PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA"

Transkripsi

1 PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemetaan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Banda adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Eddy Hamka C

3 ABSTRACT EDDY H. Mapping Potential Fishing Zones of Scad Fish (Decapterus spp) in Banda Sea. Supervised by DOMU SIMBOLON and SUGENG H. WISUDO. Scad fish (Decapterus spp) is one important resources in Banda Sea. However, fishermen have difficulties in deciding the position and resulting to the minimum yields. The purpose of this study (1) Determining the distribution of sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a in the Banda Sea, (2) Predicting of thermal fronts and upwelling in the Banda Sea, (3) Relationship of SST and chlorophyll-a to scad fish (Decapterus spp), (4) Mapping the potential fishing zone in the Banda Sea. The data used is data in-situ (field) of the catch of scad fish, sea surface temperature and chlorophyll-a. Data ex-situ using monthly SST and chlorophyll-a (Aqua MODIS) between 2008 to The method used is the Multi Critera Analysis (MCA) with the parameter observation of SST, chlorophyll-a, upwelling, Thermal Front and CPUE. The results show distribution (spatial) of SST between is o C. and chlorophyll-a is 0.08 to 2.50 mg/m 3. Thermal fronts and upwelling occurs more frequently in the north - eastern when compared to the southern region - west. The relationship between SST and chlorophyll is significant towards catch of scad fish (correlation of SST is and chlorophyll-a is 0.587). Predicted peak season of high and moderated potential fishing zone in the Banda Sea (temporally) occur in the east, while the spatial region of north-eastern section shows an area of high potential fishing area larger than the south - west. Key Words: Mapping potential fishing zone, SST, chlorophyll-a, upwelling, thermal fronts, scad fish (Decapterus spp), Banda Sea.

4 RINGKASAN EDDY H. Pemetaan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Banda. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan SUGENG H. WISUDO. Laut Banda merupakan salah satu bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 714 (PERMEN KKP No.1 Tahun 2009), letaknya yang cukup strategis berada di antara Pulau Sulawesi, Maluku dan beberapa pulau lainnya menjadikan wilayah ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan sebagai lokasi penangkapan ikan. Salah satu sumberdaya perikanan yang banyak dimanfaatkan adalah Ikan layang (Decapterus spp). Laporan Komite Pengkajian Stok Ikan (2009) menunjukkan produksi ikan layang (Decapterus spp) yang tertangkap di Laut Banda sebesar 57 ribu ton pada tahun 2008 dan merupakan hasil tangkapan tertinggi sedangkan data statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari menunjukkan total nilai produksi ikan layang yang di daratkan antara tahun mencapai ,03 ton. Perubahan kondisi oseanografi perairan seperti suhu permukaan laut dan klorofil-a serta fenomena upwelling dan thermal front tentunya mempengaruhi pergerakan ikan layang di perairan, hal ini terkait dengan habitat hidup, ruaya dan lokasi mencari makanan. Informasi mengetahui kondisi oseanografi perairan serta fenomena upwelling dan thermal front dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh diharapkan dapat membantu dalam memprediksi pola pergerakan ikan, dan pada akhirnya memudahkan dalam menentukan lokasi penangkapan ikan yang lebih potensial. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a di Laut Banda, memprediksi keberadaan upwelling dan thermal front di Laut Banda, mengetahui hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp), serta memetakan daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda. Penelitian ini meliputi perairan Laut Banda, sedangkan pengumpulan data dilaksanakan di perairan Kendari pada bulan September Januari Armada penangkapan yang digunakan yaitu pukat cincin (purse seine). Data yang dikumpukan yaitu data in-situ (lapangan) berupa waktu dan lokasi penangkapan, hasil tangkapan ikan layang, SPL dan klorofil-a, sedangkan data eks-situ berupa citra komposit bulanan suhu permukaan laut dan klorofil-a (satelit Aqua MODIS Level 3) antara tahun Analisis data meliputi analisis citra, hubungan citra suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang menggunakan Regresi Linear Sederhana, prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang menggunakan metode Multi Critera Analisys (MCA) dengan paremeter pengamatan berupa SPL, klorofil-a, upwelling, thermal Front dan CPUE.

5 Hasil penelitian menunjukkan rata - rata sebaran citra suhu permukaan laut (SPL) antara tahun berkisar antara o C dan konsentrasi klorofil-a antara tahun secara spasial berkisar antara mg/m 3. Kisaran SPL optimum ikan layang yaitu o C. Keberadaan upwelling dan thermal front lebih banyak terjadi di bagian utara - timur Laut Banda, jika dibandingkan dengan wilayah bagian selatan - barat. Berdasarkan hasil analisis regersi menunjukkan adanya hubungan antara citra suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang dengan nilai koefisien korelasi SPL terhadap hasil tangkapan sebesar dan nilai korelasi klorofil-a sebesar Puncak prediksi daerah penangkapan potensial tinggi ikan layang di Laut Banda secara temporal terjadi pada musim timur, sedangkan secara spasial wilayah bagian utara-timur menunjukkan luasan daerah penangkapan potensial tinggi lebih besar dibandingkan bagian selatan - barat Laut Banda. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka sebaiknya optimalisasi upaya penangkapan ikan layang di Laut Banda dilakukan saat musim timur agar dapat memberikan pendapatan yang lebih baik bagi nelayan purse seine, disamping itu perlu adanya penelitian lanjutan terkait penambahan parameter oseanografi yang lain seperti salinitas dan arus dalam melakukan analisis penentuan daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) dan penyusunan klasifikasi SPL dan Klorofil-a sehingga penentuan kelas daerah penangkapan potensial ikan layang menjadi seragam. Hal lain yang juga menjadi saran dalam penelitian ini yaitu perlunya perbaikan sistem pendataan perikanan tangkap, dalam hal ini pencatatan (log book) mengenai waktu dan posisi penangkapan serta kondisi perairan setiap lokasi penangkapan, agar memudahkan proses penentuan daerah penangkapan potensial ikan layang lebih akurat. Kata Kunci : Pemetaan daerah penangkapan potensial, SPL, klorofil-a, upwelling, thermal front, ikan layang (Decapterus spp), Laut Banda.

6 Hak cipta Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

7 PEMETAAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI LAUT BANDA EDDY HAMKA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi

9 Judul Nama NRP Mayor : Pemetaan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Banda : Eddy Hamka : C : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Ketua Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr Tanggal Ujian : 10 Agustus 2010 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Pemetaan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Laut Banda. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi dan tak terhingga kepada Bapak : Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si (selaku Ketua Komisi Pembimbing); Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si (selaku Anggota Komisi Pembimbing) yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan serta koreksinya dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari, atas kesediaanya memberikan izin hingga penelitian dapat terlaksana dengan baik. Akhirnya penulis menyadari tulisan ini masih banyak kekurangan yang akan ditemui pembaca, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan tesis ini di masa mendatang. Bogor, Juli 2012 Eddy Hamka

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Maret 1983, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. Aris Hamzah dan Ibu Hj. Seniwati. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin pada tahun Pada tahun 2010 penulis meneruskan pendidikan pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program magister, penulis aktif dalam kepengurusan Forum Wacana Mahasiswa IPB asal Sulawesi Selatan periode sebagai wakil sekretaris umum.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiv xvi xviii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) Parameter Oseanografi Suhu permukaan laut Produktivitas perairan Salinitas Upwelling Thermal Front Pemanfaatan Teknologi Indraja di Bidang Perikanan Tangkap Satelit NOAA-AVHRR Satelit Aqua MODIS Satelit SeaStar-SeaWiFS Karakteristik Pukat Cincin Sistem Informasi Geografis Perikanan Tangkap Sistem informasi geografis Aplikasi sistem informasi geografis bidang perikanan tangkap x

13 3. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat Metode Pengumpulan Data Data in-situ Data eks-situ Analisis Data Sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a Hubungan antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan Prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Produktivitas hasil tangkapan Suhu permukaan laut dan klorofil-a Thermal front dan upwelling Standarisasi nilai indikator daerah penangkapan ikan HASIL PENELITIAN Hasil Tangkapan dan Armada Penangkapan Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Tahun di Laut Banda Musim barat Musim peralihan barat - timur Musim timur Musim peralihan timur - barat Sebaran Thermal Front dan Upwelling Tahun di Laut Banda Musim barat Musim peralihan barat - timur Musim timur Musim peralihan timur - barat Hubungan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Kendari dan Laut Banda xi

14 4.5 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Kendari dan Laut Banda Perairan Kendari Laut Banda PEMBAHASAN Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil- a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Sebaran Fenomena Upwelling dan Thermal Front di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Akurasi Satelit Aqua MODIS Hubungan Antara Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Terhadap CPUE Ikan Layang dan Kembung di Laut Banda Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kendari dan Laut Banda KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Konsentrasi ion-ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg -1 atau gl -1 ) Produktifitas perikanan beberapa lokasi di Indonesia Nama Kanal, Panjang Gelombang (A), spektrum dan jenis penginderaan sensor jauh AVHRR-NOAA Satelit Seastar-SeaWiFS dan spesifikasinya Alat serta kegunaannya Armada penangkapan ikan pelagis kecil yang beroperasi di perairan Kendari Metode pengumpulan data Klasifikasi parameter CPUE sebagai indikator daerah penangkapan ikan Klasifikasi parameter suhu permukaan laut sebagai indikator daerah penangkapan ikan pelagis kecil Klasifikasi parameter klorofil-a sebagai indikator daerah penangkapan ikan Klasifikasi parameter thermal front sebagai indikator daerah penangkapan ikan Klasifikasi parameter upwelling sebagai indikator daerah penangkapan ikan Produksi (ton) ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Kendari Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kendari antara tahun Pembagian musim penangkapan di Perairan Kendari Estimasi produksi ikan pada tiga komponen laut Rata-rata biomas fitoplankton (klorofil-a), zooplankton, mikronekton dan produksi ikan di Laut Banda yang diukur selama periode upwelling (Agustus 1984) dan downwelling (Februari 1985) xiii

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian Beberapa Jenis ikan layang (Decapterus spp) Sebaran vertikal suhu secara umum di perairan Indonesia Diagram yang menunjukkan tingkat pemanfaatan energi dalam sistem rantai makanan di perairan (a) Posisi rata-rata permukaan isohalin tahunan (b) Plot nilai rata-rata salinitas permukaan, S (garis tebal), dan perbedaan antara rata-rata penguapan dan presipitasi tahunan (E-P) (garis putusputus) terhadap lintang Ilutrasi pembentukan thermal front Satelit NOAA-AVHRR Satelit Aqua MODIS Satelit Seastar-SeaWiFS Kapal pucat cincin (purse seine) Bagian utama purse seine yang beroperasi di perairan Kendari Komponen sistem informasi geografis Peta lokasi penelitian Sebaran suhu permukaan laut ( o C) dan klorofil-a (mg/m 3 ) musim barat Sebaran suhu permukaan laut ( o C) dan klorofil-a (mg/m 3 ) musim peralihan barat - timur Sebaran suhu permukaan laut ( o C) dan klorofil-a (mg/m 3 ) musim timur Sebaran suhu permukaan laut ( o C) dan klorofil-a (mg/m 3 ) musim peralihan timur - barat Perbandingan antara SPL insitu dan SPL Citra Aqua MODIS level Sebaran thermal front musim barat tahun di Laut Banda Sebaran upwelling musim barat tahun di Laut Banda Sebaran thermal front musim peralihan barat-timur tahun di Laut Banda xiv

17 22 Sebaran upwelling musim peralihan barat-timur tahun 2008 di Laut Banda Sebaran thermal front musim timur tahun di Laut Banda Sebaran upwelling musim timur tahun di Laut Banda Sebaran thermal front musim peralihan barat-timur tahun di Laut Banda Sebaran upwelling musim peralihan barat-timur tahun di Laut Banda Hubungan suhu permukaan laut ( o C) terhadap hasil tangkapan ikan layang (kg/hauling) di perairan Kendari bulan September Januari Hubungan Klorofil-a (mg/m 3 ) dan total hasil tangkapan ikan layang (kg/hauling) di perairan Kendari bulan September Januari Hubungan suhu permukaan laut ( o C) dan CPUE (ton/trip) ikan layang (Decapterus spp) Hubungan klorofil-a (mg/m 3 ) dan CPUE (ton/trip) ikan layang (Decapterus spp) Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di perairan Kendari Peta daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Musim Barat di Laut Banda Peta daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Musim Peralihan Barat - Timur di Laut Banda Peta daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Musim Timur di Laut Banda Peta prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Musim Timur - Barat di Laut Banda pada bulan April Pola arus permukaan rata - rata bulanan di periaran Indonesia Lokasi pengamatan SeaWiFS Bio Optical Archive and Storage System (SeaBass) tahun Musim penangkapan ikan teri di Teluk Dodinga, Kabupaten Halmahera Barat xv

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alat tangkap pukat cincin (purse seine) Hasil tangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Konstruksi rumpon yang digunakan Analisis regresi hubungan suhu permukaan laut dan hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) menggunakan SPSS Analisis regresi hubungan klorofil-a dan hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) menggunakan SPSS Data uji akurasi satelit Aqua MODIS level Peta lokasi pengambilan sampel Hasil analisis setiap parameter daerah penangkapan ikan layang di perairan Kendari Hasil analisis multi criteria analysis (MCA) pemetaan daerah penangkapan potensial di perairan Kendari Rata-rata bulanan CPUE ikan layang, suhu permukaan laut dan klorofil-a tahun Hasil uji laboratorium konsentrasi klorofil-a Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di Laut Banda Tahun Sebaran upwelling dan thermal front di Laut Banda Tahun Tahapan penentuan thermal front Menggunakan Marine Geospasial Tools xvi

19 DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Catch CPUE Cropping Data ex-situ Data in-situ Decapterus spp. : Hasil tangkapan ikan yang tertangkap oleh suatu alat penangkap ikan. : Jumlah hasil tangkapan yang diambil per unit alat tangkap. : Pemotongan citra sesuai dengan batas-batas yang diinginkan / ditentukan. : Pengambilan data secara tidak langsung : Pengambilan data secara langsung di lapangan : Ikan layang. Downwelling : Suatu fenomena yang terjadi di lautan, dimana massa air dalam jumlah tertentu bergerak turun ke arah lapisan di bawahnya. DPI Fishing ground Fitoplankton Geografis Ikan pelagis Koreksi geometrik Koreksi radiometrik Klorofil-a : Daerah Penangkapan Ikan. : Lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpul ikan. : Organisme tumbuhan yang berukuran relative kecil, mengandung klorofil dan terbawa arus di perairan. : Lokasi berdasarkan koordinat (posisi) tertentu. : Jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan di lapisan permukaan laut. : Koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat rotasi dan kelengkungan bumi. : Koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat pengaruh partikel di atmosfir. : Zat hijau yang dikandung oleh fitoplankton. Lapisan tercampur : Lapisan permukaan yang mempunya suhu yang homogen. Migrasi : Perpindahan kelompok ikan dari satu lokasi ke lokasi perairan lainnya, karena faktor lingkungan atau proses pertumbuhan ikan. xvii

20 MODIS Musim barat Musim peralihan I Musim Timur Musim peralihan II One day trip Purse seine Perikanan PPS Perikanan Tangkap Penginderaan jauh SIG SPL Schooling Spasial : Moderate Resolution Imaging Spectro Radiometer. : Musim yang didominasi oleh angin dari arah barat, biasanya terjadi pada bulan Desember-Februari. : Musim yang merupakan transisi dari musim barat ke musim timur, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, terjadi pada bulan Maret-Mei. : Musim yang didominasi oleh angin dari arah timur, biasanya terjadi pada bulan Juni-Agustus. : Musim yang merupakan transisi dari timur ke musim barat, dengan arah dan kecepatan angin yang berubahubah, terjadi pada bulan September- November. : Kegiatan penangkapan ikan yang lamanya satu hari atau satu malam per trip operasi penangkapan ikan. : Jaring ikan yang dikenal dengan nama pukat cincin. : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. : Pelabuhan Perikanan Samudera. : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkan. : Ilmu dan seni untuk mendapatkan data atau fenomena suatu obejek dengan bantuan alat tanpa mengadakan kontak langsung dengan objek. : Sistem Informasi Geografis : Suhu Permukaan Laut. : Gerombolan ikan di laut. : Ukuran luas tertentu berkorelasi dengan posisi koordinat. Salinitas : Kandungan garam di perairan laut dengan satuan. xviii

21 Sumberdaya ikan : Potensi semua jenis ikan. Time series : Deret waktu dengan periode yang berbeda, mingguan / bulanan / musiman. Thermal front Termokline Temporal Upwelling Zooplankton WPP 714 Raster Calculator : Pertemuan antara massa air yang lebih panas dengan yang lebih dingin. : Lapisan perairan dimana terjadi perubahan suhu terbesar dengan bertambahnya kedalaman. : Periode pengulangan tertentu (mingguan, bulanan, musiman). : Proses naiknya massa air dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. : Organisme hewan yang berukuran kecil yang hidupnya terbawa arus di perairan.\ : Salah satu wilayah pengelolaan perikanan yang meliputi Laut Banda, Teluk Tomini dan Kepulauan Wakatobi : Metode klasifikasi data format raster. xix

22 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Banda merupakan salah satu bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 714 (PERMEN KKP No.1 Tahun 2009), letaknya yang cukup strategis berada di antara Pulau Sulawesi, Maluku dan beberapa pulau lainnya menjadikan wilayah ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan sebagai lokasi penangkapan ikan. Terdapat satu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), dua Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan, 23 Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di sekitar Laut Banda (KKP, 2009). Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang banyak dimanfaatkan oleh nelayan yang beroperasi di sekitar Laut Banda. Laporan Komite Pengkajian Stok Ikan (2009) menunjukkan produksi ikan layang (Decapterus spp) yang tertangkap di Laut Banda sebesar 57 ribu ton pada tahun 2008 dan merupakan hasil tangkapan tertinggi. Data statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari menunjukkan total nilai produksi ikan layang yang di daratkan antara tahun mencapai ,03 ton. Ikan layang merupakan salah satu jenis yang banyak dikonsumsi masyarakat dan tergolong kedalam jenis ekonomis penting, hal ini terlihat dari tingginya nilai produksi pada tahun 2010 sebesar Rp (PPS Kendari, 2011). Perubahan kondisi perairan (oseanografi) yang terjadi secara dinamis akan mempengaruhi pola pergerakan ikan di perairan. Hal ini dikarenakan secara alamiah ikan akan mencari wilayah perairan yang sesuai dengan lingkungan hidupnya, sehingga pengetahuan tentang kondisi oseanografi perairan Laut Banda akan membantu dalam menentukan sebuah daerah penangkapan yang dapat memberikan hasil tangkapan maksimal. Menurut Simbolon et al. (2009) daerah penangkapan ikan (DPI) sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan baik fisik, kimiawi maupun biologi antara lain suhu perairan (SPL atau sebaran suhu secara horizontal dan vertikal), salinitas, konsentrasi klorofil-a serta fenomena thermal front dan upwelling. Adanya fenomena perairan tersebut merupakan indikator yang bisa digunakan dalam menentukan sebuah DPI yang potensial. Informasi mengenai kondisi oseanografi perairan saat ini dapat diperoleh dengan

23 2 menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Diharapkan dengan adanya teknologi inderaja ini dapat membantu dalam penentuan daerah penangkapan potensial akan menjadi lebih efisien baik dari segi biaya ataupun tenaga. Berbagai penelitian telah dilakukan guna menentukan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi pernginderaan jauh, diantaranya penelitian yang dilakukan Safruddin dan Zainuddin (2008) menyimpulkan bahwa keberadaan sumberdaya ikan pelagis seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat dipetakan dengan menggunakan citra satelit infrared MODIS. Zen et al (2006) menggunakan satelit National Atmosfere and Administration Advanced Very High Resolution (NOAA - AVHRR) untuk menentukan SPL optimum daerah penangkapan ikan kembung (Rastrelliger spp) di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Penelitian Semedi dan Dimyati (2009) menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara suhu permukaan laut dan klorofil-a citra MODIS terhadap hasil pengukuran lapangan. Banyaknya parameter - parameter oseanografi perairan harus diamati menjadi kendala tersendiri dalam upaya penentuan daearah penangkapan ikan. Muklis (2008) melakukan penelitian tentang pemetaan daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan utara Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan parameter suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara SPL dan klorofil-a terhadap CPUE ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynnus affinis). Penelitian yang dilakukan oleh Solanki et al. (2005) menyimpulkan penggunaan teknologi inderaja dengan melihat sebaran suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a memberikan hasil yang signifikan dalam penentuan daerah penangkapan ikan potensial. Informasi mengenai kondisi oseanografi di Laut Banda telah banyak dilakukan khususnya sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a, diantaranya Sulaiman (2000) meneliti tentang turbelensi massa air di Laut Banda, Edward dan Tarigan (2003) melihat pengaruh musim terhadap fluktuasi kadar fosfat dan nitrat di Laut Banda, Sediadi (2004) meneliti tentang dominasi cyanobacteria pada musim peralihan di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Sediadi (2004) juga meneliti tentang efek upwelling terhadap kelimpahan dan

24 3 distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda dan sekitarnya, Sukresno dan Suniada (2008) melakukan observasi pengaruh enso terhadap produktifitas primer dan potensi perikanan dengan menggunakan data satelit di Laut Banda, Syah (2009) yang meneliti tentang distribusi secara vertikal klorofil-a berdasarkan pendekatan neural network. Namun, penelitian yang berhubungan dengan penentuan daerah penangakapan ikan di Laut Banda masih sangat kurang, khususnya untuk sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.). Berdasarkan gambaran singkat di atas maka ingin dilakukan penelitian mengenai penentuan daerah penangkapan potensial ikan layang di Laut Banda, berdasarkan parameter Suhu Permukaan Laut (SPL), klorofil-a, fenomena upwelling dan thermal front serta hasil tangkapan (CPUE). 1.2 Perumusan Masalah Kendala terbesar yang dihadapi nelayan saat ini kaitannya dengan optimalisasi penangkapan ikan adalah sulitnya menentukan lokasi penangkapan yang dapat memberikan hasil tangkapan yang lebih pasti. Secara umum dalam menentukan daerah penangkapan ikan (DPI) nelayan masih berbasis pada pengalaman semata serta keterbatasan armada penangkapan yang digunakan, sehingga hasil tangkapan cenderung tidak optimal sementara di satu sisi tingginya biaya operasional (BBM) menambah permasalahan yang dihadapi nelayan. Dengan demikian diperlukan banyak informasi mengenai kondisi daerah penangkapan potensial dalam upaya mempercepat trip operasi penangkapan dan menekan konsumsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) pemanfaatan sumberdaya perikanan, termasuk dalam penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda. Kondisi oseanografi perairan sangat mempengaruhi pergerakan ikan, hal ini terkait dengan habitat hidup, ruaya ikan dan lokasi mencari makanan. Informasi mengetahui kondisi oseanografi perairan diharapkan dapat membantu dalam memprediksi pergerakan ikan, dan pada akhirnya memudahkan dalam menentukan lokasi penangkapan ikan yang lebih potensial. Ketersedian data atau informasi yang akurat dan berkesinambungan terkait dengan penyebaran parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a yang diduga berpengaruh terhadap penyebaran daerah penangkapan ikan menjadi hal

25 4 yang sangat penting, agar memberikan hasil yang optimal dalam penentuan daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp.). Penggunaan teknologi inderaja diharapkan dapat membantu memprediksi lokasi dan waktu penangkapan yang potensial ikan pelagis kecil di Laut Banda. Fenomena upwelling dan thermal front merupakan salah satu indikator untuk menduga suatu daerah penangkapan potensial khususnya jenis ikan pelagis besar dan kecil. Hal ini terkait dengan terjadinya proses pengayakan nutrisi di perairan tersebut dan memungkinkan terbentuknya rantai makanan "sementara". Penelitian yang dilakukan selama ini masih dalam waktu yang relatif pendek sehingga belum mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai pola penyebaran dari upwelling dan thermal front dalam rentang waktu tahunan. Wilayah sumberdaya perairan yang luas di Laut Banda tentunya sangat membutuhkan semacam alat bantu yang dapat menggali potensi sumberdaya perikanan dan memberikan informasi lokasi penangkapan baik secara spasial atau temporal kepada para nelayan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan guna mengatasi permasalahan diatas adalah dengan pemanfaatan peta daerah penangkapan potensial ikan di Laut Banda, sehingga dapat membantu mengatasi masalah tingginya biaya oprasional nelayan setempat. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menentukan sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a di Laut Banda secara spasial dan temporal. 2. Memprediksi keberadaan upwelling dan thermal front di Laut Banda. 3. Menentukan hubungan antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp). 4. Memetakan daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda secara spasial dan temporal.

26 5 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi stakeholder (pemerintah setempat, nelayan, dan peneliti) terkait dengan daerah penangkapan potensial bagi ikan layang di Laut Banda, sebagai : 1. Bahan informasi bagi nelayan dalam menentukan lokasi penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp.) di Laut Banda. 2. Dapat menjadi salah satu informasi bagi pengelolaan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda. 3. Bahan informasi dalam penelitian lanjutan, khususnya untuk menduga faktor - faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap keberadaan ikan. 1.5 Hipotesis Variasi sebaran suhu permukaan laut, klorofi-a, fenomena upwelling dan thermal front memiliki korelasi terhadap penyebaran ikan layang (Decapterus spp) sehingga dapat dijadikan acuan dalam penentuan daerah penangkapan potensial di Laut Banda. 1.6 Kerangka Pemikiran Tingginya potensi sumberdaya ikan pelagis kecil khususnya jenis ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda diharapkan dapat membantu nelayan dalam peningkatan pendapatan. Harapan ini kemudian dihadapkan pada persoalan ketidakpastian hasil tangkapan akibat pola penentuan daerah penangkapan ikan (DPI) masih berdasarkan pengalaman yang diwarisi dari nenek moyang serta biaya operasional yang tinggi, sehingga keberhasilan penangkapan masih belum optimal dilakukan. Untuk itu, kebutuhan informasi yang akurat mengenai daerah penangkapan potensial ikan layang menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan.. Penentuan daerah penangkapan ikan (DPI) sangat terkait dengan perubahan kondisi perairan yang terjadi (faktor oseanografi). Berbagai penelitian telah banyak dilakukan mengenai kondisi oseanografi Laut Banda, namun penelitian yang berhubungan dengan daerah penangkapan ikan layang masih sangat kurang. Pengetahuan tentang kondisi oseanografi dapat dijadikan indikator penentuan DPI yang tergolong potensial. Variasi sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan

27 6 klorofil-a merupakan parameter oseanografi yang paling sering diamati untuk mengetahui lokasi penangkapan ikan yang potensial, karena variabilitas parameter tersebut dapat mempengaruhi kondisi habitat serta ketersediaan makanan ikan pelagis kecil. Adanya teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) saat ini dapat dimanfaatkan dalam menganalisis sebaran SPL, klorofil-a dan fenomena perairan seperti thermal front dan upwelling. Satelit MODIS (moderate resolution imaging spectroradiometer) adalah salah satu teknologi yang bisa dimanfaatkan dalam memperoleh informasi tentang kondisi perairan. Informasi mengenai data statistik perikanan (hasil tangkapan, upaya penangkapan, armada penangkapan dan lokasi penangkapan nelayan) juga diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis keterkaitan antara kondisi perairan dengan fluktuasi hasil tangkapan. Kombinasi antara teknologi remote sensing dan pengetahuan di bidang perikanan tangkap dengan data statistik perikanan serta pengetahuan lokal nelayan diharapakan memberikan hasil prediksi daerah penangkapan potensial yang lebih baik dan akurat di Laut Banda. Pengumpulan data suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a dilakukan secara in-situ dan eks-situ. Data in-situ meliputi pengumpulan data dari sampel pengamatan yaitu hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp.), upaya penangkapan, lokasi penangkapan, suhu permukaan laut dan klorofil-a, sedangkan data eks-situ meliputi citra harian, mingguan, dan bulanan suhu permukaan laut dan klorofil-a antara tahun dari sensor Aqua MODIS, data statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari antara tahun Tahapan analisis yang dilakukan pada penelitian ini yaitu (1) analisis sebaran suhu permukaan laut, klorofil-a, upwelling dan thermal front, (2) analisis hubungan antara suhu permukaa laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) dengan menggunakan analisis regresi, (3) uji akurasi suhu permukaan laut dan klorofil-a satelit Aqua MODIS menggunakan pendekatan root mean square error (RMSE). Daerah penangkapan ikan dianalisis menggunakan metode multi criteria analysis (MCA) dengan pendekatan skoring dan pembobotan. Analisis dilakukan terhadap 2 wilayah DPI, yaitu (1) DPI di perairan Kendari (lokasi pengamatan) dengan parameter yang diamati berupa sebaran SPL optimum dan klorofil-a

28 7 harian dan mingguan (in-situ dan ek-sistu), thermal fronts, upwelling dan CPUE, (2) Daerah penangkapan potensial di Laut Banda, dengan parameter thermal front, upwelling, sebaran SPL dan klorofil-a rata-rata bulanan dari tahun Setiap parameter dilakukan pengkategorian yang kemudian ditumpangtindihkan (overlay) terhadap semua parameter yang digunakan, sehingga diperoleh pembagian wilayah daerah penangkapan ikan, yaitu potensial tinggi, sedang dan kurang potensial di wilayah perairan Kendari dan Laut Banda. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. I N P Potensi Sumberdaya Ikan Layang di Laut Banda Masalah Daerah Penangkapan Ikan Layang di Laut Banda Jumlah Hasil Tangkapan Tidak Pasti Biaya Oprasional Tinggi Kebutuhan Peta Daerah Penangkapan U Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Data Perikanan T SPL Klorofil-a Produksi Effort Lokasi dan Waktu operasi penangkapan ikan Kebiasaan Nelayan PROSES GIS Deskriptif Sebaran SPL Thermal Front Upwelling Klorofil-a Pemetaan Daerah Penangkapan Potensial Ikan layang (Decapterus spp) di Laut Banda CPUE O U T P U T Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

29 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) Ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di kolom air bagian atas atau permukaan air, dan pada umumnya memiliki kemampuan gerak dan mobilitas yang tinggi (Nikijuluw 2002). Sumberdaya ikan pelagis kecil bersifat poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton. Kelompok ikan pelagis kecil umumnya bertubuh pipih memanjang dengan warna tuhuh yang relatif terang (Widodo et al vide Nelwan 2010). Daur hidup ikan pelagis kecil pada umumnya berlangsung seluruhnya di laut, yang dimulai dari telur, kemudian larva, dewasa, memijah dan sampai akhirnya mati. Larva dan juvenil ikan pelagis kecil bersifat planktonis, sehingga larva biasanya akan bergerak sesuai dengan arah arus (Nelwan 2010). Ikan pelagis kecil umumnya memiliki ciri - ciri, yaitu senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya, bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya) serta benda - benda yang terapung, cenderung bergerombol berdasarkan kelompok ukuran, kebiasaan makan umumnya pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam, dan merupakan jenis pemakan plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani. Ikan pelagis kecil merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang signifikan pada level menengah dari jaring makanan, sehingga memegang peranan penting menghubungkan tingkatan trophic bagian atas dan bawah dalam struktur trophic level (Bakun 1996, Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005; Palomera et al vide Nelwan 2010). Ikan layang (Decapterus spp.) merupakan jenis pelagis kecil yang banyak ditangkap oleh nelayan Indonesia dan tergolong dalam kelompok ekonomis penting. Penyebarannya hampir diseluruh perairan Indonesia, namun potensi yang dimiliki sangat berbeda menurut wilayah penyebarannya. Glorbert dan Kailola (1984) vide Simbolon (2011) menjelaskan bahwa ikan layang secara umum yang ditemukan di perairan Indonesia ada lima jenis, yaitu : Decapterus ruselli, D. macrosoma, D. layang, D. macarellus, dan D. curroides. Jenis Decapterus ruselli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus

30 10 macrosoma mempunyai nama umum layang deles atau layang scad. Adapun klasifikasi ikan layang Menurut Saanin (1984) vide Simbolon (2011), sebagai berikut : Kelas : Pisces Sub kelas : Teleotei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidae Famili : Carangidae Sub Famili : Carangidae Spesies : Decapterus ruselli D. macrosoma D. layang D. Kurroides D. macarellus Nama Decapterus sendiri terdiri atas dua suku kata, yaitu Deca artinya sepuluh dan Pteron artinya sayap, dengan demikian kata Decapterus berarti ikan yang memiliki sepuluh sayap. Ikan ini hidup di perairan lepas pantai dan berbentuk gerombolan (schooling) serta mampu bergerak cepat dalam perairan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 30 cm dengan kisaran panjang umumnya anatara cm, bentuk badan agak memanjang dengan bentuk tubuh seperti cerutu dan sisiknya yang halus (Simbolon, 2011). Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup diperairan dengan kadar garam relatif tinggi (32-34 o / oo ) dengan kisaran yang sempit, menyukai perairan yang jernih (Amri 2002). Suhu optimum ikan layang berkisar antara o C, sedangkan suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara o C (Laevastu dan Hela, 1970 vide Amri, 2002). Adapun jenis ikan layang (Decapterus spp) dapat dilihat pada Gambar 2.

31 11 Decapterus ruselli Decapterus macarellus Decapteerus Kuroides Sumber : Gambar 2 Beberapa Jenis ikan layang (Decapterus spp). Ikan layang tergolong ikan yang aktif berenang. Ketika tidak aktif berenang, ikan ini akan membentuk scholling di suatu perairan yang sempit atau sekitar benda yang terapung, seperti bongkahan kayu dan rumpon. Tingkah laku yang demikian, maka ikan layang sering dijumpai di sekitar rumpon dengan cara membelakangi rumpon dan cenderung melawan arus. Jenis Decapterus ruselli memiliki daerah penyebaran terluas diantara jenis yang dijumpai di Indonesia (Simbolon, 2011). Jenis Decapterus ruselli dan D. maruadsi termasuk dalam jenis layang yang berukuran besar dan habitatnya terdapat di laut dalam hingga pada kedalaman 100 meter atau lebih, seperti Laut Banda (Nontji, 2005).

32 Parameter Oseanografi Kata oseanografi adalah kombinasi dari dua kata yunani: oceanus (samudera) dan graphos (uraian/deskripsi) sehingga mempunyai arti deskripsi tentang samudera (Supangat dan Susana 2003). Oseanografi sendiri seringkali diungkapkan berdasarkan empat kategori keilmuan yaitu fisika, biologi, kimia, dan geologi (Stowe 1983). Oseanografi fisika khusus mempelajari segala sifat dan karakter fisik yang membangun sistem fluidanya. Oseanografi biologi mempelajari sisi hayati samudera guna mengungkap berbagai siklus kehidupan organisme yang hidup di atau dari samudra. Oseanografi kimia melihat berbagai proses aksi dan reaksi antar unsur, molekul, atau campuran dalam sistem samudera yang menyebabkan perubahan zat secara reversible atau irreversible. Oseanografi geologi memfokuskan pada bangunan dasar samudera yang berkaitan dengan struktur dan evolusi cekungan samudera. Dalam konteks perikanan tangkap pengetahuan mengenai kondisi oseanografi perairan merupakan hal yang sangat penting, hal ini terkait dengan keberadaan setiap jenis spesies ikan di perairan. Faktor oseanografi yang sering diamati, yaitu suhu permukaan laut, klorofil-a dan salinitas Suhu permukaan laut Suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan dan sumberdaya hayati laut pada umumnya, setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu yang sesuai dengan lingkungan untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya (Simbolon et al. 2009). Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas matahari, sehingga suhu permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Selanjutnya dikatakan bahwa secara vertikal suhu perairan Indonesia dapat dibedakan atas tiga lapisan, yaitu: lapisan homogen hangat (bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan dingin pada bagian bawah (Nontji 1987 vide Simbolon et al. 2009).

33 13 Suhu permukaan laut perairan tergantung pada insolasi dan penentuan jumlah panas yang kembali diradiasikan ke atmosfer. Semakin panas permukaan maka semakin banyak radiasi baliknya. Panas juga ditransfer di sepanjang permukaan laut melalui konduksi dan konveksi serta pengaruh penguapan maka ketikan suhu permukaan laut lebih panas dari udara di atasnya maka panas dapat ditransfer dari laut ke udara. Biasanya permukaan laut lebih panas dari udara diatasnya sehingga terdapat sejumlah panas yang hilang dari laut melalui konduksi. Kehilangan tersebut relatif tidak penting untuk total panas lautan dan pengaruhnya dapat diabaikan kecuali untuk pencampuran konvektif oleh angin yang memindahkan udara hangat dari permukaan laut (Supangat dan Susana 2003). Menurut Hutabarat (2001) suhu merupakan faktor pembatas bagi proses produksi di lautan dan bersifat tidak langsung, pertama suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton (kandungan enzim dan sel tubuh), sehingga akan mengganggu proses fotosintesis, kedua, akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri. Suhu yang terlalu tinggi di bagian permukaan juga akan mengakibatkan terjadinya proses percampuran dengan massa air di bawah. Akibatnya fitoplankton akan terbawa ke kolom air yang lebih dalam dan membuat perairan tersebut tidak produktif. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 o C hingga 30 o C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (±8m) (Tomascik et al.1997) sedangkan menurut Nontji (2005) suhu permukaan laut di perairan Nusantara umunya berkisar antara o C pada lokasi penaikan massa air (upwelling) terjadi, misalnya Laut Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai sekitar 25 o C, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Menurut Soegiarto dan Birowo (1975) vide Sinaga (2009) suhu pada lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26 o C hingga 30 o C, lapisan termoklin berkisar 9 o C hingga 26 o C dan lapisan dalam berkisar antara 2 o C hingga 8 o C. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umumnya mempunyai pola seperti pada Gambar 3.

34 14 Suhu ( o C) a b c Sumber : Nontji (2005) Gambar 3 Sebaran vertikal suhu secara umum di perairan Indonesia a) Lapisan hangat, b) Lapisan termoklin, c) Lapisan dingin. Informasi mengenai suhu permukaan laut saat ini telah mudah diperoleh dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi inderaja. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis dan memprediski fenomena upwelling ataupun front yang merupakan indikator tentang daerah penangkapan ikan potensial (Simbolon et al. 2009) Produktivitas perairan Produktivitas suatu perairan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan perairan tersebut mensintesis bahan - bahan organik dari bahan anorganik. Sebagai contoh adalah proses fotosintesis, dalam proses ini bahan - bahan organik yang dikandung dalam air seperti H 2 O, CO 2 dan lain - lain akan diikat menjadi bahan organik seperti gula melalui proses fikokimiawi dengan bantuan energi sinar matahari. Persenyawaan tersebut dapat terjadi karena adanya zat hijau daun (chlorophyl) yang banyak dikandung dalam tumbuh - tumbuhan hijau yang banyak hidup melayang di perairan. Dengan adanya hasil bahan organik, maka hewan plankton (zooplankton) dan ikan akan memanfaatkan tumbuh - tumbuhan plankton (fitoplankton) sebagai bahan makanannya. Kemudian zooplankton akan dimanfaatkan oleh hewan lain yang ukurannya lebih besar, baik yang hidup di

35 15 dasar maupun yang berenang secara aktif seperti ikan (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa plankton adalah organisme yang sangat penting peranannya dalam menentukan tingkat produktivitas suatu perairan. Produktivitas (primary production) oleh fitoplankton pada setiap habitat akan berbeda satu dengan lainnya. Kondisi ini sangat dipengaruhi ketersedian sinar matahari yang cukup untuk membantu tumbuh - tumbuhan melakukan proses fotosintesa. Produktivitas ini sangat ditentukan oleh kondisi oseanografi seperti sifat fisika dan kimia (zat hara/nutrient) air laut dari satu sisi dan organisme hidup pendukung di sisi lainnya (Hutabarat 2001). Zat Hara Dilaut Produsen Pertama (Primer) Fitoplankton Energi Sinar Matahari Produsen Kedua Zooplankton (Herbivora) Produsen Ketiga Zooplankton (Carnivora) Produsen Tingkat Tinggi (Manusia) Sumber : Hutabarat (2001) Gambar 4 Diagram yang menunjukkan tingkat pemanfaatan energi dalam sistem rantai makanan di perairan. Produktivitas primer merupakan laju produksi zat hara organik melalui proses fotosintesis. Reaksi fotosintesis adalah rekasi yang sangat rumit, tetapi secara keseluruhan dapat disederhanakan sebagai berikut (Nontji, 2008): Cahaya + ( ) + Klorofil Dalam proses fotosintesis, cahaya matahari (sebagai sumber energi) disadap oleh pigmen klorofil yang ada dalam tumbuhan, dan dengan adanya karbon dioksida (CO2), air dan zat - zat hara akan terjadi reaksi kimia yang akan menghasilkan senyawa organik (misalnya karbohidrat) yang mempunyai potensi energi kimiawi yang tinggi yang disimpan dalam sel (Nontji 2008). Proses energi kimiawi yang

36 16 terkandung sel tumbuhan ini dapat dialihkan ke berbagai hewan melalui jaringan pakan dengan demikian akan menimbulkan produktivitas sekunder, tersier dan seterusnya sesuai dengan posisinya dalam trophic level (Azhari 1994). Menurut Nontji (2008) produktivitas primer dapat dibagi ke dalam 2 jenis yaitu (1) produkstfitas primer kotor (gross primary productivity) adalah produktivitas primer zat organik dalam jaringan tumbuhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, (2) produktivitas primer bersih (net primary productivity) adalah produktivitas primer kotor dikurangi dengan yang digunakan dalam respirasi. Hasil produktivitas primer inilah yang dapat dialihkan ke berbagai komponen ekosistem di laut. Pengukuran produktivitas primer kini dapat dilakukan secara langsung di lapangan atau secara tidak langsung dengan pendugaan dari hasil pengukuran klorofil di laut atau dengan penerapan teknologi inderaja (remote sensing). Kemampuan fotosintesis tidak lepas dari kandungan klorofil yang dimiliki oleh fitoplankton. Salah satu jenis klorofil yang keberadaannya hampir terdapat pada semua jenis fitoplankton adalah klorofil-a (Nontji, 2008). Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat pada hampir seluruh organisme fitoplankton dan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, dietil eter, benzen dan aseton dengan absorbsi yang maksimum oleh klorofil-a bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663 nm (Simbolon et al, 2009). Selanjutnya Simbolon et al. (2009) menjelaskan bahwa sebaran klorofil-a bervariasi secara geograris maupun berdasarkan kedalaman perairan. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat di suatu perairan. Pada daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, karena massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan ketika terjadi upwelling.

37 17 Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah - ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Berdasarkan penelitian Nontji (1974) vide Presetiahadi, (1994) nilai rata - rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/m 3, nilai rata - rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m 3 ) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (0,16 mg/m 3 ). Daerah dengan nilai klorofil-a tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai - sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan) Salinitas Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan o / oo (per mil) (Simbolon et al, 2009). Sebaran salinitas pada perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Pada perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira - kira setebal m atau lebih tergantung intensitas pengadukan (Nontji, 2005). Menurut Hutabarat (2001) dalam air permukaan lautan, kisaran salinitas adalah o / oo tetapi bila paparan - paparan laut dan kondisi lokal kisaran melebar menjadi o / oo atau lebih. Air Payau mempunyai salinitas kurang dari 25 o / oo sementara air hipersalin lebih besar dari 40 o / oo. Komposisi konsentrasi ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg -1 atau gl -1 ) (Tabel 1).

38 18 Tabel 1 Konsentrasi ion - ion utama utama dalam air laut dalam bagian per seribu (g kg -1 atau gl -1 ) Ion o / oo Terhadap Berat Keterangan Clorida, C - 2- Sulfat, SO 4 18,980 2,649 Total ion - ion negatif (anion) = 21,861 o / oo - Bikarbonat, HCO 3 Bromida, Br - - Borat, H 2 BO 3 Florida, F - 0,140 0,065 0,026 0,001 Sodium, Na + Magnesium, Mg 2+ 10, Total ion - ion positif (kation) = 12,621 o / oo Kalsium, Ca 2+ Potasium, K + Strontium, Sr2 + 0,400 0,380 0,013 Total Salinitas 34,482 o / oo Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Distribusi salinitas dapat menjadi informasi yang memudahkan dalam melacak pola sirkulasi di lautan. Distribusi ini terjadi secara vertikal dan horizontal. Di perairan samudra, salinitas biasanya berkisar antara o / oo, sedangkan pada perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya pada daerah yang memiliki penguapan yang kuat, salinitas bisa meningkat tinggi (Nontji, 2005). Salinitas bervariasi tergantung keseimbangan antara penguapan dan presipitasi, serta besarnya pencampuran antara air permukaan dan air di kedalaman. Secara umum, perubahan salinitas tidak mempengaruhi proporsi relatif ion - ion utama. Konsentrasi ion - ion berubah dalam proporsi yang sama yaitu rasio ioniknya tetap konstan. Distribusi temperatur dan salinitas memberikan informasi yang memudahkan oseanografer melacak pola tiga dimensi sirkulasi lautan. baik secara vertikal dan horisontal. Peta dan profil salinitas merupakan gambaran yang stabil dalam jangka waktu panjang yang dihasilkan secara dinamik. Perlu diingat bahwa salinitas sulit berubah tiap tahunnya tetapi air dapat berganti tiap waktu (Supangat dan Susana, 2003). Salinitas air permukaan laut maksimum terjadi di daerah tropis dan lintang subtropis karena di wilayah tersebut penguapan melampaui presipitasi. Daerah ini berhubungan dengan adanya padang pasir yang panas di lintang yang sama. Salinitas berkurang ke arah lintang tinggi maupun ke arah Ekuator (Gambar 5).

39 19 Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Gambar 5 (a) Posisi rata - rata permukaan isohalin tahunan. (b) Plot nilai rata - rata salinitas permukaan, S (garis tebal), dan perbedaan antara rata - rata penguapan dan presipitasi tahunan (E - P) (garis putus - putus) terhadap lintang Upwelling Upwelling merupakan suatu proses naiknya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas. Fenomena ini menimbulkan suatu daerah yang kaya akan larutan nutrien, seperti nitrat dan fosfat dan karena itu mereka cenderung mengandung fitoplankton (Simbolon et al. 2009). Luas daerah upwelling diperkirakan hanya 0,1% dari total luas perairan laut namun produktivitas primer dan rata - rata produksi ikan di wilayah ini sangat tinggi (Tabel 2). Tabel 2 Produktivitas perikanan beberapa lokasi di Indonesia Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling Presentase luas perairan 90 9,9 0,1 Rata - rata Produktivitas primer (g.c/m 2 /tahun) Total Produksi (109 ton 16,3 3,6 0,1 C/tahun) Jumlah energi yang ditransfer 5 3 1,5 dalam beberapa tingkat trofik Rata - rata efisiensi tingkat 10% 15% 20% ekologi Rata - rata produksi ikan (mg C/m 2 /tahun) 0, Total produksi ikan (10 6 ton 0, C/tahun) Sumber : Wolff (2004) vide Widodo dan Suadi (2008)

40 20 Upwelling merupakan proses yang penting untuk mengembalikan zat-zat hara dari lapisan air dekat dasar ke daerah permukaan, oleh karena itu daerah yang terjadi proses upwelling akan sangat kaya akan nutrien, sehingga plankton melimpah, dan ikan - ikan akan berkumpul, yang tentunya merupakan daerah yang sangat baik untuk usaha penangkapan ikan (Edward dan Tarigan 2003). Menurut Simbolon et al. (2009) sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang bisa digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan. Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh flora (tumbuhan laut) untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur - unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat (NO 3 ) dan fosfat (PO 4 ). Unsur - unsur kimia ini bersama - sama dengan unsur - unsur lainnya seperti belerang (S), kalium (K) dan karbon (C) disebut juga unsur hara (nutrien). Zat - zat hara ini dibutuhkan oleh fitoplankton maupun tanaman yang hidup di laut untuk pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan Edward dan Tarigan (2003) tentang fluktuasi kadar zat hara fosfat dan nitrat selama proses upwelling di laut Banda menunjukkan kadar fosfat dan nitrat di perairan Laut Banda masih relatif homogen dan meningkat kadarnya dengan bertambahnya kedalaman laut. Kadar fosfat dan nitrat rata - rata pada pada bulan Agustus cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan Februari, Mei dan November. Kecenderungan peningkatan zat hara fosfat dan nitrat pada bulan Agustus memperlihatkan terjadinya proses upwelling di perairan Laut Banda pada musim timur dan musim peralihan II Thermal front Thermal Front di paparan laut adalah daerah - daerah batas antara air homogen (tercampur sempurna) dan berlapis - lapis, dimana keseimbangan antara lapisan dan pencampuran tergantung kekuatan arus pasang surut. Gambar 6 menunjukkan bagaimana sebuah thermal front terbentuk antara air homogen (kanan) dan air terlapis (kiri) di paparan laut. Lapisan tercampur bawah disebabkan oleh arus pasut sementara lapisan tercampur atas disebabkan oleh pencampuran oleh angin dan batas bawahnya adalah termoklin musiman (kemungkinan bertemu dengan piknoklin). Kedua lapisan tercampur akan bersatu dan bercampur dimana airnya lebih dangkal.

41 21 Sumber : The Open University (1995) vide Supangat dan Susana (2003) Gambar 6 Ilustrasi pembentukan thermal front. Dobson (1986) vide Mukhlishin (1995) mengklasifikasikan thermal front dalam enam tipe yaitu : 1. Planetary front merupakan front yang bersama dengan konvergen skala besar dari transport ekman permukaan dan biasanya ditemukan di tengah laut. contognya ialah daerah konvergen Antartika atau front kutub. 2. Front yang terjadi karena 'western current edges' dimana air tropis yang hangat dan bersalinitas tinggi dibawa oleh western boundary current relatif dekat dengan perairan lintang tinggi yang dingin dan segar. 3. Shelf break front yang terbentuk pada pinggiran paparan benua, dimana sifat perairan daerah paparan sangat sempit bertemu dan bercampur dengan perairan yang bertipe lerengan benua atau laut dalam. 4. Upwelling dan Front dimana biasanya dibarengi dengan transport ekman yang menjahui pantai dan dipicu oleh angin yang menyusuri pantai. front ini dicirikan oleh sebuah pycnoclin. Pycnoclin merupakan istilah untuk mencirikan dua massa air yang berbeda sifat terutama densitasnya. 5. Plume front yaitu front yang terjadi pada perbatasan dari perairan tawar yang diproduksi dari sungai - sungai besar dengan perairan laut. 6. Shallow sea front yaitu front yang terbentuk dalam laut yang sempit dan estuaria sekitar pulau. Front yang terstratifikasi baik yang disebabkan oleh angin dan pasang surut.

42 22 Robinson (1991) vide Simbolon et al. (2009) menyatakan bahwa front penting dalam produktivitas perairan laut karena cenderung membawa bersama - sama massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktivitas fitoplankton. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar (Simbolon et al 2009). 2.3 Pemanfaatan Teknologi Inderaja di Bidang Perikanan Tangkap Teknik penginderaan jarak jauh berkembang sangat pesat sejak diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS (Earth Resources Teknologi Satellite) pada tahun 1972 (Purwadhi, 2001). Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan Kiefer 1994). Konsep dasar pengideraan jauh terdiri atas beberapa komponen yang meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Dengan teknologi inderaja faktor - faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi, dan kelimpahan ikan seperti suhu permukaan laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktivitas primer dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas (Zainuddin, 2006). Ikan dengan mobilitas tinggi akan lebih mudah dilacak di suatu area melalui teknologi ini, karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti peristiwa upwelling, eddy (dinamika arus pusaran) dan front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006). Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan warna laut (ocean color). Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran

43 23 panjang gelombang 3-14 µm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling, front dan pola arus permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan tempat kecendurangan dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan juga sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kanal infra merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun Fengyun FY-1 (Andrius, 2007). Dalam bidang perikanan terdapat 3 jenis satelit yang sering digunakan dalam dalam melakukan pendugaan terhadap daerah penangakapan ikan di wilayah perairan Indonesai, antara lain Satelit NOAA - AVHRR, Aqua MODIS dan SeaWiFS Satelit NOAA - AVHRR Satelit NOAA adalah Satelit meteorologi generasi ketiga milik "National Oceanic and Atmosperik Administrastion" (NOAA) Amerika Serikat (Gambar 7). Satelit ini menggantikan generasi sebelumnya, yaitu seri TIROOS (Television and Infra red Observation Sattelite) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite). Adapun konfigurasi Satelit NOAA yaitu tinggi orbit km. inklinasi sekitar 98.7 o - 98,9 o, mampu mengindera suatu daerah dua kali dalam 24 jam, resolusi spasial 1,1 km. Satelit ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik ocean dan atmosfer. Satelit ini dilengkapi dengan lima sensor utama, yaitu AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared Sounder), DCS (Data Collection System), SEM (Space Envirotment Monitor), Sarsat (Search And Rescue Sattelite System). Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer (AVHRR). yang terdiri dari lima kanal (band) berdasarkan jenis pengamatan dan panjang gelombang yang digunakan (Tabel 3).

44 24 Sumber : Gambar 7 Satelit NOAA - AVHRR. Tabel 3 Nama kanal, panjang gelombang (A), spektrum dan jenis penginderaan sensor jauh AVHRR - NOAA Kanal A (µm) Spektrum Pengamatan Tampak Albedo siang hari (pemetaan awan) Pemantauan lapisan es dan cuaca Tampak sampai Pemantauan perkembangan infra merah tumbuhan Infra merah Pemetaan awan malam hari Pengukuran suhu permukaan membedakan daratan dan lautan Pemantauan aktifitas vulkanik Pentauan penyebaran debu vulkanik Jendela Infra Pemetaan awan siang dan malam merah Pengukuran suhu permukaan laut Penelitian air tanah untuk Jendela Infra merah Sumber : Soenarmo (2003) Satelit Aqua MODIS pertanian Pemetaan siang dan malam Pengukuran suhu permukaan laut Penelitian air tanah dan pertanian MODIS merupakan sensor yang dimaksudkan untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Sensor MODIS terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua dirancang juga untuk

45 25 membawa sensor lain yaitu AVHRR dan CZCS. Satelit Terra dan Aqua memiliki orbit selaras matahari (sun synchronous) dan dekat kutub (near - polar). Satelit mengorbit bumi 2 hari sekali dengan ketinggian 705 kilometer di atas permukaan bumi. Field of View MODIS sekitar 55 o dan lebar sapuan 2,330 km. Citra yang dihasilkan oleh satelit MODIS memiliki tiga resolusi spasial yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter. Karakteristik panjang gelombang terdiri 36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometrik (Gambar 8). Sensor MODIS yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua dapat mengukur hampir semua parameter darat, laut, dan udara sehingga kegunaannya menjadi sangat luas. Satelit ini dapat mendeteksi indeks tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan kandungan klorofil laut, yang seluruhnya ada 86 parameter sehingga banyak keperluan lain yang bisa ditumpangkan. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan (Maccherone, 2005) Sumber : Gambar 8 Satelit Aqua MODIS. Data MODIS pada Satelit Aqua mampu memberikan informasi distribusi warna permukaan laut yang berkaitan dengan kandungan klorofil-a di suatu perairan. Penentuan konsentrasi klorofil-a dilaksanakan berdasarkan ratio radiansi atau reklektansin yang diukur dalam band spectral visible yaitu band biru dan hijau.

46 Satelit SeaStar - SeaWiFS Satelit SeaStar merupakan satelit generasi terbaru yang diperuntukkan memperoleh data/informasi mengenai kondisi fisik laut dan atmosfer. Satelit ini diluncurkan tahun 1997/1998, dengan lintasan polar (sunsynchronous), ketinggian lintasan edar (orbit) 705 km, inklinasi o, mempunyai periode 98.9 menit dan pengulangan orbit16 hari, radiometer yang digunakan 10 bit, dilengkapi dengan scanner dengan lebar cakupan 2801 km. Sensor yang digunakan bernama SeaWiFS yang terdiri dari 8 kanal (band) (Soenarmo, 2003). Adapun data, spesifikasi dan bentuk dari Satelit Seastar - SeaWiFS dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 9. Tabel 4 Data Satelit Seastar - SeaWiFS dan spesifikasinya Spesifikasi Data Sumber Data Parameter Terukur (Produk) 8 bands (Visible, NIR) Resolusi Spasial GAC : 4 km LAC : 1 km Periode Sekarang Sumber : Simbolon et al. (2009) NASA (order, electronically) Data (Level 1,2) Klorofil-a Endapat terlarut (TSM) Kekeruhan perairan Batimetri Sumber : Gambar 9 Satelit Seastar - SeaWiFS.

47 Karakteristik Pukat Cincin Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan yang bergelombol (schooling), seperti layang (Decapterus sp), lemuru (Sardinella lemuru), tongkol (Euthynnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan kembun (Rastelliger spp). Menurut Sudirman dan Mallawa (1999) vide Tenrisa na (2009) purse seine adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan. Pada satu unit purse seine terdiri dari jaring, kapal, dan alat bantu (roller, lampu, rumpon dan sebagainya). Umumnya berbentuk empat persegi panjang. Prinsip penangkapannya adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring secara vertikal dan horizontal. Disebut dengan pukat cincin sebab pada jaring bagian bawah dipasangi cincin (ring) yang berguna untuk memasang tali kerut (purse line) atau biasa juga disebut juga tali kolor. Pengoperasiannya ada yang dilakukan pada malam, subuh atau siang hari. Komponen utama purse seine menurut Subani dan Barus (1988) vide Mukhlisa (2009) terdiri atas (1) bagian jaring terdiri atas jaring utama, jaring sayap, dan jaring kantong, (2) srampad (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi memperkuat jaring sewaktu dioperasikan, terutama saat penarikan jaring. (3) tali temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali pemberat, tali kolor, dan tali selambar, (4) pelampung, (5) pemberat, dan (6) cincin (ring). Ukuran kapal pukat cincin di perairan Kendari rata - rata berkisar antara 15 meter (panjang) x 4 meter (lebar). Kapal yang digunakan terbuat dari bahan kayu. Besaran tonase kapal berkisar antar GT. Jumlah ABK berkisar antara orang. Guna mempermudah dalam pencarian lokasi rumpon, sebagian besar nelayan menggunakan alat bantu Global Positioning System (GPS). Konstruksi armada penangkapan yang dioperasikan diperairan Kendari dapat dilihat pada Gambar 10.

48 28 Sumber : Data lapangan Gambar 10 Kapal pukat cincin (purse seine). Ukuran jaring yang digunakan antara meter dan terbuat dari jenis polyethilene (PE) dan polyamide (PA) yang dikombinasikan. Ukuran mesh size antara inci. Pada bagian atas jaring dipasangkan pelampung yang terbuat dari plastik, jarak antara pelampung antar cm. Disamping itu dilengkapi juga dengan pelampung tanda dan lampu buoy. Pemberat dipasang pada bagian bawah jaring yang berbentuk cincin, disamping berfungsi mempercepat proses tenggelam jaring juga berfungsi sebagai tempat tali kolor (purse line). Adapun desain alat tangkap purse seine yang dioperasikan di perairan kendari dapat dilihat pada Gambar 11. a b c Gambar 11 Bagian - bagian utama purse seine yang beroperasi di perairan Kendari, a) Cincin, b) pelampung, 3) jaring Seiring perkembangan pengetahuan nelayan tentang metode penangkapan ikan, saat ini banyak nelayan telah menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan dengan harapan akan meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan rumpon juga banyak digunakan oleh nelayan purse seine yang beroperasi di perairan Kendari.

49 Sistem Informasi Geografis Perikanan Tangkap Sistem informasi geografis Pada dasarnya istilah sistem informasi geografis (SIG) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. Penekanan SIG ada pada informasi geografis yang dihasilkan. Istilah informasi geografis mengandung pengertian mengenai tempat - tempat yang terletak dipermukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi dan berisi informasi mengenai keterangan - keterangan tertentu yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta, 2001) Pengertian sistem informasi geografis sendiri telah banyak diberikan oleh para ahli SIG. Menurut Arronof (1989) mendefinikan SIG sebagai suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yakni pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, dan keluaran. Sedangkan Burrough (1986) mengemukakan bahwa SIG adalah seperangkat alat (tools) yang bermanfaat untuk pengumpulkan, penyimpanan, pengambilan data yang dikehendaki, pengubahan dan penayangan data keruangan yang berasal dari gejala nyata di permukaan bumi. Ekadinata et al (2008) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem atau teknologi yang berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa serta menyajikan data dan informasi dari suatu objek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi. Dalam sejarah perkembangan SIG, dekade 1990-an dinyatakan sebagai periode terobosan (breakthrough), sejak orientasi objek dalam sistem dan desain database makin baik, didiringi dengan makin meluasnya pengakuan terhadap aktivitas SIG sebagai aktivitas profesional dan berkembang pesatnya teori - teori informasi spasial sebagai dasar teori SIG. Saat ini, telah beredar berbagai macam perangkat lunak SIG komersial, seperti ERDAS, IDRISI, ILWIS, ARC/INFO, MAP INFO, AutoCad Map, ArcView, ArcGIS, E-View, dan lain - lain dalam berbagai versi. Terdapat beberapa komponen utama yang membaguan sebuah SIG antara lain perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna dan aplikasi (Gambar 12)

50 30 Perangkat Lunak Data Perangkat Keras Sistem Informasi Geografis Pengguna Aplikasi Sumber : Ekadinata et al (2008) Gambar 12 Komponen sistem infromasi geografis. Secara umum sistem informasi geografis terbagi kedalam 4 subsistem utama, yaitu data input, data output, data manajemen dan data manipulation/analisis (Prahasta, 2001). 1) Data input, subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format - format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2) Data output adalah subsistem SIG yang bertugas menampilkan dan menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy atau hardcopy, seperti tabel, peta, grafik atau yang lainnya. 3) Data management merupakan subsistem yang berfungsi untuk mengorganisasikan baik data spasial atau atribut ke dalam bentuk sebuah basis data, sehingga memudahkan dalam analisis, editing atapun update basis data tersebut. 4) Data manupulation/analisis adalah subsistem yang berfungsi untuk menentukan informasi yang dapat di hasil oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Sistem informasi geografis sebagai sebuah alat diharapkan mampu memberikan manfaat bagi setiap pengguna dan bisa diaplikasi dalam menjawab persoalan yang dihadapi manusia. Teknologi SIG telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti evaluasi kesesuaian lahan, pemetaan daerah bahaya longsor, perancangan perkotaan, jalur listrik, pipa dan lain sebagainya. Di bidang

51 31 perikanan pemanfaatan teknologi SIG masih terus dimaksimalkan baik itu untuk keperluan konservasi wilayah perairan, pengelolaan kawasan pesisir, ataupun pemanfaatan untuk penentuan daerah penangkapan ikan Aplikasi sistem informasi geografis di bidang perikanan tangkap Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar wilayahnya adalah laut, sehingga sering disebut sebagai negara maritim. Luas wilayah perairan sekitar 5.8 juta km 2 menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang cukup besar. sementara itu pengelolaan perikanan belum dikelola secara optimal dan lestari merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi di Indonesia (Simblon et al., 2009). Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) di bidang perikanan telah banyak digunakan, salah satunya pada sektor perikanan tangkap. Permasalahan utama yang banyak dikaji dengan menggunakan teknologi indraja dan SIG terkait dengan optimalisasi hasil tangkapan adalah keterbatasan data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan dengan daerah penangkapan yang potensial. Sehingga dengan adanya teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis banyak membantu dalam upaya peningkatan hasil tangkapan secara optimal. Menurut Simbolon et al (2009) terdapat dua teknologi yang digunakan dalam perkembangan ilmu pemetaan di bidang perikanan yaitu pengideraan jarak jauh dan sistem informasi geografis. Sistem informasi geografis diartikan sebagai alat dengan sistem komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di permukaan bumi. Secara lebih luas SIG diartikan sebagai sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spatial atau geografis. Penginderaan jarak jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand dan Kiefer, 1994).

52 32 Parameter oseanografi dan fenomena perairan merupakan paramater yang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial. Teknologi penginderaan jarak jauh saat ini telah mampu mengamati berbagai fenomena perairan dan kondisi oseanografi tersebut, seperti suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a, salinitas, arus, sedimentasi perairan, pasang surut perairan, fenomena upwelling, thermal front, dan eddies yang kesemuanya dapat dimanfaatkan guna penentuan daerah penangkapan potensial. Menurut Zainuddin (2006) salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik dalam penentuan daerah penangkapan potensial dengan mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (indraja). Dengan teknologi indraja faktor - faktor yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan laut (SPL), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan perairan, arah dan kecepatan arus, serta tingkat produktifitas primer. Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dengan faktor lingkungan di sekelilingnya (Zainuddin, 2006). Parameter yang digunakan dalam penentuan daerah penangkapan potensial ini kemudian diolah dengan menggunakan teknologi SIG. Pemanfaatan teknologi SIG pada bidang perikanan tangkap harus didukung oleh sejumlah konsep - konsep ilmiah dan data yang memadai sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat.

53 33 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Rangkaian kegiatan dalam penelitian ini terbagi dalam 3 tahapan, yaitu : (1) survei lapangan lokasi penelitian pada bulan September 2011, (2) pengumpulan sampel data lapangan meliputi waktu, lokasi, armada penangkapan yang beroperasi di perairan Kendari, hasil tangkapan ikan layang, suhu permukaan laut dan klorofil-a secara in-situ pada bulan Oktober Januari 2012, (3) download citra suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dari satelite Aqua MODIS pada bulan Oktober Januari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari merupakan fishing base pengambilan data lapangan dengan fishing ground berada di Perairan Kendari pada posisi 3 o 15'0"-4 o 50'0" LS dan 122 o 40'00"-123 o 40'00" BT. Sementara citra suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a yang diambil antara tahun dan bersifat harian, mingguan dan bulanan meliputi wilayah perairan Kendari dan Laut Banda pada posisi 0 o 30'00"- 8 o 30'00" LS dan 121 o 30'00"-133 o 30'00" BT. Adapun peta daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Peta lokasi penelitian.

54 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat instrumen yang memudahkan dalam pelaksanaan penelitian yang dapat menunjang proses pengolahan dan analisis data. Adapun alat yang digunakan serta kegunaanya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Alat serta kegunaan No Alat Kegunaan 1. Laptop (Pentium Core i3-2310m, 2.1 GHz, RAM 6GB, Memory 2GB, HD 500GB, OS : Microsoft) Sarana pengolahan dan analisis data 2. Ekstaksi citra suhu permukaan laut dan Perangkat lunak ENVI 4.7 klorofil-a (eks-situ) 3. Perangkat lunak ArcGIS Analisis DPI dan layout hasil penelitian 4. Perhitungan koefisien korelasi (r) dan Perangkat lunak SPSS 17.0 koefisien determinasi (R 2 ) 5. Tabulasi data hasil tangkapan, armada Microsoft Excel 2007 penangkapan, waktu dan lokasi penangkapan. 6. Kuisioner wawancara Input data dan informasi dari PPS Kendari dan nelayan 7. Termometer Mengukur suhu permukaan laut (in-situ) 8. Alat Lab. Kualitas Air, FIKP Universitas Hasanuddin, Makassar Mengukur klorofil-a (in-situ) 8. Mencatat lokasi daerah penangkapan GPS (Garmin) ikan (in-situ) 9. Kamera digital Dokumentasi selama penelitian 3.3 Metode Pengumpulan Data Mertode pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi kedalam 2 bagian yaitu data lapangan (in-situ) dan data eks-situ (citra suhu permukaan laut dan klorofil-a satelit Aqua MODIS) Data in-situ Pengumpulan data in-situ dilakukan dengan mengikuti langsung aktivitas penangkapan. Armada penangkapan yang digunakan dalam pengamatan data insitu adalah purse seine (Lampiran 1). Pemilihan purse seine menggunakan metode purpose sampling. Hal ini berdasarkan pertimbangan jumlah armada

55 35 penangkapan yang paling banyak dioperasikan di Perairan Kendari (Tabel 6) serta kemampuan dalam menangkap ikan layang yang paling tinggi dari setiap alat tangkap. Tabel 6 Armada penangkapan ikan pelagis kecil yang beroperasi di perairan Kendari Alat Tangkap Jumlah Armada Penangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) 95 Bagan Perahu (Boat Lift Net) 6 Jaring Insang (Gill Net) 7 Sumber : Statistik PPS Kendari Bulan Desember Tahun 2010 (diolah). Jumlah sampel kapal purse seine sebanyak 18 unit. Data yang dikumpulkan dari setiap sampel kapal (data in-situ) adalah pencatatan posisi dan waktu penangkapan, metode penangkapan, hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp), suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a (Lampiran 7). Khusus data klorofil-a hanya dilakukan di 16 sampel kapal dengan menggunakan metode purpose sampling (Lampiran 11), hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan alat yang digunakan. Sementara untuk data yang lain (in-situ) dikumpulkan pada setiap sampel kapal. Pengumpulan data suhu permukaan laut dan klorofil-a (insitu) digunakan sebagai ground truth untuk menverifikasi data eks-situ hasil citra satelit AquaMODIS Data eks-situ (1) Citra suhu permukaan laut dan klorofil-a Data citra SPL dan klorofil-a diperoleh dari satelit Aqua MODIS level 3 dengan resolusi 4 km x 4 km (pixel) dan tingkatan citra yang terbagi kedalam 2 jenis, yaitu (1) citra harian dan mingguan antara bulan September Januari 2011 yang disesuaikan dengan waktu dan lokasi pengamatan sampel lapangan, (2) citra bulanan antara tahun (3 tahun). Citra SPL dan klorofil-a diperoleh dari situs resmi NASA ( (2) Hasil tangkapan dan Upaya Penangkapan Data times series produksi ikan layang (Decapterus spp) dan upaya penangkapan (trip) setiap bulannya antara tahun diperoleh dari

56 36 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Metode pengumpulan data Data Cakupan Data Sumber Data Citra suhu permukaan Komposit bulanan anatar laut dan klorofil-a tahun Harian dan mingguan antara bulan September Suhu permukaan laut dan Klorofil-a Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan (trip) Lokasi dan waktu penangkapan 2011 Januari 2012 Harian antara bulan September 2011 Januari 2012 Tahun (bulanan) Harian antara bulan September 2011 Januari 2012 Harian antara bulan September 2011 Januari 2012 Purpose Sampling : pada waktu dan tempat yang sama dengan lokasi penangkapan purse seine Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari Purpose Sampling : pada waktu dan tempat yang sama dengan lokasi penangkapan purse seine Purpose Sampling : pada waktu dan tempat yang sama dengan lokasi penangkapan purse seine Data pendukung lainnya berupa kondisi umum lokasi penelitian, aktivitas penangkapan dan informasi lain yang terkait dengan topik penelitian diperoleh melalui wawancara dengan nelayan. 3.4 Analisis Data Sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a Data sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a diperoleh dari satelit Aqua MODIS yang telah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik, sehingga tidak diperlukan lagi pengolahan algoritma untuk mendapatkan citra sebaran SPL dan klorofil-a. Analisis citra ini menggunakan program ENVI 4.7. Adapun tahapan dalam analisis citra SPL dan klorofil-a mengacu pada Muklis (2008) dan Madjid (2010) sebagai berikut : pemilhan citra, pemotongan dan penajaman citra, simulasi citra, penyebaran dan pemusatan data. (1) Pemilihan citra Citra setelit yang digunakan pada penelitian ini adalah citra satelit Aqua MODIS level 3, pada level ini sudah terkoreksi radiometrik maupun geometrik dengan resolusi 4 km x 4 km. Citra yang dipilih adalah citra bulanan antara tahun

57 dan harian antara bulan September Januari 2012 yang disesuaikan dengan waktu pengamatan lapangan (in-situ). (2) Pengolahan citra Citra satelit Aqua MODIS diolah dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.7. Citra level 3 ini sudah terolah dalam format HDF (Hierachical Data Format) menjadi konsentrasi suhu permukaan laut dan klorofil-a. Algoritma yang dipakai untuk menghasilkan nilai distribusi suhu permukaan laut (SPL) adalah sebagai berikut (Brown dan Minnet, 1999) : SST = C1+(C2 x T 31 )+ [C3 x (T ) + [C4 x (Sec(θ)-1) x (T )] Keterangan : T 31 dan T 32 = kecerahan temperatur dari kanal 31 dan 32 θ = Sudut zenith Satelit (0,001) C1,C2,C3 dan C4 merupakan konstanta. Algoritma OC3M adalah algoritma yang dipakai dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS untuk menghasilkan konsentrasi klorofil-a. Persamaan algoritma OC3M (O' Reilly et al. 2000) adalah : Keterangan : Ca = Konsetrasi klorofil-a (mg/m 3 ) R = Rasio reflektansi Rrs = Remote sensing reflektansi (3) Pemotongan dan penajaman citra Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi ruang lingkup secara spasial agar sesuai dengan area yang diteliti. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah menganalisis fenomena yang terjadi pada area penelitian. Dalam proses ini data yang dimasukkan adalah pixel line awal dan akhir serta nilai lintang/bujur awal dan nilai lintang/bujur akhir. Penajaman citra bertujuan untuk menghilangkan gangguan noise (inherent noise) agar tidak terdapat suatu titik gelap (spotting effect) dan untuk mendapatkan gambar yang jelas dan tegas dari fenomena oseanografi yang terlihat

58 38 pada citra. Penajaman yang digunakan adalah melalui warna sehingga untuk setiap kelas nilai digital yang berbeda diberi warna yang berlainan. (4) Simulasi citra Simulasi citra bertujuan untuk mengetahui pergerakan bulanan SPL dan klorofil-a antara tahun sehingga dapat digunakan dalam memprediksi wilayah penangkapan potensial di Laut Banda setiap bulannya, sedangkan citra harian antara bulan September - Desember 2011 bertujuan melihat kesesuaian antara sebaran SPL dan klorofil-a citra satelit Aqua MODIS dengan hasil pengukuran lapangan selama penelitian. (5) Penyebaran dan pemusatan data Analisis pemusatan dan penyebaran data bertujuan untuk melihat kecenderungan data hasil ekstraksi citra suhu permukaan laut dan klorofil-a antara tahun Adapun rumus yang digunakan yaitu perhitungan nilai tengah (mean) dan standar deviasi (S) (Mattijik dan Jaya, 2006) : 1 x n Keterangan : x : Rataan/Mean n : Ukuran sampel x i : Data ke-i Standar deviasi (S) atau simpangan baku merupakan akar kuadrat dari variance (ragam). Secara matematis rumus standar deviasi, yaitu : n i 1 Xi S 1 n ( x i x) n 1 i 1 2 Keterangan : S = Standart Deviasi (simpangan baku) x = Rataan xi = Data ke-i Uji akurasi citra suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a satelit AquaMODIS menggunakan persamaan root mean square error (RMSE) mengacu

59 39 pada Muhsoni et al (2009). Uji RMSE mencerminkan perbedaan antara nilai data lapang dengan nilai hasil ekstraksi citra satelit. = ( i j ) 2 Keterangan : Zi = Nilai ekstrkasi citra Zj = Nilai hasil pengukuran lapangan n = Jumlah titik sampel Kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat akurasi citra AquaMODIS level 3 mengacu pada Purwadhi (2001), dimana jika nilai RMSE lebih kecil atau sama dengan 1 pixel ( 1) menandakan tingkat akurasi yang baik, sedangkan jika nilai RMSE lebih tinggi dari 1 pixel mengindikasikan tingkat akurasi yang kurang baik Hubungan antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan Guna mengetahui hubungan antara antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp), maka dilakukan analisis regresi sederhana. Keeratan hubungan antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) diketahui berdasarkan nilai koefisien korelasi (r). Nilai koefisien korelasi berkisar antara 1 sampai dengan (-1) dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Adapun makna dari koefisien korelasi (Sarwono, 2008), yaitu : 1) Jika nilai r = 0 maka tidak ada korelasi 2) Jika nilai r = > 0-0,25 menunjukkan korelasi sangat lemah. 3) Jika nilai r = > 0,25-0,50 menunjukkan korelasi cukup. 4) Jika nilai r = > 0,50-0,75 menunjukkan korelasi kuat 5) Jika nilai r = > 0,75-0,99 menunjukkan korelasi sangat kuat 6) Jika nilai r = 1 menunjukkan korelasi sempurna Untuk mengetahui seberapa besar kontribusi suhu permukaan laut dan klorofil-a untuk menduga hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) diketahui berdasarkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0.

60 Prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) Prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang (Decapterus spp) di perairan Kendari dan Laut Banda menggunakan analisis multi criteria analysis (MCA) dengan pendekatan metode skoring. Kategori daerah penangkapan ikan potensial dibagi kedalam 3 kelompok yaitu potensial tinggi, sedang dan kurang potensial. Parameter yang digunakan untuk perairan Kendari meliputi citra suhu permukaan laut mingguan, citra klorofil-a mingguan, fenomena upwelling, thermal front dan catch per unit effort (CPUE) dengan bobot yang sama diberikan kepada setiap parameter yaitu 0,20 atau 20% dengan asumsi bahwa setiap parameter memiliki pengaruh yang sama dalam menentukan daerah penangkapan ikan di perairan Kendari. Parameter yang digunakan dalam penentuan daerah penangkapan ikan di Laut Banda menggunakan nilai rata - rata parameter citra suhu permukaan laut dan klorofil-a bulanan, fenomena upwelling dan thermal front antara tahun Penyusunan peta prediksi daerah penangkapan ikan di Laut Banda kemudian dikelompokkan kedalam 4 musim yaitu musim barat, peralihan barattimur, musim timur dan musim peralihan barat-timur. Nilai pembobotan yang diberikan untuk prediksi daerah penangkapan ikan di Laut Banda pada masing - masing parameter sebesar 0.25 atau 25%, dengan asumsi bahwa parameter suhu permukaan laut, klorofil-a, thermal front dan upwelling, memberikan pengaruh yang sama terhadap pembentukan daerah penangkapan ikan di Laut Banda Produktivitas hasil tangkapan Analisis yang digunakan adalah analisis catch per unit effort (CPUE). berupa data hasil tangkapan dan upaya penangkapan (trip/hauling). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Gulland, 1983) : = h Keterangan : CPUE i = Hasil tangkapan perunit upaya alat tangkap ke-a pada periode ke-t Catch i = Hasil tangkapan alat tangkap ke-a pada periode ke-t (ton) Effort i = Upaya penangkapan alat tangkap ke-a pada periode ke-t

61 41 Hasil analisis CPUE bulanan diperbandingkan dengan data citra rata-rata suhu permukaan laut dan klorofil-a sehingga dapat dilihat keterkaitan dengan sebaran SPL dan klorofil-a satelit Aqua MODIS secara temporal (bulan). Nilai CPUE kemudian dibagi kedalam 3 kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Ketentuan yang digunakan berdasarkan tingkat pendapatan nelayan terhadap hasil tangkapan pada setiap fishing ground. Jika pendapatan nelayan memberikan keuntungan, maka tergolong memiliki CPUE tinggi, pendapatan nelayan mengalami impas maka tergolong CPUE sedang, dan jika pendapatan nelayan mengalami kerugian, maka CPUE tergolong rendah. Pemberian skor pada setiap ketegorisasi CPUE selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Klasifikasi parameter CPUE sebagai indikator daerah penangkapan ikan No. Nilai CPUE Indikator CPUE Klasifikasi Keuntungan / Skor (kg/hauling) (kg/hauling) hauling Tinggi Untung Sedang Impas Rendah Rugi Suhu permukaan laut dan klorofil-a Kategori suhu permukaan laut (SPL) dibagi kedalam 2 kategori yaitu SPL optimum dan tidak optimum. Setiap kategori diberikan skor tertentu. Kisaran SPL optimum diperoleh berdasaran hasil analisis regresi SPL tterhadap hasil tangkapan ikan layang. Adapun klasifikasi suhu permukaan laut dan pemberian skor dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Klasifikasi parameter suhu permukaan laut sebagai indikator daerah penangkapan potensial ikan layang No. Klasifikasi Suhu Permukaan Laut Skor 1 SPL Optimum 3 3 SPL Tidak Optimum 1. Kategori klorofil-a dibagi kedalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah (Muhsoni et al, 2009, Prasetyo dan Suwarso, 2010, Zainuddin, 2011). Ketentuannya yaitu jika nilai klorofil-a lebih kecil dari 0,3 mg/m 3 diberi bobot 1, nilai klorofil-a berkisar antara 0, mg/m 3 diberi bobot 2 dan jika klorofil-a berada lebih besar dari 0,75 mg/m 3 diberi nilai 3 (Tabel 10).

62 42 Tabel 10 Klasifikasi parameter klorofil-a sebagai indikator daerah penangkapan potensial ikan layang No. Klasifikasi Klorofil-a Kisaran Klorofil-a (mg/m 3 ) Skor 1 Tinggi X > Sedang 0.30 X Rendah X Sumber : Data Lapangan, DKP. Kab. Pangkep (2009), Muhsoni et al (2009), Prasetyo dan Suwarso (2010), Zainuddin (2011), dimodifikasi Thermal front dan upwelling Analisis thermal front mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Cayula dan Cornillon (1992) menggunakan software Marine Geospasial Tools yang diintegtrasikan dengan ArcGIS (Lampiran 14). Sedangkan analisis upwelling mengacu pada Simbolon dan Tadjuddah (2008) yaitu analisis dilakukan terhadap citra SPL dan klorofil-a dengan ketentuan wilayah yang memiliki SPL yang lebih hangat yang dikelilingi oleh SPL yang tinggi serta kandungan konsentrasi klorofil-a yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Thermal front dan upwelling dianalisis secara spasial dan temporal setiap bulannya antara tahun Alat yang digunakan untuk memudahkan dalam analisis thermal front dan upwelling menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Kategori thermal front dibagi kedalam 2, yaitu ada atau tidaknya fenomena thermal front. Ketentuan yang digunakan adalah jika sebuah wilayah terjadi fenomena thermal front diberi skor 3 dan jika tidak terjadi diberi skor 1 (Tabel 11). Tabel 11 Klasifikasi parameter thermal front sebagai indikator daerah penangkapan ikan No. Klasifikasi Thermal Front Skor 1 Terjadi 3 2 Tidak Terjadi 1 Ketentuan yang digunakan dalam menilai ada atau tidaknya fenomena upwelling sama dengan ketentuan yang digunakan dalam menilai thermal front. Kategori dibagi kedalam 2, yaitu ada atau tidaknya upwelling. Klasifikasi parameter upwelling dan pemberian skor dapat dilihat pada Tabel 12.

63 43 Tabel 12 Klasifikasi parameter upwelling sebagai indikator daerah penangkapan ikan No. Klasifikasi Upwelling Skor 1 Terjadi 3 2 Tidak Terjadi Standarisasi Nilai Indikator Daerah Penangkapan Ikan Persamaan yang digunakan untuk nilai masing-masing pada lokasi pengamatan (perairan Kendari dan Laut Banda) menggunakan metode distribusi frekuensi. Guna memudahkan dalam proses analisis daerah penangkapan ikan potensial di perairan Kendari dan Laut Banda maka digunakan fasilitas analysis spatial pada perangkat lunak ArcGIS. Adapun tahapan penentuan nilai selang kelas setiap kategori DPI adalah sebagai berikut : 1) Menentukan banyaknya kelas yang dikehendaki. Dalam penelitian ini jumlah kelas yang digunakan terbagi dalam 3 kelas, yaitu DPI potensial tinggi (kelas pertama), DPI potensial sedang (kelas kedua), dan DPI kurang potensial (kelas ketiga). 2) Menghitung selang tiap-tiap parameter diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum dari tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi dengan jumlah klasifikasi DPI. Persamaan matematis sebagai berikut (Pasek (2007) vide Sengaji dan Nababan, 2009) : =. max. / Keterangan : L = Selang nilai setiap kelas klasifikasi DPI n = Jumlah klasifikasi DPI (3) 3) Setelah diperoleh nilai selang, selanjutnya dilakukan penjumlahan hasil perkalian antara bobot dan skor dari masing-masing parameter yang diamati pada setiap posisi pengamatan menggunakan persamaan (Pasek, 2007 vide Sengaji dan Nababan, 2009)

64 44 = Keterangan : N p : Nilai pada posisi pengamatan ke-p B ip : Bobot pada setiap parameter DPI (SPL, klorofil-a, thermal front, dan upwelling ke-i posisi pengamatan ke-p S ip : Skor pada setiap parameter DPI ke-i posisi pengamatan ke-p 4) Total nilai penjumlahan hasil perkalian bobot dan skor dari masing-masing parameter pada setiap lokasi pengamatan disesuaikan dengan nilai selang pada masing-masing klasifikasi DPI sehingga diperoleh kelas kesesuaian DPI pada setiap posisi pengamatan.

65 45 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Tangkapan dan Armada Penangkapan Data statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari antara tahun menunjukkan total produksi ikan yang tertangkap di perairan Kendari sebanyak ton. Persentase produksi ikan pelagis kecil tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 34,51%, lalu disusul pada tahun 2010 sebesar 26,49 %, sedangkan presentase produksi terendah terjadi pada tahun Secara rinci produksi hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang ditangkap di perairan Kendari dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Produksi (ton) ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Kendari Tahun Produksi Ikan Pelagis Kecil (Ton) Total Sumber : Statistik Perikanan PPS Kendari Tahun (diolah) Secara umum komposisi hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Kendari antara tahun terdiri dari jenis 15 spesies. Hasil tangkapan terbanyak adalah ikan layang (Decapterus spp) sebanyak ,03 ton (88,12%), kemudian ikan kembung (Rasteliger kanagurta) sebanyak 1.743,78 ton (6,95%), ikan kwee (Caranx spp) sebanyak 740,11 ton (2,95%), ikan sunglir (Elagatis bipinnulata) sebanyak 136,82 ton (0,55%), dan ikan tembang (Sardinella sp) sebanyak 121,03 ton (0,48%). Jenis ikan layang (Decapterus spp) merupakan hasil tangkapan yang paling banyak tertangkap (Lampiran 2) sekitar 88.12% dari hasil tangkapan total antara tahun Nilai ekonomis ikan layang yang tergolong tinggi, yaitu berkisar Rp Rp /kg dan pada saat tertentu bisa naik sampai antara Rp /kg. Adapun komposisi hasil tangkapan utama pelagis kecil yang tertangkap di perairan Kendari antara tahun dapat dilihat pada Tabel 14.

66 46 Tabel 14 Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kendari antara tahun No Hasil Tangkapan Jumlah Hasil Tangkapan (ton) Tahun ke-i Ton Total Presentase (%) 1 Kembung ,78 6,95 2 Bentong ,47 3 Cendro ,01 4 Ekor Kuning ,17 5 Kwee ,95 6 Layang 2.386, , , , , ,03 88,12 7 Lemuru ,14 8 Selar Kuning ,08 9 Sunglir/Salem ,55 10 Tembang ,48 11 Teri ,08 12 Terubuk ,00 13 Julung-julung ,01 14 Kupas - kupas ,01 Jumlah , Sumber : Statistik Perikanan PPS Kendari Tahun Peningkatan jumlah produksi hasil tangkapan ikan layang yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari antara tahun menunjukkan adanya peningkatan antara tahun sebesar 4.376,30 ton lalu mengalami penurunan yang cukup jauh pada tahun 2008, tetapi tahun selanjunya hingga tahun 2010 terlihat trend peningkatan dengan persentase kenaikan sekitar 40-50% /tahun. Trend produksi ini menunjukkan besarnya potensi sumberdaya ikan layang di wilayah Laut Banda secara umum dan khususnya di perairan Kendari dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Pukat cincin (purse seine) merupakan alat penangkapan utama yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil di perairan Kendari. Dalam melakukan operasi penangkapannya menggunakan alat bantu berupa rumpon dan lampu untuk mengumpulkan ikan. Nelayan pukat cincin yang beropersi diperairan Kendari dibagi dalam dua istilah, yaitu "rumpon dekat" dan "rumpon jauh". Penggolongan ini didasarkan pada jarak lokasi rumpon dari Pelabuhan Perikanan (PPS) Kendari serta teknik pengoperasiannya. Perbedaan mendasar dari keduanya terletak pada teknik pengoperasian. Nelayan pukat cincin yang termasuk dalam istilah "rumpon dekat" bersifat one day trip dimana operasi penangkapan

67 47 dilakukan pada waktu malam sampai subuh dan melakukan 3-4 kali proses hauling. Sedangkan untuk kategori nelayan "rumpon jauh" hanya melakukan sekali hauling dalam sehari yaitu pada saat subuh/pagi hari dengan lama setiap trip antara 2-7 hari dan lama waktu penangkapan ini sangat tergantung pada ketersedian es dan jumlah hasil tangkapan. Ukuran kapal pukat cincin rata - rata berkisar antara 15 meter (panjang) x 4 meter (lebar) dengan ukuran panjang jaring antara meter. Jumlah ABK berkisar antara orang. Jaring yang digunakan jenis polyethilene (PE) dan polyamide (PA). Guna mempermudah dalam pencarian lokasi rumpon, sebagian besar nelayan menggunakan alat bantu Global Position System (GPS). Biaya yang dikeluarkan satu trip berkisar antara Rp Rp untuk nelayan "rumpon jauh" dan sekitar Rp Rp untuk nelayan "rumpon dekat". Sistem pembagian pendapatan berdasarkan tanggung jawab di atas kapal. Pemilik kapal mendapat bagian 40%, kapten kapal mendapat 30%, 15% untuk penarik tali ris atas dan bawah, sedangkan untuk penarik jaring mendapatkan 10% dari hasil pendapatan bersih dan sisanya 5% untuk biaya perbaikan kapal dan alat tangkap. Sebagian besar nelayan pukat cincin berasal dari suku Mandar (Sulawesi Barat) dan Bugis (Sulawesi Selatan) serta bersifat berkelompok. Kesamaan asal daerah merupakan faktor utama dalam pembentukan kelompok nelayan. Setiap kelompok nelayan yang ada melakukan kerjasama dengan seorang jurangan untuk menjual hasil tangkapan mereka. Biasanya biaya operasi yang dikeluarkan setiap trip berasal dari jurangan dalam bentuk pinjaman. Aktivitas musim penangkapan di perairan Kendari dibagi ke dalam 4 musim yaitu, musim timur, musim barat dan musim peralihan I dan II. Pembagian musim penangkapan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Pembagian musim penangkapan di perairan Kendari. Musim Barat Peralihan I (Barat - Timur) Timur Peralihan II (Timur - Barat) Sumber : Hasil survei dan wawancara Bulan Desember, Januari, dan Februari Maret, April, dan Mei Juni, Juli, dan Agustus September, Oktober dan November

68 Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Tahun di Laut Banda Musim barat Sebaran suhu permukaan laut (SPL) dominan di Laut Banda pada musim barat berkisar antara 27,01-29,50 o C sedangkan SPL dominan berkisar antara 27,01-28,50 o C. Suhu permukaan laut (SPL) yang lebih tinggi dari 28,0 o C terlihat lebih dominan di wilayah perairan antara perairan pulau Buruh, Banggai Kepulauan dan perairan Kendari, hingga perairan pulau Wetar, sedangkan SPL yang lebih rendah dari 28,01 o C terlihat lebih konsentrasi di wilayah perairan antara NTT dan kepulauan Wakatobi, dan pulau - pulau dibagian utara - timur Laut Banda. Disamping itu pada wilayah perairan pulau Seram dan perairan Kendari menunjukkan adanya tutupan awan cukup besar yang mengindikasikan curah hujan yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Konsentrasi klorofil-a dominan pada musim barat (Gambar 17) menujukkan nilai yang berkisar antara 0,08-1,250 mg/m 3. Nilai klorofil-a yang lebih tinggi dari 0,50 mg/m 3 terlihat dibeberapa wilayah barat Laut Banda, yaitu disekitar perairan NTT, Kepulauan Wakatobi, perairan Kendari dan Banggai Kepualauan sedangkan konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih rendah dari 0,50 mg/m 3 tersebar secara merata. Gambaran tentang sebaran SPL dan klorofil-a pada musim barat antara tahun dapat dilihat pada Gambar 14 dan Lampiran Musim peralihan barat - timur Penyebaran suhu permukaan laut (SPL) ketika musim peralihan barat - timur berkisar antara 27,51-30 o C, dengan kisaran SPL dominan antara 28, o C. Konsentrasi SPL yang lebih tinggi dari 29,01 o C terkonsetrasi dibagian Selatan dan barat Laut Banda, yaitu sekitar perairan NTT, Kepulauan Wakatobi, perairan Kendari dan Banggai Kepulauan serta pulau Buruh, sedangkan SPL relatif lebih rendah dari 28,01 o C terkonsetrasi di wilayah timur dan utara antara perairan pulau Seram hingga perairan Maluku Tenggara Barat. Peta pola sebaran SPL dan klorofil-a musim peralihan barat - timur dapat dilihat pada Gambar 15 dan Lampiran 12.

69 49 A B Gambar 14 Sebaran suhu permukaan laut ( o C) (A) dan klorofil-a (mg/m 3 ) (B) musim barat.

70 50 A B Gambar 15 Sebaran suhu permukaan laut ( o C) (A) dan klorofil-a (mg/m 3 ) (B) musim peralihan barat - timur.

71 51 Kisaran klorofil-a dominan (Gambar 15) berada antara 0,25-1,00 mg/m 3. Nilai konsentrasi klorofil-a (maksimum) menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan musim sebelumnya di wilayah perairan Wakatobi, perairan Muna, perairan Seram, dan perairan utara NTT dengan kisaran antara (0,75-1,75 mg/m 3 ), sedangkan konsetrasi klorofil-a yang lebih rendah dari 0,25 mg/m 3 ) tersebar secara merata di perairan Laut Banda Musim timur Memasuki musim timur konsentrasi suhu permukaan laut (SPL) menunjukkan adanya dominasi suhu rendah dibandingkan dengan musim sebelumnya. Kisaran SPL dominan berada antara 24,51-28,50 o C. Konsentrasi SPL yang lebih tinggi dari 27,51 o C terlihat di wilayah bagian selatan - barat, seperti perairan NTT dan kepulauan Wakatobi hingga Banggai Kepulauan, sedangkan SPL yang lebih rendah dari 27,51 o C terlihat terkonsetrasi di wilayah utara - timur Laut Banda, seperti peraairan utara pulau Buruh, pulau Seram, kepulauan Kei, hingga kepulauan Maluku tenggara Barat. Konsentrasi klorofil-a dominan musim timur berkisar antara 0,3-1,75 mg/m 3. Nilai konsentrasi klorofila yang lebih tinggi (0,50-1,75 mg/m 3 ) berada di sekitar perairan utara -timur dan barat Laut Banda, seperti pulau Buruh, pulau Seram, kepulauan Kei, pulau Maluku Tenggara Barat, walaupun terlihat juga di wilayah perairan kepulauan Wakatobi dan perairan Muna berupa spot kecil. Kisaran konsentrasi klorofil-a yang lebih rendah dari 0,50 mg/m 3 terlihat di wilayah selatan-barat Laut Banda (perairan NTT, perairan Kendari dan Banggai Kepulauan). Pola sebaran SPL dan klorofil-a pada musim timur dapat dilihat pada Gambar 16 dan Lampiran Musim peralihan timur - barat Musim peralihan timur - barat konsentrasi suhu permukaan laut (SPL) menunjukkan adanya peningkatan dominasi suhu dibandingkan dengan musim timur. Kisaran SPL dominan berada antara 26,51-29,50 o C. Kisaran konsentrasi SPL yang lebih tinggi dari 28,00 o C terlihat lebih dominan pada wilayah bagian selatan - barat, seperti perairan NTT, namun di perairan Wakatobi, perairan Kendari dan Banggai Kepulauan terlihat adanya SPL yang relatif lebih rendah dari o C. Kisaran SPL dominan yang lebih rendah dari 27,01 o C masih terlihat

72 52 terkonsetrasi di wilayah utara - timur Laut Banda dengan luasan yang semakin kecil dibandingkan dengan musim timur. Dinamika SPL dan klorofil-a pada musim peralihan timur - barat dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 12. A B Gambar 16 Sebaran suhu permukaan laut ( o C) (A) dan klorofil-a (mg/m 3 ) (B) musim timur.

73 53 A B Gambar 17 Sebaran suhu permukaan laut ( o C) (A) dan klorofil-a (mg/m 3 ) (B) musim peralihan timur - barat.

74 54 Konsentrasi klorofil-a musim peralihan timur - barat berkisar antara 0,20-1,25 mg/m 3. Konsentrasi yang lebih tinggi dari 0,75 mg/m 3 masih terlihat pada hampir seluruh perairan pulau - pulau yang ada di Laut Banda, pulau Buruh, pulau Seram, kepulauan Kei, kepulauan, pulau Tanibar, kepulauan Wakatobi, perairan Kendari dan Banggai Kepulauan. Sedangkan konsentrasi klorofil-a yang relatif lebih rendah dari 0,50 mg/m 3 terlihat tersebar merata diwilayah perairan Laut Banda. Pengujian akurasi suhu permukaan laut citra Aqua MODIS Level 3 dengan hasil pengukuran lapangan dilakukan pada saat malam hari. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai RMSE sebesar 1,23 dengan jumlah titik pengamatan sebanyak 14 titik (Lampiran 6a). Nilai RMSE ini menunjukkan bahwa tingkat akurasi satelit Aqua MODIS tergolong baik. Hasil uji RMSE juga menunjukkan bahwa secara umum nilai SPL citra Aqua MODIS Level 3 cenderung lebih rendah (underestimate) jika dibandingkan dengan hasil pengukuran data lapangan dengan kisaran perbandingan setiap titik pengamatan antara 0,54-3,28. Hasil analisis regresi antara suhu permukaan laut citra Aqua MODIS level 3 dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan korelasi (r) sebesar 0,726 serta koefisien korelasi (R 2 ) sebesar 0,527 atau 52,7% mampu memprediksi nilai SPL lapangan (Gambar 18). Verifikasi terhadap konsentrasi klorofil-a citra Aqua MODIS Level 3 tidak dilakukan kerena jumlah data pengamatan yang akan dianalisis hanya berjumlah 2 titik, akibat banyaknya lokasi dari data citra Aqua MODIS level 3 yang tertutupi awan (Lampiran 6b). Gambar 18 Perbandingan antara SPL in-situ dan SPL Citra Aqua MODIS level 3.

75 Sebaran Thermal Front dan Upwelling Tahun di Laut Banda Musim barat Fenonema thermal front di Laut Banda secara spasial pada musim barat terlihat terkonsentrasi disekitar perairan barat Laut Banda, seperti perairan NTT, kepulauan Waktobi dan Banggai Kepulauan dengan panjang rata - rata sekitar 20 km. Intensitas thermal front tertinggi terjadi pada tahun 2009 (secara temporal). Wilayah perairan pulau Seram dan pulau Buruh memperlihatkan adanya konsentrasi thermal front yang cukup tinggi pada tahun 2010, sementara pada tahun 2009 cenderung menyebar di seluruh perairan Laut Banda, namun di tahun sebelumnya (2008) terlihat thermal front hanya terjadi di pinggiran Laut Banda. Peta prediksi upwelling di Laut Banda saat musim barat antara tahun (Gambar 20) tidak menunjukkan adanya konsentrasi upwelling. Konsetrasi klorofil-a saat musim barat berkisar antara 0-0,25 mg/m 3 dan SPL antara 27,00-29,00 o C.. Sebaran secara spasial dan temporal thermal front dan upwelling pada musim barat dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20 serta Lampiran Musim peralihan barat - timur Dinamika thermal front pada musim peralihan barat - timur di Laut Banda secara spasial menunjukkan adanya perubahan lokasi dan luasan dari musim sebelumnya. Jika musim barat pusat terjadinya thermal front berada dibagaian barat Laut Banda, namun pada saat musim peralihan barat - timur terkonsetrasi di wilayah timur. Lokasi terjadinya thermal front saat musim barat terlihat di sebelah selatan pulau Buruh, bagian barat kepulauan Kei, pulau Wetar, Banggai Kepualuan dan perairan utara NTT. Jika dilihat secara temporal sebaran thermal front antara tahun relatif sama, walaupun pada tahun 2010 terlihat konsentrasi lebih tinggi di sekitar perairan antara Sulawesi Tenggara (kepulauan Wakatobi, perairan Kendari), perairan NTT dan pulau Buruh. Sementara itu fenomena upwelling saat musim peralihan barat - timur secara spasial tidak terlihat di Laut Banda. Peta prediksi thermal front dan upwelling pada musim peralihan barat - timur dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22 serta Lampiran 13.

76 56 Gambar 19 Sebaran thermal front musim barat tahun di Laut Banda. 56

77 57 57 Gambar 20 Sebaran upwelling musim barat tahun di Laut Banda.

78 58 Gambar 21 Sebaran thermal front musim peralihan barat - timur tahun di Laut Banda. 58

79 59 59 Gambar 22 Sebaran upwelling musim peralihan barat - timur tahun di Laut Banda.

80 Musim timur Pergerakan thermal front ketika musim timur secara spasial terpusat di dibagian utara Laut Banda sekitar perairan pulau Buruh, pulau Seram hingga kepulauan Kei dengan model thermal front yang cukup panjang yaitu sekitar 40 km dibandingkan lokasi yang lainnya. Secara temporal terlihat tahun 2009 jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan tahun yang lain (2008 dan 2009) baik dari segi luasan ataupu panjangnya. Sebaran fenomena upwelling pada musim timur secara spasial terpusat di wliayah utara dan timur yaitu sekitar pulau Buruh, pulau Seram, pulau Kei dan pulau Tanibar. Konsentrasi klorofil-a saat terjadi upwelling berkisar antara 0,4-1,50 mg/m 3 dengan kisaran SPL antara 25,50-26,76 o C. Pola peningkatan ini (upwelling) setiap tahunnya mengalami perubahan secara temporal, yaitu pada tahun 2008 terlihat adanya peningkatan di bagian timur - selatan Laut Banda (kepulauan Kei, kepulauan Tanibar hingga pulau Wetar, sementara di tahun 2009 terjadi perubahan lokasi ke wilayah utara - timur Laut Banda (pulau Buruh,Seram, dan Papua). Tahun 2010 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi upwelling jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di bulan yang sama (Juli), perubahan ini terlihat jelas di wilayah utara - selatan Laut Banda. Pola sebaran pergerakan thermal front dan upwelling dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 serta Lampiran Musim peralihan timur - barat Fenonema thermal front secara temporal menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 2008 ke tahun 2010 dengan bentuk front yang pendek (Lampiran 13). Intensitas thermal front tertinggi terjadi pada tahun Dinamika pergerakan thermal front pada musim peralihan barat - timur di Laut Banda secara spasial masih terlihat di wilayah perairan NTT, Banggai Kepulauan dan pulau Seram. Prediksi lokasi upwelling di Laut Banda pada musim peralihan barat - timur antara tahun secara umum masih menunjukkan adanya aktifitas upwelling, dibagian utara-timur Laut Banda, namun besaran konsentrasi klorofil-a mengalami penurunan yang berkisar antara mg/m 3 dengan kisaran SPL antara o C. Sebaran thermal front dan upwelling pada musim peralihan barat-timur dapat dilihat pada Gambar 25 dan 26 serta Lampiran 13.

81 61 61 Gambar 23 Sebaran thermal front musim timur tahun di Laut Banda.

82 62 62 Gambar 24 Sebaran upwelling musim timur tahun di Laut Banda.

83 63 63 Gambar 25 Sebaran thermal front musim peralihan timur - barat tahun di Laut Banda.

84 64 64 Gambar 26 Sebaran upwelling musim peralihan timur - barat tahun di Laut Banda.

85 Hubungan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Kendari dan Laut Banda Korelasi antara suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,484, kondisi ini menunjukkan adanya korelasi cukup dengan arah hubungan bersifat negatif yang mengindikasikan setiap penurunan suhu permukaan laut akan meningkatkan hasil tangkapan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) menunjukan nilai sebesar 0,234 yang bermakna bahwa suhu permukaan laut menentukan jumlah hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) sebesar 23,4% dan sisanya ditentukan oleh faktor lain (Lampiran 4). Hasil analisis regresi juga memperlihatkan bahwa kisaran SPL optimum ikan layang berkisar antara 26,50-28,60 o C. Adapun grafik hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27 Hubungan suhu permukaan laut ( o C) secara eks-situ terhadap hasil tangkapan ikan layang (kg) di perairan Kendari bulan September Januari Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,587 yang menunjukkan adanya korelasi kuat dengan arah hubungan bersifat positif yang mengindikasikan setiap peningkatan konsentrasi klorofil-a juga meningkatkan hasil tangkapan ikan layang (Gambar 28). Nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,345 yang artinya jumlah hasil tangkapan ikan layang di perairan Kendari ditentukan oleh klorofil-a sebesar 34,5% dan sisanya ditentukan oleh faktor lain (Lampiran 5).

86 66 Gambar 28 Hubungan Klorofil-a (mg/m 3 ) secara eks-situ terhadap hasil tangkapan ikan layang (kg) di perairan Kendari bulan September Januari Keterkaitan antara suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a citra Aqua MODIS terhadap CPUE ikan layang di Laut Banda setiap bulannya antara tahun (Lampiran 10) menunjukkan nilai CPUE ikan layang tertinggi terjadi pada bulan September tahun 2009 sebesar 3,394 ton/trip dengan SPL rata - rata sebesar 27,53 o C serta konsetrasi klorofil-a rata - rata sebesar 0,249 mg/m 3, nilai CPUE terendah terjadi pada bulan April tahun 2008 sebesar 0,214 ton/trip dengan kisaran rata - rata SPL pada bulan tersebut sebesar 28,57 o C dengan konsentrasi klorofil-a rata - rata sebesar 0,180 mg/m 3. Hubungan antara suhu permukaan laut dan CPUE ikan layang dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30. Fluktuasi rata - rata CPUE setiap bulannya menunjukkan pola perubahan yang bersifat musiman. Rata - rata CPUE tertinggi terjadi pada musim barat sedangkan CPUE terendah terjadi pada musim peralihan barat - timur dan timur barat. Pada Gambar 25 dan 26 menunjukkan bahwa setiap peningkatan SPL dan penurunan klorofil-a akan memberikan dampak pada penurunan nilai CPUE, sedangkan saat SPL mengalami penurunan dan terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a akan meningkatkan nilai CPUE ikan layang.

87 67 67 Gambar 29 Ikan Layang Suhu Permukaan Laut Hubungan suhu permukaan laut ( o C) dan CPUE (ton/trip) ikan layang (Decapterus spp). Ikan Layang Klorofil-a Gambar 30 Hubungan klorofil-a (mg/m 3 ) dan CPUE (ton/trip) ikan layang (Decapterus spp).

88 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Kendari dan Laut Banda Perairan Kendari Secara umum daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di perairan Kendari terbagai ke dalam 2 kelompok wilayah DPI, yaitu disekitar pulau Menui dan pulau Wawonii. Hasil analisis Multi Criteria Analysis (MCA) memperlihatkan daerah penangkapan ikan (DPI) yang tergolong potensial tinggi untuk ikan layang (Decapterus spp) berjumlah satu lokasi, yaitu pada posisi 122 o 57'31,12" BT dan 3 o 33'57,91" LS, sedangkan DPI yang tergolong potensial sedang sebanyak 6 lokasi, dan daerah penangkapan tergolong kurang potensial di perairan Kendari sebanyak 39 lokasi (Lampiran 8 dan 9). Adapun sebaran daerah penangkapan ikan di perairan Kendari dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31 Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di perairan Kendari. Berdasarkan citra Aqua MODIS mingguan memperlihatkan ikan layang (Decapterus spp) yang tertangkap di perairan Kendari berada pada kisaran suhu 25,02-29,77 o C dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,065-0,482 mg/m 3. Suhu optimum ikan layang (Decapterus spp) yang tertangkap di perairan

89 69 Kendari berada pada kisaran 26,73-28,03 o C dengan kisaran klorofil-a antara 0,141-0,482 mg/m Laut Banda Sebaran daerah penangkapan ikan (DPI) musim barat, memperlihatkan konsentrasi daerah penangkapan potensial sedang berada di perairan Sulawesi Tenggara (perairan Wakatobi, dan Muna, sekitar perairan Bangai Kepulauan, sedangkan DPI yang tergolong kurang potensial terlihat mendominasi diseluruh perairan Laut Banda. Untuk lokasi yang tergolong potensial tinggi hanya terlihat di wilayah perairan Banggai Kepulauan berupa spot - spot kecil. Peta prediksi daerah penangkapan potensial ikan layang saat musim barat dapat dilihat pada Gambar 32. Sebaran Daerah Penangkapan Ikan (DPI) pada musim peralihan barat - timur untuk daerah yang tergolong potensial tinggi mulai terlihat di beberapa wilayah berupa spot - spot kecil, seperti perairan kepulauan Seram, perairan antara kepulauan Kei dan Tanibar, perairan Kendari, dan periaran Banggai Kepulauan, sementara itu DPI yang tergolong potensial sedang memperlihatkan adanya peningkatan luasan wilayah di bagian timur dan barat Laut Banda (perairan pulau Buruh, kepulauan Seram, kepulauan Kei, kepulauan Tanibar, pulau Wetar, perairan NTT, kepulauan Wakatobi, perairan Kendari, dan Banggai Kepulauan). Wilayah DPI yang tergolong kurang potensial terlihat di bagian utara dan selatan Laut Banda (kepulauan Sula dan perairan NTT) memperlihatkan konsentrasi yang cukup besar. Penyebaran prediksi daerah penangkapan ikan layang saat musim peralihan barat - timur dapat dilihat pada Gambar 33.

90 70 Gambar 32 Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) Musim Barat di Laut Banda. Gambar 33 Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) Musim Peralihan Barat - Timur di Laut Banda. Daerah Penangkapan Ikan (DPI) yang tergolong potensial tinggi dan sedang pada musim timur menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi di bagian utara, timur dan barat Laut Banda secara signifikan dibandingkan musim sebelumnya, pusat konsentrasi terlihat di wilayah perairan pulau Buruh, pulau Seram, perairan antara kepulauan Kei dan Tanibar, perairan Wakatobi, perairan

91 71 Kendari dan Banggai Kepulauan. Sedangkan daerah yang tergolong kurang potensial terlihat mendominasi di bagian selatan Laut Banda (periaran NTT dan pulau Wetar).Tinggginya penyebaran DPI potensial tinggi dan sedang saat musim timur mengindikasikan bahwa merupakan puncak dari penangkapan ikan layang di Laut Banda (Gambar 34). Gambar 34 Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) Musim Timur di Laut Banda. Ketika memasuki musim peralihan timur - barat wilayah yang tergolong potensial tinggi dan sedang mulai mengalami penurunan luasan secara signifikan, dan hanya terlihat di beberapa wilayah saja, seperti di sekitar perairan antara pulau Buruh dan kepualuan Seram, Banggai Kepulauan, perairan Sulawesi Tenggara, kepulauan Kei dan kepualuan Tanibar. Penurunan wilayah yang tergolong potensial tinggi dan peningkatan wilayah yang tergolong peningkatan daerah penangkapan ikan yang tergolong kurang potensial menunjukkan fase awal adanya peralihan antara musim timur dan musim barat. Sebaran secara spasial daerah penangkapan potensial ikan layang di Laut Banda pada musim peralihan timur - barat dapat dilihat pada Gambar 35.

92 72 Gambar 35 Peta daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) Musim Peralihan Timur - Barat di Laut Banda.

93 73 5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Secara temporal sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun memperlihatkan adanya perubahan setiap tahunnya dan perubahan ini cenderung mengarah kepada peningkatan suhu permukaan lau. Kondisi ini terlihat jelas hampir disetiap bulan. Perbandingan antara bulan antara tahun secara umum menunjukkan pada bulan April - Agustus memiliki kisaran rata - rata SPL yang rendah (27,00-28,00 o C) dibandingan bulan yang lain (27, o C). Sukersno dan Kasa (2008) menunjukkan hal yang sama, yaitu pada musim timur nilai SPL lebih rendah dan musim barat memiliki SPL yang cenderung lebih hangat. Lebih lanjut dikatakan bahwa perubahan SPL ini dipengaruhi oleh ENSO dan perubahan musim itu sendiri. Suhu permukaan laut pada musim barat rata - rata 4 o C lebih panas daripada musim timur (Ilahude dan Gordon, 1996 vide Sulaiman, 2000). Bagian tengah Laut Banda pada musim timur mempunyai suhu muka laut antara 25,7 o C - 26,1 o C dan di musim barat suhu muka laut antara 29,6 o C o C. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada musim timur lapisan termokline lebih dangkal sekitar 40 meter, hal ini mengindikasikan adanya proses upwelling di laut Banda pada saat itu (Wyrtki, 1961). Pada bulan April - Juli terlihat adanya pergerakan massa air yang cenderung rendah (<26,00 o C) dari arah barat kearah timur laut Banda. Sementara pada bulan September hingga Desember menunjukkan adanya peningkatan suhu permukaan laut dari arah yang sebaliknya, namun pada bulan Januari hingga April mengalami peningkatan kembali. Bulan Maret, Mei dan Oktober merupakan fase peralihan setiap perubahan suhu permukaan laut diwilayah Laut Banda, kondisi ini terlihat dari adanya perubahan suhu permukaan laut yang drastis pada bulan sebelum dan sesudah bulan - bulan tersebut. Nontji (2005) mengemukakan bahwa pada musim peralihan barat - timur sekitar bulan April, arus ke timur ini mulai melemah bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi olakanolakan (eddies). Secara spasial suhu permukaan laut di bagian timur menunjukkan rata - rata kisaran yang lebih rendah (24,8-28,4 o C) dibandingkan dengan bagian barat (26,6-30,2 o C). Hasil penelitian yang dilakukan Sukresno dan Kasa (2008)

94 74 menyatakan bahwa perubahan SPL Laut Banda dibagian timur dipengaruhi oleh adanya perubahan musim, sedangkan dibagian Barat dipengaruhi oleh ITF. Berdasarkan hasil pengamatan citra Aqua MODIS Level 3 terhadap konsentrasi klorofil-a tahun terlihat bahwa secara temporal luasan konsentrasi klorofil-a mencapai puncaknya pada saat bulan Juni - Agustus, kondisi ini ditandai dengan sebaran konsentrasi klorofil-a tergolong tinggi (>0,5 mg/m 3 ) dibandingkan lokasi sekitarnya dan tersebar secara merata, kondisi ini jika dibandingkan dengan sebaran upwelling menunjukkan adanya kesesuaian pada bulan tersebut, sementara itu pada bulan Oktober - Desember dan bulan Maret - Mei merupakan bulan dimana konsentrasi klorofil-a yang cederung rendah (<0,3 mg/m 3 ). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sediadi (2004) menyatakan bahwa pada bulan Agustus (musim timur) proses upwelling di Laut Banda masih berlangsung dan ketika memasuki bulan Oktober proses upwelling di Laut Banda sudah selesai yang diindikasikan sebagai musim peralihan. Penelitian yang dilakukan oleh Edward dan Tarigan (2003) tentang kadar fosfat dan nitrat diperairan Laut Banda pada bulan Mei, Agustus, dan November menyimpulkan bahwa nitrat rata - rata pada pada bulan Agustus cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan Februari, Mei dan November. Kecenderungan peningkatan zat hara fosfat dan nitrat pada bulan Agustus memperlihatkan terjadinya proses upwelling di perairan Laut Banda pada musim timur dan musim peralihan II. Secara spasial penyebaran klorofil-a antara tahun menunjukkan konsentrasi yang yang cukup tinggi ada bagian utara - timur di Laut Banda pada bulan Juni - Agustus (musim timur), sementara dibagian selatan - barat (NTT, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah) konsentrasi klorofil-a cenderung lebih rendah, namun memasuki bulan januari (musim barat) dimana konsentrasi klorofil-a wilayah barat cenderung lebih tinggi dibandingkan wilayah yang lain. Perubahan ini menunjukkan adanya pergerakan konsentrasi klorofil-a dari bagian timur kebagian barat Laut Banda.

95 75 a Sumber : Wrytki (1961) b Gambar 36 Pola arus permukaan rata - rata bulanan di perairan Indonesia (a) bulan Februari, (b) bulan Agustus.

96 76 Jika merujuk hasil penelitian Wyrtki (1961) pada Gambar 36(a) menunjukkan arus permukaan bergerak dari Laut Jawa dan Selat Makassar masuk ke Laut Banda dari arah barat dan pada Gambar 36(b) menunjukkan adanya angin tenggara pada musim timur (Juli - Agustus) mendorong banyak massa air dari Laut Banda dan sekitarnya ke barat lewat Laut Flores dan masuk ke Laut Jawa, sehingga terjadi defisit air di permukaan yang harus diganti dari bawah, dan penaikan air tersebut itulah yang memicu terjadinya upwelling atau tarikan air pada bulan tersebut. Zijlstra et al vide Sediadi (2004) juga menjelaskan bahwa di perairan Laut Banda bagian timur terjadi proses downwelling antara bulan Februari - Maret, dimana pada bulan tersebut angin monsoon barat mendorong massa air dari Laut Jawa masuk ke Laut Banda bagian barat menuju utara sehingga menyebabkan terjadinya surplus massa air dibagian timur Laut Banda yang mengakibatkan terjadinya proses downwelling. Wilayah perairan seperti antara Papua dan Maluku, antara Sulawesi Tengah (Banggai Kepulauan) dan Maluku (Kepulauan Sula), perairan sekitar Wakatobi, serta bagian selatan Sulawesi Tenggara (pulau Muna) terlihat adanya konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi setiap bulannya antara tahun Kondisi ini mengindikasikan tingkat vegetasi pesisir (hutan mangrove) di wilayah tersebut masih tergolong baik sehingga asupan nutrien esensial seperti nitrat, fosfat dan silikat dari wilayah daratan cukup tinggi didukung lagi oleh karateristik wilayah tersebut yang bersifat semi tertutup menjadi penyebabnya. Secara umum lokasi upwelling merupakan wilayah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang tinggi sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai lokasi penangkapan potensial ikan secara umum dan khususnya jenis pelagis kecil. Parson et al (1987) vide Sunarto (2008) melakukan permbandingan antara wilayah perairan yang memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi (lokasi upwelling) dengan wilayah perairan lain kemudian menghubungkan dengan produktifitas ikan, menyatakan bahwa produksi ikan di daerah upwelling lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya (Tabel 16).

97 77 Tabel 16 Estimasi produksi ikan pada tiga komponen laut Lingkungan Laut Rataan Prod. Primer (g C/m 2 /th) Trophic level Efisiensi (%) Oseanik Continental Shelf Produksi Ikan (mg C/m 2 /th) Upwelled ,000 Sumber : Parson et al (1987) vide Sunarto (2008) Tomasik et al (1997) vide Sunarto (2008) juga menjelaskan bahwa pada periode upwelling potensi sumberdaya ikan lebih tinggi dibadingkan dengan periode downwelling (Tabel 17). Tabel 17 Rata - rata biomas fitoplankton (klorofil-a), zooplankton, mikronekton dan produksi ikan di Laut Banda yang diukur selama periode upwelling (Agustus 1984) dan downwelling (Februari 1985) Komponen Stok Upwelling (g c/m 2 ) Downwelling (g c/m 2 ) Fitoplankton Zooplankton Micronekton Sumberdaya Ikan Sumber : Tomascik et al (1997) vide Sunarto (2008) Menurut Simblon (2011) selain faktor suhu permukaan laut dan klorofil-a, juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi dinamika pergerakan ikan layang, antara lain salinitas dan arus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ikan layang tergolong stenohaline yaitu menyukai perairan yang memiliki salinitas yang tinggi. Kisaran salinitas optimum ikan layang menurut Lussinap et al (1970) vide Simbolon (2011) adalah 32,0 o / oo - 32,5 o / oo. Penyebaran ikan layang di perairan utara jawa menunjukkan bahwa migrasi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh salinitas dan arus. Ikan layang melakukan migrasi masuk dan keluar laut jawa mengikuti arus yang massa airnya memiliki salinitas tinggi yang tentunya juga terkait dengan adanya perubahan musim. Hasil penelitian yang dilakukan Amri (2008) menunjukkan bahwa ikan layang banyak tertangkap di Selat Sunda saat musim

98 78 timur dan peralihan timur - barat dengan kisaran salinitas antara 31,4-33,7 o / oo dan kondisi arus sedang dan kuat. 5.2 Sebaran Fenomena Upwelling dan Thermal Front di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal. Lokasi yang menjadi pusat konsentrasi upwelling dan thermal front di Laut Banda secara spasial terbagi kedalam dua kategori, yakni di wilayah (1) utara - timur dan (2) barat Laut Banda. Hal ini terlihat dari tingginya klorofil-a di wilayah tersebut serta terbentuknya suhu perairan yang hangat dibandingkan dengan wilayah lainnya. Bulan Juni - September (temporal) di wilayah tersebut menunjukkan puncak/waktu terjadinya upwelling dan thermal front dalam jumlah besar, walaupun pada bulan yang lain juga menunjukkan adanya fenomena upwelling. Peta prediksi sebaran daerah upwelling di Laut Banda menunjukkan adanya 2 pola, yaitu (1) upwelling yang bersifat musiman yang terjadi di daerah pulau Buruh, pulau Seram, kepulauan Kei, pulau Wetar, pulau Alor (NTT). Pola pertama ini terjadi akibat adanya pergerakan massa air dari samudera pasifik masuk ke Laut Banda melalui bagian utara dan timur yang terus bergerak kearah barat Laut Banda menuju perairan pulau Jawa. Pergerakan ini kemudian menyebabkan adanya kekosongan air di wilayah utara dan timur Laut Banda sehingga memicu naiknya massa air lapisan bawah yang kaya akan nutrien untuk mengisi kekosongan tersebut, kondisi ini menurut Nontji (2005) terjadi pada musim timur, sedangkan ketika musim barat (November - Maret) tejadi proses sebaliknya, yakni massa air dari Laut Jawa dan Sulawesi masuk ke Laut Banda dari arah barat yang mengakibatkan terjadi downwelling di bagian utara dan timur Laut Banda (seperti di pulau Buruh, Seram, dan Kepulauan Kei). Pola ini dijelaskan oleh Dahuri et al (1996) vide Susanto (2008) termasuk dalam jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam. Pola yang kedua (2) upwelling yang terjadi setiap bulan seperti di beberapa wilayah seperti perairan sebelah barat kepulauan Wakatobi, Banggai Kepulauan dan perairan Kendari. Dahuri et al

99 79 (1996) vide Sunarto (2008) mengkategorikan pola ini kedalam jenis upwelling tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah - ubah. Lokasi terjadinya upwelling jenis ini berada di wilayah pesisir. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kondisi ini terjadi, seperti kondisi arus (ekman, pasang surut, termohaline, geostropik, dll), struktur dasar perairan, ataupun karena ITF (Indonesian Through Folow), seperti yang dikemukakan oleh Sukresno dan Kasa (2008) bahwa upwelling di bagian barat Laut Banda lebih disebabkan oleh ITF (Indonesian Through Folow) yaitu suatu aliran massa air dalam jumlah besar yang terjadi antara samudera Pasifik dan samudera Hindia yang melalui wilayah perairan Indonesia akibat ada perbedaan tekanan pada kedua samudera tersebut. Namun sejauh pengamatan yang dilakukan bahwa hingga saat ini pola upwelling yang kedua belum ada penelitian yang memberikanan penjelasan secara mendetail mengenai pola upwelling di wilayah tersebut. 5.3 Akurasi Satelit Aqua MODIS Akurasi satelit Aqua MODIS level 3 secara umum mengindikasikan ada trend nilai SPL yang cenderung underestimated dari pengukuran in-situ. Asumsi/penjelasan yang paling sering digunakan untuk menjelaskan kondisi ini yaitu akibat adanya tutupan awan ketika proses perekaman satelit berlangsung, penggunaan alat serta kesesuaian waktu pengukuran lapangan dengan waktu perekaman satelit berlangsung. akibatnya terkadang tidak memberikan gambaran sebenarnya mengenai kondisi SPL perairan. Dokumen ATBD 25, memberikan penjelasan bahwa nilai error dari standart algoritma SPL satelit Aqua MODIS sebesar 0,337K (Brown and Minnet, 1999). Namun beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi satelit MODIS, antara lain Khalil (2007) yang melakukan uji tingkat akurasi SPL dan klorofil-a satelit MODIS level 2, memperoleh nilai RMSE (IDW) SPL sebesar 1,35 o C dan RMSE (Kriging) sebesar 1,21 o C dan RMSE (IDW) klorofil-a sebesar 1,01 mg/m 3 dan RMSE (Kriging) 1,22 mg/m 3, lebih lanjut dijelaskan bahwa SPL hasil satelit Aqua MODIS cederung underestimate dan klorofil-a cenderung overestimated jika dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barbini et al (2004) bahwa adanya trend

100 80 overestimated terhadap klorofil-a (satelit MODIS) yang memiliki nilai konsentrasi yang rendah dan cenderung underestimated untuk konsentrasi klorofil-a yang tinggi. Namun ada juga penelitian yang dilakukan oleh Uiboupin dan Sipelgas (2007). yang menyakatan bahwa tingkat akurasi satelit Aqua MODIS untuk memprediksi SPL di perairan Hiiumaa, Estonia tergolong cukup akurat dengan nilai RMSE berkisar antara 0,5-0,7. Terdapat dua penjelasan yang paling dianggap sesuai untuk menjelaskan kondisi ini yaitu (1) validasi in-situ (wilayah) yang dilakukan dalam penyusunan algoritma klorofil-a satelit MODIS (Gambar 37) tidak dilakukan oleh SeaWiFS Bio Optical Archive and Storage System (SeaBass) pada wilayah penelitiannya (perairan Indonesia) (Khalil, 2007), (2) Karena adanya perubahan suhu harian yang ekstrim karena nilai radiansi yang direkam oleh sensor berasal dari lapisan permukaan laut yang sangat tipis yakni sekitar 0,1 mm, sehingga menyebabkan suhu permukaan laut saat siang hari akan meningkat dari suhu sebenarnya. Sebaliknya pada malam hari, udara dingin menyebabkan suhu permukaan laut satelit menjadi lebih rendah (Gaol, 2003). Sumber : Khalil, 2007 Gambar 37 Lokasi pengamatan SeaBass Tahun Kondisi SPL yang cenderung underestimate dan klorofil-a yang cenderung overestimate, di perairan Indonesia, kemudian menimbulkan adanya wacana mengenai penyusunan algoritma yang berskala lokal, sehingga hasil perekaman satelit dapat memberikan gambaran mengenai kondisi yang sebenarnya dalam segala kondisi. Sebagaimana yang dikemukakan Nababan et al (2009) bahwa salah satu tantangan yang di hadapi teknologi remote sensing di Indonesia adalah pentingnya penggunaan algoritma yang bersifat lokalitas.

101 Hubungan Antara Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang di Laut Banda Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan, walaupun nilai koefisien determinasi (R 2 ) parameter SPL dan klorofil-a terlihat rendah. Kondisi ini mengindikasikan adanya faktor - faktor lain yang berpengaruh selain suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap dinamika pergerakan ikan layang seperti salinitas dan arus. Menurut Burhanuddin et al (1983) vide Adrius (2007) bahwa ada empat parameter oseanografi yang utama dalam mempengaruhi ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) ikan layang yaitu: salinitas perairan, suhu permukaan laut (SPL), kelimpahan makanan dan arus laut. Ikan layang melakukan ruaya (migrasi) mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi. Asikin (1971) vide Adrius (2007) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang disenangi ikan layang antara 32,00-33,75 o / oo. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Amri (2008) menunjukkan ikan layang tertangkap pada kisaran salinitas antara 31,00-33,7 o / oo. Secara umum suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap CPUE ikan layang antara tahun menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Setiap kenaikan SPL dan penurunan klorofil-a akan diikuti penurunan CPUE ikan layang begitu pula sebaliknya penurunan SPL dan peningkatan klorofil-a akan diikuti oleh peningkatan CPUE. Musim timur menunjukkan CPUE ikan layang yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim yang lain dengan nilai rata - rata SPL berkisar antara 28,29-28,17 o C dan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,183-0,380 mg/m 3. Nilai CPUE rendah terjadi pada musim barat dengan rata - rata SPL antara 26,96-28,75 o C dan klorofil-a sebesar 0,121-0,198 mg/m 3. Menurut Prasetyo dan Suwarso (2010) ikan layang pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, namun terjadi fluktuasi secara bulanan/musiman, dalam kondisi ini musim puncak penangkapan terjadi pada musim timur dan musim paceklik terjadi pada musim barat. Perbandingan secara temporal antara tahun menunjukkan nilai rata - rata SPL lebih rendah dan klorofil-a lebih tinggi pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2009 dan 2010 yang cederung stabil, namun nilai CPUE tahun 2008 lebih rendah. Kondisi ini diindikasikan berkaitan dengan

102 82 adanya siklus tahunan perubahan iklim global (El Nino dan La Nina). Pada saat terjadi La Nina suhu permukaan laut di kawasan tengah dan timur ekuator samudera pasifik menjadi lebih dingin sekitar 4,0-6,0 o C dibandingkan dengan tahun yang lainnya, sehingga suhu perairan Indonesia menjadi lebih hangat akibat adanya aliran massa air dari wilayah samudera pasifik ke perairan Indonesia karena adanya perbedaan tekanan, sedangkan peristiwa El Nino merupakan kebalikan, yaitu suhu muka laut di ekuator pasifik tengah lebih tinggi dibandingkan dengan rata - rata suhu perairan Indonesia, sehingga terjadi aliran massa air dari perairan Indonesia ke wilayah samudera pasifik. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukresno dan Suniada (2008) juga menyimpulkan bahwa adanya korelasi antara periode ENSO terhadap produktifitas primer di Laut Banda yang pada akhirnya mempengaruhi pergerakan dan kelimpahan ikan, selanjutnya dijelaskan bahwa sekitar bulan Agustus pada tahun 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan produktifitas primer perairan melonjak naik seiring dengan naiknya index ENSO. 5.5 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kendari dan Laut Banda Peta prediksi daerah penangkapan potensial tinggi dan sedang ikan layang saat musim peralihan barat - timur dan musim timur menunjukkan bahwa ikan tersebut terkonsetrasi di perairan Laut Banda sebelah utara hingga timur seiring dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan SPL yang sesuai akibat adanya upwelling dan thermal front, walaupun di wilayah barat juga menunjukkan adanya lokasi DPI yang tergolong potensial sedang saat musim timur. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan Irham et al (2008) di perairan Maluku Utara (sekitar pulau Seram) menunjukkan bahwa puncak musim penangkapan ikan Layang (Decapterus spp) terjadi pada bulan Agustus (musim timur). Luasunaung (2011) juga melakukan penelitian tentang musim penangkapan ikan teri (Stolephorus sp) di Teluk Dodinga Kabupaten Halmahera Barat menyimpulkan bahwa pada tahun 2008 puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juni dan pada tahun 2009 terjadi pada bulan Juli, kemudian mengalami penurunan pada bulan selanjutnya (Gambar 38).

103 83 Sumber : Luasunaung (2011) Gambar 38 a Musim Penangkapan Ikan Teri di Teluk Dodinga, Kabupaten Halmahera Barat, (a) Tahun 2008, (b) Tahun Saat memasuki musim peralihan timur - barat dan musim barat, ikan layang kemudian diprediksi melakukan migrasi kearah barat Laut Banda Hal ini terlihat dari adanya daerah penangkapan potensial tinggi dan sedang pada wilayah tersebut. Menurut Burhanuddin et al (1983) vide Simbolon (2011) bahwa kehidupan ikan layang khususnya jenis Decapterus russelli dan D. layang sangat tergantung pada plankton, terutama zooplankton, sehingga kedua jenis ini akan mencari daerah yang banyak mengandung plankton, sehingga salah satu tujuan ikan melakukan migrasi adalah untuk mencari sumber makanan (feeding migration). Terkait dengan adanya berbagai model klasifikasi serta penentuan parameter yang berpengaruh terhadap pembentukan sebuah daerah penangkapan ikan khususnya parameter suhu permukaan laut dan klorofil-a telah banyak diterapkan dalam berbagai penelitian pada bidang perikanan tangkap menjadi alasan utama mengenai perlunya penyusunan sebuah indeks atau klasifikasi yang lebih baku. Hal ini menjadi penting ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan mendasar tentang keakuratan sebuah prediksi daerah penangkapan ikan. Pada sektor pertanian telah banyak dilakukan penyusunan indeks atau klasifikasi yang lebih seragam, seperti kelas kesesuaian lahan pertanian, indeks kekeringan pertanian, kelas kemampuan lahan. Sektor kehutanan juga telah memberikan berbagai pengkategorian dan penyusunan indeks, seperti klasifikasi hutan dan indeks kebakaran hutan. Penyusunan indeks atau klasifikasi daerah penangkapan ikan khusunya ikan layang tentunya akan terus mengalami perubahan dalam perkembangannya, namun diharapakan hal ini akan menjadi langkah awal dalam b

104 84 mempelajari dan pengembangan klasifikasi daerah penangkapan ikan sehingga pada akhirnya nanti dapat dihasilkan peta prediksi daerah penangkapan yang lebih baik dan akurat yang pada akhirnya membantu nelayan dalam memberikan hasil tangkapan yang lebih baik. Sebagai contoh, misalnya penelitian mengenai pengaruh suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap kelimpahan ikan telah banyak dilakukan yang pada kesimpulannya menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap pola migrasi dan pergerakan ikan diperairan, tetapi belum adanya klasifikasi SPL dan klorofil-a yang lebih seragam, menyebabkan adanya kecenderungan penentuan daerah penangkapan ikan berdasarkan SPL dan klorofil-a menjadi lebih beragam dan kurang jelas. Penentuan daerah penangkapan ikan layang di Laut Banda berdasarkan parameter suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengumpulan data lapangan (in-situ) di perairan Kendari. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi hasil analisis peta prediksi daerah penangkapan ikan layang di Laut Banda. Keterbatasan data dan informasi secara time series mengenai waktu, lokasi penangkapan serta kondisi oseanografi yang mempengaruhi dinamika pergerakan ikan layang (in-situ) dari stakeholder yang terlibat menjadi kendala utama. Sehingga kedepannya diperlukan adanya upaya secara sistematis dan terencana dari pihak yang terkait baik level pusat hingga daerah untuk mendorong pelaksanaan pendataan (log book) aktifitas penangkapan yang dilakukan nelayan khususnya nelayan skala kecil. Hal ini menjadi penting, sebab pendataan (log book) ini menjadi kunci bagi keberlanjutan industri perikanan tangkap karena sulitnya mengetahui secara langsung keberadaan ikan layang di perairan dengan kasat mata bahkan teknologi satelit sekalipun. Adanya pendataan yang terintegrasi dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan dapat melihat dengan jelas bagaimana trent tangkapan ikan layang setiap tahunnya, lokasi penangkapan potensial, jumlah hasil tangkapan, pengawasan aktifitas penangkapan dan lain sebagainya.

105 85 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. a. Variasi sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun secara spasial rata - rata berkisar antara 24,8-30,2 o C. Secara temporal nilai rata - rata SPL musiman tertinggi terdapat pada musim barat dan terendah terjadi pada musim timur. b. Variasi konsentrasi klorofil-a antara tahun secara spasial berkisar antara 0,08-2,50 mg/m 3 dan secara temporal nilai rata - rata klorofil-a tertinggi terjadi pada musim timur sedangkan terendah terjadi pada musim barat. 2. Keberadaan upwelling dan thermal front secara spasial diduga terjadi dibagian utara - timur Laut Banda, jika dibandingkan dengan wilayah bagian selatan - barat dan secara temporal terjadi saat musim timur dan peralihan timur-barat. 3. Hubungan antara suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan ikan layang menunjukkan korelasi yang cukup signifikan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,484, sedangkan hubungan antara klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang menunjukkan korelasi yang kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0, Puncak prediksi daerah penangkapan potensial tinggi untuk ikan layang di Laut Banda secara temporal terjadi pada musim timur, sedangkan secara spasial wilayah bagian utara - timur menunjukkan luasan daerah penangkapan potensial tinggi lebih luas dibandingkan bagian selatan - barat Laut Banda.

106 Saran Disamping kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini, juga terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan, antara lain : 1. Perlu adanya penambahan parameter oseanografi lain, seperti, salinitas dan arus dalam melakukan pemetaan prediksi daerah penangkapan ikan, sehingga diperoleh hasil pemetaan yang lebih baik. 2. Perlunya penelitian mengenai penyusunan klasifikasi kisaran suhu permukaan laut dan klorofil-a sehingga dalam melakukan pembagian tinggi, sedang dan rendah bisa lebih diseragamkan. 3. Optimalisasi upaya penangkapan ikan layang di Laut Banda sebaiknya dilakukan saat musim timur agar dapat memberikan pendapatan yang lebih baik bagi nelayan purse seine. 4. Perlunya perbaikan sistem pendataan perikanan tangkap, dalam hal ini pencatatan (log book) mengenai waktu dan posisi penangkapan serta kondisi perairan setiap lokasi penangkapan, agar memudahkan proses penentuan daerah penangkapan potensial ikan layang lebih akurat.

107 87 DAFTAR PUSTAKA Andrius Model spasial informasi daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp) di antara perairan Selat Makassar dan Laut Jawa [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Amri K Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a, dan Arus) Dengan Hasil Tangakapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amri K Analisis Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Sunda. Jurnal Riset Perikanan Tangkap. Volume 14(1): Arronoff, Stan., Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa : WDL Publication. Azhari T.A. 1994, Pendugaan produktifitas primer laut banda pada bulan Agustus - September 1993 [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Brown J, Colling A, Park D, Phillips J, Rothery D, Wright J Ocean Chemistry and Deep Sea Sediments. Open University. Brown J.O and Minnet J.P MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm. Algorithm Theoretical Basic Document Version 2.0. University of Miami. Miami-Florida. Burrough P.A Principles of Geographical Information System for Land Resources Management. Oxford : Clarendon Press. Cayula F.J and Cornillon P Multi-Image Edge Detection for SST Images. Jurnal Americn Meteorological Society. Volume 12: [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, 2009, Penelitian Pola Migrasi Ikan Pelagis di Perairan Laut Kabupaten Pangkep. Proyek Kerjasama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep dengan CV. Pratama Consultants. Edward dan Tarigan M.S Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kadar Fosfat dan Nitrat di Laut Banda. Makara Sains. Volume 7 (2): Ekadinata A, Dewi S, Hadi D, Nugrogo D, Johana F Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumberdaya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan jauh Menggunakan ILWIS Open Source. World Agroforestry Center. Bogor. Indonesia. Gaol J.H Kajian Karakteristik Oseanografi Samudra Hindia Bagian Timur Dengan Menggunakan Multi Sensor Citra Satelit Dan Hubungannya Dengan

108 88 Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.. Gulland J.A Fish Stock Assessment (A Manual of Basic Methods). FAO/Wiley Series on Food and Agricultural. Hutabarat S Pengaruh kondisi oseanografi terhadap perubahan iklim, produktifitas dan distribusi biota laut [Pidato pengukuhan guru besar madya dalam ilmu oseanografi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. Irham, Wisudo S.H, Haluan J, Wiryawan B Parameter Populasi dan Pola Musim Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) di Perairan Maluku Utara. Buletin PSP. Volume 17(2). [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan ; Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. Dirjen Perikanan Tangkap. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Potensi Sumberdaya Ikan Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan. Komite Nasional Pengkajian Stok Ikan. Khalil I.B Seasional and Spatial Variability of Sea Surface Temperature (SST) and Chlorophyll-a Concentration Using MODIS Data in East Kalimantan Waters, Indonesia. [thesis]. Internasional Institute for Geo- Information Science and Earth Observation, Enschede, The Netherlands. Lilesand T.M dan Kiefer R.W Remote sensing and image interpretation. John Willey and Sons. Nee York. Luasunaung A Analisis Musim Penangkapan Ikan Teri (Stolephorus sp) di Teluk Dodinga, Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, Volume 7(1):6-11. Maccherone B About MODIS. [diakses tanggal 6 Agustus 2010]. Madjid I.Y Study of potential fishing ground for skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) in sawu sea east nusa tenggara province using satellite remote sensing and fishery data [thesis]. Denpasar: Postgraduate Program, Udayana University. Mattjik A.A dan Jaya I.S Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. IPB Press. Bogor. Muklis Pemetaan daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan utara Nangroe Aceh Darussalam [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mukhlishin H Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut Dengan Menggunakan Citra Satelit NOAA/AVHRR-2 Untuk Menentukan Front dan

109 89 Upwelling di Perairan Selatan Jawa. [skripsi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muhsoni F.F, Efendy M, Triajie H Concentration Estimate Alogarithm Model Klorofil-a Based on Satellite Image Data Lansat TM For Location Mapping Fishing Ground at Madura. Materi Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan. Nababan B. et al Pengembangan Spesifiaksi Teknik dan Algoritma Untuk Aplikasi Perikanan dan Kelautan Dalam Rangka Pengembangan Satelit LAPAN-IPBsat Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Hasil Penelitian IPB. Bogor. Nelwan A.F.P Dinamika hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw V.P.H Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Nontji A Laut Nusantara [edisi revisi]. Djambatan. Jakarta. Nontji A Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta. Nurhakim S Biology et Dynamique du Banyar Rastrelliger kanagurta (Teleosteen-Scombridae) dans la pecherie des grands senneurs en mer de Java. [These]. Univ. Bretagne Occidentale, Brest, French. O Reilly J.E. et al Sea WiFS Postlaunch Calibration and Validation Analyses, Part 3, NASA Technical Memorandum. Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Tahun Kendari Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Tahun Kendari Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Tahun Kendari. Peraturan Menteri Kementrian Kelautan dan Perikanan No.1 Tahun 2009 Tentang Wilayah Pengelolan Perikanan Indonesia. Prahasta E Konsep - Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika Bandung. Bandung Purwadhi S.H Interpretasi Citra Digital. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Prasetyo A.P dan Suwarso Produktivitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp) Hubungannya dengan Fenomena Enso di Selat Makassar bagian Selatan, Jurnal Marine Fisheries.Volume 1(2):

110 90 Presetiahadi K Kondisi Oseanografi Perairan Selat Makassar pada Juli 1992 (Musim Timur) [Skripsi], Bogor ; Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Safruddin dan Zainuddin., M., Prediksi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berdasarkan Kondisi Oseanografi di Perairan Kabupaten Takalar dan Sekitarnya. Jurnal Sains dan Teknologi. Volume 8 (2): Sarwono J Statistik itu Mudah : Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. CV. Andi Offset. Yogyakarta. Sediadi A Dominasi Cyanobacteria pada Musim Peralihan di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Makara Sains. Volume 8(1):1-14. Sediadi A. 2004, Efek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi Fitoplankton di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Makara Sains, Volume 8(2): Semedi B dan Dimyati RD Study of Short Mackerel Catch, Sea Surface Temperature, and Chlorophyl-a in the Makassar Strait. Internasional Jurnal of Remote Sensing and Earth Sciences. Volume 6: Sengaji E dan Nababan B Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. E-jurnal: Ilmu dan Teknologi Kelautan. Volume 1(1): Simbolon D dan Tajuddah M Pendugaan Front dan Upwelling Melalui Interpretasi Citra Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara. Buletin PSP.Volume 17(3): Simbolon D. et al Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Penerbit Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Simbolon D Bioekologi dan Dinamika Penangkapan Daerah Penangkapan Ikan. Cetakan Pertama. Penerbit Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Stowe K Ocean Science. John Willey and Sons. New York. Sudirman dan Nessa, N Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. Cetakan Pertama. UMM Press. Malang. Sunarto Peranan Upwelling Terhadap Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Sukresno B dan Kasa I.W Dynamical Analysis of Banda Sea Concerning With El Nino, Indonesian Through Flow and Monsoon By Using Satellite Data and Numerical Model. Jurnal Echotrophic. Volume 3(2):87-91.

111 91 Sukresno B dan Suniada K.I Observasi Pengaruh Enso Terhadap Produktifitas Primer dan Potensi Perikanan Dengan Menggunakan Data Satelite di Laut Banda. Jurnal Balai Riset dan Observasi Kelautan-LIPI. Sulaiman A Turbelensi Laut Banda (Studi Pendahuluan ARLINDO Microstructure). Direktorat Teknologi Invertarisasi Sumberdaya Alam (TISDA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. Supangat dan Susana, Pengatar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Susanto V Some Problems Of Fisheries Research With Special Reference To The Rastrelliger Fishery. Proc. I.P.F.C. Volume 9(3): Sinaga M.P Analisis hasil tangkapan pukat ikan kaitannya dengan kandungan klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Tapanuli Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soenarmo S.H Catatan kuliah : Penginderaan Jarak Jauh Dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis (untuk bidang ilmu kebumian). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Solanki H.U, Mankodi PC, Nayak SR, Somvanshi VS Evaluation Of Remote Sensing Based Potential Fising Zones (PFZS) Forecast Methodology. New York : Elseiver Scientific Publishing Company. Volume 25: Syah A.F Distribusi Vertikal Klorofil-a di Perairan Laut Banda Berdasarkan Neural Network. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tenrisa'na A Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penentuan Pla Pergerakan Gerombolan Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Pangkep.[skripsi]. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Tomascik T, Nontji A, Mah AJ, Moosa MK The Ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesian Series. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Uiboupin R and Sipelgas L Comparison of Satellite Sea Surface Temperature With In Situ Surface Layer Temperature. Proc. Estonian Acad. Sci. Biol. Ecol. Marine System Institute, Tallinn University of Technology. Website : [diakses tanggal 6 Agustus 2010]. Website : [diakses tanggal 6 Agustus 2010]. Website : [diakses tanggal 6 Agustus 2010].

112 92 Website : [diakses tanggal 6 Agustus 2010]. Website : [diakses tanggal 6 Agustus 2010]. Widodo J dan Suadi Pengolahan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada Universuty Press. Yogyakarta. Wyrtki K Physical Oceanography of The Southeast Asia Waters. Naga Report Volume 2. The Scripps Institut of Oceanography. University of California, La Jolla, California. Zainuddin M Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penelitian Perikanan Dan Kelautan. Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar September Zen M, Simbolon D, Gaol J.L, Hartojo W Pengkajian Zona Potensial Penangkapan Ikan Kembung (Rastelliger spp) di Kabupaten Asahan Sumatera Utara. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap IPB.

113 Lampiran 1. Alat tangkap Pukat cincin (purse seine) 93

114 Lampiran 2. Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) 94

115 95 Lampiran 3. Konstruksi rumpon yang digunakan (pelampung tanda) (aktraktor)

116 96 Lampiran 3 (Lanjutan) (pemberat) (Tali)

117 97 Lampiran 4. Analisis regresi suhu permukaan laut dan hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) menggunakan SPSS 17 No Jumlah Hasil Tangkapan (kg/hauling) SPL ( o C) Citra Harian Aqua MODIS Level Regresi SPL dan Hasil Tangkapan (Layang) Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), SPL

118 98 Lampiran 4 (Lanjutan) ANOVA b Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), SPL b. Dependent Variable: Hasil_Tangkapan Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) SPL a. Dependent Variable: Hasil_Tangkapan

119 99 Lampiran 5. Analisis regresi hubungan klorofil-a dan hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp) menggunakan SPSS 17 NO Jumlah Hasil Tangkapan (Kg/hauling) Klorofil_a (mg/m 3 ) Citra Aqua MODIS Level Regresi Klorofil-a dan Hasil Tangkapan (layang) Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), Klorofil_a ANOVA b Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), Klorofil_a b. Dependent Variable: Hasil_Tangkapan Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) Klorofil_a a. Dependent Variable: Hasil_Tangkapan

120 100 Lampiran 6. Data uji akurasi satelit Aqua MODIS Level 3 A. Suhu Permukaan Laut NO X' (SPL Citra Harian) X (SPL insitu) (X-X')^ Jumlah RMSE 1.23 Keterangan : 1. SPL : Suhu Permukaan Laut ( o C) Regresi SPL Citra dan SPL Insitu Model R R Square Model Summary Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a a. Predictors: (Constant), SPL_Citra ANOVA b Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), SPL_Citra b. Dependent Variable: SPL_Insitu Model Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) SPL_Citra a. Dependent Variable: SPL_Insitu t Sig.

121 101 Lampiran 6 (Lanjutan) B. Klorofil-a (mg/m 3 ) No. CHl_a (insitu) Chl_a (Citra) No. Sampel NaN 1 2 tt NaN NaN NaN NaN NaN NaN 5 8 tt NaN NaN 7 10 tt NaN tt NaN tt NaN 15 Keterangan NaN : No Data (tertutup awan) tt : Tidak terdeteksi (0.0000)

122 Lampiran 7. Peta Lokasi Pengambilan Sampel 102

123 103 Lampiran 8. Hasil Analisis Setiap Parameter Daerah Penangkapan Ikan Layang di Perairan Kendari Posisi Parameter SPL Parameter Parameter Thermal Parameter Klorofil-a Citra Mingguan Upwelling Front Citra Mingguan Parameter CPUE Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot Y X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X (Lintang) (Bujur) Skor Skor Skor Skor Skor tdk tdk tdk tdk tdk ada tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk ada tdk tdk tdk ada tdk

124 104 Lampiran 8 (Lanjutan) Posisi Parameter SPL Parameter Parameter Thermal Parameter Klorofil-a Citra Mingguan Upwelling Front Citra Mingguan Parameter CPUE Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot Y X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X (Lintang) (Bujur) Skor Skor Skor Skor Skor ada tdk ada tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk ada tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk

125 105 Lampiran 8 (Lanjutan) Posisi Parameter SPL Parameter Parameter Thermal Parameter Klorofil-a Citra Mingguan Upwelling Front Citra Mingguan Parameter CPUE Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot Y X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X Nilai Skor X (Lintang) (Bujur) Skor Skor Skor Skor Skor tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk tdk

126 106 Lampiran 9. Hasil Analisis Multi Criteria Analysis (MCA) Pemetaan Daerah Penangkapan potensial Ikan Layang di Perairan Kendari. Y (Lintang) X (Bujur) Nilai_DPI Kelas_DPI

127 107 Lampiran 9 (Lanjutan) Y (Lintang) X (Bujur) Nilai_DPI Kelas_DPI

128 108 Lampiran 10. Rata -rata bulanan CPUE Ikan Layang, Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Tahun Tahun Bulan Ikan Klorofil-a Suhu Permukaan Laut Layang Rata - Standar Rata - Standar Rata Deviasi Rata Deviasi Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

129 109 Lampiran 11. Hasil uji laboratorium klorofil-a LABORATORIUM KUALITAS AIR JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Kampus Tamalanrea,Jln.Perintis Kemerdekaan KM.10 Telp ( Ext.2373,2394) FAX Makassar No : 04 /Lab.Air/I/2012 Pemilik sampel : Edi Hamka (Mahasiswa S2) Tanggal terima sampel : 05 Januari 2012 Jumlah sampel : 16 Jenis sampel Asal Sampel : Air laut : Kendari Data Hasil Analisis No Kode Sampel Parameter Klorofil a (mg/m3) ` 1 St St St.3 tt 4 St St St.6 tt 7 St St St St.10 tt 11 St.11 tt 12 St St St.14 tt 15 St St Keterangan : tt = tidak terdeteksi Makassar, Februari 2012 Mengetahui Analis, Fitriyani, S.Si Pengelola Lab, Ir. Badraeni, MP Nip: Nip:

130 110 Lampiran 12. Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di Laut Banda Tahun Januari SPL Januari 2008 Klolofil-a Januari 2008 SPL Januari 2009 Klolofil-a Januari 2009 SPL Januari 2010 Klolofil-a Januari 2010

131 111 Lampiran 12 (Lanjutan) 2. Februari SPL Februari 2008 Klolofil-a Februari 2008 SPL Februari 2009 Klolofil-a Februari 2009 SPL Februari 2010 Klolofil-a Februari 2010

132 112 Lampiran 12 (Lanjutan) 3. Maret SPL Maret 2008 Klolofil-a Maret 2008 SPL Maret 2009 Klolofil-a Maret 2009 SPL Maret 2010 Klolofil-a Maret 2010

133 113 Lampiran 12 (Lanjutan) 4. April SPL April 2008 Klolofil-a April 2008 SPL April 2009 Klolofil-a April 2009 SPL April 2010 Klolofil-a April 2010

134 114 Lampiran 12 (Lanjutan) 5. Mei SPL Mei 2008 Klolofil-a Mei 2008 SPL Mei 2009 Klolofil-a Mei 2009 SPL Mei 2010 Klolofil-a Mei 2010

135 115 Lampiran 12 (Lanjutan) 6. Juni SPL Juni 2008 Klolofil-a Juni 2008 SPL Juni 2009 Klolofil-a Juni 2009 SPL Juni 2010 Klolofil-a Juni 2010

136 116 Lampiran 12 (Lanjutan) 7. Juli SPL Juli 2008 Klolofil-a Juli 2008 SPL Juli 2009 Klolofil-a Juli 2009 SPL Juli 2010 Klolofil-a Juli 2010

137 117 Lampiran 12 (Lanjutan) 8. Agustus SPL Agustus 2008 Klolofil-a Agustus 2008 SPL Agustus 2009 Klolofil-a Agustus 2009 SPL Agustus 2010 Klolofil-a Agustus 2010

138 118 Lampiran 12 (Lanjutan) 9. September SPL September 2008 Klolofil-a September 2008 SPL September 2009 Klolofil-a September 2009 SPL September 2010 Klolofil-a September 2010

139 119 Lampiran 12 (Lanjutan) 10. Oktober SPL Oktober 2008 Klolofil-a Oktober 2008 SPL Oktober 2009 Klolofil-a Oktober 2009 SPL Oktober 2010 Klolofil-a Oktober 2010

140 120 Lampiran 12 (Lanjutan) 11. November SPL November 2008 Klolofil-a November 2008 SPL November 2009 Klolofil-a November 2009 SPL November 2010 Klolofil-a November 2010

141 121 Lampiran 12 (Lanjutan) 12. Desember SPL Desember 2008 Klolofil-a Desember 2008 SPL Desember 2009 Klolofil-a Desember 2009 SPL Desember 2010 Klolofil-a Desember 2010

142 122 Lampiran 13. Sebaran Upwelling dan Thermal Front di Laut Banda Tahun Januari Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

143 123 Lampiran 13 (Lanjutan) 2. Februari Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

144 124 Lampiran 13 (Lanjutan) 3. Maret Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

145 125 Lampiran 13 (Lanjutan) 4. April Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

146 126 Lampiran 13 (Lanjutan) 5. Mei Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

147 127 Lampiran 13 (Lanjutan) 6. Juni Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

148 128 Lampiran 13 (Lanjutan) 7. Juli Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

149 129 Lampiran 13 (Lanjutan) 8. Agustus Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

150 130 Lampiran 13 (Lanjutan) 9. September Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

151 131 Lampiran 13 (Lanjutan) 10. Oktober Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

152 132 Lampiran 13 (Lanjutan) 11. November Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

153 133 Lampiran 13 (Lanjutan) 12. Desember Upwelling 2008 Thermal Front 2008 Upwelling 2009 Thermal Front 2009 Upwelling 2010 Thermal Front 2010

154 134 Lampiran 14. Tahapan penentuan Thermal Front Menggunakan Marine Geospasial Tools Langkah 1. Mengaktifkan Marine Geospasial Tool

155 135 Lampiran 14 (Lanjutan) Langkah 2. Memasukkan citra yang akan diolah serta batas parameter yang digunakan.

156 136 Lampiran 14 (Lanjutan) Langkah 3. Hasil analisis

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 33 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Rangkaian kegiatan dalam penelitian ini terbagi dalam 3 tahapan, yaitu : (1) survei lapangan lokasi penelitian pada bulan September 2011, (2) pengumpulan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal 73 5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Secara temporal sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun 2008-2010 memperlihatkan adanya

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT MODEL SPASIAL INFORMASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110 O -120 O BT 2 O 50-7 O 50 LS) ANDRIUS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2.1.1 Morfologi Ikan layang atau bahasa latinnya Decapterus spp atau bahasa Inggrisnya scads tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 3. No. 1 November 2012: 1-10 ISSN 2087-4871 HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: 158 162 ISSN 1411-4674 PREDIKSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN KONDISI OSEANOGRAFI DI PERAIRAN KABUPATEN TAKALAR DAN

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT PENDUGAAN FRONT DAN UPWELLING MELALUI INTERPRETASI CITRA SUHU PERMUKAAN LAUT DAN CLOROFIL-A DI PERAIRAN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA Forcasting of front and upwelling by the sea surface temperature and chlorophyl-a

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR DETERMINATION OF FISHING AREA OF Euthynnus affinis BASED

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

Sebaran suhu permukaan laut dan tracking daerah penangkapan Ikan Cakalang di Perairan Barat Laut Banda

Sebaran suhu permukaan laut dan tracking daerah penangkapan Ikan Cakalang di Perairan Barat Laut Banda Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 2(1): 41-49 Sebaran suhu permukaan laut dan tracking daerah penangkapan Ikan Cakalang di Perairan Barat Laut Banda [Distribution of sea surface temperature and tracking

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara, ( 2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara, (  2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ANALISIS KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN DATA SATELIT AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) DI SELAT MALAKA Analysis of Chlorophyll-a

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG KJIN HUUNGN HSIL TNGKPN IKN CKLNG (Katsuwonus pelamis) DENGN KLOROFIL-a PD WPP 714, WPP 715, DN WPP 716 SEGI FISHING GROUND NELYN DI ITUNG sia*, Moh. Zaini, M. Zainul rifin Politeknik Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN UTARA INDRAMAYU JAWA BARAT Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN UTARA NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN UTARA NANGGROE ACEH DARUSSALAM E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.1, Hal. 24-32, Juni 29 PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN UTARA

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di :

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-a DATA SATELIT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Klimatologi Kairatu Ambon 2. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Klimatologi Kairatu Ambon 2. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 Analisis Sebaran Wilayah Potensi Ikan Berdasarkan Pantauan Konsentrasi Klorofil-a dan Suhu Muka Laut di Perairan Maluku Distribution Analisys of Potential

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit. Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit. Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data Muhammad

Lebih terperinci

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT Muslim 1), Usman 2), Alit Hindri Yani 2) E-mail: muslimfcb@gmail.com

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai Secara geografis Mentawai adalah suatu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi kajian untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dan SPL dari citra satelit terletak di perairan Laut Jawa (Gambar 4). Perairan ini

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN TUNA MATA BESAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN LHOKSEUMAWE

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN TUNA MATA BESAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN LHOKSEUMAWE PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN TUNA MATA BESAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN LHOKSEUMAWE FISHING GROUND PREDICTION OF BIG-EYE TUNA USING SATELLITE IMAGINARY IN THE WATERS OF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Lokasi penelitian adalah Perairan Timur Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores, meliputi batas-batas area dengan koordinat 2-9 LS dan 110-126

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI ADRIANI GUHAR L231 07 032 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia. HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) SADENG YOGYAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MODIS Dewantoro Pamungkas *1, Djumanto 1

Lebih terperinci

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Pusat Perubahan Iklim ITB Pengertian Iklim dan Perubahan

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN JAYAPURA SELATAN KOTA JAYAPURA

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN JAYAPURA SELATAN KOTA JAYAPURA PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN JAYAPURA SELATAN KOTA JAYAPURA THE DETERMINATION OF POTENTIAL FISHING AREA OF SKIPJACK TUNA

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT HARRY SATRIYANSON GIRSANG SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : 172 178 ISSN 1411-4674 PEMETAAN PREDIKSI ZONA POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR-LAUT FLORES Mapping of Small Pelagic

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Studi Konsentrasi Klorofil - a Alifah raini/feny Arafah/Fourry Handoko STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Alifah raini 1) ; Feny Arafah 1) ; Fourry Handoko 2) 1) Program

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor 42 Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Jurnal Mangrove dan Pesisir X (1), Februari 2010: 42-49 ISSN: 1411-0679 Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Melalui Analisis Suhu Permukaan Laut dan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM

ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM Transformasi Energi dan Materi dalam Ekosistem KONSEP ENERGI Energi : kemampuan untuk melakukan usaha Hukum Thermodinamika 1 : Energi dapat diubah bentuknya ke bentuk lain,

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci