhadap aset) yang menempatkan aset hasil tindak pidana sebagai subjek hukum sedangkan pemilik aset diposisikan sebagai pihak ketiga dan bukan sebagai pihak yang berperkara. Dalam rezim Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini diberlakukan mekanisme pembuktian terbalik terhadap pihak ketiga atau pemilik aset yang berkeberatan terhadap permohonan perampasan yang dilakukan oleh penegak hukum. Dalam kaitannya dengan pembuktian terbalik ini, pemilik aset atau pihak ketiga harus membuktikan di persidangan bahwa aset miliknya yang telah dirampas atau disita oleh penegak hukum tidak merupakan, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana. Sistem pembuktian terbalik dalam Non-Conviction Based Asset Forfeiture inilah yang kemudian menjadi titik berat atau fokus pembahasan dari analisis yuridis ini. Penerapan pembuktian terbalik dalam Non-Conviction Based Asset Forfeiture menyebabkan baik dari tataran teoritis maupun praktis akan bersinggungan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Pengabaian terhadap penerapan asas praduga tidak bersalah pada akhirnya berpotensi melanggar hak asasi manusia. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengangkat judul penelitian Penerapan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture Terhadap Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Perampasan Aset di Indonesia.

11 11 B. Pokok Permasalahan Terkait dengan penelitian ini, agar dalam pembahasannya lebih terarah, maka penulis menganggap perlu untuk menentukan batasan mengenai pokok-pokok permasalahan, yang penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah relevansi penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah Prospek penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia? 3. Bagaimanakah hubungan pembuktian terbalik dalam Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang ditujukan untuk membuktikan aset yang berasal dari tindak pidana korupsi terhadap asas praduga tidak bersalah? C. Tujuan Penelitian Penelitian yang penulis laksanakan ini bertujuan untuk menjawab pokok-pokok permasalahan sebagaimana yang telah kami sampaikan pada bagian di atas, yakni antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauhmana konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture relevan untuk diterapkan dalam sistem perampasan aset di Indonesia; 2. Untuk mengetahui sejauhmana konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture telah diterapkan dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia;

12 12 3. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi atau hubungan penerapan pembuktian terbalik dalam Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang digunakan untuk membuktikan aset seseorang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut: a. Secara Teoritis Diharapkan hasil dari penulis ini dapat berguna bagi perkembangan dan pengayaan teoritik khususnya berkenaan dengan upaya penerapan Non- Conviction Based Asset Forfeiture ke dalam sistem perampasan aset di Indonesia. b. Secara Praktis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan serta bermanfaat bagi akademisi serta para penegak hukum dan sekaligus sebagai pengetahuan konkrit dalam proses penanganan penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan instrument tindak pidana korupsi. E. Keaslian Penelitian Dalam penulisan rencana penelitian ini penulis sebelumnya telah melakukan observasi, konsultasi dan diskusi dengan pihak terkait, hal tersebut dimulai dari

13 13 perumusan judul dan penentuan pokok-pokok permasalahan yang menurut penulis relevan dengan aspek kajian hukum khususnya yang berkaitan dengan studi yang sedang penulis tempuh. Tujuan hal tersebut dilakukan agar penulis memiliki bahan rujukan yang cukup selain itu penulis ingin memastikan bahwa terhadap rencana penelitian tesis yang penulis buat belum ada pihak-pihak lain yang menulisnya, sehingga dalam hal ini penulis dapat memastikan bahwa atas judul dan pokok permasalahan yang penulis angkat dalam tesis ini adalah merupakan karya orisinil. Dalam penelusuran penulis, terdapat dua karya tesis yang sebagian kajiannya memiliki kesamaan dengan kajian pokok-pokok permasalahan yang penulis buat yakni tesis atas nama David Fredriek Albert Porajow (Mahasiswa Universitas Indonesia) dan tesis atas nama Wahyudi Hafiludin Sadeli (Mahasiswa Universitas Indonesia). Selanjutnya untuk memperjelas perbedaan pokok-pokok permasalahan dalam penelitian yang diusulkan oleh penulis dengan kedua penelitian yang disebutkan di atas, akan kami deskripsikan sebagai berikut: 1. Tesis atas nama David Fredriek Albert Porajow dengan judul Non- Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif Memperoleh kembali Kekayaan Negara yang hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Negara. Rumusan masalah:

14 14 a) Bagaimana pengaturan atau instrumen hukum mengenai pengembalian kerugian negara yang berasal dari tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara? b) Bagaimana proses perampasan aset berdasarkan Non-Conviction Based Asset Forfeiture? c) Apakah Non-Conviction Based Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai alternatif yang efektif dalam memperoleh kembali kekayaan negara yang hilang karena tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara? Kesimpulannya adalah: 1. Pengembalian kerugian negara yang berasal dari tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara selama ini diatur dalam Undang-Undang, yakni terbatas pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 berupa sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Sedangkan terhadap tindak pidana yang bermotif atau berlatar belakang ekonomi lainnya seperti pencucian uang belum ada pengaturan mengenai pengembalian kerugian negara. Penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang bukan bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara namun lebih kepada pemberian sanksi secara ekonomis kepada pelaku. Sekalipun denda tersebut dibayarkan, uang denda itu dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak yang tentu berbeda tujuannya dengan maksud dari pengembalian kerugian negara dengan pembayaran uang pengganti.

15 15 Oleh karena itu maka dibutuhkan terobosan baru dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana dalam lalu lintas perekonomian, yaitu dengan konsep perampasan aset berdasarkan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture. Oleh karena konsep perampasan aset sebagaimana UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, maka konsep ini dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tujuan merampas hasil kejahatan untuk kemudian menjadi milik negara. Perampasan aset yang dimaksud bukan perampasan pidana yang dikenal selama ini karena perampasan pidana sering kali menemui berbagai macam kendala. Perampasan yang dimaksud adalah Non-Conviction Based Asset Forfeiture (perampasan aset tanpa melalui proses pidana). Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini sangat berguna terhadap situasi sebagai berikut: 1. pelaku melarikan diri saat proses persidangan sementara berlangsung; 2. pelaku meninggal dunia persidangan sedang berjalan (belum ada putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap), atau 3. pelaku dinyatakan lepas dari tuntutan hukum namun terdakwa tidak dapat membuktikan mengenai adanya harta merupakan harta miliknya yang diperoleh dari cara perolehan yang sah. 2. Proses Non-Conviction Based Asset Forfeiture bisa diajukan bersamaan dengan tindak pidana pokok, dapat juga diajukan tanpa menunggu tindak pidana pokok, bahkan dapat diajukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap mengenai kesalahan seorang pelaku kejahatan.

16 16 Proses Non-Conviction Based Asset Forfeiture wajib dilaksanakan dalam sebuah proses peradilan sehingga tindakan negara adalah sah dan tanpa kesewenangan. Sebelum dilakukan perampasan terhadap harta kekayaan yang diduga adalah hasil kejahatan atau merupakan instrumen kejahatan, maka harta kekayaan itu terlebih dahulu oleh pengadilan harus dinyatakan sebagai harta tercemar karena merupakan milik terdakwa, atau ada pada anggota keluarga terdakwa yang lain. Harta yang akan dinyatakan tercemar tersebut sebelumnya harus sudah diblokir atau ditarik dari lalu lintas perekonomian dan dimasukkan dalam daftar harta yang diblokir. Selanjutnya dalam menentukan harta tersebut tercemar atau tidak, maka yang menguasai harta kekayaan (lebih khusus terdakwa) harus dapat membuktikan bahwa harta kekayaan itu diperolehnya dengan cara yang sah dan tidak melanggar hukum. Apabila ternyata dia tidak bisa menjelaskan sumber perolehan harta tersebut maka hakim menyatakan bahwa harta tersebut tercemar. Setelah dinyatakan sebagai harta tercemar barulah kemudian dilakukan proses perampasan aset tanpa pemidanaan Non- Conviction Based Asset Forfeiture, di mana pengadilan melakukan pengumuman melalui media mengenai harta yang akan dirampas tersebut dengan pemberitahuan pada tenggang waktu tertentu maka diberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa sebagai pemilik dari harta tersebut untuk dapat mengajukan perlawanan. Dengan demikian Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan gugatan In Rem (yaitu kepada harta kekayaan) bukan In Personam (kepada pelakunya) sehingga lebih mudah untuk dilakukan.

17 17 Pembuktian yang akan digunakan berupa pembalikan beban pembuktian terbalik. Metode ini tidak ada hubungannya dengan asas praduga tidak bersalah karena asas tersebut berkaitan dengan kesalahan terdakwa, sedangkan pembalikan beban pembuktian dalam hal ini berkaitan dengan harta milik terdakwa. Terdakwa tidak akan membuktikan kesalahannya namun hanya membuktikan bahwa hartanya itu diperoleh dengan cara yang wajar dan menurut hukum. Pengadilan yang fair dan tidak terpengaruh oleh tekanan manapun akan menghasilkan putusan terhadap permohonan perampasan aset tersebut berupa: 1. Mengabulkan permohonan perampasan aset dari JPN dan menyatakan harta yang dimohonkan tersebut menjadi aset negara. 2. Menolak permohonan perampasan aset dari JPN dan menyatakan bahwa mengabulkan perlawanan pihak ketiga yang beritikad baik adalah pemilik yang sah dari harta yang menjadi obyek perkara. 3. Non-Conviction Based Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai langkah alternatif pengembalian kerugian keuangan negara karena tujuan utama Non-Conviction Based Asset Forfeiture adalah untuk mengembalikan hasil tindak pidana menjadi aset negara. Tindakan Non-Conviction Based Asset Forfeiture telah menjadi kebutuhan hukum dalam rangka merampas hasil kejahatan dan instrumentalisnya. Tindakan Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan cara yang tidak sulit dan tidak sewenang-wenang karena tidak melanggar asas-asas

18 18 hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia dalam upaya pengembalian kerugian negara karena tindak pidana dalam hal lalu lintas perekonomian. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk tidak mengajukan permohonan perampasan aset dengan mekanisme Non- Conviction Based Asset Forfeiture terhadap harta-harta milik pelaku kejahatan atau harta hasil kejahatan lainnya yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak untuk diajukan ke pengadilan agar harta tersebut dapat dijadikan aset negara sehingga bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat. Demikian juga pengadilan harus memeriksa permohonan perampasan aset tersebut dengan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture sehingga pengembalian kerugian negara semakin efektif. 3. Non-Conviction Based Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai langkah alternatif pengembalian kerugian negara karena tujuan utama Non- Conviction Based Asset Forfeiture adalah untuk mengembalikan hasil tindak pidana menjadi aset negara. Bahwa rumusan masalah penelitian yang ditulis penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh David Fredriek Albert Porajow yang fokus penelitiannya lebih diarahkan kestudi bagaimana pengaturan atau instrumen hukum mengenai pengembalian kerugian negara yang berasal dari tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara dan efektifitas Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam penerapannya sebagai alternatif perampasan aset.

19 19 2. Tesis atas nama Wahyudi Hafiludin Sadeli dengan judul Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait dengan Tindak Pidana Korupsi Rumusan masalah: 1. Bagaimana mekanisme perampasan aset terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan kepada pihak ketiga? 2. Bagaimana konsep perampasan aset dan dampaknya yang ditimbulkan terhadap pihak ketiga dalam upaya pengembalian aset? Kesimpulannya adalah: 1. Secara prinsip internasional terhadap tindakan perampasan aset dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme yaitu: perampasan pidana (Conviction) dan perampasan tanpa putusan pidana (Non-Conviction Based). Kedua jenis perampasan tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu perampasan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil dan sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Hasil kejahatan harus dirampas dan digunakan untuk kompensasi kepada korban, apakah itu negara atau individu. Kedua, merupakan upaya efek jera terhadap siapa saja yang melanggar hukum. Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: (a) pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta, yang berhubungan delik dilakukan. (b) pembekuan atau perampasan aset, dimana dilarang sementara mentransfer,

20 20 mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. (c) penyitaan aset, diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. (d) pengembalian dan penyerahan aset kepada korban. Mekanisme perampasan aset terhadap pihak ketiga secara hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini adalah dilakukan berdasarkan putusan pidana, dengan melalui keyakinan (conviction) untuk menetapkan pelaku adalah terpidana dan diajukannya tuntutan perampasan kepada aset pelaku untuk mengembalikan kerugian yang ada akibat kejahatan yang dilakukannya. Serta secara simultan dapat dilakukan juga upaya diluar mekanisme penuntutan pidana tersebut yaitu melalui gugatan perdata, yang dilakukan tanpa adanya persidangan terlebih dahulu. Tentunya semua mekanisme perampasan baik secara pidana maupun gugatan perdata masih dirasakan memiliki kelemahan dan kekurangan dalam memberikan kewajiban dan jaminan perlindungan kepada pihak-pihak ketiga yang berhak dengan tindakan perampasan tersebut sehingga dapat terjadi penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia serta menimbulkan korban baru dari tindakan perampasan tersebut. 2. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi pada tanggal

21 21 18 April Konvensi anti korupsi pertama yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif ini tentunya menimbulkan asas hukum yang bersifat bersama (universal) untuk ditaati tiap yuridiksi negara-negara yang meratifikasinya, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dan penafsiran dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi transnasional serta upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tersebut. Asas hukum universal tersebut dituangkan dalam 36 (tiga puluh enam) kunci yang dijadikan acuan konsepsi pada tiap negara-negara agar melakukan suatu tindakan dan kebijakan yang bersifat kebersamaan (universal) dalam hal upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam bentuk tindakan perampasan aset. Pedoman (guideline) yang diberi judul Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide For Non-Conviction Based Asset Forfeiture, ditujukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan dalam sistem pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini digunakan oleh beberapa negara. Diharapkan 36 kunci konsepsi yang ada pada guideline StAR tersebut dapat memberikan persamaan dalam mekanisme perampasan aset dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi pada tiap yuridiksi. Bahwa rumusan masalah penelitian yang ditulis oleh Wahyudi Hafiludin Sadeli memiliki perbedaan dengan rumusan masalah yang diteliti oleh penulis. Fokus penelitian yang dilakukan Wahyudi Hafiludin Sadeli lebih diarahkan ke studi tentang mekanisme perampasan aset secara umum baik perampasan aset NCB maupun perampasan kejahatan (criminal forfeiture) terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan kepada pihak ketiga.

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor BAB 1V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan undang-undang pemberantasan korupsi yang berlaku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D101 11 005 ABSTRAK Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa yang talah membawa bencana bagi kehidupan Perekonomian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015 SUATU KAJIAN TENTANG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI (PASAL 2 DAN 3 UU NO. 31 TAHUN 1999) 1 Oleh : Rixy Fredo Soselisa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. No.857, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-013/A/JA/06/2014 TENTANG PEMULIHAN ASET DENGAN

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah tetap. Pada suatu waktu timbul jenis kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal orang. 1 Kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset 3.10 Penelusuran Aset Harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan merupakan motivasi nafsu bagi tindak kejahatan itu sendi. Ibarat

Lebih terperinci

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Aliyth Prakarsa dan Rena Yulia* Abstrak Aset negara yang dikorupsi tidak saja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

Sudarto Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta

Sudarto   Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta Efektivitas Mekanisme Penerapan Perampasan Pasal 18 Undang-Undang Aset Dengan Menggunakan Nomor 8 Tahun Non-Conviction 1999 tentang Perlindungan Based Asset Forfeiture Konsumen...... MEKANISME PERAMPASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha Anak Agung Gede Oka Parwata Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : KARYA ILMIAH SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kendala yang mempengaruhi sulitnya upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk juga pembayaran Uang Pengganti dan Uang Denda dipengaruhi oleh faktor substansi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

RESENSI ISBN

RESENSI ISBN Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana : Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia xx + 265 hlm + Bibliografi + Indeks, 16 cm x 24 cm Cetakan pertama, Nopember

Lebih terperinci

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 1 Tren Global Pemberantasan Korupsi Korupsi sudah dianggap sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana 43 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan ancaman kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Bahan Rapat Konsinyering Tanggal 9-11Agustus 2010 di Hotel Salak, Bogor RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 47 RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016 PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS HARTA KEKAYAAN SESEORANG TERSANGKA KORUPSI 1 Oleh: Nurasia Tanjung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian untuk mengetahui apakah alasan yuridis penerapan pembalikan beban pembuktian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindak pidana yang telah menjadi bahaya laten bagi bangsa kita adalah korupsi. Korupsi yang terjadi dewasa ini memang sudah sangat membahayakan bagi

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA I. UMUM Pembangunan hukum dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5937 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN. Pajak. PNBP. Jenis. Tarif. Kejaksaan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 201). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci