ANALISIS LUAS LAHAN SAWAH BERBASIS CITRA MODIS DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN WILONA OCTORA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS LUAS LAHAN SAWAH BERBASIS CITRA MODIS DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN WILONA OCTORA"

Transkripsi

1 ANALISIS LUAS LAHAN SAWAH BERBASIS CITRA MODIS DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN WILONA OCTORA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBER DAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Luas Lahan Sawah Berbasis Citra MODIS di Provinsi Jawa Barat Tahun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Wilona Octora NIM A

4 ABSTRAK WILONA OCTORA. Analisis Luas Lahan Sawah Berbasis Citra MODIS di Provinsi Jawa Barat Tahun Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan LA ODE SYAMSUL IMAN. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang mengalami alih fungsi lahan sawah terluas di Pulau Jawa sejak tahun Kondisi data statistik pertanian BPS memiliki beberapa kekurangan dalam proses pemantauan luas lahan sawah dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan perbaikan pencatatan luas lahan sawah menggunakan citra satelit. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeteksi luas lahan sawah berdasarkan kelas sawah di Jawa Barat dengan data penginderaan jauh tahun , serta mengetahui perbedaan luas lahan sawah antara data penginderaan jauh dan data statistik pertanian BPS pada tingkat Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas tanam sawah yang jelas pada Kabupaten Ciamis, Bogor, Bandung, dan Purwakarta pada tahun antara data BPS dan data penginderaan jauh. Luas lahan sawah di Jawa Barat pada tahun menurut data penginderaan jauh citra MODIS lebih besar dibandingkan dengan luas lahan sawah menurut data statistik pertanian BPS. Kata kunci: Jawa Barat, luas lahan sawah, MODIS, statistik pertanian ABSTRACT WILONA OCTORA. Analysis of Rice Field Area Based on MODIS Imagery in West Java Supervised by ERNAN RUSTIADI and LA ODE SYAMSUL IMAN. West Java is the largest province in Java Island that had been experiencing rice field land conversion since Agricultural statistic data that provide by National Statistic Agency (BPS) has several lacks in monitoring process of rice field area year to year, therefore it is required to improve other alternatives to the collected data by satellite imagery. The aims of this research were to detect rice field area based on rice field categorization in West Java derived from MODIS imagery and to obtain the differences of rice field area between MODIS imagery and agricultural statistic data of BPS from 2002 to The results showed that there were noticeable differences of rice field area in Ciamis, Bogor, Bandung, and Purwakarta districts. In West Java, rice field area during 2002 until 2010 derived from MODIS imagery were higher than those derived from agricultural statistic data of BPS. Keywords: agriculture statistic data, MODIS, paddy rice fields area, West Java

5 ANALISIS LUAS LAHAN SAWAH BERBASIS CITRA MODIS DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN WILONA OCTORA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBER DAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Analisis Luas Lahan Sawah Berbasis Citra MODIS di Provinsi Jawa Barat Tahun Nama : Wilona Octora NIM : A Disetujui oleh Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr Pembimbing I La Ode Syamsul Iman, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah perubahan luas lahan sawah, dengan judul Analisis Luas Lahan Sawah Berbasis Citra MODIS di Provinsi Jawa Barat Tahun Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi dan Bapak La Ode Syamsul Iman selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yudi Setiawan dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB (PPLH-IPB), serta staf dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) yang telah membantu selama pengumpulan data, dan kepada Bapak Bambang Hendro Trisasongko selaku moderator seminar hasil penelitian serta Ibu Khursatul Munibah selaku penguji ujian skripsi yang telah memberi masukan terhadap penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Alm. ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2014 Wilona Octora

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Perubahan Penggunaan Lahan 2 Padi dan Lahan Sawah 3 Konversi Lahan Sawah 4 Pertanian Padi di Jawa Barat 4 Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Pertanian 5 Citra MODIS 5 METODE 7 Lokasi dan Waktu Penelitian 7 Jenis Data dan Alat Penelitian 7 Metode Penelitian 8 KONDISI UMUM WILAYAH 18 Letak dan Lokasi Penelitian 18 Keadaan Iklim dan Tanah 20 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Perbedaan Luas Lahan Sawah di Jawa Barat antara Citra MODIS dan Data BPS Tahun SIMPULAN DAN SARAN 28 Simpulan 28 Saran 29 DAFTAR PUSTAKA 29 LAMPIRAN 31 RIWAYAT HIDUP 40 vi vi vi

10 DAFTAR TABEL 1 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian 7 2 Proses Pengambilan Titik Contoh Pengamatan untuk Klasifikasi Kelas Sawah di Jawa Barat 15 3 Tujuan Penelitian, Metodologi, Jenis Data, dan Hasil yang Diharapkan 18 4 Luas Wilayah dan Luas Sawah per Kabupaten di Jawa Barat Tahun Sebaran Jenis Tanah dan Arahan Penggunaan 20 6 Rata-rata Penyusutan/Pertumbuhan Luas Lahan Sawah per Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun (Ha) 23 7 Rasio Luas Lahan Sawah antara Citra MODIS dan Data BPS 26 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan Alir Penelitian 8 2 (a) Peta Batas Sawah BAKOSURTANAL 1990; (b) Peta Perubahan Penggunaan Lahan Sawah MODIS Jawa Barat Fase Tumbuh Padi Berdasarkan Hasil Survei Tim BIMAS Sebaran 1123 Titik Survei Lapang Tim BIMAS-21 di 11 5 Sebaran 108 Titik Contoh Pengamatan di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu Tahun Hasil Penggabungan dan Pemotongan Citra MODIS 13 7 Pola Temporal EVI dan Foto Keadaan Lapang Hasil Survei Tim BIMAS-21 Tahun Sebaran 48 Titik Contoh Pengamatan Berdasarkan Hasil Survei Tim BIMAS-21 Tahun Proses Pengambilan Titik Contoh Pengamatan Wilayah Administrasi Provinsi Jawa Barat Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Rata-rata Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Sebaran Penggunaan Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Perbedaan Luas Lahan Sawah di Jawa Barat Tahun antara Citra MODIS dan Data BPS Perbedaan Luas Panen dan Produksi Padi di Jawa Barat Rata-rata Rasio Luas Lahan Sawah disetiap Tahun (d t ) di Jawa Barat antara Citra MODIS dan Data BPS Tahun Rata-rata Rasio Luas Lahan Sawah disetiap Kabupaten (d t ) di 27

11 DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabel Titik Contoh Pengamatan Lapang Tim BIMAS-21 Tahun Contoh Titik Pengamatan yang Sesuai antara Pola Temporal EVI dan Foto Keadaan Aktual Lahan Survei Tim BIMAS-21 Tahun Proyeksi Luas Panen dan Produksi Padi di Jawa Barat 37

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Ketersediaan jumlah pangan di Indonesia berkaitan dengan jumlah lahanlahan subur. Lahan subur di Pulau Jawa memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai penghasil pangan di Indonesia, khususnya beras. Pada tahun 2008, pulau ini menyuplai 55% produksi beras nasional dengan luas panen 5,74 ha (BPS 2009). Menurut Nurwadjedi (2011) peranan lahan sawah di Pulau Jawa sangat menentukan kestabilan produksi beras nasional. Kegagalan panen beras di Pulau Jawa dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Di samping itu, Peraturan Presiden No. 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa dan Bali menyebutkan bahwa Pulau Jawa ditujukan sebagai lumbung pangan nasional. Hal ini dikarenakan Pulau Jawa memiliki sistem pertanian yang sudah tergolong maju dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Sejak zaman kolonial Belanda, sistem irigasi telah dilakukan untuk pengembangan tanaman padi khususnya di Pulau Jawa (Panuju et al. 2013). Jawa Barat merupakan provinsi yang mengalami alih fungsi lahan sawah terluas di Pulau Jawa. Menurut Arsyad dan Rustiadi (2008), luas lahan sawah di Jawa Barat mengalami penurunan hingga 0,199 juta ha dari tahun Permasalahan alih fungsi lahan sawah yang berkaitan dengan ketersediaan lahan sawah bukan merupakan hal yang mudah untuk diselesaikan hanya dengan melihat keadaan saat ini. Permasalahan tersebut harus diselesaikan secara komprehensif, sehingga perlu diamati perubahannya dari tahun ke tahun. Kondisi data statistik pertanian dari BPS memiliki beberapa kekurangan dalam proses pemantauan perubahan penggunaan lahan sawah dari tahun ke tahun. Priyarsono (2011) memaparkan bahwa perlu perbaikan pencatatan luas sawah dengan menggunakan bantuan satelit, sehingga dapat dilakukan pemantauan dalam jangka waktu tertentu secara berkelanjutan dan hasil yang lebih akurat. Proses pemantauan luas lahan sawah dari tahun ke tahun perlu dilakukan dalam rangka perencanaan dan pengendalian tata ruang, serta Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah diharapkan dapat dikendalikan dengan adanya PLP2B. Pengendalian laju alih fungsi lahan sawah dilakukan dengan menetapkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). LP2B umumnya ditetapkan pada lahan sawah produktif yang secara konsisten menghasilkan pangan, sehingga diperlukan data yang akurat terkait luas lahan sawah agar ketersediaan pangan di masingmasing wilayah dapat diketahui jumlahnya. Pemanfaatan data penginderaan jauh dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk berbagai aplikasi lingkungan telah banyak digunakan, salah satunya untuk mendeteksi perubahan penggunaan lahan (Liu et al. 2011). Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengklasifikasikan sawah dengan citra resolusi tinggi pada tahun 2010, namun tidak dapat dilakukan pemantauannya setiap tahun, karena klasifikasi tersebut tidak dilakukan secara kontinu. Kombinasi data citra multi waktu (multitemporal) dan informasi spektrum citra dengan berbagai resolusi mulai medium sampai kasar, khususnya MODIS menjadikan aplikasi SIG memiliki kekuatan fungsi mengolah data secara efektif dalam mendeteksi

14 2 perubahan penggunaan lahan. Salah satu data penginderaan jauh dari NASA (National Aeronautics and Space Administrations) yaitu MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sebuah citra satelit yang dapat menunjukkan dinamika proses perubahan yang terjadi di atmosfer satu sampai dua hari sekali. Pemantauan sawah dengan MODIS dapat digunakan untuk rekomendasi perencanaan ketahanan pangan dalam cakupan wilayah yang luas, karena MODIS memiliki resolusi yang rendah (250 m, 500 m, dan 1 km). Proses pemantauan sawah khususnya di provinsi Jawa Barat sedang dilakukan oleh tim Bimbingan Masyarakat (BIMAS-21) dalam rangka mengetahui perubahan luas lahan sawah dari tahun ke tahun guna mendukung perencanaan LP2B. Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk memetakan sawah dengan resolusi rendah yang nantinya akan dikaji lebih lanjut oleh tim BIMAS-21 dalam rangka pemantauan luas lahan sawah dari tahun ke tahun guna mengetahui faktor-faktor penentu penyebab perubahan luas lahan sawah dari tahun ke tahun dan mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan sawah di Jawa Barat. Xiao et al. (2004) menggunakan MODIS untuk memetakan lahan sawah di 13 provinsi di Cina Selatan guna mendukung data pertanian terkait padi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa MODIS baik digunakan untuk memetakan lahan sawah dalam cakupan wilayah yang besar. Selain itu, Setiawan et al. (2011) membandingkan luas lahan sawah irigasi di Pulau Jawa tahun 2003 antara citra MODIS dan data BPS. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa luas sawah irigasi di Jawa Barat menurut citra MODIS lebih besar dibandingkan dengan luas sawah irigasi menurut data BPS. Tujuan Penelitian 1. Mendeteksi luas lahan sawah di Jawa Barat per Kabupaten tahun berbasis citra MODIS berdasarkan kelas penggunaan sawah. 2. Mengetahui perbedaan luas lahan sawah per Kabupaten di Jawa Barat tahun menurut analisis citra MODIS dan data statistik pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS). TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan telah banyak didefinisikan oleh para ahli dan dapat dirangkum sebagai usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara material dan spiritual melalui interaksi antara faktor-faktor fisik lahan, sosial, ekonomi, teknik, dan politik yang dapat terlihat dalam berbagai macam penutup lahan. Penggunaan lahan menurut Arsyad (2006) merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan memiliki dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Sitorus (1985) menyatakan bahwa penggunaan lahan lebih merupakan

15 tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan. Kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Pasandaran (2006) mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk. Jika dikaitkan dengan petani, maka faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dibagi menjadi faktor tidak langsung dan faktor langsung (Pakpahan et al. 1993). Faktor tidak langsung yaitu perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Faktor langsung diantaranya pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah. 3 Padi dan Lahan Sawah Padi merupakan komoditas pangan terpenting di Indonesia, karena mayoritas penduduk Indonesia (95%) mengonsumsi bahan pangan padi (Swastika et al. 2007). Menurut Siregar (1981) dalam Norsalis (2011), padi dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jenis lahan untuk budidayanya, yaitu padi sawah dan padi gogo. Padi sawah adalah padi yang ditanam di dataran rendah yang tergenang dan padi gogo adalah padi yang ditanam di dataran tinggi yang kering. Menurut Hardjowigeno et al. (2004), tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi atau tanah rawa yang dikeringkan dengan membentuk saluransaluran drainase. Tanah sawah terbentuk melalui proses eluviasi dan pengaruh penanaman serta pemupukan. Tanah sawah sebagian besar terbentuk di dataran rendah (lereng bawah), yaitu di lahan berbahan aluvial seperti dataran banjir, delta, dan teras. Berdasarkan jenis pengairannya, sawah dibagi menjadi dua jenis, yaitu sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi adalah sawah yang airnya berasal dari air irigasi, dan sawah tadah hujan adalah sawah yang airnya langsung berasal dari air hujan. Selain itu ada juga sawah pasang surut, yaitu sawah yang berada di daerah pasang surut, dan sawah lebak, yaitu sawah yang dikembangkan di daerah rawa. Data statistik pertanian yang diterbitkan oleh BPS berupa data tabular terdiri dari beberapa aspek dalam istilah statistik. Beberapa aspek tersebut yang merupakan data pokok menurut BPS (2012) diantaranya, luas panen, produksi, dan produktivitas. Luas panen merupakan luas dari lahan tanaman yang dipungut hasilnya setelah tanaman tersebut cukup umur, minimal 11% dari total luas tanam. Produksi adalah hasil menurut bentuk produk dari tanaman yang diambil berdasarkan luas yang dipanen dalam kualitas Gabah Kering Giling (GKG). Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari survei ubinan dalam kualitas Gabah Kering Panen (GKP). Selain itu, terdapat pula luas tanam dan luas baku lahan sawah. Luas tanam merupakan luas dari lahan tanaman yang baru ditanam,

16 4 sedangkan luas baku lahan sawah merupakan luas sawah secara keseluruhan (luas kotor) dikurangi dengan luas pematang/galengan dan luas saluran air. Konversi Lahan Sawah Lahan sawah merupakan produsen beras utama di Indonesia. Menurut Empersi (2009), keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Maka dari itu, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak yang luas pada berbagai aspek pembangunan. Sutomo (2004) dalam Empersi (2009) menjelaskan bahwa pada tahun rata-rata total sawah di Indonesia yang terkonversi ke penggunaan non pertanian adalah 141,3 ribu ha per tahun. Selain itu, Sumaryanto et al. (1996) dalam Empersi (2009) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dari alih fungsi lahan sawah ke pertanian non sawah (37%) di Pulau Jawa. Menurut Tambunan (2008), umumnya konversi lahan sawah menjadi daerah pemukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat (Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon), dan beberapa daerah di Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Pasandaran (2006) menjelaskan, permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di pinggiran kota. Konversi lahan sawah bersifat irreversibel, menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Semakin tinggi lahan yang dikonversi, maka semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya (Nurwadjedi 2011). Berdasarkan data BPS yang terdapat dalam Christina (2011), disebutkan bahwa dalam kurun waktu 40 tahun ( ), jumlah penduduk di Indonesia telah meningkat sebanyak 117 juta jiwa. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan kebutuhan akan pangan meningkat. Jika konversi lahan sawah tidak dikendalikan, maka akan mengganggu kelangsungan produksi yang dapat menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, baik ketahanan pangan daerah maupun ketahanan pangan nasional. Perlindungan lahan pertanian merupakan hal yang perlu dilakukan ketika konversi lahan sawah terus menerus terjadi. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dalam mengendalikan laju konversi sawah di Indonesia. Pertanian Padi di Jawa Barat Indonesia merupakan negara agraris. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa dan Bali, Pulau Jawa ditujukan sebagai lumbung pangan nasional. Namun, produksi dan produktivitas pertanian di Pulau Jawa sulit untuk berkembang, terutama di areal yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Hal ini dikarenakan konversi lahan terus terjadi sehingga menimbulkan dinamika perubahan (Empersi 2009). Provinsi Jawa Barat mengalami konversi terbesar, yaitu 87,09% total konversi di Pulau Jawa atau sekitar ha. Konversi sawah khususnya terjadi di wilayah

17 Karawang dan Bekasi, karena adanya pembangunan industri di wilayah tersebut (Ashari 2003). Jawa Barat merupakan provinsi pendistribusi padi terbesar di Indonesia. Hal ini didukung oleh kondisi agroekosistem yang baik untuk pertanian, terutama komoditas padi yang berkontribusi sebesar 17% terhadap produksi padi nasional. Luas lahan sawah di Jawa Barat 11.62% dari luas lahan sawah di Indonesia, sehingga sawah di Jawa Barat masih memiliki potensi yang baik untuk meningkatkan produksi padi (Christina 2011). Karawang, Subang, dan Indramayu merupakan Kabupaten dengan luas sawah terbesar di Jawa Barat. Ketiga Kabupaten tersebut merupakan sentra produksi padi paling berkembang di pulau Jawa. Hal ini sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda dengan membangun sistem irigasi di Pulau Jawa yang bersumber dari sungai Bengawan Solo di Jawa Tengah dan sungai Cimanuk di Jawa Barat (Panuju et al. 2013). 5 Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Pertanian Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem informasi yang mampu bekerja dengan data spasial berkoordinat geografi (Jaya 2002 dalam Empersi 2009). SIG mampu mendeteksi perubahan dengan aplikasi data dari sumber data penginderaan jauh yang berbeda. Deteksi perubahan merupakan sebuah proses identifikasi keberadaan suatu obyek atau fenomena pada waktu yang berbeda. Barus et al. (2011) menggunakan analisis spasial dengan SIG dalam menentukan keputusan penentuan lahan pangan yang perlu dilindungi di Kabupaten Garut dengan menghitung potensi konversi lahan yang terjadi. Pengolahan data spasial yang dilakukan pada penelitian tersebut digunakan untuk mengetahui wilayah dengan kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Dari kriteria LP2B tersebut, dilakukan analisis spasial untuk mengetahui dinamika konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Garut. Survei lapang diperlukan dalam penelitian guna mendukung hasil analisis spasial yang telah dihasilkan. Christina (2011) dalam penelitiannya menggunakan model SIG untuk proses overlay penutupan atau penggunaan lahan, kawasan hutan, dan kesesuaian lahan sawah. Proses overlay dirancang untuk klasifikasi Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). LCP2B merupakan lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai LP2B pada masa yang akan datang. Citra MODIS Data optik pengamatan bumi dengan resolusi spasial dari medium sampai kasar banyak digunakan dalam penelitian aplikasi lingkungan untuk deteksi perubahan dalam dimensi waktu dengan resolusi spektral dan temporal sebagai sumber informasi untuk mengetahui kondisi lingkungan dan fenologi alami tanaman. Penelitian ini memanfaatkan citra satelit MODIS (Moderate Resolution

18 6 Imaging Spectroradiometer) yang merupakan salah satu sensor dengan resolusi kasar dengan kemampuan merekam seluruh permukaan bumi dan dinamika proses perubahan yang terjadi di atmosfer dalam bentuk citra. MODIS termasuk ke dalam penginderaan jauh sistem pasif, yaitu penginderaan jauh yang menggunakan tenaga alami yang berasal dari tenaga matahari. Sensor MODIS memiliki 36 jenis kanal spektral. Tujuh diantaranya dikembangkan untuk mempelajari jenis vegetasi dan bentuk permukaan lahan, antara lain kanal biru dengan panjang gelombang nm; kanal hijau dengan panjang gelombang nm; kanal merah dengan panjang gelombang nm; kanal near infrared dengan panjang gelombang NIR 1 : nm dan NIR 2 : nm; dan kanal shortwave infrared dengan panjang gelombang SWIR 1 : nm; SWIR 2 : nm dengan resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1 km. Citra satelit MODIS memiliki kemampuan waktu rekam pada lokasi yang sama 8 dan 16 harian secara kontinu. Citra satelit ini dapat diunduh secara gratis melalui situs web NASA ( Kemampuan MODIS cukup baik digunakan khusus pada pemantauan permukaan bumi secara temporal dalam lima hal, yaitu kalibrasi, atmosfer, lahan, cryosphere (penggunaan salju dan penggunaan es), dan lautan. Pengidentifikasian lahan terutama pada lahan sawah, biasanya menggunakan dua tipe data MODIS, yaitu MOD09A1 dan MOD13A1. Penelitian ini menggunakan MODIS tipe MOD13A1, yaitu MODIS Terra (EOS PM) 16 harian yang secara efektif mengidentifikasi NDVI (Normalize Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index) ditinjau dari permukaan vegetasi dengan resolusi 500 m. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk berbagai penelitian dengan citra satelit MODIS telah banyak dilakukan. Xiao et al. (2004) memanfaatkan citra MODIS MOD09A1 8 harian untuk memetakan lahan padi sawah di 13 provinsi di Cina Selatan guna mendukung data pertanian khususnya padi dengan ciri fisik yang unik secara temporal dengan skala besar. Avicienna (2011) dalam penelitiannya juga menggunakan data MODIS untuk mengidentifikasi lahan pertanian padi sawah yang berkelanjutan di Karawang, Jawa Barat berdasarkan nilai EVI. Nilai EVI rendah menunjukkan tingkat kehijauan pada tanaman atau vegetasi itu rendah, dan sebaliknya nilai EVI yang tinggi menunjukkan penggunaan vegetasi yang lebih rapat. Setiawan et al. (2011) dalam penelitiannya memanfaatkan citra MODIS berdasarkan pola temporal EVI dan mengklasifikasikan penggunaan lahan menjadi 25 kelas. Pada penelitian tersebut, pola EVI pada lahan sawah dibedakan kedalam 7 tipe penggunaan lahan, yaitu (1) lahan sawah dua kali irigasi di lahan basah (wet land), (2) lahan sawah dua kali tanam tadah hujan dengan pola tanam padi-bukan padi, (3) lahan sawah dua kali irigasi di dataran tinggi, (4) lahan sawah tiga kali irigasi di lahan basah, (5) lahan sawah di dataran tinggi, (6) lahan sawah yang dijadikan tambak ikan atau udang, dan (7) lahan sawah di dataran tinggi yang ditanam secara intensif (tiga kali tanam).

19 7 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 hingga bulan Oktober 2013 dengan cakupan wilayah Provinsi Jawa Barat (5 o 50-7 o 50 LS dan 104 o o 48 BT). Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Jenis Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari citra satelit MODIS tipe MOD13A1 (16 harian; resolusi 500 m; lokasi tile v:09 dan h:28). Provinsi Jawa Barat tahun , peta administrasi Jawa Barat, peta rupa bumi batas sawah Provinsi Jawa Barat BAKOSURTANAL tahun 1990, citra MODIS perubahan penggunaan lahan Pulau Jawa tahun , data luas, produksi, dan produktivitas padi Provinsi Jawa Barat dari BPS tahun , dan foto hasil survei lapang sawah yang dilakukan oleh tim Bimbingan Masyarakat (BIMAS-21) tahun 2012 di wilayah Pantura (Karawang, Subang, dan Indramayu). Alat penunjang yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pengolahan data digital citra penginderaan jauh spasial, antara lain ENVI 4.5, ArcGIS 9.3, Kamera GPS, Global Mapper, serta perangkat lunak Microsoft Excel dan Microsoft Office Word untuk pengolahan data. Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian No. Jenis Data Ekstraksi Data Sumber Data 1 Peta Administrasi Provinsi Jawa Barat Foto hasil survei lapang sawah BIMAS-21 tahun 2012 wilayah Pantura (Karawang, Subang, dan Indramayu) - Foto (data digital) ditransfer menjadi titik (data spasial) sebagai piksel pengamatan 2 Citra Satelit MODIS tipe MOD13A1 tile scene h28v09 tahun Peta Rupa Bumi batas sawah Provinsi Jawa Barat Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pulau Jawa dengan Citra MODIS Badan Geospasial Indonesia melalui database spasial Divisi Sistem Informasi Wilayah, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB - Website NASA: Contoh piksel pengamatan (trainingset) dan contoh piksel pewakil (testing) lokasi non sampel lapangan. Contoh piksel pengamatan (trainingset) dan contoh piksel pewakil (testing) lokasi non sampel lapangan. 5 Data Statistik Pertanian Luas lahan sawah, produktivitas, produksi, dan luas panen sawah di Provinsi Jawa Barat. BAKOSURTANAL Hasil penelitian Setiawan et al. (2011) Badan Pusat Statistik (BPS)

20 8 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu (1) tahap persiapan, studi literatur, dan pengumpulan data, (2) tahap analisis data spasial, (3) tahap analisis data, dan (4) tahap penyusunan laporan akhir. Tahap-tahap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut dan dapat dilihat bagan alirnya pada Gambar 1. Peta Batas Sawah BAKOSURTANAL dan Peta LUC MODIS Jawa Barat Foto survei lapang BIMAS-21 Tahun 2012 di Karawang, Subang, Indramayu MODIS tipe MOD13A1 tile h28v (23 kanal spektral per tahun) Data Statistik Pertanian Jawa Barat (BPS) Koreksi Citra MODIS: Geometri; Radiometri Konversi Data Digital Data Spasial (titik pengamatan) Pra-pengolahan Data: Penggabungan 23 kanal spektral dalam 1 tahun dan pemotongan citra sesuai lokasi penelitian Pengambilan titik contoh berdasarkan titik pengamatan Entry Data Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Sawah Klasifikasi Kelas Sawah: Sawah Irigasi dan Sawah Non Irigasi (Tujuan 1) Transfer data atribut data tabular Pivot Table berdasarkan Kelas Sawah dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Luas Lahan Sawah di Jawa Barat (Tujuan 1) Analisis Deviasi Luas Tanam Sawah di Jawa Barat Rasio, Standar Deviasi, dan Koefisien Variasi Luas Tanam Sawah di Jawa Barat (Tujuan 2) Gambar 1 Bagan Alir Penelitian 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini dilakukan pemilihan dan penentuan tema penelitian, studi literatur, pembuatan proposal, dan pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian serta pemilihan metode yang digunakan untuk analisis data. Tahapan pengumpulan data diantaranya adalah mengumpulkan data penunjang penelitian. Deskripsi Data Peta yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta rupa bumi Indonesia tahun 1990 Jawa Barat dari BAKOSURTANAL, sekarang disebut sebagai BIG (Badan Informasi Geospasial) dengan mengambil informasi penggunaan lahan sawah sebagai batas aktual sawah yang dibagi menjadi dua kelas sawah, yaitu

21 sawah irigasi dan sawah tadah hujan pada wilayah penelitian di Provinsi Jawa Barat. Peta perubahan penggunaan lahan sawah MODIS di Jawa Barat tahun merupakan peta yang disederhanakan dari peta perubahan penggunaan lahan MODIS di pulau Jawa dari penelitian Setiawan et al. (2011). Setiawan et al. (2011) pada penelitiannya menggunakan MOD13Q1, yaitu MODIS yang mampu mendeteksi indeks vegetasi dengan resolusi 250 m. Peta batas sawah Jawa Barat dari BAKOSURTANAL dan peta perubahan penggunaan lahan sawah MODIS di Jawa Barat tahun dapat dilihat pada Gambar 2. 9 Gambar 2 (a) Peta Batas Sawah BAKOSURTANAL 1990; (b) Peta Perubahan Penggunaan Lahan Sawah MODIS Jawa Barat Pengolahan data dan informasi lapangan diperoleh dari hasil pengamatan lapangan berupa informasi foto lapang tim BIMAS-21 dan hasil pengamatan mahasiswa KKP (Kuliah Kerja Lapangan) Fakultas Pertanian IPB tahun 2012 di tiga Kabupaten wilayah utara Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang, Subang,

22 10 dan Indramayu (Iman et al. 2012). Informasi lapangan yang diperoleh berupa fase tumbuh tanaman padi dalam satu siklus musim tanam yang diambil pada beberapa titik waktu. Hasil survei lapang tim BIMAS-21 diperoleh sekitar foto pengamatan yang selanjutnya digunakan dalam penelitian ini. Beberapa contoh hasil pengamatan fase tumbuh pada beberapa contoh pengamatan dan titik koordinatnya ditunjukkan pada Gambar 3. (a) Fase Bera Basah (b) Fase Vegetatif Muda Koordinat X: 107,79; Y: -6,39 Koordinat X: 108,30; Y: -6,33 Subang Indramayu (c) Fase Vegetatif Tua; (d) Fase Generatif Koordinat X: 108,30; Y: -6,36 Koordinat X: 107,95; Y: -64 Indramayu Indramayu (e) Fase Bera Kering Koordinat X: 108,23; Y: -6,40 Indramayu Gambar 3 Fase Tumbuh Padi Berdasarkan Hasil Survei Tim BIMAS-21 Informasi lapangan berupa foto hasil pengamatan (Tim BIMAS-21 IPB dan Fakultas Pertanian 2012) selanjutnya diolah secara spasial melalui informasi geotag kamera untuk menangkap posisi relatif pengamatan dan selanjutnya diubah

23 menjadi data spasial berbasis titik dan dikoneksikan dengan data spasial lain untuk dianalisis lebih lanjut dalam klasifikasi kelas sawah. Sebaran titik koordinat survei lapang tim BIMAS-21 ditunjukkan pada Gambar Gambar 4 Sebaran 1123 Titik Survei Lapang Tim BIMAS-21 di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu Tahun 2012 Citra satelit yang digunakan pada penelitian ini adalah terra MODIS dengan tipe produk pada level data MOD13A1 16 harian, resolusi 500 m. Pemanfaatan data citra tipe ini dipilih karena telah dilakukan pengolahan dan proses data lanjutan dimana koreksi radiometrik dan eliminasi serta minimalisasi pengaruh awan relatif sudah dilakukan. Citra terra MODIS tersedia gratis dan secara mudah dapat diunduh melalui website NASA Tipe produk MOD13A1 dalam satu tahun terdiri dari 23 kali pengamatan atau perekaman pada lokasi yang sama. Identifikasi sawah dengan memanfaatkan data terra MODIS dalam penelitian ini, ingin diketahui pola dan dinamika sebaran lahan sawah (dalam nomenklatur sebagai sawah dan non sawah) dari waktu ke waktu. Selanjutnya data dan informasi hasil pengolahan citra penginderaan jauh tersebut digunakan untuk perbandingan data dan informasi yang telah ada dari data BPS. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari data statistik Jawa Barat dalam Angka berupa luas lahan sawah, luas panen, produksi padi, dan produktivitas padi. Konstruksi dan Kompilasi Data Pada proses ini, dari foto hasil survei lapang yang dilakukan oleh tim BIMAS-21 pada tahun 2012 dipilih titik contoh pengamatan secara acak berdasarkan fase tumbuh. Fase tumbuh padi yang dianalisis dalam penelitian ini dibagi dalam lima fase, yaitu bera basah, vegetatif muda, vegetatif tua, generatif, dan bera kering. Foto survei lapang tim BIMAS-21 diambil di 3 Kabupaten. Masing-masing Kabupaten dipilih titik contoh pengamatannya yang mewakili kelima fase tumbuh tersebut. Jumlah titik contoh pengamatan yang diambil secara

24 12 acak dari hasil survei lapang tim BIMAS-21 adalah 108 titik yang sebarannya dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Sebaran 108 Titik Contoh Pengamatan di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu Tahun 2012 Data penunjang yang digunakan dalam penelitian ini memiliki informasi yang berbeda konteks. Foto hasil survei lapang tim BIMAS-21 memiliki informasi terkait fase tumbuh sawah, sedangkan peta batas sawah Jawa Barat BAKOSURTANAL tahun 1990 dan peta perubahan penggunaan lahan MODIS di Jawa Barat tahun memiliki informasi terkait jenis penggunaan lahan sawah. 2. Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh Terra MODIS dan Integrasi Spasial Lahan Sawah Pada bagian penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua tahapan utama yaitu tahapan analisis citra satelit penginderaan jauh dan integrasi spasial lahan sawah. Analisis citra satelit penginderaan jauh terra MODIS pada penelitian ini dibagi kedalam tiga tahapan, yaitu pra pengolahan citra MODIS, titik contoh pengamatan, dan klasifikasi kelas sawah. Komponen hasil integrasi spasial lahan sawah dilakukan proses penggabungan data hasil klasifikasi dari terra MODIS dengan data spasial yang diperoleh dari hasil kompilasi data penggunaan lahan sawah dari peta rupa bumi dan peta perubahan penggunaan lahan Pulau Jawa diekstraksi khusus untuk lahan sawah yang teridentifikasi sebagai sumber acuan tambahan. Pra Pengolahan Citra Pada proses ini, seluruh citra terra MODIS yang telah diunduh dikoreksi berdasarkan sistem proyeksi pada WGS84 saluran EVI untuk selanjutnya diaplikasikan pada 23 rekaman data dalam satu tahun. Penelitian ini menggunakan citra MODIS 6 titik tahun dari tahun Seluruh citra MODIS yang telah dikoreksi kemudian disatukan menjadi satu citra dalam satu tahun dengan

25 menggabungkan menjadi 23 kanal spektral citra MODIS dalam satu tahun. MODIS yang telah dilakukan penggabungan kemudian dipotong (subset) sesuai dengan wilayah penelitian yaitu Provinsi Jawa Barat. Hasil penggabungan 23 kanal spektral citra MODIS dan hasil pemotongan citra dapat dilihat pada Gambar Gambar 6 Hasil Penggabungan dan Pemotongan Citra MODIS Titik Contoh Pengamatan Pada proses ini, dari 108 titik contoh pengamatan yang telah dipilih sebelumnya, dilihat nilai EVI nya dengan menarik desain piksel 3x3 disetiap titik. Desain piksel tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam ASCII (American Standard Code Information Interchange) dan pola temporal EVI dari desain piksel tersebut diamati serta dicocokkan dengan foto keadaan sebenarnya di lapang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan informasi lebih detil terdapat pada Lampiran 1 dan 2. Gambar 7 Pola Temporal EVI dan Foto Keadaan Lapang Hasil Survei Tim BIMAS-21 Tahun 2012 Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa foto keadaan lapang adalah pada fase vegetatif tua pada tanggal 15 Juli Pola temporal EVI pada tanggal tersebut menunjukkan nilai EVI yang tinggi, artinya tingkat kehijauannya tinggi. Avicienna (2011) telah menjelaskan bahwa nilai EVI yang tinggi menunjukkan kerapatan vegetasi dan tingkat kehijauan yang tinggi, sedangkan nilai EVI yang

26 14 rendah menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi dan tingkat kehijauan yang rendah. Pola temporal EVI pada tanaman padi akan menunjukkan pola fluktuatif, sehingga dapat diketahui intensitas tanam padi dalam satu tahun. Namun, penelitian ini tidak menganalisis sejauh itu. Penelitian ini hanya mendeteksi luas lahan sawah dari tahun ke tahun berdasarkan pola temporal EVI. Dari 108 titik contoh pengamatan, terdapat 48 titik yang memiliki pola temporal EVI yang sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapang seperti yang tertera pada Gambar 8. Namun, 48 titik yang hanya tersebar di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu tidak cukup untuk digunakan sebagai titik contoh pengamatan untuk mengklasifikasikan sawah di provinsi Jawa Barat. Hal ini dikarenakan jumlah titik contoh pengamatan yang terdapat pada 3 Kabupaten tersebut belum cukup mewakili titik contoh pengamatan cakupan provinsi Jawa Barat. Gambar 8 Sebaran 48 Titik Contoh Pengamatan Berdasarkan Hasil Survei Tim BIMAS-21 Tahun 2012 Klasifikasi Kelas Sawah Selain titik contoh pengamatan dari hasil survei tim BIMAS-21, data penunjang lain yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu peta perubahan penggunaan lahan MODIS Pulau Jawa tahun dari penelitian Setiawan et al. (2011) dan peta batas sawah Provinsi Jawa Barat dari BAKOSURTANAL. Titik contoh pengamatan diambil dengan desain piksel 2x2. Desain piksel dilakukan untuk pengambilan reflektan kanal citra dari titik contoh pengamatan. Proses pengambilan titik contoh pengamatan dilakukan berdasarkan letak sawah yang terdapat pada kedua data penunjang dengan mengkoneksikan citra MODIS yang diambil titik contoh pengamatannya pada dua data penunjang yang digunakan. Peta perubahan penggunaan lahan sawah MODIS Jawa Barat dari penelitian Setiawan et al. (2011) ditumpang tindihkan dengan peta batas sawah BAKOSURTANAL tahun Proses pengambilan titik contoh pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

27 15 Gambar 9 Proses Pengambilan Titik Contoh Pengamatan Sawah diklasifikasikan ke dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu sawah irigasi, sawah non irigasi, dan non sawah. Jenis penggunaan yang diklasifikasikan dalam penelitian ini didasarkan pada jenis sawah pada peta acuan yang digunakan, yaitu peta perubahan penggunaan lahan MODIS pulau Jawa tahun dan peta batas sawah Jawa Barat dari BAKOSURTANAL Cara klasifikasi kelas sawah dijelaskan dalam Tabel 2. Tabel 2 Proses Pengambilan Titik Contoh Pengamatan untuk Klasifikasi Kelas Sawah di Jawa Barat Pengambilan Titik Contoh Pengamatan Jumlah Titik Contoh Kelas Sawah 1. Sawah Irigasi MODIS 14 titik Sawah Irigasi BAKOSURTANAL 2. Sawah Irigasi MODIS 7 titik Sawah Irigasi 3. Sawah Irigasi 7 titik Sawah Irigasi BAKOSURTANAL 4. Sawah Non Irigasi MODIS 7 titik Sawah Non Irigasi BAKOSURTANAL 5. Sawah Non Irigasi MODIS 7 titik Sawah Non Irigasi 6. Sawah Non Irigasi 7 titik Sawah Non Irigasi BAKOSURTANAL 7. Non Sawah 12 titik Non Sawah 8. Foto Survei Lapang tim BIMAS- 21 tahun titik Sawah Irigasi Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa titik contoh pengamatan dari foto hasil survei tim BIMAS-21 diklasifikasikan sebagai sawah irigasi. Hal ini dikarenakan, foto-foto hasil survei tim BIMAS-21 diambil di wilayah sawah irigasi yang berada di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Citra MODIS tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi jenis penggunaan sawah jika hanya dengan melihat pola temporal EVI dari titik contoh pengamatan yang diambil,

28 16 karena pola temporal EVI hanya mampu mendeteksi kerapatan vegetasi dan tingkat kehijauan daun. Maka dari itu, kelas sawah yang ditentukan dalam penelitian ini, didasarkan pada data penunjang penelitian yaitu peta perubahan penggunaan lahan pulau Jawa oleh Setiawan et al. (2011) dan peta batas sawah Jawa Barat dari BAKOSURTANAL Titik contoh pengamatan yang telah ditentukan berdasarkan dua data penunjang dan hasil survei lapang tim BIMAS- 21 diklasifikasikan dengan MLC (Maximum Likelihood Classification). Hasil klasifikasi dengan teknik MLC ini memiliki akurasi hasil klasifikasi sebesar 62,8% yang menunjukkan keterwakilan informasi pengamatan dari titik contoh dengan titik uji spektrum kanalnya memiliki tingkat kecocokan sebesar 62,8% dengan nilai koefisien Kappa sebesar 58,2%. Metode ini digunakan karena MLC mampu mengklasifikasikan piksel yang tidak dikenal dengan menghitung probabilitas dari piksel tersebut secara kuantitatif, sehingga jenis penggunaan lahan dari piksel yang tidak dikenal tersebut dapat diketahui oleh MLC. MLC merupakan metode klasifikasi yang paling optimum untuk digunakan dalam penelitian ini dibandingkan dengan metode lainnya, karena dalam penelitian ini tidak dilakukan cek lapang sehingga dalam proses klasifikasi diperlukan jenis klasifikasi yang paling optimum agar informasi dari hasil klasifikasi mampu mendekati keadaan aktual di lahan. Proses klasifikasi kelas sawah dilakukan pada citra MODIS Jawa Barat tahun sehingga didapatkan luas sawah di Jawa Barat tahun sampai pada tingkat Kabupaten, serta diketahui perubahan penggunaan sawah dari tahun ke tahun di masing-masing wilayah Kabupaten di Jawa Barat. 3. Tahap Analisis Data Pada tahap analisis data, dilakukan analisis statistik luas lahan sawah di Jawa Barat. Data spasial yang dihasilkan dari pengolahan citra MODIS adalah luas lahan sawah tingkat Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun berdasarkan kelas sawahnya. Dari hasil tersebut, maka dapat ditentukan rata-rata laju penyusutan/pertumbuhan luas lahan sawah dari tahun dengan cara berikut, luas lahan sawah disimbolkan dengan LT. Rata rata Laju Penyusutan/Pertumbuhan = LT 2004 LT % + LT 2006 LT LT 2004 LT 2012 LT LT % + LT 2008 LT LT % 2 LT % + LT 2010 LT LT % + Disamping itu, diproyeksikan luas panen dan produksi menurut citra MODIS berdasarkan produktivitas dari data statistik pertanian BPS. Sebelum menentukan luas panen, terlebih dahulu dicari rasio dari luas panen sawah terhadap luas lahan sawah berdasarkan data statistik BPS disetiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Cara penentuan proyeksi luas panen sawah menurut citra MODIS berdasarkan data statistik pertanian BPS yaitu dengan menentukan rasio antara luas panen dan luas lahan sawah menurut data BPS terlebih dahulu dengan cara berikut. f it = LP it LT it Dimana f it adalah rasio luas panen dan luas lahan sawah menurut BPS, LP it adalah luas panen sawah menurut BPS dalam satuan hektar, dan LT it adalah luas

29 lahan sawah menurut BPS dalam satuan hektar. Simbol i dan t masing-masing menggambarkan Kabupaten dan tahun. Setelah rasio antara luas panen dan luas lahan sawah menurut BPS telah ditentukan, maka dapat ditentukan luas panen proyeksi menurut citra MODIS sebagai berikut. LP pit = f it LT pit Dimana LP pit adalah luas panen proyeksi menurut citra MODIS dalam hektar dan LT pit adalah luas lahan sawah menurut citra MODIS dalam hektar. Setelah luas panen proyeksi menurut citra MODIS per Kabupaten telah ditentukan, maka selanjutnya dapat ditentukan produksi padi proyeksi menurut citra MODIS dengan cara berikut. P pit = LP pit Y it /10 Produktivitas padi menurut BPS dijadikan acuan dalam penentuan proyeksi produksi padi menurut citra MODIS. Dimana P pit merupakan produksi proyeksi menurut citra MODIS dalam satuan ton dan Y it merupakan produktivitas padi menurut data BPS dalam satuan kwintal. Data luas panen dan produksi padi pada data statistik pertanian BPS tahun 2002 dan 2004 mengalami proses generalisasi antar Kabupaten dan Kota di masing-masing wilayah administrasi. Maka dalam proses perhitungan prediksi luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS dilakukan generalisasi antar Kabupaten dan Kota di masing-masing wilayah administrasi di Provinsi Jawa Barat. Kota Depok dan Kota Bogor disatukan dengan Kabupaten Bogor, Kota Tasikmalaya disatukan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Kota Bandung dan Kota Cimahi disatukan dengan Kabupaten Bandung, Kota Cirebon disatukan dengan Kabupaten Cirebon, Kota Sukabumi disatukan dengan Kabupaten Sukabumi, dan Kota Banjar disatukan dengan Kabupaten Ciamis. Luas lahan sawah Jawa Barat yang dihasilkan dari klasifikasi kelas penggunaan lahan sawah berbasis citra MODIS pada penelitian ini kemudian dibandingkan dengan data statistik pertanian dari BPS. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara data statistik dari BPS dan data spasial citra MODIS pada tingkat Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan menentukan rasio luas lahan sawah menurut citra MODIS dan data BPS, standar deviasi, dan koefisien variasi dari rasio perbandingan luas lahan tersebut. Rasio luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS ditentukan dengan cara berikut. d it = LT pit LT it Dimana d it merupakan rasio perbandingan luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS, LT pit merupakan luas lahan sawah menurut citra MODIS dalam satuan hektar, dan LT it merupakan luas lahan sawah menurut data BPS dalam satuan hektar. Jika rasio memiliki nilai mendekati 1, artinya antara data penginderaan jauh dan data BPS cenderung memiliki kesamaan. Jika nilai rasio lebih besar dari 1, artinya luas lahan sawah berbasis citra MODIS lebih besar dibandingkan dengan luas lahan sawah menurut data BPS. Sebaliknya, jika nilai rasio lebih kecil dari 1, artinya luas lahan sawah menurut data BPS lebih besar dibandingkan dengan luas lahan sawah berbasis citra MODIS. Dari rasio luas lahan sawah tersebut, selanjutnya ditentukan standar deviasi dan koefisien variasi untuk mengetahui keragaman rasio di setiap tahun dan Kabupaten dengan cara berikut. 17

30 18 n s = n i=1 d it ( i=1 d 1 ) n n 1 n 2 dan CV = s d it 100 Standar deviasi dirumuskan dengan simbol s dan koefisien variasi dirumuskan dengan simbol CV. Standar deviasi ditentukan berdasarkan nilai rasio perbandingan luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS disetiap Kabupaten dan tahun (d it ), setelah itu persentase koefisien variasi ditentukan berdasarkan nilai standar deviasi (s) dan nilai rasio perbandingan luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS (d it ). Persentase koefisien variasi yang tinggi menunjukkan keragaman data yang besar antara citra MODIS dan data BPS, sedangkan persentase koefisien variasi yang rendah menunjukkan keseragaman antara citra MODIS dan data BPS. Tabel 3 Tujuan Penelitian, Metodologi, Jenis Data, dan Hasil yang Diharapkan No. Tujuan Penelitian Metodologi Jenis Data Hasil yang Diharapkan 1. Mendeteksi luas sawah di Jawa Barat per Kabupaten tahun berbasis data penginderaan jauh berdasarkan kelas penggunaan lahan sawah Mengklasifikasi kelas penggunaan lahan sawah MODIS MOD13A1 h(28) v(09), Peta Administrasi Jawa Barat, foto hasil survei sawah Jawa Barat tim BIMAS-21, Peta Rupa Bumi batas sawah Jawa Barat BAKOSURTANAL 1990, Peta MODIS Jawa Barat PPLH-IPB Diketahui luas sawah Jawa Barat tahun berbasis data penginderaan jauh 2. Melakukan perbandingan luas lahan sawah per Kabupaten di Jawa Barat tahun menurut analisis data penginderaan jauh dengan data statistik pertanian dari BPS Analisis perbedaan data luas sawah antara data penginderaan jauh dan data statistik pertanian BPS Hasil olah data MODIS luas sawah di Jawa Barat , data statistik pertanian Diketahui perbedaan luas sawah menurut data penginderaan jauh dan menurut data statistik pertanian tahun KONDISI UMUM WILAYAH Letak dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Barat yang secara astronomis terletak pada 5 o 50-7 o 50 LS dan 104 o o 48 BT. Provinsi Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten dan 9 Kota, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi, serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya, dan Banjar. Berdasarkan Gambar 10, secara geografis Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta di sebelah utara, Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah selatan, dan Provinsi Banten di sebelah barat (BPS, 2012).

31 19 Gambar 10 Wilayah Administrasi Provinsi Jawa Barat Tabel 4 Luas Wilayah dan Luas Sawah per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2012 No. KABUPATEN/KOTA LUAS WILAYAH (Km 2 ) LUAS SAWAH (Ha) PERSENTASE LUAS SAWAH (%) 1 Kabupaten Bogor 2.997, ,99 2 Kabupaten Sukabumi 4.160, ,53 3 Kabupaten Cianjur 3.594, ,41 4 Kabupaten Bandung 1.756, ,48 5 Kabupaten Garut 3.094, ,21 6 Kabupaten Tasikmalaya 2.702, ,25 7 Kabupaten Ciamis 2.740, ,64 8 Kabupaten Kuningan 1.189, ,23 9 Kabupaten Cirebon 1.071, ,04 10 Kabupaten Majalengka 1.343, ,27 11 Kabupaten Sumedang 1.560, ,26 12 Kabupaten Indramayu 2.092, ,81 13 Kabupaten Subang 2.164, ,24 14 Kabupaten Purwakarta 989, ,74 15 Kabupaten Karawang 1.914, ,24 16 Kabupaten Bekasi 1.269, ,72 17 Kabupaten Bandung Barat 1.335, ,75 18 Kota Bogor 111, ,73 19 Kota Sukabumi 48, ,46 20 Kota Bandung 168, ,91 21 Kota Cirebon 40, ,52 22 Kota Bekasi 213, ,30 23 Kota Depok 199, ,59 24 Kota Cimahi 41, ,18 25 Kota Tasikmalaya 184, ,63 26 Kota Banjar 130, ,36 TOTAL , ,27 Sumber Data: Jawa Barat dalam Angka 2013

32 20 Berdasarkan Tabel 4 diatas, Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah Kabupaten terluas di Jawa Barat sebesar 4.160,75 km 2 atau 11,21% dari total luas Jawa Barat, sedangkan luas wilayah Kabupaten terkecil adalah Kota Cirebon dan Cimahi masing-masing sebesar 40,16 km 2 dan 41,2 km 2 atau hanya 0,11% dari total luas Jawa Barat. Kabupaten Indramayu merupakan Kabupaten yang memiliki lahan sawah tertinggi di Jawa Barat, dengan luasan sawah 55,81% dari total luas wilayahnya. Kota Bekasi merupakan Kabupaten yang memiliki lahan sawah terendah di Jawa Barat, dengan luasan sawah 2,30% dari total luas wilayahnya. Keadaan Iklim dan Tanah Provinsi Jawa Barat memiliki iklim tropis, dengan suhu terendah 9 o C di Puncak Gunung Pangrango dan suhu tertinggi 34 o C di daerah Pantai Utara. Curah hujan rata-rata tahunan di Jawa Barat mencapai 2000 mm/tahun, namun di beberapa daerah pegunungan bisa mencapai mm/tahun. Pada bagian selatan dan tengah Jawa Barat, intensitas hujannya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah utara karena daerah selatan dan tengah didominasi oleh daerah pegunungan yang masih aktif, yaitu Gunung Salak, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Ciremai, Tangkuban Perahu, Gunung Galunggung, Gunung Papandayan, dan Gunung Guntur. Wilayah utara Jawa Barat merupakan dataran rendah yang didominasi dengan dataran aluvial. Jawa Barat memiliki lahan yang subur karena berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Tanah di Jawa Barat dibagi menjadi 9 (sembilan) jenis tanah yang dapat dilihat berdasarkan arahan penggunaannya pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran Jenis Tanah dan Arahan Penggunaan Jenis Tanah Latosol Podsolik Merah Kuning Aluvial Andosol Regosol Glei Grumusol Mediteran Organosol Penggunaan Padi, Palawija, Kopi, Coklat, Lada, buah-buahan, Sayuran, Ubi Kayu Ladang, Hutan, Karet Padi, Palawija, Perikanan Darat Sayuran, bunga, teh, kina, kopi tropis, baik untuk obyek turis Kedelai, Kacang tanah, Kentang, Tebu, Kapas, Sisal, Karet, Kina, Kelapa, Kelapa sawit, Coklat, Teh, dan Kina Padi, Lada, Ubi Jalar Perkebunan, Padi, Kedelai, Tebu, Kacang-kacangan, Tembakau, Hutan Jati Padi, Jagung, Kapas Palawija, Padi, Karet Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat

33 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Sawah di Jawa Barat diklasifikasikan ke dalam dua kelas penggunaan, yaitu sawah irigasi dan sawah non irigasi. Pada Gambar 11 terlihat bahwa luas sawah irigasi lebih besar dibandingkan dengan luas sawah non irigasi. Luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS tahun pada penelitian ini memiliki pola yang fluktuatif. Luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS mencapai luas maksimum pada tahun 2008, yaitu Ha. Luas lahan sawah di Jawa Barat dari tahun 2008 mengalami penurunan hingga mencapai luas minimum pada tahun 2012, yaitu Ha. Peningkatan dan penurunan luas lahan sawah yang terjadi tidak diketahui pasti sebabnya, karena tidak dilakukannya cek lapang dalam penelitian ini. Namun, peningkatan dan penurunan luas sawah yang terjadi kemungkinan disebabkan karena adanya alih fungsi lahan dari lahan sawah ke lahan pertanian lainnya atau dari lahan sawah ke lahan non pertanian. Disamping itu, perubahan luas lahan sawah mungkin disebabkan karena adanya fenomena cuaca ekstrim yang menyebabkan sawah banjir dan MODIS tidak mampu mendeteksi piksel tersebut sebagai sawah. Gambar 11 Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Berdasarkan hasil analisis citra MODIS pada Gambar 12, dapat dilihat bahwa sawah irigasi terkonsentrasi di wilayah utara Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Sawah non irigasi tersebar merata di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat. Terdapat perbedaan yang jelas antara sebaran sawah non irigasi pada tahun dan pada tahun Hal ini mungkin dikarenakan sawah non irigasi memiliki perubahan yang sangat dinamis, sedangkan resolusi citra MODIS yang digunakan adalah 500 m, sehingga memiliki kendala heterogenitas spasial dan akurasi datanya rendah untuk mengamati dinamika perubahan penggunaan lahan yang luasannya rendah (Shofiyati 2010).

34 22 Gambar 12 Sebaran Penggunaan Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Gambar 13 Rata-rata Luas Lahan Sawah di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Subang merupakan tiga Kabupaten yang disebut sebagai sentra produksi padi nasional yang memiliki lahan sawah sawah terluas di Jawa Barat. Gambar 13 menunjukkan bahwa kabupaten Indramayu memiliki lahan sawah terluas di Jawa Barat dengan rata-rata luas lahan sawah dari tahun yaitu Ha. Wilayah perkotaan di Jawa Barat memiliki luas lahan sawah yang sangat minim. Luas sawah minimum terdapat di Kota Cimahi, dengan rata-rata luas lahan sawah dari tahun yaitu 250 Ha. Setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami penyusutan atau pertumbuhan luas lahan sawah dari tahun Laju penyusutan atau

35 pertumbuhan luas lahan sawah per Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut citra MODIS dari tahun dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Rata-rata Penyusutan/Pertumbuhan Luas Lahan Sawah per Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Citra MODIS Tahun (Ha) TAHUN RATA-RATA NO. KABUPATEN/KOTA PENYUSUTAN/PERTUMBUHAN LUAS (%) 1 BOGOR ,36 2 SUKABUMI ,99 3 CIANJUR ,93 4 BANDUNG ,85 5 GARUT ,25 6 TASIKMALAYA ,52 7 CIAMIS ,02 8 KUNINGAN ,11 9 CIREBON ,73 10 MAJALENGKA ,39 11 SUMEDANG ,19 12 INDRAMAYU ,86 13 SUBANG ,61 14 PURWAKARTA ,32 15 KARAWANG ,84 16 BEKASI ,22 17 KOTA BOGOR ,44 18 KOTA SUKABUMI ,73 19 KOTA BANDUNG ,28 20 KOTA CIREBON ,17 21 KOTA BEKASI ,66 22 KOTA DEPOK ,98 23 KOTA CIMAHI ,00 24 KOTA TASIKMALAYA ,32 25 KOTA BANJAR ,01 TOTAL ,49 23 Secara umum, Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami penyusutan luas lahan sawah dari tahun Laju penyusutan luas lahan sawah di Jawa Barat tahun adalah -3,49%. Penyusutan luas lahan sawah terbesar terdapat di Kabupaten Sumedang, yaitu -7,19%, sedangkan penyusutan luas lahan sawah terkecil terdapat pada Kabupaten Bandung, yaitu -0,28%. Penyusutan luas lahan sawah yang terjadi umumnya terdapat di wilayah yang beririgasi dan memiliki produktivitas tinggi. Wahyunto (2009) menjelaskan bahwa penyusutan luas lahan sawah terjadi akibat adanya kebutuhan lahan untuk pembangunan di sektor non pertanian. Selain itu, terdapat indikasi bahwa lahan sawah digunakan sebagai tambak udang/bandeng karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami pertumbuhan luas lahan sawah, seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kota Sukabumi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar. Laju pertumbuhan luas lahan sawah terbesar di Jawa Barat menurut data penginderaan jauh terdapat pada Kota Cimahi, yaitu 26%. Laju pertumbuhan luas lahan sawah terendah di Jawa Barat menurut data penginderaan jauh terdapat pada Kabupaten Bogor, yaitu 0,26%. Pertumbuhan luas lahan sawah umumnya terjadi di wilayah perkotaan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya inovasi pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut, seperti pencetakan sawah baru karena menyadari akan pentingnya lahan pertanian.

36 24 Perbedaan Luas Lahan Sawah di Jawa Barat antara Citra MODIS dan Data BPS Tahun Luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS dan data BPS sangat berbeda, karena keduanya memiliki proses penentuan luas lahan sawah dengan metode dan tingkat ketelitian yang berbeda. Luas lahan sawah menurut citra MODIS ditentukan berdasarkan penggunaan lahan sawah yang dianalisis dengan penarikan titik piksel contoh pengamatan, sedangkan luas lahan sawah menurut data BPS ditentukan berdasarkan pengisian formulir statistik pertanian yang dilakukan oleh Kepala Cabang Dinas Kecamatan (KCD). Berikut perbedaan luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS dan data BPS pada Gambar 14. Gambar 14 Perbedaan Luas Lahan Sawah di Jawa Barat Tahun antara Citra MODIS dan Data BPS Pada Gambar 14 terlihat bahwa luas lahan sawah di Jawa Barat tahun menurut citra MODIS lebih tinggi dibandingkan dengan luas lahan sawah menurut data BPS. Pada tahun 2012, luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS sedikit lebih rendah dibandingkan dengan luas lahan sawah menurut data BPS. Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS menurun drastis pada tahun 2012 karena sawah non irigasi merupakan sawah yang perubahannya sangat dinamis, sehingga mungkin terjadi alih fungsi lahan dari sawah ke lahan pertanian lainnya atau dari sawah ke lahan non pertanian. Disamping itu, citra MODIS memiliki resolusi 500 m, sehingga memungkinkan terjadinya heterogenitas spasial dalam proses pengolahan citra. Heterogenitas spasial merupakan akurasi data rendah yang disebabkan karena informasi yang terekam dalam 1 piksel citra lebih luas dibandingkan dengan luas lahan aktual (Shofiyati 2010). Peningkatan dan penurunan luas lahan sawah di Jawa Barat tahun menurut citra MODIS dan data BPS memiliki pola fluktuatif yang sama. Perbedaannya terdapat pada luas lahan sawah yang meningkat dan menurun. Data BPS menunjukkan bahwa luas lahan sawah dari tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan, sedangkan hasil analisis citra MODIS menunjukkan bahwa luas lahan sawah dari tahun mengalami perubahan yang signifikan. Subrata dan Kusmana (2003) menjelaskan pada penelitiannya bahwa pengukuran luas lahan sawah yang dilakukan oleh penyuluh di desa didasarkan pada sudut pandang praktis, tidak didasarkan pada sudut

37 pandang sistematis seperti yang dilakukan oleh peneliti. Maka perbedaan data hasil pengukuran luas lahan sawah sering terjadi antara penyuluh dan peneliti walaupun keduanya menentukan luas lahan sawah dengan metode pengukuran yang sama. Priyarsono (2011) menjelaskan bahwa perbedaan data luas lahan sawah antara BPS dan peneliti bervariasi, tergantung tempat dan waktunya. Maka perlu adanya perbaikan pencatatan data luas lahan sawah dengan citra satelit, namun harus dipadukan dengan teknik statistika tertentu agar menghasilkan data yang akurat yang sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapang. Berdasarkan data luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS, maka dapat ditentukan data proyeksi luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS. Berikut perbedaan proyeksi luas panen dan produksi padi di Jawa Barat antara citra MODIS dan data BPS pada Gambar Gambar 15 Perbedaan Luas Panen dan Produksi Padi di Jawa Barat Tahun antara Citra MODIS dan Data BPS Proyeksi luas panen dan produksi padi di Jawa Barat tahun menurut citra MODIS memiliki pola fluktuatif yang sama dengan luas lahan sawah di Jawa Barat menurut citra MODIS. Hal ini disebabkan karena penentuan proyeksi luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS didasarkan pada luas lahan sawah menurut citra MODIS, sehingga peningkatan dan penurunan luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS dari tahun memiliki kesamaan. Luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS di Jawa Barat pada tahun lebih tinggi dibandingkan dengan luas panen dan produksi padi menurut data BPS. Pada tahun 2012, luas panen dan produksi padi menurut citra MODIS di Jawa Barat lebih rendah dibandingkan dengan luas panen dan produksi padi menurut data BPS. Berdasarkan perbedaan luas lahan sawah, luas panen, dan produksi padi di Jawa Barat tahun antara citra MODIS dan data BPS, maka perbedaan luas lahan sawah ditelaah lebih lanjut dengan melakukan analisis perbedaan berdasarkan nilai rasio. Berikut adalah rasio luas lahan sawah di Jawa Barat antara citra MODIS dan data BPS per Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun disajikan pada Tabel 7.

38 26 No. Tabel 7 Rasio Luas Lahan Sawah antara Citra MODIS dan Data BPS per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun KAB/KOTA TAHUN RATA- RATA (d t) STANDAR DEVIASI KOEFISIEN VARIASI (%) BOGOR 1,56 2,08 1,95 2,60 2,19 1,40 1,96 0,44 22,29 2 SUKABUMI 1,48 1,67 2,35 2,05 1,48 0,70 1,62 0,56 34,80 3 CIANJUR 1,52 1,91 1,56 2,09 1,61 0,78 1,58 0,45 28,55 4 BANDUNG 3,69 2,06 1,75 2,55 1,74 0,81 2,10 0,96 45,81 5 GARUT 1,68 1,99 1,82 1,99 1,84 0,51 1,64 0,56 34,48 6 TASIKMALAYA 2,20 1,57 1,31 1,97 1,15 0,97 1,53 0,48 31,34 7 CIAMIS 1,87 2,05 1,98 2,05 1,58 1,50 1,84 0,24 13,22 8 KUNINGAN 1,28 1,79 1,87 1,43 1,34 0,62 1,39 0,45 32,25 9 CIREBON 1,14 1,24 1,11 1,25 1,02 0,75 1,09 0,19 17,09 10 MAJALENGKA 1,48 1,81 1,50 1,41 1,15 0,75 1,35 0,36 26,88 11 SUMEDANG 1,71 2,19 1,77 1,57 1,73 0,42 1,57 0,60 38,08 12 INDRAMAYU 1,48 1,43 1,34 1,41 1,19 1,12 1,33 0,14 10,76 13 SUBANG 1,60 1,67 1,60 1,42 1,32 1,21 1,47 0,18 12,37 14 PURWAKARTA 2,14 2,28 2,83 1,55 2,29 1,74 2,14 0,45 21,14 15 KARAWANG 1,38 1,38 1,31 1,39 1,23 1,20 1,31 0,08 6,20 16 BEKASI 1,53 1,21 1,22 1,39 1,20 0,95 1,25 0,20 15,76 TOTAL 1,62 1,70 1,61 1,74 1,43 0,98 1,51 0,28 18,63 RATA-RATA (d t) 1,73 1,77 1,70 1,76 1,51 0,96 STANDAR DEVIASI 0,56 0,41 0,42 0,49 0,36 0,36 KOEFISIEN VARIASI (%) 32,03 23,20 24,50 27,89 23,62 36,86 Berdasarkan Tabel 7, maka dapat dilihat perbedaan luas lahan sawah antar Kabupaten (d i ) dan antar tahun (d t ) berdasarkan nilai rasio dan koefisien variasinya. Jika nilai rasio mendekati 1, artinya luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS cenderung memiliki kesamaan. Jika nilai rasio lebih besar dari 1, artinya luas lahan sawah berbasis citra MODIS lebih besar dibandingkan dengan luas lahan sawah menurut data BPS. Sebaliknya, jika nilai rasio lebih kecil dari 1, artinya luas lahan sawah menurut data BPS lebih besar dibandingkan dengan luas lahan sawah berbasis citra MODIS. Jika persentase koefisien variasi rendah, artinya perbedaan luas lahan sawah disetiap tahun atau Kabupaten cenderung memiliki keseragaman rasio. Jika persentase koefisien variasi tinggi, artinya perbedaan luas lahan sawah disetiap tahun atau Kabupaten cenderung beragam. Rata-rata rasio dan koefisien variasi disetiap tahun dan Kabupaten dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Gambar 16 Rata-rata Rasio Luas Lahan Sawah disetiap Tahun (d t ) di Jawa Barat antara Citra MODIS dan Data BPS Tahun Gambar 16 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan luas lahan sawah yang besar antara citra MODIS dan data BPS di Jawa Barat pada tahun Perbedaan terbesar terdapat pada tahun 2004, dengan rata-rata rasio 1,77 dan koefisien variasi 18,31%. Pada tahun 2012, perbedaan luas lahan sawah antara

39 citra MODIS dan data BPS di Jawa Barat tidak terlalu besar karena nilai rata-rata rasionya mendekati 1, yaitu 0,96 dengan koefisien variasi yang tinggi yaitu 37,07%. Tinggi rendahnya koefisien variasi ditentukan oleh keragaman rasio yang terdapat di setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Pada tahun 2012 memiliki koefisien variasi yang tinggi, artinya terdapat keragaman perbedaan luas lahan sawah yang tinggi antara citra MODIS dan data BPS disetiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun tersebut. Sebaliknya pada tahun 2004 memiliki koefisien variasi yang rendah, artinya keragaman perbedaan luas lahan sawah disetiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun tersebut rendah atau cenderung seragam antara citra MODIS dan data BPS. 27 Gambar 17 Rata-rata Rasio Luas Lahan Sawah disetiap Kabupaten (d t ) di Jawa Barat Tahun antara Data Penginderaan Jauh dan Data BPS Gambar 17 menunjukkan bahwa Kabupaten Ciamis, Bogor, Purwakarta, dan Bandung memiliki rasio luas lahan sawah terbesar antara citra MODIS dan data BPS. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang besar antara luas lahan sawah menurut citra MODIS dan data BPS. Jika diamati lebih lanjut, Kabupaten yang berada di wilayah utara Jawa Barat (Karawang, Indramayu, Subang, Bekasi, Cirebon, dan Majalengka) memiliki variasi rasio luas lahan sawah yang lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten yang berada di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat (Bandung, Sumedang, Sukabumi, Garut, Kuningan, Tasikmalaya, Cianjur, dan Bogor). Hal ini mungkin disebabkan karena sawah yang berada di wilayah utara Jawa Barat umumnya terdiri dari sawah yang memiliki hamparan yang luas. Maka dari itu perhitungan luas lahan sawah dengan menggunakan resolusi 500 m, tidak memiliki hasil yang jauh berbeda dengan perhitungan luas lahan sawah yang dilakukan oleh BPS. Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat didominasi oleh dataran tinggi yang umumnya terdiri dari sawah yang berbentuk teras bangku. Maka beberapa Kabupaten di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat memiliki rasio luas lahan sawah yang sangat besar antara citra MODIS dan data BPS. Kabupaten yang memiliki rata-rata rasio dan koefisien variasi tertinggi adalah Kabupaten Bandung, dengan rata-rata rasio 2,10 dan koefisien variasi 45,81%. Kabupaten yang memiliki rata-rata rasio dan koefisien variasi terendah adalah Kabupaten Karawang, dengan rata-rata rasio 1,31 dan koefisien variasi 6,20%. Semakin rendah nilai rasio dan persentase koefisien variasi, maka semakin kecil perbedaannya antara citra MODIS dan data BPS, sebaliknya semakin tinggi nilai rasio dan persentase koefisien variasi, maka semakin tinggi perbedaannya antara citra MODIS dan data BPS.

40 28 Berdasarkan beberapa hasil analisis yang telah dilakukan dan merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, maka memunculkan indikasi bahwa adanya perbedaan data luas lahan sawah antara citra MODIS dan data BPS. Penelitian ini menunjukkan bahwa data penggunaan lahan terkait luas lahan sawah berdasarkan citra MODIS dapat dimanfaatkan untuk skala regional (provinsi), guna mendukung data yang sudah tersedia di masing-masing wilayah administratif kabupaten dalam regional tersebut. Data BPS juga menunjukkan pola pendataan dengan mekanisme sama, tetapi validitas pencatatan data perhitungan luas tidak diketahui persis proses pengolahan informasi luas lahan sawah yang ada (sampai saat ini). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Setiawan et al. (2011) dimana dinamika perubahan luas lahan sawah disetiap waktu tertentu dapat diketahui, diketahui pula adanya dinamika perubahan yang terjadi dari penggunaan lahan sawah tersebut. Xiao et al. (2004) juga menjelaskan mengenai dinamika proses perubahan dengan citra MODIS deret waktu mampu digunakan dalam mendukung proses pendataan dan informasi pertanian dalam skala regional, khususnya padi, seperti ketahanan pangan dan keberlanjutan pertanian. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, keberlanjutan pertanian dikenal dengan istilah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) atau Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis citra MODIS, Provinsi Jawa Barat memiliki luas sawah irigasi yang lebih besar dari luas sawah non irigasi. Sawah irigasi umumnya terdapat di wilayah utara Jawa Barat, sedangkan sawah non irigasi menyebar merata di seluruh wilayah tengah dan selatan Jawa Barat. Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Subang merupakan tiga Kabupaten yang disebut sentra produksi padi nasional yang memiliki lahan sawah terluas di Jawa Barat. Luas lahan sawah di Jawa Barat menurut data penginderaan jauh mencapai luas maksimum pada tahun 2008 dengan luas Ha, dan mencapai luas minimum pada tahun 2012 dengan luas Ha. Luas lahan sawah di Jawa Barat tahun menurut data penginderaan jauh memiliki pola fluktuatif / tidak linear. Hal ini disebabkan mungkin karena adanya pergiliran tanaman padi atau adanya alih fungsi lahan dari lahan sawah ke lahan pertanian lainnya, atau dari lahan sawah ke lahan non pertanian. Perbedaan luas lahan sawah antara data penginderaan jauh dan data BPS disetiap Kabupaten (d i ) berkisar antara 1,09-2,14, sedangkan perbedaan luas lahan sawah disetiap tahun (d t ) berkisar antara 0,96-1,77. Kabupaten yang berada di wilayah utara Jawa Barat seperti Karawang, Indramayu, Subang, Bekasi, dan Cirebon memiliki perbedaan luas lahan sawah yang lebih rendah antara data penginderaan jauh dan data BPS dibandingkan dengan Kabupaten yang berada di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat seperti Bandung, Sumedang, Sukabumi, Garut, Kuningan, Tasikmalaya, Cianjur, dan Bogor. Hal ini dikarenakan wilayah utara Jawa Barat didominasi oleh dataran rendah yang umumnya terdiri dari

41 sawah yang memiliki hamparan luas, sedangkan wilayah tengah dan selatan Jawa Barat didominasi oleh dataran tinggi yang umumnya terdiri dari sawah yang berbentuk teras bangku. Pada kurun waktu , Kabupaten Ciamis, Bogor, Purwakarta, dan Bandung memiliki perbedaan luas lahan sawah terbesar antara citra MODIS dan data BPS. 29 Saran Perlu adanya penelitian lanjutan dengan memanfaatkan data deret waktu citra MODIS didukung data lapangan dengan sebaran yang merata, sehingga hasil penelitian lebih akurat dalam mengetahui peningkatan dan penurunan luas lahan sawah yang lebih valid, serta dapat menentukan faktor-faktor penentu perubahan penggunaan lahan sawah dari tahun ke tahun. Penelitian menggunakan citra MODIS sebaiknya perlu didukung pula oleh citra satelit dengan resolusi tinggi yang detil, agar tidak terjadi kekurangakuratan data pada lahan-lahan sawah yang memiliki luasan kecil yang tidak mampu dijangkau oleh resolusi citra MODIS yang tidak detil. Selain itu, penelitian lanjutan juga diperlukan agar hasil analisis spasial dari citra MODIS dapat digunakan secara komprehensif sebagai rekomendasi untuk mendukung data statistik pertanian BPS di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Produksi Tanaman Pangan Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Jakarta: Badan Pusat Statistik. Arsyad S dan E Rustiadi Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Ashari Tinjauan tentang alih fungsi lahan sawah ke non sawah dan dampaknya di Pulau Jawa. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 21(2): Avicienna M Teknik pemilihan lahan pertanian padi sawah berkelanjutan. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Barus B, DR Panuju, LS Iman, BH Trisasongko, K Gandasasmita, dan R Kusumo Pemetaan potensi konversi lahan sawah dalam kaitan lahan pertanian berkelanjutan dengan analisis spasial. Tanah untuk Kehidupan yang Berkualitas. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional X HITI Christina DR Identifikasi lahan potensial untuk mendukung usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (studi kasus di Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Empersi Kajian spasial konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Hardjowigeno S, H Subagyo, dan ML Rayes Morfologi dan klasifikasi tanah sawah. Dalam: Agus F, A Adimiharda, S Hardjowigeno, AM Fagi, W

42 30 Hartatik, editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Iman LS, D Shiddiq, BH Trisasongko, MH Raimadoya, E Rustiadi, dan B Barus Estimasi fase pertumbuhan padi berbasis area frame dengan citra satelit multisensor. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia. (2012): Liu Y, X Wang, M Guo, H Tani, N Matsuoka, S Matsumura Spatial and temporal relationships among NDVI, climate factors, and land cover changes in Northest Asia from 1982 to GIScience and Remote Sensing. 48 (3): doi: / Norsalis E Padi Gogo dan Padi Sawah 2011: Tinjauan secara morfologi, budidaya, dan fisiologi. Repository [Internet].[diunduh 2013 Nov 14]. Tersedia pada: Nurwadjedi Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang: studi kasus di Pulau Jawa. [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Pakpahan A, N Sumaryanto, dan Syafa at Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Panuju DR, K Mizuno, dan BH Trisasongko The dynamics of rice production in Indonesia Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. 12 (2013): Pasandaran E Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pengairan. 25 (4): Priyarsono, D Dari Pertanian Ke Industri: Analisis Pembangunan dalam Perspektif Ekonomi Regional. Bogor: IPB Press. Setiawan Y, K Yoshino, WD Philpot Characterizing temporal vegetation dynamics of land use in regional scale of Java Island, Indonesia. Journal of Land Use Science. 1(2011): Shofiyati R Integrasi multi resolusi citra satelit dengan metode sederhana untuk memonitor kondisi lahan. Jurnal Informatika Pertanian. 19(2010): Sitorus SRP Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bogor: Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor. Sutomo S Analisa data konversi dan prediksi kebutuhan lahan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Round Table II. Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Swastika DKS, J Wargiono, Soejitnom dan A Hasanudin Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 5(1): Tambunan T Ketahanan pangan di Indonesia: inti permasalahan dan alternatif solusinya. Makalah Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Mataram Xiao X, S Boles, J Liu, D Zhuang, S Frolking, C Li, W Salas, dan B Moore Mapping paddy rice agriculture in Southern China using multi-temporal MODIS images. Journal Remote Sensing of Environment. 95 (2005):

43 31 LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel Titik Contoh Pengamatan Lapang Tim BIMAS-21 Tahun 2012 NO. ID FOTO (.jpg) FASE TUMBUH KOORDINAT X KOORDINAT Y LOKASI TANGGAL TITIK CONTOH PENGAMATAN 1 P generatif 107,35-6,25 Karawang 23/11/ P bera basah 107,35-6,25 Karawang 23/11/2012 X 3 P vegetatif muda 107,36-6,24 Karawang 23/11/ P bera kering 107,36-6,24 Karawang 23/11/2012 X 5 DSCN3115 bera basah 107,38-6,32 Karawang 09/11/2012 X 6 DSCN3107 vegetatif muda 107,38-6,34 Karawang 09/11/ P vegetatif tua 107,43-6,21 Karawang 23/11/ P generatif 107,48-6,19 Karawang 23/11/2012 X 9 P bera kering 107,53-6,22 Karawang 24/11/2012 X 10 P vegetatif tua 107,53-6,21 Karawang 24/11/ P bera kering 107,58-6,25 Karawang 23/11/2012 X 12 P bera kering 107,55-6,31 Karawang 22/11/2012 X 13 DSCN2647 vegetatif muda 107,57-6,38 Subang 31/10/ DSCN2645 generatif 107,59-6,38 Subang 31/10/ DSCN2638 vegetatif tua 107,61-6,37 Subang 31/10/ P bera kering 107,58-6,50 Subang 17/11/ DSCN2680 bera basah 107,64-6,35 Subang 31/10/2012 X 18 DSCN2607 vegetatif muda 107,65-6,35 Subang 31/10/ DSCN2686 bera kering 107,69-6,32 Subang 31/10/ DSCN2569 bera kering 107,76-6,30 Subang 30/10/ DSCN2724 generatif 107,77-6,30 Subang 31/10/2012 X 22 DSCN2559 bera kering 107,77-6,30 Subang 30/10/ DSCN2552 bera kering 107,78-6,29 Subang 30/10/ DSCN2539 bera kering 107,79-6,29 Subang 30/10/ DSCN2528 bera kering 107,81-6,29 Subang 30/10/ P generatif 107,81-6,29 Subang 17/07/ P vegetatif muda 107,81-6,29 Subang 16/07/2012 X 28 DSCN2751 bera kering 107,83-6,28 Subang 31/10/ DSCN2765 vegetatif tua 107,85-6,28 Subang 31/10/ DSCN2776 generatif 107,86-6,28 Subang 31/10/2012 X 31 DSCN2479 bera kering 107,87-6,28 Subang 30/10/ DSCN2791 generatif 107,89-6,29 Subang 31/10/ DSCN2798 bera basah 107,91-6,30 Subang 31/10/ DSCN2472 generatif 107,91-6,30 Subang 30/10/ DSCN2467 bera kering 107,91-6,30 Subang 30/10/ DSCN3170 bera kering 107,82-6,35 Subang 09/11/2012 X 37 DSCN3168 bera basah 107,80-6,39 Subang 09/11/2012 X 38 DSCN3160 generatif 107,79-6,42 Subang 09/11/ P bera kering 107,70-6,54 Subang 17/11/ P bera kering 107,79-6,56 Subang 17/11/ P bera kering 107,80-6,56 Subang 17/11/ P bera kering 107,84-6,56 Subang 17/11/ DSCN2808 vegetatif tua 107,93-6,30 Indramayu 31/10/ DSCN2816 generatif 107,94-6,31 Indramayu 31/10/ DSCN1147 bera kering 107,95-6,31 Indramayu 06/06/2012 X 46 DSCN1128 bera kering 107,98-6,32 Indramayu 06/06/2012 X 47 DSCN2580 vegetatif tua 107,72-6,31 Subang 31/10/ DSCN3397 generatif 107,95-6,35 Indramayu 24/11/ DSCN3403 bera kering 107,95-6,37 Indramayu 24/11/2012 X 50 DSCN3418 bera kering 107,94-6,38 Indramayu 24/11/2012 X 51 DSCN3425 bera kering 107,95-6,41 Indramayu 24/11/2012 X 52 DSCN3358 bera kering 107,94-6,45 Indramayu 23/11/2012 X 53 DSCN1087 vegetatif muda 107,94-6,49 Indramayu 05/06/ DSCN1365 generatif 107,95-6,48 Indramayu 10/06/2012 X 55 DSCN1369 generatif 107,96-6,49 Indramayu 10/06/ DSCN1373 bera kering 107,97-6,51 Indramayu 10/06/ DSCN1385 generatif 107,98-6,52 Indramayu 10/06/2012 X 58 DSCN1380 vegetatif tua 107,97-6,54 Indramayu 10/06/2012 X 59 P bera kering 107,92-6,59 Indramayu 17/11/2012

44 32 60 P bera kering 107,94-6,61 Indramayu 17/11/ DSCN3329 bera kering 107,96-6,59 Indramayu 17/11/ P bera kering 108,02-6,63 Indramayu 17/11/ DSCN1218 generatif 108,03-6,52 Indramayu 07/06/2012 X 64 DSCN1189 generatif 108,13-6,51 Indramayu 07/06/ DSCN1311 generatif 108,08-6,48 Indramayu 09/06/2012 X 66 DSCN3489 bera kering 108,07-6,47 Indramayu 24/11/2012 X 67 DSCN3480 bera kering 108,08-6,45 Indramayu 24/11/2012 X 68 DSCN3476 bera basah 108,07-6,44 Indramayu 24/11/2012 X 69 DSCN3365 bera kering 108,06-6,44 Indramayu 23/11/2012 X 70 DSCN3468 generatif 108,05-6,44 Indramayu 24/11/ DSCN3460 generatif 108,03-6,45 Indramayu 24/11/ DSCN3451 generatif 108,01-6,42 Indramayu 24/11/ DSCN3442 bera kering 107,98-6,42 Indramayu 24/11/ DSCN3517 generatif 108,00-6,38 Indramayu 24/11/ DSCN3514 bera kering 108,02-6,38 Indramayu 24/11/2012 X 76 DSCN2835 generatif 108,00-6,32 Indramayu 01/11/ DSCN3048 generatif 108,02-6,31 Indramayu 01/11/ DSCN2845 vegetatif tua 108,04-6,31 Indramayu 01/11/ DSCN2985 generatif 108,06-6,32 Indramayu 01/11/ DSCN2973 bera kering 108,10-6,34 Indramayu 01/11/2012 X 81 DSCN2855 bera kering 108,28-6,39 Indramayu 01/11/2012 X 82 DSCN2954 bera kering 108,14-6,39 Indramayu 01/11/ DSCN1172 vegetatif tua 108,17-6,43 Indramayu 07/06/ DSCN2857 bera kering 108,19-6,40 Indramayu 01/11/ DSCN2866 bera kering 108,21-6,40 Indramayu 01/11/2012 X 86 DSCN2910 bera kering 108,24-6,41 Indramayu 01/11/2012 X 87 DSCN1292 vegetatif muda 108,28-6,39 Indramayu 09/06/2012 X 88 DSCN2885 bera kering 108,28-6,39 Indramayu 01/11/2012 X 89 DSCN1275 vegetatif tua 108,31-6,36 Indramayu 08/06/2012 X 90 DSCN1235 bera basah 108,33-6,37 Indramayu 08/06/ DSCN1255 vegetatif muda 108,31-6,34 Indramayu 08/06/2012 X 92 DSCN3216 bera kering 108,36-6,35 Indramayu 16/11/ DSCN3223 bera kering 108,38-6,37 Indramayu 16/11/2012 X 94 DSCN1815 vegetatif tua 108,39-6,38 Indramayu 16/07/ P bera kering 108,40-6,39 Indramayu 16/11/2012 X 96 DSCN1821 generatif 108,41-6,40 Indramayu 16/07/ DSCN3245 bera kering 108,43-6,43 Indramayu 16/11/2012 X 98 P bera kering 108,45-6,47 Indramayu 16/11/2012 X 99 P bera kering 108,42-6,47 Indramayu 16/11/2012 X 100 DSCN1777 vegetatif tua 108,41-6,47 Indramayu 15/07/2012 X 101 P bera kering 108,35-6,48 Indramayu 16/11/2012 X 102 P bera kering 108,35-6,55 Indramayu 16/11/2012 X 103 P bera kering 108,35-6,57 Indramayu 16/11/2012 X 104 P bera kering 108,32-6,50 Indramayu 16/11/ DSCN3309 vegetatif tua 108,31-6,49 Indramayu 16/11/ P generatif 108,29-6,48 Indramayu 16/11/ P bera kering 108,28-6,44 Indramayu 16/11/2012 X 108 DSCN3302 bera kering 108,28-6,42 Indramayu 16/11/2012 X Keterangan: X adalah titik contoh pengamatan yang memiliki kecocokan antara foto hasil survei lapang dan pola temporal EVI.

45 Lampiran 2 Contoh Titik Pengamatan yang Sesuai antara Pola Temporal EVI dan Foto Keadaan Aktual Lahan Survei Tim BIMAS-21 Tahun Fase Bera Basah 33 Karawang, Subang, Indramayu,

46 34 2. Fase Vegetatif Muda Subang, Indramayu, Fase Vegetatif Tua Indramayu,

47 35 4. Fase Generatif Karawang, Subang, Indramayu,

48 36 5. Fase Bera Kering Karawang, Subang, Indramayu,

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2.

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2. III. METODE PENELITAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juni di lokasi pengamatan lapang yaitu di wilayah kerja PT. Sang Hyang Seri yang berlokasi di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Penelitian Strategis Unggulan IPB

Penelitian Strategis Unggulan IPB Penelitian Strategis Unggulan IPB PENGEMBANGAN KONSEP ALOKASI LAHAN UNTUK MENDUKUNG REFORMA AGRARIA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI SPASIAL Oleh : Baba Barus Dyah Retno Panuju Diar Shiddiq Pusat Pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Koreksi Geometrik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi geometrik citra adalah proses memberikan sistem referensi dari suatu citra satelit. Dalam penelitian ini sistem koordinat yang digunakan adalah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis di Provinsi Jawa Barat

Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis di Provinsi Jawa Barat Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 2133 ISSN 2338350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis DIAN PERMATA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi 1 Robbinov Dwi Ardi, 2 Ina Helena Agustina 1,2 Prodi Perencanaan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar

Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar Aplikasi Citra Satelit QuickBird Untuk Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar RUNIA CHRISTINA GULTOM INDAYATI LANYA*) I WAYAN NUARSA Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sawah merupakan media atau sarana untuk memproduksi padi. Sawah yang subur akan menghasilkan padi yang baik. Indonesia termasuk Negara agraris yang sebagian wilayahnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Buku Pedoman Pemanfaatan Aplikasi Simotandi. P u s a t D a t a d a n S i s t e m I n f o r m a s i P e r t a n i a n

Buku Pedoman Pemanfaatan Aplikasi Simotandi. P u s a t D a t a d a n S i s t e m I n f o r m a s i P e r t a n i a n KATA PENGANTAR Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya, sehingga publikasi buku pedoman Pemanfaatan Aplikasi SIMOTANDI telah dapat diselesaikan tepat waktu. Buku pedoman

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian Dua kecamatan yang dipilih di Kabupaten Indramayu, yaitu: Kecamatan Patrol dan Lelea. Batas administratif Kabupaten Indramayu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 46/08/32/Th. XVII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 TAHUN 2014, PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 253.296 TON, CABAI

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 K E M E N T E R I A N P E K E R J A A N U M U M B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N P U S A T P E N E L I T

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas

Lebih terperinci

Perkembangan Ekonomi Makro

Perkembangan Ekonomi Makro Boks 1.2. Pemetaan Sektor Pertanian di Jawa Barat* Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (harga berlaku) tahun 2006 sebesar sekitar 11,5%, sementara pada tahun 2000 sebesar 14,7% atau dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya. Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan padi sawah dengan lokasi penelitian mencakup Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini terletak pada koordinat 104 48 00 BT

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH

KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA BARAT: KECENDERUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI SAWAH Bambang Irawan Dalam pembangunan nasional, peningkatan ketahanan pangan selalu menjadi prioritas. Hal ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yaitu negara dengan mata pencaharian utama adalah bertani. Makin berkembangnya bidang teknologi dan kesehatan sepuluh tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah yang berdekatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional BAB II TEORI DASAR 2.1 Ketahanan Pangan Nasional Program diversifikasi pangan sudah sejak lama dicanangkan, namun belum terlihat indikasi penurunan konsumsi beras penduduk Indonesia. Indikasi ini bahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Nurul Aini Dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1

Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1 Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Samudra 2 Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 36/07/32/Th XIX, 3 Juli PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH DAN HARGA BERAS DI PENGGILINGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI SEBESAR 104,46 (2012=100) Nilai Tukar Petani

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN berikut : FAO dalam Arsyad (2012:206) mengemukakan pengertian lahan sebagai Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran 151 Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran V.1 Analisis V.1.1 Analisis Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Dalam analisis alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan dibatasi pada tanaman pangan

Lebih terperinci