BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.

Transkripsi

1 53 BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN V.1. Kesimpulan Tidak ada korelasi kadar hidrazin dengan kadar SGPT 2 jam setelah minum obat anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.2 Saran 1. Power penelitian ini kecil (20%), diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi kadar metabolit isoniazid dan kadar SGPT dengan jumlah sampel yang lebih besar. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan pemeriksaan aktivitas CYP2E1 dan GST, selain dari aktivitas asetilasi NAT2, dalam metabolisme isoniazid dan kejadian hepatotoksik akibat isoniazid. Ikatan metabolit toksik ke sel hepatosit memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai reseptor yang terlibat dan kepekaannya pada masing-masing individu. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan rifampisin pada kejadian hepatotoksik akibat isoniazid. 4. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan pemberian curcuma dalam mengurangi risiko kejadian hepatotoksik. V.3 Ringkasan 1. Latar belakang Infeksi tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan kasus TB tertinggi di dunia (WHO, 2009). Saat ini pengobatan maupun pencegahan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT). Isoniazid merupakan salah satu OAT yang penting

2 54 dalam pencegahan dan pengobatan TB baik sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan OAT lainnya. Konsumsi isoniazid jangka panjang menimbulkan beberapa efek samping yang tidak diharapkan. Salah satu efek samping yang perlu mendapat perhatian adalah hepatotoksik (Eris-Gulbay et al., 2006; Schaberg et al., 1996; Yee et al., 2003). Isoniazid menyebabkan peningkatan transaminase sekitar % pada individu yang mengkonsumsinya dan 1 diantara 1000 berlanjut menjadi hepatotoksik berat (Nolan et al., 1999). Peningkatan tersebut banyak terjadi pada 8 minggu pertama sejak pasien mulai konsumsi OAT (Mitchell et al., 1975; MMWR, 2008; Sharma et al., 2002). Insidensi hepatotoksik di Indonesia berkisar 3,4 % (Prihatni et al., 2005; Febrinasari, 2010). Hepatotoksik isoniazid tidak berkaitan dengan kadar isoniazid yang tinggi dalam plasma. Hepatotoksik isoniazid yang terjadi memberikan gambaran respon idiosinkratik (Tostmann et al., 2008; Lee, 1995; Russmann et al., 2009; Soukkonen et al., 2006). Penyebab pasti terjadinya hepatotoksik isoniazid belum diketahui, diduga akibat metabolit toksik yang dihasilkan selama metabolisme isoniazid di dalam hepar. Metabolisme isoniazid melalui 2 jalur yaitu asetilasi dan hidrolisis langsung. Sekitar 90 % isoniazid mengalami asetilasi menjadi asetilisoniazid dan sebagian kecil lainnya (10-5%) mengalami hidrolisis langsung menjadi hidrazin. Asetilisoniazid dan hidrazin dimetabolisme lebih lanjut menjadi asetilhidrazin. Hidrazin dan asetilhidrazin merupakan metabolit toksik yang diduga berperan dalam kejadian hepatotoksik isoniazid (Tostmann et al., 2008; Preziosi, 2007; Mitchell et al., 1976; Sarich et al., 1996).

3 55 Beberapa studi menunjukkan adanya polimorfisme pada enzim NAT2 (Nasetiltranferase-2) yaitu enzim yang berperan dalam proses asetilasi metabolisme isoniazid (Fukino et al., 2008; Kita et al., 2001; Evans et al., 1980). Subyek dapat dikategorikan sebagai asetilator lambat dan cepat. Pada asetilator lambat, lebih banyak isoniazid yang tersedia untuk hidrolisis langsung sehingga lebih banyak hidrazin yang terbentuk dan asetilasi hidrazin menjadi asetilhidrazin juga berlangsung lambat. Produksi kadar metabolit isoniazid pada setiap individu akan bervariasi. (Pea et al., 1999; Fukino et al., 2008; Parkin, 1996). Studi pada hewan oleh Sarich et al. (1996) dan Yue et al. (2004) menunjukkan kadar hidrazin berkorelasi dengan derajat hepatotoksik. Studi yang dilakukan Gent et al. (1992) pada penderita TB paru juga menunjukkan kadar hidrazin meningkat pada kejadian hepatotoksik akibat isoniazid (Parkin, 1996). Sedangkan studi lainnya oleh Donald et al. (1996) pada 32 anak meningitis TB menunjukkan bahwa kadar hidrazin tidak berkorelasi dengan kadar SGPT yang merupakan penanda standar penilaian hepatotoksik. Kadar asetilhidrazin tidak berkorelasi dengan derajat hepatotoksik (Sarich et al., 1996). Adanya hasil yang tidak konsisten dan masih minimnya informasi mengenai hubungan antara kadar hidrazin dengan kejadian hepatotoksik melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. 2. Tinjauan pustaka Hepatotoksik idiosinkratik berarti terdapat respon yang berbeda antar individu pada stimulus yang sama, kemungkinan adanya faktor intraindividu yang menyebabkan individu lebih rentan, insidensinya rendah, terjadi pada dosis obat

4 56 yang pada sebagian besar orang tidak menyebabkan toksisitas, dan mempunyai periode laten yang bervariasi (Sigh et al., 2011; Timbrell, 1984). Metabolisme isoniazid melalui 2 jalur yaitu asetilasi dan hidrolisis langsung. Sekitar 90 % isoniazid mengalami asetilasi menjadi asetilisoniazid dan sebagian kecil lainnya (10-5%) mengalami hidrolisis langsung menjadi hidrazin. Asetilisoniazid dan hidrazin dimetabolisme lebih lanjut menjadi asetilhidrazin. Asetilhidrazin diasetilasi lebih lanjut menjadi diasetilhidrazin yang bersifat kurang toksik (Tostmann et al., 2008; Preziosi, 2007; Mitchell et al., 1976; Sarich et al., 1996). Beberapa studi menunjukkan adanya polimorfisme pada enzim NAT2 (Nasetiltranferase-2) yaitu enzim yang berperan dalam proses asetilasi metabolisme isoniazid (Fukino et al., 2008; Kita et al., 2001; Evans et al., 1980). Subyek dapat dikategorikan sebagai asetilator lambat dan cepat. Pada asetilator lambat, lebih banyak isoniazid yang tersedia untuk hidrolisis langsung sehingga lebih banyak hidrazin yang terbentuk dan asetilasi hidrazin menjadi asetilhidrazin juga berlangsung lambat (Pea et al., 1999; Fukino et al., 2008; Parkin, 1996). Hidrazin dan asetilhidrazin merupakan metabolit toksik yang dapat berikatan dengan sel hepar dan menyebabkan kerusakan sel hepar (Mitchell et al.,1976, Tostmann et al., 2008). Enzim CYP2E1 memetabolisme hidrazin dan asetilhidrazin menjadi metabolit intermediet reaktif yang dapat juga berikatan dengan sel hepar. Mekanisme tubuh dalam mengikat metabolit reaktif tersebut melalui gluthatione dan enzim GST. Kerangka teori mekanisme kerusakan sel hepar oleh metabolit toksik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

5 57 Isoniazid Hidrolisis 5-10% Hidrazin Asetilasi NAT % Asetilasi NAT2 Asetil Isoniazid Hidrolisis Asetil Hidrazin Asetilasi NAT2 Diasetil Hidrazin Detoksifikasi oleh GST Antioksidan Zat intermediet reaktif CYP2E1 - Faktor genetik - Usia - Jenis kelamin - Status gizi - Infeksi - Obat lainnya Berikatan pada sel hepar Kerusakan sel hepar 3. Cara penelitian Penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross sectional untuk mengetahui hubungan kadar hidrazin yang terbentuk 2 jam setelah minum OAT dengan kadar SGPT pada akhir fase intensif pengobatan TB. Penelitian ini menggunakan data dan sampel darah dari studi pengamatan kejadian tidak diinginkan setelah pemberian obat anti-tuberkulosis (Pharmacovigilance of antituberculosis drugs) kerjasama antara Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan ICE-EBM Network. Subyek pada penelitian ini sebanyak 58 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4. Hasil dan Kesimpulan Karakteristik subyek pada penelitian ini hampir sama dengan karakteristik penderita TB pada studi sebelumnya di Indonesia (Febrinasari, 2010; Febrianti,

6 , Riskesda, 2010). Sebesar 63,8% subyek menerima komedikasi yang meliputi curcuma, multivitamin dan obat simptomatis lainnya. Penetapan status asetilator didapatkan sebanyak 65,5% subyek mempunyai fenotip asetilator cepat dan 34,5% sisanya mempunyai fenotip asetilator lambat. Hasil ini sesuai dengan distribusi status asetilator di populasi Indonesia yaitu frekuensi asetilator cepat berkisar 61,3-65,4% (Anggraini 2010; Yuliwulandari et al., 2008). Tidak didapatkan perbedaan karakteristik jenis kelamin, status gizi, usia dan status merokok yang bermakna antara kelompok asetilator cepat dan lambat. Hasil analisis beda rerata didapatkan ada beda rerata kadar asetilhidrazin dan kadar hidrazin yang bermakna antara subyek asetilator lambat dan cepat (nilai p = 0,000). Hasil ini sesuai dengan studi Fukino et al. (2008), yaitu subyek asetilator lambat mempunyai rerata kadar hidrazin lebih tinggi dan kadar asetilhidrazin lebih rendah. Proses metabolisme isoniazid dipengaruhi oleh kecepatan asetilasi. Pada asetilator lambat, lebih banyak isoniazid yang tersedia untuk jalur hidrolisis sehingga kadar hidrazin yang terbentuk lebih tinggi dan kecepatan asetilasi hidrazin menjadi asetilhidrazin juga lebih lambat sehingga jumlah asetilhidrazin yang terbentuk lebih rendah (Preziosi, 2007; Tostmann et al., 2008). Pada penelitian ini didapatkan 8,6% subyek mengalami peningkatan kadar SGPT akhir fase intensif diatas normal, 2 diantaranya (3,4%) dapat dikategorikan sebagai kejadian hepatotoksik karena mengalami peningkatan 3 kali lipat dari batas normal. Hasil ini serupa dengan studi hepatotoksik akibat

7 59 OAT di Yogyakarta sebelumnya (Febrinasari, 2010). Keseluruhan subyek yang mengalami peningkatan SGPT akhir fase intensif berjenis kelamin perempuan dan terdapat perbedaan proporsi jenis kelamin yang bermakna pada kelompok SGPT tinggi dan SGPT normal (p = 0,009). Pada penelitian ini tidak ada korelasi kadar hidrazin dan kadar SGPT 2 jam setelah minum obat akhir fase intensif. Sebelumnya,studi Yue et al. (2004) pada hewan tikus menunjukkan kadar hidrazin berkorelasi dengan kadar SGPT 1 jam setelah pemberian isoniazid. dan Studi Sarich et al.(1995) pada kelinci juga menunjukkan kadar hidrazin berkorelasi dengan ASAL yang merupakan marker sensitif nekrosis hepar. Pada kedua studi tersebut dosis isoniazid yang digunakan lebih tinggi yaitu berkisar mg/kgbb atau sekitar kali lipat dari dosis digunakan dalam terapi pasien tubekulosis. Pada dosis isoniazid 100 mg/kgbb, kadar hidrazin yang terdeteksi sekitar 32 µmol/l atau sekitar 1024 µg/ml pada 1 jam setelah pemberian isoniazid. Pada penelitian ini, rerata kadar hidrazin yang terdeteksi pada 2 jam setelah minum obat jauh lebih rendah yaitu hanya15,75 ng/ml dengan kadar tertinggi terdeteksi 125 ng/ml., kemungkinan berkaitan dengan perbedan dosis isoniazid yang diberikan. Berdasarkan studi Hussain dan Frazier (2002), kadar hidrazin 1 mm (sekitar ng/ml) hanya menimbulkan kerusakan minimal pada hepatosit. Selain kadar hidrazin yang terdeteksi rendah yaitu dibawah dosis minimal yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit, penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu power yang rendah (20%). Keterbatasan lainnya yaitu pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar metabolit dan SGPT

8 60 hanya dilakukan satu kali, yaitu 2 jam setelah minum obat pada akhir fase intensif. Pemeriksaan kadar obat dan metabolit yang hanya satu kali tidak dapat digunakan untuk melihat fluktuasi kadar obat dan kadar SGPT. Waktu pengambilan sampel darah yang tepat diperlukan untuk melihat korelasi hidrazin dan kadar SGPT. Hasil studi Donald et al., (1996) mengenai hepatotoksik akibat isoniazid pada 32 anak meningitis TB yang menerima pengobatan isoniazid 20 mg/kgbb/hari menunjukkan kadar hidrazin plasma yang terdeteksi rendah dan tidak ada korelasi kadar hidrazin dengan parameter kerusakan hepar. Studi Preece et al. (1992) pada tikus menunjukkan kadar hidrazin intraseluler meningkat setiap waktu sampai kadar toksik walaupun kadar dalam plasma tidak terdeteksi.