perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi sanksi pidana.
|
|
- Yuliani Oesman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Pendahuluan Perilaku kriminal atau sering disebut dengan kriminalitas adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi sanksi pidana. Kriminalitas termasuk dalam kategori kejahatan. Kejahatan sendiri diartikan sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (Bonger, 1982). George C. Vold juga menjelaskan bahwa kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya terdapat di dalam undang-undang, termasuk kebiasaan dan adat istiadat (Susanto, 2011). Perilaku yang termasuk dalam kategori kriminalitas antara lain seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, mengganggu ketertiban umum, dan lain sebagainya seperti yang dituliskan dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Perilaku kriminal di Indonesia diberi ancaman sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum di dalam KUHP antara lain berupa hukuman pidana penjara. Hukuman pidana penjara adalah pemberian hukuman berupa kurungan penjara terhadap narapidana selama kurun waktu tertentu atau seumur hidup. Hukuman kurungan penjara pada mulanya bertujuan untuk memberikan balasan kepada Narapidana, namun berdasarkan UU No. 12 Th 1995 tentang pemasyarakatan, sebutan penjara diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas), dan sebutan terpidana juga diubah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut WBP). Tujuan dari Lapas sendiri bukan 1
2 lagi untuk memberikan balasan melainkan untuk membuat WBP menyadari perbuatannya dan tidak mengulanginya, serta mempersiapkan WBP kembali ke masyarakat secara lebih adaptif (Pasal 2 UU No.12 Th 1995 tentang Permasyarakatan). Selama di dalam Lapas WBP diberikan pembinaan sebagai bentuk pelaksanaan tujuan pemasyarakatan itu sendiri, yaitu agar WBP lebih adaptif ketika kembali ke mesyarakat (Azriadi, 2011). Pembinaan pada WBP adalah perlakuan yang diberikan untuk dapat mengubah pandangan dan sikap-sikap WBP sehingga tidak lagi melakukan kejahatan di masa yang akan datang (Handayani, 2010). Pembinaan yang diberikan seharusnya mencakup rehabilitasi bagi WBP, karena pemberian rehabilitasi dianggap sebagai cara paling efektif yang dapat diberikan kepada pelaku kriminal ketika berada di dalam penjara (Bailey, 2007). Rehabilitasi psikis atau psikologis adalah sebuah rangkaian rehabilitasi yang dilakukan oleh para ahli psikologi untuk membuat suatu program terintegrasi guna memberdayakan individu dengan kondisi cacat dan kondisi kesehatan kronis untuk mencapai pemenuhan pribadi, sosial dan interaksi yang fungsional dalam konteks sehari-hari (APA, 2014). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi psikologis pada warga binaan pemasyarakatan adalah serangkaian program terintegrasi yang diberikan oleh ahli psikologi untuk memulihkan dari gangguan fisik, psikis dan sosial yang bertujuan agar WBP dapat melaksanakan perannya kembali secara fungsional ketika kembali ke keluarga dan masyarakat. 2
3 Pada kenyataannya, tidak sedikit dari para WBP tersebut yang sudah bebas dari Lapas kemudian kembali melakukan perilaku kriminal atau menjadi seorang residivis 1. Berdasarkan data yang didapatkan dari salah satu Lapas di Yogyakarta, hingga Januari 2014 tercatat memiliki sekitar 352 WBP (termasuk narapidana dan tahanan) 2. Enam puluh dua diantaranya tercatat sebagai residivis. Selama di dalam Lapas para WBP menerima pembinaan berjenis keterampilan, olahraga dan kegiatan keagamaan. Belum ada pembinaan yang berdasar pada rehabiltasi dan mengarah ke sasaran perilaku kriminal. Menurut salah satu petugas Lapas, para WBP yang kembali menjadi residivis selalu memberikan alasan sempitnya lapangan pekerjaan setelah keluar dari Lapas 3. Lapangan pekerjaan disebutkan sebagai salah satu alasan terpenting yang dapat menghentikan perilaku kriminal (Fromader & Malott, 2010), namun ketika keterampilan yang diberikan di Lapas sebagai bentuk rehabilitasi tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan atau kesempatan yang diberikan kepada WBP setelah keluar dari lapas, maka WBP akan kembali melakukan perilaku kriminal dengan dalih tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka. Berdasarkan hasil penelitian juga menyebutkan bahwa penjara bukan penentu seorang pelaku kriminal untuk tidak menjadi residivis, tetapi perlakuan (rehabilitasi) 1 Residivis adalah orang yang pernah dihukum dan mengulangi tindak kejahatan serupa; penjahat kambuhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016). 2 Narapidana adalah pelaku kriminal yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara serta sudah diberi keputusan hukuman. Tahanan adalah pelaku kriminal yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, namun belum diberi keputusan hukuman. 3 Pengambilan data 24 Februari 2014 di salah satu Lapas di Yogyakarta 3
4 yang mereka terima selama dalam penjara yang menentukan perilaku residivis mereka (Cochran, Mears, & Bales, 2012). Rehabilitasi yang diberikan sebaiknya bukan hanya mengarah pada bagaimana ketika mereka akan kembali beradaptasi dengan masyarakat, tetapi juga harus memperbaiki perilaku mereka (secara internal) (Steward & Ward, 2003). Rehabilitasi seharusnya mengubah perilaku kriminal yang sangat berkaitan erat dengan kognitif (proses berpikir) dan afektif (perasaan) para WBP. Profesi psikologi dapat terlibat pada pembentukan dan pelaksanaan rehabilitasi di Lapas, karena salah satu yang harus diubah melalui rehabilitasi adalah psikis dari WBP. Profesi psikologi dapat membantu mengetahui akar permasalahan perilaku kriminal sehingga kemudian dapat menentukan bentuk rehabilitasi yang tepat sasaran. Pada kenyataannya profesi psikologi tidak banyak dilibatkan dalam pemberian rehabilitasi pada WBP selama di dalam Lapas. Sasaran rehabilitasi hendaknya tepat pada faktor risiko yang menjadi pendukung faktor kriminal, bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga internal individu. Andrews dan Bonta (2007) mengungkapkan tentang criminogenic needs atau faktor risiko yang ada pada diri pelaku kriminal dan berkorelasi dengan perilaku kriminal. Para pelaku kriminal hendaknya dilihat sebagai individual yang memiliki beragam keunikan perasaan, pikiran dan perilaku (Owen, 2007). Perilaku kriminal memiliki latar belakang criminogenic needs yang bervariasi. Hal ini seharusnya menjadi suatu pertimbangan dalam menentukan target rehabilitasi (Stewart & Ward, 2003). Rehabilitasi juga seharusnya disesuaikan dengan keunikan masing-masing criminogenic needs pada residivis, untuk itu diperlukan asesmen untuk mengetahui 4
5 criminogenic needs masing-masing residivis, sehingga rehabilitasi yang diberikan dapat tepat sasaran (Caudy, Durso, & Taxman, 2013). Criminogenic needs adalah dinamika faktor risiko yang secara langsung berhubungan dengan perilaku kriminal yang menyebabkan atau membentuk perilaku kriminal (Farlex, 2004). Faktor-faktor pada criminogenic needs antara lain dapat dilihat di tabel 1. Tabel 1. Faktor Risiko Antisocial personality pattern Procriminal attitudes Social support for crime Substance abuse Family/marital relationship School/work Prosocial recreational activities Risk Factor Non-Criminogenic, minor needs Self-esteem Vague feelings of personal distress Major mental disorder Physical health (Andrews & Bonta, 2007). Kesenangan mengikuti kata hati (impulsif), Melakukan perilaku yang meresahkan, agresifitas, kurangnya self-control, tidak mengenal kasihan dan menentang. Perilaku, nilai, keyakinan dan rasionalisasi untuk melakukan kejahatan, emosional kognitif yang berisi dengan kemarahan, suka menantang, melakukan tindakan yang melawan hukum Berteman dengan pelaku kejahatan, mengisolasi diri dari pertemanan yang lain Penggunaan NAPZA (Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif) Ketidakmampuan orangtua mengontrol, kurangnya disiplin dan kurang eratnya hubungan dalam keluarga. Tingkat pencapaian pendidikan yang lemah dan tingkat kepuasan yang rendah Kurangnya keterlibatan dalam kegiatan yang dapat mengisi waktu luang seperti melakukan hobi atau olahraga. Karakteristik Indikator Perasaan kurang berharga (harga diri rendah) Perasaan cemas, galau Skizofrenia, manik-depresi Cacat fisik, kurang nutrisi 5
6 Criminogenic needs merupakan sebutan untuk faktor risiko berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andrews dan Bonta. Pada selanjutnya peneliti akan menyebut criminogenic needs dengan faktor risiko 4. Hal ini dikarenakan nama criminogenic needs pernah mendapat kritik, karena faktor-faktor yang disebutkan pada criminogenic needs bukan termasuk pada golongan needs. Needs adalah pembawaan psikologis yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan psikologis yang terus menerus, integritas dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan (well being). Manusia pada dasarnya secara natural dan aktif mencari tiga komponen yaitu kebutuhan akan otonomi (autonomy), keterikatan (relatedness), dan kompetensi (competence) (Deci & Ryan, 2000). Pemenuhan needs pada setiap orang sangat berkaitan dengan kesejahteraannya (Diener & Tay, 2011). Pemenuhan kebutuhan berasal dari kondisi internal dan eksternal individu tersebut. Faktor risiko merupakan distorsi kognitif dari kondisi pemenuhan needs, dan distorsi kognitif dari kondisi pemenuhan needs tersebut yang menghasilkan perilaku kriminal. Hal ini akan dijelaskan melalui bagan 1. 4 Pada beberapa sumber, sebutan criminogenic needs yang dikeluarkan oleh Andrews dan Bonta disebut sebagai dynamic factor atau risk/needs factor, namun ketiga hal tersebut sama esensinya (Caudy, dkk, 2013). 6
7 Internal conditions BASIC NEEDS Human well being Faktor risiko merupakan Kecenderungan bawaan (+) Kebaikan manusia ditorsi dari kondisi ini yang selalu ada dan yang diperoleh dari basic (rintangan) bernilai dalam setiap needs dan terjadi karena Misalnya kemampuan, aktivitas. Jika tidak kondisi internal dan kompetensi, keyakinan, dipenuhi, maka eksternal, seperti cinta, perilaku, nilai. menimbulkan bahaya atau persahabatan, kreativitas, External conditions meningkatkan risiko yang keadilan, pekerjaan, Faktor risiko merupakan membahayakan di masa kenikmatan estetika, ditorsi dari kondisi ini depan, seperti keterikatan, seksualitas. (rintangan). kompetensi, otonomi (-) Adanya hambatan Misalnya pendidikan, internal dan eksternal hubungan dengan yang mengakibatkan orangtua yang efektif, gangguan psikologis dan dukungan sosial. sosial berfungsi secara Bagan 1. A framework for needs based interventions (Steward & Ward, baik 2003) Berdasarkan bagan di atas, diketahui bahwa pada dasarnya needs pada masing-masing manusia sama, hanya kadar dan besarnya berbeda. Perbedaan itu bisa dikarenakan adanya kondisi pemenuhan needs yang berbeda-beda pada masingmasing individu. Kondisi pemenuhan needs itu berasal dari internal dan eksternal individu. Kondisi pemenuhan needs inilah yang menghasilkan distorsi kognitif, dan distorsi kognitif tersebut menghasilkan perilaku kriminal. Distorsi pada kondisi pemenuhan needs merupakan kesalahan proses berpikir individu atas kondisi pemenuhan needs. Kesalahan berpikir ini bisa dikarenakan keyakinan yang salah pada dirinya. Keyakinan merupakan konstruksi yang dibentuk dari pemaknaan subjektif atas kejadian-kejadian pada diri individu. Individu melihat suatu kejadian kemudian ia maknakan secara subjektif peristiwa tersebut pada dirinya. Pemaknaan yang keliru dapat menghasilkan Negative Automatic Thought 7
8 (NAT) yaitu sebuah pemikiran yang sifatnya tidak realistis dan pesimis yang munculnya secara otomatis dan tiba-tiba. NAT tersebut kemudian menjadi keyakinan dan muncul secara otomatis. NAT berdampak pada perasaan dan perilaku seseorang, termasuk perilaku kriminal (Wilding & Milne, 2008). Misalnya saja seorang residivis yang sejak kecil melihat Ayahnya memukuli Ibunya ketika marah. Ia menangkap bahwa memukul adalah cara menyelesaikan masalah. Sehingga ketika ia beradu pendapat dengan temannya, ia melakukan pemukulan yang termasuk dalam perilaku kriminal sehingga dijerat hukuman 5. Residivis memiliki distorsi kognitif dan kesalahan berpikir untuk menjelaskan perilaku kriminalnya. Beberapa dari para pelaku kriminal cenderung menyalahkan keadaan eksternal untuk menjelaskan alasan perilaku kriminal mereka (Emmer & Lopez, 2000). Perilaku kriminal juga erat kaitannya dengan penyimpangan nilai-nilai normatif dan moral yang dipegang oleh seseorang (Brown, Cromby, Gross, Locke, Patterson, 2010). Penanaman nilai sebaiknya sudah ditanamkan sejak kecil sehingga ketika dewasa ia tidak akan mengembangkan sikap destruktif dan brutal (Yuliantoro, 2014). Penanaman aturan, nilai dan moral akan menjadi sebuah keyakinan yang akan berdampak bagaimana seseorang berperilaku. Nilai-nilai moral yang ditanamkan pada seorang anak pertama kali oleh keluarga kemudian berkembang lewat belajar anak dari lingkungan sekitarnya, termasuk sekolah dan pergaulan (Dwiyanti, 2013). Bentuk-bentuk pola asuh orangtua, pendidikan, lingkungan sosial dan berbagai faktor 5 Pengambilan data 24 Februari 2014 di salah satu Lapas di Yogyakarta 8
9 lainnya yang dapat mempengaruhi pola pikir individu. Hal tersebut dapat mempengaruhi pola berpikir yang kemudian dimaknakan dan mempengaruhi individu dalam berperilaku termasuk perilaku kriminal. Individu menangkap faktor risiko dari seluruh pejalanan hidupnya, sejak ia lahir hingga saat ini. Individu mengobservasi kejadian dalam hidup kemudian diinterpretasi dengan cara sendiri. Interpretasi personal, membuat penjelasan, menafsirkan pengalaman berdasarkan cara pandang yang unik atas suatu peristiwa. Hal tersebut merupakan konstruksi pribadi tiap individu. Konstruksi terebut merupakan proses kognitif yang kemudian termanifestasi menjadi perilaku (Schultz, 2013). Individu belajar tentang nilai moral atau normatif yang ia pegang tentang suatu yang boleh atau tidak boleh dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Apabila nilai-nilai tersebut gagal untuk dipelajari maka bisa saja membentuk perilaku kriminal termasuk mengulangi kembali perilaku tersebut atau menjadi seorang residivis. Mengetahui pemaknaan dari WBP penting untuk terlebih dahulu diketahui sebelum menentukan bentuk rehabilitasi yang akan diberikan. Harapannya, rehabilitasi tersebut dapat mengarah tepat pada faktor risiko yang membentuk perilaku kriminal WBP sehingga WBP tidak kembali menjadi residivis. Sebuah Penelitian di lapangan menemukan bahwa penjara tidak memberikan efek yang signifikan berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi residivis (Cochran, Mears, & Bales, 2012). Data di lapangan juga menemukan bahwa bahwa 20 persen residivis dari pengambilan data pada Lapas yang sama adalah perempuan. Hal ini menjadi unik karena berdasarkan data empiris menemukan bahwa laki-laki 9
10 yang terlibat dalam perilaku kriminal lebih kejam dan lebih banyak melakukan pelanggaran. Misalnya saja pada Lapas yang sama, data yang didapatkan peneliti menyebutkan bahwa hingga Januari 2014, jumlah Narapidana laki-laki berjumlah 260 orang dan perempuan sebanyak 51 orang. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki lebih banyak terlibat dalam kriminalitas daripada perempuan. Pada kenyataannya perempuan atau laki-laki tetap bisa menjadi residivis. Terdapat penelitian menemukan bahwa perempuan lebih memiliki kontrol impulsif dan lebih mengetahui konsekuensi dari perbuatan mereka. Mereka juga kurang rentan dalam pengaruh kelompok kenakalan remaja dan kurangnya pengawasan orangtua. Perempuan seringkali merupakan korban (Cochran, Mears, & Bales, 2012). Pada budaya ketimuran khususnya Jawa yang memegang sistem patriarki (Wiyatmi, 2010), perempuan digambarkan sebagai seorang makhluk domestik yang tidak boleh lebih berperan daripada lelaki. Perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut. Seorang perempuan khususnya di Jawa seharusnya memiliki perasaan malu, sabar, eling, legowo (Ratnawati, 2008), sedangkan penggambaran agresivitas itu adalah miliki lelaki dan perempuan lebih digambarkan sebagai sosok yang penurut (Idrus, 2011). Pada kenyataannya, perempuan bisa menjadi seorang pelaku kriminal bahkan menjadi residivis. Konstruksi pemaknaan subjektif juga terjadi pada perempuan berdasarkan perjalanan hidupnya. Ia juga memiliki faktor risiko yang merupakan distorsi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama hidupnya. Faktor risiko tersebut yang 10
11 membentuk perilaku kriminal pada dirinya Perempuan juga merupakan hasil dari konstruksi yang seharusnya bersikap lebih lembut, dan punya kontrol impulsivitas. Pada kenyataannya perempuan bisa melakukan perilaku kriminal yang tergolong kejahatan, bahkan menjadi residivis. Dari para residivis perempuan inilah, peneliti ingin, 1. Memahami life history residivis perempuan 2. Mengetahui perjalanan hidup yang menjadi faktor risiko pada residivis perempuan Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang membentuk perilaku kriminal pada residivis perempuan melalui perjalanan hidupnya Manfaat Penelitian Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang baru sebagai sasaran rehabilitasi pada WBP di lapas dengan mengetahui fektor risiko sebagai akar perilaku kriminal. 11
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bebas terlepas dari paksaan fisik, individu yang tidak diambil hak-haknya,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain mahluk sosial juga merupakan mahluk individual yang bebas terlepas dari paksaan fisik, individu yang tidak diambil hak-haknya, individu yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial
BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ribu orang di seluruh Indonesia, hingga Oktober 2015 jumlah narapidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak kejahatan yang terjadi di wilayah negara Indonesia menyebabkan semakin banyak pula jumlah pelaku kejahatan yang diputus oleh hakim untuk
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil
Lebih terperinci2016 POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk mengambil keuntungan secara sepihak. Kejahatan yang ada di tengah masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolakan Sosial 2.1.1 Konsep Penolakan Sosial Penolakan merupakan keadaan yang sangat umum dan berpotensi untuk menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak
7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor
Lebih terperincipersepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika adalah zat adiktif yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan ketergantungan bagi penggunanya. Narkotika meningkatkan daya imajinasi manusia dengan merangsang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Minuman berakohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif yang akan menyebabkan penurunan kesadaran bagi seseorang yang mengkonsumsinya
Lebih terperinciKajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )
Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ) OLEH : Aswin Yuki Helmiarto E 0003104 BAB I PENDAHULUAN A.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bagi pembangunan. Ini berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang. diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan dilakukan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila, dan sosial masyarakat) meliputi pemulihan harga
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan dan berdampak pada hilangnya satu generasi bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kriminalitas adalah sebuah permasalahan yang sering disajikan di berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kriminalitas adalah sebuah permasalahan yang sering disajikan di berbagai media, baik itu media elektronik sampai media cetak, yang terjadi baik di kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. Berdasarkan laporan Statistik Kriminal 2014, jumlah kejadian kejahatan (total crime) di
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan Statistik Kriminal 2014, jumlah kejadian kejahatan (total crime) di Indonesia pada tahun 2013 adalah 342.084 kasus sehingga dapat ditetapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. massa baik elektronik maupun non-elektronik yang sepertinya setiap hari tak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini kriminalitas merupakan suatu hal yang kerap terjadi di berbagai tempat. Hal ini dapat di lihat pada lingkungan kita sendiri, dari media massa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,
Lebih terperinciFAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA WANITA DEWASA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak termasuk golongan dewasa dan juga bukan golongan anak-anak, tetapi remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu periode dalam perkembangan individu yang mengalami perubahan dari masa anak-anak menuju dewasa. Remaja memiliki arti yang khusus, karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, cakupan dan batasan yang dipakai
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan permasalahan, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, cakupan dan batasan yang dipakai dalam penelitian ini.
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S -1 Keperawatan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tentunya mengharapkan kehidupan di masa yang akan datang dapat dilalui dengan baik dan mendapatkan kualitas hidup yang baik. Namun dalam prosesnya tidak
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya seseorang yang melanggar norma hukum lalu dijatuhi hukuman pidana dan menjalani kesehariannya di sebuah Lembaga Pemasyarakatan mengalami keadaan
Lebih terperincimenempati posisi paling tinggi dalam kehidupan seorang narapidana (Tanti, 2007). Lapas lebih dikenal sebagai penjara. Istilah tersebut sudah sangat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat kriminalitas di Indonesia semakin meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, diperkirakan kejahatan yang terjadi sekitar 209.673 kasus, sedangkan
Lebih terperinciLampiran 1. Verbatim. Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1 Verbatim Lampiran 2 INFORMED CONSENT Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden Tema Penelitian : Psychological Well-Being Peneliti : Fifi Yudianto NIM : 071301069 Saya yang bertanda tangan di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhan kebutuhan (http://bataviase.co.id/node/250528).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan aktivitas ekonomi, memicu berbagai permasalahan sosial seperti minimnya lapangan kerja dan akhirnya memicu tingginya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, pribadi yang akibatnya mengganggu dan merugikan pihak lain.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi memunculkan banyak masalah
Lebih terperinciBUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,
SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 12 TAHUN 2007 SERI E.7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 12 TAHUN 2007 SERI E.7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2003
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- Undang Dasar 1945 pasal 3 yang berbunyi Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
Lebih terperinciBENTUK-BENTUK DISTORSI KOGNITIF NARAPIDANA WANITA YANG MENGALAMI DEPRESI DI LAPAS SRAGEN
BENTUK-BENTUK DISTORSI KOGNITIF NARAPIDANA WANITA YANG MENGALAMI DEPRESI DI LAPAS SRAGEN Skripsi Guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat memperoleh derajat sarjana S-1 OLEH : ANISA PRAMUDYAWATI F 100
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang
Lebih terperinciPENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG
PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG Laily Lolita Sari_11410129 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan berusaha mencari sesuatu dengan segala upaya memenuhi kepuasannya, baik dari segi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada dinamika kehidupan masyarakat. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat terutama yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan baik artinya orang tersebut memiliki kecerdasan emosional. Bar-On (1992,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Goleman (2001) kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum, hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta suatu kehidupan yang serasi, selaras
Lebih terperinci2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Self-control dibutuhkan agar individu dapat membimbing, mengarahkan dan mengatur segi-segi perilakunya yang pada akhirnya mengarah kepada konsekuensi positif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan sejak adam dan hawa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia hidup dalam era yang terus berkembang. Semakin hari semakin banyak perubahan dalam bidang apapun. Permasalahan dalam kehidupan yang semakin kompleks
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi
LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak sangat berperan sebagai kunci sukses suatu bangsa. Seiring dengan perkembangan pelaku kejahatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah banyak teori yang dibuat untuk menjelaskan perilaku yang melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif sosial-ekonomi, misalnya, konsep
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan(UU RI No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7). Lembaga Pemasyarakatan adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komnas Perlindungan Anak, yaitu Arist Merdeka Sirait dalam wawancara dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena memprihatinkan yang terjadi pada bangsa ini adalah meningkatnya angka kejahatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ketua Komnas Perlindungan Anak,
Lebih terperinciRUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus
1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? RUU Penghapusan Kekerasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih mudah dengan berbagai macam kepentingan. Kecepatan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu, sehingga segala aspek kehidupan manusia tidak memiliki batas.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Tingkat krminalitas di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kriminalitas merupakan suatu fenomena yang komplek dan menarik perhatian banyak kalangan, karena kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak kejahatan atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan tindakan ancaman dan kekerasan. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan salah satu fenomena sosial yang selalu ada dan melekat pada setiap kehidupan masyarakat terbebas dari kejahatan. Kejahatan disini dapat dilakukan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ann I. Alriksson-Schmidt, MA, MSPH, Jan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional
Lebih terperinciPROFIL NARAPIDANA BERDASARKAN HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
PROFIL NARAPIDANA BERDASARKAN HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyalahgunaan Wewenang Yang Dilakukan Oleh Oknum Petugas Lembaga Pemasyarakatan Dihubungkan Dengan Peraturan Menteri Hukum & HAM Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
Lebih terperinciKriminalitas Sebagai Masalah Sosial
Kriminalitas Sebagai Masalah Sosial Kriminalitas berasal dari kata crime yang artinya kejahatan. Kriminalitas adalah semua perilaku warga masyarakat yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana. Kriminalitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan tempat dan sekaligus rumah bagi narapidana yang melakukan tindak kejahatan serta menjalani hukuman atau pidana yang dijatuhkan
Lebih terperinciBAB 1 Tinjauan Pustaka
BAB 1 Tinjauan Pustaka 2.1. Materialisme 2.1.1. Definisi Belk (1985) mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Di kemudian hari, Richins dan Dawson memperluas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari ketidakpuasan seseorang terhadap kondisi hidupnya sehingga melihat anak yang tidak berdaya sebagai
Lebih terperinciBAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, kenakalan remaja merusak nilai-nilai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja merupakan salah satu problem sosial yang sangat mengganggu keharmonisan, juga keutuhan segala nilai dan kebutuhan dasar kehidupan sosial. Dalam
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 726 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG,
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013
PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BIMBINGAN LANJUT DAN RUJUKAN BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciGUILTY FEELING PADA RESIDIVIS
GUILTY FEELING PADA RESIDIVIS SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persayaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: TRI SETYONUGROHO F. 100 020 204 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
Lebih terperinci2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA
BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi yang akan membahas beberapa hal terkait penelitian, seperti latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur
Lebih terperinci2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan
No.1942, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Standar Pelayanan Rehabilitasi. PERATURAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PELAYANAN REHABILTASI BAGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus penggunaan narkoba pada remaja sudah sering dijumpai di berbagai media. Maraknya remaja yang terlibat dalam masalah ini menunjukkan bahwa pada fase ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tengah-tengah masyarakat telah memberikan dampak negatif bagi
10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Fear Of Crime 1. Pengertian Fear Of Crime Salah satu masalah sosial yang muncul di tengah masyarakat adalah timbulnya tindak kejahatan. Berbagai tindak kejahatan
Lebih terperinci2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba
No.404, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Narapidana. Pembinaan. Izin Keluar. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih banyak daripada anak yang tidak mengalaminya, tetapi mereka memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kontrol diri merupakan hal yang penting bagi setiap individu, termasuk dan terutama bagi individu yang sedang menjalani proses rehabilitasi narkoba. Kontrol diri menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan diperhatikan sebaik mungkin oleh seluruh lapisan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah penyebab sepertiga kematian pada anak-anak muda di beberapa bagian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tak kurang dari 320.000 orang antara usia 15-29 tahun meninggal setiap tahun karena berbagai penyebab terkait alkohol. Jumlah ini mencapai sembilan persen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran
Lebih terperinciP, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Lebih terperinciBUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN
SALINAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Anak adalah anugerah tidak ternilai yang dikaruniakan
Lebih terperinci