6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT"

Transkripsi

1 125 6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT 6.1 Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat Perkembangan Ekonomi Regional PDRB Kawasan Gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah dapat diperoleh dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB (dengan Migas) Kepulauan Seribu sejak tahun 2001 menunjukkan penurunan sampai tahun 2003 dan mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sampai Trend perkembangan PDRB lebih bervariasi saat tidak memasukkan unsur Migas di dalamnya. PDRB (tanpa migas) Kepulauan Seribu mengalami peningkatan selama tahun , kemudian turun di tahun 2003 dan terus mengalami kenaikan sampai tahun Begitu juga dengan semua sektor lapangan usaha mengalami trend perkembangan yang bervariatif. Sektor penyumbang terbesar PDRB (dengan migas) adalah pertambangan. Sedangkan sektor pertanian (perikanan) memberikan sumbangan terbesar pada PDRB (tanpa migas). Sumbangan lainnya berasal dari perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, pengangkutan dan komunikasi, industri pengolahan dan listrik gas dan air bersih. Karekteristik fisik daerah berupa pulau-pulau kecil dan perairan laut yang luas menjadikan sektor perikanan sebagai sumbangsih terbesar dan menjadi andalan bagi pembangunan Kepulauan Seribu. Pertanian, termasuk sektor perikanan didalamnya memberikan sumbangsih yang cukup besar dengan ratarata sumbangan selama sebesar 28,4 % (PDRB tanpa Migas) dan 3,16 % (PDRB dengan Migas). Perikanan sendiri memberikan sumbangsih terbesar dengan nilai kontribusi rata-rata selama sebesar 98 % (dari bidang pertanian). Tabel 23 menggambarkan perkembangan PDRB Kepulauan Seribu.

2 126 Tabel 23 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) No Lapangan Usaha *) 2005**) 1 Pertanian Tanaman bahan makanan Peternakan Perikanan 67,719 64,545 29,146 38,167 41,841 3 Pertambangan 1,365,080 1,160,812 1,070,523 1,361,205 1,959,329 4 Industri pengolahan 4,517 5,054 5,470 5,697 6,412 5 Listrik, Gas dan Air bersih ,028 6 Bangunan 12,210 14,127 15,721 17,917 21,186 7 Perdagangan, Hotel dan Restoran 51,112 58,618 65,572 71,592 79,703 8 Pengangkutan dan Komunikasi 5,955 4,595 4,493 4,533 3,815 Keuangan, Persewaan dan Jasa 9 Perusahaan 7,375 8,177 8,665 9,214 9, Jasa-jasa 18,556 20,591 22,522 24,286 27,606 PDRB dengan Migas 1,533,832 1,338,072 1,223,830 1,534,290 2,151,368 PDRB tanpa Migas 168, , , ,085 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, ,039 Fakta tak terbantahkan bahwa Kepulauan Seribu secara geografis berupa pulau-pulau kecil dan perairan laut. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan andalan bagi masyarakat Kepulauan Seribu dengan mata pencaharian masyarakatnya berupa penangkapan, budidaya laut, pengolahan hasil perikanan, perdagangan dan transportasi laut. Namun, BPS masih menjadikan perikanan sebagai sub ordinat dari pertanian. Padahal, karakter sumberdaya wilayah Kepulauan Seribu sangat jelas memperlihatkan hal itu. Penamaan lapangan usaha harusnya disesuaikan dengan karekteristik wilayah. PDRB Perkapita PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Angka PDRB per kapita dapat dijadikan sebagai satu indikator kesejahteraan rakyat walaupun tidak dapat langsung menggambarkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat atau penduduk. Tabel 24 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tanpa migas meningkat dari Rp tahun 2004 menjadi Rp tahun 2005 atau mengalami

3 127 peningkatan sebesar 10,06 %. Namun, secara ril PDRB per kapita tersebut hanya sebesar Rp tahun 2004 kemudian meningkat menjadi Rp tahun Tabel 24 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Tanpa Migas ( ) Tahun Harga Berlaku Harga Konstan PDRB Perkapita Perubahan PDRB Perkapita Perubahan ,055,638 6,78 8,216,183-3, ,316,220 2,88 7,829,892 4, ,961,922-14,54 6,624,193-15, * 8,864,340 11,33 6,695,287 1, ** 9,756,071 10,06 6,811,994 1,74 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006 Jika mempertimbangkan faktor migas, maka PDRB per kapita Kepulauan Seribu meningkat dari Rp tahun 2004 menjadi Rp tahun 2005 atau mengalami kenaikan sebesar 39,09%. Sedangkan secara ril PDRB per kapita tersebut justru mengalami penurunan dari Rp tahun 2004 menjadi Rp tahun 2005, atau menurun sebesar 6,85%. Tabel 22 menyajikan PDRB per kapita dengan migas di Kepulauan Seribu. Tabel 25 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Dengan Migas ( ) Tahun Harga Berlaku Harga Konstan PDRB Perkapita Perubahan PDRB Perkapita Perubahan ,309,193 5,64 76,621,399-1, ,324,891-14,56 72,645,775-5, ,559,065-9,62 61,654,361-15, * 78,576,755 23,63 57,268,456-7, ** 109,295,245 39,09 53,346,083-6,85 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, Perkembangan Kemiskinan Regional Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Perkembangan kemiskinan ditandai dengan jumah penduduk miskin dan peresentase masyarakat miskin yang dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat Propinsi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data yang detail tentang Kepulauan seribu.

4 128 Hasil pendataan responden miskin Tahap I dan II tahun 2005 oleh BPS, menunjukkan bahwa terdapat responden miskin di DKI Jakarta. Hasil ini lebih banyak dibandingkan temuan pada tahun 2004 sebanyak responden. Apabila diamati jumlah anggota respondennya, maka terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun 2004 ke tahun 2005, yakni dari penduduk miskin menjadi (4,25 % dari penduduk DKI Jakarta). Tabel 26 Perkembangan Jumlah Responden dan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota Rumah Rumah Rumah Penduduk Penduduk Tangga Tangga Tangga Penduduk Kepulauan Seribu 452 1,860 1,042 3,835 1,043 3,882 Jakarta Selatan 6,053 25,504 11,162 48,169 11,377 49,818 Jakarta Timur 26, ,957 28, ,021 39, ,367 Jakarta Pusat 16,625 68,599 21,968 89,514 22,723 92,906 Jakarta Barat 14,787 55,915 29, ,714 30, ,048 Jakarta Utara 27, ,063 48, ,959 55, ,697 DKI Jakarta 91, , , , , ,718 Catatan : Data tahun 2005 tidak bisa dibandingkan thd tahun sebelumnya dikarenakan Metode penghitungannya berbeda Sumber: Tahun 2004 merupakan hasil pemutakhiran survei responden miskin Tahun 2004 Tahun 2005 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk (PSE) 2005 Tahun 2006 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk (PSE) 2006 Tabel 26 menunjukkan terjadinya peningkatan responden miskin di Kepulauan Seribu dari 452 responden di tahun 2004 menjadi responden di tahun Jumlah penduduk miskin juga makin bertambah yaitu dari jiwa tahun 2004 menjadi jiwa tahun Meningkatnya angka kemiskinan ini disebabkan karena adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali telah menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu yang mayoritas nelayan. Kenaikan BBM menyebabkan terjadinya inflasi yang berdampak pada peningkatan berbagai kebutuhan pokok. Sedangkan bagi nelayan, biaya BBM memakan sekitar 40% dari total biaya produksinya. Kenaikan harga BBM di awal tahun 2005 menyebabkan banyaknya nelayan yang tidak melaut/menghentikan aktivitas penangkapannya karena biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Kenaikan harga BBM parahnya tidak diimbangi dengan kenaikan harga ikan. Sehingga kebijakan

5 129 penaikkan BBM sangat merugikan nelayan dan meningkatkan angka kemiskinan di kalangan masyarakat pesisir. Jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mengalami penurunan pada tahun 2006 (3.400 jiwa) jika dibandingkan dengan tahun 2005 (3.835 jiwa). Angka kemiskinan ini tergolong tinggi karena sebelumnya (2004), jumlah penduduk miskin Kepulauan Seribu hanya jiwa. Tabel 27 menunjukkan perkembangan jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu tahun Tabel 27 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase, P1, P2 dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah penduduk miskin (000) Persentase penduduk miskin P1 P2 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bln) Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu 3,4 14,64 2,69 0, Jakarta Selatan 64,0 3,36 0,73 0, Jakarta Timur 71,2 2,85 0,66 0, Jakarta Pusat 28,5 3,17 0,67 0, Jakarta Barat 57,4 2,84 0,51 0, Jakarta Utara 91,7 6,48 1,54 0, DKI Jakarta 316,2 3,61 0,78 0, Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan , BPS Jakarta. Penyebaran penduduk miskin menurut wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta tahun 2006 sebanyak 14,64% berada di Kepulauan Seribu. Jumlah persentase penduduk miskin Kepulauan Seribu di atas rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta yang mencapai 3,61%. Ketimpangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa belum terjadi pemerataan pembangunan di pusat ibu kota. Selain itu, keberadaan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten Baru di DKI Jakarta, belum bisa menunjukkan prestasi pembangunan yang menggembirakan. Kondisi geografis Kepulauan Seribu berupa daerah kepulauan dengan jarak pulau yang berjauhan, menjadikan akses terhadap distribusi pembangunan tidak berjalan optimal. Tingginya persentase penduduk miskin di Kepulauan Seribu yang dekat DKI Jakarta ini dapat disebabkan karena tatanan kelembagaan belum berjalan dengan baik, disamping peraturan dan kebijakan pembangunan belum sepenuhnya berpihak kepada wilayah pesisir/pedesaan dan bias perkotaan. Kesenjangan dari sisi kepemilikan faktor produksi, dan kesenjangan sumberdaya manusia semakin memperjelas tingginya kemiskinan di Kepulauan Seribu.

6 130 Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Tingkat kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index/PI) menunjukkan ukuran rata- rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indekss semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index/P2) menunjukkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan juga intensitas kemiskinan Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai P1 Kabupaten Kepulauan Seribu tertinggi yaitu 2,69 lebih tinggi dari rata-rata P1 di DKI Jakarta yaitu 0,78. Nilai P1 Jakarta Utara sedikit lebih rendah yaitu 1,54. Terjadi kesenjangan pengeluaran rata-rata penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di DKI Jakarta. Kesenjangan ini sangat kentara antara Kabupaten/Kota yang berada di wilayah pesisir atau berupa kepulauan dengan perkotaan. Jika diperhatikan karakteristik masyarakatnya, baik Jakarta Utara maupun Kepulauan Seribu rata-rata merupakan masyarakat pesisir. Fakta ini menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil belum berjalan dengan baik di DKI Jakarta. Fakta ini juga menunjukkan adanya bias kebijakan antara pembangunan kawasan pesisir dan PPK dengan kawasan teresterial dan perkotaan. Kepulauan Seribu mempunyai intensitas kemiskinan yang tinggi jika dibandingkan dengan Kota lain dengan nilai P2 sebesar 0,80 di atas rata-rata nilai P2 DKI Jakarta yaitu 0,20. Data ini menunjukkan bahwa penyebaran pengeluaran penduduk miskin dan intensitas kemiskinan antara Kabupaten Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta terjadi kesenjangan. Kehidupan penduduk miskin di Kepulauan Seribu belum mengalami perbaikan dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta. Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup (AHH) secara konsepsi diartikan sebagai rata-rata jumlah tahun hidup yang dapat dijalani oleh seorang hingga akhir hayatnya. Dan merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan.

7 131 Berdasarkan data BPS tahun 2006, angka harapan hidup (AHH) Kepulauan Seribu mencapai usia 72,2 tahun (2002) dan semakin menurun menjadi 69,7 tahun pada tahun Tahun 1993 AHH Kepulauan Seribu cukup baik yaitu 70,2 tahun dan terus meningkat menjadi 70,3 tahun (1996), 71,2 tahun (1999) dan 72,2 tahun (2002), kemudian turun menjadi 69,7 tahun pada tahun AHH tahun 2005 Kepulauan Seribu ini lebih rendah dari AHH rata-rata DKI pada tahun yang sama yaitu 74 tahun. Penurunan AHH mengindikasikan kemampuan untuk dapat bertahan hidup bagi penduduk Kepulauan Seribu semakin memburuk. Semakin memburuknya kondisi sosial ekonomi, kesehatan dan lingkungan di wilayah Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta umumnya serta tingkat kematian bayi yang makin tinggi, menyebabkan menurunnya AHH. Data ini juga menggambarkan bahwa kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat mengalami kemunduran disebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan sehingga akses terhadap kesehatan semakin berkurang. Kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali, diduga kuat menjadi penyebab rendahnya daya beli dan tingkat pendapatan masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan naiknya biaya operasional melaut yang diikuti dengan kenaikan bahan-bahan pokok. Tabel 28 memberikan gambaran AHH Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta. Tabel 28 Angka Harapan Hidup DKI Jakarta (Tahun) Kabupaten Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006 Tabel 28 menggambarkan bahwa AHH Kepulauan Seribu lebih rendah dibandingkan AHH Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta. Data ini menunjukkan adanya ketidakmerataan dalam akses kesehatan. Pemerintah DKI Jakarta belum memprioritaskan masyarakat Kepulauan Seribu yang sudah terisolasi karena letak geografis berupa pulau-pulau kecil yang saling berjauhan

8 132 dan akses kesehatan, informasi dan pendidikan yang terbatas. Ketidakpekaan pemerintah DKI Jakarta ini, menunjukkan adanya bias pembangunan yang condong mendorong kemajuan di perkotaan dan mengabaikan wilayah pedesaan dan kepulauan. Angka Melek Huruf Angka melek huruf (AMH) merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dan menjadi indikator keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. AMH merupakan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Angka melek huruf (AMH) masyarakat Kepulauan Seribu sebelum berubah status menjadi Kabupaten mencapai 96,1% (1993), kemudian turun menjadi 95,1% (1996) dan naik lagi menjadi 97,1% (1999). Sejak terbentuknya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2002, AMH semakin membaik mencapai 98,2% tahun Namun kembali turun cukup tajam pada tahun 2005 dengan nilai 96,6%. Penurunan AMH ini disebabkan karena menurunnya kesempatan belajar masyarakat dan tingginya angka putus sekolah sebagai akibat kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali kenaikan dan menurunkan pendapatan masyarakat (Tabel 29). Tabel 29 Persentase Angka Melek Huruf DKI Jakarta (%) Kabupaten Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006 Pada tahun 2006, perkembangan AMH Kepulauan Seribu dengan kotakota lain di DKI Jakarta tidak terlampau timpang. Nilai AMH Kepulauan Seribu yang mencapai 98,2% sama dengan rata-rata AMH di DKI Jakarta yaitu 98,2%. Namun pada tahun 2005, ketimpangan tersebut terlihat dengan angka 96,6% AMH Kepulauan Seribu yang berada di bawah rata-rata AMH DKI Jakarta

9 133 sebesar 98,2%. Krisis ekonomi yang dipicu oleh kenaikan BBM di tahun 2005 tidak bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta. Tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu sebagai akibat pukulan keras kenaikan BBM mengakibatkan semakin tingginya angka putus sekolah. Fasilitas Pendidikan Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Fasilitas pendidikan ditunjukkan dengan ketersediaan bangunan pendidikan baik formal maupun non formal. Tabel 30 menyajikan fasilitas pendidikan yang ada di DKI Jakarta termasuk Kepulauan Seribu di dalamnya menurut jenjang pendidikan dan status pengelolanya. Tabel 30 Jumlah Gedung Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan ( ) (Unit) Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kepulauan Seribu Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007 Jumlah gedung TK di Kepulauan Seribu hanya 10 buah dari yang berada di DKI Jakarta. Gedung sekolah SD berjumlah 14 buah dari total seluruh DKI Jakarta, SMP sebanyak 5 buah dari total 955 buah di DKI Jakarta. Sedangkan ketersediaan gedung SMU jumlahnya sangat minim. Jumlah gedung SMU dan SMK masing-masing hanya 1 buah terdapat di Kelurahan P. Panggang, yaitu di P. Panggang dari total 498 buah SMU dan 578 SMK di DKI Jakarta. Tingginya sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana pendidikan di wilayah tersebut. Data ini menggambarkan kondisi masyarakat Kepulauan Seribu dan masyarakat Kepulauan lainnya di Indonesia yang senantiasa tertinggal dan terbelit dalam kemiskinan. Ketimpangan ini karena tidak adanya keberpihakan negara terhadap wilayah pedesaan dan kepulauan, khususnya dalam penyediaan sarana pendidikan. Fakta ketimpangan dan bias

10 134 pembangunan tersebut jelas terlihat nyata dengan minimnya sarana pendidikan yang tersedia di Kepulauan Seribu. Letak geografis yang berjauhan satu pulau dengan pulau lainnya dan budaya masyarakat yang cenderung tidak mau bersekolah dan memilih bekerja di laut dituding sebagai alasan dasar kenapa sarana pendidikan jarang terlihat di Kepulauan Seribu. Pemerintah seyogyanya mencari strategi kebijakan yang tepat dan khusus bagi daerah Kabupaten yang berbentuk kepulauan secara geografis seperti Kepulauan Seribu. Tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang bias seperti inilah yang banyak mengakibatkan terjadinya kemiskinan yang lebih bersifat struktural. Kemiskinan struktural adalah contoh dominan kemiskinan yang banyak terjadi di Indonesia. Selain fasilitas gedung pendidikan, rasio murid-guru juga menentukan keberhasilan pendidikan. Semakin rendah rasio guru murid, maka diharapkan semakin baik tingkat keberhasilan proses belajar pada anak didik di sekolah. Hal ini karena beban guru dalam mendidik siswa relatif lebih ringan dibandingkan dengan rasio murid-guru yang relatif tinggi. Tabel 31 Persentase Rasio Murid-Guru Menurut Kab/Kota dan Tingkat Pendidikan di DKI Jakarta ( ) Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kepulauan Seribu DKI Jakarta Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007 Tabel 31 menunjukkan bahwa rasio murid-guru di Kepulauan Seribu pada tingkat SLTP paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa beban guru SLTP lebih berat dibandingkan beban guru pada tingkat SMU maupun SD. Pada tingkat SLTP beban seorang guru SLTP rata-rata mengajar untuk 23 murid, beban guru SMU rata-rata mengajar 21 murid dan beban guru SMK rata-rata mengajar 11 murid. Dari sisi rasio murid dan guru di

11 135 Kepulauan Seribu masih terlihat cukup seimbang jika dibandingkan dengan ratarata rasio murid-guru Jakarta. Kondisi Tempat Tinggal (Luas Lantai, Fasilitas air bersih, WC) Kualitas rumah tinggal ditentukan oleh kualitas bahan bangunan serta fasilitas yang digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari. Kualitas dan fasilitas lingkungan perumahan memberikan sumbangan pada kenyamanan hidup sehari-hari. Fasilitas rumah berupa luas lantai rumah, sumber dan penggunaan air dan tempat buang air besar. Luas lantai adalah jumlah luas lantai yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh anggota responden, termasuk di dalamnya teras, garasi, WC dan gudang dalam satu bangunan. Tabel 32 Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Lantai Rumah di Kepulauan Seribu Tahun (%) Luas Lantai (m2) < Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, Tabel 32 memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, sebagian besar responden di Kepulauan Seribu menempati luas lantai antara m 2 (sekitar 71.25%). Dibandingkan tahun 2005, terjadi peningkatan kesejahteraan pada responden yang menempati luas lantai antara m 2 sebesar 41.25%. Peningkatan tersebut wajar, mengingat pertambahan penduduk Kepulauan Seribu setiap tahun semakin besar, sementara biaya pemilikan dan pembangunan rumah tinggal semakin mahal. Konsekuensinya adalah kepadatan hunian per rumah tinggal semakin tinggi jauh lebih kecil. Kelengkapan fasilitas pokok suatu rumah menentukan tingkat kenyamanan rumah tinggal dan kualitas hidup penghuninya. Fasilitas pokok yang penting agar rumah menjadi sehat dan nyaman adalah ketersediaan air bersih, listrik dan jamban (WC).

12 136 Tabel 33 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Air Minum di Kepulauan Seribu Tahun (%) Sumber air Minum Ledeng Pompa air Sumur Air kemasan Lainnya Jumlah rumah tangga 6,060 6,720 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, ,480 Tabel 33 menggambarkan bahwa terjadi penurunan pada persentase penggunaan air minum dari sumber ledeng pada tahun 2005 sebesar % menjadi 13.75% pada tahun Penggunaan air sumur bahkan sejak tahun 2005 sudah tidak ada lagi. Tingginya penggunaan air ledeng sangat beralasan karena lokasi geografis Kepulauan Seribu yang berupa pulau-pulau kecil dan daerah tangkapan air tawarnya rendah. Proses interusi air laut yang dengan cepat masuk dan menyerap ke dalam pori-pori tanah menjadikan air di kawasan tersebut payau. Disamping itu pesatnya kawasan industri di Pesisir Jakarta menjadikan perairan Teluk Jakarta dipenuhi oleh limbah dan tentunya dapat mempengaruhi kualitas air tanah. Konsekuensinya responden di Kepulauan Seribu seperti juga responden di Jakarta Utara memenuhi kebutuhan air minumnya dari air ledeng atau air kemasan unutk kebutuhan air minumnya. Tabel 34 Persentase Rumah Tangga Menurut Tempat Buang Air Besar di Kepulauan Seribu, Tahun (%) Tempat Buang Air Besar Kakus sendiri Kakus bersama Kakus umum Lainnya Jumlah rumah tangga 6,060 6,720 4,480 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, Tabel 34 menjelaskan penggunaan fasilitas tempat buang air besar di dalam responden. Responden yang mempunyai kakus sendiri dapat dikatakan

13 137 lebih sejahtera dibandingkan jika respondennya tersebut membuang air besarnya ke kakus umum atau lainnya. Tahun 2004, sebanyak 26.24% rumah tangga di Kepulauan Seribu menggunakan kakus sendiri, naik tahun 2005 sebesar 56.25% dan kembali turun pada tahun 2006 sebesar 27.19%. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kakus sendiri makin meningkat. Bahkan pada tahun 2006 responden yang menggunakan kakus bersama atau kakus umum sudah tidak ada lagi. Namun ada peralihan ke fasilitas lainnya yang makin membesar pada tahun 2006 yaitu mencapai 71.81%. Ketiadaan penggunaan kakus bersama/umum di tahun 2006 ini disebabkan karena rata-rata masyarakat sudah mempunyai kakus sendiri. Tahun 2007 responden yang mempunyai kakus sendiri makin meningkat yaitu sebesar 35.63% dan 3.44% masih ada rumah tangga yang menggunakan kakus bersama. Penggunaan kakus umum sebesar 2.81% serta rumah tangga yang tidak mempunyai kakus sebesar 58.13%. Fakta ini menjelaskan adanya peningkataan kesadaran penduduk dan pola hidup bersih. Pengeluaran Per Kapita Pengeluaran per kapita responden Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sebesar Rp Angka ini masih lebih rendah dari rata-rata pengeluaran rumah tangga DKI Jakarta sebesar Rp Pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan tahun 2007 sebesar Rp Angka ini sedikit lebih rendah dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan responden DKI Jakarta tahun 2006 tercatat Rp Pengeluaran untuk konsumsi non makanan dirinci menurut pengeluaran perumahan, aneka barang dan jasa, pakaian, barang tahan lama, pajak dan keperluan pesta. Pengeluaran jenis non makanan rumah tangga Kepulauan Seribu tahun 2007 sebesar Rp sedangkan di tahun yang sama rata-rata responden di DKI Jakarta pengeluaran rumah tangganya mencapai Rp ,-. Artinya pengeluaran per kapita rumah tangga Kepulauan Seribu lebih banyak digunakan untuk belanja makanan dibandingkan non makanan. Sebaliknya rumah tangga DKI Jakarta secara umum alokasi pengeluarannya lebih banyak digunakan untuk

14 138 belanja non makanan dibandingkan makanan. Hal itu sesuai dengan kondisi warga Kepulauan Seribu yang masih disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan basic need, maka alokasi pengeluaran lebih banyak digunakan untuk makanan. Sedangkan masyarakat Jakarta kebanyakan, rata-rata kemampuan ekonominya sudah maju, didukung oleh fasilitas perbelanjaan dan ketersediaan barang dan jasa serta kompleksitas kebutuhan masyarakat, membuat pengeluaran perkapita lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Tabel 35 menjelaskan tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan dan jenis pengeluaran di Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta. Tabel 35 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Sebulan dan Jenis Pengeluaran di Kepulauan Seribu Tahun 2007 Jenis Pengeluaran Kep. Seribu DKI Jakarta Makanan Non Makanan Jumlah Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio Indikator yang digunakan untuk menilai sejauhmana tingkat ketidakmerataan (ketimpangan) pendapatan penduduk, antara lain dengan Gini ratio dan kriteria Bank Dunia. Gini ratio merupakan ukuran distribusi pendapatan yang mempunyai nilai 0 sampai dengan 1. Apabila gini ratio mendekati 0, kesenjangan distribusi pendapatan dianggap rendah. Sebaliknya, apabila gini ratio mendekati angka 1, maka kesenjangan distribusi pendapatan dianggap makin tinggi. Jika gini ratio > 0,50 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan tinggi. Gini ratio 0,4-0,5 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan sedang dan gini ratio < 0,4 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan rendah. Kriteria Bank Dunia menggolongkan penduduk menjadi tiga kelas yaitu, 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% berpendapatan sedang dan 20% penduduk berpendapatan tinggi. Tingkat ketimpangan penduduk menurut kriteria

15 139 Bank Dunia terpusat pada 40% penduduk berpendapatan rendah, kemudian diidentifikasi intensitas kemiskinannya dengan kriteria : Bila menerima kurang dari 12% dari jumlah pendapatan, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan tinggi Bila menerima antara 12-17%, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan sedang Bila menerima lebih besar dari 17%, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan rendah Pengukuran distribusi pendapatan dan ketimpangan ini masih menggunakan data skala Propinsi karena keterbatasan data yang ada. Namun setidaknya, memberikan gambaran tentang Kepulauan Seribu yang berada dalam wilayah propinsi DKI Jakarta. Tabel 36 Persentase Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio DKI Jakarta Tahun 1990, (%) Tahun 40% yang berpendapatan rendah Kelompok Penduduk 40% yang berpendapatan sedang 20% yang berpendapatan tinggi Gini Ratio Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 Tabel 36 menggambarkan bahwa selama selang waktu telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat DKI Jakarta. Pada tahun 1990, sekitar 23% bagian pendapatan masyarakat DKI Jakarta masih dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan rendah. Namun sejalan dengan berbagai kendala ekonomi, seperti krisis yang terjadi tahun 1997 telah berdampak pada tingkat kesenjangan yang semakin lebar dengan semakin kecilnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan rendah. Tahun 2006, walaupun telah terjadi sedikit perbaikan kondisi ekonomi namun bagian pendapatan masyarakat yang dimiliki oleh 40% penduduk berpendapatan rendah

16 140 mencapai 20,11%. Kendati telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat, secara umum masih termasuk dalam kategori ketimpangan rendah. Sejalan dengan kriteria Bank Dunia, selama periode ketimpangan penduduk yang diukur melalui indikator gini ratio memperlihatkan gejala kesenjangan pembagian pendapatan yanga membesar, meskipun dengan besaran kuantitatif yang masih lebih kecil dari 0,41. Pada tahun 1990, angka gini ratio DKI Jakarta sebesar 0,305 selanjutnya pada tahun 2000, 2002, 2003 dan 2006 berturut-turut 0,351; 0,389; 0,310 dan 0,360. Penurunan nilai gini ratio ini memperlihatkan bahwa ketimpangan pendapatan mulai menurun lagi dibanding tahun sebelumnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen kualitas hidup. IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar meliputi umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup (AHH). Dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur standar hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli yang dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan. IPM menjadi sangat penting dan bernilai strategis dan dibutuhkan oleh berbagai pihak dan pemerintah khususnya untuk menentukan berbagai kebijakan. IPM juga digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia. Tabel 37 menunjukkan bahwa selama periode pembangunan manusia di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan. Tahun 2004 IPM Kepulauan Seribu adalah 67.2 meningkat menjadi 67.6 pada tahun 2005 dan terus meningkat menjadi 69.3 pada tahun Peningkatan IPM menunjukkan bahwa kinerja pemerintah terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu yang tercermin dari adanya peningkatan komponen IPM. Peningkatan tersebut terlihat pada indikator harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan

17 141 pengeluaran ril per kapita sebagai komponen dasar IPM, semuanya mengalami peningkatan. Tabel 37 IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia dan Komponennya Tahun Komponen Tahun Angka Harapan Hidup (AHH) (Tahun) Angka Melek Huruf (AMH) (%) Rata-rata lama sekolah (Tahun) Pengeluaran ril/kapita disesuaikan (Rp.000) IPM Kepulauan Seribu Ranking IPM IPM DKI Jakarta IPM Indonesia Sumber : BPS, 2006 Nilai IPM Kepulauan Seribu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan IPM DKI Jakarta dan sedikit di bawah IPM nasional (Indonesia). Dari sisi peringkat tahun 2005 sempat mengalami penurunan dari 261 ke 267 dan kemudian naik kembali menjadi peringkat 233 dari 456 Kabupaten/Kota yang ada. Penurunan peringkat pada tahun 2005 disebabkan karena krisis ekonomi yang ditandai oleh kenaikan BBM yang berlangsung hampir 2 kali selama tahun Perbedaan nilai IPM Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Nasional dapat dilihat pada Gambar 10. Keberhasilan pembangunan manusia, tidak mutlak diukur dari urutan posisi (ranking), akan tetapi dapat dilihat juga reduksi shortfall nya. Berdasarkan ukuran itu terlihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia. Reduksi shortfall Kepulauan Seribu selama periode adalah 1,21, kemudian dengan cepat naik nilainya pada periode menjadi 5,17. Hal itu memberi indikasi bahwa peningkatan kualitas hidup penduduk menunjukkan percepatan dari tahun ke tahun. Percepatan tersebut terasa setelah Kepulauan Seribu resmi menjadi Kabupaten baru di wilayah Propinsi DKI Jakarta sejak tahun 2002 yang diikuti dengan berbagai program pembangunan. Jika dibandingkan dengan Kab/Kota lainnya di DKI Jakarta, masih sangat jelas terjadi ketimpangan/ketidakmerataan dalam pembangunan manusia.

18 Nilai IPM Kep. Seribu DKI Jakarta Indonesia Gambar 10 Nilai IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Indonesia Tahun Disparitas pembangunan manusia di Kepulauan Seribu terlihat jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. DKI Jakarta selama tahun selalu tercatat sebagai sebagai propinsi dengan IPM tertinggi yang mencapai 76,3 pada tahun Pada tahun yang sama (2006) tiga kota di DKI Jakarta yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat termasuk kategori urutan lima besar IPM tertinggi Kabupaten/Kota. Meskipun masih dalam satu wilayah Propinsi DKI Jakarta, namun IPM Kepulauan Seribu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Kota lainnya di DKI Jakarta. Kemajuan IPM tergantung dari komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Disparitas pembangunan manusia yang terjadi antara Kepulauan Seribu dengan Kota lainnya di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pola pembangunan yang dijalankan selama ini mengalami bias perkotaan dan daratan. Lokasi yang berkarakter pedesaan dan kepulauan seperti Kabupaten Kepulauan Seribu belum mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pola desentralistik yang menggeser pola sentralistik pada masa lalu, belum berjalan dengan baik. Sentralisasi masih terlihat dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan. Hal itu terlihat dari penempatan kantor-kantor administratif yang

19 143 masih berada di wilayah Jakarta, kepala-kepala pemerintahan di Kepulauan Seribu juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta dibandingkan berada di Kepulauan Seribu. Aturan dan skenario pembangunan, faktanya dijalankan dari Jakarta. Di tingkat Kabupaten/Kota di wilayah DKI Jakarta, capaian IPM tertinggi pada tahun 2006 adalah Jakarta Selatan yaitu sebesar 78,3. Sedangkan pada tahun yang sama Kepulauan Seribu yang tercatat sebagai Kabupaten dengan nilai IPM terendah di DKI Jakarta nilainya mencapai 69,3. Sehingga disparitas pembangunan manusia antara Kota Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu sekitar 9 point. Meskipun perbedaanya tidak terlalu besar, namun hal itu menunjukkan bahwa pembangunan manusia di DKI Jakarta masih timpang. Gambar 11 menunjukkan disparitas IPM antara Kepulauan Seribu dengan Kab/Kota lainnya di DKI Jakarta Kepulauan Seribu 74 Jakarta Selatan Nilai IPM Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 66 DKI Jakarta 64 Indonesia Gambar 11 Nilai IPM Kab/Kota di DKI Jakarta dan Nasional Tabel 37 menunjukkan adanya peningkatan pada setiap komponen penyusun IPM. Nilai AHH dan AMH sudah mendekati kondisi ideal yaitu 85, sedangkan nilai AHH dan AMH Kepulauan Seribu pada tahun 2006 mencapai 70,1 dan 97,2. Kondisi yang jauh dari nilai ideal terlihat pada rata-rata lama

20 144 sekolah yang baru mencapai nilai 7,8 pada tahun Nilai ideal rata-rata lama sekolah adalah 15. Daya beli masyarakat dari tahun juga menunjukkan peningkatan meskipun masih jauh di bawah standar ideal yaitu Rp ,-. Sedangkan Kepulauan Seribu daya beli masyarakatnya pada tahun 2006 baru mencapai Rp ,-. Adanya peningkatan pada semua komponen IPM di Kepulauan Seribu ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat semakin membaik. Nilai IPM DKI Jakarta yang tertinggi tidak serta merta merubah status pembangunannya. Secara total, seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia status pembangunannya belum ada yang masuk dalam kategori tinggi. Status pembangunan Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta beserta semua Kota-kota lainnya di DKI Jakarta status pembangunannya masuk dalam kategori menengah atas Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Model BKKBN BKKBN lebih melihat pada sisi kesejahteraan dibandingkan dengan sisi kemiskinan. Pendataan keluarga sejahtera dilakukan dalam lima tahap, mulai dari pra sejahtera, keluarga sejahtera (KS) I KS III plus. Dalam analisis ini digunakan data Podes tahun 2006 dan data hasil survey lapangan. Tabel 38 Kependudukan Kelurahan P. Panggang Nama Kelurahan Jumlah Penduduk Laki-laki (orang) Jumlah Penduduk Perempuan (orang) Jumlah Keluarga Persentase Keluarga Pertanian (%) Jumlah Pra Keluarga Sejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) 1 Jumlah Keluarga yang menggunakan Listrik Non-PLN (keluarga) PULAU PANGGANG Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang pada tahun 2006 mencapai jiwa dengan keluarga mencapai 1.240

21 145 keluarga. Dari total penduduk, diantaranya adalah laki-laki dan adalah perempuan. Persentase jumlah keluarga pertanian (perikanan) mencapai 85%. Artinya mayoritas penduduk Kelurahan P. Panggang berprofesi di bidang perikanan atau yang terkait dengan usaha perikanan lainnya. Data ini menjadi gambaran betapa tingginya ketergantungan penduduk terhadap sumber daya pesisir dan laut. Jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera 1 (KS 1) sekitar 573 keluarga atau sekitar 46.21% dari total jumlah keluarga yang ada. Jumlah keluarga miskin di Kelurahan P. Panggang hanya terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka. Karena di antara 12 pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang peruntukannya untuk pemukiman penduduk. Angka tersebut dapat juga menunjukkan bahwa hampir separuh dari jumlah keluarga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tersebut merupakan keluarga miskin. Data ini juga semakin memperkuat analisis bahwa kemiskinan selalu diidentikkan dengan nelayan dan masyarakat pesisir. Masyarakat Kepulauan Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnya mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan atau usaha perikanan lainnya seperti budidaya laut, pengolahan hasil perikanan dan perdagangan. Setidaknya tercatat beberapa potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang agar kesejahteraannya meningkat. Beberapa potensi tersebut antara lain ekosistem terumbu karang, lamun, ekosistem pantai, pulau-pulau yang difungsikan sebagai pariwisata dan cagar alam serta status P. Pramuka sebagai pusat ibu kota Kabupaten Kepualaun Seribu. Potensi SDPL tersebut belum dan atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya. Inilah yang menjadi pertanyaan besar kenapa masyarakat yang dikelilingi oleh sumber daya melimpah namun angka kemiskinannnya masih tinggi. Keluarga pra sejahtera (sangat miskin) ditandai oleh adanya beberapa indikator ekonomi dan non ekonomi yang belum dapat dipenuhi oleh keluarga tersebut. Indikator ekonomi yang dimaksud adalah : makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah,

22 146 bekerja/ sekolah dan bepergian), dan bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. Sedangkan indikator non-ekonomi ditandai oleh indikator antara lain pelaksanaan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. Tabel 39 merupakan hasil survey yang dapat digunakan untuk mempertegas kategorisasi keluarga miskin yang terdata dalam Podes Hasil wawancara dengan 30 KK di P. Panggang dan 27 KK di P. Pramuka menunjukkan masih adanya keluarga sangat miskin meskipun jumlahnya sudah berkurang. Sebagai contoh, masih ada 5 responden (8,77%) di P. Panggang dan P. Pramuka yang bahan lantainya masih berupa tanah. Untuk pola berpakaian, sekitar 36 keluarga (65,45%) mengatakan bahwa setahun sekali ganti pakaian dan sebanyak 12 keluarga (21,82%) mengaku tidak mempunyai pakaian khusus untuk acara/kegiatan tertentu. Demikian jika anggota keluarga ada yang sakit, sekitar 19 keluarga (26%) mengobatinya dengan membawa ke dukun atau mengkonsumsi obat-obatan yang dijual bebas di warung. Hasil survey mempertegas adanya masyarakat yang berada dalam status sangat miskin, namun jumlahnya sedikit. Tabel 39 Kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I Menurut Hasil Survey Lapang Kategori Jumlah KK % Luas lantai : < 8 m Bahan lantai : tanah Pola pakaian : setahun membeli satu kali Tidak punya pakaian khusus Bila sakit berobat ke dukun Bila sakit menggunakan obat warung Pendapatan tidak tetap, musiman Pendapatan harian KK yang tidak sekolah Dari yg tidak sekolah, yg tdk bs baca tulis KK yang mengikuti program KB Sumber : Data primer Keluarga sejahtera I (miskin) ditandai oleh tidak adanya kemampuan dalam memenuhi salah satu atau lebih beberapa indikator ekonomi dan non ekonomi. Indikator ekonomi yang dimaksud meliputi : paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh

23 147 anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dan luas lantai rumah paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni. Sedangkan indikator non ekonomi meliputi : Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah dan anak lebih dari 2 orang, ber-kb. Data ini dapat diperkuat dengan melihat hasil wawancara langsung kepada 30 keluarga di P. Panggang dan 27 keluarga di P. Pramuka. Sebagai contoh, terdapat 7 responden (12,28%) yang luas lantainya < 8 m 2. Dari sisi pendapatan sebanyak 54 kepala keluarga (96%) menyatakan bahwa pendapatan yang mereka terima bersifat tidak tetap, musiman dan harian. Jika dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tidak sekolah, hanya tercatat sekitar 6 kepala keluarga (11%) yang tidak bersekolah. Dari 6 orang tersebut 5 orang diantaranya dapat membaca tulis huruf latin dengan cara otodidak dan hanya 1 orang yang betul-betul tidak bisa baca tulis. Dalam hal menyekolahkan anak, hampir semua keluarga mampu menyekolahkan anaknya. Hanya sekitar 9 kepala keluarga (10%) yang menyatakan tidak mampu menyekolahkan anaknya. Sedangkan dari keikutsertaan program KB, 15 kepala keluarga menyatakan tidak ikut program KB. Tabel 39 juga menggambarkan bahwa 53,79% merupakan keluarga sejahtera I-III plus. Survey lapang memperkuat data ini dengan melihat beberapa indikator keluarga sejahtera sebagian besar keluarga mampu memenuhinya. Sebanyak 57 responden mengatakan bahwa 30 kepala keluarga (52,63%) menyatakan telah mempunyai tabungan meskipun masih banyak disimpan di celengan atau dititipkan ke perorangan. Sekitar 55 orang (96%) menyatakan jarang dan atau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dan sebanyak 39 orang (68%) aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Kategori keluarga sejahtera I-III tersebut lebih banyak masuk pada kategori KS I-II. Karena jika dilihat jumlah kepala keluarga yang aktif memberikan sumbangan hanya sekitar 35 orang dan yang betul-betul aktif dalam kepengurusan organisasi hanya sekitar 15 orang kepala keluarga. Tabel 40 hasil survey mempertegas kategorisasi Keluarga Sejahtera II-III plus.

24 148 Tabel 40 Kategori Keluarga Sejahtera I-III Plus Menurut Hasil Survey Lapang Kategori Jumlah KK % Memilik tabungan Aktif dalam kegiatan sosial keagamaan Jarang aktif dalam kegiatan sosial keagamaan Rekreasi setahun 1 kali sampai 2 kali Sesekali melakukan rekreasi keluarga Bisa mendapatkan akses informasi Bisa mengakses informasi lebih dari satu sumber Sering memberikan sumbangan Jarang memberikan sumbangan Aktif dalam organisasi kemasyarakatan Jarang aktif dalam organisasi kemasyarakatan Sumber : Data primer 6.2 Potret Kesejahteraan Responden Hasil analisis kesejahteraan responden ini dilakukan berdasarkan contoh dan tidak mewakili seluruh wilayah Kelurahan P. Panggang Tingkat Kesejahteraan Responden P. Panggang dan P. Pramuka Perumahan Hal yang paling fundamental bagi sebuah rumah tangga adalah keberadaan rumah sebagai tempat tinggal. Sehingga status rumah dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan sebuah responden. Keberadaan rumah menjamin kualitas kehidupan responden. Rumah merupakan kebutuhan primer lain selain pangan dan pakaian. Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal dengan mempertimbangkan status rumah sebagai rumah sendiri, kontrakan atau masih numpang saudara/orang tua. Status rumah juga dilihat dari jenis rumah dalam kategori permanen, semi permanen atau rumah papan. Tabel 41 memperlihatkan bahwa Kelurahan P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang berfungsi sebagai pemukiman penduduk. Mayoritas penduduk kedua pulau itu memiliki rumah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa % ukuran kesejahteran penduduk kedua pulau berdasarkan status perumahan. Namun, % penduduk menumpang pada orang tua/saudara dan 1.75 % yang mengontrak.

25 149 Tabel 41 Persentase Responden Menurut Status Rumah (%) Status Rumah P. Panggang P. Pramuka Total rumah sendiri rumah kontrakan rumah saudara/orang tua permanen permanen tidak mewah semi permanen rumah papan/bilik Jumlah Persentase Jumlah Rumah tangga Sumber : Data Primer Dari total jumlah tersebut, masyarakat P. Panggang 93.33% rumah yang ditempati merupakan rumah sendiri dan hanya 6.67% yang tinggal bersama orang tua atau saudara. Sedangkan di P. Pramuka lebih terdistribusi normal, 81.48% masyarakat tinggal di rumahnya sendiri, 14.81% bersama orang tua/saudara dan hanya 3.70% menempati rumah kontrakan. Status rumah penduduk Kelurahan P. Panggang rata-rata menempati rumah sendiri meskipun luas rumahnya sangat sempit. Namun hal itu belum bisa dikatakan sejahtera karena masih ada prasyarat lainnya yang dihurus dicukupi untuk dikatakan sejahtera. Kondisi rumah memperlihatkan tingkat kesejahteraan responden. Kategori perumahan di Kelurahan P. Panggang (P. Panggang dan P. Pramuka) adalah 36% permanen, 18% permanen tapi tidak mewah, 34% semi permanen dan hanya 12% papan/bilik. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat Kelurahan P. Panggang tergolong cukup karena 46% responden menempati rumah semi permanen dan papan/bilik. Jika dibandingkan dengan kondisi rumah yang ada di P. Panggang maka 36.67% responden menghuni rumah permanen, 30% permanen tapi tidak mewah, 23.3% semi permanen dan sekitar 10% masih menempati rumah papan/bilik. Sedangkan di P. Pramuka responden didominasi oleh rumah semi permanen 45%, rumah permanen sebesar 32%, rumah papan sekitar 14% dan 9% menempati rumah semi permanen. Kualitas rumah tinggal selain ditentukan oleh kualitas bahan, juga ditentukan oleh fasilitas yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Semakin

26 150 tinggi kualitas bahan bangunan dan semakin baik fasilitas yang dimiki, mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penghuninya. Karena kualitas dan fasilitas memberikan sumbangan bagi kenyamanan hidup sehari-hari. Tabel 42 menunjukkan bahwa rata-rata rumah penduduk di P. Panggang dan P. Pramuka menggunakan atap dari bahan seng/asbes (92.86%), bahan bangunan rumah berupa tembok (78.95%), bahan lantai dasar berupa keramik (57.89%). Tabel 42 juga menunjukkan bahwa responden di P. Panggang rata-rata menempati luas lantai 80 m 2 sebanyak 46.67% dan 33.33% berada di P. Pramuka. Responden P. Pramuka yang menempati luas lantai di atas 100 m 2 lebih besar dibandingkan P. Panggang masing-masing 14.81% dan 13.33%. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata luas lantai rumah tangga di Kepulauan Seribu. Sebanyak 6,88% (2006) dan 6.25% (2007) rumah tangga menempati luas lantai di atas 100 m 2 dan paling banyak menempati luas lantai antara m 2 sebesar 71,25% (2006) dan 52.2% (2007). Dilihat dari luas lantai, tingkat kesejahteraan responden P. Panggang dan Pramuka masih di atas rata-rata rumah tangga di Kepulauan Seribu. Selain luas lantai, fasilitas rumah lainnya yang menjamin kesejahteraan anggota keluarga yang berada di dalamnya adalah ketersediaan ruang seperti tempat buang air besar, kamar mandi, kamar tidur sendiri, ruang tamu dan dapur. Hasil survey menunjukkan bahwa 51,72% responden P. Panggang menggunakan WC sendiri/umum dan responden P. Pramuka hanya sekitar 38,46%. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kakus sendiri terus meningkat karena data tahun 2006 menunjukkan bahwa pemakaian WC sendiri di Kepulauan Seribu hanya 27,19% dan 35,63% tahun Hasil ini menggambarkan tingkat kesadaran masyarakat P. Panggang untuk menggunakan WC sendiri lebih baik dibandingkan masyarakat P. Pramuka. Namun bisa juga disebabkan karena jumlah responden di P. Panggang lebih banyak dibandingkan dengan responden di P. Pramuka, sehingga angka pemakaian WC sendiri di P. Panggang lebih tinggi.

27 151 Tabel 42 Persentase Responden Menurut Kondisi Rumah (%) Kondisi rumah P. Panggang P. Pramuka Total Atap seng/asbes daun/bambu tanpa atap Total Bahan Bangunan Rumah rumah kayu rumah tembok Total Bahan Lantai keramik semen tanah Total Luas Lantai >100 m x 10 m < 8 m lainnya Total Sumber : Data Primer Hasil survey menunjukkan bahwa kecenderungan responden di P. Panggang dan Pramuka dalam menjaga kesehatan anggota respondennya cukup tinggi. Hal itu tercermin dari ketersediaan kamar mandi di masing-masing responden. Penggunaan kamar mandi sendiri masing-masing di P. Panggang dan P. Pramuka adalah 75,86% dan 84,62%. Begitu juga dengan fasilitas pokok responden lainnya seperti kamar tidur, ruang tamu dan dapur menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pemakaian kamar tidur sendiri dalam responden P. Panggang mencapai 96,55% dan bahkan 100% responden P. Pramuka mempunyai kamar tidur sendiri. Artinya masyarakat di kedua pulau itu sudah memperhatikan tingkat privasi/menjaga kepentingan pribadi khususnya yang terkait dengan tempat tidur. Sedangkan ketersediaan ruang tamu dalam responden P. Panggang dan P. Pramuka masing-masing 89,66% dan 80,77%. Masyarakat P. Panggang dan Pramuka rata-rata juga telah menggunakan dapur sendiri dalam melakukan aktivitas masak-memasak. Survey menunjukkan bahwa 93,10% responden P. Panggang mempunyai dapur sendiri dan bahkan 100% responden di P. Pramuka telah memanfaatkan dapur sendiri untuk kegiatan masak-memasak. Fakta di atas

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE 4.1 Kondisi Wilayah Pulau Simeulue merupakan salah satu pulau terluar dari propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Ο Ο Ο Ο berada pada posisi 0 0 03-03 0 04 lintang Utara

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian Curah hujan Kecamatan Babulu rata-rata 242,25 mm pada tahun 2010 Kecamatan Babulu memiliki luas 399,46 km 2. Secara geografis berbatasan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Nusa Tenggara Barat a. Peta wilayah Sumber : Pemda NTB Gambar 4. 1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Barat b. Konsisi geografis wilayah Letak dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 1101002.6409010 Statistik Daerah Kecamatan Babulu 2015 Statistik Daerah Kecamatan Babulu No. Publikasi : 6409.550.1511 Katalog BPS : 1101002.6409010 Naskah : Seksi Statistik Neraca Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi ekonomi merupakan dunia kegiatan dan keterkaitan perekonomian. Kegiatan-kegiatan perekonomian tidak lagi sekedar nasional tapi bahkan internasional, bukan

Lebih terperinci

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI a. Potensi Unggulan Daerah Sebagian besar pusat bisnis, pusat perdagangan dan jasa, dan pusat industri di Priangan Timur berada di Kota Tasikmalaya. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013 BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA No.01/10/31/75/Th. V, 1 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013 Ekonomi Jakarta Utara Tahun 2013 tumbuh 5,80 persen. Pada tahun 2013, besaran Produk

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014 ISSN : No. Publikasi : Katalog BPS : Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : iii + 20 halaman Naskah: Penanggung Jawab Umum : Sindai M.O Sea, SE Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

VISI PAPUA TAHUN

VISI PAPUA TAHUN ISU-ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2013-2018 ototus Oleh : DR.Drs. MUHAMMAD MUSAAD, M.Si KEPALA BAPPEDA PROVINSI PAPUA Jayapura, 11 Maret 2014 VISI PAPUA TAHUN 2013-2018 PAPUA BANGKIT PRINSIP

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Buku Distribusi Pendapatan Penduduk Kota Palangka Raya Tahun 2013

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian Curah hujan Kecamatan Sepaku rata-rata 177,2 mm pada tahun 2010 Kecamatan Sepaku memiliki luas 438,50 km 2. Secara geografis berbatasan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan 402 Penghitungan Indeks Indonesia 2012-2014 Kalimantan Tengah Jembatan Kahayan Jembatan Kahayan adalah jembatan yang membelah Sungai Kahayan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Jembatan ini

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

BAB IV GAMBARAN UMUM. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 A. Gambaran Umum Provinsi Lampung BAB IV GAMBARAN UMUM Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung tanggal 18 Maret 1964. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan secara merata diseluruh tanah air dan ditujukan bukan hanya untuk satu golongan, atau

Lebih terperinci

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2013 Secara triwulanan, PDRB Kalimantan Selatan triwulan IV-2013 menurun dibandingkan dengan triwulan III-2013 (q-to-q)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan salah satu alternatif terbaik yang dapat dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup masyarakat.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

Daftar Tabel. Halaman

Daftar Tabel. Halaman Daftar Tabel Halaman Tabel 3.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kab. Sumedang Tahun 2008... 34 Tabel 3.2 Kelompok Ketinggian Menurut Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2008... 36 Tabel 3.3 Curah Hujan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 No. 08/02/31/Th. XI, 16 Februari 2009 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom baru yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

A. Keadaan Geografis Dan Topografi

A. Keadaan Geografis Dan Topografi BAB II GAMBARAN UMUM PROVINSI GORONTALO Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Provinsi Gorontalo di bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2000, maka secara administratif sudah terpisah dari Provinsi

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kelurahan Penjaringan memiliki lahan seluas 395.43 ha yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar daerah, dimana perbedaan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan pada sektor ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan secara merata diseluruh tanah air dan ditujukan bukan hanya untuk satu golongan, atau

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang. Definisi tersebut menjelaskan bahwa pembangunan tidak hanya

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1). I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci