BAB I PENDAHULUAN. terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada saat ini kejahatan semakin beragam dan terus berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak manusia ada dan akan selalu ada selama manusia hidup dan mendiami bumi ini. Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya norma agama, norma susila, dan lain-lain. Di dalam realita kehidupan manusia kejahatan merupakan suatu permasalahan yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan demikian bahwa diperlukannya suatu eksistensi hukum ditengah-tengah masyarakat yang artinya hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara individual maupun dalam berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan. 1 Adanya perkembangan budaya dan iptek yang sangat pesat berpengaruh terhadap perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang 1 Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm. 2.

2 menjadikannya semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila dipandang dari segi hukum tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan adapula yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang sesuai dengan norma tentunya tidak ada masalah, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang biasanya menimbulkan permasalahan dibidang hukum atau penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law enforcement). 2 Kejahatan konvensional seperti mencuri, menipu dan memalsu kualitasnya terus meningkat, karena modus operandinya terselubung cangih dan kerap kali memanfaatkan atau menyalahgunakan alat teknologi canggih seperti dalam perbuatan korupsi, pemalsuan dokumen kendaraan bermotor, pembobolan bank melalui situs komputer, kejahatan media, dan lain-lain yang terselubung. Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya 2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 2.

3 maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. 3 Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum. 4 Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan atas kebenarannya dari objek-objek itu. Penggolongan kejahatan pemalsuan didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6 (enam) objek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah; (2) mata uang; (3) uang kertas; (4) materai; (5) merek; dan (6) surat. 5 Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang tidak kalah banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan surat kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang 3 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm Ibid.

4 sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mendukung kegiatan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya. Transportasi adalah pergerakan manusia, barang dan informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, cepat, murah dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. 6 Transportasi yang pada intinya berupa pergerakan manusia dan barang sebenarnya hanyalah merupakan kebutuhan turunan, sedangkan kebutuhan dasar manusia adalah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia berupa barang dan jasa. 7 Dalam usaha mewujudkan pemenuhan tersebut, seringkali terjadi perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga menimbulkan perselisihan di antara anggota masyarakat yang akhirnya akan menimbulkan keresahan atau ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat. Surat yang biasanya dipalsukan adalah seperti Surat Izin Mengemudi (yang selanjutnya disingkat dengan SIM). Yang dimana menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. 8 Dalam hal ini juga nantinya akan adanya sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) kepada setiap orang 6 Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang, 2007, hlm Ibid. 8 Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5 yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah. 9 Maka dalam hal ini yang akan dibahas tentang pemalsuan SIM. Dalam skripsi ini juga nantinya akan dibahas putusan perkara Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn tentang tindak pidana pemalsuan SIM. Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul, Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM? 2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM. 9 Pasal 288 ayat (2) Undang-undang No. 22 Thn tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

6 2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn. 2. Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Utara, maka skripsi yang berjudul Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn) belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian tindak pidana dan unsur tindak pidana

7 Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia memberikan definisi tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. 10 Sedangkan dalam buku pelajaran hukum pidana karya Adami Chazawi, menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat. 11 antara lain : Strafbaar feit memiliki pengertian yang berbeda di kalangan para sarjana, a. Rumusan Simon Strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan 10 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 67.

8 atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 12 b. Rumusan Van Hamel Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 13 c. Rumusan V.O.S. Memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. 14 d. Rumusan Pompe Pompe memberikan pengertian straafbaarfeit dengan membedakan antara definisi menurut teori dengan menurut hukum positif, sebagai berikut: 15 1) definisi menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau kaedah hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum. 2) definisi menurut hukum positif yaitu suatu feit (kejadian) yang oleh undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum. 12 C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 2002, hlm A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm Ibid.

9 Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: 16 a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini. b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, R. Tresna dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana. Dan para ahli hukum lainnya. c. Delik, berasal dari bahasa latin delictum digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Utrect. d. Pelanggaran pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja. e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam bukunya Ringkasan tentang Hukum Pidana. f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undangundang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (Pasal 3). g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam beberapa tulisan beliau. 16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 68.

10 Menurut Moelyatno, memakai istilah perbuatan pidana yang memberi pengertian yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 17 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Usman Simanjuntak, dalam bukunya Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang termasuk kedalam perbuatan pidana. 18 Pendapat Usman Simanjuntak ini cenderung menggunakan istilah Perbuatan Pidana dalam mengartikan Straff baar Feit, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah ke dalam perbuatan phisik perbuatan pidana, karena tidak semua perbuatan phisik itu 17 Moelyatno, Op. Cit., 2008, hlm Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 95.

11 perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat menimbulkan beberapa perbuatan pidana. Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: 19 a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III. b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten). c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten). d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis). e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. 19 Ibid, hlm. 96.

12 g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu). h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten). i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten). j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten). Setiap tindak pidana (perbuatan pidana) harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

13 ditimbulkan karenanya. 20 Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri. Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti P.A.F Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum). 21 Adapun Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan). 22 Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. 23 Sehingga perbuatan 20 Moelyatno, Op. Cit., hlm P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Op. Cit., 2007, hlm Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta, 1995, hlm.27.

14 pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela. Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan di atas, Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif. 24 Dari kesemua rumusan di atas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur perbuatan yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali P.A.F Lamintang. Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya. a. Handeling (perbuatan manusia) Meskipun P.A.F Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia. 25 Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak 24 Moelyatno, Op. Cit., hlm P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 183.

15 berbuat). 26 Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. 27 Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat di pidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu). Sedangkan, seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan dari Pasal 338 KUHP. 28 Ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een nalaten atau niet doen. Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat di pidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298 KUH Perdata. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana. Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merapas nyawa anak itu. Dengan 26 C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Log. Cit. 27 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Log. Cit. 28 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 61.

16 demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat di pidana hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang. 29 b. Wederrechtjek (melanggar hukum) Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama. 30 Maka haruslah dijelaskan keempatnya. 1) Sifat melawan hukum formal Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka rumusannya adalah: Mengambil barang orang lain Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum 2) Sifat melawan hukum materil Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan kepentingan hukum. 31 Seperti di pidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan. 3) Sifat melawan hukum umum 29 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op. Cit., hlm Ibid, hlm Ibid, hlm. 23.

17 Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan. 4) Sifat melawan hukum khusus Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum... Meskipun pada rumusan perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut. Dicontohkan dengan Pasal 338 KUHP Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak. Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. 32 Hal ini digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP: 32 Moelyatno, Op. Cit., hlm. 68.

18 (1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera. Maka ia melanggar atau melawan hukum yang objektif. Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan hukum. Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana di atas. Masih ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut. 2. Pengertian pemalsuan surat Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan. 33 Pemalsuan dari bahasa Belanda yaitu Vervalsing 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 817.

19 atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu. 34 Pemalsuan yang artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun. 35 Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. 36 Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar: 37 a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan. b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat. 34 Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 1997, hlm Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Op. Cit., hlm Ibid., hlm H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 128.

20 Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dapat dilakukan dengan cara: 38 a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar. b. Pemalsuan materiil 1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar; 2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang benarnya, tetapi bukan yang asli. 38 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus (KUHP buku II), Alumni, Bandung, 1980, hlm. 155.

21 Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 (enam) objek dari tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam KUHP yang antra lain adalah : a. Keterangan di atas sumpah. b. Mata uang. c. Uang kertas. d. Materai. e. Merk. f. Surat. Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli, tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau tidak benar. 3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam, namun motor listrik dan mesin jenis lain (misalnya kendaraan listrik hibrida) juga dapat digunakan. Kendaraan bermotor memiliki roda, dan biasanya berjalan di atas jalanan. Jenis-

22 jenis kendaraan bermotor dapat bermacam-macam, mulai dari mobil, bus, sepeda motor, kendaraan off-road, truk ringan, sampai truk berat. 39 Adapun esensi dari tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan antara lain untuk menciptakan kondisi lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur. Kondisi yang demikian sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya pemakai atau pengguna jalan. Bahwa untuk menciptakan situasi dan kondisi lalu lintas yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur perlu ditunjang dengan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas ya ng efektif dan berdampak positif terhadap sistem lalu lintas. Undang-undang tersebut sebagai sarana kontrol dalam perkembangan transportasi yang sangat cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi disegala bidang yang sebagian besar dari kegiatannya menggunakan angkutan jalan sebagaimana dikatakan H.S Djajoesman Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan angkutan lainnya sangat penting bagi perkembangan tata kehidupan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Indonesia. 40 Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa: 41 a. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. b. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. 39 ISO 3833:1977, International Organization for Standardization, Diakses tanggal 6 Oktober 2012, pukul WIB. 40 H.S. Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1976, hlm Pasal 1 Undang-undang No. 22 Thn tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

23 c. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. d. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 42 Adapun penggunaan golongan pada SIM yakni: 43 a. Golongan SIM A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi kg. b. Golongan SIM B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari kg. c. Golongan SIM B II berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari kg. 42 Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Thn tentang Surat Izin Mengemudi. 43 Pasal 80 Undang-undang No. 22 Thn tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

24 d. Golongan SIM C berlaku untuk mengemudikan sepeda motor. e. Golongan SIM D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Pendekatan penelitian ini dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara obyektif melalui ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkret tentang kajian yuridis tindak pidana pemalsuan SIM. 2. Sumber data Penelitian ini data yang dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan dalam pengolahan data yang bersumber dari: Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang, Putusan Pengadilan dan buku-buku literatur yang menyangkut pemalsuan surat.

25 3. Metode pengumpulan data Metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah memakai data sekunder yakni studi pustaka dengan cara mempelajari literatur-literatur buku tentang pemalsuan surat. 4. Analisa data Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai literatur buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis sedang data yang diperoleh di putusan pengadilan akan di analisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin di jawab. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut:

26 BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM dalam hukum pidana di Indonesia. BAB III : KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 600/PID.B/2009/PN.MDN Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn. BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Uraian Teori 1. Pengertian Tindak Pidana Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB III HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP. A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum

BAB III HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP. A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum BAB III HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM. Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan BAB II TINJAUAN UMUM A. Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia saat ini yang telah memasuki era globalisasi, maka aktivitas manusia di segala bidang juga semakin meningkat. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia dari satu negara ke negara lain. Hal ini menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat

selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Pencurian pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNIVERSITAS MEDAN AREA KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia hidup saling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana. BAB II TINDAK PIDANA MILITER 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya Ada baiknya dikemukakan terlebih dahuku apa yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit, delict, criminal act). Ada beberapa pandangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi. Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi)

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang juga merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan. pemerintahan daerah otonom. Pemberlakuan Otonomi daerah sejak

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang juga merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan. pemerintahan daerah otonom. Pemberlakuan Otonomi daerah sejak 1 BAB I PENDAHULUAN G. Latar Belakang Masalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber keuangan daerah yang juga merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom. Pemberlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, terutama di kota besar yang memiliki banyak aktivitas dan banyak penduduk. Selain itu sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS A. Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS DAN PELANGGARAN LALU LINTAS A. Lalu Lintas 1. Pengertian Lalu Lintas dan Kecelakaan Lalu Lintas Pengertian lalu lintas adalah gerak/pindah kendaraan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelanggaran hukum dan penegakkan hukum dapat dikatakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi sejatinya tidak

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha diharapkan mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan 1 PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Ahmad Afandi /D 101 10 440 Abstrack Hutan merupakan kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pifih Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pifih Setiawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi rahasia umum apabila perkembangan lalu lintas pada saat ini begitu pesat hal ini beriringan pula dengan perkembangan jumlah penduduk yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu tindak pidana tidak hanya dapat terjadi dengan adanya suatu kesengajaan dari pelaku, tetapi juga terdapat suatu tindak pidana yang terjadi karena adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang telah maju dan juga oleh Negaranegara yang sedang berkembang

Lebih terperinci

S I L L A B Y. : TINDAK PIDANA DALAM KUHP STATUS MATA KULIAH : Wajib KODE MATA KULIAH

S I L L A B Y. : TINDAK PIDANA DALAM KUHP STATUS MATA KULIAH : Wajib KODE MATA KULIAH S I L L A B Y A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : TINDAK PIDANA DALAM STATUS MATA KULIAH : Wajib KODE MATA KULIAH : _ JUMLAH SKS : 4 (EMPAT) PRASYARAT : Hukum Pidana SEMESTER SAJIAN : Dimulai semester

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib untuk ditaati karena berpengaruh pada keseimbangan dalam tiap-tiap hubungan antar anggota masyarakat. Kurangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

BAB II TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP BAB II TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan ini perlu ditanggulangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO

UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO. 22 TAHUN 2009 BAGI WARGA DESA TAMPINGAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL Anis Widyawati Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM, DELIK PENGADUAN FITNAH PASAL 317 AYAT (1) KUH PIDANA DARI SUDUT PANDANG PASAL 108 AYAT (1) KUHAP TENTANG HAK MELAPOR/MENGADU 1 Oleh: Andrew A. R. Dully 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terjadinya pelanggaran lalu lintas merupakan salah satu bentuk problematika yang sering menimbulkan permasalahan di jalan raya. Hal tersebut dapat dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih menciptakan rasa aman dalam masyarakat. bermotor dipengaruhi oleh faktor-faktor yang satu sama lain memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lebih menciptakan rasa aman dalam masyarakat. bermotor dipengaruhi oleh faktor-faktor yang satu sama lain memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dewasa ini pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang, tidak terkecuali pembangunan dalam bidang hukum sebagai wujud reformasi di bidang hukum itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang

Lebih terperinci

Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (studi kasus di wilayah hukum polres Ngawi)

Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (studi kasus di wilayah hukum polres Ngawi) 1 Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (studi kasus di wilayah hukum polres Ngawi) Agung Setyo Prabowo E.0001050 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci