BAB 1 PENDAHULUAN. mendeklarasikan AEC sebagai tujuan integrasi ekonomi regional dalam kerangka

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak KTT Bali pada bulan Oktober 2003, para pemimpin ASEAN telah mendeklarasikan AEC sebagai tujuan integrasi ekonomi regional dalam kerangka besar Visi ASEAN 2020 (Kuncoro, 2010). Dalam Bali Concord II, selain AEC ditetapkan dua pilar lain dalam bangunan Masyarakat ASEAN, yaitu ASEAN Security Community and the ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar tersebut diharapkan berfungsi penuh ketika M asyarakat Ekonom i ASEAN terwujud pada tahun Konferensi Tingkat Tinggi (K TT) ke-13 ASEA N (Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara) mendeklarasikan cetak biru ASEAN Economic Community (AEC). Para pemimpin ASEAN telah lama berencana untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi regional, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan standar hidup masyarakat dengan menurunkan atau menghilangkan hambatan, baik tarif maupun nontarif di antara negara anggota. Targetnya pada 2015 ASEAN akan menjadi satu negara, di mana mobilitas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal akan bebas bergerak. Cetak biru AEC membuat ambisi pembentukan ASEAN sebagai pusat perdagangan kawasan yang terintegrasi. Pembentukannya ditargetkan mulai 2008 dan implementasi pada AEC diharapkan dapat disejajarkan dengan komunitas serupa seperti Uni Eropa (EU). Diharapkan investor akan terangsang memasuki ASEAN karena menjadi salah satu pasar yang besar di dunia. Bedanya 1

2 dengan EU, AEC masih menggunakan mata uang sendiri-sendiri, belum bebas paspor, dan belum memiliki satu bank sentral. Secara teknis pencapaian AEC 2015 menggunakan mekanisme dan inisiatif yang telah dibentuk oleh ASEAN selama ini yang diperkuat dengan penguatan institusi dalam kerjasama ASEAN. Masing-masing institusi dan inisiatif terlibat di lima elemen pasar tunggal dan kesatuan basis produksi. Sebagai contoh, untuk elemen aliran bebas barang, inisiatif penurunan tarif dan nontarif serta fasilitas perdagangan menuju aliran bebas AEC didasarkan pada perkembangan dan penyempurnaan mekanisme yang ada mulai dari Preferential Tariff Agreement (PTA), ASEAN Free Trade Area, kemudian dilanjutkan oleh konsep cetak biru AEC. Hal yang sama juga terjadi untuk elemen-elemen lainnya di dalam pilar ini. Cetak biru AEC mempunyai empat ciri utama, yaitu (1) pasar dan basis produksi tunggal; (2) ekonomi kawasan yang sangat kompetitif; (3) kawasan dengan pembangunan ekonom i yang merata; (4) suatu kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Sebagai satu pasar dan basis berproduksi, AEC bermakna liberalisasi aliran barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Boleh dikatakan AEC adalah AFTA plus. Dengan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), berbagai hambatan perdagangan baik bea masuk (tariffs) maupun nonbea masuk telah dihapus dan diturunkan. Selain itu, fasilitas aliran barang perdagangan dilakukan dengan mengintegrasikan prosedur pabean dengan apa yang disebut ASEAN Single Window, mengembangkan Common Effective Preferential Tariffs 2

3 (CEPT) Rules of Origin, termasuk prosedur sertifikasi operasional, harmonisasi standar dan prosedur. CEPT merupakan suatu mekanisme agar AFTA dapat berjalan dengan baik. AFTA melalui CEPT merupakan wujud kesepakatan negara -negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Tabel 1.1 Jenis dan Karakteristik Integrasi Ekonomi Regional Kebijakan Jenis FTA CU CM EU TEI Dihapuskannya hambatan perdagangan (bea masuk & kuota) negara Ya Ya Ya Ya Ya Kebutuhan perdagangan yang seragam terhadap nonanggota (common external tariff) Tidak Ya Ya Ya Ya Mobilitas faktor produksi yang bebas negara anggota Tidak Tidak Ya Ya Ya Harmonisasi kebijakan ekonomi di bawah organisasi supranasional Tidak Tidak Tidak Ya Ya Penyatuan kebijakan ekonomi secara penuh Tidak Tidak Tidak Tidak Ya *FTA = Free Trade Area, CU = Customs Union, CM = Common Market, EU = Economic Union, TEI = Total Economic Integration Sumber: Dicken, Jovanovic, dan Kuncoro, dikutip dalam Kuncoro (2010). AEC merupakan tingkatan integrasi ekonomi yang lebih tinggi dibanding free trade area ataupun customs union karena dalam suatu common market tidak hanya hambatan perdagangan negara anggota d ihilangkan dan diterapkannya kebijakan perdagangan yang seragam terhadap nonanggota, yang lebih penting faktor produksi diberi keleluasaan untuk bergerak negara anggota. Untuk mencapai integrasi yang paling tinggi atau economic union, tidak hanya dibutuhkan penghilangan hambatan perdagangan, tetapi juga harmonisasi kebijakan ekonomi. 3

4 Berdasarkan penelitian dari Dollar (1992), Edwards (1998), Sach et al. (1995), dan Wacziarg (2001) menyimpulkan bahwa integrasi ekonomi yang menurunkan atau menghilangkan sem ua hambatan perdagangan di antara negaranegara anggota, dapat meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara anggota, dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik dan men ingkatkan kualitas dan kuantitas input dan barang dalam perekonomian, produsen domestik dapat meningkatkan profit dengan semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja. Keterbukaan ekonom i yakni terciptanya hambatan yang minimum, memegang arti penting bagi perkembangan sektor-sektor ekonomi (Tambunan, 2010). Semakin terbuka suatu daerah (dalam konteks ekspor dan impor) maka semakin tinggi pula tingkat investasi serta aliran barang dan jasa pada daerah tersebut. Hubungan khusus antara sumber daya tenaga kerja, modal, dan sumber daya daerah akan terkoordinasi secara sempurna oleh mekanisme pasar di mana perdagangan memainkan peran utamanya sebagai multiplier effect dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Gambar 1.1 Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Keterbukaan Pertumbuhan Ekonomi Investasi Sumber: Tambunan (2010). 4

5 Tingkat keterbukaan ekonomi regional (daerah) berkorelasi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberikan ruang terbuka bagi para pemimpin daerah untuk tidak melakukan proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan yang tertutup (posisi autarki). Argumen dasar dalam kondisi ini adalah perdagangan sebagai efek positif dari keterbukaan ekonomi yang akan menciptakan lebih banyak keuntungan di tingkat lokal dibandingkan jika tidak melakukan perdagangan. Untuk mulai membuka diri, tiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonom i masing-masing daerah yang memberikan keuntungan kompetitif bagi daerahnya masing-masing. Hal utama yang harus dilakukan oleh pemimpin daerah adalah mengembangkan sektor swasta dan kelembagaan, peraturan yang memadai dan mendukung di sektor-sektor investasi dan perdagangan. Gerakan antiglobalisasi (perdagangan internasional) berpendapat bahwa globalisasi adalah pelebaran ketimpangan antara si kaya dan si miskin (Mazur, 2000). Posisi yang pro-globalisasi mengklaim bahwa gelombang arus globalisasi sejak 1980-an sebenarnya telah mempromosikan kesetaraan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan (Dollar & Kraay, 2002). Richardson (1995) meneliti mengenai hubungan antara perdagangan bebas dan ketimpangan yang difokuskan pada negara-negara maju terutama Amerika Serikat. Wood (1997), serta Hanson & Harrison (1999) meneliti mengenai dampak liberalisasi perdagangan terhadap ketimpangan upah d i negaranegara sedang berkembang. 5

6 Peningkatan perdagangan dan pergerakan modal telah menyebabkan spesialisasi yang lebih besar dalam produksi dan penyebaran proses produksi khusus untuk lokasi geografis yang jauh (Deardorff dalam Zhang & Kevin, 2003). Secara teoritis globalisasi akan membuat negara berkembang lebih egaliter melalui peningkatan upah tenaga kerja tidak terampil yang berpenghasilan rendah, karena negara ini memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi barang dan jasa dengan tenaga kerja tidak terampil. Tabel 1.2 menunjukkan pola keterbukaan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan regional antarprovinsi di Indonesia selama periode Tabel 1.2 Keterbukaan Ekonomi, PMA, dan Ketimpangan Regional di Indonesia Tahun Tahun Keterbukaan Ekonomi PMA/PDB PDB Riil IPM Koefisien (%) (%) (2000=100) (%) Gini ,18 4,08 38,23 62,73 0, ,91 8,83 41,71 62,73 0, ,08 6,33 44,43 67,70 0, ,24 12,92 47,46 67,70 0, ,97 9,31 74,90 67,70 0, ,96 5,82 74,90 64,30 0, ,44 12,37 100,00 64,30 0, ,28 12,73 113,32 64,30 0, ,63 7,07 124,58 65,80 0, ,20 7,80 136,76 65,80 0, ,88 6,25 145,85 68,70 0, ,87 5,57 171,36 69,57 0, ,61 3,13 184,27 70,10 0, ,54 5,33 198,11 70,59 0, ,59 8,31 223,97 71,17 0, ,31 4,84 228,33 71,76 0, ,35 6,52 245,48 72,27 0, ,78 7,21 255,30 72,77 0, ,96 9,04 266,74 73,29 0,39 Peningkatan (%) 64,74 121,53 597,72 16,83 14,71 Sumber: BPS dan BKPM (berbagai edisi), data diolah. 6

7 Tingkat integrasi di Indonesia dapat dilihat dari peningkatan perdagangan luar negeri dan arus PMA. Rasio perdagangan (jumlah ekspor dan impor) terhadap PDB (biasanya didefinisikan sebagai keterbukaan ekonomi) telah meningkat dari 52,18% menjadi 8,96% selama periode Lain halnya dengan arus PMA antarprovinsi di Indonesia yang fluktuatif dari tahun ke tahun, di tahun 1994 sebesar 4,08%, sedangkan di tahun 2012 sebesar 9,04%. Perekonomian Indonesia tumbuh dengan laju sekitar 10% selama periode studi, mengakibatkan peningkatan PDB riil lebih dari dua kali lipat. Peran perdagangan luar negeri dan PMA di perekonom ian Indonesia menjadi semakin penting. Peningkatan perdagangan tidak hanya secara langsung mengangkat perekonomian Indonesia melalui produksi untuk ekspor tapi juga meningkatkan produktivitas melalui alokasi sumber daya yang lebih efisien dan peningkatan teknologi. Kontribusi PMA di Indonesia termasuk pembentukan modal, transfer teknologi dan transfer pengetahuan managemen, penciptaan lapangan kerja, dan promosi untuk ekspor. Investasi asing (PMA) memegang peranan penting baik itu karena mengandung unsur teknologi, membawa modal ekstra dan dalam banyak hal membuka pasar baru bagi ekonomi setempat (Tambunan, 2010). Itu berarti kebijakan pemanfaatan pasar global dari pasar lokal sebagai suatu sumber investasi menjadi sangat strategis menentukan tingkat pendapatan. Paradigma pembangunan yang berkembang sekarang ini berfokus pada peningkatan kualitas hidup manusia. Salah satu tolak ukur yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup kualitas pendidikan, 7

8 kesehatan, dan ekonomi (daya beli). Melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan daya beli diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidu p manusia. Hal ini dikarenakan adanya heterogenitas individu, disparitas geografi serta kondisi sosial masyarakat yang beragam sehingga menyebabkan tingkat pendapatan tidak lagi menjadi tolak ukur utama dalam menghitung tingkat keberhasilan pembangunan. Namun demikian, keberhasilan pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan dari kinerja pemerintah yang berperan dalam menciptakan regulasi bagi tercapainya tertib sosial. Pada variabel IPM secara umum mengalami peningkatan dari tahun 1994 sampai dengan tahun Dengan peningkatan sebesar 16,32% hal ini menunjukkan bahwa kinerja pembangunan manusia di Indonesia terbilang masih rendah. Koefisien Gini naik dari 0,34 pada tahun 1994 menjadi 0,39 pada tahun 2012, dengan total peningkatan sebesar 14,71% selama periode studi. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kenaikan ketimpangan regional yang mana hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Dari dimensi spasial, dengan indikator koefisien Gini sebagai ukuran ketimpangan distribusi pendapatan ternyata cukup bervariasi. Keunggulan komparatif di suatu daerah dalam konteks keterbukaan ekonomi menjadi faktor penting terhadap ketimpangan regional. Gambar 1.2 menunjukkan hubungan antara ketimpangan regional dan perdagangan di Indonesia tahun , sedangkan Gambar 1.3 menunjukkan hubungan antara ketimpangan regional dan PMA di Indonesia tahun

9 Gambar 1.2 Keterbukaan Ekonomi dan Ketimpangan Regional di Indonesia Tahun Sumber: BPS dan BKPM (berbagai edisi), data diolah. Gambar 1.3 PMA dan Ketimpangan Regional di Indonesia Tahun Sumber: BPS dan BKPM (berbagai edisi), data diolah. 9

10 Dengan adanya penambahan investasi maka dapat menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi barang dan jasa meningkat yang pada giliranya akan menyerap angkatan kerja. Sehingga tenaga kerja tersebut memperoleh upah, dan tenaga kerja tersebut mempunyai daya beli. Dengan semakin banyak investasi yang digunakan untuk melakukan proses produksi barang jasa, dimana tenaga kerja dapat diserap lebih banyak juga sehingga terjadi pemerataan pendapatan per kapita. Investasi berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Hal ini digambarkan dengan semakin banyaknya investasi yang masuk ke dalam suatu wilayah akan meningkatkan output yang dihasilkan dan berakhir pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi semakin banyaknya investasi yang masuk ke suatu wilayah justru akan menyebabkan ketidakmerataan. Menurut Myrdal dalam investasi cenderung menambah ketidakmerataan (Jhingan, 2004). Di daerah-daerah yang sedang berkembang, permintaan barang dan jasa akan mendorong naiknya investasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya di daerah-daerah yang kurang berkembang, permintaan akan investasi rendah karena pendapatan masyarakat yang rendah. Selain itu Investasi khususnya investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah (Sjafrizal, 2008). Perbedaan inilah yang akan menyebabkan ketim pangan wilayah menjadi semakin lebar. 10

11 Rata-rata koefisien Gini di negara-negara transisi dan berkembang naik dari sekitar 0,25-0,30 pada periode dari akhir 1980-an sampai pertengahan an di era globalisasi (IMF, 1998). Ini tampaknya merupakan peningkatan yang signifikan dalam periode waktu yang singkat, karena koefisien Gini cenderung stabil dalam jangka pendek. Dua gambar di atas menunjukkan adanya hubungan positif antara keterbukaan ekonom i, PMA, dan ketimpangan regional. Namun, tidak bisa begitu saja menyimpulkan sebab akibat dari kedua angka ini. Ada faktor lain yang mempengaruhi ketimpangan regional selama periode ini. Dibutuhkan kerangka yang sistematis untuk mengukur kontribusi dari berbagai komponen untuk perbedaan daerah secara keseluruhan. Teori Myrdal mengatakan bahwa ketimpangan wilayah berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba (Jhingan, 2004). Motif laba inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayahwilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah yang lainnya tetap. Ketidakmerataan pembangunan yang mengakibatkan ketimpangan ini disebabkan karena adanya dampak balik (backwash effect) yang lebih tinggi dibandingkan dengan dampak sebar (spread effect). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dampak balik pada suatu wilayah salah satunya investasi. Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif (Todaro, 2006). Dampak positif dari adanya ketimpangan adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan dampak 11

12 negatif dari ketimpangan yang ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil. Dalam proses pembangunan, selain mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan, juga mempertimbangkan dampak aktivitas ekonomi terhadap kehidupan sosial masyarakat (Kuncoro, 2006). Selain itu pula dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonom ian ke arah yang lebih baik. Pembangunan dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu merata (Kuncoro, 2004). Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini disebabkan karena sumber-sumber yang dimiliki berbeda yaitu adanya kecenderungan peranan modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, dan tenaga kerja yang terampil, serta adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat kepada daerah PERUMUSAN MASALAH Penelitian ini akan menjawab dari perumusan masalah berikut yaitu: 1. Bagaimana tren ketim pangan yang terjadi seluruh provinsi di Indonesia selama periode ? 2. Sejauh mana hipotesis Kuznets berlaku di Indonesia selama periode ? 12

13 3. Bagaimana pengaruh keterbukaan ekonomi, PMA, IPM, PDRB per kapita, PDRB per kapita kuadrat, dan dummy pulau Jawa terhadap ketimpangan antarprovinsi di Indonesia selama periode ? 1.3. TUJUAN PENELITIAN Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi tren ketimpangan yang terjadi seluruh provinsi di Indonesia. 2. Menguji sejauh mana hipotesis Kuznets berlaku di Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh keterbukaan ekonomi, PMA, IPM, PDRB per kapita, PDRB per kapita kuadrat, dan dummy pulau Jawa terhadap ketimpangan antarprovinsi di Indonesia KEASLIAN PENELITIAN Telah banyak literatur yang membahas mengenai keterbukaan ekonomi serta ketimpangan daerah baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, baik secara cross section, time series maupun panel. Secara umum hasil studi menunjukkan bahwa bentuk hubungan antara keterbukaan ekonomi dan ketimpangan pendapatan tergantung pada karakteristik negara atau daerah masing-masing. Benar (2007) meneliti untuk melihat pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan pada negara-negara Algeria, Mesir, Iran, Kuwait, Israel, Jordan, Morocco, Syria, Tunisia dan Turki dari tahun Dengan menggunakan analisis regresi panel data dimana variabel ketimpangan 13

14 menggunakan koefisien Gini. Ditemukan bahwa keterbukaan ekonom i dan PMA memberikan pengaruh yang positif terhadap ketimpangan regional. Georgantopoulos & Anastasios (2011) meneliti untuk melihat pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan di Hungary dari tahun Dengan menggunakan analisis regresi time series dimana variabel ketimpangan menggunakan koefisien Gini. Ditemukan bahwa keterbukaan ekonom i dan PMA memberikan pengaruh yang negatif terhadap ketimpangan regional. Hao & Wei (2010) meneliti untuk melihat pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan antardaerah pesisir dan pedalaman di Cina pada tahun Dengan menggunakan analisis panel data dimana variabel ketimpangan menggunakan indeks Theil. Ditemukan bahwa sebelum era reformasi keterbukaan ekonomi berhubungan negatif tidak signifikan terhadap disparitas pendapatan di Cina. Sedangkan setelah era reformasi terjadi hubungan positif signifikan antara keterbukaan ekonomi, terhadap disparitas pendapatan di Cina. Daumal (2010) meneliti untuk melihat pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan daerah di Brazil pada tahun serta di India pada tahun Dengan menggunakan analisis error correction model dimana variabel ketimpangan menggunakan koefisien Gini. Ditemukan bahwa keterbukaan ekonomi menurunkan ketidakmerataan pendapatan di Brazil selama periode penelitian, selain itu pula keterbukaan ekonomi meningkatkan ketidakmerataan pendapatan di India selama periode penelitian. 14

15 Zhang & Kevin (2003) meneliti untuk menganalisis mengenai pengaruh keterbukaan ekonomi dan PMA terhadap ketim pangan regional di Cina pada tahun Dengan menggunakan analisis regresi panel data dimana variabel ketimpangan menggunakan produktivitas tenaga kerja. Ditemukan bahwa keterbukaan ekonomi dan PMA memberikan pengaruh yang positif terhadap ketimpangan regional. Breau (2007) meneliti untuk menganalisis mengenai pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan regional pada 10 provinsi di Kanada pada tahun Dengan menggunakan analisis regresi panel data dimana variabel ketimpangan menggunakan koefisien Gini. Ditemukan bahwa keterbukaan ekonom i memberikan pengaruh yang positif terhadap ketimpangan regional. Persamaan dan perbedaan antara studi ini dengan studi-studi sebelumnya adalah pada penggunaan kasus satu negara, variabel-variabel dalam model, serta periode estimasi. Perbedaannya studi ini dilakukan di 26 provinsi di Indonesia dengan periode waktu tahun Sedangkan persamaannya dengan penelitian sebelumnya adalah alat analisis yang digunakan yaitu indeks Williamson dan koefisien Gini untuk melihat tren ketimpangan yang terjadi pada seluruh provinsi di Indonesia dan uji data panel untuk melihat bagaimana pengaruh keterbukaan ekonomi terhadap ketimpangan antarprovinsi, ditambahkan dengan variabel penjelas yaitu PMA, IPM, PDRB per kapita, PDRB per kapita kuadrat, dan dummy pulau Jawa. 15

16 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan, tujuan, keaslian penelitian, dan sistematika penulisan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi landasan teori, bahasan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, serta variabel dan hipotesis. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisikan dekripsi tentang bagaimana penelitan akan dilaksanakan secara operasional yang menguraikan jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menggambarkan secara singkat mengenai keadaan obyek studi, kondisi penduduk, kondisi ekonomi dan dilanjutkan dengan analisis ketimpangan daerah, serta hasil pengolahan, dan analisis data. BAB 5 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesim pulan dan implikasi atas dasar studi. 16